Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

ingin bergabung dengan elrakyat.tk klik pendaftaran. jika anda sudah pernah mendaftar silakan login. jangan lupa ajak kawan-kawanmu ke mari , dan jadilah top poster di forum kita

Join the forum, it's quick and easy

Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

ingin bergabung dengan elrakyat.tk klik pendaftaran. jika anda sudah pernah mendaftar silakan login. jangan lupa ajak kawan-kawanmu ke mari , dan jadilah top poster di forum kita

Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

Would you like to react to this message? Create an account in a few clicks or log in to continue.
Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

salah satu forum terbesar tempat kita bernostalgia

Login

Lupa password?

Our traffic

info rakyat

Sun Oct 31, 2010 9:05 pm by admin

---------------
PEMBERITAHUAN....

SF ZONA RELIGI SEKARANG KAMI PINDAH KE [You must be registered and logged in to see this link.] ANDA BISA BERPARTISIPASI DAN MENJADI MODERATOR SESUAI PERMINTAAN ANDA DENGAN REQUEST VIA SMS NO ADMIN 081945520865


Sekilas Info

Sun Jun 27, 2010 2:44 pm by admin

kabar gembira, forum lentera-rakyat mulai hari ini juga bisa diakses melalui [You must be registered and logged in to see this link.]


    denting kasih senja hari

    sumanto
    sumanto
    Mega Ultimate Member


    Zodiac : Libra Jumlah posting : 123
    Join date : 03.07.10
    Age : 58
    Lokasi : di belakangmu

    denting kasih senja hari Empty denting kasih senja hari

    Post by sumanto Tue Aug 10, 2010 1:09 pm

    Denting
    Kasih Senja Hari




    Aku bosan.



    Capek.
    Lelah.
    Ingin Muntah!



    Dan segala rasa itu yang membuatku
    akhirnya kabur dari rumah. Cuma membawa jaket dan motorku.
    Aku bahkan menepis tangan Mbok Yati, wanita separo baya yang telah mengabdikan
    dirinya kepada kami, orang serumah. Yang kasihnya lebih banyak kurasakan
    daripada belaian tangan mamaku sendiri. Atau tatapan hangat yang tak pernah
    dari mata lelaki yang kusebut Papa.



    Bagiku … mereka berdua orang-orang yang
    tak punya hati. Atau mungkin punya, tetapi telah mati!? Dan omongan mereka?
    Kuanggap sebagai omongan orang mati yang tak punya nilai. Tak tahukah mereka
    orang mati itu tak bicara? Jadi…aku pergi, dengan mulut terkunci. Karena,
    kecuali Mbok Yati, tidak ada orang dirumah yang cukup pantas kupamiti.



    Sepanjang jalan kularikan motor dengan
    kecepatan tinggi. Rambut bahuku berkibar ditiup angin. Aku terus memacu
    kendaraanku. Bagai tak punya titik henti. Membawa hatiku yang setengahnya telah
    ikut mati.



    Lampu-lampu jalanan yang indah, angin
    malam yang bertiup, hawa dingin yang kurasakan, pemandangan Jakarta di waktu
    malam sama sekali tak mengusik nuansa keindahan di hatiku. Rasa marah yang
    sangat, membuatku menggila. Kularikan motor lebih kencang.



    Dimataku terbayang pengkhianatan Mama dan
    perselingkuhan Papa! Betapa mereka telah kehilangan malu. Betapa keduanya telah
    membawa keluarga kami pada kehancuran!



    Hatiku terasa kian panas. Motor terus
    kularikan kencang. Aku baru berhenti ketika selintas aku merasa telah menabrak
    sesuatu. Kuparkirkan motor kepinggir jalan.



    Benar saja, sepuluh meter di belakangku,
    seorang bocah lelaki berusia sekitar delapan tahunan tampak tergeletak di
    jalan, penuh darah.



    Tuhanku!?
    Wajah anak itu pucat.



    ***


    Lorong rumah sakit tampak lengang. Hanya
    satu dua perawat lalu-lalang. Dan di sekitarku tampak sepi. Fuiiih! Aku
    menarik napas panjang. Mudah-mudahan anak itu tidak apa-apa.



    Aku masih tidak mengerti, bagaimana anak
    kecil itu bisa menyeberang jalan tanpa terlihat olehku. Atau …. Saat itu aku
    terlalu sibuk dengan kebencian yang meluap-luap dan tak melihat jalan dengan
    jelas? Lagi pula, apa yang dilakukan anak sekecil itu di jalan malam-malam
    begini?



    Jujur, tadinya aku akan melarikan diri
    pada saat itu juga, mumpung tidak ada orang. Papa dan Mama selama ini tak
    pernah mengajariku arti nurani, dan hal-hal yang berbau kemanusiaan. Namun,
    entahlah, saat melihat mata bening bocah lelaki yang menyiratkan kesakitan itu,
    ada sesuatu yang menyelusupi batinku. Gabungan antara rasa iba dan bersalah.
    Nuranikah itu? Aku tak tahu. Akan tetapi, bisa dipastikan, hal itulah yang
    membuatku membawanya ke rumah sakit terdekat.



    Kulihat dokter yang memeriksa anak itu
    sudah keluar dari ruangan darurat. "Bagaiman, Dok?"



    "Anda siapa?"


    Pertanyaan dokter itu membuatku terdiam.
    Dan rasa itu kembali mendorong-dorong batinku. Aku harus mengaku.
    "Saya … saya yang menabraknya, Dok. "Dokter itu
    mengangguk-angguk.



    "Untunglah, Cuma luka luar.
    Kelihatannya tidak ada yang parah. Untuk memastikan, sebaiknya malam ini anak
    itu tetap di sini, untuk diobservasi, jadi bisa cepat diketahui jika ada
    pendarahan di otak atau gegar." "Baiklah."

    Dan malam itu aku menginap di rumah sakit. Menunggui anak, yang bahkan, tak
    ketahui namanya.



    Asing. Mula-mula itulah yang
    kurasakan.



    Tetapi, ketika kami saling berkenalan dan
    menyapa, perasaan itu berganti berkenalan dan menyapa, perasaan itu berganti
    keakraban. Di mataku, anak itu meninggalkan kesan yang mendalam. Terutama
    ucapan pertamanya yang tak akan pernah kulupa …



    "Terima kasih ya, Kak!?"


    Terima kasih? Bagaimana dia bisa
    berterima kasih kepada orang yang menabraknya?



    Obrolan lain pun mengalir. Dengan
    bahasanya yang polos, tetapi sopan, ia bercerita tentang Ibu dan kedua adiknya
    yang masih kecil, juga hal-hal lain.



    Dan waktu bergulir tak terasa, setiap aku
    bersamanya.



    Pertemuan kami tak terhenti setelah malam
    itu. Aku yang dalam pelarian, menyempatkan diri untuk menemuinya setiap hari.
    Kadang Di sekolahnya, kadang di stasiun tempat ia biasa menjual Koran.
    Didi nama anak itu. Simple dan mudah diingat.



    Ada hal menarik yang selalu dan selalu Didi
    ceritakan. Tentang ibunya. Semula kukira ia berbohong, tetapi lama-kelamaan,
    kemudian hatiku berangsur mempercayaiku. Seperti saat ini, aku menemaninya
    menjajakan Koran. Lalu tiba-tiba ia bertanya kepadaku.



    "Kak Iwan suka burger?"


    Aku tersenyum.
    Aneh mendengar pertanyanya, tetapi kuanggukkan juga kepalaku.



    "Kalau
    begitu Kak Iwan harus ke rumah," ujarnya dengan mata berbinar.



    "Kenapa?"
    "Karena …. Tak ada burger seenak burger buatan Ibu!"



    Ahh… betulkah?
    Seperti apa ibunya Didi?




    Beberapa hari yang lalu Didi bercerita padaku tentang pizza yang sesekali
    dibuat ibu untuknya dan kedua adiknya yang masih kecil. Dan sekarang burger? Melihat
    mataku yang tak percaya, Didi menggangguk meyakinkan.




    "Pokoknya kalau sudah coba burger ibu, kak Iwan pasti ketagihan. Dan nggak
    perlu beli burger lagi di tempat yang mahal."
    Ooh … mulutku membulat. Kelihatannya keluarga Didi sangat sederhana, bahkan
    cenderung miskin. Tanpa ayah pula. Karena, ayah Didi sudah meninggal saat
    ibunya bisa membuat makanan yang tak dapat digolongkan murah itu? Roti untuk
    burger dan pizza cukup mahal di supermarket. Belum lagi keju, daging isi, atau
    sosis yang ditabur di atas pizza. Rasa-rasanya mustahil!




    Akan tetapi, cerita Didi yang terus menerus membuatku penasaran juga. Dan
    semakin ingin tahu lebih banyak tentang keluarga anak itu.



    "Ibu kerja
    apa, Di?" tanyaku padanya suatu hari.



    "Jualan
    kecil-kecilan, Kak. Pisang goring, tempe goring, tahu goring, dan bakwan.
    Biasanya dititipkan ke warungnya mpok Idah. Terus Ibu juga terima cuci
    setrika."




    Aku meneguk ludah. Pahitnya kehidupan yang dijalankan Didi tak pernah
    kurasakan. Papa dan Mama sangat menyervisku untuk urusan duit. Usia dua belas
    tahun saja aku sudah mengantongi kartu kredit, yang bebas kugunakan. Lalu handphone,
    satu set home theatre yang bertengger di kamarku, mobil, dan motor hardley.
    Tetapi, kenapa aku tak merasa lebih bahagia dari Didi? Padahal secara materi,
    aku tak pernah tahu apa itu arti kekurangan.

    Barangkali benar, bahwa materi tak berarti segalanya! Sering malah, materi
    melahirkan anak-anak brengsek seperti aku!
    Berbeda dengan Didi … Anak itu miskin. Sikap dan sopan santunnya luar biasa.
    Anak itu bahkan tak pernah mau menerima uangku secara cuma-cuma!



    "Di …
    kapan-kapan ajak Kak Iwan ke rumah, ya? Boleh nggak?"



    Didi tertawa
    lebar.



    "Oke deh,
    Kak! Nanti, sebelumnya, Didi akan bilang ke Ibu, biar membuatkan burger atau
    pizza untuk kak Iwan. Eh, mana yang lebih kakak sukai?"




    Aku kini yang tertawa. Makanan itu tak kan menarik minatku. Makanan itu sudah
    terlalu sering melewati tenggorakan ini. Untuk menyenangkan anak itu,
    kuanggukan kepala.



    "Terserah
    yang mana saja. Tapi, jangan bilang-bilang Ibu kalau kak Iwan mau datang. Nanti
    merepotkan!"



    Didi mengangguk.
    Kami pun berpisah.




    Aku kembali pada hunianku, rumah kos yang baru-baru ini kusewa. Malam yang
    kuhabiskan dengan minuman keras hingga aku puas dan tertidur. Dalam mimpiku,
    aku melihat Didi menikmati burgernya. Lahap sekali!




    Pada kenyataannya, kesempatan untuk berkunjung kerumah Didi tak segera muncul.
    Aku sendiri sibuk dengan hidupku. Hingga beberapa minggu kami tak
    bertemu. "Kak Iwan!" suara khas Didi mampir ketelingaku saat itu
    aku berada di depan sebuah supermarket, akan membeli beberapa keperluan.
    Kulihat Didi melambaikan tangannya riang. "Kok, lama nggak
    kelihatan,kak?"




    Aku hanya memandangi mata beningnya. Tak sanggup untuk mengatakan hari-hariku
    sibuk dengan ketidaksadaran, pengaruh minuman keras dan ekstasi. Sebaliknya,
    aku cuma menjawab pendek.




    "Kakak sibuk, Di! Kamu nggak sekolah?" aku mengalihkan percakapan,
    sambil mengamit tangannya menemaniku masuk kedalam supermarket.



    "Lagi libur,
    kak."



    Dahiku berkerut.
    Libur? Rasanya belum lama musim liburan.



    "Yang bener
    kamu?"



    Didi
    tertawa,"Diliburkan sama pak Guru," katanya.



    "Kenapa?"
    tanyaku lagi,bloon.




    Didi tak menatap mataku. Kedua matanya memandang takjub barang-barang yang
    tertata di sepanjang supermarket. Lalu menjawab sambil lalu, "Biasa
    kak….soal SPP."



    "Berapa
    bulan, Di?" Tiba-tiba saja aku ingin tahu.



    Didi menjawab
    setengah berbisik.



    "Empat."
    Lalu buru-buru disambungnya, "Minggu depan mungkin Didi bisa masuk
    lagi, Kak. Sudah biasa begini. Uangnya, sebetulnya, sudah ada di tabungan Didi.
    Terus kepakai karena Ayu sakit."



    Ahh … begitu. Ayu
    adalah nama adik Didi yang berusia dua tahun. Mendadak aku merasa bertanggung
    jawab pada anak itu. Diam diam aku menyesali diri. Coba kalau aku nggak asyik
    mabuk dan teler. Mungkin Didi tak perlu diskors dari sekolah beberapa hari
    ini.




    "kak Iwan lihat itu, nggak?" tunjuk Didi tiba-tiba.



    Aku mengikuti
    telunjuknya. Mataku menangkap sebuah produk shampoo terkenal untuk
    anak-anak.



    "He, eh…,
    kenapa?"




    "Dua hari yang lalu, Dek Ika minta ke Ibu untuk dibelikan itu." Didi
    menyebut nama adiknya satu lagi yang lebih besar."Dan hari ini, Didi juga
    keramas pakai itu. Cium aja rambut Didi. Wangi, kan?"




    Kulihat harga tertera di sana. Dalam kemasan botol kecil harganya mencapai
    empat belas ribu rupiah! Tiba-tiba aku merasa kalau Ibu Didi tidak bijak. Masa
    ia bisa membeli shampoo semahal itu, sementara menelantarkan bayaran sekolah
    Didi?




    Akan tetapi, pikiranku berubah saat wajahku kudekatkan ke kepala Didi. Tak ada
    wangi shampoo mahal yang ditunjukkan Didi. Tidak juga wangi shampoo lain. Yang
    kucium cuma aroma sabun mandi biasa.




    Mataku bertatapan dengan mata riangnya. Mengertilah aku, apa yang terjadi.
    Hatiku bergetar. Tanganku hampir saja meraih shampoo yang ditunjuk Didi dalam
    botol besar itu. Aku begitu ingin bisa menghadiahkan pada bocah lugu itu, dan
    adik-adiknya. Namun, pemikiran lain melintas.



    Tindakanku bisa
    membuat Didi mengetahui apa yang telah dilakukan ibunya. Dan kuputuskan untuk
    tak membongkar kebohongan yang telah dilakukan wanita itu, memalsukan isi botol
    shampoo itu dengan air sabun! Ibu Didi pasti punya alasan sendiri!




    Sebaliknya kuraih beberapa snack dan kaleng susu ke dalam kereta dorongku,
    tanpa bertanya padanya. Karena aku tahu, Didi akan menolak seperti biasanya.
    Kubayar belanjaanku di kasir. Didi melongo melihat jumlah yang harus
    kubayarkan. Bisa jadi ia tak percaya, aku yang terlihat kumal ini mampu
    membayar sejumlah itu.




    Aku Cuma tersenyum. Kuraih bahunya pelan,



    "Kuantar
    pulang ya, Di!"



    Dan kami pun
    berboncengan, melintasi siang yang terasa terik. Melewati beberapa ruas jalan
    menuju rumah Didi.



    Dari kaca spion
    kulihat wajah Didi yang cerah. Senyum bangga terkembang di sana. Ia tampak
    senang sekali kubonceng. Lagi-lagi hatiku perih.




    Setalah melewati jalan-jalan besar, motor kami mulai meliuk dari gang ke gang.
    Mataku merayapi rumah-rumah petak yang berdempetan rapat. Bocah-bocah kecil
    bertelanjang dada berlarian. Sebagian mengejar-ngejar layangan yang putus.
    Sebagian lagi mungkin bermain petak umpet atau permainan lain. Beberapa wajah
    kecil kulihat belepotan ingus dan debu.




    Di sebuah rumah kecil yang terletak diujung, aku memarkirkan motor. Sekali
    lompat, Didi sudah turun dari motorku dan menghambur kedalam. Aku mematikan
    mesin. Memandang rumah kecil yang jauh dari layak untuk standar
    kesehatan. Kesan itu bertambah kuat saat aku melangkah masuk ke dalam.
    Lantainya masih beralas tanah, sepertinya rumah ini hanya terdiri dari dua
    ruangan yang dipisahkan selembar gorden kumal. Tak ada jendela. Cuma ventilasi
    sempit yang memungkinkan pergantian udara seadanya.




    Aku mengamati isi rumah yang bisa dihitung. Tiga buah kursi yang agak reyot
    diruang tamu. Lalu satu dua foto yang tergantung di dinding sebuah rak bambu
    tampak penuh dengan buku-buku pelajaran. Barangkali milik Didi. Di atas meja
    kayu dialasi taplak batik yang sudah lusuh, namun bersih. Sebuah vas bunga
    sederhana tampak begitu pucat menghias diatasnya. Tampak jelas, barang itu
    sudah bertahun-tahun menjadi bagian dari rumah ini.




    "Ibu…ini Kak Iwan!"



    Didi keluar
    bersama dengan seorang wanita yang kutaksir berusia empat puluh puluhan, atau
    mungkin kurang. Menilik usia Didi yang baru delapan tahun, seharusnya wanita
    itu berusia lebih muda. Tapi, entahlah…bisa jadi kemiskinan yang selalu akrab
    dengan keluarga ini, dan beban ekonomi yang harus ditanggung di pundak wanita
    itu, membuat penampilannya kelihatan jauh lebih tua.




    Aku mencoba mengangguk sopan.



    "Saya Iwan,
    Bu!"



    Wanita itu
    tersenyum ramah meski kelihatan agak rikuh menerima kehadiranku. Kuulurkan
    satu plastik oleh-oleh yang tadi kubeli untuk Didi dan adik-adiknya. Meski
    ragu, Ibu itu menerima juga bingkisan yang kubawa.




    Suaranya terdengar agak bergetar.



    "Makasih
    banyak… tapi seharusnya tidak usah repot-repot, mau minum apa?" ujarnya
    sambil beranjak ke belakang.
    "Nggak usah repot - repot, Bu …"



    Kulihat Didi
    mengejar Ibunya. Lalu suaranya setengah berbisik terdengar di telingaku.



    "Kak Iwan
    pengen cobain burger buatan Ibu."




    Lalu sambil menatap kearahku, Didi menambahkan dengan senyum kocaknya, "Didi
    bilang burger Ibu paling enak.



    Jadi kalau Kak
    Iwan besok-besok kepengen burger, nggak usah ke restoran yang mahal-mahal. Iya kan, Bu?"



    Aku menyambut
    senyum Didi. Sebaliknya, Ibu Didi malah tampak pucat. "Burger apa? Aduh …
    Didi bisa saja!"



    katanya.
    "Tapi … Didi lihat masih ada di belakang, Bu! Tinggal dipanaskan. Masa Kak
    Iwan nggak boleh mencicipi burger kita?" Didi keras kepala.




    Aku mencoba menetralisir keadaan, tetapi Didi keburu berlari ke
    belakang."Biar Didi yang siapkan ya, Bu?" ujar bocah itu tanpa minta
    persetujuan. Kalimat Didi membuat Ibunya tergopoh-gopoh mengejar langkah anak
    sulungnya itu.



    "Sebentar
    ya, Kak Iwan!" ujarnya dengan pandangan penuh permintaan maaf.




    Aku mengangguk, menyilakannya. Untuk berapa lama, kesendirian kembali
    mengakrabiku. Kuamati lagi kesederhanaan tempat ini. Mataku mendadak berpapasan
    dengan dua wajah mungil mengintip dari balik gorden. Aku mengembangkan
    senyum lebar, sambil berharap penampilanku yang gondrong dan rada acak-acakan
    ini tak membuat mereka berdua takut.




    "Ika sama Ayu, ya?" sapaku ramah.



    Kedua anak
    perempuan itu mengangguk tersipu. Mereka saling tukar senyum dan main
    dorong-dorongan. Mungkin ingin keluar, tetapi ragu.



    "Sini"
    panggilku lagi




    Langkah-langkah kecil itu kini kian mendekat. Sekarang aku bisa menatapi
    keduanya dengan lebih bebas. Wajah mereka bersih. Mungkin baru selesai mandi. Ada bekas sapuan bedak yang kurang rata disana.




    Ayu dan Ika hanya mengenakan celana pendek dan kaos singlet yang sudah pudar
    warnanya. Kaki-kaki mereka yang telanjang tanpa alas kaki menapak dengan riang.
    Seperti tak ada keengganan bersentuhan langsung dengan lantai tanah yang kasar
    dan dingin.




    "Nah, ini burger dan pizza buatan Ibu."



    Sekonyong-konyong
    suara Didi terdengar. Anak itu muncul dengan sebuah piring di tangannya. Ibu
    Didi yang terlihat salah tingkah menikutinya dari belakang.




    Ayu dan Ika langsung menghambur riang mendekati isi di atasnya dengan mata
    berbinar. Beberapa saat aku menatap isi piring di meja tamu dengan perasaan
    yang sulit kuutarakan.




    Segala kemewahan di rumahku, kolam renang, berbagai perabotan luks dan makanan
    enak-enak yang biasa kusantap bagaikan paradoks dengan apa yang kusaksikan
    sekarang. Di atas meja tidak ada pizza yang biasa kumakan. Tidak juga burger
    ala restoran manapun yang sering kutemui.




    Yang disebut pizza oleh Didi Cuma mie bercampur telur yang diaduk dan digoreng,
    lalu ditaburi irisan tomat dan bawang goreng di atasnya. Sementara burger yang
    selama ini dibanggakan Didi, terbuat dari roti bundar biasa berisi mocca
    murahan, yang isinya telah dikerat habis. Didalamnya diisi dengan
    sayuran--entah bayam atau kangkung--dan potongan tempe kecil-kecil yang digoreng
    agak hangus sehingga menyerupai daging burger. Di sebelah piring, tergeletak
    bungkusan kecil saus dan sambel sebagai pelengkap.




    "Ayo dong, Kak Iwan, dicobain! Nanti keburu dihabisin sama Ika dan Ayu,
    lho!" Suara Didi malah membuat mataku berkaca-kaca. Terutama saat
    berbenturan dengan mata beningnya yang penuh dengan kebanggaan atas jamuannya,
    juga reaksi Ayu dan Ika yang seperti tak sabar ingin menyerbu pizza dan burger
    ala Ibu mereka itu.




    Pandanganku kemudian menangkap sosok Ibu Didi yang bersender lemas di pojok
    ruangan, dengan sudut-sudut mata tergenang air. Ada sesuatu di matanya. Entah
    penjelasan, entah kata maaf yang mungkin ingin disampaikannya kepadanya.




    Aku diam, tak perlu ada kata-kata lagi untuk menjelaskan apa yang dilakukannya.
    Semuanya cukup jelas. Pizza, burger, lalu shampoo yang disebutkan Didi di
    Supermarket tadi, cukup membuatku mengerti perjuangan wanita itu, dan semua
    upayanya untuk membuat anak-anaknya bahagia. Membuat mereka merasa telah
    menikmati kemewahan dan barang-barang mestinya cuma bisa dinikmati teman-teman
    mereka yang lebih mapan.




    Ya, wanita itu Cuma ingin membuat ketiga anaknya tidak merasa berbeda dengan
    yang lain. Hingga mereka tumbuh dengan kepercayaan diri yang sama. Tanpa merasa
    malu, atau bahkan sempat merasakan arti kepapaan itu sendiri.






    Tiba-tiba aku
    merasa sangat hormat kepadanya. Perasaan yang selama ini tak pernah ada untuk
    mama ataupun Papa. Kedua orang tua yang membawaku ke dunia ini.




    Tanpa ragu, kucomot sebuah "burger", dan meraih saus serta sambal yang
    tersedia, lalu mulai menyantapnya dengan sepenuh perasaan. "Ayo kita
    makan sama-sama, ya?"



    Kusodorkan piring
    pada Didi dan kedua adiknya. Ketiga bocah itu langsung meraih pizza dan burger,
    tanpa perlu ditawari ulang. Dalam sekejap isi piring sudah hampir kosong. Kami
    bersama-sama melumatkan setiap burger dan pizza diatasnya.




    Ibu Didi hanya memandangi kerakusan kami. Perlahan matanya yang berkaca mulai
    berpendar. Bahkan seulas senyum terkembang kembali.




    Sambil menggigit burgerku, aku tetap memandangnya, juga ketiga permata kecil
    itu dengan tatapan penuh terima kasih.
    Barangkali mereka tak akan pernah tahu.



    Tetapi, lewat
    pizza dan burger mereka … lewat kesederhanaan dan ketulusan tanpa pamrih, aku
    seperti terlahirkan kembali. Dan membuatku lebih mengerti dan bertekad
    menghargai hidup yang Dia berikan. Bukan mencampakkannya, seperti yang selama
    ini telah kulakukan.




    Pulang ke kos nanti, akan kubuang semua botol minuman keras dan ekstasi yang
    kumiliki. Janjinya dalam diam.
    Piring sudah hampir kosong. Hanya sebuah pizza yang tersisa. Dengan bangga pula
    Didi menyilakanku untuk menikmatinya. Bahkan melarang kedua adiknya yang masih
    tampak lapar.




    "Sssst! Yang ini untuk Kak Iwan! Untuk kitakan, bisa kapan saja."



    Kutatap mereka
    lekat. Sebuah ide pun melintas. "kita adu cepat aja yuk, gimana? Yang
    paling cepat dia yang dapat. Bagaimana?"



    Ketiga anak itu
    menggangguk. Akupun mulai menghitung.



    "Satu..dua..tiga,
    yak!!!




    Tangan-tangan kami berebutan. Potongan pizza terakhir diperoleh Ayu. Anak
    perempuan berusia dua tahun itu bangga sekali telah memenangkan kompetisi
    perebutan pizza.



    Wajahnya tampak
    cerah.




    "Hole!!! Ayu menang!" teriaknya cadel.



    Kami semua
    tertawa. Dan serempak memandangi wajah Ayu yang kini celemotan dengan mie
    pizza, dan serpihan tomat.
    Hari mulai senja. Aku masih belum beranjak dari rumah Didi. Sibuk melayani
    cerita dan bermain tebak-tebakan dengan mereka bertiga. Kami larut dalam gelak
    dan tawa. Sementara Ibu Didi menyetrika di dalam.




    Saat azan asar terdengar, dengan ringan Didi meraih tanganku, dan mengajakku ke
    sumur belakang, mengambil wudhu, lalu kami shalat berjamaah, hanya beralaskan
    tikar lusuh. Ketiga anak itu memintaku mengimami mereka.
    Aku menikmati setiap detik yang berlalu dalam hidup baru. Lalu tiba-tiba saja,
    selesai shalat, entah dari mana kudengar denting kasih memenuhi rumah ini, juga
    hatiku. Suaranya merdu menentramkan. Membuat senja jadi lebih indah.




    sumber : moslemworld.co.id

      Waktu sekarang Wed May 08, 2024 9:30 pm