Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

ingin bergabung dengan elrakyat.tk klik pendaftaran. jika anda sudah pernah mendaftar silakan login. jangan lupa ajak kawan-kawanmu ke mari , dan jadilah top poster di forum kita

Join the forum, it's quick and easy

Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

ingin bergabung dengan elrakyat.tk klik pendaftaran. jika anda sudah pernah mendaftar silakan login. jangan lupa ajak kawan-kawanmu ke mari , dan jadilah top poster di forum kita

Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

Would you like to react to this message? Create an account in a few clicks or log in to continue.
Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

salah satu forum terbesar tempat kita bernostalgia

Login

Lupa password?

Our traffic

info rakyat

Sun Oct 31, 2010 9:05 pm by admin

---------------
PEMBERITAHUAN....

SF ZONA RELIGI SEKARANG KAMI PINDAH KE [You must be registered and logged in to see this link.] ANDA BISA BERPARTISIPASI DAN MENJADI MODERATOR SESUAI PERMINTAAN ANDA DENGAN REQUEST VIA SMS NO ADMIN 081945520865


Sekilas Info

Sun Jun 27, 2010 2:44 pm by admin

kabar gembira, forum lentera-rakyat mulai hari ini juga bisa diakses melalui [You must be registered and logged in to see this link.]


    model kurikulum bahasa asing

    sumanto
    sumanto
    Mega Ultimate Member


    Zodiac : Libra Jumlah posting : 123
    Join date : 03.07.10
    Age : 58
    Lokasi : di belakangmu

    model kurikulum bahasa asing Empty model kurikulum bahasa asing

    Post by sumanto Wed Jul 07, 2010 4:22 pm

    BAB III





    MODEL
    KURIKULUM BAHASA ASING MASA DEPAN








    A. Pendekatan







    Kurikulum dapat dikembangkan dengan
    berbagai metode dan pendekatan selaras dengan filosofis, tujuan, masalah, dan
    kebutuhan pendidikan yang ada pada suatu negara. Clark
    (1987: 99) mengemukakan tiga pendekatan yang digunakan dalam kegiatan
    pembaharuan kurikulum.






    Pertama, humanisme klasik. Pendekatan ini mengembangkan
    kurikulum secara atas – bawah (top – down) yang dilakukan oleh dua
    pihak: sejumlah pakar dari lembaga
    pendidikan tinggi dan para pemegang kebijakan yang memiliki otoritas dalam
    bidang kurikulum. Produk inovatif dari pendekatan ini berupa silabus baru
    (dalam konteks ini silabus identik dengan kurikulum) yang telah teruji
    kesahihannya dan diwujudkan dalam bahan
    pelajaran sebagai materi penataran dan
    pendidikan tahunan.






    Kedua, rekonstruksionisme.
    Pendekatan ini pun mengembangkan kurikulum secara atas-bawah (top-down)
    yang dilakukan oleh tim pakar dari luar yang ditentukan oleh pemerintah. Tim
    ini menyusun kebijakan kurikuler selaras dengan rambu-rambu yang ada dengan
    memfokuskan perhatiannya pada riset, perkembangan, dan difusi. Produk dari
    pengembangannya ialah kebijakan atau paket kurikulum baru.






    Ketiga, progresivisme.
    Pendekatan ini mengadakan pengembangan secara bawah-atas (bottom-up)
    yang dilakukan para guru dan dibantu oleh pakar. Produk dari pembaharuan ini
    berupa perbaikan-perbaikan bersekala kecil yang merupakan bagian dari
    kurikulum. Perbaikan ini merupakan bahan lokakarya di daerah.






    Di samping itu, Nunan (1988:21-22)
    memandang bahwa kurikulum pun dapat dikembangkan berdasarkan kadar atau tingkat
    perkembangan yang terjadi di tingkat lokal. Jika dikembangkan dari sudut
    pandang ini, muncul berbagai bentuk kurikulum berikut ini.



    Pertama, kurikulum
    yang tersentralisasi secara penuh (a fully centralised curriculum),
    yaitu kurikulum yang dikembangkan secara terpusat, kemudian disebarkan ke
    daerah. Pembelajar dapat mengikuti kelas-kelas bahasa tertentu sesuai dengan
    tingkat kompetensinya yang telah ditetapkan dalam kurikulum tersebut.






    Kedua, kurikulum
    berbasis sekolah (school-based curriculum), yaitu kurikulum yang
    dikembangkan, baik sebagian atau seluruhnya, dalam lembaga pendidikan itu
    sendiri, sehingga ia lebih responsif terhadap kebutuhan dan minat pembelajar.






    Ketiga, kurikulum
    yang berpusat pada subjek (subject-centred curriculum), yaitu kurikulum
    yang memandang bahwa pembelajar bahasa
    hendaknya menguasai body of knowledge bahasa.






    Keempat, kurikulum
    yang berpusat pada pembelajar (learner-centered curriculum), yaitu kurikulum
    yang memandang perolehan bahasa sebagai suatu proses pemerolehan berbagai
    keterampilan, bukan sebagai a body of knowledge.






    Pendekatan mana pun yang digunakan,
    hendaknya kurikulum bahasa yang dikembangkan mempertimbangkan minat, kebutuhan, dan kompetensi yang dituntut oleh dunia global
    saat ini. Pertimbangan tersebut ialah,



    1. Keterampilan berinteraksi sosial. Artinya siswa dapat berkomunikasi
    secara lisan dan tertulis dalam situasi yang beragam dengan masyarakat dari
    latar belakang budaya dan bahasa yang berbeda.



    2. Keterampilan mengakses informasi. Maksudnya,
    siswa memiliki kemahiran dalam memperoleh informasi dari berbagai sumber yang
    berbeda dan media yang bervariasi serta mampu
    menggunakannya.



    3. Keterampilan presentasi. Siswa memiliki
    kemahiran dalam mempresentasikan informasi dan gagasan secara sistematis dalam
    berbagai bentuk yang bervariasi, baik secara lisan maupun tertulis, tentang
    berbagai topik.



    4. Apresiasi sastra. Siswa mengapresiasi sastra
    lisan dan tulis serta mengembangkan kepekaannya terhadap nilai-nilai budaya
    yang terkandung dalam karya sastra.



    5. Bahasa dan
    budaya. Siswa mengapresiasi karakteristik bahasa dan perbedaan antarbahasa.
    Keterampilan ini dikenal dengan cross-cultural understanding yang lazim
    disingkat CCU.






    Sementara itu, lembaga lain mengemukakan tujuan pendidikan bahasa asing
    yang hampir sama dengan tujuan di atas, yaitu (1) memiliki kemahiran
    berkomunikasi dengan bangsa lain, (2) mengetahui dan memahami budaya yang
    terkandung dalam bahasa asing, (3) mengaitkan pengetahuan bahasa dengan
    disiplin ilmu lain yang relevan, (4) membandingkan dan mengkontraskan bahasa
    yang dipelajarinya dengan bahasa lain, dan (5) merangkum keempat kemampuan
    tersebut, sehingga dia merasa nyaman menjadi warga dunia (National Standard in
    Foreign Language Education, 2000:2).






    Karena itu, pendidikan bahasa perlu dilakukan dengan
    berbasis pada standar tertentu. Standar ini merumuskan apa yang diharapkan
    dapat dilakukan siswa dari daerah mana saja, pada berbagai tingkat performansi
    tertentu, dalam berbagai keterampilan berbahasa, termasuk keterampilan
    berbudaya.





    B. Pengorganisasian
    Materi Pembelajaran Bahasa Asing








    Seperti
    telah dikemukakan sebelumnya, bahwa pada
    masa depan hendaknya kurikulum bahasa asing dikembangkan dengan berorientasi pada penguasaan kompetensi yang
    baku, kebutuhan siswa, kebutuhan setiap wilayah kota dan kabupaten, dan
    kemampuan siswa untuk mendidik dirinya sendiri agar mandiri, meningkatkan
    kualitas kehidupannya, dan mampu bergaul dalam tataran dunia global dalam rangka
    memenuhi kebutuhannya. Dengan demikian, materi yang dikembangkan dalam kegiatan
    pendidikan hendaknya mampu membekali siswa dengan berbagai kompetensi seperti
    diuraikan berikut ini.






    1. Materi Pembelajaran





    Telaah bahasa terfokus pada dua kajian, yaitu kompetensi dan performansi.
    Konsep kompetensi mengacu pada pengkajian bahasa secara teoritis dan perumusan
    kaidah yang bersifat deskriptif, sedangkan performansi mengacu kepada aplikasi
    kaidah tersebut dalam kegiatan komunikasi dan bersifat preskriptif dan
    normatif. Kajian ihwal performansi di antaranya dilakukan dalam linguistik
    terapan, yaitu pendidikan bahasa.






    Dewasa ini kegiatan pendidikan bahasa mengalami perubahan orientasi tujuan
    yang cukup berarti, sebagaimana telah dikemukakan di atas. Perubahan ini
    berimplikasi pada perubahan materi pembelajaran. Menurut A. Chaedar Alwasilah
    (2002) di antara kompetensi yang perlu dimiliki oleh pembelajar bahasa ialah
    kemampuan memahami budaya para penutur
    bahasa itu, dalam hal ini bahasa asing karena dalam kegiatan komunikasi,
    kemampuan linguistik saja tidaklah memadai. Pengetahuan linguistik dan kultural
    adalah dua hal yang berbeda. Komunikator yang baik mesti memiliki keterampilan
    berbahasa asing dalam konteks budayanya. Dengan kata lain, pembelajar harus
    diajari keterampilan berbahasa asing dengan pengetahuan dan pengalaman
    kulturnya.






    Untuk mengantisipasi komunikasi global, kita perlu
    menyertakan dimensi kelima dari bahasa. Secara tradisional, pembelajaran bahasa
    diartikan sebagai penguasaan empat keterampilan, yaitu menyimak, berbicara,
    membaca, dan menulis. Dimensi kelima dimaksud adalah pengetahuan budaya dari
    bahasa yang dipelajari. Guru bahasa asing yang profesional dituntut untuk
    memiliki kelima aspek itu.






    Sebagai bahan perbandingan, perusahaan-perusahaan
    Amerika menghabiskan jutaan dolar untuk membiayai program-program pelatihan
    silang budaya (lazim disebut cultural orientation) bagi karyawannya yang
    akan ditempatkan di luar negeri agar mereka tidak mengalami kaget budaya atau culture
    shock.
    Dalam pada itu, hampir pada semua program sekolah bisnis (program
    MBA) ada mata kuliah international trade yang mencakup kajian comparative
    business culture.






    Materi pembelajaran lainnya yang diharapkan dapat mempribadi dan menjadi
    kebiasaan para siswa adalah kemampuan berpikir literat (literate thinking)
    yang mencerminkan penyaturagaan kegiatan berpikir, membaca, dan menulis hanya
    dapat ditumbuhsuburkan di dalam latar sosial yang kondusif. Artinya, selain
    pemrograman secara teknis-edukatif, pembentukan literate thinking mempersyaratkan dua kondisi penting berikut
    ini.






    Pertama, adanya pesan yang ingin
    disampaikan melalui tulisan atau adanya kebutuhan untuk memperoleh informasi
    melalui bacaan.






    Kedua, adanya kondisi dan terciptanya kesempatan untuk menulis dan
    kemudahan untuk membaca.






    Kedua kondisi yang sepintas
    kedengarannya sangat sederhana itu pada dasarnya mengandung makna latariah yang
    sangat dalam, sehingga perwujudannya memerlukan komitmen nasional yang tidak
    setengah-setengah. Keinginan menyampaikan pesan melalui tulisan – mulai dari
    pengalaman berdarmawisata sangatlah berkesan bagi seorang siswa SD kelas III
    sampai dengan pendadaran temuan seorang pakar ilmu dan teknologi serta
    pencetusan suara hati nurani seorang pengarang – menunjuk kepada kebermaknaan
    tulisan itu bagi si penulis yang merupakan persyaratan bagi pelibatan diri
    secara total di dalam penggarapan literate thinking.






    Sementara itu kebutuhan untuk memperoleh informasi melalui bacaan
    merujuk pada intensitas keterlibatan pelaku baca di dalam kegiatannya yang
    dapat dipicu oleh berbagai keperluan yang bermakna – mulai pelacakan informasi
    berkenaan dengan suatu pokok yang didiskusikan di kelas sampai penelaahan
    hasil-hasil penelitian yang relevan dalam rangka penulisan disertasi serta penjelajahan
    ke dalam dunia gagasan yang diciptakan seorang pengarang. Selanjutnya,
    kesempatan menulis berarti kebebasan menyatakan diri melalui tulisan, sedangkan
    kesempatan membaca berarti terjangkaunya (accessibility) berbagai bacaan
    baik terbitan domestik maupun keluaran mancanegara bagi segenap pelaku baca.






    Apabila kedua kriteria tersebut
    di atas dikenakan, pelajaran mengarang dan membaca di kebanyakan sekolah kita
    akan nampak kedodoran, sementara budaya baca-tulis di lingkungan masyarakat
    luas tidak lebih dari sekadar angan-angan daripada kenyataan. Dengan perkataan
    lain, kesempatan untuk menulis dan membaca yang bermuara pada pembentukan literate
    thinking
    di sekolah nyaris belum terjamah, sehingga mengisyaratkan
    pentingnya pembenahan penyelenggaraan program
    pelajaran membaca dan menulis dalam bidang studi yang khas yaitu bahasa
    Indonesia maupun dalam penskenarioan kebutuhan, kesempatan dan pembinaan
    kemampuan dan kegemaran membaca dan menulis yang menuju kepada pembentukan literate
    thinking
    bagi semua mata pelajaran, mulai dari jenjang sekolah dasar sampai
    dengan perguruan tinggi.






    Sebagaimana dikemukakan sebelumya, kemampuan dan kegemaran berpikir yang
    merupakan unsur penting literate thinking harus dibentuk baik dalam arti
    menemukan dan memecahkan masalah maupun yang berkenaan dengan kemampuan
    berpikir epistemologis yang bukan saja kritis terhadap pikiran orang lain, akan
    tetapi juga kritis terhadap pendapat diri sendiri – mempertanyakan kesahihan
    pengetahuan yang diperoleh dengan menilai bukti-bukti (evidence) beserta
    proses pembuktian dan penarikan kesimpulan yang digunakan (White, 1987).






    Literate thinking merupakan
    kontribusi pendidikan yang sangat penting dan potensial melalui sistem persekolahan. Dengan perkataan
    lain sistem persekolahan dapat berperan strategis di dalam membentuk kemampuan
    berpikir mandiri melalui pembentukan literate thinking yang, seperti
    telah dikemukakan sebelumnya, merupakan salah satu sendi utama kemerdekaan
    serta merupakan persyaratan mutlak bagi berfungsinya masyarakat yang
    demokratis. Kemungkinan urunan sistem persekolahan untuk meletakkan dasar bagi
    perubahan-perubahan berdampak jangka panjang seperti pembentukan literate
    thinking
    inilah yang seyogyanya tidak boleh didesak ke luar kawasan misi
    layanan ahli kependidikan oleh kesibukan mengurus ketercapaian hasil jangka
    pendek pendidikan dalam bentuk perubahan tingkah laku yang dapat diamati pada
    akhir setiap pertemuan tatap muka atau
    sebagai peningkatan daya serap yang dicerminkan dalam bentuk skor-skor berbagai
    ujian.






    Di samping materi tentang kebudayaan dan literate thinking, tentu
    saja keterampilan berbahasa yang substansial tetap perlu disampaikan kepada
    siswa agar memiliki keterampilan berinteraksi sosial, yaitu berkomunikasi
    secara lisan dan tertulis dalam situasi yang beragam dengan masyarakat dari
    latar belakang budaya dan bahasa yang berbeda. Keterampilan mengakses informasi
    dari berbagai sumber yang berbeda dan media yang bervariasi serta mampu menggunakannya, keterampilan mempresentasikan informasi dan gagasan secara
    sistematis dalam bentuk yang bervariasi, baik secara lisan maupun tertulis,
    tentang berbagai topik. Kemampuan
    mengapresiasi sastra lisan dan tulis serta mengembangkan kepekaannya terhadap
    nilai-nilai budaya yang terkandung dalam karya sastra, dan kemampuan
    mengapresiasi karakteristik bahasa dan perbedaan antarbahasa. Keterampilan ini
    dikenal dengan cross-cultural understanding.






    2. Seleksi dan Pengorganisasian Materi





    Materi pembelajaran tentang empat keterampilan berbahasa, kebudayaan,
    dan berpikir literat hendaknya diseleksi dengan memperhatikan karakteristik
    siswa dan lingkungan siswa berada. Tujuan pembelajaran yang ingin dicapai
    melalui materi tersebut. Pemilihan materi pembelajaran hendaknya didasarkan
    atas prinsip-prinsip berikut ini.








    Pertama, kebenaran materi. Sangatlah penting bagi para guru
    untuk membekali anak-anak dengan materi pembelajaran yang benar dilihat segala
    aspeknya. Guru hendaknya senantiasa berupaya menjauhkan aspek-aspek kekeliruan
    dari materi pembelajaran. Beberapa kajian psikologis menegaskan bahwa sangatlah sulit
    melepaskan kekeliruan yang tertanam dalam diri siswa melalui kegiatan
    pembelajaran.






    Kedua, kesesuaian materi dengan tingkat intelektual siswa.
    Materi tidak boleh berada di atas jangkauan penalaran siswa, sehingga
    menyulitkan mereka dalam memahaminya, dan jangan pula terlampau mudah, sehingga
    tidak menarik perhatian siswa. Para siswa, misalnya, mengalami kesulitan untuk memahami konsep
    waktu dalam verba bahasa Arab. Karenanya, hal itu tidak sepatutnya disajikan kepada
    mereka pada kelas-kelas permulaan.






    Ketiga, hendaknya materi pembelajaran dikaitkan dengan
    kehidupan siswa dan dengan lingkungan di mana dia hidup. Siswa yang duduk di
    kelas permulaan, tidak perlu disuguhii bacaan yang tentang keadaan geografis
    Kerajaan Arab Saudi, tetapi sebaiknya disuguhi topik tentang diri dan
    keluarganya yang setiap hari dijumpainya.






    Keempat, pemilihan materi juga harus diselaraskan dengan
    alokasi waktu. Materi jangan terlalu panjang, sehingga membosankan siswa dan
    menyulitkan mereka. Sebaliknya, materi jangan pula terlampau pendek, sehingga
    mereka dapat memahaminya dalam waktu singkat dan waktu tersisa digunakan secara
    tidak produktif.






    Kelima, hendaknya materi disusun dalam urutan yang logis.
    Setiap bagian materi harus benar-benar
    berkaitan dengan materi sebelumnya.
    Unit-unit materi
    hendaknya saling berkaitan dan bertaut serta terlihat jelas benang merahnya.






    Keenam, materi
    hendaknya terbagi ke dalam unit-unit utama. Setiap unit merupakan kumpulan dari
    unit-unit yang lebih kecil daripada unit utamanya. Tujuan dari pembagian materi
    ke dalam beberapa unit ini ialah agar pertama-tama guru dapat merancang kegiatannya, dan agar guru dapat membagi
    materi dari kurikulum ke dalam
    satuan-satuan alamiah yang logis sebagai kegiatan harian, mingguan, atau semesteran. Ini bukan
    berarti urutan materi itu harus sesuai dengan urutan dalam buku teks, sebab
    buku disusun selaras dengan tuntutan percetakan, penulisan, dan penyusunan yang
    belum tentu sesuaii dengan kegiatan
    mengajar.






    Ketujuh, materi pelajaran
    yang baru hendaknya dikaitkan dengan pelajaran yang lama. Hal ini menuntut guru
    untuk menghubungkan materi baru dengan materi lama. Sebaiknya guru menjadikan
    kesulitan pada pelajaran yang lalu sebagai bahan bagi
    penyampaian pelajaran yang baru.






    Prinsip-prinsip menyeleksi materi pembelajaran seperti
    dikemukakan oleh Aziz (1982) tersebut, selanjutnya diorganisasikan menurut landasan dan
    prinsip-prinsip berikut.






    Pertama, guru memilih
    bagian materi yang selaras dengan tingkat intelektual siswa dan dengan alokasi
    waktu yang tersedia.






    Kedua, guru memilah
    materi ini ke dalam beberapa sekuens – tentu saja di antara sekuens tersebut
    perlu ada perhentian – dan pada akhir dari setiap sekuens hendaknya ada masa
    yang dimanfaatkan untuk mereviu sekuens sebelumnya.






    Ketiga, hendaknya guru
    memvariasikan ilustrasi dan contoh, sehingga tampak jelas keuniversilan dan
    kekokohan teori atau prinsip yang diajarkan.






    Keempat, hendaknya guru
    memfokuskan diri pada point yang dianggap penting bagi siswa. Dia pun hendaknya
    beralih secara berangsur-angsur dari point yang satu ke point yang lain.
    Peralihan hanya dilakukan jika siswa telah mampu mencerna point sebelumnya.
    Guru jangan hanya mementingkan penjelasan aneka hakikat, tetapi perlu menggali
    hapalan dan ingatan para siswa.






    Kelima, hendaknya guru
    menjelaskan hubungan antara point yang satu dengan point yang lain, sehingga
    dengan cara seperti itu materi pembelajaran merupakan satu kesatuan yang utuh.






    Keenam, perlu
    diperhatikan pelibatan siswa dalam kegiatan pembelajaran pada setiap kesempatan
    yang ada, baik melalui cara bertanya atau diminta mengulangi atau menyebutkan
    materi yang telah disampaikan. Hal ini bertujuan untuk memotivasi siswa agar
    mengerahan upayanya dalam mencapai kebenaran dan agar mereka tidak mengalami
    kebosanan.






    Ketujuh, guru perlu
    memilah antara siswa yang cerdas dan yang normal, antara yang kuat dan yang
    lemah. Demikian pula guru hendaknya mendistribusikan pertanyaan kepada seluruh
    siswanya secara proporsional, di samping berupaya membangkitkan siswa yang
    lemah.






    Demikianlah,
    kegiatan seleksi dan pengorganisasian materi pembelajaran yang dikemukakan
    ‘Aziz (1982: 210-217).





    C. Pembelajaran
    Bahasa Asing








    Pembelajaran bahasa asing di sekolah-sekolah dilakukan atas beberapa
    pertimbangan seperti telah dikemukakan pada bab pertama tulisan ini tentang
    beberapa rasionalisasi yang menjadi landasan pengembangan kurikulum.






    Secara substansial, kegiatan pembelajaran bahasa asing
    itu merupakan rangkaian proses mental yang aktif dalam mencari, mengingat, dan
    menggunakan pengetahuan. Belajar dibuktikan dengan adanya perubahan dalam
    pengetahuan yang memungkinkan perubahan dalam perilaku. Proses yang terjadi
    itu, baik yang terlihat mata maupun yang tidak terlihat, mempunyai saluran dan
    tempatnya sendiri pada struktur otak manusia
    (Millrood, 2001: 105).



    Banyak teori pembelajaran bahasa
    yang dapat diadopsi dan digunakan untuk pembelajaran bahasa asing di sekolah. Namun, sebelum teori-teori itu
    digunakan, terlebih dahulu harus dijabarkan menjadi strategi-strategi
    pembelajaran dan teknik-teknik operasional yang dapat dilaksanakan dalam proses
    belajar-mengajar bahasa. Beberapa teori pembelajaran bahasa dapat disebutkan di
    sini, misalnya inkuiri, konstruktivisme, diskusi, pengelompokan yang
    heterogen, pembelajaran kooperatif, pembelajaran
    bermakna, proyek efikasi, akitivitas kolaboratif, KWL (What I Know, what
    I Want toKnow dan what I Learned) (http://www.ncrel/sdrs/areas/students/
    learning), dan engaged learning (Council for Educational Development and
    Research, 2002: 8-20).






    Teori-teori pembelajaran seperti dikemukakan di atas tidak akan diuraikan
    dalam makalah ini karena telah banyak dibahas oleh para pakar pendidikan,
    sehingga banyak dijumpai di toko-toko buku. Namun, perlu dikemukakan pula
    hal-hal yang dapat memayungi penerapan sebuah teori pembelajaran di kelas.
    Finocchiaro (1983) mengatakan bahwa guru hendaknya
    menciptakan suasana yang membuat aktif
    siswa di dalam proses pembelajaran. Apabila siswa diberi tanggung jawab
    yang lebih besar, dia akan lebih serius dalam belajaranya. Hal ini senada
    dengan pandangan Bejarono (1987) yang mengatakan bahwa pembelajar yang dianggap paling baik yaitu siswa yang
    terlibat secara aktif di dalam proses belajar di dalam kelas tersebut.
    Keaktifan siswa di dalam kegiatan belajar merupakan indikator belajar efektif. Klipple (1993) mengatakan bahwa belajar dikatakan lebih
    efektif bila siswa terlibat secara aktif di dalam proses belajar.






    Agar pembelajaran berlangsung secara efektif, Nunan (1989) dan Richards (1994) menyarankan agar kegiatan yang dilakukan
    siswa di dalam kelas itu kondusif, guru hendaknya menyiapkan bahan ajar yang
    bermakna bagi siswa, memotivasi mereka dalam belajar, dan dapat melibatkan
    seluruh siswa. Dalam konteks ini, guru sebaiknya bertindak sebagai fasilitator
    dan model saja (Breen, 1980) atau dalam istilah
    Canale (1980) “sebagai pencipta suasana yang aktif”.






    Secara lebih spesifik, Marion Williams dan Robert L.
    Burden (1997) mengemukakan beberapa kiat untuk menciptakan kelas yang efektif
    seperti berikut.



    1. Menciptakan suasana ruangan kelas yang nyaman
    dan menyenangkan



    2. Mengendalikan kelas ke arah pembelajaran


    3. Menyajikan kegiatan yang menarik dan dapat
    memotivasi siswa



    4. Menyediakan suasana yang membuat siswa
    memahami bahan yang diajarkan



    5. Menerangkan secara jelas apa yang harus
    dilakukan dan diraih siswa



    6. Menimbang hal-hal yang diharapkan dari siswa


    7. Membantu siswa dalam menghadapi berbagai
    kesulitan



    8. Mendorong siswa untuk memunculkan apa yang
    diharapkan dari dirinya



    9. Mengembangkan kesantunan dalam berinteraksi
    dengan siswa lain



    10. Mendorong siswa untuk mendementrasikan bakat
    dan pengetahuannya



    11. Memberikan uraian materi secara jelas


    12. Memperlihatkan antusiasme


    13. Memvariasikan kegiatan selama kegiatan
    pembelajaran






    Demikianlah, hal terpenting yang harus dilakukan guru bahasa asing di dalam kelas dengan
    menerapkan model kurikulum yang berbasis pada standar kompetensi adalah bahwa kegiatan pembelajaran hendaknya berpusat
    pada peserta didik (learner-centered
    curriculum
    ), pembelajaran terfokus pada penguasaan siswa atas sejumlah
    kompetensi, dan penciptaan suasana belajar yang efektif dan menyenangkan.









    D. Penilaian







    Kegiatan penilaian merupakan proses pengendalian mutu
    pendidikan (educational quality control) yang dilakukan secara
    berkesinambungan pada berbagai tingkat, jenjang, dan satuan pendidikan, baik
    yang menyangkut proses maupun out put pendidikan. Pengendalian ini
    diperlukan untuk memperoleh informasi yang berkaitan dengan program pendidikan
    yang dilaksanakan di tingkat pusat, daerah, dan lembaga pendidikan. Selanjutnya
    informasi tersebut digunakan sebagai
    sapu balik (backwash) mengenai kinerja (performance) manajemen
    pendidikan, kemampuan siswa, kinerja guru, dan efektifitas serta efisiensi
    proses pendidikan. Dengan perkataan lain, informasi yang diperoleh melalui
    pengendalian mutu sangat berguna untuk mengetahui dan mengukur
    keberhasilan proses dan hasil pendidikan.
    Kemudian informasi ini digunakan sebagai landasan dalam menentukan suatu
    kebijakan dalam kegiatan pendidikan.






    Dengan
    demikian, tampaklah urgensi komponen pengendalian dalam rangka penjaminan mutu
    (quality assurance), pengendalian mutu (quality control), dan
    perbaikan mutu (quality improvement) dari suatu kegiatan pendidikan.






    Di samping
    itu, kegiatan penilaian ini juga berfungsi pengendali mutu, pendorong dan
    pemberi motivasi, sebagai wujud tanggung jawab terhadap publik, seleksi dan
    penjurusan, dan diagnosa atas kelemahan dan keunggulan siswa, program, dan
    metode. Agar kebijakan yang diputuskan atau tindakan perbaikan yang
    diberlakukan pada siswa berdasarkan informasi yang diperoleh dari kegiatan
    pengendalian mutu ini tepat sasaran,
    maka para penyusun tes bahasa dan kegiatan penilaian atau pengendalian mutu
    pendidikan bahasa itu hendaknya melakukan beberapa pertimbangan. Di antara
    pertimbangan itu adalah,



    1. Siswa
    diharapkan mampu berkomunikasi, menampilkan kemahirannya, menciptakan suatu karya, dan melakukan
    sesuatu dengan menggunakan bahasa asing yang dipelajarinya.



    2. Selama proses penilaian, hendaknya terjadi
    interaksi antara guru dan siswa.



    3. Siswa mengetahui kriteria penilaian yang dibuat
    guru berkaitan dengan pemenuhan kinerja atau kompetensi kebahasaannya .



    4. Terdapat sejumlah model dan kesempatan yang
    dapat digunakan para siswa.



    5. Siswa dilibatkan dalam mengevaluasi dirinya
    sendiri menyangkut performansii kebahasaannya dalam rangka membantu mereka
    dalam menangani kegiatan pembelajarannya.



    6. Penilaian dilakukan untuk mengetahui kemajuan
    siswa sepanjang waktu, karena pembelajaran bahasa merupakan proses yang gradual
    dan memerlukan waktu yang relatif lama.



    7. Kegiatan penilaian hendaknya bersifat realistik
    dengan menggintegrasikan budaya ke dalam bahasa.






    Di samping pertimbangan di atas, penilaian pun dilakukan secara variatif
    dan berjenjang. Bentuk-bentuk penilaian
    yang dapat dilakukan di antaranya,



    1. penilaian berbasis kelas;


    2. penilaian kemampuan dasar;


    3. ujian akhir sekolah;


    4. ujian akhir nasional; dan


    5. pemantauan mutu pendidikan.





    Perlu ditekankan di sini bahwa kompetensi berbahasa merupakan kompetensi
    yang berjenjang dan dapat diamati dan dinilai dari performansi berbahasa siswa,
    dari karyanya, dari penampilannya saat berinteraksi, dan dari kemampuannya
    mengakses dan menggunakan informasi.
    Hal ini
    berimplikasi pada karakteristik bentuk tes yang
    dapat mengungkapkan kompetensi di atas. Para ahli merumuskan beberapa
    bentuk tes yang demikian, di antaranya
    portofolio, tes berdasarkan hasil karya, dan tes melalui suatu proyek yang
    dikerjakan oleh sekelompok siswa. Di samping itu, tentu saja direkomendasikan
    tes objektif dan tes uraian selama hal itu selaras dengan kompetensi siswa yang
    ingin diketahui.






    Demikianlah, kurikulum bahasa asing
    masa depan hendaknya dirancang dengan berorientasi pada pencapaian dan
    penguasaan kompetensi berbahasa yang telah distandarkan
    agar mampu merespon tuntutan global dan lokal yang dihadapi siswa yang memiliki
    kebutuhan, kemampuan, dan potensi variatif. Perancangan kurikulum yang demikian
    akan berimplikasi pada startegi pengorganisasian materi, strategi pembelajaran,
    dan sistem penilaian. Secara aplikatif, implikasi tersebut dapat dijelaskan
    pada bab selanjutnya dari naskah ini.










      Waktu sekarang Thu May 09, 2024 2:54 pm