SEKOLAH HARI INI...
Oleh : Tarmidi, S.Psi
Setiap tahun ajaran baru dimulai, di setiap simpang dan tiap sudut kota telah
terpampang "iklan" yang menawarkan tentang keunggulan
sekolah-sekolah, selain sekolah negeri yang rutin melakukan penerimaan siswa
baru dengan seleksi tersendiri, ada juga sekolah-sekolah lainnya yang tidak
kalah unggulnya dengan sekolah negeri.
Namun ketika sekolah telah berjalan, kekecewaanpun mulai muncul dalam hati
orang tua murid, ini tidak lain karena melihat nilai rapor anak mereka yang
tidak sesuai dengan harapan. Padahal besar harapan mereka (baca: orang tua)
untuk menjadikan anak mereka cerdas jika bersekolah di sekolah yang unggul dan
elit. Kemudian keraguan dan ketakutanpun mulai muncul dalam hati mereka setelah
kekecewaan. Keraguan disebabkan, para orang tua mulai meragukan keunggulan
sekolah karena tidak bisa menjadikan anak mereka cerdas secara akademis. Dan
ketakutan disebabkan, para orang tua mulai takut, jangan-jangan anak mereka
memang bodoh karena mendapat nilai rapor yang jelek.
Nilai rapor. Itulah yang menjadi tolak ukur para orang tua dalam menentukan
apakah anak mereka cerdas atau tidak. Menurut mereka (baca: orang tua) anak
yang cerdas adalah anak yang memiliki nilai rapor yang tinggi, sedangkan anak
dengan nilai rapor yang rendah adalah anak yang bodoh. Tapi, bagaimanakah
sebenarnya anak yang cerdas itu? Benarkah nilai rapor sebagai penentu
kecerdasan seseorang? Sebelum pembahasan lebih lanjut, ada baiknya kita simak
cerita berikut.
"Terbetiklah sebuah kabar yang menggegerkan langit dan bumi. Kabar itu
berasal dari dunia binatang. Menurut cerita, para binatang besar ingin membuat
sekolah untuk para binatang kecil. Mereka, para bintang besar itu memutuskan
untuk menciptakan sebuah sekolah memanjat, terbang, berlari, berenang, dan
menggali.
Anehnya mereka tidak menemukan kata sepakat tentang subjek mana yang paling
penting. Mereka akhirnya memutuskan agar semua murid mengikuti kurikulum yang
sama. Jadi setiap murid harus ikut mata pelajaran memanjat, terbang, berlari,
berenang, dan menggali.
Kita tentu tahu karakter rusa yang ahli berlari, nah suatu saat sang rusa
hampir tenggelam saat mengikuti kelas (mata pelajaran) berenang. Dan pengalaman
mengikuti kelas berenang sangat membuat batinnya terguncang, dia merasa seperti
tidak punya potensi lagi. Lama-kelamaan, karena sibuk mengurusi pelajaran
berenang, dan harus mengikuti pelajaran tambahan berenang, si rusa pun tidak
lagi dapat berlalri secepat sebelumnya. Karena dia sudah mulai jarang melatih
keahlian alaminya.
Kemudian ada kejadian lain yang cukup memusingkan pengelola sekolah binatang
tersebut. Kita juga tentu tahu karakter burung elang. Yang sangat pandai
terbang. Namun, ketika mengikuti kelas menggali, si elang tidak mampu
menjalanai tugas-tugas yang diberikan kepadanya. Dan akhirnya, ia juga harus
mengikuti les tambahan menggali. Les itu banyak menyita waktunya, sehingga ia
melupakan cara terbang yang sebelumnya sangat dikuasainya.
Demikianlah kesulitan demi kesulitan melanda juga binatang-binatang lain,
seperti bebek, burung pipit, ular dll. Para binatang kecil itu tidak mempunyai
kesempatan lagi untuk berprestasi dalam bidang keahliannnya mereka
masing-masing. Ini lantaran mereka dipaksa melakukan hal-hal yang tidak
menghargai sifat-sifat asli mereka. " (Hernowo dan Nurdin, 2004)
Begitulah sekolah kita hari ini, persis seperti sekolah dunia binatang.
Anak-anak dipaksa untuk mengikuti semua mata pelajaran yang bahkan tidak
disukai mereka dan malah melupakan kemampuan alamiah mereka di bidang lain.
Seperti misalnya, anak yang cerdas dalam berbahasa inggris, tapi tidak cerdas
dalam matematika akan mengurangi kemampuan bahasa inggrisnya, karena harus
mengikuti les tambahan matematika setiap hari, sehingga tidak mempunyai waktu
untuk mengasah kemampuannya dalam berbahasa inggris. Alhasil, anak tersebut
tetap tidak cerdas dalam matematika, juga tidak terampil dalam berbahasa
inggris.
Apakah kita mau, anak-anak kita tidak mempunyai keterampilan sama sekali? Atau
apakah kita mau, demi bidang yang satu, anak kita menjadi hilang potensinya di
bidang yang lain? Tentu jawabnnya tidak. Dan saya harap semua orang tua sepakat
menjawab tidak.
Lalu apa yang bisa kita lakukan terhadap ini semua? Sebelumnya ada sebuah
pengalaman menarik dari Skinner (1904-1990) - seorang psikolog terkenal dari
Austria - yang dapat memberikan gambaran keadaan sekolah kita hari ini.
"Pada suatu hari dalam kapasitasnya sebagai orang tua murid pernah
melihat-lihat bagaimana keadaan kelas anak perempuannya yang duduk di kelas 4
setingkat SD pada saat pelajaran berlangsung. Ia melihat dalam kelas itu
terdapat 20 "organisme hidup (murid) berharga" tapi menjadi korban
pengajaran yang menurutnya situasi dalam kelas itu bukanlah suatu proses
belajar. Ia sangat keberatan dengan teknik didaktik yang digunakan dalam kelas
itu, dimana tidak memberikan efek penguatan yang kuat bagi siswa. Pelajaran
yang diajarkan dalam kelas itu hanya sesuatu yang memang harus dipelajari oleh
siswa tanpa peduli apakah siswa tersebut suka atau tidak, sehingga proses
belajar mengajar tidak berjalan atas dasar minat asli siswa. Kemudian ia
berkesimpulan bahwa sekolah sering dijalankan dengan memberikan pujian dan
hukuman pada siswa yang hanya akan menghasilkan motivasi artifisial.
Kemudian menurut Dave Meier - seorang pakar accelerated learning - memperkuat
kesimpulan Skinner tentang sekolah kita saat ini. Sekolah saat ini
kadang-kadang mencekik dan melumpuhkan orang dan merenggut kegembiraan belajar
anak didik, sehingga dapat menghalangi mereka mengasah pikiran dan mewujudkan
potensi sepenuhnya. Tentu kita tidak mau anak-anak kita menjadi tumpul
potensinya, dan juga tidak mau jika melihat potensi anak-anak kita mati sia-sia
karena harus mempelajari yang bukan minatnya.
Sekolah hari ini tidak mampu mengakomodir kebutuhan siswa. Bahkan bisa-bisa
membunuh potensi siswa yang beragam dengan kurikulum yang sama rata. Padahal
kita tahu bahwa setiap anak mempunyai bakat dan minat alamiah yang
berbeda-beda. Kelemahan lain pendidikan kita saat ini adalah bahwa
penilaian/evaluasi dilakukan dengan angka-angka yang tertera di raport. Akan
mudah terlihat mana anak cerdas dan anak yang tidak cerdas. Padahal, anak yang
pintar berdasarkan nilai raport bisa jadi memang benar-benar cerdas. Tapi harus
diingat mungkin ia cerdas dalam bidang akademik. Anak lain yang nilai rapornya
rendah jangan langsung dianggap bodoh. Bisa jadi ia kurang berminat di bidang
akademis, mungkin berminat di bidang lainnya seperti seni dan sastra ataupun olah
raga. Nah disinilah peranan sekolah sangat dibutuhkan, yaitu melihat potensi
siswa dan mengembangkannya menjadi potensi yang teraktualisaikan. Sekolah harus
menjadi akselerator untuk menyuburtumbuhkan beragam potensi siswa, sehingga
dengan demikian siswa mampu mengarungi kehidupan ini dengan bekal ketrampilan
hidup yang dimilikinya ditambah dengan arahan dari sekolah. Nah dari sekolah
model ini akan lahir manusia-manusia unggul yang semuanya mampu memancarkan
potensinya dengan cemerlang. Karena sekali lagi, bukanlah siswa yang bodoh,
tapi yang ada hanyalah siswa yang lebih unggul di bidang yang berbeda.
Menurut Howard Gardner - seorang pakar pendidikan penemu multiple intelegence
(kecerdasan majemuk) dari Harvard University - anak harus didorong untuk mengaktualisaksikan
kecerdasannya. Setiap anak memiliki kecerdasan yang berbeda, Kecerdasan
tersebut adalah kecerdasan spasial-visual (cerdas dalam menggambar atau
membayangkan), linguistik verbal (cerdas dalam berkata-kata atau berbahasa).
Kecerdasan interpersonal (cerdas dalam berinteraksi dengan sesama), kecerdasan
musikal-ritmik (cerdas dalam bernyanyi dan memainkan alat musik), kecerdasan
naturalis (cerdas dalam berhubungan dengan alam dan isinya). Kecerdasan badan
(kinestetis)- cerdas dalam berolah raga dan menari, kecerdasan intrapersonal
(cerdas dalam memahami diri atau merenung), dan kecersdasan logis matematis
(cerdas dalam berhitung). Maka tugas sekolahlah untuk membantu anak
mengaktualisasikannya.
Di akhir tulisan ini saya mengutip sebuah pernyataan seorang guru teladan dari
Georgia yang meyampaikan idenya tentang anak didik pada saat penganugerahan
guru teladan. Beliau mengatakan "bahwa hal yang paling mengasyikkan dalam
mengajar adalah saat saya menatap wajah seorang anak dan menyaksikan kebingungannya
berubah menjadi konsentrasi, lalu konsentrasinya berubah menjadi keterkejutan,
dan akhirnya keterkejutannya berubah menjadi rasa bangga akan
prestasinya". Sekali lagi bahwa sekolah harus mampu membangkitkan minat
dan bakat alamiah siswanya sehingga akan muncul loncatan-loncatan prestasi yang
luar biasa.
sumber: www.pendidikan.net
Tue Aug 01, 2023 9:56 pm by wisatasemarang
» Portable STATA 18 Crack Full Version
Thu May 11, 2023 5:24 pm by wisatasemarang
» NVivo 12 Crack Full version
Mon Jan 30, 2023 11:16 am by wisatasemarang
» Tutorial Difference In difference (DID (Diff-in-Diff) With Eviews 13
Thu Nov 03, 2022 6:24 am by wisatasemarang
» Online Workshop Smart PLS Minggu, 01 Oktober 2022
Sat Sep 17, 2022 11:35 am by wisatasemarang
» kumpulan ebook tentang robot
Fri Jan 02, 2015 10:04 pm by kyuru
» MANTRA PELET
Wed May 16, 2012 3:31 am by orlandojack
» book love of spell
Sat Mar 24, 2012 8:08 pm by rifqi as
» attraction Formula
Sat Mar 24, 2012 7:09 pm by rifqi as