BAB III
MODEL
KURIKULUM BAHASA ASING MASA DEPAN
A. Pendekatan
Kurikulum dapat dikembangkan dengan
berbagai metode dan pendekatan selaras dengan filosofis, tujuan, masalah, dan
kebutuhan pendidikan yang ada pada suatu negara. Clark
(1987: 99) mengemukakan tiga pendekatan yang digunakan dalam kegiatan
pembaharuan kurikulum.
Pertama, humanisme klasik. Pendekatan ini mengembangkan
kurikulum secara atas – bawah (top – down) yang dilakukan oleh dua
pihak: sejumlah pakar dari lembaga
pendidikan tinggi dan para pemegang kebijakan yang memiliki otoritas dalam
bidang kurikulum. Produk inovatif dari pendekatan ini berupa silabus baru
(dalam konteks ini silabus identik dengan kurikulum) yang telah teruji
kesahihannya dan diwujudkan dalam bahan
pelajaran sebagai materi penataran dan
pendidikan tahunan.
Kedua, rekonstruksionisme.
Pendekatan ini pun mengembangkan kurikulum secara atas-bawah (top-down)
yang dilakukan oleh tim pakar dari luar yang ditentukan oleh pemerintah. Tim
ini menyusun kebijakan kurikuler selaras dengan rambu-rambu yang ada dengan
memfokuskan perhatiannya pada riset, perkembangan, dan difusi. Produk dari
pengembangannya ialah kebijakan atau paket kurikulum baru.
Ketiga, progresivisme.
Pendekatan ini mengadakan pengembangan secara bawah-atas (bottom-up)
yang dilakukan para guru dan dibantu oleh pakar. Produk dari pembaharuan ini
berupa perbaikan-perbaikan bersekala kecil yang merupakan bagian dari
kurikulum. Perbaikan ini merupakan bahan lokakarya di daerah.
Di samping itu, Nunan (1988:21-22)
memandang bahwa kurikulum pun dapat dikembangkan berdasarkan kadar atau tingkat
perkembangan yang terjadi di tingkat lokal. Jika dikembangkan dari sudut
pandang ini, muncul berbagai bentuk kurikulum berikut ini.
Pertama, kurikulum
yang tersentralisasi secara penuh (a fully centralised curriculum),
yaitu kurikulum yang dikembangkan secara terpusat, kemudian disebarkan ke
daerah. Pembelajar dapat mengikuti kelas-kelas bahasa tertentu sesuai dengan
tingkat kompetensinya yang telah ditetapkan dalam kurikulum tersebut.
Kedua, kurikulum
berbasis sekolah (school-based curriculum), yaitu kurikulum yang
dikembangkan, baik sebagian atau seluruhnya, dalam lembaga pendidikan itu
sendiri, sehingga ia lebih responsif terhadap kebutuhan dan minat pembelajar.
Ketiga, kurikulum
yang berpusat pada subjek (subject-centred curriculum), yaitu kurikulum
yang memandang bahwa pembelajar bahasa
hendaknya menguasai body of knowledge bahasa.
Keempat, kurikulum
yang berpusat pada pembelajar (learner-centered curriculum), yaitu kurikulum
yang memandang perolehan bahasa sebagai suatu proses pemerolehan berbagai
keterampilan, bukan sebagai a body of knowledge.
Pendekatan mana pun yang digunakan,
hendaknya kurikulum bahasa yang dikembangkan mempertimbangkan minat, kebutuhan, dan kompetensi yang dituntut oleh dunia global
saat ini. Pertimbangan tersebut ialah,
1. Keterampilan berinteraksi sosial. Artinya siswa dapat berkomunikasi
secara lisan dan tertulis dalam situasi yang beragam dengan masyarakat dari
latar belakang budaya dan bahasa yang berbeda.
2. Keterampilan mengakses informasi. Maksudnya,
siswa memiliki kemahiran dalam memperoleh informasi dari berbagai sumber yang
berbeda dan media yang bervariasi serta mampu
menggunakannya.
3. Keterampilan presentasi. Siswa memiliki
kemahiran dalam mempresentasikan informasi dan gagasan secara sistematis dalam
berbagai bentuk yang bervariasi, baik secara lisan maupun tertulis, tentang
berbagai topik.
4. Apresiasi sastra. Siswa mengapresiasi sastra
lisan dan tulis serta mengembangkan kepekaannya terhadap nilai-nilai budaya
yang terkandung dalam karya sastra.
5. Bahasa dan
budaya. Siswa mengapresiasi karakteristik bahasa dan perbedaan antarbahasa.
Keterampilan ini dikenal dengan cross-cultural understanding yang lazim
disingkat CCU.
Sementara itu, lembaga lain mengemukakan tujuan pendidikan bahasa asing
yang hampir sama dengan tujuan di atas, yaitu (1) memiliki kemahiran
berkomunikasi dengan bangsa lain, (2) mengetahui dan memahami budaya yang
terkandung dalam bahasa asing, (3) mengaitkan pengetahuan bahasa dengan
disiplin ilmu lain yang relevan, (4) membandingkan dan mengkontraskan bahasa
yang dipelajarinya dengan bahasa lain, dan (5) merangkum keempat kemampuan
tersebut, sehingga dia merasa nyaman menjadi warga dunia (National Standard in
Foreign Language Education, 2000:2).
Karena itu, pendidikan bahasa perlu dilakukan dengan
berbasis pada standar tertentu. Standar ini merumuskan apa yang diharapkan
dapat dilakukan siswa dari daerah mana saja, pada berbagai tingkat performansi
tertentu, dalam berbagai keterampilan berbahasa, termasuk keterampilan
berbudaya.
B. Pengorganisasian
Materi Pembelajaran Bahasa Asing
Seperti
telah dikemukakan sebelumnya, bahwa pada
masa depan hendaknya kurikulum bahasa asing dikembangkan dengan berorientasi pada penguasaan kompetensi yang
baku, kebutuhan siswa, kebutuhan setiap wilayah kota dan kabupaten, dan
kemampuan siswa untuk mendidik dirinya sendiri agar mandiri, meningkatkan
kualitas kehidupannya, dan mampu bergaul dalam tataran dunia global dalam rangka
memenuhi kebutuhannya. Dengan demikian, materi yang dikembangkan dalam kegiatan
pendidikan hendaknya mampu membekali siswa dengan berbagai kompetensi seperti
diuraikan berikut ini.
1. Materi Pembelajaran
Telaah bahasa terfokus pada dua kajian, yaitu kompetensi dan performansi.
Konsep kompetensi mengacu pada pengkajian bahasa secara teoritis dan perumusan
kaidah yang bersifat deskriptif, sedangkan performansi mengacu kepada aplikasi
kaidah tersebut dalam kegiatan komunikasi dan bersifat preskriptif dan
normatif. Kajian ihwal performansi di antaranya dilakukan dalam linguistik
terapan, yaitu pendidikan bahasa.
Dewasa ini kegiatan pendidikan bahasa mengalami perubahan orientasi tujuan
yang cukup berarti, sebagaimana telah dikemukakan di atas. Perubahan ini
berimplikasi pada perubahan materi pembelajaran. Menurut A. Chaedar Alwasilah
(2002) di antara kompetensi yang perlu dimiliki oleh pembelajar bahasa ialah
kemampuan memahami budaya para penutur
bahasa itu, dalam hal ini bahasa asing karena dalam kegiatan komunikasi,
kemampuan linguistik saja tidaklah memadai. Pengetahuan linguistik dan kultural
adalah dua hal yang berbeda. Komunikator yang baik mesti memiliki keterampilan
berbahasa asing dalam konteks budayanya. Dengan kata lain, pembelajar harus
diajari keterampilan berbahasa asing dengan pengetahuan dan pengalaman
kulturnya.
Untuk mengantisipasi komunikasi global, kita perlu
menyertakan dimensi kelima dari bahasa. Secara tradisional, pembelajaran bahasa
diartikan sebagai penguasaan empat keterampilan, yaitu menyimak, berbicara,
membaca, dan menulis. Dimensi kelima dimaksud adalah pengetahuan budaya dari
bahasa yang dipelajari. Guru bahasa asing yang profesional dituntut untuk
memiliki kelima aspek itu.
Sebagai bahan perbandingan, perusahaan-perusahaan
Amerika menghabiskan jutaan dolar untuk membiayai program-program pelatihan
silang budaya (lazim disebut cultural orientation) bagi karyawannya yang
akan ditempatkan di luar negeri agar mereka tidak mengalami kaget budaya atau culture
shock. Dalam pada itu, hampir pada semua program sekolah bisnis (program
MBA) ada mata kuliah international trade yang mencakup kajian comparative
business culture.
Materi pembelajaran lainnya yang diharapkan dapat mempribadi dan menjadi
kebiasaan para siswa adalah kemampuan berpikir literat (literate thinking)
yang mencerminkan penyaturagaan kegiatan berpikir, membaca, dan menulis hanya
dapat ditumbuhsuburkan di dalam latar sosial yang kondusif. Artinya, selain
pemrograman secara teknis-edukatif, pembentukan literate thinking mempersyaratkan dua kondisi penting berikut
ini.
Pertama, adanya pesan yang ingin
disampaikan melalui tulisan atau adanya kebutuhan untuk memperoleh informasi
melalui bacaan.
Kedua, adanya kondisi dan terciptanya kesempatan untuk menulis dan
kemudahan untuk membaca.
Kedua kondisi yang sepintas
kedengarannya sangat sederhana itu pada dasarnya mengandung makna latariah yang
sangat dalam, sehingga perwujudannya memerlukan komitmen nasional yang tidak
setengah-setengah. Keinginan menyampaikan pesan melalui tulisan – mulai dari
pengalaman berdarmawisata sangatlah berkesan bagi seorang siswa SD kelas III
sampai dengan pendadaran temuan seorang pakar ilmu dan teknologi serta
pencetusan suara hati nurani seorang pengarang – menunjuk kepada kebermaknaan
tulisan itu bagi si penulis yang merupakan persyaratan bagi pelibatan diri
secara total di dalam penggarapan literate thinking.
Sementara itu kebutuhan untuk memperoleh informasi melalui bacaan
merujuk pada intensitas keterlibatan pelaku baca di dalam kegiatannya yang
dapat dipicu oleh berbagai keperluan yang bermakna – mulai pelacakan informasi
berkenaan dengan suatu pokok yang didiskusikan di kelas sampai penelaahan
hasil-hasil penelitian yang relevan dalam rangka penulisan disertasi serta penjelajahan
ke dalam dunia gagasan yang diciptakan seorang pengarang. Selanjutnya,
kesempatan menulis berarti kebebasan menyatakan diri melalui tulisan, sedangkan
kesempatan membaca berarti terjangkaunya (accessibility) berbagai bacaan
baik terbitan domestik maupun keluaran mancanegara bagi segenap pelaku baca.
Apabila kedua kriteria tersebut
di atas dikenakan, pelajaran mengarang dan membaca di kebanyakan sekolah kita
akan nampak kedodoran, sementara budaya baca-tulis di lingkungan masyarakat
luas tidak lebih dari sekadar angan-angan daripada kenyataan. Dengan perkataan
lain, kesempatan untuk menulis dan membaca yang bermuara pada pembentukan literate
thinking di sekolah nyaris belum terjamah, sehingga mengisyaratkan
pentingnya pembenahan penyelenggaraan program
pelajaran membaca dan menulis dalam bidang studi yang khas yaitu bahasa
Indonesia maupun dalam penskenarioan kebutuhan, kesempatan dan pembinaan
kemampuan dan kegemaran membaca dan menulis yang menuju kepada pembentukan literate
thinking bagi semua mata pelajaran, mulai dari jenjang sekolah dasar sampai
dengan perguruan tinggi.
Sebagaimana dikemukakan sebelumya, kemampuan dan kegemaran berpikir yang
merupakan unsur penting literate thinking harus dibentuk baik dalam arti
menemukan dan memecahkan masalah maupun yang berkenaan dengan kemampuan
berpikir epistemologis yang bukan saja kritis terhadap pikiran orang lain, akan
tetapi juga kritis terhadap pendapat diri sendiri – mempertanyakan kesahihan
pengetahuan yang diperoleh dengan menilai bukti-bukti (evidence) beserta
proses pembuktian dan penarikan kesimpulan yang digunakan (White, 1987).
Literate thinking merupakan
kontribusi pendidikan yang sangat penting dan potensial melalui sistem persekolahan. Dengan perkataan
lain sistem persekolahan dapat berperan strategis di dalam membentuk kemampuan
berpikir mandiri melalui pembentukan literate thinking yang, seperti
telah dikemukakan sebelumnya, merupakan salah satu sendi utama kemerdekaan
serta merupakan persyaratan mutlak bagi berfungsinya masyarakat yang
demokratis. Kemungkinan urunan sistem persekolahan untuk meletakkan dasar bagi
perubahan-perubahan berdampak jangka panjang seperti pembentukan literate
thinking inilah yang seyogyanya tidak boleh didesak ke luar kawasan misi
layanan ahli kependidikan oleh kesibukan mengurus ketercapaian hasil jangka
pendek pendidikan dalam bentuk perubahan tingkah laku yang dapat diamati pada
akhir setiap pertemuan tatap muka atau
sebagai peningkatan daya serap yang dicerminkan dalam bentuk skor-skor berbagai
ujian.
Di samping materi tentang kebudayaan dan literate thinking, tentu
saja keterampilan berbahasa yang substansial tetap perlu disampaikan kepada
siswa agar memiliki keterampilan berinteraksi sosial, yaitu berkomunikasi
secara lisan dan tertulis dalam situasi yang beragam dengan masyarakat dari
latar belakang budaya dan bahasa yang berbeda. Keterampilan mengakses informasi
dari berbagai sumber yang berbeda dan media yang bervariasi serta mampu menggunakannya, keterampilan mempresentasikan informasi dan gagasan secara
sistematis dalam bentuk yang bervariasi, baik secara lisan maupun tertulis,
tentang berbagai topik. Kemampuan
mengapresiasi sastra lisan dan tulis serta mengembangkan kepekaannya terhadap
nilai-nilai budaya yang terkandung dalam karya sastra, dan kemampuan
mengapresiasi karakteristik bahasa dan perbedaan antarbahasa. Keterampilan ini
dikenal dengan cross-cultural understanding.
2. Seleksi dan Pengorganisasian Materi
Materi pembelajaran tentang empat keterampilan berbahasa, kebudayaan,
dan berpikir literat hendaknya diseleksi dengan memperhatikan karakteristik
siswa dan lingkungan siswa berada. Tujuan pembelajaran yang ingin dicapai
melalui materi tersebut. Pemilihan materi pembelajaran hendaknya didasarkan
atas prinsip-prinsip berikut ini.
Pertama, kebenaran materi. Sangatlah penting bagi para guru
untuk membekali anak-anak dengan materi pembelajaran yang benar dilihat segala
aspeknya. Guru hendaknya senantiasa berupaya menjauhkan aspek-aspek kekeliruan
dari materi pembelajaran. Beberapa kajian psikologis menegaskan bahwa sangatlah sulit
melepaskan kekeliruan yang tertanam dalam diri siswa melalui kegiatan
pembelajaran.
Kedua, kesesuaian materi dengan tingkat intelektual siswa.
Materi tidak boleh berada di atas jangkauan penalaran siswa, sehingga
menyulitkan mereka dalam memahaminya, dan jangan pula terlampau mudah, sehingga
tidak menarik perhatian siswa. Para siswa, misalnya, mengalami kesulitan untuk memahami konsep
waktu dalam verba bahasa Arab. Karenanya, hal itu tidak sepatutnya disajikan kepada
mereka pada kelas-kelas permulaan.
Ketiga, hendaknya materi pembelajaran dikaitkan dengan
kehidupan siswa dan dengan lingkungan di mana dia hidup. Siswa yang duduk di
kelas permulaan, tidak perlu disuguhii bacaan yang tentang keadaan geografis
Kerajaan Arab Saudi, tetapi sebaiknya disuguhi topik tentang diri dan
keluarganya yang setiap hari dijumpainya.
Keempat, pemilihan materi juga harus diselaraskan dengan
alokasi waktu. Materi jangan terlalu panjang, sehingga membosankan siswa dan
menyulitkan mereka. Sebaliknya, materi jangan pula terlampau pendek, sehingga
mereka dapat memahaminya dalam waktu singkat dan waktu tersisa digunakan secara
tidak produktif.
Kelima, hendaknya materi disusun dalam urutan yang logis.
Setiap bagian materi harus benar-benar
berkaitan dengan materi sebelumnya. Unit-unit materi
hendaknya saling berkaitan dan bertaut serta terlihat jelas benang merahnya.
Keenam, materi
hendaknya terbagi ke dalam unit-unit utama. Setiap unit merupakan kumpulan dari
unit-unit yang lebih kecil daripada unit utamanya. Tujuan dari pembagian materi
ke dalam beberapa unit ini ialah agar pertama-tama guru dapat merancang kegiatannya, dan agar guru dapat membagi
materi dari kurikulum ke dalam
satuan-satuan alamiah yang logis sebagai kegiatan harian, mingguan, atau semesteran. Ini bukan
berarti urutan materi itu harus sesuai dengan urutan dalam buku teks, sebab
buku disusun selaras dengan tuntutan percetakan, penulisan, dan penyusunan yang
belum tentu sesuaii dengan kegiatan
mengajar.
Ketujuh, materi pelajaran
yang baru hendaknya dikaitkan dengan pelajaran yang lama. Hal ini menuntut guru
untuk menghubungkan materi baru dengan materi lama. Sebaiknya guru menjadikan
kesulitan pada pelajaran yang lalu sebagai bahan bagi
penyampaian pelajaran yang baru.
Prinsip-prinsip menyeleksi materi pembelajaran seperti
dikemukakan oleh Aziz (1982) tersebut, selanjutnya diorganisasikan menurut landasan dan
prinsip-prinsip berikut.
Pertama, guru memilih
bagian materi yang selaras dengan tingkat intelektual siswa dan dengan alokasi
waktu yang tersedia.
Kedua, guru memilah
materi ini ke dalam beberapa sekuens – tentu saja di antara sekuens tersebut
perlu ada perhentian – dan pada akhir dari setiap sekuens hendaknya ada masa
yang dimanfaatkan untuk mereviu sekuens sebelumnya.
Ketiga, hendaknya guru
memvariasikan ilustrasi dan contoh, sehingga tampak jelas keuniversilan dan
kekokohan teori atau prinsip yang diajarkan.
Keempat, hendaknya guru
memfokuskan diri pada point yang dianggap penting bagi siswa. Dia pun hendaknya
beralih secara berangsur-angsur dari point yang satu ke point yang lain.
Peralihan hanya dilakukan jika siswa telah mampu mencerna point sebelumnya.
Guru jangan hanya mementingkan penjelasan aneka hakikat, tetapi perlu menggali
hapalan dan ingatan para siswa.
Kelima, hendaknya guru
menjelaskan hubungan antara point yang satu dengan point yang lain, sehingga
dengan cara seperti itu materi pembelajaran merupakan satu kesatuan yang utuh.
Keenam, perlu
diperhatikan pelibatan siswa dalam kegiatan pembelajaran pada setiap kesempatan
yang ada, baik melalui cara bertanya atau diminta mengulangi atau menyebutkan
materi yang telah disampaikan. Hal ini bertujuan untuk memotivasi siswa agar
mengerahan upayanya dalam mencapai kebenaran dan agar mereka tidak mengalami
kebosanan.
Ketujuh, guru perlu
memilah antara siswa yang cerdas dan yang normal, antara yang kuat dan yang
lemah. Demikian pula guru hendaknya mendistribusikan pertanyaan kepada seluruh
siswanya secara proporsional, di samping berupaya membangkitkan siswa yang
lemah.
Demikianlah,
kegiatan seleksi dan pengorganisasian materi pembelajaran yang dikemukakan
‘Aziz (1982: 210-217).
C. Pembelajaran
Bahasa Asing
Pembelajaran bahasa asing di sekolah-sekolah dilakukan atas beberapa
pertimbangan seperti telah dikemukakan pada bab pertama tulisan ini tentang
beberapa rasionalisasi yang menjadi landasan pengembangan kurikulum.
Secara substansial, kegiatan pembelajaran bahasa asing
itu merupakan rangkaian proses mental yang aktif dalam mencari, mengingat, dan
menggunakan pengetahuan. Belajar dibuktikan dengan adanya perubahan dalam
pengetahuan yang memungkinkan perubahan dalam perilaku. Proses yang terjadi
itu, baik yang terlihat mata maupun yang tidak terlihat, mempunyai saluran dan
tempatnya sendiri pada struktur otak manusia
(Millrood, 2001: 105).
Banyak teori pembelajaran bahasa
yang dapat diadopsi dan digunakan untuk pembelajaran bahasa asing di sekolah. Namun, sebelum teori-teori itu
digunakan, terlebih dahulu harus dijabarkan menjadi strategi-strategi
pembelajaran dan teknik-teknik operasional yang dapat dilaksanakan dalam proses
belajar-mengajar bahasa. Beberapa teori pembelajaran bahasa dapat disebutkan di
sini, misalnya inkuiri, konstruktivisme, diskusi, pengelompokan yang heterogen, pembelajaran kooperatif, pembelajaran
bermakna, proyek efikasi, akitivitas kolaboratif, KWL (What I Know, what
I Want toKnow dan what I Learned) (http://www.ncrel/sdrs/areas/students/
learning), dan engaged learning (Council for Educational Development and
Research, 2002: 8-20).
Teori-teori pembelajaran seperti dikemukakan di atas tidak akan diuraikan
dalam makalah ini karena telah banyak dibahas oleh para pakar pendidikan,
sehingga banyak dijumpai di toko-toko buku. Namun, perlu dikemukakan pula
hal-hal yang dapat memayungi penerapan sebuah teori pembelajaran di kelas. Finocchiaro (1983) mengatakan bahwa guru hendaknya
menciptakan suasana yang membuat aktif
siswa di dalam proses pembelajaran. Apabila siswa diberi tanggung jawab
yang lebih besar, dia akan lebih serius dalam belajaranya. Hal ini senada
dengan pandangan Bejarono (1987) yang mengatakan bahwa pembelajar yang dianggap paling baik yaitu siswa yang
terlibat secara aktif di dalam proses belajar di dalam kelas tersebut.
Keaktifan siswa di dalam kegiatan belajar merupakan indikator belajar efektif. Klipple (1993) mengatakan bahwa belajar dikatakan lebih
efektif bila siswa terlibat secara aktif di dalam proses belajar.
Agar pembelajaran berlangsung secara efektif, Nunan (1989) dan Richards (1994) menyarankan agar kegiatan yang dilakukan
siswa di dalam kelas itu kondusif, guru hendaknya menyiapkan bahan ajar yang
bermakna bagi siswa, memotivasi mereka dalam belajar, dan dapat melibatkan
seluruh siswa. Dalam konteks ini, guru sebaiknya bertindak sebagai fasilitator
dan model saja (Breen, 1980) atau dalam istilah
Canale (1980) “sebagai pencipta suasana yang aktif”.
Secara lebih spesifik, Marion Williams dan Robert L.
Burden (1997) mengemukakan beberapa kiat untuk menciptakan kelas yang efektif
seperti berikut.
1. Menciptakan suasana ruangan kelas yang nyaman
dan menyenangkan
2. Mengendalikan kelas ke arah pembelajaran
3. Menyajikan kegiatan yang menarik dan dapat
memotivasi siswa
4. Menyediakan suasana yang membuat siswa
memahami bahan yang diajarkan
5. Menerangkan secara jelas apa yang harus
dilakukan dan diraih siswa
6. Menimbang hal-hal yang diharapkan dari siswa
7. Membantu siswa dalam menghadapi berbagai
kesulitan
8. Mendorong siswa untuk memunculkan apa yang
diharapkan dari dirinya
9. Mengembangkan kesantunan dalam berinteraksi
dengan siswa lain
10. Mendorong siswa untuk mendementrasikan bakat
dan pengetahuannya
11. Memberikan uraian materi secara jelas
12. Memperlihatkan antusiasme
13. Memvariasikan kegiatan selama kegiatan
pembelajaran
Demikianlah, hal terpenting yang harus dilakukan guru bahasa asing di dalam kelas dengan
menerapkan model kurikulum yang berbasis pada standar kompetensi adalah bahwa kegiatan pembelajaran hendaknya berpusat
pada peserta didik (learner-centered
curriculum), pembelajaran terfokus pada penguasaan siswa atas sejumlah
kompetensi, dan penciptaan suasana belajar yang efektif dan menyenangkan.
D. Penilaian
Kegiatan penilaian merupakan proses pengendalian mutu
pendidikan (educational quality control) yang dilakukan secara
berkesinambungan pada berbagai tingkat, jenjang, dan satuan pendidikan, baik
yang menyangkut proses maupun out put pendidikan. Pengendalian ini
diperlukan untuk memperoleh informasi yang berkaitan dengan program pendidikan
yang dilaksanakan di tingkat pusat, daerah, dan lembaga pendidikan. Selanjutnya
informasi tersebut digunakan sebagai
sapu balik (backwash) mengenai kinerja (performance) manajemen
pendidikan, kemampuan siswa, kinerja guru, dan efektifitas serta efisiensi
proses pendidikan. Dengan perkataan lain, informasi yang diperoleh melalui
pengendalian mutu sangat berguna untuk mengetahui dan mengukur
keberhasilan proses dan hasil pendidikan.
Kemudian informasi ini digunakan sebagai landasan dalam menentukan suatu
kebijakan dalam kegiatan pendidikan.
Dengan
demikian, tampaklah urgensi komponen pengendalian dalam rangka penjaminan mutu
(quality assurance), pengendalian mutu (quality control), dan
perbaikan mutu (quality improvement) dari suatu kegiatan pendidikan.
Di samping
itu, kegiatan penilaian ini juga berfungsi pengendali mutu, pendorong dan
pemberi motivasi, sebagai wujud tanggung jawab terhadap publik, seleksi dan
penjurusan, dan diagnosa atas kelemahan dan keunggulan siswa, program, dan
metode. Agar kebijakan yang diputuskan atau tindakan perbaikan yang
diberlakukan pada siswa berdasarkan informasi yang diperoleh dari kegiatan
pengendalian mutu ini tepat sasaran,
maka para penyusun tes bahasa dan kegiatan penilaian atau pengendalian mutu
pendidikan bahasa itu hendaknya melakukan beberapa pertimbangan. Di antara
pertimbangan itu adalah,
1. Siswa
diharapkan mampu berkomunikasi, menampilkan kemahirannya, menciptakan suatu karya, dan melakukan
sesuatu dengan menggunakan bahasa asing yang dipelajarinya.
2. Selama proses penilaian, hendaknya terjadi
interaksi antara guru dan siswa.
3. Siswa mengetahui kriteria penilaian yang dibuat
guru berkaitan dengan pemenuhan kinerja atau kompetensi kebahasaannya .
4. Terdapat sejumlah model dan kesempatan yang
dapat digunakan para siswa.
5. Siswa dilibatkan dalam mengevaluasi dirinya
sendiri menyangkut performansii kebahasaannya dalam rangka membantu mereka
dalam menangani kegiatan pembelajarannya.
6. Penilaian dilakukan untuk mengetahui kemajuan
siswa sepanjang waktu, karena pembelajaran bahasa merupakan proses yang gradual
dan memerlukan waktu yang relatif lama.
7. Kegiatan penilaian hendaknya bersifat realistik
dengan menggintegrasikan budaya ke dalam bahasa.
Di samping pertimbangan di atas, penilaian pun dilakukan secara variatif
dan berjenjang. Bentuk-bentuk penilaian
yang dapat dilakukan di antaranya,
1. penilaian berbasis kelas;
2. penilaian kemampuan dasar;
3. ujian akhir sekolah;
4. ujian akhir nasional; dan
5. pemantauan mutu pendidikan.
Perlu ditekankan di sini bahwa kompetensi berbahasa merupakan kompetensi
yang berjenjang dan dapat diamati dan dinilai dari performansi berbahasa siswa,
dari karyanya, dari penampilannya saat berinteraksi, dan dari kemampuannya
mengakses dan menggunakan informasi. Hal ini
berimplikasi pada karakteristik bentuk tes yang
dapat mengungkapkan kompetensi di atas. Para ahli merumuskan beberapa
bentuk tes yang demikian, di antaranya
portofolio, tes berdasarkan hasil karya, dan tes melalui suatu proyek yang
dikerjakan oleh sekelompok siswa. Di samping itu, tentu saja direkomendasikan
tes objektif dan tes uraian selama hal itu selaras dengan kompetensi siswa yang
ingin diketahui.
Demikianlah, kurikulum bahasa asing
masa depan hendaknya dirancang dengan berorientasi pada pencapaian dan
penguasaan kompetensi berbahasa yang telah distandarkan agar mampu merespon tuntutan global dan lokal yang dihadapi siswa yang memiliki
kebutuhan, kemampuan, dan potensi variatif. Perancangan kurikulum yang demikian
akan berimplikasi pada startegi pengorganisasian materi, strategi pembelajaran,
dan sistem penilaian. Secara aplikatif, implikasi tersebut dapat dijelaskan
pada bab selanjutnya dari naskah ini.
MODEL
KURIKULUM BAHASA ASING MASA DEPAN
A. Pendekatan
Kurikulum dapat dikembangkan dengan
berbagai metode dan pendekatan selaras dengan filosofis, tujuan, masalah, dan
kebutuhan pendidikan yang ada pada suatu negara. Clark
(1987: 99) mengemukakan tiga pendekatan yang digunakan dalam kegiatan
pembaharuan kurikulum.
Pertama, humanisme klasik. Pendekatan ini mengembangkan
kurikulum secara atas – bawah (top – down) yang dilakukan oleh dua
pihak: sejumlah pakar dari lembaga
pendidikan tinggi dan para pemegang kebijakan yang memiliki otoritas dalam
bidang kurikulum. Produk inovatif dari pendekatan ini berupa silabus baru
(dalam konteks ini silabus identik dengan kurikulum) yang telah teruji
kesahihannya dan diwujudkan dalam bahan
pelajaran sebagai materi penataran dan
pendidikan tahunan.
Kedua, rekonstruksionisme.
Pendekatan ini pun mengembangkan kurikulum secara atas-bawah (top-down)
yang dilakukan oleh tim pakar dari luar yang ditentukan oleh pemerintah. Tim
ini menyusun kebijakan kurikuler selaras dengan rambu-rambu yang ada dengan
memfokuskan perhatiannya pada riset, perkembangan, dan difusi. Produk dari
pengembangannya ialah kebijakan atau paket kurikulum baru.
Ketiga, progresivisme.
Pendekatan ini mengadakan pengembangan secara bawah-atas (bottom-up)
yang dilakukan para guru dan dibantu oleh pakar. Produk dari pembaharuan ini
berupa perbaikan-perbaikan bersekala kecil yang merupakan bagian dari
kurikulum. Perbaikan ini merupakan bahan lokakarya di daerah.
Di samping itu, Nunan (1988:21-22)
memandang bahwa kurikulum pun dapat dikembangkan berdasarkan kadar atau tingkat
perkembangan yang terjadi di tingkat lokal. Jika dikembangkan dari sudut
pandang ini, muncul berbagai bentuk kurikulum berikut ini.
Pertama, kurikulum
yang tersentralisasi secara penuh (a fully centralised curriculum),
yaitu kurikulum yang dikembangkan secara terpusat, kemudian disebarkan ke
daerah. Pembelajar dapat mengikuti kelas-kelas bahasa tertentu sesuai dengan
tingkat kompetensinya yang telah ditetapkan dalam kurikulum tersebut.
Kedua, kurikulum
berbasis sekolah (school-based curriculum), yaitu kurikulum yang
dikembangkan, baik sebagian atau seluruhnya, dalam lembaga pendidikan itu
sendiri, sehingga ia lebih responsif terhadap kebutuhan dan minat pembelajar.
Ketiga, kurikulum
yang berpusat pada subjek (subject-centred curriculum), yaitu kurikulum
yang memandang bahwa pembelajar bahasa
hendaknya menguasai body of knowledge bahasa.
Keempat, kurikulum
yang berpusat pada pembelajar (learner-centered curriculum), yaitu kurikulum
yang memandang perolehan bahasa sebagai suatu proses pemerolehan berbagai
keterampilan, bukan sebagai a body of knowledge.
Pendekatan mana pun yang digunakan,
hendaknya kurikulum bahasa yang dikembangkan mempertimbangkan minat, kebutuhan, dan kompetensi yang dituntut oleh dunia global
saat ini. Pertimbangan tersebut ialah,
1. Keterampilan berinteraksi sosial. Artinya siswa dapat berkomunikasi
secara lisan dan tertulis dalam situasi yang beragam dengan masyarakat dari
latar belakang budaya dan bahasa yang berbeda.
2. Keterampilan mengakses informasi. Maksudnya,
siswa memiliki kemahiran dalam memperoleh informasi dari berbagai sumber yang
berbeda dan media yang bervariasi serta mampu
menggunakannya.
3. Keterampilan presentasi. Siswa memiliki
kemahiran dalam mempresentasikan informasi dan gagasan secara sistematis dalam
berbagai bentuk yang bervariasi, baik secara lisan maupun tertulis, tentang
berbagai topik.
4. Apresiasi sastra. Siswa mengapresiasi sastra
lisan dan tulis serta mengembangkan kepekaannya terhadap nilai-nilai budaya
yang terkandung dalam karya sastra.
5. Bahasa dan
budaya. Siswa mengapresiasi karakteristik bahasa dan perbedaan antarbahasa.
Keterampilan ini dikenal dengan cross-cultural understanding yang lazim
disingkat CCU.
Sementara itu, lembaga lain mengemukakan tujuan pendidikan bahasa asing
yang hampir sama dengan tujuan di atas, yaitu (1) memiliki kemahiran
berkomunikasi dengan bangsa lain, (2) mengetahui dan memahami budaya yang
terkandung dalam bahasa asing, (3) mengaitkan pengetahuan bahasa dengan
disiplin ilmu lain yang relevan, (4) membandingkan dan mengkontraskan bahasa
yang dipelajarinya dengan bahasa lain, dan (5) merangkum keempat kemampuan
tersebut, sehingga dia merasa nyaman menjadi warga dunia (National Standard in
Foreign Language Education, 2000:2).
Karena itu, pendidikan bahasa perlu dilakukan dengan
berbasis pada standar tertentu. Standar ini merumuskan apa yang diharapkan
dapat dilakukan siswa dari daerah mana saja, pada berbagai tingkat performansi
tertentu, dalam berbagai keterampilan berbahasa, termasuk keterampilan
berbudaya.
B. Pengorganisasian
Materi Pembelajaran Bahasa Asing
Seperti
telah dikemukakan sebelumnya, bahwa pada
masa depan hendaknya kurikulum bahasa asing dikembangkan dengan berorientasi pada penguasaan kompetensi yang
baku, kebutuhan siswa, kebutuhan setiap wilayah kota dan kabupaten, dan
kemampuan siswa untuk mendidik dirinya sendiri agar mandiri, meningkatkan
kualitas kehidupannya, dan mampu bergaul dalam tataran dunia global dalam rangka
memenuhi kebutuhannya. Dengan demikian, materi yang dikembangkan dalam kegiatan
pendidikan hendaknya mampu membekali siswa dengan berbagai kompetensi seperti
diuraikan berikut ini.
1. Materi Pembelajaran
Telaah bahasa terfokus pada dua kajian, yaitu kompetensi dan performansi.
Konsep kompetensi mengacu pada pengkajian bahasa secara teoritis dan perumusan
kaidah yang bersifat deskriptif, sedangkan performansi mengacu kepada aplikasi
kaidah tersebut dalam kegiatan komunikasi dan bersifat preskriptif dan
normatif. Kajian ihwal performansi di antaranya dilakukan dalam linguistik
terapan, yaitu pendidikan bahasa.
Dewasa ini kegiatan pendidikan bahasa mengalami perubahan orientasi tujuan
yang cukup berarti, sebagaimana telah dikemukakan di atas. Perubahan ini
berimplikasi pada perubahan materi pembelajaran. Menurut A. Chaedar Alwasilah
(2002) di antara kompetensi yang perlu dimiliki oleh pembelajar bahasa ialah
kemampuan memahami budaya para penutur
bahasa itu, dalam hal ini bahasa asing karena dalam kegiatan komunikasi,
kemampuan linguistik saja tidaklah memadai. Pengetahuan linguistik dan kultural
adalah dua hal yang berbeda. Komunikator yang baik mesti memiliki keterampilan
berbahasa asing dalam konteks budayanya. Dengan kata lain, pembelajar harus
diajari keterampilan berbahasa asing dengan pengetahuan dan pengalaman
kulturnya.
Untuk mengantisipasi komunikasi global, kita perlu
menyertakan dimensi kelima dari bahasa. Secara tradisional, pembelajaran bahasa
diartikan sebagai penguasaan empat keterampilan, yaitu menyimak, berbicara,
membaca, dan menulis. Dimensi kelima dimaksud adalah pengetahuan budaya dari
bahasa yang dipelajari. Guru bahasa asing yang profesional dituntut untuk
memiliki kelima aspek itu.
Sebagai bahan perbandingan, perusahaan-perusahaan
Amerika menghabiskan jutaan dolar untuk membiayai program-program pelatihan
silang budaya (lazim disebut cultural orientation) bagi karyawannya yang
akan ditempatkan di luar negeri agar mereka tidak mengalami kaget budaya atau culture
shock. Dalam pada itu, hampir pada semua program sekolah bisnis (program
MBA) ada mata kuliah international trade yang mencakup kajian comparative
business culture.
Materi pembelajaran lainnya yang diharapkan dapat mempribadi dan menjadi
kebiasaan para siswa adalah kemampuan berpikir literat (literate thinking)
yang mencerminkan penyaturagaan kegiatan berpikir, membaca, dan menulis hanya
dapat ditumbuhsuburkan di dalam latar sosial yang kondusif. Artinya, selain
pemrograman secara teknis-edukatif, pembentukan literate thinking mempersyaratkan dua kondisi penting berikut
ini.
Pertama, adanya pesan yang ingin
disampaikan melalui tulisan atau adanya kebutuhan untuk memperoleh informasi
melalui bacaan.
Kedua, adanya kondisi dan terciptanya kesempatan untuk menulis dan
kemudahan untuk membaca.
Kedua kondisi yang sepintas
kedengarannya sangat sederhana itu pada dasarnya mengandung makna latariah yang
sangat dalam, sehingga perwujudannya memerlukan komitmen nasional yang tidak
setengah-setengah. Keinginan menyampaikan pesan melalui tulisan – mulai dari
pengalaman berdarmawisata sangatlah berkesan bagi seorang siswa SD kelas III
sampai dengan pendadaran temuan seorang pakar ilmu dan teknologi serta
pencetusan suara hati nurani seorang pengarang – menunjuk kepada kebermaknaan
tulisan itu bagi si penulis yang merupakan persyaratan bagi pelibatan diri
secara total di dalam penggarapan literate thinking.
Sementara itu kebutuhan untuk memperoleh informasi melalui bacaan
merujuk pada intensitas keterlibatan pelaku baca di dalam kegiatannya yang
dapat dipicu oleh berbagai keperluan yang bermakna – mulai pelacakan informasi
berkenaan dengan suatu pokok yang didiskusikan di kelas sampai penelaahan
hasil-hasil penelitian yang relevan dalam rangka penulisan disertasi serta penjelajahan
ke dalam dunia gagasan yang diciptakan seorang pengarang. Selanjutnya,
kesempatan menulis berarti kebebasan menyatakan diri melalui tulisan, sedangkan
kesempatan membaca berarti terjangkaunya (accessibility) berbagai bacaan
baik terbitan domestik maupun keluaran mancanegara bagi segenap pelaku baca.
Apabila kedua kriteria tersebut
di atas dikenakan, pelajaran mengarang dan membaca di kebanyakan sekolah kita
akan nampak kedodoran, sementara budaya baca-tulis di lingkungan masyarakat
luas tidak lebih dari sekadar angan-angan daripada kenyataan. Dengan perkataan
lain, kesempatan untuk menulis dan membaca yang bermuara pada pembentukan literate
thinking di sekolah nyaris belum terjamah, sehingga mengisyaratkan
pentingnya pembenahan penyelenggaraan program
pelajaran membaca dan menulis dalam bidang studi yang khas yaitu bahasa
Indonesia maupun dalam penskenarioan kebutuhan, kesempatan dan pembinaan
kemampuan dan kegemaran membaca dan menulis yang menuju kepada pembentukan literate
thinking bagi semua mata pelajaran, mulai dari jenjang sekolah dasar sampai
dengan perguruan tinggi.
Sebagaimana dikemukakan sebelumya, kemampuan dan kegemaran berpikir yang
merupakan unsur penting literate thinking harus dibentuk baik dalam arti
menemukan dan memecahkan masalah maupun yang berkenaan dengan kemampuan
berpikir epistemologis yang bukan saja kritis terhadap pikiran orang lain, akan
tetapi juga kritis terhadap pendapat diri sendiri – mempertanyakan kesahihan
pengetahuan yang diperoleh dengan menilai bukti-bukti (evidence) beserta
proses pembuktian dan penarikan kesimpulan yang digunakan (White, 1987).
Literate thinking merupakan
kontribusi pendidikan yang sangat penting dan potensial melalui sistem persekolahan. Dengan perkataan
lain sistem persekolahan dapat berperan strategis di dalam membentuk kemampuan
berpikir mandiri melalui pembentukan literate thinking yang, seperti
telah dikemukakan sebelumnya, merupakan salah satu sendi utama kemerdekaan
serta merupakan persyaratan mutlak bagi berfungsinya masyarakat yang
demokratis. Kemungkinan urunan sistem persekolahan untuk meletakkan dasar bagi
perubahan-perubahan berdampak jangka panjang seperti pembentukan literate
thinking inilah yang seyogyanya tidak boleh didesak ke luar kawasan misi
layanan ahli kependidikan oleh kesibukan mengurus ketercapaian hasil jangka
pendek pendidikan dalam bentuk perubahan tingkah laku yang dapat diamati pada
akhir setiap pertemuan tatap muka atau
sebagai peningkatan daya serap yang dicerminkan dalam bentuk skor-skor berbagai
ujian.
Di samping materi tentang kebudayaan dan literate thinking, tentu
saja keterampilan berbahasa yang substansial tetap perlu disampaikan kepada
siswa agar memiliki keterampilan berinteraksi sosial, yaitu berkomunikasi
secara lisan dan tertulis dalam situasi yang beragam dengan masyarakat dari
latar belakang budaya dan bahasa yang berbeda. Keterampilan mengakses informasi
dari berbagai sumber yang berbeda dan media yang bervariasi serta mampu menggunakannya, keterampilan mempresentasikan informasi dan gagasan secara
sistematis dalam bentuk yang bervariasi, baik secara lisan maupun tertulis,
tentang berbagai topik. Kemampuan
mengapresiasi sastra lisan dan tulis serta mengembangkan kepekaannya terhadap
nilai-nilai budaya yang terkandung dalam karya sastra, dan kemampuan
mengapresiasi karakteristik bahasa dan perbedaan antarbahasa. Keterampilan ini
dikenal dengan cross-cultural understanding.
2. Seleksi dan Pengorganisasian Materi
Materi pembelajaran tentang empat keterampilan berbahasa, kebudayaan,
dan berpikir literat hendaknya diseleksi dengan memperhatikan karakteristik
siswa dan lingkungan siswa berada. Tujuan pembelajaran yang ingin dicapai
melalui materi tersebut. Pemilihan materi pembelajaran hendaknya didasarkan
atas prinsip-prinsip berikut ini.
Pertama, kebenaran materi. Sangatlah penting bagi para guru
untuk membekali anak-anak dengan materi pembelajaran yang benar dilihat segala
aspeknya. Guru hendaknya senantiasa berupaya menjauhkan aspek-aspek kekeliruan
dari materi pembelajaran. Beberapa kajian psikologis menegaskan bahwa sangatlah sulit
melepaskan kekeliruan yang tertanam dalam diri siswa melalui kegiatan
pembelajaran.
Kedua, kesesuaian materi dengan tingkat intelektual siswa.
Materi tidak boleh berada di atas jangkauan penalaran siswa, sehingga
menyulitkan mereka dalam memahaminya, dan jangan pula terlampau mudah, sehingga
tidak menarik perhatian siswa. Para siswa, misalnya, mengalami kesulitan untuk memahami konsep
waktu dalam verba bahasa Arab. Karenanya, hal itu tidak sepatutnya disajikan kepada
mereka pada kelas-kelas permulaan.
Ketiga, hendaknya materi pembelajaran dikaitkan dengan
kehidupan siswa dan dengan lingkungan di mana dia hidup. Siswa yang duduk di
kelas permulaan, tidak perlu disuguhii bacaan yang tentang keadaan geografis
Kerajaan Arab Saudi, tetapi sebaiknya disuguhi topik tentang diri dan
keluarganya yang setiap hari dijumpainya.
Keempat, pemilihan materi juga harus diselaraskan dengan
alokasi waktu. Materi jangan terlalu panjang, sehingga membosankan siswa dan
menyulitkan mereka. Sebaliknya, materi jangan pula terlampau pendek, sehingga
mereka dapat memahaminya dalam waktu singkat dan waktu tersisa digunakan secara
tidak produktif.
Kelima, hendaknya materi disusun dalam urutan yang logis.
Setiap bagian materi harus benar-benar
berkaitan dengan materi sebelumnya. Unit-unit materi
hendaknya saling berkaitan dan bertaut serta terlihat jelas benang merahnya.
Keenam, materi
hendaknya terbagi ke dalam unit-unit utama. Setiap unit merupakan kumpulan dari
unit-unit yang lebih kecil daripada unit utamanya. Tujuan dari pembagian materi
ke dalam beberapa unit ini ialah agar pertama-tama guru dapat merancang kegiatannya, dan agar guru dapat membagi
materi dari kurikulum ke dalam
satuan-satuan alamiah yang logis sebagai kegiatan harian, mingguan, atau semesteran. Ini bukan
berarti urutan materi itu harus sesuai dengan urutan dalam buku teks, sebab
buku disusun selaras dengan tuntutan percetakan, penulisan, dan penyusunan yang
belum tentu sesuaii dengan kegiatan
mengajar.
Ketujuh, materi pelajaran
yang baru hendaknya dikaitkan dengan pelajaran yang lama. Hal ini menuntut guru
untuk menghubungkan materi baru dengan materi lama. Sebaiknya guru menjadikan
kesulitan pada pelajaran yang lalu sebagai bahan bagi
penyampaian pelajaran yang baru.
Prinsip-prinsip menyeleksi materi pembelajaran seperti
dikemukakan oleh Aziz (1982) tersebut, selanjutnya diorganisasikan menurut landasan dan
prinsip-prinsip berikut.
Pertama, guru memilih
bagian materi yang selaras dengan tingkat intelektual siswa dan dengan alokasi
waktu yang tersedia.
Kedua, guru memilah
materi ini ke dalam beberapa sekuens – tentu saja di antara sekuens tersebut
perlu ada perhentian – dan pada akhir dari setiap sekuens hendaknya ada masa
yang dimanfaatkan untuk mereviu sekuens sebelumnya.
Ketiga, hendaknya guru
memvariasikan ilustrasi dan contoh, sehingga tampak jelas keuniversilan dan
kekokohan teori atau prinsip yang diajarkan.
Keempat, hendaknya guru
memfokuskan diri pada point yang dianggap penting bagi siswa. Dia pun hendaknya
beralih secara berangsur-angsur dari point yang satu ke point yang lain.
Peralihan hanya dilakukan jika siswa telah mampu mencerna point sebelumnya.
Guru jangan hanya mementingkan penjelasan aneka hakikat, tetapi perlu menggali
hapalan dan ingatan para siswa.
Kelima, hendaknya guru
menjelaskan hubungan antara point yang satu dengan point yang lain, sehingga
dengan cara seperti itu materi pembelajaran merupakan satu kesatuan yang utuh.
Keenam, perlu
diperhatikan pelibatan siswa dalam kegiatan pembelajaran pada setiap kesempatan
yang ada, baik melalui cara bertanya atau diminta mengulangi atau menyebutkan
materi yang telah disampaikan. Hal ini bertujuan untuk memotivasi siswa agar
mengerahan upayanya dalam mencapai kebenaran dan agar mereka tidak mengalami
kebosanan.
Ketujuh, guru perlu
memilah antara siswa yang cerdas dan yang normal, antara yang kuat dan yang
lemah. Demikian pula guru hendaknya mendistribusikan pertanyaan kepada seluruh
siswanya secara proporsional, di samping berupaya membangkitkan siswa yang
lemah.
Demikianlah,
kegiatan seleksi dan pengorganisasian materi pembelajaran yang dikemukakan
‘Aziz (1982: 210-217).
C. Pembelajaran
Bahasa Asing
Pembelajaran bahasa asing di sekolah-sekolah dilakukan atas beberapa
pertimbangan seperti telah dikemukakan pada bab pertama tulisan ini tentang
beberapa rasionalisasi yang menjadi landasan pengembangan kurikulum.
Secara substansial, kegiatan pembelajaran bahasa asing
itu merupakan rangkaian proses mental yang aktif dalam mencari, mengingat, dan
menggunakan pengetahuan. Belajar dibuktikan dengan adanya perubahan dalam
pengetahuan yang memungkinkan perubahan dalam perilaku. Proses yang terjadi
itu, baik yang terlihat mata maupun yang tidak terlihat, mempunyai saluran dan
tempatnya sendiri pada struktur otak manusia
(Millrood, 2001: 105).
Banyak teori pembelajaran bahasa
yang dapat diadopsi dan digunakan untuk pembelajaran bahasa asing di sekolah. Namun, sebelum teori-teori itu
digunakan, terlebih dahulu harus dijabarkan menjadi strategi-strategi
pembelajaran dan teknik-teknik operasional yang dapat dilaksanakan dalam proses
belajar-mengajar bahasa. Beberapa teori pembelajaran bahasa dapat disebutkan di
sini, misalnya inkuiri, konstruktivisme, diskusi, pengelompokan yang heterogen, pembelajaran kooperatif, pembelajaran
bermakna, proyek efikasi, akitivitas kolaboratif, KWL (What I Know, what
I Want toKnow dan what I Learned) (http://www.ncrel/sdrs/areas/students/
learning), dan engaged learning (Council for Educational Development and
Research, 2002: 8-20).
Teori-teori pembelajaran seperti dikemukakan di atas tidak akan diuraikan
dalam makalah ini karena telah banyak dibahas oleh para pakar pendidikan,
sehingga banyak dijumpai di toko-toko buku. Namun, perlu dikemukakan pula
hal-hal yang dapat memayungi penerapan sebuah teori pembelajaran di kelas. Finocchiaro (1983) mengatakan bahwa guru hendaknya
menciptakan suasana yang membuat aktif
siswa di dalam proses pembelajaran. Apabila siswa diberi tanggung jawab
yang lebih besar, dia akan lebih serius dalam belajaranya. Hal ini senada
dengan pandangan Bejarono (1987) yang mengatakan bahwa pembelajar yang dianggap paling baik yaitu siswa yang
terlibat secara aktif di dalam proses belajar di dalam kelas tersebut.
Keaktifan siswa di dalam kegiatan belajar merupakan indikator belajar efektif. Klipple (1993) mengatakan bahwa belajar dikatakan lebih
efektif bila siswa terlibat secara aktif di dalam proses belajar.
Agar pembelajaran berlangsung secara efektif, Nunan (1989) dan Richards (1994) menyarankan agar kegiatan yang dilakukan
siswa di dalam kelas itu kondusif, guru hendaknya menyiapkan bahan ajar yang
bermakna bagi siswa, memotivasi mereka dalam belajar, dan dapat melibatkan
seluruh siswa. Dalam konteks ini, guru sebaiknya bertindak sebagai fasilitator
dan model saja (Breen, 1980) atau dalam istilah
Canale (1980) “sebagai pencipta suasana yang aktif”.
Secara lebih spesifik, Marion Williams dan Robert L.
Burden (1997) mengemukakan beberapa kiat untuk menciptakan kelas yang efektif
seperti berikut.
1. Menciptakan suasana ruangan kelas yang nyaman
dan menyenangkan
2. Mengendalikan kelas ke arah pembelajaran
3. Menyajikan kegiatan yang menarik dan dapat
memotivasi siswa
4. Menyediakan suasana yang membuat siswa
memahami bahan yang diajarkan
5. Menerangkan secara jelas apa yang harus
dilakukan dan diraih siswa
6. Menimbang hal-hal yang diharapkan dari siswa
7. Membantu siswa dalam menghadapi berbagai
kesulitan
8. Mendorong siswa untuk memunculkan apa yang
diharapkan dari dirinya
9. Mengembangkan kesantunan dalam berinteraksi
dengan siswa lain
10. Mendorong siswa untuk mendementrasikan bakat
dan pengetahuannya
11. Memberikan uraian materi secara jelas
12. Memperlihatkan antusiasme
13. Memvariasikan kegiatan selama kegiatan
pembelajaran
Demikianlah, hal terpenting yang harus dilakukan guru bahasa asing di dalam kelas dengan
menerapkan model kurikulum yang berbasis pada standar kompetensi adalah bahwa kegiatan pembelajaran hendaknya berpusat
pada peserta didik (learner-centered
curriculum), pembelajaran terfokus pada penguasaan siswa atas sejumlah
kompetensi, dan penciptaan suasana belajar yang efektif dan menyenangkan.
D. Penilaian
Kegiatan penilaian merupakan proses pengendalian mutu
pendidikan (educational quality control) yang dilakukan secara
berkesinambungan pada berbagai tingkat, jenjang, dan satuan pendidikan, baik
yang menyangkut proses maupun out put pendidikan. Pengendalian ini
diperlukan untuk memperoleh informasi yang berkaitan dengan program pendidikan
yang dilaksanakan di tingkat pusat, daerah, dan lembaga pendidikan. Selanjutnya
informasi tersebut digunakan sebagai
sapu balik (backwash) mengenai kinerja (performance) manajemen
pendidikan, kemampuan siswa, kinerja guru, dan efektifitas serta efisiensi
proses pendidikan. Dengan perkataan lain, informasi yang diperoleh melalui
pengendalian mutu sangat berguna untuk mengetahui dan mengukur
keberhasilan proses dan hasil pendidikan.
Kemudian informasi ini digunakan sebagai landasan dalam menentukan suatu
kebijakan dalam kegiatan pendidikan.
Dengan
demikian, tampaklah urgensi komponen pengendalian dalam rangka penjaminan mutu
(quality assurance), pengendalian mutu (quality control), dan
perbaikan mutu (quality improvement) dari suatu kegiatan pendidikan.
Di samping
itu, kegiatan penilaian ini juga berfungsi pengendali mutu, pendorong dan
pemberi motivasi, sebagai wujud tanggung jawab terhadap publik, seleksi dan
penjurusan, dan diagnosa atas kelemahan dan keunggulan siswa, program, dan
metode. Agar kebijakan yang diputuskan atau tindakan perbaikan yang
diberlakukan pada siswa berdasarkan informasi yang diperoleh dari kegiatan
pengendalian mutu ini tepat sasaran,
maka para penyusun tes bahasa dan kegiatan penilaian atau pengendalian mutu
pendidikan bahasa itu hendaknya melakukan beberapa pertimbangan. Di antara
pertimbangan itu adalah,
1. Siswa
diharapkan mampu berkomunikasi, menampilkan kemahirannya, menciptakan suatu karya, dan melakukan
sesuatu dengan menggunakan bahasa asing yang dipelajarinya.
2. Selama proses penilaian, hendaknya terjadi
interaksi antara guru dan siswa.
3. Siswa mengetahui kriteria penilaian yang dibuat
guru berkaitan dengan pemenuhan kinerja atau kompetensi kebahasaannya .
4. Terdapat sejumlah model dan kesempatan yang
dapat digunakan para siswa.
5. Siswa dilibatkan dalam mengevaluasi dirinya
sendiri menyangkut performansii kebahasaannya dalam rangka membantu mereka
dalam menangani kegiatan pembelajarannya.
6. Penilaian dilakukan untuk mengetahui kemajuan
siswa sepanjang waktu, karena pembelajaran bahasa merupakan proses yang gradual
dan memerlukan waktu yang relatif lama.
7. Kegiatan penilaian hendaknya bersifat realistik
dengan menggintegrasikan budaya ke dalam bahasa.
Di samping pertimbangan di atas, penilaian pun dilakukan secara variatif
dan berjenjang. Bentuk-bentuk penilaian
yang dapat dilakukan di antaranya,
1. penilaian berbasis kelas;
2. penilaian kemampuan dasar;
3. ujian akhir sekolah;
4. ujian akhir nasional; dan
5. pemantauan mutu pendidikan.
Perlu ditekankan di sini bahwa kompetensi berbahasa merupakan kompetensi
yang berjenjang dan dapat diamati dan dinilai dari performansi berbahasa siswa,
dari karyanya, dari penampilannya saat berinteraksi, dan dari kemampuannya
mengakses dan menggunakan informasi. Hal ini
berimplikasi pada karakteristik bentuk tes yang
dapat mengungkapkan kompetensi di atas. Para ahli merumuskan beberapa
bentuk tes yang demikian, di antaranya
portofolio, tes berdasarkan hasil karya, dan tes melalui suatu proyek yang
dikerjakan oleh sekelompok siswa. Di samping itu, tentu saja direkomendasikan
tes objektif dan tes uraian selama hal itu selaras dengan kompetensi siswa yang
ingin diketahui.
Demikianlah, kurikulum bahasa asing
masa depan hendaknya dirancang dengan berorientasi pada pencapaian dan
penguasaan kompetensi berbahasa yang telah distandarkan agar mampu merespon tuntutan global dan lokal yang dihadapi siswa yang memiliki
kebutuhan, kemampuan, dan potensi variatif. Perancangan kurikulum yang demikian
akan berimplikasi pada startegi pengorganisasian materi, strategi pembelajaran,
dan sistem penilaian. Secara aplikatif, implikasi tersebut dapat dijelaskan
pada bab selanjutnya dari naskah ini.
Tue Aug 01, 2023 9:56 pm by wisatasemarang
» Portable STATA 18 Crack Full Version
Thu May 11, 2023 5:24 pm by wisatasemarang
» NVivo 12 Crack Full version
Mon Jan 30, 2023 11:16 am by wisatasemarang
» Tutorial Difference In difference (DID (Diff-in-Diff) With Eviews 13
Thu Nov 03, 2022 6:24 am by wisatasemarang
» Online Workshop Smart PLS Minggu, 01 Oktober 2022
Sat Sep 17, 2022 11:35 am by wisatasemarang
» kumpulan ebook tentang robot
Fri Jan 02, 2015 10:04 pm by kyuru
» MANTRA PELET
Wed May 16, 2012 3:31 am by orlandojack
» book love of spell
Sat Mar 24, 2012 8:08 pm by rifqi as
» attraction Formula
Sat Mar 24, 2012 7:09 pm by rifqi as