Transformasi Gerakan Perempuan di Indonesia
Oleh: Melani Budianta
BAGAIMANA kita membayangkan gerakan perempuan di masa
lampau? Sejarah tidak banyak mencatat peranan perempuan. Padahal, di masa
revolusi gerakan perempuan sepenuhnya dikerahkan untuk mendukung agenda
nasionalis. Perempuan bekerja di dapur-dapur umum yang secara vital menentukan
ketahanan para gerilyawan. Mereka menyusup dan menyamar untuk menyelundupkan
informasi strategis, menjadi mata-mata, merawat pejuang yang luka. Tak kurang
perempuan yang mengangkat senjata.
Di masa Orde Baru, barangkali lebih mudah bagi kita
membayangkan posisi perempuan. Ada organisasi-organisasi seperti PKK yang
secara khusus mengarahkan peran perempuan untuk mendukung target-target
pembangunan. Termasuk di sini target KB yang menghitung kepatuhan tubuh
perempuan untuk dipasangi alat kontrasepsi secara statistik sebagai ukuran
suksesnya. Organisasi Kowani yang semula merupakan pejuang-pejuang pioner
isu-isu perempuan dibelokkan oleh negara untuk mendukung apa yang disebut Julia
Suryakusuma sebagai ideologi Ibuisme. Dalam era Orde Baru perempuan yang ideal
adalah yang mendukung karier suami, yang menjadi ibu dan pengurus rumah tangga
yang baik, yang melahirkan anak-anak bangsa. Kedudukannya sebagai warga negara
tidak mendapatkan prioritas utama. Membayangkan perempuan di masa Orde Baru
adalah membayangkan lukisan Kartini versi Dede Erie Suparia (Kartini yang
terperangkap di bawah alat pemanas rambut dan lipstik), atau perayaan-perayaan
Kartini yang penuh ritual dan lomba-lomba memasak.
Di masa Reformasi, kita tidak perlu membayang-bayangkan,
sebab masih terlalu dekat dalam benak kita bayang-bayang peristiwa Mei 1998 dan
berbagai kekerasan di Aceh, Timor Timur, Kalimantan, Ambon, Irian Jaya. Selama
tiga puluhan tahun kita tidak pernah diberi kesempatan untuk memikirkan bahwa
militerisme di balik pembangunan dan ibuisme dapat meledakkan begitu banyak
korban, terutama kaum perempuan. Dalam situasi konflik dan kekerasan yang
merebak di akhir abad ke-20 di Indonesia, tubuh perempuan telah menjadi arena
untuk menciptakan teror, menaklukkan atau menundukkan kelompok-kelompok yang
dicap sebagai "musuh."
Tetapi di saat yang sama, kita melihat munculnya suatu
arus gerakan perempuan yang menolak dan melawan kecenderungan menjadikan
perempuan sebagai korban. Di awal gerakan Reformasi, pada hari yang ditetapkan
sebagai Siaga I, sejumlah perempuan kelas menengah di Jakarta yang menamakan
diri mereka Suara Ibu Peduli menggemparkan media massa dan aparat dengan
"Politik Susu". Politik susu menggugat pemerintah dan kepedulian
masyarakat terhadap korban kebijakan yang berujung di krisis ekonomi, yakni
anak-anak dan perempuan. Bahasa "Ibu" berhasil menyentuh dan
menggerakkan masyarakat. Sehingga pada saat mahasiswa turun ke jalan, masyarakat
dari berbagai lapisan tergugah menyalurkan nasi bungkus, uang, obat-obatan dan
tenaga mereka, bukan sekadar sebagai tanda simpati tetapi juga sebagai bentuk
perlawanan terhadap penguasa.
Sejak itu pula kita melihat, bagaimana LSM perempuan,
yang selama Orde Baru bergerak di "bawah tanah" untuk melakukan
advokasi politis, seperti Kalyanamitra, dan aktivis-aktivis LSM lainnya yang
telah mengasah kemampuan mereka secara sembunyi-sembunyi di masa represi
tersebut, muncul ke permukaan. Dengan kemampuan membuat jaringan, para aktivis
ini menjadi tulang punggung kuat gerakan Reformasi yang berhasil menumbangkan
Soeharto. Insiden-insiden yang bertentangan dengan rasa kemanusiaan di
Semanggi, Trisakti, Ketapang yang bercorak militeristis menggugah mereka untuk
membuat kelompok-kelompok relawan kemanusiaan dengan misi dan target khusus
untuk merespons keadaan darurat.
Selain aktivis perempuan kawakan, muncul tokoh-tokoh yang
selama ini bergerak di lapangan akademis, seperti Karlina Leksono, dan
masyarakat awam yang selama ini merasa dirinya "apolitis." Gerakan
Suara Ibu Peduli, misalnya, yang berawal dari segelintir perempuan kelas
menengah atas, pada akhirnya melibatkan ribuan perempuan dari berbagai lapisan,
terutama lapisan menengah bawah. Para ibu yang tersebar di berbagai pelosok
perkampungan Kota Jakarta tersebut melakukan berbagai upaya untuk mengatasi
krisis ekonomi di lingkungannya masing-masing, termasuk menyalurkan beasiswa
untuk anak sekolah, membuat penjualan sembilan bahan pokok secara murah. Berawal
dari panggilan kemanusiaan dan kebutuhan untuk bertahan hidup melalui penjualan
susu murah, gerakan ini berujung pada penyadaran hak politik dan keterlibatan
masyarakat basis untuk memecahkan berbagai masalah sosial yang ada di
lingkungan mereka.
SALAH satu gerakan yang paling dahsyat muncul dari para
korban kekerasan itu sendiri, ibu-ibu yang kehilangan anak-anaknya, dan
perempuan yang mengalami kekerasan pada waktu kerusuhan atau menjadi korban
dalam Tragedi Semanggi, Trisakti, Aceh, Ambon, dan kekerasan lainnya. Seorang
ibu yang anaknya terbakar di sebuah mal di Bekasi kini tak henti-hentinya
bersaksi di mimbar-mimbar kemanusiaan dan mimbar prodemokrasi untuk
mengupayakan keadilan dan menghentikan kekerasan. Sejumlah korban kekerasan
domestik menjadi tulang punggung upaya pendampingan korban perkosaan di
berbagai tempat.
Pada awal tahun 2000, 400 perempuan di Aceh dari berbagai
pihak yang berseteru, yang secara kolektif mengalami paparan kekerasan komunal
secara terus-menerus memutuskan untuk berkumpul dan mencari jalan keluar
bersama. Di wilayah-wilayah konflik muncul gerakan lintas agama, suku, etnis,
kelompok yang diprakarsai perempuan. Ketika masyarakat terbelah dan pemimpin
lokal tak bisa duduk berunding lagi, Gerakan Perempuan Peduli di Ambon yang
terdiri dari perempuan Muslim, Protestan, Katolik, dengan risiko ancaman dari
kelompoknya sendiri, saling bergandengan tangan menyebarkan pamflet, mengobati
korban, dan mencari solusi damai.
Berdasarkan contoh-contoh di atas, Saparinah Sadli, Ketua
Komisi Nasional anti-Kekerasan terhadap Perempuan menyatakan bahwa saat ini
gerakan perempuan di Indonesia tengah memasuki babak ketiga dalam sejarah
perkembangannya. Dalam periode nasionalisme dan periode Orde Baru, kaum
perempuan berjuang untuk kepentingan bangsa atau negara, bahkan pada periode
yang terakhir tersebut, dikooptasi untuk kepentingan penguasa. Baru dalam dua
tiga tahun terakhir, menurut Saparinah Sadli, gerakan perempuan Indonesia mulai
berjuang dengan perspektif yang secara khusus menyuarakan kepentingan dan visi
perempuan.
Secara khusus visi khas perempuan disebut oleh Nunuk
Murniati sebagai "Politik Perempuan". Politik perempuan bersumber
dari pengalaman hidup perempuan sehari-hari, dan bertolak dari realitas sosial
yang ada itu kaum perempuan membuat strategi-strategi politis dan advokasi yang
menawarkan alternatif terhadap tatanan dan ideologi yang dominan. Di hadapan
politik kekerasan, perempuan menawarkan gerakan damai. Di hadapan politik
identitas dan primordialisme, perempuan mengajukan gerakan lintas kelompok, di
hadapan politik kekuasaan, perempuan menunjukkan bahwa pemberdayaan warga dari
bawah merupakan gerakan politik yang sangat penting. Di hadapan politik partai
yang kisruh, perempuan menekankan pendidikan masyarakat dengan perubahan yang
mungkin tak terlihat tapi mendasar.
Pemberdayaan dari bawah melalui partisipasi seluruh
warga, termasuk perempuan dan kaum marginal lainnya, menurut Ita F Nadia,
merupakan koreksi perempuan terhadap konsep demokratisasi dan masyarakat sipil yang
sempit, yakni yang menekankan proses kelembagaan formal saja.
Pilihan untuk tidak bermain di politik partai, menurut
Kamala Chandrakirana, merupakan suatu pilihan yang disadari karena
kelompok-kelompok perempuan melihat kelemahan politik partai dalam menegakkan
nilai-nilai moral dan etika politik. Tetapi sebagai konsekuensinya adalah
kurang terwakilinya perempuan di DPR, dan juga kurangnya liputan media yang
cenderung memusatkan perhatian pada politik formal.
Lagi pula, seperti diakui oleh Nunuk, "politik
perempuan" yang sedang dalam proses redefinisi oleh kaum perempuan itu,
sulit dipahami, dan banyak yang cenderung salah mengerti. Di lain sisi,
pihak-pihak yang menginginkan status quo kekuasaan, cenderung melihat gerakan
perempuan, dan gerakan demokratisasi lainnya, sebagai suatu ancaman.
Marginalisasi, dan tidak tampilnya "politik perempuan" di politik
formal menimbulkan kesan bahwa setelah hingar bingar Reformasi, gerakan
perempuan di Indonesia mulai menyurut. Ketika berbagai elite politik berlaga di
kancah politik formal di tingkatan nasional, dan berbagai isu bermunculan,
suara kaum perempuan hampir tidak terdengar. Kesan semacam ini seringkali
datang dari para aktivis perempuan sendiri, yang merasa gerakan perempuan saat
ini tidak jelas fokusnya. Sulitnya membuat fokus, menurut Saparinah Sadli,
terjadi karena masyarakat kita yang terlalu besar dan terlalu majemuk. Tetapi
di sisi lain kemajemukan itu sendiri juga menunjukkan ciri babak ketiga gerakan
perempuan di Indonesia, yakni periode pluralisasi gerakan.
Myra Diarsi mengemukakan pentingnya meletakkan kendala
gerakan perempuan dalam konteks sejarah maupun konteks struktural. Keberadaan
di antara 210 juta penduduk Indonesia yang plural seringkali membuat orang ragu
untuk mengambil sikap atau posisi karena sangat mudah untuk memecah belah
kelompok secara politis karena perbedaan nilai, misalnya nilai agama.
Perbedaan-perbedaan ini membuat gerakan perempuan rentan menghadapi politik
yang memecah belah. Selain itu, keberadaan lembaga-lembaga dana, menurut Myra
adalah suatu konteks historis yang berfungsi mendukung, tapi sekaligus juga
mempunyai potensi menjadi kendala. Lembaga dana menjadi kendala jika
menciptakan kecenderungan untuk menciptakan ketergantungan. Ketergantungan
dapat melemahkan gerakan masyarakat yang semula ditempa untuk mandiri, dan juga
menimbulkan kompetisi dan persaingan.
Selain itu, gerakan perempuan dihadapkan oleh masalah
yang merupakan akumulasi limbah kebijakan Orde Baru. Energi individu dan
kelompok yang mendukung Reformasi telah dikuras habis untuk menangani
korban-korban budaya kekerasan. Korban-korban terus berjatuhan, di kalangan
mahasiswa, di kalangan pengungsi, korban perkosaan, korban di wilayah konflik
di seluruh Indonesia.
Masalah sosial politik yang berskala besar yang melanda
seluruh Indonesia membuat kemajuan gerakan perempuan seakan-akan tidak berarti.
Krisis ekonomi yang sedemikian buruk telah menghabiskan energi perempuan untuk
sekadar bertahan hidup atau membantu keluarga, dan masyarakat lingkungannya untuk
bertahan. Nyaris tidak tersisa energi untuk melihat permasalahan ekonomi dalam
tingkatan makro, sedangkan para pakar ekonomi tidak punya kesadaran bahwa
ekonomi di Indonesia bertumpu pada penghasilan perempuan. Mendukung pendapat
Myra, Kamala Chandrakirana mengemukakan bahwa lapisan kecil komunitas
prodemokrasi, yang mencakup gerakan perempuan, telah dibebani oleh berbagai
macam permasalahan yang melebar ke segala penjuru. Kondisi demikian tidak
memungkinkan dipilihnya satu fokus gerakan.
Walaupun demikian, Kamala menunjukkan pentingya aliansi
yang telah dilakukan oleh gerakan perempuan dengan gerakan prodemokrasi
lainnya, seperti gerakan buruh, lingkungan, gerakan lintas agama, dan
lain-lainnya. Aliansi-aliansi strategis ini bersifat sementara, dan dipakai
untuk menghadapi satu isu penting bersama-sama, dan setelah itu masing-masing
berjalan lagi sendiri. Aliansi sementara semacam ini merupakan suatu alat
politik yang strategis. Dengan memakai aliansi sementara sebagai alat politik,
perempuan dari kelompok yang berseberangan atau berbeda bisa duduk bersama
untuk mencapai satu tujuan. Salah satu contoh aliansi adalah Komisi Perempuan
Untuk Demokrasi di Surabaya yang menggabungkan perempuan aktivis dari berbagai
kelompok, termasuk kelompok buruh dan kelompok kemanusiaan.
Selain munculnya aliansi-aliansi strategis tersebut,
Kamala menunjukkan sejumlah gejala lain yang menunjukkan bagaimana gerakan
perempuan mulai mengakar di Indonesia. Yang pertama adalah munculnya
institusi-institusi baru yang belum pernah ada sebelumnya. Sebagai contoh
adalah pusat-pusat penanganan krisis untuk perempuan, yang saat ini telah
didirikan oleh Fatayat NU sebanyak 27 buah di tingkat kabupaten. Komisi
Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan itu sendiri merupakan sebuah lembaga
baru yang bukan LSM dan bukan pemerintah. Komisi ini bersifat independen dan
mempunyai mekanisme yang bersifat nasional, mencakup elemen-elemen masyarakat
di tingkat basis maupun unsur LSM dan pemerintah. Bentukan unik ini merupakan
suatu contoh bagaimana perempuan mencari bentuk organisasi yang sesuai dengan
kebutuhan mereka.
Indikator lainnya adalah munculnya institusi sosial
dengan poros gerakan di luar Jakarta, contohnya adalah Jaringan Kesehatan
Perempuan Indonesia Timur, yang mencakup Kalimantan sampai Papua dan gerakan
perempuan di Aceh melalui Deuk Pakat Inong Aceh dan Balai Syura. Contoh lain
yang ditunjukkan oleh Ita F Nadia adalah Gerakan Perempuan Independen Sumatera
Utara, yang meliputi sektor pertanian dan sektor informal di wilayah perkotaan
maupun pedesaan. Lembaga-lembaga lokal ini berfungsi sebagai "poros
gerakan" karena menentukan agendanya sendiri yang berbeda dan terpisah
dari Jakarta. Kalaupun ada jaringan kerja sama, maka kelompok perempuan di
Jakarta hanya mempunyai posisi sebagai mitra kerja belaka. Kelompok-kelompok di
daerah ini menghadapi kendala yang besar, tapi telah membuktikan kegigihan
mereka dengan tetap maju setapak demi setapak. Sayangnya arena lokal adalah
arena yang "tidak terlihat" oleh media massa maupun pengamat gerakan
dari dalam dan luar negeri. Padahal menurut Kamala, justru dari gerakan-gerakan
lokal ini terbukti bahwa gerakan perempuan telah "mengakar" dalam
masyarakat.
GEJALA lain adalah perluasan basis sosial gerakan yang
meliputi komunitas agama, komunitas profesional, lapisan menengah bawah, dan
perempuan pekerja dari berbagai sektor, termasuk pertanian dan pertambangan.
Contohnya adalah Jaringan Perempuan Tambang yang muncul karena adanya kesadaran
bahwa perempuan mempunyai perspektif dan kepentingan yang berbeda di bidang
pertambangan dari kepentingan yang dominan.
Indikator lainnya adalah politisasi organisasi-organisasi
yang sebelumnya bersifat apolitis, seperti JASPPUK yang semula bergerak dalam
pemberdayaan ekonomi perempuan pengusaha kecil tetapi kini mulai mempersoalkan
bahwa peningkatan ekonomi tidak terpisah dari pemberdayaan hak politik
perempuan.
Di tingkat nasional kelompok perempuan memainkan peranan
penting dalam mengangkat isu kekerasan dan kemanusiaan yang berkaitan dengan
struktur yang ada. Untuk menghadapi kendala-kendala struktural seperti ini para
aktivis menyadari bahwa pilihan "politik perempuan" sebaiknya
bersifat terbuka terhadap keragaman strategi. Selain membuka ruang-ruang
alternatif, gerakan perempuan perlu juga bermain di dalam struktur politik yang
ada, sampai di tingkat basis. Advokasi di wilayah struktural mulai dirambah
oleh Koalisi Perempuan Indonesia untuk Keadilan dan Demokrasi, yang ketuanya,
Nursyahbani Katjasungkana, duduk di MPR. Selama satu tahun sejak bulan November
1999 berbagai LSM bekerja sama dengan Menteri Urusan Pemberdayaan Perempuan
untuk menghasilkan Rencana Aksi Nasional Penghapusan Kekerasan Terhadap
Perempuan. Salah satu contoh lain keberhasilan advokasi perempuan adalah
dikeluarkannya surat edaran dari Mahkamah Agung pada bulan Juni 2000 untuk
memberikan hukuman seberat-beratnya bagi pelaku perkosaan. Menyadari pentingnya
jalur hukum, Komnas Perempuan bekerja sama dengan LBH APIK dan Derap Warapsari
(sebuah LSM yang didirikan oleh para pensiunan Polwan) untuk membuat mekanisme
guna mendukung para penegak hukum dan sistem peradilan yang melakukan terobosan
dalam bidang mereka masing-masing untuk perempuan yang mengalami tindak
kekerasan. Salah satu contoh terobosan dilakukan seorang hakim di Cibinong, yang
mengizinkan pendamping menemani perempuan korban kekerasan selama jalannya
peradilan.
Di luar catatan-catatan yang menggembirakan ini, ada
sejumlah tantangan besar yang dihadapi gerakan perempuan Indonesia di awal abad
ke-21. Yang pertama adalah otonomi daerah dengan tatanan sosial, adat dan
budaya yang berbeda-beda sikapnya terhadap posisi perempuan. Apalagi aparat
birokrasi, bahkan di tingkat yang paling atas pun, masih dirasakan lemah
pemahamannya terhadap dimensi gender dalam proses demokratisasi.
Tantangan yang kedua, seperti dicatat oleh berbagai LSM,
adalah meningkatnya kekerasan terhadap perempuan dari kekerasan negara sampai
kekerasan di dalam rumah tangga. Jika kita membiarkan budaya kekerasan ini
dipadukan dengan kekerasan budaya melalui konservatisme dan primordialisme,
maka abad ke-21 bisa menjadi abad yang bukan saja kurang ramah terhadap
perempuan Indonesia, tetapi membahayakan kelangsungan hidup seluruh bangsanya.
Melani Budianta, pengajar di Fakultas Sastra Universitas
Indonesia.
Oleh: Melani Budianta
BAGAIMANA kita membayangkan gerakan perempuan di masa
lampau? Sejarah tidak banyak mencatat peranan perempuan. Padahal, di masa
revolusi gerakan perempuan sepenuhnya dikerahkan untuk mendukung agenda
nasionalis. Perempuan bekerja di dapur-dapur umum yang secara vital menentukan
ketahanan para gerilyawan. Mereka menyusup dan menyamar untuk menyelundupkan
informasi strategis, menjadi mata-mata, merawat pejuang yang luka. Tak kurang
perempuan yang mengangkat senjata.
Di masa Orde Baru, barangkali lebih mudah bagi kita
membayangkan posisi perempuan. Ada organisasi-organisasi seperti PKK yang
secara khusus mengarahkan peran perempuan untuk mendukung target-target
pembangunan. Termasuk di sini target KB yang menghitung kepatuhan tubuh
perempuan untuk dipasangi alat kontrasepsi secara statistik sebagai ukuran
suksesnya. Organisasi Kowani yang semula merupakan pejuang-pejuang pioner
isu-isu perempuan dibelokkan oleh negara untuk mendukung apa yang disebut Julia
Suryakusuma sebagai ideologi Ibuisme. Dalam era Orde Baru perempuan yang ideal
adalah yang mendukung karier suami, yang menjadi ibu dan pengurus rumah tangga
yang baik, yang melahirkan anak-anak bangsa. Kedudukannya sebagai warga negara
tidak mendapatkan prioritas utama. Membayangkan perempuan di masa Orde Baru
adalah membayangkan lukisan Kartini versi Dede Erie Suparia (Kartini yang
terperangkap di bawah alat pemanas rambut dan lipstik), atau perayaan-perayaan
Kartini yang penuh ritual dan lomba-lomba memasak.
Di masa Reformasi, kita tidak perlu membayang-bayangkan,
sebab masih terlalu dekat dalam benak kita bayang-bayang peristiwa Mei 1998 dan
berbagai kekerasan di Aceh, Timor Timur, Kalimantan, Ambon, Irian Jaya. Selama
tiga puluhan tahun kita tidak pernah diberi kesempatan untuk memikirkan bahwa
militerisme di balik pembangunan dan ibuisme dapat meledakkan begitu banyak
korban, terutama kaum perempuan. Dalam situasi konflik dan kekerasan yang
merebak di akhir abad ke-20 di Indonesia, tubuh perempuan telah menjadi arena
untuk menciptakan teror, menaklukkan atau menundukkan kelompok-kelompok yang
dicap sebagai "musuh."
Tetapi di saat yang sama, kita melihat munculnya suatu
arus gerakan perempuan yang menolak dan melawan kecenderungan menjadikan
perempuan sebagai korban. Di awal gerakan Reformasi, pada hari yang ditetapkan
sebagai Siaga I, sejumlah perempuan kelas menengah di Jakarta yang menamakan
diri mereka Suara Ibu Peduli menggemparkan media massa dan aparat dengan
"Politik Susu". Politik susu menggugat pemerintah dan kepedulian
masyarakat terhadap korban kebijakan yang berujung di krisis ekonomi, yakni
anak-anak dan perempuan. Bahasa "Ibu" berhasil menyentuh dan
menggerakkan masyarakat. Sehingga pada saat mahasiswa turun ke jalan, masyarakat
dari berbagai lapisan tergugah menyalurkan nasi bungkus, uang, obat-obatan dan
tenaga mereka, bukan sekadar sebagai tanda simpati tetapi juga sebagai bentuk
perlawanan terhadap penguasa.
Sejak itu pula kita melihat, bagaimana LSM perempuan,
yang selama Orde Baru bergerak di "bawah tanah" untuk melakukan
advokasi politis, seperti Kalyanamitra, dan aktivis-aktivis LSM lainnya yang
telah mengasah kemampuan mereka secara sembunyi-sembunyi di masa represi
tersebut, muncul ke permukaan. Dengan kemampuan membuat jaringan, para aktivis
ini menjadi tulang punggung kuat gerakan Reformasi yang berhasil menumbangkan
Soeharto. Insiden-insiden yang bertentangan dengan rasa kemanusiaan di
Semanggi, Trisakti, Ketapang yang bercorak militeristis menggugah mereka untuk
membuat kelompok-kelompok relawan kemanusiaan dengan misi dan target khusus
untuk merespons keadaan darurat.
Selain aktivis perempuan kawakan, muncul tokoh-tokoh yang
selama ini bergerak di lapangan akademis, seperti Karlina Leksono, dan
masyarakat awam yang selama ini merasa dirinya "apolitis." Gerakan
Suara Ibu Peduli, misalnya, yang berawal dari segelintir perempuan kelas
menengah atas, pada akhirnya melibatkan ribuan perempuan dari berbagai lapisan,
terutama lapisan menengah bawah. Para ibu yang tersebar di berbagai pelosok
perkampungan Kota Jakarta tersebut melakukan berbagai upaya untuk mengatasi
krisis ekonomi di lingkungannya masing-masing, termasuk menyalurkan beasiswa
untuk anak sekolah, membuat penjualan sembilan bahan pokok secara murah. Berawal
dari panggilan kemanusiaan dan kebutuhan untuk bertahan hidup melalui penjualan
susu murah, gerakan ini berujung pada penyadaran hak politik dan keterlibatan
masyarakat basis untuk memecahkan berbagai masalah sosial yang ada di
lingkungan mereka.
SALAH satu gerakan yang paling dahsyat muncul dari para
korban kekerasan itu sendiri, ibu-ibu yang kehilangan anak-anaknya, dan
perempuan yang mengalami kekerasan pada waktu kerusuhan atau menjadi korban
dalam Tragedi Semanggi, Trisakti, Aceh, Ambon, dan kekerasan lainnya. Seorang
ibu yang anaknya terbakar di sebuah mal di Bekasi kini tak henti-hentinya
bersaksi di mimbar-mimbar kemanusiaan dan mimbar prodemokrasi untuk
mengupayakan keadilan dan menghentikan kekerasan. Sejumlah korban kekerasan
domestik menjadi tulang punggung upaya pendampingan korban perkosaan di
berbagai tempat.
Pada awal tahun 2000, 400 perempuan di Aceh dari berbagai
pihak yang berseteru, yang secara kolektif mengalami paparan kekerasan komunal
secara terus-menerus memutuskan untuk berkumpul dan mencari jalan keluar
bersama. Di wilayah-wilayah konflik muncul gerakan lintas agama, suku, etnis,
kelompok yang diprakarsai perempuan. Ketika masyarakat terbelah dan pemimpin
lokal tak bisa duduk berunding lagi, Gerakan Perempuan Peduli di Ambon yang
terdiri dari perempuan Muslim, Protestan, Katolik, dengan risiko ancaman dari
kelompoknya sendiri, saling bergandengan tangan menyebarkan pamflet, mengobati
korban, dan mencari solusi damai.
Berdasarkan contoh-contoh di atas, Saparinah Sadli, Ketua
Komisi Nasional anti-Kekerasan terhadap Perempuan menyatakan bahwa saat ini
gerakan perempuan di Indonesia tengah memasuki babak ketiga dalam sejarah
perkembangannya. Dalam periode nasionalisme dan periode Orde Baru, kaum
perempuan berjuang untuk kepentingan bangsa atau negara, bahkan pada periode
yang terakhir tersebut, dikooptasi untuk kepentingan penguasa. Baru dalam dua
tiga tahun terakhir, menurut Saparinah Sadli, gerakan perempuan Indonesia mulai
berjuang dengan perspektif yang secara khusus menyuarakan kepentingan dan visi
perempuan.
Secara khusus visi khas perempuan disebut oleh Nunuk
Murniati sebagai "Politik Perempuan". Politik perempuan bersumber
dari pengalaman hidup perempuan sehari-hari, dan bertolak dari realitas sosial
yang ada itu kaum perempuan membuat strategi-strategi politis dan advokasi yang
menawarkan alternatif terhadap tatanan dan ideologi yang dominan. Di hadapan
politik kekerasan, perempuan menawarkan gerakan damai. Di hadapan politik
identitas dan primordialisme, perempuan mengajukan gerakan lintas kelompok, di
hadapan politik kekuasaan, perempuan menunjukkan bahwa pemberdayaan warga dari
bawah merupakan gerakan politik yang sangat penting. Di hadapan politik partai
yang kisruh, perempuan menekankan pendidikan masyarakat dengan perubahan yang
mungkin tak terlihat tapi mendasar.
Pemberdayaan dari bawah melalui partisipasi seluruh
warga, termasuk perempuan dan kaum marginal lainnya, menurut Ita F Nadia,
merupakan koreksi perempuan terhadap konsep demokratisasi dan masyarakat sipil yang
sempit, yakni yang menekankan proses kelembagaan formal saja.
Pilihan untuk tidak bermain di politik partai, menurut
Kamala Chandrakirana, merupakan suatu pilihan yang disadari karena
kelompok-kelompok perempuan melihat kelemahan politik partai dalam menegakkan
nilai-nilai moral dan etika politik. Tetapi sebagai konsekuensinya adalah
kurang terwakilinya perempuan di DPR, dan juga kurangnya liputan media yang
cenderung memusatkan perhatian pada politik formal.
Lagi pula, seperti diakui oleh Nunuk, "politik
perempuan" yang sedang dalam proses redefinisi oleh kaum perempuan itu,
sulit dipahami, dan banyak yang cenderung salah mengerti. Di lain sisi,
pihak-pihak yang menginginkan status quo kekuasaan, cenderung melihat gerakan
perempuan, dan gerakan demokratisasi lainnya, sebagai suatu ancaman.
Marginalisasi, dan tidak tampilnya "politik perempuan" di politik
formal menimbulkan kesan bahwa setelah hingar bingar Reformasi, gerakan
perempuan di Indonesia mulai menyurut. Ketika berbagai elite politik berlaga di
kancah politik formal di tingkatan nasional, dan berbagai isu bermunculan,
suara kaum perempuan hampir tidak terdengar. Kesan semacam ini seringkali
datang dari para aktivis perempuan sendiri, yang merasa gerakan perempuan saat
ini tidak jelas fokusnya. Sulitnya membuat fokus, menurut Saparinah Sadli,
terjadi karena masyarakat kita yang terlalu besar dan terlalu majemuk. Tetapi
di sisi lain kemajemukan itu sendiri juga menunjukkan ciri babak ketiga gerakan
perempuan di Indonesia, yakni periode pluralisasi gerakan.
Myra Diarsi mengemukakan pentingnya meletakkan kendala
gerakan perempuan dalam konteks sejarah maupun konteks struktural. Keberadaan
di antara 210 juta penduduk Indonesia yang plural seringkali membuat orang ragu
untuk mengambil sikap atau posisi karena sangat mudah untuk memecah belah
kelompok secara politis karena perbedaan nilai, misalnya nilai agama.
Perbedaan-perbedaan ini membuat gerakan perempuan rentan menghadapi politik
yang memecah belah. Selain itu, keberadaan lembaga-lembaga dana, menurut Myra
adalah suatu konteks historis yang berfungsi mendukung, tapi sekaligus juga
mempunyai potensi menjadi kendala. Lembaga dana menjadi kendala jika
menciptakan kecenderungan untuk menciptakan ketergantungan. Ketergantungan
dapat melemahkan gerakan masyarakat yang semula ditempa untuk mandiri, dan juga
menimbulkan kompetisi dan persaingan.
Selain itu, gerakan perempuan dihadapkan oleh masalah
yang merupakan akumulasi limbah kebijakan Orde Baru. Energi individu dan
kelompok yang mendukung Reformasi telah dikuras habis untuk menangani
korban-korban budaya kekerasan. Korban-korban terus berjatuhan, di kalangan
mahasiswa, di kalangan pengungsi, korban perkosaan, korban di wilayah konflik
di seluruh Indonesia.
Masalah sosial politik yang berskala besar yang melanda
seluruh Indonesia membuat kemajuan gerakan perempuan seakan-akan tidak berarti.
Krisis ekonomi yang sedemikian buruk telah menghabiskan energi perempuan untuk
sekadar bertahan hidup atau membantu keluarga, dan masyarakat lingkungannya untuk
bertahan. Nyaris tidak tersisa energi untuk melihat permasalahan ekonomi dalam
tingkatan makro, sedangkan para pakar ekonomi tidak punya kesadaran bahwa
ekonomi di Indonesia bertumpu pada penghasilan perempuan. Mendukung pendapat
Myra, Kamala Chandrakirana mengemukakan bahwa lapisan kecil komunitas
prodemokrasi, yang mencakup gerakan perempuan, telah dibebani oleh berbagai
macam permasalahan yang melebar ke segala penjuru. Kondisi demikian tidak
memungkinkan dipilihnya satu fokus gerakan.
Walaupun demikian, Kamala menunjukkan pentingya aliansi
yang telah dilakukan oleh gerakan perempuan dengan gerakan prodemokrasi
lainnya, seperti gerakan buruh, lingkungan, gerakan lintas agama, dan
lain-lainnya. Aliansi-aliansi strategis ini bersifat sementara, dan dipakai
untuk menghadapi satu isu penting bersama-sama, dan setelah itu masing-masing
berjalan lagi sendiri. Aliansi sementara semacam ini merupakan suatu alat
politik yang strategis. Dengan memakai aliansi sementara sebagai alat politik,
perempuan dari kelompok yang berseberangan atau berbeda bisa duduk bersama
untuk mencapai satu tujuan. Salah satu contoh aliansi adalah Komisi Perempuan
Untuk Demokrasi di Surabaya yang menggabungkan perempuan aktivis dari berbagai
kelompok, termasuk kelompok buruh dan kelompok kemanusiaan.
Selain munculnya aliansi-aliansi strategis tersebut,
Kamala menunjukkan sejumlah gejala lain yang menunjukkan bagaimana gerakan
perempuan mulai mengakar di Indonesia. Yang pertama adalah munculnya
institusi-institusi baru yang belum pernah ada sebelumnya. Sebagai contoh
adalah pusat-pusat penanganan krisis untuk perempuan, yang saat ini telah
didirikan oleh Fatayat NU sebanyak 27 buah di tingkat kabupaten. Komisi
Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan itu sendiri merupakan sebuah lembaga
baru yang bukan LSM dan bukan pemerintah. Komisi ini bersifat independen dan
mempunyai mekanisme yang bersifat nasional, mencakup elemen-elemen masyarakat
di tingkat basis maupun unsur LSM dan pemerintah. Bentukan unik ini merupakan
suatu contoh bagaimana perempuan mencari bentuk organisasi yang sesuai dengan
kebutuhan mereka.
Indikator lainnya adalah munculnya institusi sosial
dengan poros gerakan di luar Jakarta, contohnya adalah Jaringan Kesehatan
Perempuan Indonesia Timur, yang mencakup Kalimantan sampai Papua dan gerakan
perempuan di Aceh melalui Deuk Pakat Inong Aceh dan Balai Syura. Contoh lain
yang ditunjukkan oleh Ita F Nadia adalah Gerakan Perempuan Independen Sumatera
Utara, yang meliputi sektor pertanian dan sektor informal di wilayah perkotaan
maupun pedesaan. Lembaga-lembaga lokal ini berfungsi sebagai "poros
gerakan" karena menentukan agendanya sendiri yang berbeda dan terpisah
dari Jakarta. Kalaupun ada jaringan kerja sama, maka kelompok perempuan di
Jakarta hanya mempunyai posisi sebagai mitra kerja belaka. Kelompok-kelompok di
daerah ini menghadapi kendala yang besar, tapi telah membuktikan kegigihan
mereka dengan tetap maju setapak demi setapak. Sayangnya arena lokal adalah
arena yang "tidak terlihat" oleh media massa maupun pengamat gerakan
dari dalam dan luar negeri. Padahal menurut Kamala, justru dari gerakan-gerakan
lokal ini terbukti bahwa gerakan perempuan telah "mengakar" dalam
masyarakat.
GEJALA lain adalah perluasan basis sosial gerakan yang
meliputi komunitas agama, komunitas profesional, lapisan menengah bawah, dan
perempuan pekerja dari berbagai sektor, termasuk pertanian dan pertambangan.
Contohnya adalah Jaringan Perempuan Tambang yang muncul karena adanya kesadaran
bahwa perempuan mempunyai perspektif dan kepentingan yang berbeda di bidang
pertambangan dari kepentingan yang dominan.
Indikator lainnya adalah politisasi organisasi-organisasi
yang sebelumnya bersifat apolitis, seperti JASPPUK yang semula bergerak dalam
pemberdayaan ekonomi perempuan pengusaha kecil tetapi kini mulai mempersoalkan
bahwa peningkatan ekonomi tidak terpisah dari pemberdayaan hak politik
perempuan.
Di tingkat nasional kelompok perempuan memainkan peranan
penting dalam mengangkat isu kekerasan dan kemanusiaan yang berkaitan dengan
struktur yang ada. Untuk menghadapi kendala-kendala struktural seperti ini para
aktivis menyadari bahwa pilihan "politik perempuan" sebaiknya
bersifat terbuka terhadap keragaman strategi. Selain membuka ruang-ruang
alternatif, gerakan perempuan perlu juga bermain di dalam struktur politik yang
ada, sampai di tingkat basis. Advokasi di wilayah struktural mulai dirambah
oleh Koalisi Perempuan Indonesia untuk Keadilan dan Demokrasi, yang ketuanya,
Nursyahbani Katjasungkana, duduk di MPR. Selama satu tahun sejak bulan November
1999 berbagai LSM bekerja sama dengan Menteri Urusan Pemberdayaan Perempuan
untuk menghasilkan Rencana Aksi Nasional Penghapusan Kekerasan Terhadap
Perempuan. Salah satu contoh lain keberhasilan advokasi perempuan adalah
dikeluarkannya surat edaran dari Mahkamah Agung pada bulan Juni 2000 untuk
memberikan hukuman seberat-beratnya bagi pelaku perkosaan. Menyadari pentingnya
jalur hukum, Komnas Perempuan bekerja sama dengan LBH APIK dan Derap Warapsari
(sebuah LSM yang didirikan oleh para pensiunan Polwan) untuk membuat mekanisme
guna mendukung para penegak hukum dan sistem peradilan yang melakukan terobosan
dalam bidang mereka masing-masing untuk perempuan yang mengalami tindak
kekerasan. Salah satu contoh terobosan dilakukan seorang hakim di Cibinong, yang
mengizinkan pendamping menemani perempuan korban kekerasan selama jalannya
peradilan.
Di luar catatan-catatan yang menggembirakan ini, ada
sejumlah tantangan besar yang dihadapi gerakan perempuan Indonesia di awal abad
ke-21. Yang pertama adalah otonomi daerah dengan tatanan sosial, adat dan
budaya yang berbeda-beda sikapnya terhadap posisi perempuan. Apalagi aparat
birokrasi, bahkan di tingkat yang paling atas pun, masih dirasakan lemah
pemahamannya terhadap dimensi gender dalam proses demokratisasi.
Tantangan yang kedua, seperti dicatat oleh berbagai LSM,
adalah meningkatnya kekerasan terhadap perempuan dari kekerasan negara sampai
kekerasan di dalam rumah tangga. Jika kita membiarkan budaya kekerasan ini
dipadukan dengan kekerasan budaya melalui konservatisme dan primordialisme,
maka abad ke-21 bisa menjadi abad yang bukan saja kurang ramah terhadap
perempuan Indonesia, tetapi membahayakan kelangsungan hidup seluruh bangsanya.
Melani Budianta, pengajar di Fakultas Sastra Universitas
Indonesia.
Tue Aug 01, 2023 9:56 pm by wisatasemarang
» Portable STATA 18 Crack Full Version
Thu May 11, 2023 5:24 pm by wisatasemarang
» NVivo 12 Crack Full version
Mon Jan 30, 2023 11:16 am by wisatasemarang
» Tutorial Difference In difference (DID (Diff-in-Diff) With Eviews 13
Thu Nov 03, 2022 6:24 am by wisatasemarang
» Online Workshop Smart PLS Minggu, 01 Oktober 2022
Sat Sep 17, 2022 11:35 am by wisatasemarang
» kumpulan ebook tentang robot
Fri Jan 02, 2015 10:04 pm by kyuru
» MANTRA PELET
Wed May 16, 2012 3:31 am by orlandojack
» book love of spell
Sat Mar 24, 2012 8:08 pm by rifqi as
» attraction Formula
Sat Mar 24, 2012 7:09 pm by rifqi as