Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

ingin bergabung dengan elrakyat.tk klik pendaftaran. jika anda sudah pernah mendaftar silakan login. jangan lupa ajak kawan-kawanmu ke mari , dan jadilah top poster di forum kita

Join the forum, it's quick and easy

Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

ingin bergabung dengan elrakyat.tk klik pendaftaran. jika anda sudah pernah mendaftar silakan login. jangan lupa ajak kawan-kawanmu ke mari , dan jadilah top poster di forum kita

Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

Would you like to react to this message? Create an account in a few clicks or log in to continue.
Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

salah satu forum terbesar tempat kita bernostalgia

Login

Lupa password?

Our traffic

info rakyat

Sun Oct 31, 2010 9:05 pm by admin

---------------
PEMBERITAHUAN....

SF ZONA RELIGI SEKARANG KAMI PINDAH KE [You must be registered and logged in to see this link.] ANDA BISA BERPARTISIPASI DAN MENJADI MODERATOR SESUAI PERMINTAAN ANDA DENGAN REQUEST VIA SMS NO ADMIN 081945520865


Sekilas Info

Sun Jun 27, 2010 2:44 pm by admin

kabar gembira, forum lentera-rakyat mulai hari ini juga bisa diakses melalui [You must be registered and logged in to see this link.]


    transformasi gerakan feminis indonesia

    ratri
    ratri
    Mega Ultimate Member


    Zodiac : Virgo Jumlah posting : 281
    Join date : 01.04.10
    Age : 37
    Lokasi : di hati si admin

    transformasi gerakan feminis indonesia Empty transformasi gerakan feminis indonesia

    Post by ratri Fri Jun 18, 2010 8:57 pm

    Transformasi Gerakan Perempuan di Indonesia


    Oleh: Melani Budianta





    BAGAIMANA kita membayangkan gerakan perempuan di masa
    lampau? Sejarah tidak banyak mencatat peranan perempuan. Padahal, di masa
    revolusi gerakan perempuan sepenuhnya dikerahkan untuk mendukung agenda
    nasionalis. Perempuan bekerja di dapur-dapur umum yang secara vital menentukan
    ketahanan para gerilyawan. Mereka menyusup dan menyamar untuk menyelundupkan
    informasi strategis, menjadi mata-mata, merawat pejuang yang luka. Tak kurang
    perempuan yang mengangkat senjata.





    Di masa Orde Baru, barangkali lebih mudah bagi kita
    membayangkan posisi perempuan. Ada organisasi-organisasi seperti PKK yang
    secara khusus mengarahkan peran perempuan untuk mendukung target-target
    pembangunan. Termasuk di sini target KB yang menghitung kepatuhan tubuh
    perempuan untuk dipasangi alat kontrasepsi secara statistik sebagai ukuran
    suksesnya. Organisasi Kowani yang semula merupakan pejuang-pejuang pioner
    isu-isu perempuan dibelokkan oleh negara untuk mendukung apa yang disebut Julia
    Suryakusuma sebagai ideologi Ibuisme. Dalam era Orde Baru perempuan yang ideal
    adalah yang mendukung karier suami, yang menjadi ibu dan pengurus rumah tangga
    yang baik, yang melahirkan anak-anak bangsa. Kedudukannya sebagai warga negara
    tidak mendapatkan prioritas utama. Membayangkan perempuan di masa Orde Baru
    adalah membayangkan lukisan Kartini versi Dede Erie Suparia (Kartini yang
    terperangkap di bawah alat pemanas rambut dan lipstik), atau perayaan-perayaan
    Kartini yang penuh ritual dan lomba-lomba memasak.





    Di masa Reformasi, kita tidak perlu membayang-bayangkan,
    sebab masih terlalu dekat dalam benak kita bayang-bayang peristiwa Mei 1998 dan
    berbagai kekerasan di Aceh, Timor Timur, Kalimantan, Ambon, Irian Jaya. Selama
    tiga puluhan tahun kita tidak pernah diberi kesempatan untuk memikirkan bahwa
    militerisme di balik pembangunan dan ibuisme dapat meledakkan begitu banyak
    korban, terutama kaum perempuan. Dalam situasi konflik dan kekerasan yang
    merebak di akhir abad ke-20 di Indonesia, tubuh perempuan telah menjadi arena
    untuk menciptakan teror, menaklukkan atau menundukkan kelompok-kelompok yang
    dicap sebagai "musuh."





    Tetapi di saat yang sama, kita melihat munculnya suatu
    arus gerakan perempuan yang menolak dan melawan kecenderungan menjadikan
    perempuan sebagai korban. Di awal gerakan Reformasi, pada hari yang ditetapkan
    sebagai Siaga I, sejumlah perempuan kelas menengah di Jakarta yang menamakan
    diri mereka Suara Ibu Peduli menggemparkan media massa dan aparat dengan
    "Politik Susu". Politik susu menggugat pemerintah dan kepedulian
    masyarakat terhadap korban kebijakan yang berujung di krisis ekonomi, yakni
    anak-anak dan perempuan. Bahasa "Ibu" berhasil menyentuh dan
    menggerakkan masyarakat. Sehingga pada saat mahasiswa turun ke jalan, masyarakat
    dari berbagai lapisan tergugah menyalurkan nasi bungkus, uang, obat-obatan dan
    tenaga mereka, bukan sekadar sebagai tanda simpati tetapi juga sebagai bentuk
    perlawanan terhadap penguasa.





    Sejak itu pula kita melihat, bagaimana LSM perempuan,
    yang selama Orde Baru bergerak di "bawah tanah" untuk melakukan
    advokasi politis, seperti Kalyanamitra, dan aktivis-aktivis LSM lainnya yang
    telah mengasah kemampuan mereka secara sembunyi-sembunyi di masa represi
    tersebut, muncul ke permukaan. Dengan kemampuan membuat jaringan, para aktivis
    ini menjadi tulang punggung kuat gerakan Reformasi yang berhasil menumbangkan
    Soeharto. Insiden-insiden yang bertentangan dengan rasa kemanusiaan di
    Semanggi, Trisakti, Ketapang yang bercorak militeristis menggugah mereka untuk
    membuat kelompok-kelompok relawan kemanusiaan dengan misi dan target khusus
    untuk merespons keadaan darurat.





    Selain aktivis perempuan kawakan, muncul tokoh-tokoh yang
    selama ini bergerak di lapangan akademis, seperti Karlina Leksono, dan
    masyarakat awam yang selama ini merasa dirinya "apolitis." Gerakan
    Suara Ibu Peduli, misalnya, yang berawal dari segelintir perempuan kelas
    menengah atas, pada akhirnya melibatkan ribuan perempuan dari berbagai lapisan,
    terutama lapisan menengah bawah. Para ibu yang tersebar di berbagai pelosok
    perkampungan Kota Jakarta tersebut melakukan berbagai upaya untuk mengatasi
    krisis ekonomi di lingkungannya masing-masing, termasuk menyalurkan beasiswa
    untuk anak sekolah, membuat penjualan sembilan bahan pokok secara murah. Berawal
    dari panggilan kemanusiaan dan kebutuhan untuk bertahan hidup melalui penjualan
    susu murah, gerakan ini berujung pada penyadaran hak politik dan keterlibatan
    masyarakat basis untuk memecahkan berbagai masalah sosial yang ada di
    lingkungan mereka.





    SALAH satu gerakan yang paling dahsyat muncul dari para
    korban kekerasan itu sendiri, ibu-ibu yang kehilangan anak-anaknya, dan
    perempuan yang mengalami kekerasan pada waktu kerusuhan atau menjadi korban
    dalam Tragedi Semanggi, Trisakti, Aceh, Ambon, dan kekerasan lainnya. Seorang
    ibu yang anaknya terbakar di sebuah mal di Bekasi kini tak henti-hentinya
    bersaksi di mimbar-mimbar kemanusiaan dan mimbar prodemokrasi untuk
    mengupayakan keadilan dan menghentikan kekerasan. Sejumlah korban kekerasan
    domestik menjadi tulang punggung upaya pendampingan korban perkosaan di
    berbagai tempat.





    Pada awal tahun 2000, 400 perempuan di Aceh dari berbagai
    pihak yang berseteru, yang secara kolektif mengalami paparan kekerasan komunal
    secara terus-menerus memutuskan untuk berkumpul dan mencari jalan keluar
    bersama. Di wilayah-wilayah konflik muncul gerakan lintas agama, suku, etnis,
    kelompok yang diprakarsai perempuan. Ketika masyarakat terbelah dan pemimpin
    lokal tak bisa duduk berunding lagi, Gerakan Perempuan Peduli di Ambon yang
    terdiri dari perempuan Muslim, Protestan, Katolik, dengan risiko ancaman dari
    kelompoknya sendiri, saling bergandengan tangan menyebarkan pamflet, mengobati
    korban, dan mencari solusi damai.





    Berdasarkan contoh-contoh di atas, Saparinah Sadli, Ketua
    Komisi Nasional anti-Kekerasan terhadap Perempuan menyatakan bahwa saat ini
    gerakan perempuan di Indonesia tengah memasuki babak ketiga dalam sejarah
    perkembangannya. Dalam periode nasionalisme dan periode Orde Baru, kaum
    perempuan berjuang untuk kepentingan bangsa atau negara, bahkan pada periode
    yang terakhir tersebut, dikooptasi untuk kepentingan penguasa. Baru dalam dua
    tiga tahun terakhir, menurut Saparinah Sadli, gerakan perempuan Indonesia mulai
    berjuang dengan perspektif yang secara khusus menyuarakan kepentingan dan visi
    perempuan.





    Secara khusus visi khas perempuan disebut oleh Nunuk
    Murniati sebagai "Politik Perempuan". Politik perempuan bersumber
    dari pengalaman hidup perempuan sehari-hari, dan bertolak dari realitas sosial
    yang ada itu kaum perempuan membuat strategi-strategi politis dan advokasi yang
    menawarkan alternatif terhadap tatanan dan ideologi yang dominan. Di hadapan
    politik kekerasan, perempuan menawarkan gerakan damai. Di hadapan politik
    identitas dan primordialisme, perempuan mengajukan gerakan lintas kelompok, di
    hadapan politik kekuasaan, perempuan menunjukkan bahwa pemberdayaan warga dari
    bawah merupakan gerakan politik yang sangat penting. Di hadapan politik partai
    yang kisruh, perempuan menekankan pendidikan masyarakat dengan perubahan yang
    mungkin tak terlihat tapi mendasar.





    Pemberdayaan dari bawah melalui partisipasi seluruh
    warga, termasuk perempuan dan kaum marginal lainnya, menurut Ita F Nadia,
    merupakan koreksi perempuan terhadap konsep demokratisasi dan masyarakat sipil yang
    sempit, yakni yang menekankan proses kelembagaan formal saja.





    Pilihan untuk tidak bermain di politik partai, menurut
    Kamala Chandrakirana, merupakan suatu pilihan yang disadari karena
    kelompok-kelompok perempuan melihat kelemahan politik partai dalam menegakkan
    nilai-nilai moral dan etika politik. Tetapi sebagai konsekuensinya adalah
    kurang terwakilinya perempuan di DPR, dan juga kurangnya liputan media yang
    cenderung memusatkan perhatian pada politik formal.





    Lagi pula, seperti diakui oleh Nunuk, "politik
    perempuan" yang sedang dalam proses redefinisi oleh kaum perempuan itu,
    sulit dipahami, dan banyak yang cenderung salah mengerti. Di lain sisi,
    pihak-pihak yang menginginkan status quo kekuasaan, cenderung melihat gerakan
    perempuan, dan gerakan demokratisasi lainnya, sebagai suatu ancaman.
    Marginalisasi, dan tidak tampilnya "politik perempuan" di politik
    formal menimbulkan kesan bahwa setelah hingar bingar Reformasi, gerakan
    perempuan di Indonesia mulai menyurut. Ketika berbagai elite politik berlaga di
    kancah politik formal di tingkatan nasional, dan berbagai isu bermunculan,
    suara kaum perempuan hampir tidak terdengar. Kesan semacam ini seringkali
    datang dari para aktivis perempuan sendiri, yang merasa gerakan perempuan saat
    ini tidak jelas fokusnya. Sulitnya membuat fokus, menurut Saparinah Sadli,
    terjadi karena masyarakat kita yang terlalu besar dan terlalu majemuk. Tetapi
    di sisi lain kemajemukan itu sendiri juga menunjukkan ciri babak ketiga gerakan
    perempuan di Indonesia, yakni periode pluralisasi gerakan.





    Myra Diarsi mengemukakan pentingnya meletakkan kendala
    gerakan perempuan dalam konteks sejarah maupun konteks struktural. Keberadaan
    di antara 210 juta penduduk Indonesia yang plural seringkali membuat orang ragu
    untuk mengambil sikap atau posisi karena sangat mudah untuk memecah belah
    kelompok secara politis karena perbedaan nilai, misalnya nilai agama.
    Perbedaan-perbedaan ini membuat gerakan perempuan rentan menghadapi politik
    yang memecah belah. Selain itu, keberadaan lembaga-lembaga dana, menurut Myra
    adalah suatu konteks historis yang berfungsi mendukung, tapi sekaligus juga
    mempunyai potensi menjadi kendala. Lembaga dana menjadi kendala jika
    menciptakan kecenderungan untuk menciptakan ketergantungan. Ketergantungan
    dapat melemahkan gerakan masyarakat yang semula ditempa untuk mandiri, dan juga
    menimbulkan kompetisi dan persaingan.





    Selain itu, gerakan perempuan dihadapkan oleh masalah
    yang merupakan akumulasi limbah kebijakan Orde Baru. Energi individu dan
    kelompok yang mendukung Reformasi telah dikuras habis untuk menangani
    korban-korban budaya kekerasan. Korban-korban terus berjatuhan, di kalangan
    mahasiswa, di kalangan pengungsi, korban perkosaan, korban di wilayah konflik
    di seluruh Indonesia.





    Masalah sosial politik yang berskala besar yang melanda
    seluruh Indonesia membuat kemajuan gerakan perempuan seakan-akan tidak berarti.
    Krisis ekonomi yang sedemikian buruk telah menghabiskan energi perempuan untuk
    sekadar bertahan hidup atau membantu keluarga, dan masyarakat lingkungannya untuk
    bertahan. Nyaris tidak tersisa energi untuk melihat permasalahan ekonomi dalam
    tingkatan makro, sedangkan para pakar ekonomi tidak punya kesadaran bahwa
    ekonomi di Indonesia bertumpu pada penghasilan perempuan. Mendukung pendapat
    Myra, Kamala Chandrakirana mengemukakan bahwa lapisan kecil komunitas
    prodemokrasi, yang mencakup gerakan perempuan, telah dibebani oleh berbagai
    macam permasalahan yang melebar ke segala penjuru. Kondisi demikian tidak
    memungkinkan dipilihnya satu fokus gerakan.





    Walaupun demikian, Kamala menunjukkan pentingya aliansi
    yang telah dilakukan oleh gerakan perempuan dengan gerakan prodemokrasi
    lainnya, seperti gerakan buruh, lingkungan, gerakan lintas agama, dan
    lain-lainnya. Aliansi-aliansi strategis ini bersifat sementara, dan dipakai
    untuk menghadapi satu isu penting bersama-sama, dan setelah itu masing-masing
    berjalan lagi sendiri. Aliansi sementara semacam ini merupakan suatu alat
    politik yang strategis. Dengan memakai aliansi sementara sebagai alat politik,
    perempuan dari kelompok yang berseberangan atau berbeda bisa duduk bersama
    untuk mencapai satu tujuan. Salah satu contoh aliansi adalah Komisi Perempuan
    Untuk Demokrasi di Surabaya yang menggabungkan perempuan aktivis dari berbagai
    kelompok, termasuk kelompok buruh dan kelompok kemanusiaan.





    Selain munculnya aliansi-aliansi strategis tersebut,
    Kamala menunjukkan sejumlah gejala lain yang menunjukkan bagaimana gerakan
    perempuan mulai mengakar di Indonesia. Yang pertama adalah munculnya
    institusi-institusi baru yang belum pernah ada sebelumnya. Sebagai contoh
    adalah pusat-pusat penanganan krisis untuk perempuan, yang saat ini telah
    didirikan oleh Fatayat NU sebanyak 27 buah di tingkat kabupaten. Komisi
    Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan itu sendiri merupakan sebuah lembaga
    baru yang bukan LSM dan bukan pemerintah. Komisi ini bersifat independen dan
    mempunyai mekanisme yang bersifat nasional, mencakup elemen-elemen masyarakat
    di tingkat basis maupun unsur LSM dan pemerintah. Bentukan unik ini merupakan
    suatu contoh bagaimana perempuan mencari bentuk organisasi yang sesuai dengan
    kebutuhan mereka.





    Indikator lainnya adalah munculnya institusi sosial
    dengan poros gerakan di luar Jakarta, contohnya adalah Jaringan Kesehatan
    Perempuan Indonesia Timur, yang mencakup Kalimantan sampai Papua dan gerakan
    perempuan di Aceh melalui Deuk Pakat Inong Aceh dan Balai Syura. Contoh lain
    yang ditunjukkan oleh Ita F Nadia adalah Gerakan Perempuan Independen Sumatera
    Utara, yang meliputi sektor pertanian dan sektor informal di wilayah perkotaan
    maupun pedesaan. Lembaga-lembaga lokal ini berfungsi sebagai "poros
    gerakan" karena menentukan agendanya sendiri yang berbeda dan terpisah
    dari Jakarta. Kalaupun ada jaringan kerja sama, maka kelompok perempuan di
    Jakarta hanya mempunyai posisi sebagai mitra kerja belaka. Kelompok-kelompok di
    daerah ini menghadapi kendala yang besar, tapi telah membuktikan kegigihan
    mereka dengan tetap maju setapak demi setapak. Sayangnya arena lokal adalah
    arena yang "tidak terlihat" oleh media massa maupun pengamat gerakan
    dari dalam dan luar negeri. Padahal menurut Kamala, justru dari gerakan-gerakan
    lokal ini terbukti bahwa gerakan perempuan telah "mengakar" dalam
    masyarakat.





    GEJALA lain adalah perluasan basis sosial gerakan yang
    meliputi komunitas agama, komunitas profesional, lapisan menengah bawah, dan
    perempuan pekerja dari berbagai sektor, termasuk pertanian dan pertambangan.
    Contohnya adalah Jaringan Perempuan Tambang yang muncul karena adanya kesadaran
    bahwa perempuan mempunyai perspektif dan kepentingan yang berbeda di bidang
    pertambangan dari kepentingan yang dominan.





    Indikator lainnya adalah politisasi organisasi-organisasi
    yang sebelumnya bersifat apolitis, seperti JASPPUK yang semula bergerak dalam
    pemberdayaan ekonomi perempuan pengusaha kecil tetapi kini mulai mempersoalkan
    bahwa peningkatan ekonomi tidak terpisah dari pemberdayaan hak politik
    perempuan.





    Di tingkat nasional kelompok perempuan memainkan peranan
    penting dalam mengangkat isu kekerasan dan kemanusiaan yang berkaitan dengan
    struktur yang ada. Untuk menghadapi kendala-kendala struktural seperti ini para
    aktivis menyadari bahwa pilihan "politik perempuan" sebaiknya
    bersifat terbuka terhadap keragaman strategi. Selain membuka ruang-ruang
    alternatif, gerakan perempuan perlu juga bermain di dalam struktur politik yang
    ada, sampai di tingkat basis. Advokasi di wilayah struktural mulai dirambah
    oleh Koalisi Perempuan Indonesia untuk Keadilan dan Demokrasi, yang ketuanya,
    Nursyahbani Katjasungkana, duduk di MPR. Selama satu tahun sejak bulan November
    1999 berbagai LSM bekerja sama dengan Menteri Urusan Pemberdayaan Perempuan
    untuk menghasilkan Rencana Aksi Nasional Penghapusan Kekerasan Terhadap
    Perempuan. Salah satu contoh lain keberhasilan advokasi perempuan adalah
    dikeluarkannya surat edaran dari Mahkamah Agung pada bulan Juni 2000 untuk
    memberikan hukuman seberat-beratnya bagi pelaku perkosaan. Menyadari pentingnya
    jalur hukum, Komnas Perempuan bekerja sama dengan LBH APIK dan Derap Warapsari
    (sebuah LSM yang didirikan oleh para pensiunan Polwan) untuk membuat mekanisme
    guna mendukung para penegak hukum dan sistem peradilan yang melakukan terobosan
    dalam bidang mereka masing-masing untuk perempuan yang mengalami tindak
    kekerasan. Salah satu contoh terobosan dilakukan seorang hakim di Cibinong, yang
    mengizinkan pendamping menemani perempuan korban kekerasan selama jalannya
    peradilan.





    Di luar catatan-catatan yang menggembirakan ini, ada
    sejumlah tantangan besar yang dihadapi gerakan perempuan Indonesia di awal abad
    ke-21. Yang pertama adalah otonomi daerah dengan tatanan sosial, adat dan
    budaya yang berbeda-beda sikapnya terhadap posisi perempuan. Apalagi aparat
    birokrasi, bahkan di tingkat yang paling atas pun, masih dirasakan lemah
    pemahamannya terhadap dimensi gender dalam proses demokratisasi.





    Tantangan yang kedua, seperti dicatat oleh berbagai LSM,
    adalah meningkatnya kekerasan terhadap perempuan dari kekerasan negara sampai
    kekerasan di dalam rumah tangga. Jika kita membiarkan budaya kekerasan ini
    dipadukan dengan kekerasan budaya melalui konservatisme dan primordialisme,
    maka abad ke-21 bisa menjadi abad yang bukan saja kurang ramah terhadap
    perempuan Indonesia, tetapi membahayakan kelangsungan hidup seluruh bangsanya.





    Melani Budianta, pengajar di Fakultas Sastra Universitas
    Indonesia.

      Waktu sekarang Fri Nov 22, 2024 4:17 pm