Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

ingin bergabung dengan elrakyat.tk klik pendaftaran. jika anda sudah pernah mendaftar silakan login. jangan lupa ajak kawan-kawanmu ke mari , dan jadilah top poster di forum kita

Join the forum, it's quick and easy

Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

ingin bergabung dengan elrakyat.tk klik pendaftaran. jika anda sudah pernah mendaftar silakan login. jangan lupa ajak kawan-kawanmu ke mari , dan jadilah top poster di forum kita

Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

Would you like to react to this message? Create an account in a few clicks or log in to continue.
Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

salah satu forum terbesar tempat kita bernostalgia

Login

Lupa password?

Our traffic

info rakyat

Sun Oct 31, 2010 9:05 pm by admin

---------------
PEMBERITAHUAN....

SF ZONA RELIGI SEKARANG KAMI PINDAH KE [You must be registered and logged in to see this link.] ANDA BISA BERPARTISIPASI DAN MENJADI MODERATOR SESUAI PERMINTAAN ANDA DENGAN REQUEST VIA SMS NO ADMIN 081945520865


Sekilas Info

Sun Jun 27, 2010 2:44 pm by admin

kabar gembira, forum lentera-rakyat mulai hari ini juga bisa diakses melalui [You must be registered and logged in to see this link.]


    wanita dan konsep keluarga

    kutubuku
    kutubuku
    Mega Ultimate Member


    Zodiac : Virgo Jumlah posting : 297
    Join date : 18.06.10
    Age : 36
    Lokasi : rahasia

    wanita dan konsep keluarga Empty wanita dan konsep keluarga

    Post by kutubuku Wed Jun 30, 2010 7:06 pm

    wanita
    dan konsep keluarga dalam islam
    [1][1]




    Moch Moealliem[2][2]






    Pendahuluan







    Ketika kita menerima bahwa
    pemikiran yang kita lontarkan adalah sebuah ke-bid'ah-an tetapi bukan
    dalam agama melainkan bid'ah dalam budaya dan interaksi sosial
    masyarakat.Sejatinya, setiap umat tertentu dan pada masa tertentu pula,
    mempunyai adat istiadat dan tata-krama (moralitas) tersendiri yang sesuai
    dengan apa yang mereka sepakati bersama (kontrak sosial). Adat-istiadat dan
    tata-krama tersebut selalu berubah secara disadari ataupun tidak disadari
    sesuai dengan kondisi dan pergantian zaman.



    Pada zaman Romawi dan Yunani
    kuno, seorang wanita tidak ada bedanya
    seperti seorang budak yang berada dalam kekangan orang tua (bapak)
    kemudian suaminya dan akhirnya anak lelakinya tertua.Dan seorang kepala
    keluarga berhak sepenuhnya terhadap wanita, maka wanita pada zaman itu
    boleh-boleh saja diperjual-belikan, dijadikan hadiah dan warisan kepada ahli
    warisnya, atau bahkan dibunuh.



    Pada zaman pra-Islam orang Arab
    mempunyai kebudayaan membunuh anak perempuan kandungnya, berhubungan intim
    antar laki-laki dengan wanita secara
    bebas dengan tanpa adanya ikatan tali perkawinan (free Sex) . Kebudayaan tersebut masih berlangsung sampai abad
    kedelapan belas di beberaa suku Afrika. Di beberap suku Asia
    berkeyakinan bahwa wanita tidak mempunyai hak hidup setelah kematian sang suami
    dan sebagian mereka menghadiahkannya kepada tamu sebagai sebuah penghormatan.
    Dalam peradaban mesir kuno, komunitas masyarakat mesir memiliki kepercayaan
    teologis, bahwa, untuk mengantisipasi amuk banjir dari sungai Nil
    --satu-satunya sumber mata air—sebagai manifestasi amarah Dewa Air, maka
    disetiap pertengahan bulan (bulan purnama) masyarakat mesir mengorbankan
    perempuan yang masih gadis di persembahkan
    untuk Dewa Air.



    Islam di turunkan dalam komunitas
    masyarakat yang tidak empati terhadap kaum Hawa. Bahkan, perempuan tidak
    ubahnya seperti benda yang bisa di lemparkan dari satu tangan ke tangan yang
    lain, lebih jauh pembunuhan terhadap anak perempuan adalah tradisi bagi jazirah
    arab jahili pada masa itu. Salah satu misi dan visi Islam ialah meninggikan
    harkat dan martabat kaum hawa, dan pembebasan kaum hawa (tahrierul Mar'ah) dari pelecehan seksual, subordinasi, dan
    marjinalisasi. Martabat wanita dan laki-laki dalam pandangan islam memiliki
    derajat yang sama (Egaliter). Hanya kualitas taqwa kepada tuhan sajalah yang
    membedakan tinggi-rendahnya derajat seseorang (laki-laki maupun
    perempuan).



    Konsep Islam
    tentang kesetaraan gender yang di
    gelindingkan dalam masyarakat jahili,
    telah menimbulkan reaksi yang cukup keras. Konsepsi itu terlalu dan sangat
    modern bagi zamanya. Sayangnya, tidak ada infra struktural sosial yang
    menyangga, dan mengusung konsepsi kesetaraan gender itu menuju masyarakat
    ideal.).



    Ada tiga fenomena dan
    sekaligus perbedaan yang cukup mencolok
    seputar hubungan dan pembagian kerja antara laki-laki dan perempuan
    dalam kehidupan sosial. Pertama, pola hubungan antara laki-laki dan perempuan
    yang berkembang dalam masyarakat padang
    pasir yang Nomad dimana laki-laki
    lebih dominan dari pada perempuan. Kedua, dalam masyarakat Agraris dengan wilayah yang subur yang memberikan peran perempuan
    lebih mandiri. Dan ketiga, pola hubungan yang terbentuk dalam masyarakat industri
    maju yang telah menempatkan teknologi canggih, semisal komputer dan internet,
    sebagai bagian dari teknologi harian yang lebih menghargai skill dari pada
    jenis kelamin. Pendeknya, kondisi dan struktural ekonomi sebuah masyarakat akan
    mempengaruhi pola hubungan antara laki-laki dan perempuan.



    Qosim
    Amien dalam bukunya Taahrirul Marah mengatakan,
    laki-laki dan perempuan sama-sama memiliki akal sebagai kekuatan nalar,
    analisa, dan mengkritisi sesuatu. Karena itu, laki-laki dan perempuan memiliki
    hak yang sama dalam mengenyam pendidikan. Hubungan laki-laki dan perempuan
    dalam sama-sama belajar tidak harus dengan pola yang kaku atau rigid. Interaksi
    sosial (ikhtilath) antara kaum adam
    dan kaum Hawa adalah sebuah keharusan untuk belajar saling memahami satu sama
    yang lainya. Hijab yang menghalangi
    dan membatasi interaksi sosial antara kedua belah pihak merupakan salah satu
    penghambat kemajuan proses belajar-mengajar ( Tarbiah wa ta'lim). Dalam Masyarakat Industri, gender maskulin
    bukanlah gender yang perlu dibanggakan, dan bukan perlambang superioritas.
    dan sebaliknya, gender feminin bukanlah gender yang memalukan, dan bukanlah
    ikon perlambang inferioritas. Yang menjadi barometer superior atau
    inferior dan naik atau turunya derajat ditinjau dari segi kualitas, kapasitas,
    dan skill (bakat atau kebisaan) yang
    dimiliki oleh masing-masing individu manusia..



    Dalam
    masyarat Patriarki, kaum Hawa hanya berperan dalam wilayah domestik (terkenal
    dengan istilah "sumur, dapur, dan kasur"). Atau perempuan tidak lebih
    dari konco wingking (teman
    penyempurna) bagi laki-laki. Namun, lain
    halnya dalam dunia dimana peradaban telah berkembang pesat dan kompetisi
    diruang publik telah memberikan tempat bagi siapa saja yang memiliki skill atau
    keahlian yang di butuhkan tanpa memperdulikan jenis kelamin. Perbedaan gender
    telah hilang relefansinya dalam dunia yang berperadaban (civilized). Kaum hawa tidak hanya berperan dalam wilayah domestik,
    tapi lebih jauh bisa berperan dan mendapatkan posisi yang layak dalam wilayah
    publik sesuai dengan kapabilitasnya. Kegiatan yang bersifat sosial, seperti
    politik praktis, dan kerja sosial lainya bisa di jamah dan di rambah kaum
    wanita. Kalau kita kembali kesejarah (Back To Historis), banyak kaum hawa yang
    mendapatkan peran politik, seperti A'isah (istri nabi) menjadi penglima perang
    di waktu perang jamal membawahi puluhan pasukan guna melawan kelompok Ali
    (KW).






    Konsep keluarga dalam Islam





    Pemberdayaan wanita tidak hanya
    berkutat pada masalah pendidikan saja, akan tetapi juga dalam membangun bahtera
    rumah tangga. Kemajuan berfikir seorang wanita sangat menentukan kesuksesan dan
    kelangsungan dalam membina rumah tangga yang damai sejahtera. Namun, karena
    keluarga sangat erat kaitannya dengan adat-istiadat (cultur) dan hukum syari'at agama, maka perlu kiranya mengkritisi
    teks-teks agama yang berkenaan dengan keluarga.






    Pernikahan


    Pernikahan dalam pandangan Islam adalah kesepakatan bersama
    yang bertitik tolak dari kalimat Allah (syariat Ilahi). Itu merupakan
    kesepakatan bersama yang mudah diterapkan, yang laki-laki dan perempuan-apabila
    mereka telah memenuhi syarat-syarat syar'i dalam akad pernikahan-dapat
    mengadakan akad nikah di antara mereka dengan kehendak mereka sendiri dan
    dengan komitmen akad mereka tanpa perlu seorang perantara pun, dan tanpa perlu
    kepada bantuan tokoh agama pun.



    Makna hikmah Ilahi dalam perkawinan menurut Islam terletak
    pada keabsahan perkawinan itu sendiri. Oleh karena itu, kita mengetahui bahwa
    termasuk hal yang disunahkan adalah, pria mengucapkan kepada istrinya pada saat
    malam pernikahan, dan sebelum mulai menggaulinya, "Ya Allah dengan
    kalimat-Mu aku mengambilnya." Melalui hal itu jelaslah bahwa hubungan
    suami dengan istrinya bertitik tolak dari kalimatullah dan kalimatullah bertitik
    tolak dari syariat-Nya, yakni kecintaan Allah kepada pernikahan ini. Pernikahan
    islami bukan rahasia Ilahi yang hanya dimiliki oleh para ulama (tokoh-tokoh
    agama), tetapi ia rahasia Ilahi yang memanifestasi dalam syariat dan kecintaan
    Allah kepadanya, dan ini adalah hal yang dapat disadari dan dipahami oleh pria
    dan wanita. Oleh karena itu, persoalan perkawinan dalam Islam bukanlah hal yang
    pelik dan tidak ada otoritas kependetaan yang bertanggung jawab terhadap
    keabsahan perkawinan-tidak seperti kalangan Kristen-yang menganggap perkawinan
    harus terlaksana di bawah pengawasannya.



    Kalangan Kristen mengharuskan pelaksanaan akad nikah pada
    si pendeta, karena hanya dia yang memiliki rahasia agama yang suci yang
    terkandung dalam perkawinan. Pemikahan dalam Islam merupakan persoalan pribadi
    sekali seperti akad yang lain antara dua orang, dan pengucapan lafal akad
    menunjukkan keabsahan, bukan menunjukkan bahwa ia adalah rahasia Ilahi


    Akad nikah




    Akad adalah ungkapan yang terang-terangan (jelas) tentang
    keinginan untuk melaksanakan suatu komitmen dengan serius, dengan makna
    tertentu dan keharusan menggunakan pengucapan lafal tertentu terhadap pihak
    lain yang menjalin kesepakatan dengan pihak yang pertama, di mana kedua pihak
    yang melakukan akad benar-benar konsekuen dan menghormati makna akad tersebut
    di hadapan Allah dan di hadapan masing-masing mereka serta di hadapan
    masyarakat. Yakni, itu merupakan keinginan untuk melaksanakan suatu komitmen
    yang terkait dengan komitmen lain sebagai konsekuensi darinya.



    Pelaksanaan akad dalam perkawinan adalah sangat perlu, sama
    perlunya dengan pelaksanaan ikatan-ikatan lain yang terlaksana dengan adanya
    kesepakatan antara kedua belah pihak. Maka, haruslah ada peneguhan keinginan
    untuk melangsungkan pernikahan yang serius dengan cara mengumumkan di depan
    orang lain secara gamblang dan jelas, berupa pengucapan lafal tertentu,
    sehingga apabila hal itu terwujud, maka itu cukup sebagai jaminan adanya
    komitmen kedua pasangan untuk menjalankan kewajiban-kewajiban masing-masing
    mereka dan memenuhi hak- hak masing-masing mereka sebagai akibat dari
    perkawinan itu sendiri.



    Akad tersebut merupakan ungkapan komitmen kuat dan sebagai
    pilar untuk memperkokoh kehidupan berumah tangga, sebab jika hubungan
    suami-istri bertitik tolak dari "keinginan yang numpang lewat"
    (sepintas), maka tak satu pun dan kedua pasangan yang dapat menuntut tanggung
    jawab pihak yang lain terhadapnya. Adapun jika bertitik tolak dan suatu akad,
    maka kedua pasangan menjadi terikat dengan aturan tertentu di dalamnya, persis
    sebagaimana seseorang yang melaksanakan akad-akad yang lain-seperti akad
    jual-beli, persewaan, sampai akad-akad internasional-dalam kehidupan.
    Sesungguhnya keinginan timbal balik yang tidak dikuatkan dengan suatu akad yang
    mengharuskan kedua belah pihak, memerlukan kekokohan dan dasar yang dapat
    dijadikan sandaran dalam pelaksanaan.






    Wanita dan Konsep poligami





    Poligami (Ta'addud jauzah) bukanlah semata-mata syari'at agama Islam, tetapi
    lebih merupakan bentuk adat-istiadat atau tradisi warisan umat terdahulu pada
    masa wanita diposisikan antara manusia dan hewan. Sesungguhnya poligami adalah
    bentuk penghinaan terhadap kaum perempuan, karena pada dasarnya, tidak seorang
    wanita pun yang yang rela untuk dimadu sebagaimana halnya tidak seorang lelaki
    pun yang rela jika lelaki lain ikut mendapatkan bagian cinta kasih istrinya (poliandri).
    Ini sudah menjadi tabi'at manusia (firah) dan kecenderungan hati nurani
    manusia. Jika ada wanita yang rela dimadu, maka hal tersebut tidak lepas
    dikarenakan dua hal ; pertama, kedalaman cintanya terhadap sang suami, maka ia
    akan merasakan kesedihan yang amat mendalam dan sangat menyiksa dirinya. Dan
    yang kedua, untuk menjaga martabat keluarga. Seperti halnya yang pertama,
    alasan yang kedua ini juga membuat kesusahan dalam diri wanita karena ia
    merasakan kegelisahan yang tak berujung.



    Sudah
    menjadi fitrah wanita untuk cenderung mendominasi atas hati suami. Karenanya,
    ketika seorang istri melihat suaminya berdampingan dengan istrinya yang lain,
    akan membakar emosi dan mengakibatkan kesakitan hati yang sangat luar biasa.
    Pada akhirnya menyulut api permusuhan yang meruntuhkan nilai-nilai persaudaraan
    dan etika kemanusiaan yang seharusnya dijaga. Maka bagaimana mungkin poligami
    digolongkan sesuatu yang baik jika dalam prakteknya mengakibatkan permusuhan
    dan meruntuhkan nilai-nilai persaudaraan?. Bukankah Islam sangat menjunjung
    tinggi sebuah persaudaraan dan kesatuan umat?. Kesakitan hati wanita lebih
    terbakar lagi ketika para fuqaha tidak mensyaratkan keadilan kasih sayang suami
    terhadap istri-istrinya dalam berpoligami, tetapi hanya mensyaratkan keadilan
    dalam pemberian nafkah lahir dan nafkah bathin.



    Ayat Al-Qur'an yang menyinggung
    masalah poligami adalah ayat yang membolehkan poligami tetapi sekaligus
    memberikan peringatan (Q.S. An-Nisa’, 3)dan (Q.S. An-Nisa’, 29). Pada ayat
    pertama menjelaskan bahwa syari'at mewajibkan keadilan dalam berpoligami,
    kemudian ayat kedua menjelaskan bahwa keadilan tersebut adalah sesuatu yang
    mustahil. Maka dari sini dapat disimpulkan bahwa sesungguhnya berpoligami itu
    haram kalau seandainya tidak ada nash-nash sunnah yang menunjukkan kebolehan
    dalam berpoligami. Kebolehan dalam berpoligami selalu terkait dengan
    kemaslahatan umat, sebagaimana hukum-hukum mubah lainnya dalam syari'at
    Islam. Oleh karena itu, seorang hakim bisa saja melarang poligami jika poligami
    dapat meruntuhkan sendi-sendi Islam yang lebih penting untuk diperjuangkan,
    seperti persaudaraan dan kesatuan umat.






    Penutup





    Demikian panjangnya masalah yang berhubungan dengan wanita,
    sehingga apa yang tertulis disini belum sepenuhnya mewakili, dan akhirnya masih
    perlu kajian ulang atas segala bentuk permasalahan yang sedang berkembang di
    dunia wanita saat ini,





















      Waktu sekarang Thu May 09, 2024 5:32 am