Denting
Kasih Senja Hari
Aku bosan.
Capek.
Lelah.
Ingin Muntah!
Dan segala rasa itu yang membuatku
akhirnya kabur dari rumah. Cuma membawa jaket dan motorku.
Aku bahkan menepis tangan Mbok Yati, wanita separo baya yang telah mengabdikan
dirinya kepada kami, orang serumah. Yang kasihnya lebih banyak kurasakan
daripada belaian tangan mamaku sendiri. Atau tatapan hangat yang tak pernah
dari mata lelaki yang kusebut Papa.
Bagiku … mereka berdua orang-orang yang
tak punya hati. Atau mungkin punya, tetapi telah mati!? Dan omongan mereka?
Kuanggap sebagai omongan orang mati yang tak punya nilai. Tak tahukah mereka
orang mati itu tak bicara? Jadi…aku pergi, dengan mulut terkunci. Karena,
kecuali Mbok Yati, tidak ada orang dirumah yang cukup pantas kupamiti.
Sepanjang jalan kularikan motor dengan
kecepatan tinggi. Rambut bahuku berkibar ditiup angin. Aku terus memacu
kendaraanku. Bagai tak punya titik henti. Membawa hatiku yang setengahnya telah
ikut mati.
Lampu-lampu jalanan yang indah, angin
malam yang bertiup, hawa dingin yang kurasakan, pemandangan Jakarta di waktu
malam sama sekali tak mengusik nuansa keindahan di hatiku. Rasa marah yang
sangat, membuatku menggila. Kularikan motor lebih kencang.
Dimataku terbayang pengkhianatan Mama dan
perselingkuhan Papa! Betapa mereka telah kehilangan malu. Betapa keduanya telah
membawa keluarga kami pada kehancuran!
Hatiku terasa kian panas. Motor terus
kularikan kencang. Aku baru berhenti ketika selintas aku merasa telah menabrak
sesuatu. Kuparkirkan motor kepinggir jalan.
Benar saja, sepuluh meter di belakangku,
seorang bocah lelaki berusia sekitar delapan tahunan tampak tergeletak di
jalan, penuh darah.
Tuhanku!?
Wajah anak itu pucat.
***
Lorong rumah sakit tampak lengang. Hanya
satu dua perawat lalu-lalang. Dan di sekitarku tampak sepi. Fuiiih! Aku
menarik napas panjang. Mudah-mudahan anak itu tidak apa-apa.
Aku masih tidak mengerti, bagaimana anak
kecil itu bisa menyeberang jalan tanpa terlihat olehku. Atau …. Saat itu aku
terlalu sibuk dengan kebencian yang meluap-luap dan tak melihat jalan dengan
jelas? Lagi pula, apa yang dilakukan anak sekecil itu di jalan malam-malam
begini?
Jujur, tadinya aku akan melarikan diri
pada saat itu juga, mumpung tidak ada orang. Papa dan Mama selama ini tak
pernah mengajariku arti nurani, dan hal-hal yang berbau kemanusiaan. Namun,
entahlah, saat melihat mata bening bocah lelaki yang menyiratkan kesakitan itu,
ada sesuatu yang menyelusupi batinku. Gabungan antara rasa iba dan bersalah.
Nuranikah itu? Aku tak tahu. Akan tetapi, bisa dipastikan, hal itulah yang
membuatku membawanya ke rumah sakit terdekat.
Kulihat dokter yang memeriksa anak itu
sudah keluar dari ruangan darurat. "Bagaiman, Dok?"
"Anda siapa?"
Pertanyaan dokter itu membuatku terdiam.
Dan rasa itu kembali mendorong-dorong batinku. Aku harus mengaku.
"Saya … saya yang menabraknya, Dok. "Dokter itu
mengangguk-angguk.
"Untunglah, Cuma luka luar.
Kelihatannya tidak ada yang parah. Untuk memastikan, sebaiknya malam ini anak
itu tetap di sini, untuk diobservasi, jadi bisa cepat diketahui jika ada
pendarahan di otak atau gegar." "Baiklah."
Dan malam itu aku menginap di rumah sakit. Menunggui anak, yang bahkan, tak
ketahui namanya.
Asing. Mula-mula itulah yang
kurasakan.
Tetapi, ketika kami saling berkenalan dan
menyapa, perasaan itu berganti berkenalan dan menyapa, perasaan itu berganti
keakraban. Di mataku, anak itu meninggalkan kesan yang mendalam. Terutama
ucapan pertamanya yang tak akan pernah kulupa …
"Terima kasih ya, Kak!?"
Terima kasih? Bagaimana dia bisa
berterima kasih kepada orang yang menabraknya?
Obrolan lain pun mengalir. Dengan
bahasanya yang polos, tetapi sopan, ia bercerita tentang Ibu dan kedua adiknya
yang masih kecil, juga hal-hal lain.
Dan waktu bergulir tak terasa, setiap aku
bersamanya.
Pertemuan kami tak terhenti setelah malam
itu. Aku yang dalam pelarian, menyempatkan diri untuk menemuinya setiap hari.
Kadang Di sekolahnya, kadang di stasiun tempat ia biasa menjual Koran.
Didi nama anak itu. Simple dan mudah diingat.
Ada hal menarik yang selalu dan selalu Didi
ceritakan. Tentang ibunya. Semula kukira ia berbohong, tetapi lama-kelamaan,
kemudian hatiku berangsur mempercayaiku. Seperti saat ini, aku menemaninya
menjajakan Koran. Lalu tiba-tiba ia bertanya kepadaku.
"Kak Iwan suka burger?"
Aku tersenyum.
Aneh mendengar pertanyanya, tetapi kuanggukkan juga kepalaku.
"Kalau
begitu Kak Iwan harus ke rumah," ujarnya dengan mata berbinar.
"Kenapa?"
"Karena …. Tak ada burger seenak burger buatan Ibu!"
Ahh… betulkah?
Seperti apa ibunya Didi?
Beberapa hari yang lalu Didi bercerita padaku tentang pizza yang sesekali
dibuat ibu untuknya dan kedua adiknya yang masih kecil. Dan sekarang burger? Melihat
mataku yang tak percaya, Didi menggangguk meyakinkan.
"Pokoknya kalau sudah coba burger ibu, kak Iwan pasti ketagihan. Dan nggak
perlu beli burger lagi di tempat yang mahal."
Ooh … mulutku membulat. Kelihatannya keluarga Didi sangat sederhana, bahkan
cenderung miskin. Tanpa ayah pula. Karena, ayah Didi sudah meninggal saat
ibunya bisa membuat makanan yang tak dapat digolongkan murah itu? Roti untuk
burger dan pizza cukup mahal di supermarket. Belum lagi keju, daging isi, atau
sosis yang ditabur di atas pizza. Rasa-rasanya mustahil!
Akan tetapi, cerita Didi yang terus menerus membuatku penasaran juga. Dan
semakin ingin tahu lebih banyak tentang keluarga anak itu.
"Ibu kerja
apa, Di?" tanyaku padanya suatu hari.
"Jualan
kecil-kecilan, Kak. Pisang goring, tempe goring, tahu goring, dan bakwan.
Biasanya dititipkan ke warungnya mpok Idah. Terus Ibu juga terima cuci
setrika."
Aku meneguk ludah. Pahitnya kehidupan yang dijalankan Didi tak pernah
kurasakan. Papa dan Mama sangat menyervisku untuk urusan duit. Usia dua belas
tahun saja aku sudah mengantongi kartu kredit, yang bebas kugunakan. Lalu handphone,
satu set home theatre yang bertengger di kamarku, mobil, dan motor hardley.
Tetapi, kenapa aku tak merasa lebih bahagia dari Didi? Padahal secara materi,
aku tak pernah tahu apa itu arti kekurangan.
Barangkali benar, bahwa materi tak berarti segalanya! Sering malah, materi
melahirkan anak-anak brengsek seperti aku!
Berbeda dengan Didi … Anak itu miskin. Sikap dan sopan santunnya luar biasa.
Anak itu bahkan tak pernah mau menerima uangku secara cuma-cuma!
"Di …
kapan-kapan ajak Kak Iwan ke rumah, ya? Boleh nggak?"
Didi tertawa
lebar.
"Oke deh,
Kak! Nanti, sebelumnya, Didi akan bilang ke Ibu, biar membuatkan burger atau
pizza untuk kak Iwan. Eh, mana yang lebih kakak sukai?"
Aku kini yang tertawa. Makanan itu tak kan menarik minatku. Makanan itu sudah
terlalu sering melewati tenggorakan ini. Untuk menyenangkan anak itu,
kuanggukan kepala.
"Terserah
yang mana saja. Tapi, jangan bilang-bilang Ibu kalau kak Iwan mau datang. Nanti
merepotkan!"
Didi mengangguk.
Kami pun berpisah.
Aku kembali pada hunianku, rumah kos yang baru-baru ini kusewa. Malam yang
kuhabiskan dengan minuman keras hingga aku puas dan tertidur. Dalam mimpiku,
aku melihat Didi menikmati burgernya. Lahap sekali!
Pada kenyataannya, kesempatan untuk berkunjung kerumah Didi tak segera muncul.
Aku sendiri sibuk dengan hidupku. Hingga beberapa minggu kami tak
bertemu. "Kak Iwan!" suara khas Didi mampir ketelingaku saat itu
aku berada di depan sebuah supermarket, akan membeli beberapa keperluan.
Kulihat Didi melambaikan tangannya riang. "Kok, lama nggak
kelihatan,kak?"
Aku hanya memandangi mata beningnya. Tak sanggup untuk mengatakan hari-hariku
sibuk dengan ketidaksadaran, pengaruh minuman keras dan ekstasi. Sebaliknya,
aku cuma menjawab pendek.
"Kakak sibuk, Di! Kamu nggak sekolah?" aku mengalihkan percakapan,
sambil mengamit tangannya menemaniku masuk kedalam supermarket.
"Lagi libur,
kak."
Dahiku berkerut.
Libur? Rasanya belum lama musim liburan.
"Yang bener
kamu?"
Didi
tertawa,"Diliburkan sama pak Guru," katanya.
"Kenapa?"
tanyaku lagi,bloon.
Didi tak menatap mataku. Kedua matanya memandang takjub barang-barang yang
tertata di sepanjang supermarket. Lalu menjawab sambil lalu, "Biasa
kak….soal SPP."
"Berapa
bulan, Di?" Tiba-tiba saja aku ingin tahu.
Didi menjawab
setengah berbisik.
"Empat."
Lalu buru-buru disambungnya, "Minggu depan mungkin Didi bisa masuk
lagi, Kak. Sudah biasa begini. Uangnya, sebetulnya, sudah ada di tabungan Didi.
Terus kepakai karena Ayu sakit."
Ahh … begitu. Ayu
adalah nama adik Didi yang berusia dua tahun. Mendadak aku merasa bertanggung
jawab pada anak itu. Diam diam aku menyesali diri. Coba kalau aku nggak asyik
mabuk dan teler. Mungkin Didi tak perlu diskors dari sekolah beberapa hari
ini.
"kak Iwan lihat itu, nggak?" tunjuk Didi tiba-tiba.
Aku mengikuti
telunjuknya. Mataku menangkap sebuah produk shampoo terkenal untuk
anak-anak.
"He, eh…,
kenapa?"
"Dua hari yang lalu, Dek Ika minta ke Ibu untuk dibelikan itu." Didi
menyebut nama adiknya satu lagi yang lebih besar."Dan hari ini, Didi juga
keramas pakai itu. Cium aja rambut Didi. Wangi, kan?"
Kulihat harga tertera di sana. Dalam kemasan botol kecil harganya mencapai
empat belas ribu rupiah! Tiba-tiba aku merasa kalau Ibu Didi tidak bijak. Masa
ia bisa membeli shampoo semahal itu, sementara menelantarkan bayaran sekolah
Didi?
Akan tetapi, pikiranku berubah saat wajahku kudekatkan ke kepala Didi. Tak ada
wangi shampoo mahal yang ditunjukkan Didi. Tidak juga wangi shampoo lain. Yang
kucium cuma aroma sabun mandi biasa.
Mataku bertatapan dengan mata riangnya. Mengertilah aku, apa yang terjadi.
Hatiku bergetar. Tanganku hampir saja meraih shampoo yang ditunjuk Didi dalam
botol besar itu. Aku begitu ingin bisa menghadiahkan pada bocah lugu itu, dan
adik-adiknya. Namun, pemikiran lain melintas.
Tindakanku bisa
membuat Didi mengetahui apa yang telah dilakukan ibunya. Dan kuputuskan untuk
tak membongkar kebohongan yang telah dilakukan wanita itu, memalsukan isi botol
shampoo itu dengan air sabun! Ibu Didi pasti punya alasan sendiri!
Sebaliknya kuraih beberapa snack dan kaleng susu ke dalam kereta dorongku,
tanpa bertanya padanya. Karena aku tahu, Didi akan menolak seperti biasanya.
Kubayar belanjaanku di kasir. Didi melongo melihat jumlah yang harus
kubayarkan. Bisa jadi ia tak percaya, aku yang terlihat kumal ini mampu
membayar sejumlah itu.
Aku Cuma tersenyum. Kuraih bahunya pelan,
"Kuantar
pulang ya, Di!"
Dan kami pun
berboncengan, melintasi siang yang terasa terik. Melewati beberapa ruas jalan
menuju rumah Didi.
Dari kaca spion
kulihat wajah Didi yang cerah. Senyum bangga terkembang di sana. Ia tampak
senang sekali kubonceng. Lagi-lagi hatiku perih.
Setalah melewati jalan-jalan besar, motor kami mulai meliuk dari gang ke gang.
Mataku merayapi rumah-rumah petak yang berdempetan rapat. Bocah-bocah kecil
bertelanjang dada berlarian. Sebagian mengejar-ngejar layangan yang putus.
Sebagian lagi mungkin bermain petak umpet atau permainan lain. Beberapa wajah
kecil kulihat belepotan ingus dan debu.
Di sebuah rumah kecil yang terletak diujung, aku memarkirkan motor. Sekali
lompat, Didi sudah turun dari motorku dan menghambur kedalam. Aku mematikan
mesin. Memandang rumah kecil yang jauh dari layak untuk standar
kesehatan. Kesan itu bertambah kuat saat aku melangkah masuk ke dalam.
Lantainya masih beralas tanah, sepertinya rumah ini hanya terdiri dari dua
ruangan yang dipisahkan selembar gorden kumal. Tak ada jendela. Cuma ventilasi
sempit yang memungkinkan pergantian udara seadanya.
Aku mengamati isi rumah yang bisa dihitung. Tiga buah kursi yang agak reyot
diruang tamu. Lalu satu dua foto yang tergantung di dinding sebuah rak bambu
tampak penuh dengan buku-buku pelajaran. Barangkali milik Didi. Di atas meja
kayu dialasi taplak batik yang sudah lusuh, namun bersih. Sebuah vas bunga
sederhana tampak begitu pucat menghias diatasnya. Tampak jelas, barang itu
sudah bertahun-tahun menjadi bagian dari rumah ini.
"Ibu…ini Kak Iwan!"
Didi keluar
bersama dengan seorang wanita yang kutaksir berusia empat puluh puluhan, atau
mungkin kurang. Menilik usia Didi yang baru delapan tahun, seharusnya wanita
itu berusia lebih muda. Tapi, entahlah…bisa jadi kemiskinan yang selalu akrab
dengan keluarga ini, dan beban ekonomi yang harus ditanggung di pundak wanita
itu, membuat penampilannya kelihatan jauh lebih tua.
Aku mencoba mengangguk sopan.
"Saya Iwan,
Bu!"
Wanita itu
tersenyum ramah meski kelihatan agak rikuh menerima kehadiranku. Kuulurkan
satu plastik oleh-oleh yang tadi kubeli untuk Didi dan adik-adiknya. Meski
ragu, Ibu itu menerima juga bingkisan yang kubawa.
Suaranya terdengar agak bergetar.
"Makasih
banyak… tapi seharusnya tidak usah repot-repot, mau minum apa?" ujarnya
sambil beranjak ke belakang.
"Nggak usah repot - repot, Bu …"
Kulihat Didi
mengejar Ibunya. Lalu suaranya setengah berbisik terdengar di telingaku.
"Kak Iwan
pengen cobain burger buatan Ibu."
Lalu sambil menatap kearahku, Didi menambahkan dengan senyum kocaknya, "Didi
bilang burger Ibu paling enak.
Jadi kalau Kak
Iwan besok-besok kepengen burger, nggak usah ke restoran yang mahal-mahal. Iya kan, Bu?"
Aku menyambut
senyum Didi. Sebaliknya, Ibu Didi malah tampak pucat. "Burger apa? Aduh …
Didi bisa saja!"
katanya.
"Tapi … Didi lihat masih ada di belakang, Bu! Tinggal dipanaskan. Masa Kak
Iwan nggak boleh mencicipi burger kita?" Didi keras kepala.
Aku mencoba menetralisir keadaan, tetapi Didi keburu berlari ke
belakang."Biar Didi yang siapkan ya, Bu?" ujar bocah itu tanpa minta
persetujuan. Kalimat Didi membuat Ibunya tergopoh-gopoh mengejar langkah anak
sulungnya itu.
"Sebentar
ya, Kak Iwan!" ujarnya dengan pandangan penuh permintaan maaf.
Aku mengangguk, menyilakannya. Untuk berapa lama, kesendirian kembali
mengakrabiku. Kuamati lagi kesederhanaan tempat ini. Mataku mendadak berpapasan
dengan dua wajah mungil mengintip dari balik gorden. Aku mengembangkan
senyum lebar, sambil berharap penampilanku yang gondrong dan rada acak-acakan
ini tak membuat mereka berdua takut.
"Ika sama Ayu, ya?" sapaku ramah.
Kedua anak
perempuan itu mengangguk tersipu. Mereka saling tukar senyum dan main
dorong-dorongan. Mungkin ingin keluar, tetapi ragu.
"Sini"
panggilku lagi
Langkah-langkah kecil itu kini kian mendekat. Sekarang aku bisa menatapi
keduanya dengan lebih bebas. Wajah mereka bersih. Mungkin baru selesai mandi. Ada bekas sapuan bedak yang kurang rata disana.
Ayu dan Ika hanya mengenakan celana pendek dan kaos singlet yang sudah pudar
warnanya. Kaki-kaki mereka yang telanjang tanpa alas kaki menapak dengan riang.
Seperti tak ada keengganan bersentuhan langsung dengan lantai tanah yang kasar
dan dingin.
"Nah, ini burger dan pizza buatan Ibu."
Sekonyong-konyong
suara Didi terdengar. Anak itu muncul dengan sebuah piring di tangannya. Ibu
Didi yang terlihat salah tingkah menikutinya dari belakang.
Ayu dan Ika langsung menghambur riang mendekati isi di atasnya dengan mata
berbinar. Beberapa saat aku menatap isi piring di meja tamu dengan perasaan
yang sulit kuutarakan.
Segala kemewahan di rumahku, kolam renang, berbagai perabotan luks dan makanan
enak-enak yang biasa kusantap bagaikan paradoks dengan apa yang kusaksikan
sekarang. Di atas meja tidak ada pizza yang biasa kumakan. Tidak juga burger
ala restoran manapun yang sering kutemui.
Yang disebut pizza oleh Didi Cuma mie bercampur telur yang diaduk dan digoreng,
lalu ditaburi irisan tomat dan bawang goreng di atasnya. Sementara burger yang
selama ini dibanggakan Didi, terbuat dari roti bundar biasa berisi mocca
murahan, yang isinya telah dikerat habis. Didalamnya diisi dengan
sayuran--entah bayam atau kangkung--dan potongan tempe kecil-kecil yang digoreng
agak hangus sehingga menyerupai daging burger. Di sebelah piring, tergeletak
bungkusan kecil saus dan sambel sebagai pelengkap.
"Ayo dong, Kak Iwan, dicobain! Nanti keburu dihabisin sama Ika dan Ayu,
lho!" Suara Didi malah membuat mataku berkaca-kaca. Terutama saat
berbenturan dengan mata beningnya yang penuh dengan kebanggaan atas jamuannya,
juga reaksi Ayu dan Ika yang seperti tak sabar ingin menyerbu pizza dan burger
ala Ibu mereka itu.
Pandanganku kemudian menangkap sosok Ibu Didi yang bersender lemas di pojok
ruangan, dengan sudut-sudut mata tergenang air. Ada sesuatu di matanya. Entah
penjelasan, entah kata maaf yang mungkin ingin disampaikannya kepadanya.
Aku diam, tak perlu ada kata-kata lagi untuk menjelaskan apa yang dilakukannya.
Semuanya cukup jelas. Pizza, burger, lalu shampoo yang disebutkan Didi di
Supermarket tadi, cukup membuatku mengerti perjuangan wanita itu, dan semua
upayanya untuk membuat anak-anaknya bahagia. Membuat mereka merasa telah
menikmati kemewahan dan barang-barang mestinya cuma bisa dinikmati teman-teman
mereka yang lebih mapan.
Ya, wanita itu Cuma ingin membuat ketiga anaknya tidak merasa berbeda dengan
yang lain. Hingga mereka tumbuh dengan kepercayaan diri yang sama. Tanpa merasa
malu, atau bahkan sempat merasakan arti kepapaan itu sendiri.
Tiba-tiba aku
merasa sangat hormat kepadanya. Perasaan yang selama ini tak pernah ada untuk
mama ataupun Papa. Kedua orang tua yang membawaku ke dunia ini.
Tanpa ragu, kucomot sebuah "burger", dan meraih saus serta sambal yang
tersedia, lalu mulai menyantapnya dengan sepenuh perasaan. "Ayo kita
makan sama-sama, ya?"
Kusodorkan piring
pada Didi dan kedua adiknya. Ketiga bocah itu langsung meraih pizza dan burger,
tanpa perlu ditawari ulang. Dalam sekejap isi piring sudah hampir kosong. Kami
bersama-sama melumatkan setiap burger dan pizza diatasnya.
Ibu Didi hanya memandangi kerakusan kami. Perlahan matanya yang berkaca mulai
berpendar. Bahkan seulas senyum terkembang kembali.
Sambil menggigit burgerku, aku tetap memandangnya, juga ketiga permata kecil
itu dengan tatapan penuh terima kasih.
Barangkali mereka tak akan pernah tahu.
Tetapi, lewat
pizza dan burger mereka … lewat kesederhanaan dan ketulusan tanpa pamrih, aku
seperti terlahirkan kembali. Dan membuatku lebih mengerti dan bertekad
menghargai hidup yang Dia berikan. Bukan mencampakkannya, seperti yang selama
ini telah kulakukan.
Pulang ke kos nanti, akan kubuang semua botol minuman keras dan ekstasi yang
kumiliki. Janjinya dalam diam.
Piring sudah hampir kosong. Hanya sebuah pizza yang tersisa. Dengan bangga pula
Didi menyilakanku untuk menikmatinya. Bahkan melarang kedua adiknya yang masih
tampak lapar.
"Sssst! Yang ini untuk Kak Iwan! Untuk kitakan, bisa kapan saja."
Kutatap mereka
lekat. Sebuah ide pun melintas. "kita adu cepat aja yuk, gimana? Yang
paling cepat dia yang dapat. Bagaimana?"
Ketiga anak itu
menggangguk. Akupun mulai menghitung.
"Satu..dua..tiga,
yak!!!
Tangan-tangan kami berebutan. Potongan pizza terakhir diperoleh Ayu. Anak
perempuan berusia dua tahun itu bangga sekali telah memenangkan kompetisi
perebutan pizza.
Wajahnya tampak
cerah.
"Hole!!! Ayu menang!" teriaknya cadel.
Kami semua
tertawa. Dan serempak memandangi wajah Ayu yang kini celemotan dengan mie
pizza, dan serpihan tomat.
Hari mulai senja. Aku masih belum beranjak dari rumah Didi. Sibuk melayani
cerita dan bermain tebak-tebakan dengan mereka bertiga. Kami larut dalam gelak
dan tawa. Sementara Ibu Didi menyetrika di dalam.
Saat azan asar terdengar, dengan ringan Didi meraih tanganku, dan mengajakku ke
sumur belakang, mengambil wudhu, lalu kami shalat berjamaah, hanya beralaskan
tikar lusuh. Ketiga anak itu memintaku mengimami mereka.
Aku menikmati setiap detik yang berlalu dalam hidup baru. Lalu tiba-tiba saja,
selesai shalat, entah dari mana kudengar denting kasih memenuhi rumah ini, juga
hatiku. Suaranya merdu menentramkan. Membuat senja jadi lebih indah.
sumber : moslemworld.co.id
Kasih Senja Hari
Aku bosan.
Capek.
Lelah.
Ingin Muntah!
Dan segala rasa itu yang membuatku
akhirnya kabur dari rumah. Cuma membawa jaket dan motorku.
Aku bahkan menepis tangan Mbok Yati, wanita separo baya yang telah mengabdikan
dirinya kepada kami, orang serumah. Yang kasihnya lebih banyak kurasakan
daripada belaian tangan mamaku sendiri. Atau tatapan hangat yang tak pernah
dari mata lelaki yang kusebut Papa.
Bagiku … mereka berdua orang-orang yang
tak punya hati. Atau mungkin punya, tetapi telah mati!? Dan omongan mereka?
Kuanggap sebagai omongan orang mati yang tak punya nilai. Tak tahukah mereka
orang mati itu tak bicara? Jadi…aku pergi, dengan mulut terkunci. Karena,
kecuali Mbok Yati, tidak ada orang dirumah yang cukup pantas kupamiti.
Sepanjang jalan kularikan motor dengan
kecepatan tinggi. Rambut bahuku berkibar ditiup angin. Aku terus memacu
kendaraanku. Bagai tak punya titik henti. Membawa hatiku yang setengahnya telah
ikut mati.
Lampu-lampu jalanan yang indah, angin
malam yang bertiup, hawa dingin yang kurasakan, pemandangan Jakarta di waktu
malam sama sekali tak mengusik nuansa keindahan di hatiku. Rasa marah yang
sangat, membuatku menggila. Kularikan motor lebih kencang.
Dimataku terbayang pengkhianatan Mama dan
perselingkuhan Papa! Betapa mereka telah kehilangan malu. Betapa keduanya telah
membawa keluarga kami pada kehancuran!
Hatiku terasa kian panas. Motor terus
kularikan kencang. Aku baru berhenti ketika selintas aku merasa telah menabrak
sesuatu. Kuparkirkan motor kepinggir jalan.
Benar saja, sepuluh meter di belakangku,
seorang bocah lelaki berusia sekitar delapan tahunan tampak tergeletak di
jalan, penuh darah.
Tuhanku!?
Wajah anak itu pucat.
***
Lorong rumah sakit tampak lengang. Hanya
satu dua perawat lalu-lalang. Dan di sekitarku tampak sepi. Fuiiih! Aku
menarik napas panjang. Mudah-mudahan anak itu tidak apa-apa.
Aku masih tidak mengerti, bagaimana anak
kecil itu bisa menyeberang jalan tanpa terlihat olehku. Atau …. Saat itu aku
terlalu sibuk dengan kebencian yang meluap-luap dan tak melihat jalan dengan
jelas? Lagi pula, apa yang dilakukan anak sekecil itu di jalan malam-malam
begini?
Jujur, tadinya aku akan melarikan diri
pada saat itu juga, mumpung tidak ada orang. Papa dan Mama selama ini tak
pernah mengajariku arti nurani, dan hal-hal yang berbau kemanusiaan. Namun,
entahlah, saat melihat mata bening bocah lelaki yang menyiratkan kesakitan itu,
ada sesuatu yang menyelusupi batinku. Gabungan antara rasa iba dan bersalah.
Nuranikah itu? Aku tak tahu. Akan tetapi, bisa dipastikan, hal itulah yang
membuatku membawanya ke rumah sakit terdekat.
Kulihat dokter yang memeriksa anak itu
sudah keluar dari ruangan darurat. "Bagaiman, Dok?"
"Anda siapa?"
Pertanyaan dokter itu membuatku terdiam.
Dan rasa itu kembali mendorong-dorong batinku. Aku harus mengaku.
"Saya … saya yang menabraknya, Dok. "Dokter itu
mengangguk-angguk.
"Untunglah, Cuma luka luar.
Kelihatannya tidak ada yang parah. Untuk memastikan, sebaiknya malam ini anak
itu tetap di sini, untuk diobservasi, jadi bisa cepat diketahui jika ada
pendarahan di otak atau gegar." "Baiklah."
Dan malam itu aku menginap di rumah sakit. Menunggui anak, yang bahkan, tak
ketahui namanya.
Asing. Mula-mula itulah yang
kurasakan.
Tetapi, ketika kami saling berkenalan dan
menyapa, perasaan itu berganti berkenalan dan menyapa, perasaan itu berganti
keakraban. Di mataku, anak itu meninggalkan kesan yang mendalam. Terutama
ucapan pertamanya yang tak akan pernah kulupa …
"Terima kasih ya, Kak!?"
Terima kasih? Bagaimana dia bisa
berterima kasih kepada orang yang menabraknya?
Obrolan lain pun mengalir. Dengan
bahasanya yang polos, tetapi sopan, ia bercerita tentang Ibu dan kedua adiknya
yang masih kecil, juga hal-hal lain.
Dan waktu bergulir tak terasa, setiap aku
bersamanya.
Pertemuan kami tak terhenti setelah malam
itu. Aku yang dalam pelarian, menyempatkan diri untuk menemuinya setiap hari.
Kadang Di sekolahnya, kadang di stasiun tempat ia biasa menjual Koran.
Didi nama anak itu. Simple dan mudah diingat.
Ada hal menarik yang selalu dan selalu Didi
ceritakan. Tentang ibunya. Semula kukira ia berbohong, tetapi lama-kelamaan,
kemudian hatiku berangsur mempercayaiku. Seperti saat ini, aku menemaninya
menjajakan Koran. Lalu tiba-tiba ia bertanya kepadaku.
"Kak Iwan suka burger?"
Aku tersenyum.
Aneh mendengar pertanyanya, tetapi kuanggukkan juga kepalaku.
"Kalau
begitu Kak Iwan harus ke rumah," ujarnya dengan mata berbinar.
"Kenapa?"
"Karena …. Tak ada burger seenak burger buatan Ibu!"
Ahh… betulkah?
Seperti apa ibunya Didi?
Beberapa hari yang lalu Didi bercerita padaku tentang pizza yang sesekali
dibuat ibu untuknya dan kedua adiknya yang masih kecil. Dan sekarang burger? Melihat
mataku yang tak percaya, Didi menggangguk meyakinkan.
"Pokoknya kalau sudah coba burger ibu, kak Iwan pasti ketagihan. Dan nggak
perlu beli burger lagi di tempat yang mahal."
Ooh … mulutku membulat. Kelihatannya keluarga Didi sangat sederhana, bahkan
cenderung miskin. Tanpa ayah pula. Karena, ayah Didi sudah meninggal saat
ibunya bisa membuat makanan yang tak dapat digolongkan murah itu? Roti untuk
burger dan pizza cukup mahal di supermarket. Belum lagi keju, daging isi, atau
sosis yang ditabur di atas pizza. Rasa-rasanya mustahil!
Akan tetapi, cerita Didi yang terus menerus membuatku penasaran juga. Dan
semakin ingin tahu lebih banyak tentang keluarga anak itu.
"Ibu kerja
apa, Di?" tanyaku padanya suatu hari.
"Jualan
kecil-kecilan, Kak. Pisang goring, tempe goring, tahu goring, dan bakwan.
Biasanya dititipkan ke warungnya mpok Idah. Terus Ibu juga terima cuci
setrika."
Aku meneguk ludah. Pahitnya kehidupan yang dijalankan Didi tak pernah
kurasakan. Papa dan Mama sangat menyervisku untuk urusan duit. Usia dua belas
tahun saja aku sudah mengantongi kartu kredit, yang bebas kugunakan. Lalu handphone,
satu set home theatre yang bertengger di kamarku, mobil, dan motor hardley.
Tetapi, kenapa aku tak merasa lebih bahagia dari Didi? Padahal secara materi,
aku tak pernah tahu apa itu arti kekurangan.
Barangkali benar, bahwa materi tak berarti segalanya! Sering malah, materi
melahirkan anak-anak brengsek seperti aku!
Berbeda dengan Didi … Anak itu miskin. Sikap dan sopan santunnya luar biasa.
Anak itu bahkan tak pernah mau menerima uangku secara cuma-cuma!
"Di …
kapan-kapan ajak Kak Iwan ke rumah, ya? Boleh nggak?"
Didi tertawa
lebar.
"Oke deh,
Kak! Nanti, sebelumnya, Didi akan bilang ke Ibu, biar membuatkan burger atau
pizza untuk kak Iwan. Eh, mana yang lebih kakak sukai?"
Aku kini yang tertawa. Makanan itu tak kan menarik minatku. Makanan itu sudah
terlalu sering melewati tenggorakan ini. Untuk menyenangkan anak itu,
kuanggukan kepala.
"Terserah
yang mana saja. Tapi, jangan bilang-bilang Ibu kalau kak Iwan mau datang. Nanti
merepotkan!"
Didi mengangguk.
Kami pun berpisah.
Aku kembali pada hunianku, rumah kos yang baru-baru ini kusewa. Malam yang
kuhabiskan dengan minuman keras hingga aku puas dan tertidur. Dalam mimpiku,
aku melihat Didi menikmati burgernya. Lahap sekali!
Pada kenyataannya, kesempatan untuk berkunjung kerumah Didi tak segera muncul.
Aku sendiri sibuk dengan hidupku. Hingga beberapa minggu kami tak
bertemu. "Kak Iwan!" suara khas Didi mampir ketelingaku saat itu
aku berada di depan sebuah supermarket, akan membeli beberapa keperluan.
Kulihat Didi melambaikan tangannya riang. "Kok, lama nggak
kelihatan,kak?"
Aku hanya memandangi mata beningnya. Tak sanggup untuk mengatakan hari-hariku
sibuk dengan ketidaksadaran, pengaruh minuman keras dan ekstasi. Sebaliknya,
aku cuma menjawab pendek.
"Kakak sibuk, Di! Kamu nggak sekolah?" aku mengalihkan percakapan,
sambil mengamit tangannya menemaniku masuk kedalam supermarket.
"Lagi libur,
kak."
Dahiku berkerut.
Libur? Rasanya belum lama musim liburan.
"Yang bener
kamu?"
Didi
tertawa,"Diliburkan sama pak Guru," katanya.
"Kenapa?"
tanyaku lagi,bloon.
Didi tak menatap mataku. Kedua matanya memandang takjub barang-barang yang
tertata di sepanjang supermarket. Lalu menjawab sambil lalu, "Biasa
kak….soal SPP."
"Berapa
bulan, Di?" Tiba-tiba saja aku ingin tahu.
Didi menjawab
setengah berbisik.
"Empat."
Lalu buru-buru disambungnya, "Minggu depan mungkin Didi bisa masuk
lagi, Kak. Sudah biasa begini. Uangnya, sebetulnya, sudah ada di tabungan Didi.
Terus kepakai karena Ayu sakit."
Ahh … begitu. Ayu
adalah nama adik Didi yang berusia dua tahun. Mendadak aku merasa bertanggung
jawab pada anak itu. Diam diam aku menyesali diri. Coba kalau aku nggak asyik
mabuk dan teler. Mungkin Didi tak perlu diskors dari sekolah beberapa hari
ini.
"kak Iwan lihat itu, nggak?" tunjuk Didi tiba-tiba.
Aku mengikuti
telunjuknya. Mataku menangkap sebuah produk shampoo terkenal untuk
anak-anak.
"He, eh…,
kenapa?"
"Dua hari yang lalu, Dek Ika minta ke Ibu untuk dibelikan itu." Didi
menyebut nama adiknya satu lagi yang lebih besar."Dan hari ini, Didi juga
keramas pakai itu. Cium aja rambut Didi. Wangi, kan?"
Kulihat harga tertera di sana. Dalam kemasan botol kecil harganya mencapai
empat belas ribu rupiah! Tiba-tiba aku merasa kalau Ibu Didi tidak bijak. Masa
ia bisa membeli shampoo semahal itu, sementara menelantarkan bayaran sekolah
Didi?
Akan tetapi, pikiranku berubah saat wajahku kudekatkan ke kepala Didi. Tak ada
wangi shampoo mahal yang ditunjukkan Didi. Tidak juga wangi shampoo lain. Yang
kucium cuma aroma sabun mandi biasa.
Mataku bertatapan dengan mata riangnya. Mengertilah aku, apa yang terjadi.
Hatiku bergetar. Tanganku hampir saja meraih shampoo yang ditunjuk Didi dalam
botol besar itu. Aku begitu ingin bisa menghadiahkan pada bocah lugu itu, dan
adik-adiknya. Namun, pemikiran lain melintas.
Tindakanku bisa
membuat Didi mengetahui apa yang telah dilakukan ibunya. Dan kuputuskan untuk
tak membongkar kebohongan yang telah dilakukan wanita itu, memalsukan isi botol
shampoo itu dengan air sabun! Ibu Didi pasti punya alasan sendiri!
Sebaliknya kuraih beberapa snack dan kaleng susu ke dalam kereta dorongku,
tanpa bertanya padanya. Karena aku tahu, Didi akan menolak seperti biasanya.
Kubayar belanjaanku di kasir. Didi melongo melihat jumlah yang harus
kubayarkan. Bisa jadi ia tak percaya, aku yang terlihat kumal ini mampu
membayar sejumlah itu.
Aku Cuma tersenyum. Kuraih bahunya pelan,
"Kuantar
pulang ya, Di!"
Dan kami pun
berboncengan, melintasi siang yang terasa terik. Melewati beberapa ruas jalan
menuju rumah Didi.
Dari kaca spion
kulihat wajah Didi yang cerah. Senyum bangga terkembang di sana. Ia tampak
senang sekali kubonceng. Lagi-lagi hatiku perih.
Setalah melewati jalan-jalan besar, motor kami mulai meliuk dari gang ke gang.
Mataku merayapi rumah-rumah petak yang berdempetan rapat. Bocah-bocah kecil
bertelanjang dada berlarian. Sebagian mengejar-ngejar layangan yang putus.
Sebagian lagi mungkin bermain petak umpet atau permainan lain. Beberapa wajah
kecil kulihat belepotan ingus dan debu.
Di sebuah rumah kecil yang terletak diujung, aku memarkirkan motor. Sekali
lompat, Didi sudah turun dari motorku dan menghambur kedalam. Aku mematikan
mesin. Memandang rumah kecil yang jauh dari layak untuk standar
kesehatan. Kesan itu bertambah kuat saat aku melangkah masuk ke dalam.
Lantainya masih beralas tanah, sepertinya rumah ini hanya terdiri dari dua
ruangan yang dipisahkan selembar gorden kumal. Tak ada jendela. Cuma ventilasi
sempit yang memungkinkan pergantian udara seadanya.
Aku mengamati isi rumah yang bisa dihitung. Tiga buah kursi yang agak reyot
diruang tamu. Lalu satu dua foto yang tergantung di dinding sebuah rak bambu
tampak penuh dengan buku-buku pelajaran. Barangkali milik Didi. Di atas meja
kayu dialasi taplak batik yang sudah lusuh, namun bersih. Sebuah vas bunga
sederhana tampak begitu pucat menghias diatasnya. Tampak jelas, barang itu
sudah bertahun-tahun menjadi bagian dari rumah ini.
"Ibu…ini Kak Iwan!"
Didi keluar
bersama dengan seorang wanita yang kutaksir berusia empat puluh puluhan, atau
mungkin kurang. Menilik usia Didi yang baru delapan tahun, seharusnya wanita
itu berusia lebih muda. Tapi, entahlah…bisa jadi kemiskinan yang selalu akrab
dengan keluarga ini, dan beban ekonomi yang harus ditanggung di pundak wanita
itu, membuat penampilannya kelihatan jauh lebih tua.
Aku mencoba mengangguk sopan.
"Saya Iwan,
Bu!"
Wanita itu
tersenyum ramah meski kelihatan agak rikuh menerima kehadiranku. Kuulurkan
satu plastik oleh-oleh yang tadi kubeli untuk Didi dan adik-adiknya. Meski
ragu, Ibu itu menerima juga bingkisan yang kubawa.
Suaranya terdengar agak bergetar.
"Makasih
banyak… tapi seharusnya tidak usah repot-repot, mau minum apa?" ujarnya
sambil beranjak ke belakang.
"Nggak usah repot - repot, Bu …"
Kulihat Didi
mengejar Ibunya. Lalu suaranya setengah berbisik terdengar di telingaku.
"Kak Iwan
pengen cobain burger buatan Ibu."
Lalu sambil menatap kearahku, Didi menambahkan dengan senyum kocaknya, "Didi
bilang burger Ibu paling enak.
Jadi kalau Kak
Iwan besok-besok kepengen burger, nggak usah ke restoran yang mahal-mahal. Iya kan, Bu?"
Aku menyambut
senyum Didi. Sebaliknya, Ibu Didi malah tampak pucat. "Burger apa? Aduh …
Didi bisa saja!"
katanya.
"Tapi … Didi lihat masih ada di belakang, Bu! Tinggal dipanaskan. Masa Kak
Iwan nggak boleh mencicipi burger kita?" Didi keras kepala.
Aku mencoba menetralisir keadaan, tetapi Didi keburu berlari ke
belakang."Biar Didi yang siapkan ya, Bu?" ujar bocah itu tanpa minta
persetujuan. Kalimat Didi membuat Ibunya tergopoh-gopoh mengejar langkah anak
sulungnya itu.
"Sebentar
ya, Kak Iwan!" ujarnya dengan pandangan penuh permintaan maaf.
Aku mengangguk, menyilakannya. Untuk berapa lama, kesendirian kembali
mengakrabiku. Kuamati lagi kesederhanaan tempat ini. Mataku mendadak berpapasan
dengan dua wajah mungil mengintip dari balik gorden. Aku mengembangkan
senyum lebar, sambil berharap penampilanku yang gondrong dan rada acak-acakan
ini tak membuat mereka berdua takut.
"Ika sama Ayu, ya?" sapaku ramah.
Kedua anak
perempuan itu mengangguk tersipu. Mereka saling tukar senyum dan main
dorong-dorongan. Mungkin ingin keluar, tetapi ragu.
"Sini"
panggilku lagi
Langkah-langkah kecil itu kini kian mendekat. Sekarang aku bisa menatapi
keduanya dengan lebih bebas. Wajah mereka bersih. Mungkin baru selesai mandi. Ada bekas sapuan bedak yang kurang rata disana.
Ayu dan Ika hanya mengenakan celana pendek dan kaos singlet yang sudah pudar
warnanya. Kaki-kaki mereka yang telanjang tanpa alas kaki menapak dengan riang.
Seperti tak ada keengganan bersentuhan langsung dengan lantai tanah yang kasar
dan dingin.
"Nah, ini burger dan pizza buatan Ibu."
Sekonyong-konyong
suara Didi terdengar. Anak itu muncul dengan sebuah piring di tangannya. Ibu
Didi yang terlihat salah tingkah menikutinya dari belakang.
Ayu dan Ika langsung menghambur riang mendekati isi di atasnya dengan mata
berbinar. Beberapa saat aku menatap isi piring di meja tamu dengan perasaan
yang sulit kuutarakan.
Segala kemewahan di rumahku, kolam renang, berbagai perabotan luks dan makanan
enak-enak yang biasa kusantap bagaikan paradoks dengan apa yang kusaksikan
sekarang. Di atas meja tidak ada pizza yang biasa kumakan. Tidak juga burger
ala restoran manapun yang sering kutemui.
Yang disebut pizza oleh Didi Cuma mie bercampur telur yang diaduk dan digoreng,
lalu ditaburi irisan tomat dan bawang goreng di atasnya. Sementara burger yang
selama ini dibanggakan Didi, terbuat dari roti bundar biasa berisi mocca
murahan, yang isinya telah dikerat habis. Didalamnya diisi dengan
sayuran--entah bayam atau kangkung--dan potongan tempe kecil-kecil yang digoreng
agak hangus sehingga menyerupai daging burger. Di sebelah piring, tergeletak
bungkusan kecil saus dan sambel sebagai pelengkap.
"Ayo dong, Kak Iwan, dicobain! Nanti keburu dihabisin sama Ika dan Ayu,
lho!" Suara Didi malah membuat mataku berkaca-kaca. Terutama saat
berbenturan dengan mata beningnya yang penuh dengan kebanggaan atas jamuannya,
juga reaksi Ayu dan Ika yang seperti tak sabar ingin menyerbu pizza dan burger
ala Ibu mereka itu.
Pandanganku kemudian menangkap sosok Ibu Didi yang bersender lemas di pojok
ruangan, dengan sudut-sudut mata tergenang air. Ada sesuatu di matanya. Entah
penjelasan, entah kata maaf yang mungkin ingin disampaikannya kepadanya.
Aku diam, tak perlu ada kata-kata lagi untuk menjelaskan apa yang dilakukannya.
Semuanya cukup jelas. Pizza, burger, lalu shampoo yang disebutkan Didi di
Supermarket tadi, cukup membuatku mengerti perjuangan wanita itu, dan semua
upayanya untuk membuat anak-anaknya bahagia. Membuat mereka merasa telah
menikmati kemewahan dan barang-barang mestinya cuma bisa dinikmati teman-teman
mereka yang lebih mapan.
Ya, wanita itu Cuma ingin membuat ketiga anaknya tidak merasa berbeda dengan
yang lain. Hingga mereka tumbuh dengan kepercayaan diri yang sama. Tanpa merasa
malu, atau bahkan sempat merasakan arti kepapaan itu sendiri.
Tiba-tiba aku
merasa sangat hormat kepadanya. Perasaan yang selama ini tak pernah ada untuk
mama ataupun Papa. Kedua orang tua yang membawaku ke dunia ini.
Tanpa ragu, kucomot sebuah "burger", dan meraih saus serta sambal yang
tersedia, lalu mulai menyantapnya dengan sepenuh perasaan. "Ayo kita
makan sama-sama, ya?"
Kusodorkan piring
pada Didi dan kedua adiknya. Ketiga bocah itu langsung meraih pizza dan burger,
tanpa perlu ditawari ulang. Dalam sekejap isi piring sudah hampir kosong. Kami
bersama-sama melumatkan setiap burger dan pizza diatasnya.
Ibu Didi hanya memandangi kerakusan kami. Perlahan matanya yang berkaca mulai
berpendar. Bahkan seulas senyum terkembang kembali.
Sambil menggigit burgerku, aku tetap memandangnya, juga ketiga permata kecil
itu dengan tatapan penuh terima kasih.
Barangkali mereka tak akan pernah tahu.
Tetapi, lewat
pizza dan burger mereka … lewat kesederhanaan dan ketulusan tanpa pamrih, aku
seperti terlahirkan kembali. Dan membuatku lebih mengerti dan bertekad
menghargai hidup yang Dia berikan. Bukan mencampakkannya, seperti yang selama
ini telah kulakukan.
Pulang ke kos nanti, akan kubuang semua botol minuman keras dan ekstasi yang
kumiliki. Janjinya dalam diam.
Piring sudah hampir kosong. Hanya sebuah pizza yang tersisa. Dengan bangga pula
Didi menyilakanku untuk menikmatinya. Bahkan melarang kedua adiknya yang masih
tampak lapar.
"Sssst! Yang ini untuk Kak Iwan! Untuk kitakan, bisa kapan saja."
Kutatap mereka
lekat. Sebuah ide pun melintas. "kita adu cepat aja yuk, gimana? Yang
paling cepat dia yang dapat. Bagaimana?"
Ketiga anak itu
menggangguk. Akupun mulai menghitung.
"Satu..dua..tiga,
yak!!!
Tangan-tangan kami berebutan. Potongan pizza terakhir diperoleh Ayu. Anak
perempuan berusia dua tahun itu bangga sekali telah memenangkan kompetisi
perebutan pizza.
Wajahnya tampak
cerah.
"Hole!!! Ayu menang!" teriaknya cadel.
Kami semua
tertawa. Dan serempak memandangi wajah Ayu yang kini celemotan dengan mie
pizza, dan serpihan tomat.
Hari mulai senja. Aku masih belum beranjak dari rumah Didi. Sibuk melayani
cerita dan bermain tebak-tebakan dengan mereka bertiga. Kami larut dalam gelak
dan tawa. Sementara Ibu Didi menyetrika di dalam.
Saat azan asar terdengar, dengan ringan Didi meraih tanganku, dan mengajakku ke
sumur belakang, mengambil wudhu, lalu kami shalat berjamaah, hanya beralaskan
tikar lusuh. Ketiga anak itu memintaku mengimami mereka.
Aku menikmati setiap detik yang berlalu dalam hidup baru. Lalu tiba-tiba saja,
selesai shalat, entah dari mana kudengar denting kasih memenuhi rumah ini, juga
hatiku. Suaranya merdu menentramkan. Membuat senja jadi lebih indah.
sumber : moslemworld.co.id
Tue Aug 01, 2023 9:56 pm by wisatasemarang
» Portable STATA 18 Crack Full Version
Thu May 11, 2023 5:24 pm by wisatasemarang
» NVivo 12 Crack Full version
Mon Jan 30, 2023 11:16 am by wisatasemarang
» Tutorial Difference In difference (DID (Diff-in-Diff) With Eviews 13
Thu Nov 03, 2022 6:24 am by wisatasemarang
» Online Workshop Smart PLS Minggu, 01 Oktober 2022
Sat Sep 17, 2022 11:35 am by wisatasemarang
» kumpulan ebook tentang robot
Fri Jan 02, 2015 10:04 pm by kyuru
» MANTRA PELET
Wed May 16, 2012 3:31 am by orlandojack
» book love of spell
Sat Mar 24, 2012 8:08 pm by rifqi as
» attraction Formula
Sat Mar 24, 2012 7:09 pm by rifqi as