Memberangus Ideologi "Lamunan"
Penulis: Priyono B. Sumbogo dan Maman Gantra
Marx dan tokoh-tokoh "kiri" lainnya terus dihujat. Buku-buku berbau kiri, bahkan yang sebenarnya mengkritisi
pemikiran kiri itu, dibakar. Sebuah "penegakan hukum" yang sengkarut dan menodai akal sehat: melawan kekufuran dengan kedogolan.
Ketakutan menjalar di toko-toko buku. Satpam-satpam disiagakan. Soalnya, sewaktu-waktu mereka mesti melawan orang-orang
yang ingin memburu dan membakar "komunisme" di lembaran-lembaran kertas. Bahkan, Toko Buku Kalam menyiapkan barikade pagar kawat berduri. Maklum, tak kurang dari lima telepon ancaman masuk ke toko itu. Pihak si penelepon
akan membakar toko buku di kawasan Jakarta Timur itu bila mereka masih juga menjual buku-buku kiri.
Sementara, Toko Buku Gunung Agung dan Gramedia, Jakarta, tak ingin mengambil risiko. Sejak 5 Mei sampai waktu tak
ditentukan, pramuniaga Gunung Agung telah mengepak dan menyimpan kembali buku-buku yang mengkaji atau menguraikan pemikiran-pemikiran kiri itu. Karya-karya Pramoedya Ananta Toer dan Franz Magnis-Suseno, yang lumayan laris,
tak ada lagi di antara deretan rak buku. "Kebijakan ini berlaku di semua Toko Buku Gunung Agung di Indonesia," ujar Farida Emawati, Manajer Gunung Agung cabang Atrium, Senen, Jakarta Pusat.
Masih bagus Farida mau berbincang dengan wartawan, biar pun sedikit. Julius, Manajer Gramedia Matraman, memilih tak
bicara. Ia takut salah ucap. Kalau begini, bisa-bisa malah bertambah repot. Julius dan seluruh manajer Toko Buku Gramedia di Jakarta, juga di beberapa daerah, memilih menyimpan buku-buku itu.
Semua kegentaran itu terjadi setelah Aliansi Anti-Komunis (AAK) menempuh jalan sendiri untuk sesuatu yang mereka
sebut "menegakkan hukum": melakukan sweeping buku-buku komunis. Konon, perbuatan yang diwarnai dengan pembakaran buku-buku kiri itu akan dilaksanakan hingga 20 Mei. Dan, tak hanya buku. Para penulis buku-buku yang
"tidak kanan" itu, juga siapa saja yang mempelajarinya di luar kampus, akan ikut "disapu."
Adalah Rahmat H.S., Ketua Umum Forum Pemuda Betawi (FPB), yang mengawali gerakan antikomunisme itu. Kurang lebih
tiga bulan lalu, ia mendirikan beberapa Posko Antikomunis dan Kekerasan di beberapa tempat di Jakarta. Gerakan itu lantas mendapat sambutan baik dari beberapa organisasi masyarakat. Sampai 19 April silam, tak kurang dari 35
organisasi menyatukan diri dengan Rahmat dkk. Antara lain, Forum Pemuda Betawi, Front Pemuda Banten, Gerakan Pemuda Islam, dan Front Hizbullah. Abdul Muis, dari eksponen angkatan '66, duduk sebagai Ketua Umum AAK. Posisi Sekretaris
Jenderal ditempati M. Nofal Dunggio.
Keruan saja, aksi mereka itu mendapat "teguran" dari sejumlah intelektual dan budayawan. Didukung sekitar
200 aktivis, mereka membentuk Aliansi untuk Kemerdekaan Berpikir dan Bersuara (AKBB). Selain mengimbau agar para penerbit dan toko buku tak ciut dengan gebrakan AAK, 15 Mei lalu, aliansi itu sempat berunjuk rasa di depan Mabes
Polri untuk menentang aksi AAK dan kepolisian Yogyakarta.
Tak kurang dari 22 organisasi nonpemerintah, organisasi gerakan mahasiswa, kelompok studi, ataupun organisasi profesi
terlibat dalam aksi tersebut. Di sana terselip pakar filsafat Franz Magnis-Suseno, budayawan Goenawan Mohamad, tokoh teater Ratna Sarumpaet, Jajang C. Noer, dan Nono Anwar Makarim. Menjelang tengah hari mereka membawa spanduk
bernada gemas: "Lawan Buku dengan Tulisan, Bukan dengan Api atau Pedang", " Pembakaran Buku No, Diskon Buku Yes ", "Pak Polisi Jangan Ikut-ikutan Sweeping, Dong", dan "Buku untuk Dibaca,
Bukan Dibakar". Sementara, Franz Magnis menyebut aksi bakar-bakaran buku itu merupakan "serangan langsung ke jantung demokrasi".
Sebelumnya, Sabtu 12 Mei lalu, di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, AKBB mengadakan diskusi. Goenawan Mohamad menyerukan
mobilisasi kekuatan untuk menangkal sensor, teror, dan segala bentuk pemberangusan kemerdekaan berpikir dan bersuara.
Eggi Sudjana, Ketua Persaudaraan Pekerja Muslim Indonesia (PPMI), tokoh demonstran massa Islam yang sering mengecam
komunisme, juga mengaku tidak setuju terhadap aksi sweeping dan pembakaran buku. "Namun, dilihat dari perspektif konsistensi hukum, aksi itu tak lebih sebagai reaksi masyarakat yang melihat pemerintah tidak konsisten
menjalankan amanat Tap XXV/MPRS/ 1966 tentang larangan penyebarluasan ajaran komunisme-Leninisme. Konsekuensi logisnya, buku-buku kiri itu mestinya juga tidak boleh ada," tutur Eggi kepada wartawan.
Memang, hingga kini Tap MPRS itu masih berlaku. Padahal, Presiden Abdurrahman Wahid sempat mengusulkan agar ketentuan
peninggalan "zaman gelap" itu dicabut. Berdasarkan Tap itulah pemerintah Orde Baru melarang peredaran buku yang dianggap berbau kiri atau ditulis oleh orang yang disangka berdiri di kiri--bukan di kanan atau di tengah.
Satu di antaranya adalah sejumlah tulisan Pramoedya Ananta Toer.
Tapi, siapa mampu memberangus pikiran? Setidaknya, sejak awal 80-an, buku-buku kiri menjadi "bacaan wajib"
para mahasiswa. Tentu saja, tidak dengan terangan-terangan. Pelarangan dan restriksi yang dilakukan rezim Orba secara membabi buta justru membuat paham kiri, komunis, Marxisme, dan yang lainnya menjadi seksi, eksotis, sekaligus
heroik. Adalah terbilang kuper (kurang pergaulan) bila seorang mahasiswa tak memiliki salinan Das Kapital, misalnya. Atau, sekadar fotokopian Bumi Manusia-nya Pram.
Memang, ada beberapa di antara mahasiswa yang ketiban sial: ketahuan petugas ketika membawa barang haram itu. Tiga
mahasiswa Yogyakarta: Bonar Tigor Naipospos, Bambang Subono, dan Bambang Isti Nugroho, misalnya. Mereka kedapatan mengedarkan diktat kuliah pemikiran Karl Marx dari Franz Magnis dan novel-novel Pram. Ketiga mahasiswa itu harus
diadili dan masuk penjara.
Tapi, di zaman reformasi seperti ini, cara-cara sembunyi dan "heroik" seperti era 80-an itu sudah sirna.
Sejak era (yang maunya) baru ini ditiupkan, tumpukan buku-buku seperti Madilog karya Tan Malaka, atau Pemikiran Karl Marx karya Franz Magnis, mudah ditemukan di toko-toko buku. Pun Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, dan Rumah
Kaca-nya Pram. Serial kitab klasik Pandangan Hidup, Menuju Republik Indonesia, dan Massa Aksi dari Tan Malaka juga gampang dibeli.
Sejumlah penerbit tak lagi takut mempublikasikan beragam buku kiri. Penerbit Teplok Press di Jakarta menerbitkan
Madilog dan Kajian Kritis Das Kapital karya Anthony Brewer. Selain menggarap cetakan kedua Madilog dan Kudeta Angkatan Darat Geoffrey B. Robinson, Teplok juga meluncurkan Revolusi Rakyat karya Che Guevara.
Lembaga Kajian Islam dan Sosial (LKiS) Yogyakarta juga rajin menerbitkan buku-buku kiri. Setelah berhasil mencetak
ulang Kiri Islam: antara Modernisme dan Postmodernisme, Telaah Kritis Pemikiran Hassan Hanafi (1993) karya Kazuo Shomogaki, mereka memutuskan akan lebih banyak menerbitkan buku-buku kiri. Mereka juga menerbitkan Berbareng
Bergerak: Sepenggal Riwayat Hidup dan Pemikiran Semaoen (2000), Dialog Paulo Freire: Sekolah Kapitalisme Wong Cilik (1998), dan Geger Tengger (1999), yang memasuki cetakan kedua atau ketiga. LKiS kini mempersiapkan buku Pemikiran
Karl Marx dan Riwayat Hidup Tan Malaka.
Sementara itu, buku Pemikiran Karl Marx: dari Utopianisme ke Revisionisme karya Franz Magnis, yang diterbitkan Gramedia
Pustaka Utama, yang semula merupakan diktat kuliah di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, kini menjadi buku favorit kalangan muda yang tergabung dalam kelompok studi di berbagai kota. Sambutan ternyata pasar luar biasa.
Menurut penerbitnya, Maret lalu buku seharga Rp 25 ribu itu memasuki cetakan keempat dan sudah 20.550 eksemplar terjual.
Penerbit yang dimotori sejumlah dosen Universitas Gadjah Mada, Insist Press, menerbitkan Marx untuk Pemula dalam
versi komik. Buku setebal 155 halaman karya Rius dari Spanyol itu menceritakan Marx dan ajaran filsafat sosialnya. Sebelumnya, Insist menerbitkan Kejahatan Hutang Luar Negeri, Sekolah Itu Candu, dan Teologi Pembebasan.
Penerbit Mata Bangsa yang berbasis di Yogyakarta malah mau mempublikasikan terjemahan The Indonesian Killings of
1965-1966: Studies from Java and Bali karya Robert Gribb yang mengemukakan pembantaian massal orang-orang Partai Komunis Indonesia (PKI) pasca pemberlakuan Tap MPRS XXV Tahun 1966 dan terjemahan Indonesian Communism under
Soekarno dari Rex Mortimer. Naskah itu boleh jadi akan membuat merah kuping militer dan para pendukung almarhum Orde Baru.
Buletin, newsletter, sampai selebaran, juga bermunculan. Partai Rakyat Demokratik (PRD) pernah menerbitkan buletin
Pembebasan dengan moto "Suara Sosial Demokrasi Kerakyatan". Gerakan Keadilan Sosial menerbitkan Terang. Buletin Bentang terbitan Keluarga Aktivis Mangkubumen Universitas Widya Mataram Yogyakarta mengajak rakyat menolak
praktik kapitalisme dalam pendidikan.
Belum lagi diskusi-diskusi, yang tentu saja dilakukan lebih terbuka ketimbang di zaman kegelapan tempo hari. Semua
itu, rupanya, membuat waswas kalangan "kanan". Ketua DPR Akbar Tandjung dan kalangan militer, misalnya. Mereka menyangka gejala itu merupakan tanda-tanda kebangkitan komunisme. Sebelumnya, ketika zaman masih pekat,
Syarwan Hamid pernah mencemaskan hal serupa. Ketika itu, Syarwan sempat menjadi "pakar kiri baru" dengan melontarkan pernyataan-pernyataan yang dinilai kalangan intelektual tak lebih dari sekadar asbun, asal bunyi.
Sementara, para intelektual, budayawan, dan mahasiswa tentunya menganggap "kebangkitan" itu sebagai biasa-biasa
saja. La, kuminis, eh komunis itu kan sudah lama bangkrut? Lebih dari itu, ia tak pernah benar-benar hadir di muka bumi ini. Soviet tidak, Kuba tidak, Cina begitu juga. Komunis tampaknya lebih merupakan sebuah lamunan ketimbang
sebuah ideologi yang operasional. Meskipun, harus diakui, beberapa perangkatnya memang terasa "seksi" dan nikmat dipeluk, manakala situasi sulit diterima akal sehat kemanusiaan: ketidakadilan sosial merajalela, penguasa
dan pengusaha lalim bersembunyi di balik hukum.
Ihwal maraknya kembali semangat kiri itu pernah ditulis oleh Rumadi, staf peneliti pada Institute for the Study and
Advancement of Civil Society (ISACS) Jakarta dan Mahasiswa Pascasarjana (S3) IAIN Jakarta, di Kompas. Menurut Rumadi, kebangkitan wacana kiri merupakan proses dialektika sejarah: orang beramai-ramai melakukan antitesis terhadap
konstruksi sejarah yang sudah dibangun selama 32 tahun. Kini berlangsung pertarungan sengit antara wacana kiri dan kanan.
dentifikasi kiri dan kanan dalam dunia pemikiran selalu dikaitkan dengan karakteristik dari wacana yang dikembangkan.
Karakteristik wacana kiri, antara lain, bersifat revolusioner, radikal, antikemapanan, solidaritas terhadap minoritas dan kaum tertindas, baik ketertindasan secara fisik maupun nonfisik (pemikiran). Sedangkan wacana kanan,
tulis Rumadi, biasanya prostatus quo, berpihak kepada mayoritas, tidak revolusioner, dan tidak radikal.
Wacana kanan yang melekat pada agama mengantarkan Karl Marx untuk mengatakan bahwa agama itu candu (opium). Paham
kiri pada mulanya merupakan sebuah istilah politik yang berarti resistensi, kritisisme, serta menjelaskan jarak antara realitas dan idealitas. Dengan menggunakan parameter tersebut, wacana kiri sebenarnya bisa memasuki seluruh
aspek sosial kemanusiaan. Karena itu, kiri juga menjadi terminologi ilmu-ilmu kemanusiaan secara umum sebagaimana dalam psikologi ada pemikiran psikologi kiri Freud-dalam filsafat ada filsafat kiri Hegel dan sebagainya.
Dalam konteks kehidupan modern, semangat radikal-revolusioner tersebut adalah prototipe Marxisme. Itu bisa dimaklumi
karena Karl Marx dengan teori "pertentangan antarkelasnya" seolah menjadi inspirator kebangkitan kaum proletar (kaum tertindas) untuk melawan kaum borjuis (penindas) dalam pengertian yang sangat luas. Atas dasar
itu, tidak mengherankan jika semangat Marxisme dijadikan sebagai "maskot" wacana kiri kontemporer.
Bila kemudian wacana kiri yang secara kritis dibahas pula oleh pemikir-pemikir Islam seperti Ali Syariati dari Iran
dan aktivis-aktivis Islam di Indonesia, itu lantaran Marxisme menawarkan antitesis terhadap pemahaman keagamaan yang tidak memihak kaum lemah dengan cara menggali kembali nilai-nilai revolusioner di dalam teologi. Sebab, masih
menurut Rumadi, Islam, terutama teologi Islam, yang selama ini berkembang, telah kehilangan relevansinya dengan konteks sosial.
Di kalangan penganut Nasrani, jejak pemikiran Marx pun dapat dilihat dalam gerakan teologi pembebasan (theology of
liberation) yang mula-mula muncul di Amerika Latin. Mereka ingin menerjemahkan pesan agama untuk membela kaum tertindas dengan meminjam cara-cara Marx yang sistematis dan sesuai dengan "bahasa bumi". Maklumlah, pesan
agama umumnya disampaikan dengan "bahasa langit" yang harus diterjemahkan lagi.
Walhasil, maraknya berkiri ria itu hendaknya disikapi dengan arif oleh kalangan kanan. Termasuk AAK, Bung Akbar,
dan bapak-bapak militer: berhentilah semata berpikir dengan bahasa langit. Lebih dari itu, kalaupun tak sepakat dengan kiri, tak perlu pula membakar buku-bukunya. Itu tak semata sastrawan Pramoedya yang mengatakan, "Mereka
agaknya tidak mengerti bahwa untuk membuat sebuah buku itu diperlukan waktu berbulan-bulan, bahkan tahunan. Masak hasil kerja selama itu akan dibakar dalam hitungan menit saja?"-sampai-sampai sastrawan gaek itu mengira
ada "pihak tertentu yang punya duit" membiayai aksi sweeping itu. Tapi, juga jangan sampai sosok seperti Putut Widjanarko, Direktur Pelaksana Penerbit Mizan, yang banyak menerbitkan buku-buku bernapaskan keislaman,
ikut memprihatinkannya.
"Ini ironis. Dulu yang melakukan pelarangan dan bersikap represif adalah pemerintah. Tapi, sekarang kok masyarakat
sendiri," kata Putut, yang ikut dalam aksi AKBB di Mabes Polri, menggeleng. Apalagi, bila buku yang dibakar itu juga termasuk buku yang justru bersikap kritis terhadap komunisme dan Marxisme. Ini kan "penegakan hukum"
yang tak hanya sengkarut. Tapi, maaf, agak dogol.
Bagaimana, "Pak Ustad"? "Silakan mereka berpendapat macam-macam. Yang jelas kami mendasarkan tindakan
kami pada Tap MPR XXV 1966 yang melarang komunisme tumbuh dan disebarluaskan di sini. Jadi, kami tetap akan melakukan sweeping," kata Sekjen AAK M. Nofal Dunggio.
Benarkah? Tidak, kata Kapolda Metro Jaya Inspektur Jenderal Polisi Sofjan Yacoeb. "Mereka tidak berhak melakukan
sweeping. Yang berhak cuma kepolisian," katanya. Atau, seperti kata akal sehat, tak seorang pun berhak memberangus pemikiran? Kalaupun mau, ya lawan lagi dengan pikiran.[]
Penulis: Priyono B. Sumbogo dan Maman Gantra
Marx dan tokoh-tokoh "kiri" lainnya terus dihujat. Buku-buku berbau kiri, bahkan yang sebenarnya mengkritisi
pemikiran kiri itu, dibakar. Sebuah "penegakan hukum" yang sengkarut dan menodai akal sehat: melawan kekufuran dengan kedogolan.
Ketakutan menjalar di toko-toko buku. Satpam-satpam disiagakan. Soalnya, sewaktu-waktu mereka mesti melawan orang-orang
yang ingin memburu dan membakar "komunisme" di lembaran-lembaran kertas. Bahkan, Toko Buku Kalam menyiapkan barikade pagar kawat berduri. Maklum, tak kurang dari lima telepon ancaman masuk ke toko itu. Pihak si penelepon
akan membakar toko buku di kawasan Jakarta Timur itu bila mereka masih juga menjual buku-buku kiri.
Sementara, Toko Buku Gunung Agung dan Gramedia, Jakarta, tak ingin mengambil risiko. Sejak 5 Mei sampai waktu tak
ditentukan, pramuniaga Gunung Agung telah mengepak dan menyimpan kembali buku-buku yang mengkaji atau menguraikan pemikiran-pemikiran kiri itu. Karya-karya Pramoedya Ananta Toer dan Franz Magnis-Suseno, yang lumayan laris,
tak ada lagi di antara deretan rak buku. "Kebijakan ini berlaku di semua Toko Buku Gunung Agung di Indonesia," ujar Farida Emawati, Manajer Gunung Agung cabang Atrium, Senen, Jakarta Pusat.
Masih bagus Farida mau berbincang dengan wartawan, biar pun sedikit. Julius, Manajer Gramedia Matraman, memilih tak
bicara. Ia takut salah ucap. Kalau begini, bisa-bisa malah bertambah repot. Julius dan seluruh manajer Toko Buku Gramedia di Jakarta, juga di beberapa daerah, memilih menyimpan buku-buku itu.
Semua kegentaran itu terjadi setelah Aliansi Anti-Komunis (AAK) menempuh jalan sendiri untuk sesuatu yang mereka
sebut "menegakkan hukum": melakukan sweeping buku-buku komunis. Konon, perbuatan yang diwarnai dengan pembakaran buku-buku kiri itu akan dilaksanakan hingga 20 Mei. Dan, tak hanya buku. Para penulis buku-buku yang
"tidak kanan" itu, juga siapa saja yang mempelajarinya di luar kampus, akan ikut "disapu."
Adalah Rahmat H.S., Ketua Umum Forum Pemuda Betawi (FPB), yang mengawali gerakan antikomunisme itu. Kurang lebih
tiga bulan lalu, ia mendirikan beberapa Posko Antikomunis dan Kekerasan di beberapa tempat di Jakarta. Gerakan itu lantas mendapat sambutan baik dari beberapa organisasi masyarakat. Sampai 19 April silam, tak kurang dari 35
organisasi menyatukan diri dengan Rahmat dkk. Antara lain, Forum Pemuda Betawi, Front Pemuda Banten, Gerakan Pemuda Islam, dan Front Hizbullah. Abdul Muis, dari eksponen angkatan '66, duduk sebagai Ketua Umum AAK. Posisi Sekretaris
Jenderal ditempati M. Nofal Dunggio.
Keruan saja, aksi mereka itu mendapat "teguran" dari sejumlah intelektual dan budayawan. Didukung sekitar
200 aktivis, mereka membentuk Aliansi untuk Kemerdekaan Berpikir dan Bersuara (AKBB). Selain mengimbau agar para penerbit dan toko buku tak ciut dengan gebrakan AAK, 15 Mei lalu, aliansi itu sempat berunjuk rasa di depan Mabes
Polri untuk menentang aksi AAK dan kepolisian Yogyakarta.
Tak kurang dari 22 organisasi nonpemerintah, organisasi gerakan mahasiswa, kelompok studi, ataupun organisasi profesi
terlibat dalam aksi tersebut. Di sana terselip pakar filsafat Franz Magnis-Suseno, budayawan Goenawan Mohamad, tokoh teater Ratna Sarumpaet, Jajang C. Noer, dan Nono Anwar Makarim. Menjelang tengah hari mereka membawa spanduk
bernada gemas: "Lawan Buku dengan Tulisan, Bukan dengan Api atau Pedang", " Pembakaran Buku No, Diskon Buku Yes ", "Pak Polisi Jangan Ikut-ikutan Sweeping, Dong", dan "Buku untuk Dibaca,
Bukan Dibakar". Sementara, Franz Magnis menyebut aksi bakar-bakaran buku itu merupakan "serangan langsung ke jantung demokrasi".
Sebelumnya, Sabtu 12 Mei lalu, di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, AKBB mengadakan diskusi. Goenawan Mohamad menyerukan
mobilisasi kekuatan untuk menangkal sensor, teror, dan segala bentuk pemberangusan kemerdekaan berpikir dan bersuara.
Eggi Sudjana, Ketua Persaudaraan Pekerja Muslim Indonesia (PPMI), tokoh demonstran massa Islam yang sering mengecam
komunisme, juga mengaku tidak setuju terhadap aksi sweeping dan pembakaran buku. "Namun, dilihat dari perspektif konsistensi hukum, aksi itu tak lebih sebagai reaksi masyarakat yang melihat pemerintah tidak konsisten
menjalankan amanat Tap XXV/MPRS/ 1966 tentang larangan penyebarluasan ajaran komunisme-Leninisme. Konsekuensi logisnya, buku-buku kiri itu mestinya juga tidak boleh ada," tutur Eggi kepada wartawan.
Memang, hingga kini Tap MPRS itu masih berlaku. Padahal, Presiden Abdurrahman Wahid sempat mengusulkan agar ketentuan
peninggalan "zaman gelap" itu dicabut. Berdasarkan Tap itulah pemerintah Orde Baru melarang peredaran buku yang dianggap berbau kiri atau ditulis oleh orang yang disangka berdiri di kiri--bukan di kanan atau di tengah.
Satu di antaranya adalah sejumlah tulisan Pramoedya Ananta Toer.
Tapi, siapa mampu memberangus pikiran? Setidaknya, sejak awal 80-an, buku-buku kiri menjadi "bacaan wajib"
para mahasiswa. Tentu saja, tidak dengan terangan-terangan. Pelarangan dan restriksi yang dilakukan rezim Orba secara membabi buta justru membuat paham kiri, komunis, Marxisme, dan yang lainnya menjadi seksi, eksotis, sekaligus
heroik. Adalah terbilang kuper (kurang pergaulan) bila seorang mahasiswa tak memiliki salinan Das Kapital, misalnya. Atau, sekadar fotokopian Bumi Manusia-nya Pram.
Memang, ada beberapa di antara mahasiswa yang ketiban sial: ketahuan petugas ketika membawa barang haram itu. Tiga
mahasiswa Yogyakarta: Bonar Tigor Naipospos, Bambang Subono, dan Bambang Isti Nugroho, misalnya. Mereka kedapatan mengedarkan diktat kuliah pemikiran Karl Marx dari Franz Magnis dan novel-novel Pram. Ketiga mahasiswa itu harus
diadili dan masuk penjara.
Tapi, di zaman reformasi seperti ini, cara-cara sembunyi dan "heroik" seperti era 80-an itu sudah sirna.
Sejak era (yang maunya) baru ini ditiupkan, tumpukan buku-buku seperti Madilog karya Tan Malaka, atau Pemikiran Karl Marx karya Franz Magnis, mudah ditemukan di toko-toko buku. Pun Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, dan Rumah
Kaca-nya Pram. Serial kitab klasik Pandangan Hidup, Menuju Republik Indonesia, dan Massa Aksi dari Tan Malaka juga gampang dibeli.
Sejumlah penerbit tak lagi takut mempublikasikan beragam buku kiri. Penerbit Teplok Press di Jakarta menerbitkan
Madilog dan Kajian Kritis Das Kapital karya Anthony Brewer. Selain menggarap cetakan kedua Madilog dan Kudeta Angkatan Darat Geoffrey B. Robinson, Teplok juga meluncurkan Revolusi Rakyat karya Che Guevara.
Lembaga Kajian Islam dan Sosial (LKiS) Yogyakarta juga rajin menerbitkan buku-buku kiri. Setelah berhasil mencetak
ulang Kiri Islam: antara Modernisme dan Postmodernisme, Telaah Kritis Pemikiran Hassan Hanafi (1993) karya Kazuo Shomogaki, mereka memutuskan akan lebih banyak menerbitkan buku-buku kiri. Mereka juga menerbitkan Berbareng
Bergerak: Sepenggal Riwayat Hidup dan Pemikiran Semaoen (2000), Dialog Paulo Freire: Sekolah Kapitalisme Wong Cilik (1998), dan Geger Tengger (1999), yang memasuki cetakan kedua atau ketiga. LKiS kini mempersiapkan buku Pemikiran
Karl Marx dan Riwayat Hidup Tan Malaka.
Sementara itu, buku Pemikiran Karl Marx: dari Utopianisme ke Revisionisme karya Franz Magnis, yang diterbitkan Gramedia
Pustaka Utama, yang semula merupakan diktat kuliah di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, kini menjadi buku favorit kalangan muda yang tergabung dalam kelompok studi di berbagai kota. Sambutan ternyata pasar luar biasa.
Menurut penerbitnya, Maret lalu buku seharga Rp 25 ribu itu memasuki cetakan keempat dan sudah 20.550 eksemplar terjual.
Penerbit yang dimotori sejumlah dosen Universitas Gadjah Mada, Insist Press, menerbitkan Marx untuk Pemula dalam
versi komik. Buku setebal 155 halaman karya Rius dari Spanyol itu menceritakan Marx dan ajaran filsafat sosialnya. Sebelumnya, Insist menerbitkan Kejahatan Hutang Luar Negeri, Sekolah Itu Candu, dan Teologi Pembebasan.
Penerbit Mata Bangsa yang berbasis di Yogyakarta malah mau mempublikasikan terjemahan The Indonesian Killings of
1965-1966: Studies from Java and Bali karya Robert Gribb yang mengemukakan pembantaian massal orang-orang Partai Komunis Indonesia (PKI) pasca pemberlakuan Tap MPRS XXV Tahun 1966 dan terjemahan Indonesian Communism under
Soekarno dari Rex Mortimer. Naskah itu boleh jadi akan membuat merah kuping militer dan para pendukung almarhum Orde Baru.
Buletin, newsletter, sampai selebaran, juga bermunculan. Partai Rakyat Demokratik (PRD) pernah menerbitkan buletin
Pembebasan dengan moto "Suara Sosial Demokrasi Kerakyatan". Gerakan Keadilan Sosial menerbitkan Terang. Buletin Bentang terbitan Keluarga Aktivis Mangkubumen Universitas Widya Mataram Yogyakarta mengajak rakyat menolak
praktik kapitalisme dalam pendidikan.
Belum lagi diskusi-diskusi, yang tentu saja dilakukan lebih terbuka ketimbang di zaman kegelapan tempo hari. Semua
itu, rupanya, membuat waswas kalangan "kanan". Ketua DPR Akbar Tandjung dan kalangan militer, misalnya. Mereka menyangka gejala itu merupakan tanda-tanda kebangkitan komunisme. Sebelumnya, ketika zaman masih pekat,
Syarwan Hamid pernah mencemaskan hal serupa. Ketika itu, Syarwan sempat menjadi "pakar kiri baru" dengan melontarkan pernyataan-pernyataan yang dinilai kalangan intelektual tak lebih dari sekadar asbun, asal bunyi.
Sementara, para intelektual, budayawan, dan mahasiswa tentunya menganggap "kebangkitan" itu sebagai biasa-biasa
saja. La, kuminis, eh komunis itu kan sudah lama bangkrut? Lebih dari itu, ia tak pernah benar-benar hadir di muka bumi ini. Soviet tidak, Kuba tidak, Cina begitu juga. Komunis tampaknya lebih merupakan sebuah lamunan ketimbang
sebuah ideologi yang operasional. Meskipun, harus diakui, beberapa perangkatnya memang terasa "seksi" dan nikmat dipeluk, manakala situasi sulit diterima akal sehat kemanusiaan: ketidakadilan sosial merajalela, penguasa
dan pengusaha lalim bersembunyi di balik hukum.
Ihwal maraknya kembali semangat kiri itu pernah ditulis oleh Rumadi, staf peneliti pada Institute for the Study and
Advancement of Civil Society (ISACS) Jakarta dan Mahasiswa Pascasarjana (S3) IAIN Jakarta, di Kompas. Menurut Rumadi, kebangkitan wacana kiri merupakan proses dialektika sejarah: orang beramai-ramai melakukan antitesis terhadap
konstruksi sejarah yang sudah dibangun selama 32 tahun. Kini berlangsung pertarungan sengit antara wacana kiri dan kanan.
dentifikasi kiri dan kanan dalam dunia pemikiran selalu dikaitkan dengan karakteristik dari wacana yang dikembangkan.
Karakteristik wacana kiri, antara lain, bersifat revolusioner, radikal, antikemapanan, solidaritas terhadap minoritas dan kaum tertindas, baik ketertindasan secara fisik maupun nonfisik (pemikiran). Sedangkan wacana kanan,
tulis Rumadi, biasanya prostatus quo, berpihak kepada mayoritas, tidak revolusioner, dan tidak radikal.
Wacana kanan yang melekat pada agama mengantarkan Karl Marx untuk mengatakan bahwa agama itu candu (opium). Paham
kiri pada mulanya merupakan sebuah istilah politik yang berarti resistensi, kritisisme, serta menjelaskan jarak antara realitas dan idealitas. Dengan menggunakan parameter tersebut, wacana kiri sebenarnya bisa memasuki seluruh
aspek sosial kemanusiaan. Karena itu, kiri juga menjadi terminologi ilmu-ilmu kemanusiaan secara umum sebagaimana dalam psikologi ada pemikiran psikologi kiri Freud-dalam filsafat ada filsafat kiri Hegel dan sebagainya.
Dalam konteks kehidupan modern, semangat radikal-revolusioner tersebut adalah prototipe Marxisme. Itu bisa dimaklumi
karena Karl Marx dengan teori "pertentangan antarkelasnya" seolah menjadi inspirator kebangkitan kaum proletar (kaum tertindas) untuk melawan kaum borjuis (penindas) dalam pengertian yang sangat luas. Atas dasar
itu, tidak mengherankan jika semangat Marxisme dijadikan sebagai "maskot" wacana kiri kontemporer.
Bila kemudian wacana kiri yang secara kritis dibahas pula oleh pemikir-pemikir Islam seperti Ali Syariati dari Iran
dan aktivis-aktivis Islam di Indonesia, itu lantaran Marxisme menawarkan antitesis terhadap pemahaman keagamaan yang tidak memihak kaum lemah dengan cara menggali kembali nilai-nilai revolusioner di dalam teologi. Sebab, masih
menurut Rumadi, Islam, terutama teologi Islam, yang selama ini berkembang, telah kehilangan relevansinya dengan konteks sosial.
Di kalangan penganut Nasrani, jejak pemikiran Marx pun dapat dilihat dalam gerakan teologi pembebasan (theology of
liberation) yang mula-mula muncul di Amerika Latin. Mereka ingin menerjemahkan pesan agama untuk membela kaum tertindas dengan meminjam cara-cara Marx yang sistematis dan sesuai dengan "bahasa bumi". Maklumlah, pesan
agama umumnya disampaikan dengan "bahasa langit" yang harus diterjemahkan lagi.
Walhasil, maraknya berkiri ria itu hendaknya disikapi dengan arif oleh kalangan kanan. Termasuk AAK, Bung Akbar,
dan bapak-bapak militer: berhentilah semata berpikir dengan bahasa langit. Lebih dari itu, kalaupun tak sepakat dengan kiri, tak perlu pula membakar buku-bukunya. Itu tak semata sastrawan Pramoedya yang mengatakan, "Mereka
agaknya tidak mengerti bahwa untuk membuat sebuah buku itu diperlukan waktu berbulan-bulan, bahkan tahunan. Masak hasil kerja selama itu akan dibakar dalam hitungan menit saja?"-sampai-sampai sastrawan gaek itu mengira
ada "pihak tertentu yang punya duit" membiayai aksi sweeping itu. Tapi, juga jangan sampai sosok seperti Putut Widjanarko, Direktur Pelaksana Penerbit Mizan, yang banyak menerbitkan buku-buku bernapaskan keislaman,
ikut memprihatinkannya.
"Ini ironis. Dulu yang melakukan pelarangan dan bersikap represif adalah pemerintah. Tapi, sekarang kok masyarakat
sendiri," kata Putut, yang ikut dalam aksi AKBB di Mabes Polri, menggeleng. Apalagi, bila buku yang dibakar itu juga termasuk buku yang justru bersikap kritis terhadap komunisme dan Marxisme. Ini kan "penegakan hukum"
yang tak hanya sengkarut. Tapi, maaf, agak dogol.
Bagaimana, "Pak Ustad"? "Silakan mereka berpendapat macam-macam. Yang jelas kami mendasarkan tindakan
kami pada Tap MPR XXV 1966 yang melarang komunisme tumbuh dan disebarluaskan di sini. Jadi, kami tetap akan melakukan sweeping," kata Sekjen AAK M. Nofal Dunggio.
Benarkah? Tidak, kata Kapolda Metro Jaya Inspektur Jenderal Polisi Sofjan Yacoeb. "Mereka tidak berhak melakukan
sweeping. Yang berhak cuma kepolisian," katanya. Atau, seperti kata akal sehat, tak seorang pun berhak memberangus pemikiran? Kalaupun mau, ya lawan lagi dengan pikiran.[]
Tue Aug 01, 2023 9:56 pm by wisatasemarang
» Portable STATA 18 Crack Full Version
Thu May 11, 2023 5:24 pm by wisatasemarang
» NVivo 12 Crack Full version
Mon Jan 30, 2023 11:16 am by wisatasemarang
» Tutorial Difference In difference (DID (Diff-in-Diff) With Eviews 13
Thu Nov 03, 2022 6:24 am by wisatasemarang
» Online Workshop Smart PLS Minggu, 01 Oktober 2022
Sat Sep 17, 2022 11:35 am by wisatasemarang
» kumpulan ebook tentang robot
Fri Jan 02, 2015 10:04 pm by kyuru
» MANTRA PELET
Wed May 16, 2012 3:31 am by orlandojack
» book love of spell
Sat Mar 24, 2012 8:08 pm by rifqi as
» attraction Formula
Sat Mar 24, 2012 7:09 pm by rifqi as