Senja Ramadhan Kian Merah
Oleh: Fazil
Senja Ramadhan di Boulevard UGM semakin indah terlihat
di kaki langit. Keindahan mentari senja yang mau tidur itu bertambah lengkap
dengan tampilan tubuh-tubuh indah menggiurkan yang disuguhkan oleh cewek-cewek
fungky. Pakaiannya bermode; blus ketat, tank top, rok mini, jeans ketat,bermake
up, manis ranum, dan yang pasti masih kelapa muda, sehingga mampu mencucibersih
mata si mata keranjang! Cacing dalam perut yang berkukuk-ruyuk pun bisa tenang
karenanya.
Rugi sekali bila tidak melihatnya, pikir si mata keranjang. Oleh karena
itu si mata keranjang pun tidak mau ketinggalan suguhan gratis itu. Beramai-
ramai datang bersama gangnya dengan mengendarai motor atau mobil.
"Munyuki, kita jualan juga, yuk! Nggak usah mikirin labanya, asal balik
modal aja udah cukup. Untungnya kita bisa cuci mata lihat cewek cakep.
Gimana?" kata Setana menawarkan, dan Munyuki sangat setuju sambil
mengangguk keras. "Ya, ya, ya!" Dan Liurnya pun menetes! Dua sisi Jalan
Pancasila di Boulevard itu tumpah ruah oleh ratusan manusia. Cewek-cewek dengan
rayuan mautnya menawarkan dagangannya. Ada yang jual kolak, cendol, kue, dan
minuman lainnya yang ditaruh di atas bagasi mobil BMW atau Corolla. Cowok-cowok
pun tak mau ketinggalan untuk ikut berjualan. Kemudian orang berbondong-bondong
ke Boulevard. Ada yang berjalan kaki, naik motor, atau mobil. Orang-orang itu
tidak semuanya pembeli. Ada si mata keranjang yang cuma jjs sambil cuci mata,
atau om-om dan bapak-bapak yang membawa anak istri sengaja datang ke Boulevard
dengan dalih mau beli makanan untuk berbuka, tapi mata menjalar ke mana-mana.
Jalan Pancasila penuh sesak oleh kendaraan yang berjubel. Macet. Bising.
Sisi jalannya yang khusus di jadikan trotoar pun penuh sesak dengan manusia,
sehingga ada pejalan kaki yang terpaksa menginjak jalur hijau ditengah badan
jalan. Benar-benar macet! Apalagi hari pertama Ramadhan itu ada kehadiran para
demonstran yang menentang penjual yang pamer aurat di bulan suci. Tapi mereka cuek
bebek dan terus saja menawarkan dagangannya. "Mas, kolak manis. Beli,
dong! Pasti dijamin enak, deh!"
*** Tiga pejalan kaki berjalan sambil menunduk, tidak berani menebar
pandangannya. "Ya, Allah. Kita harus kuat iman, nih," kata Muhammad.
"Selama hidup aku nggak pernah lihat penjual makanan kecil pakai mobil
segala. Terus pakaiannya… Astaghfirullah! Mereka mau jualan atau mau jual diri,
sih?" timpal Musa. "Upst! Jangan sembarang ngomong kamu. Kalo
didengar sama mereka bisa penyot kamu!" seru Ismail. Lalu mereka kembali
diam dan terus berjalan. Suara-suara bagai desahan jin menggoda, sama sekali
tidak digubris. Agak jauh dari tiga pejalan kaki tersebut, dua wartawan muda
mewancarai beberapa penjual. "Apa motivasi Munyuki, Setana, dan
teman-teman berjualan makanan kecil ini, karena kami pikir nggak mungkin hasil
penjualan ini bisa mencukupi kebutuhan orang-orang seperti kalian yang bermobil
dan bermotor antik? Berapa sih untungnya?" "Ya, untungnya emang nggak
seberapa, sih. Tapi cukuplah buat nambah uang saku beli beberapa bungkus rokok.
Lagian kami jualan cuma iseng, kok. Nggak laku juga nggak pa-pa, tapi tetap aja
untung." "Oh ya?" Wartawan muda itu tertarik. "Apa sih,
untungnya?" "Tuh!" Munyuki menunjuk dengan monyongnya.
"Bisa lihat cewek-cewek cakep. Gratis buat cuci mata. Hi…hi…hi..."
Tawa mereka berseringai yang mengingatkan kita pada tawa seringai monyet. Bibir
wartawan membulat. Oo…. Lalu dua wartawan itu pamitan dan tidak lupa mereka
ucapkan terima kasih. Beberapa menit kemudian dua wartawan tadi terlihat sedang
mewawancarai lagi beberapa cewek fungky dan cerah ceria di lain tempat.
"Nona Untari, Jini dan temen-temen, laris nggak dagangannya?"
"Wuah, laris manis, Mas. Untungnya dua kali lipat dari modal. Kayaknya
sih, bisa beli beberapa potong baju baru buat lebaran nanti." "Hebat,
hebat… Penjual di tenda-tenda itu untungnya cuma lumayan, dan yang cowok-cowok
itu untungnya cuma bisa beli rokok doang, sementara nona-nona sendiri bisa beli
baju. Sebenarnya rahasianya apa, sih? " tanya wartawan itu dengan
memperlihatkan mimik sangat tertarik.
"Dalam dunia bisnis, kita mesti tahu bagaimana cara menarik
konsumen. Salah satu caranya, ya… berpakaian seksi seperti ini. Pembeli yang
berkelamin cowok pasti berminat, kecuali yang homo kali, ya?" Cewek-cewek
itu pun tertawa cekikikan. "Tahu nggak, gara-gara pakaian tank top dan
jeans ketat ini, cowok-cowok pada langsung nempel kayak perangko. Lalu beli
dagangan kami tanpa mikirin lagi mahal atau murah." "Ooo…, jadi
begitu rahasianya. Menggunakan cewek yang berpakaian punya anak kecil. Begitu
'kan?" "Ih, jangan ngaco! Wartawan kok bego amat, sih?! Ini 'kan
pakaian mode terbaru dari perancang ternama Indonesia, Taufik Hidayat!"
"Lho Taufik Hidayat 'kan atlit bulu tangkis?" "Cerdas kamu! Kami
pikir kalian bego, tapi ternyata pinter juga. Masa' sih, pakaian begini
dibilang punya anak kecil. Apa Saudara-saudara nggak tahu, kalo pakaian ini
adalah pakaian masa kini, seksi dan menarik!" Dan mereka pun
berputar-putar memperlihatkan pakaian mereka pada dua wartawan muda. Orang-orang
yang kebetulan melihat mereka tak dipedulikan oleh cewek-cewek itu. "Oh
ya, difoto dong! Masukin ke majalahnya, ya?" Wartawan itu setuju. Lalu
cewek-cewek itu berfose di mobil sedannya bersama dagangannya, dan… klik!
Esoknya jadilah sebuah foto warna ukuran besar yang terpajang di halaman depan
koran lokal dengan headline-nya: "Cewek-cewek seksi yang jualan di
Boulevard UGM, untungnya dua kali lipat."
Setelah diekspos di koran, penjual-penjual seksi semakin banyak.
Cewek-cewek yang dulunya berpakaian tergolong sopan kini mengurangi bahan
pakaiannya, cowok-cowok pun mencari inisiatif dengan cara menarik
pacar-pacarnya untuk menjual dagangan mereka sekaligus sebagai pajangan.
Semuanya berubah prinsip: "Iseng sih, boleh aja. Tapi cari untung jalan
juga, dong!"
Jalan Pancasila kini benar-benar macet kurang ajar, karena macet
diakibatkan yang mengemudikan motor atau mobil sengaja melaju dengan lambat
sekali untuk menebar pandangan. Cewek-cewek pun semakin agresif. Tidak saja
membolehkan dicolek dan mencolek laki-laki yang lewat, tapi dengan berani
menghentikan motor atau mobil yang lewat. Suara-suara yang keluar dari bibir
indah plus senyum termanis mereka mampu membius pembeli.
Suatu senja giliran Jini menghentikan mobil sedan. Dalam mobil yang
sudah dihentikan itu ada beberapa cowok gaul. Karena pakaian Jini pas-pasan,
mata cowok-cowok itu melotot nyaris lepas. Seakan-akan dengan mendelikkan mata
mereka bisa menangkap jelas pemandangan yang tersembunyi dibalik bungkusan
hemat kain itu.
"Mas, rugi lho nggak beli. Enak sekali. Hampir habis lagi. Dibeli
ya, Mas?" Si cowok sengaja membuat lama Jini berada di dekat mobil mereka.
Semula tanya harga, terus tanya apa yang dijual, enak tidak, harganya terlalu
mahal, terus tawar-tawaran. Akhirnya setelah berjalan agak lama terjadi
kesepakatan dan uang kertas lima puluh ribu dilumat-lumat lalu dilemparkan ke
arah Jini. Jini dengan sigap menangkapnya.
Cowok-cowok tertawa cekikan. Hi…hi…hi… Tawa penuh kepuasan! Lalu setelah
beberapa menit berbuka, ketika keadaan sepi dan remang- remang, sebagian
penjual-penjual seksi beraksi melakukan kencan panas bersama pasangannya
masing-masing di bawah pohon hijau yang banyak tumbuh di sekitar Boulevard itu.
Sesuatu yang sudah dinanti-nantikan sejak siang tadi. Di lain tempat, suara
petasan pun bersahut-sahutan yang terdengar jelas oleh mereka dan mereka cuek
saja. Malah kian bergembira karena terasa bagai dalam acara sebuah pesta yang
meriah.
Protes meledak! Para demonstran menentang mereka. Mereka adalah pengejek
Ramadhan yang harus disingkirkan! Hampir saja protes berubah menjadi kerusuhan.
Akan tetapi kerusuhan itu bisa dilerai oleh polisi yang datang tepat waktu.
Melihat situasi demikian rektor UGM, Prof. Dr. Ichlasul Amal, M.A., baru
turun tangan. Boulevard UGM dinyatakan tutup ketika sore hari selama Ramadhan,
penjual-penjual dilarang berdagang lagi dan harus angkat kaki dari Boulevard
UGM. Penjual-penjual tidak berdosa yang sedang mencari rezeki secara halal juga
ikutan kena getahnya. Sungguh mereka sangat kecewa.
Mereka, para penjual tidak putus asa, sebagian ada yang lari ke depan
Fakultas Filsafat UGM di Jalan olah raga, tapi kebanyakan lari ke Jakal (Jalan
Kaliurang), dekat Gedung Pusat UGM. Di Jakal penjual seksi seperti mau balas
dendam. Aksi mereka lebih berani dan panas! Akan tetapi, penjual seksi itu
dagangannya menjadi kurang laris. Di Jakal mobil dan motor berlaju kencang.
Tentunya tidak bisa dihentikan, kecuali kalau mau mati! Sementara dengan
pejalan kaki sedikit, tidak sebanyak di Buolevard yang berjubel orangnya.
Bahkan penjalan kaki pun jarang, karena Jakal bukan tempat strategis buat
pejalan kaki.
Hingga puasa mau berakhir penjual seksi semakin menyusut, karena mudik
atau tidak berjualan lagi. Ada yang masih bertahan dan berusaha terus mencari
ide baru untuk menarik konsumen. Tunggu saja tanggal mainnya! ***
Senja Ramadhan berikutnya di Jakal kian panas. Panas oleh para penjual
seksi yang tidak tanggung-tanggung berpakaian persis bikini, pakaian model
terbaru. Salah satu cara baru untuk menarik pembeli. Dan para demonstran tiban
pun muncul lagi, tetapi tidak mampu menyingkirkan penjual itu. Rektorat tidak
turun tangan lagi. Masih ada urusan lain yang lebih penting. Toh, para penjual
yang seksi itu cuma sementara. 'Ntar hilang juga setelah puasa berakhir, begitu
kata rektorat UGM.
Lalu kasus penjual seksi menjadi problema terisolasi dan demoralisasi
pun terus berkembang. Kebebasan berekspresi menjadi tuhan yang dielu-elukan.
Demi memperoleh uang, nekat untuk berbuat apa saja. Trik menarik konsumen punya
inovasi baru. Di nampan, selain disodorkan makanan berbuka juga ada kartu nama.
Bisa dihubungi kapan saja, lalu janjian di hotel 'anu'.
Melihat keadaan seperti itu masing-masing individu atau kelompok harus
cerdik menyikapi situasi demikian. Kuat iman dan tak terpengaruh. Hari berganti
hari, bulan bertemu bulan dan Ramadhan pun tiba lagi. Para penjual kini tidak
hanya berdagang makanan kecil menjelang berbuka, tapi beralih jual diri dengan
terang-terangan! Berbuka puasa diplesetkan menjadi buka hawa nafsu. Tidak ada
yang berani melarang kecuali kalau mau tumpah darah dan nyawa meregang,
silahkan!
Demoralisasi umat tidak dapat dibendung. Pengaruh Barat tentang
kebebasan telah menyebar ke mana-mana dan menjadi pandangan hidup sejati. Apa
lagi Asia sudah memasuki perdagangan bebas Asia (AFTA) dan Indonesia bagian
dari Asia, mau tak mau harus menerima walaupun belum siap, karena negara masih
dalam keadaan kacau. Semua menjadi lumrah pada moral yang sudah terkikis dan
orang-orang seakan tidak peduli. Mereka menjadi individualis. ***
Beberapa kali senja Ramadhan, kini dagangan penjual tubuh merangkap
penjual makanan berbuka kurang didatangi pembeli. Untari, Jini, dan teman-teman
menjadi heran. Lalu ditelepon pelanggan kenalan yang sudah pernah tidur bersama
di hotel. "Mas, kok nggak pernah ke Jakal lagi? Beli dong, dagangan
kami." "Bosan!" "Bosan? Kenapa?" "Pokoknya bosan
sama penjual kayak kamu. Mendingan beli makananan yang dijualkan di bawah tenda
itu. Para penjual di sana bisa menetramkan batinku." Klik! Putus. Sebel,
deh! Padahal mau tanya lebih banyak lagi. Ada apa sih dengan penjual di tenda
itu? Memang selama ini tenda-tenda itu bercahaya. Entah cahaya apa itu dan
orang-orang berkerumun di sana.
Baru terketahui ketika dua wartawan muda meliput ke tenda-tenda bercahaya
itu. Para penjual makanan berbuka di bawah tenda itu berjilbab dan wajahnya pun
cerah, secerah cahaya bulan. Aura tersebut itu memenuhi tenda mereka dan
keharuman ajaib merebak di sekitar tenda. Penjual itu bertutur kata lemah
lembut dan memiliki senyum sejati. Sungguh pembeli bisa tentram bila di sana.
"Maaf, bisakah Anda berkomentar sedikit? Begini, di kala penjual lain
sudah memakai berbagai cara untuk menarik pembeli, tapi Anda tetap konsisten
dengan cara Anda tidak berpakaian seksi dan buka-bukaan. Apakah dagangan Anda
selama ini laris?" "Bulan Ramadhan adalah bulan penuh berkah, rahmat,
ampunan dan limpahan rezeki. Kami yakin rezeki itu tidak lari jika sudah memang
rezeki kami. Rezeki buat manusia sudah ditentukan oleh Allah SWT dan tidak mesti
dengan cara macam-macam mendapatkannya, asalkan dengan cara yang baik dan sopan
juga tentunya halal, pasti rezeki akan terperoleh. Memang dulu dagangan kami
tidak begitu laris, tapi kami tidak putus asa, mungkin belum rezeki kami. Lalu
sekarang, alhamdulillah rezeki kami baik sekali." Mengetahui hal itu
penjual tubuh itu pun merubah cara. Tubuh mereka ditimpa dengan jilbab.
Dibangun tenda dan disemprot parfum-parfum bermerk terkenal, sehingga pembeli
pun mulai berdatangan.
Akan tetapi suatu senja terjadi keanehan. Mendadak datang angin puyuh
yang menyerang para jilbaber baru hingga jilbab mereka terhempas dari tubuh
mereka. Orang-orang terpana melihat tubuh mereka yang sudah kembali polos dan
dari tubuh mereka keluar ulat-ulat yang menjijikkan dan mengerikan. Wajah
mereka pun tidak ketinggalan. Sekujur tubuh mereka mulai membusuk dan aroma
busuknya menyebar ke sekeliling mereka. Walaupun demikian, sebagian pembeli
tetap saja ke sana. Membeli makanan dan tidur bersama hingga pembeli-pembeli
itu pun ikut membusuk bersama mereka.***
Catatan: Cerita fiksi Senja Ramadhan Kian Merah, terinspirasi dari
fenomena yang terjadi pada Ramadhan 1420 H (2000 M) di Bundaran UGM Yogyakarta,
di mana banyak penjual makanan berbuka puasa tapi berpakaian tidak sopan.
Setelah datang protes dari masyarakat, termasuk mahasiswa dan organisasi Islam,
Bundaran UGM di tutup saat sore selama Ramadhan hingga sekarang. Penjual-jual
yang kebanyakan mahasiswa itu, setelah Bundaran UGM ditutup pindah ke Jalan
Kaliurang. Ketika Ramdhan, biasanya penjual tak sopan tersebut akan bermunculan
lagi, dan kembali melakukan aksinya 'buka- bukaan'.
Oleh: Fazil
Senja Ramadhan di Boulevard UGM semakin indah terlihat
di kaki langit. Keindahan mentari senja yang mau tidur itu bertambah lengkap
dengan tampilan tubuh-tubuh indah menggiurkan yang disuguhkan oleh cewek-cewek
fungky. Pakaiannya bermode; blus ketat, tank top, rok mini, jeans ketat,bermake
up, manis ranum, dan yang pasti masih kelapa muda, sehingga mampu mencucibersih
mata si mata keranjang! Cacing dalam perut yang berkukuk-ruyuk pun bisa tenang
karenanya.
Rugi sekali bila tidak melihatnya, pikir si mata keranjang. Oleh karena
itu si mata keranjang pun tidak mau ketinggalan suguhan gratis itu. Beramai-
ramai datang bersama gangnya dengan mengendarai motor atau mobil.
"Munyuki, kita jualan juga, yuk! Nggak usah mikirin labanya, asal balik
modal aja udah cukup. Untungnya kita bisa cuci mata lihat cewek cakep.
Gimana?" kata Setana menawarkan, dan Munyuki sangat setuju sambil
mengangguk keras. "Ya, ya, ya!" Dan Liurnya pun menetes! Dua sisi Jalan
Pancasila di Boulevard itu tumpah ruah oleh ratusan manusia. Cewek-cewek dengan
rayuan mautnya menawarkan dagangannya. Ada yang jual kolak, cendol, kue, dan
minuman lainnya yang ditaruh di atas bagasi mobil BMW atau Corolla. Cowok-cowok
pun tak mau ketinggalan untuk ikut berjualan. Kemudian orang berbondong-bondong
ke Boulevard. Ada yang berjalan kaki, naik motor, atau mobil. Orang-orang itu
tidak semuanya pembeli. Ada si mata keranjang yang cuma jjs sambil cuci mata,
atau om-om dan bapak-bapak yang membawa anak istri sengaja datang ke Boulevard
dengan dalih mau beli makanan untuk berbuka, tapi mata menjalar ke mana-mana.
Jalan Pancasila penuh sesak oleh kendaraan yang berjubel. Macet. Bising.
Sisi jalannya yang khusus di jadikan trotoar pun penuh sesak dengan manusia,
sehingga ada pejalan kaki yang terpaksa menginjak jalur hijau ditengah badan
jalan. Benar-benar macet! Apalagi hari pertama Ramadhan itu ada kehadiran para
demonstran yang menentang penjual yang pamer aurat di bulan suci. Tapi mereka cuek
bebek dan terus saja menawarkan dagangannya. "Mas, kolak manis. Beli,
dong! Pasti dijamin enak, deh!"
*** Tiga pejalan kaki berjalan sambil menunduk, tidak berani menebar
pandangannya. "Ya, Allah. Kita harus kuat iman, nih," kata Muhammad.
"Selama hidup aku nggak pernah lihat penjual makanan kecil pakai mobil
segala. Terus pakaiannya… Astaghfirullah! Mereka mau jualan atau mau jual diri,
sih?" timpal Musa. "Upst! Jangan sembarang ngomong kamu. Kalo
didengar sama mereka bisa penyot kamu!" seru Ismail. Lalu mereka kembali
diam dan terus berjalan. Suara-suara bagai desahan jin menggoda, sama sekali
tidak digubris. Agak jauh dari tiga pejalan kaki tersebut, dua wartawan muda
mewancarai beberapa penjual. "Apa motivasi Munyuki, Setana, dan
teman-teman berjualan makanan kecil ini, karena kami pikir nggak mungkin hasil
penjualan ini bisa mencukupi kebutuhan orang-orang seperti kalian yang bermobil
dan bermotor antik? Berapa sih untungnya?" "Ya, untungnya emang nggak
seberapa, sih. Tapi cukuplah buat nambah uang saku beli beberapa bungkus rokok.
Lagian kami jualan cuma iseng, kok. Nggak laku juga nggak pa-pa, tapi tetap aja
untung." "Oh ya?" Wartawan muda itu tertarik. "Apa sih,
untungnya?" "Tuh!" Munyuki menunjuk dengan monyongnya.
"Bisa lihat cewek-cewek cakep. Gratis buat cuci mata. Hi…hi…hi..."
Tawa mereka berseringai yang mengingatkan kita pada tawa seringai monyet. Bibir
wartawan membulat. Oo…. Lalu dua wartawan itu pamitan dan tidak lupa mereka
ucapkan terima kasih. Beberapa menit kemudian dua wartawan tadi terlihat sedang
mewawancarai lagi beberapa cewek fungky dan cerah ceria di lain tempat.
"Nona Untari, Jini dan temen-temen, laris nggak dagangannya?"
"Wuah, laris manis, Mas. Untungnya dua kali lipat dari modal. Kayaknya
sih, bisa beli beberapa potong baju baru buat lebaran nanti." "Hebat,
hebat… Penjual di tenda-tenda itu untungnya cuma lumayan, dan yang cowok-cowok
itu untungnya cuma bisa beli rokok doang, sementara nona-nona sendiri bisa beli
baju. Sebenarnya rahasianya apa, sih? " tanya wartawan itu dengan
memperlihatkan mimik sangat tertarik.
"Dalam dunia bisnis, kita mesti tahu bagaimana cara menarik
konsumen. Salah satu caranya, ya… berpakaian seksi seperti ini. Pembeli yang
berkelamin cowok pasti berminat, kecuali yang homo kali, ya?" Cewek-cewek
itu pun tertawa cekikikan. "Tahu nggak, gara-gara pakaian tank top dan
jeans ketat ini, cowok-cowok pada langsung nempel kayak perangko. Lalu beli
dagangan kami tanpa mikirin lagi mahal atau murah." "Ooo…, jadi
begitu rahasianya. Menggunakan cewek yang berpakaian punya anak kecil. Begitu
'kan?" "Ih, jangan ngaco! Wartawan kok bego amat, sih?! Ini 'kan
pakaian mode terbaru dari perancang ternama Indonesia, Taufik Hidayat!"
"Lho Taufik Hidayat 'kan atlit bulu tangkis?" "Cerdas kamu! Kami
pikir kalian bego, tapi ternyata pinter juga. Masa' sih, pakaian begini
dibilang punya anak kecil. Apa Saudara-saudara nggak tahu, kalo pakaian ini
adalah pakaian masa kini, seksi dan menarik!" Dan mereka pun
berputar-putar memperlihatkan pakaian mereka pada dua wartawan muda. Orang-orang
yang kebetulan melihat mereka tak dipedulikan oleh cewek-cewek itu. "Oh
ya, difoto dong! Masukin ke majalahnya, ya?" Wartawan itu setuju. Lalu
cewek-cewek itu berfose di mobil sedannya bersama dagangannya, dan… klik!
Esoknya jadilah sebuah foto warna ukuran besar yang terpajang di halaman depan
koran lokal dengan headline-nya: "Cewek-cewek seksi yang jualan di
Boulevard UGM, untungnya dua kali lipat."
Setelah diekspos di koran, penjual-penjual seksi semakin banyak.
Cewek-cewek yang dulunya berpakaian tergolong sopan kini mengurangi bahan
pakaiannya, cowok-cowok pun mencari inisiatif dengan cara menarik
pacar-pacarnya untuk menjual dagangan mereka sekaligus sebagai pajangan.
Semuanya berubah prinsip: "Iseng sih, boleh aja. Tapi cari untung jalan
juga, dong!"
Jalan Pancasila kini benar-benar macet kurang ajar, karena macet
diakibatkan yang mengemudikan motor atau mobil sengaja melaju dengan lambat
sekali untuk menebar pandangan. Cewek-cewek pun semakin agresif. Tidak saja
membolehkan dicolek dan mencolek laki-laki yang lewat, tapi dengan berani
menghentikan motor atau mobil yang lewat. Suara-suara yang keluar dari bibir
indah plus senyum termanis mereka mampu membius pembeli.
Suatu senja giliran Jini menghentikan mobil sedan. Dalam mobil yang
sudah dihentikan itu ada beberapa cowok gaul. Karena pakaian Jini pas-pasan,
mata cowok-cowok itu melotot nyaris lepas. Seakan-akan dengan mendelikkan mata
mereka bisa menangkap jelas pemandangan yang tersembunyi dibalik bungkusan
hemat kain itu.
"Mas, rugi lho nggak beli. Enak sekali. Hampir habis lagi. Dibeli
ya, Mas?" Si cowok sengaja membuat lama Jini berada di dekat mobil mereka.
Semula tanya harga, terus tanya apa yang dijual, enak tidak, harganya terlalu
mahal, terus tawar-tawaran. Akhirnya setelah berjalan agak lama terjadi
kesepakatan dan uang kertas lima puluh ribu dilumat-lumat lalu dilemparkan ke
arah Jini. Jini dengan sigap menangkapnya.
Cowok-cowok tertawa cekikan. Hi…hi…hi… Tawa penuh kepuasan! Lalu setelah
beberapa menit berbuka, ketika keadaan sepi dan remang- remang, sebagian
penjual-penjual seksi beraksi melakukan kencan panas bersama pasangannya
masing-masing di bawah pohon hijau yang banyak tumbuh di sekitar Boulevard itu.
Sesuatu yang sudah dinanti-nantikan sejak siang tadi. Di lain tempat, suara
petasan pun bersahut-sahutan yang terdengar jelas oleh mereka dan mereka cuek
saja. Malah kian bergembira karena terasa bagai dalam acara sebuah pesta yang
meriah.
Protes meledak! Para demonstran menentang mereka. Mereka adalah pengejek
Ramadhan yang harus disingkirkan! Hampir saja protes berubah menjadi kerusuhan.
Akan tetapi kerusuhan itu bisa dilerai oleh polisi yang datang tepat waktu.
Melihat situasi demikian rektor UGM, Prof. Dr. Ichlasul Amal, M.A., baru
turun tangan. Boulevard UGM dinyatakan tutup ketika sore hari selama Ramadhan,
penjual-penjual dilarang berdagang lagi dan harus angkat kaki dari Boulevard
UGM. Penjual-penjual tidak berdosa yang sedang mencari rezeki secara halal juga
ikutan kena getahnya. Sungguh mereka sangat kecewa.
Mereka, para penjual tidak putus asa, sebagian ada yang lari ke depan
Fakultas Filsafat UGM di Jalan olah raga, tapi kebanyakan lari ke Jakal (Jalan
Kaliurang), dekat Gedung Pusat UGM. Di Jakal penjual seksi seperti mau balas
dendam. Aksi mereka lebih berani dan panas! Akan tetapi, penjual seksi itu
dagangannya menjadi kurang laris. Di Jakal mobil dan motor berlaju kencang.
Tentunya tidak bisa dihentikan, kecuali kalau mau mati! Sementara dengan
pejalan kaki sedikit, tidak sebanyak di Buolevard yang berjubel orangnya.
Bahkan penjalan kaki pun jarang, karena Jakal bukan tempat strategis buat
pejalan kaki.
Hingga puasa mau berakhir penjual seksi semakin menyusut, karena mudik
atau tidak berjualan lagi. Ada yang masih bertahan dan berusaha terus mencari
ide baru untuk menarik konsumen. Tunggu saja tanggal mainnya! ***
Senja Ramadhan berikutnya di Jakal kian panas. Panas oleh para penjual
seksi yang tidak tanggung-tanggung berpakaian persis bikini, pakaian model
terbaru. Salah satu cara baru untuk menarik pembeli. Dan para demonstran tiban
pun muncul lagi, tetapi tidak mampu menyingkirkan penjual itu. Rektorat tidak
turun tangan lagi. Masih ada urusan lain yang lebih penting. Toh, para penjual
yang seksi itu cuma sementara. 'Ntar hilang juga setelah puasa berakhir, begitu
kata rektorat UGM.
Lalu kasus penjual seksi menjadi problema terisolasi dan demoralisasi
pun terus berkembang. Kebebasan berekspresi menjadi tuhan yang dielu-elukan.
Demi memperoleh uang, nekat untuk berbuat apa saja. Trik menarik konsumen punya
inovasi baru. Di nampan, selain disodorkan makanan berbuka juga ada kartu nama.
Bisa dihubungi kapan saja, lalu janjian di hotel 'anu'.
Melihat keadaan seperti itu masing-masing individu atau kelompok harus
cerdik menyikapi situasi demikian. Kuat iman dan tak terpengaruh. Hari berganti
hari, bulan bertemu bulan dan Ramadhan pun tiba lagi. Para penjual kini tidak
hanya berdagang makanan kecil menjelang berbuka, tapi beralih jual diri dengan
terang-terangan! Berbuka puasa diplesetkan menjadi buka hawa nafsu. Tidak ada
yang berani melarang kecuali kalau mau tumpah darah dan nyawa meregang,
silahkan!
Demoralisasi umat tidak dapat dibendung. Pengaruh Barat tentang
kebebasan telah menyebar ke mana-mana dan menjadi pandangan hidup sejati. Apa
lagi Asia sudah memasuki perdagangan bebas Asia (AFTA) dan Indonesia bagian
dari Asia, mau tak mau harus menerima walaupun belum siap, karena negara masih
dalam keadaan kacau. Semua menjadi lumrah pada moral yang sudah terkikis dan
orang-orang seakan tidak peduli. Mereka menjadi individualis. ***
Beberapa kali senja Ramadhan, kini dagangan penjual tubuh merangkap
penjual makanan berbuka kurang didatangi pembeli. Untari, Jini, dan teman-teman
menjadi heran. Lalu ditelepon pelanggan kenalan yang sudah pernah tidur bersama
di hotel. "Mas, kok nggak pernah ke Jakal lagi? Beli dong, dagangan
kami." "Bosan!" "Bosan? Kenapa?" "Pokoknya bosan
sama penjual kayak kamu. Mendingan beli makananan yang dijualkan di bawah tenda
itu. Para penjual di sana bisa menetramkan batinku." Klik! Putus. Sebel,
deh! Padahal mau tanya lebih banyak lagi. Ada apa sih dengan penjual di tenda
itu? Memang selama ini tenda-tenda itu bercahaya. Entah cahaya apa itu dan
orang-orang berkerumun di sana.
Baru terketahui ketika dua wartawan muda meliput ke tenda-tenda bercahaya
itu. Para penjual makanan berbuka di bawah tenda itu berjilbab dan wajahnya pun
cerah, secerah cahaya bulan. Aura tersebut itu memenuhi tenda mereka dan
keharuman ajaib merebak di sekitar tenda. Penjual itu bertutur kata lemah
lembut dan memiliki senyum sejati. Sungguh pembeli bisa tentram bila di sana.
"Maaf, bisakah Anda berkomentar sedikit? Begini, di kala penjual lain
sudah memakai berbagai cara untuk menarik pembeli, tapi Anda tetap konsisten
dengan cara Anda tidak berpakaian seksi dan buka-bukaan. Apakah dagangan Anda
selama ini laris?" "Bulan Ramadhan adalah bulan penuh berkah, rahmat,
ampunan dan limpahan rezeki. Kami yakin rezeki itu tidak lari jika sudah memang
rezeki kami. Rezeki buat manusia sudah ditentukan oleh Allah SWT dan tidak mesti
dengan cara macam-macam mendapatkannya, asalkan dengan cara yang baik dan sopan
juga tentunya halal, pasti rezeki akan terperoleh. Memang dulu dagangan kami
tidak begitu laris, tapi kami tidak putus asa, mungkin belum rezeki kami. Lalu
sekarang, alhamdulillah rezeki kami baik sekali." Mengetahui hal itu
penjual tubuh itu pun merubah cara. Tubuh mereka ditimpa dengan jilbab.
Dibangun tenda dan disemprot parfum-parfum bermerk terkenal, sehingga pembeli
pun mulai berdatangan.
Akan tetapi suatu senja terjadi keanehan. Mendadak datang angin puyuh
yang menyerang para jilbaber baru hingga jilbab mereka terhempas dari tubuh
mereka. Orang-orang terpana melihat tubuh mereka yang sudah kembali polos dan
dari tubuh mereka keluar ulat-ulat yang menjijikkan dan mengerikan. Wajah
mereka pun tidak ketinggalan. Sekujur tubuh mereka mulai membusuk dan aroma
busuknya menyebar ke sekeliling mereka. Walaupun demikian, sebagian pembeli
tetap saja ke sana. Membeli makanan dan tidur bersama hingga pembeli-pembeli
itu pun ikut membusuk bersama mereka.***
Catatan: Cerita fiksi Senja Ramadhan Kian Merah, terinspirasi dari
fenomena yang terjadi pada Ramadhan 1420 H (2000 M) di Bundaran UGM Yogyakarta,
di mana banyak penjual makanan berbuka puasa tapi berpakaian tidak sopan.
Setelah datang protes dari masyarakat, termasuk mahasiswa dan organisasi Islam,
Bundaran UGM di tutup saat sore selama Ramadhan hingga sekarang. Penjual-jual
yang kebanyakan mahasiswa itu, setelah Bundaran UGM ditutup pindah ke Jalan
Kaliurang. Ketika Ramdhan, biasanya penjual tak sopan tersebut akan bermunculan
lagi, dan kembali melakukan aksinya 'buka- bukaan'.
Tue Aug 01, 2023 9:56 pm by wisatasemarang
» Portable STATA 18 Crack Full Version
Thu May 11, 2023 5:24 pm by wisatasemarang
» NVivo 12 Crack Full version
Mon Jan 30, 2023 11:16 am by wisatasemarang
» Tutorial Difference In difference (DID (Diff-in-Diff) With Eviews 13
Thu Nov 03, 2022 6:24 am by wisatasemarang
» Online Workshop Smart PLS Minggu, 01 Oktober 2022
Sat Sep 17, 2022 11:35 am by wisatasemarang
» kumpulan ebook tentang robot
Fri Jan 02, 2015 10:04 pm by kyuru
» MANTRA PELET
Wed May 16, 2012 3:31 am by orlandojack
» book love of spell
Sat Mar 24, 2012 8:08 pm by rifqi as
» attraction Formula
Sat Mar 24, 2012 7:09 pm by rifqi as