wanita
dan konsep keluarga dalam islam[1][1]
Moch Moealliem[2][2]
Pendahuluan
Ketika kita menerima bahwa
pemikiran yang kita lontarkan adalah sebuah ke-bid'ah-an tetapi bukan
dalam agama melainkan bid'ah dalam budaya dan interaksi sosial
masyarakat.Sejatinya, setiap umat tertentu dan pada masa tertentu pula,
mempunyai adat istiadat dan tata-krama (moralitas) tersendiri yang sesuai
dengan apa yang mereka sepakati bersama (kontrak sosial). Adat-istiadat dan
tata-krama tersebut selalu berubah secara disadari ataupun tidak disadari
sesuai dengan kondisi dan pergantian zaman.
Pada zaman Romawi dan Yunani
kuno, seorang wanita tidak ada bedanya
seperti seorang budak yang berada dalam kekangan orang tua (bapak)
kemudian suaminya dan akhirnya anak lelakinya tertua.Dan seorang kepala
keluarga berhak sepenuhnya terhadap wanita, maka wanita pada zaman itu
boleh-boleh saja diperjual-belikan, dijadikan hadiah dan warisan kepada ahli
warisnya, atau bahkan dibunuh.
Pada zaman pra-Islam orang Arab
mempunyai kebudayaan membunuh anak perempuan kandungnya, berhubungan intim
antar laki-laki dengan wanita secara
bebas dengan tanpa adanya ikatan tali perkawinan (free Sex) . Kebudayaan tersebut masih berlangsung sampai abad
kedelapan belas di beberaa suku Afrika. Di beberap suku Asia
berkeyakinan bahwa wanita tidak mempunyai hak hidup setelah kematian sang suami
dan sebagian mereka menghadiahkannya kepada tamu sebagai sebuah penghormatan.
Dalam peradaban mesir kuno, komunitas masyarakat mesir memiliki kepercayaan
teologis, bahwa, untuk mengantisipasi amuk banjir dari sungai Nil
--satu-satunya sumber mata air—sebagai manifestasi amarah Dewa Air, maka
disetiap pertengahan bulan (bulan purnama) masyarakat mesir mengorbankan
perempuan yang masih gadis di persembahkan
untuk Dewa Air.
Islam di turunkan dalam komunitas
masyarakat yang tidak empati terhadap kaum Hawa. Bahkan, perempuan tidak
ubahnya seperti benda yang bisa di lemparkan dari satu tangan ke tangan yang
lain, lebih jauh pembunuhan terhadap anak perempuan adalah tradisi bagi jazirah
arab jahili pada masa itu. Salah satu misi dan visi Islam ialah meninggikan
harkat dan martabat kaum hawa, dan pembebasan kaum hawa (tahrierul Mar'ah) dari pelecehan seksual, subordinasi, dan
marjinalisasi. Martabat wanita dan laki-laki dalam pandangan islam memiliki
derajat yang sama (Egaliter). Hanya kualitas taqwa kepada tuhan sajalah yang
membedakan tinggi-rendahnya derajat seseorang (laki-laki maupun
perempuan).
Konsep Islam
tentang kesetaraan gender yang di
gelindingkan dalam masyarakat jahili,
telah menimbulkan reaksi yang cukup keras. Konsepsi itu terlalu dan sangat
modern bagi zamanya. Sayangnya, tidak ada infra struktural sosial yang
menyangga, dan mengusung konsepsi kesetaraan gender itu menuju masyarakat
ideal.).
Ada tiga fenomena dan
sekaligus perbedaan yang cukup mencolok
seputar hubungan dan pembagian kerja antara laki-laki dan perempuan
dalam kehidupan sosial. Pertama, pola hubungan antara laki-laki dan perempuan
yang berkembang dalam masyarakat padang
pasir yang Nomad dimana laki-laki
lebih dominan dari pada perempuan. Kedua, dalam masyarakat Agraris dengan wilayah yang subur yang memberikan peran perempuan
lebih mandiri. Dan ketiga, pola hubungan yang terbentuk dalam masyarakat industri
maju yang telah menempatkan teknologi canggih, semisal komputer dan internet,
sebagai bagian dari teknologi harian yang lebih menghargai skill dari pada
jenis kelamin. Pendeknya, kondisi dan struktural ekonomi sebuah masyarakat akan
mempengaruhi pola hubungan antara laki-laki dan perempuan.
Qosim
Amien dalam bukunya Taahrirul Marah mengatakan,
laki-laki dan perempuan sama-sama memiliki akal sebagai kekuatan nalar,
analisa, dan mengkritisi sesuatu. Karena itu, laki-laki dan perempuan memiliki
hak yang sama dalam mengenyam pendidikan. Hubungan laki-laki dan perempuan
dalam sama-sama belajar tidak harus dengan pola yang kaku atau rigid. Interaksi
sosial (ikhtilath) antara kaum adam
dan kaum Hawa adalah sebuah keharusan untuk belajar saling memahami satu sama
yang lainya. Hijab yang menghalangi
dan membatasi interaksi sosial antara kedua belah pihak merupakan salah satu
penghambat kemajuan proses belajar-mengajar ( Tarbiah wa ta'lim). Dalam Masyarakat Industri, gender maskulin
bukanlah gender yang perlu dibanggakan, dan bukan perlambang superioritas.
dan sebaliknya, gender feminin bukanlah gender yang memalukan, dan bukanlah
ikon perlambang inferioritas. Yang menjadi barometer superior atau
inferior dan naik atau turunya derajat ditinjau dari segi kualitas, kapasitas,
dan skill (bakat atau kebisaan) yang
dimiliki oleh masing-masing individu manusia..
Dalam
masyarat Patriarki, kaum Hawa hanya berperan dalam wilayah domestik (terkenal
dengan istilah "sumur, dapur, dan kasur"). Atau perempuan tidak lebih
dari konco wingking (teman
penyempurna) bagi laki-laki. Namun, lain
halnya dalam dunia dimana peradaban telah berkembang pesat dan kompetisi
diruang publik telah memberikan tempat bagi siapa saja yang memiliki skill atau
keahlian yang di butuhkan tanpa memperdulikan jenis kelamin. Perbedaan gender
telah hilang relefansinya dalam dunia yang berperadaban (civilized). Kaum hawa tidak hanya berperan dalam wilayah domestik,
tapi lebih jauh bisa berperan dan mendapatkan posisi yang layak dalam wilayah
publik sesuai dengan kapabilitasnya. Kegiatan yang bersifat sosial, seperti
politik praktis, dan kerja sosial lainya bisa di jamah dan di rambah kaum
wanita. Kalau kita kembali kesejarah (Back To Historis), banyak kaum hawa yang
mendapatkan peran politik, seperti A'isah (istri nabi) menjadi penglima perang
di waktu perang jamal membawahi puluhan pasukan guna melawan kelompok Ali
(KW).
Konsep keluarga dalam Islam
Pemberdayaan wanita tidak hanya
berkutat pada masalah pendidikan saja, akan tetapi juga dalam membangun bahtera
rumah tangga. Kemajuan berfikir seorang wanita sangat menentukan kesuksesan dan
kelangsungan dalam membina rumah tangga yang damai sejahtera. Namun, karena
keluarga sangat erat kaitannya dengan adat-istiadat (cultur) dan hukum syari'at agama, maka perlu kiranya mengkritisi
teks-teks agama yang berkenaan dengan keluarga.
Pernikahan
Pernikahan dalam pandangan Islam adalah kesepakatan bersama
yang bertitik tolak dari kalimat Allah (syariat Ilahi). Itu merupakan
kesepakatan bersama yang mudah diterapkan, yang laki-laki dan perempuan-apabila
mereka telah memenuhi syarat-syarat syar'i dalam akad pernikahan-dapat
mengadakan akad nikah di antara mereka dengan kehendak mereka sendiri dan
dengan komitmen akad mereka tanpa perlu seorang perantara pun, dan tanpa perlu
kepada bantuan tokoh agama pun.
Makna hikmah Ilahi dalam perkawinan menurut Islam terletak
pada keabsahan perkawinan itu sendiri. Oleh karena itu, kita mengetahui bahwa
termasuk hal yang disunahkan adalah, pria mengucapkan kepada istrinya pada saat
malam pernikahan, dan sebelum mulai menggaulinya, "Ya Allah dengan
kalimat-Mu aku mengambilnya." Melalui hal itu jelaslah bahwa hubungan
suami dengan istrinya bertitik tolak dari kalimatullah dan kalimatullah bertitik
tolak dari syariat-Nya, yakni kecintaan Allah kepada pernikahan ini. Pernikahan
islami bukan rahasia Ilahi yang hanya dimiliki oleh para ulama (tokoh-tokoh
agama), tetapi ia rahasia Ilahi yang memanifestasi dalam syariat dan kecintaan
Allah kepadanya, dan ini adalah hal yang dapat disadari dan dipahami oleh pria
dan wanita. Oleh karena itu, persoalan perkawinan dalam Islam bukanlah hal yang
pelik dan tidak ada otoritas kependetaan yang bertanggung jawab terhadap
keabsahan perkawinan-tidak seperti kalangan Kristen-yang menganggap perkawinan
harus terlaksana di bawah pengawasannya.
Kalangan Kristen mengharuskan pelaksanaan akad nikah pada
si pendeta, karena hanya dia yang memiliki rahasia agama yang suci yang
terkandung dalam perkawinan. Pemikahan dalam Islam merupakan persoalan pribadi
sekali seperti akad yang lain antara dua orang, dan pengucapan lafal akad
menunjukkan keabsahan, bukan menunjukkan bahwa ia adalah rahasia Ilahi
Akad nikah
Akad adalah ungkapan yang terang-terangan (jelas) tentang
keinginan untuk melaksanakan suatu komitmen dengan serius, dengan makna
tertentu dan keharusan menggunakan pengucapan lafal tertentu terhadap pihak
lain yang menjalin kesepakatan dengan pihak yang pertama, di mana kedua pihak
yang melakukan akad benar-benar konsekuen dan menghormati makna akad tersebut
di hadapan Allah dan di hadapan masing-masing mereka serta di hadapan
masyarakat. Yakni, itu merupakan keinginan untuk melaksanakan suatu komitmen
yang terkait dengan komitmen lain sebagai konsekuensi darinya.
Pelaksanaan akad dalam perkawinan adalah sangat perlu, sama
perlunya dengan pelaksanaan ikatan-ikatan lain yang terlaksana dengan adanya
kesepakatan antara kedua belah pihak. Maka, haruslah ada peneguhan keinginan
untuk melangsungkan pernikahan yang serius dengan cara mengumumkan di depan
orang lain secara gamblang dan jelas, berupa pengucapan lafal tertentu,
sehingga apabila hal itu terwujud, maka itu cukup sebagai jaminan adanya
komitmen kedua pasangan untuk menjalankan kewajiban-kewajiban masing-masing
mereka dan memenuhi hak- hak masing-masing mereka sebagai akibat dari
perkawinan itu sendiri.
Akad tersebut merupakan ungkapan komitmen kuat dan sebagai
pilar untuk memperkokoh kehidupan berumah tangga, sebab jika hubungan
suami-istri bertitik tolak dari "keinginan yang numpang lewat"
(sepintas), maka tak satu pun dan kedua pasangan yang dapat menuntut tanggung
jawab pihak yang lain terhadapnya. Adapun jika bertitik tolak dan suatu akad,
maka kedua pasangan menjadi terikat dengan aturan tertentu di dalamnya, persis
sebagaimana seseorang yang melaksanakan akad-akad yang lain-seperti akad
jual-beli, persewaan, sampai akad-akad internasional-dalam kehidupan.
Sesungguhnya keinginan timbal balik yang tidak dikuatkan dengan suatu akad yang
mengharuskan kedua belah pihak, memerlukan kekokohan dan dasar yang dapat
dijadikan sandaran dalam pelaksanaan.
Wanita dan Konsep poligami
Poligami (Ta'addud jauzah) bukanlah semata-mata syari'at agama Islam, tetapi
lebih merupakan bentuk adat-istiadat atau tradisi warisan umat terdahulu pada
masa wanita diposisikan antara manusia dan hewan. Sesungguhnya poligami adalah
bentuk penghinaan terhadap kaum perempuan, karena pada dasarnya, tidak seorang
wanita pun yang yang rela untuk dimadu sebagaimana halnya tidak seorang lelaki
pun yang rela jika lelaki lain ikut mendapatkan bagian cinta kasih istrinya (poliandri).
Ini sudah menjadi tabi'at manusia (firah) dan kecenderungan hati nurani
manusia. Jika ada wanita yang rela dimadu, maka hal tersebut tidak lepas
dikarenakan dua hal ; pertama, kedalaman cintanya terhadap sang suami, maka ia
akan merasakan kesedihan yang amat mendalam dan sangat menyiksa dirinya. Dan
yang kedua, untuk menjaga martabat keluarga. Seperti halnya yang pertama,
alasan yang kedua ini juga membuat kesusahan dalam diri wanita karena ia
merasakan kegelisahan yang tak berujung.
Sudah
menjadi fitrah wanita untuk cenderung mendominasi atas hati suami. Karenanya,
ketika seorang istri melihat suaminya berdampingan dengan istrinya yang lain,
akan membakar emosi dan mengakibatkan kesakitan hati yang sangat luar biasa.
Pada akhirnya menyulut api permusuhan yang meruntuhkan nilai-nilai persaudaraan
dan etika kemanusiaan yang seharusnya dijaga. Maka bagaimana mungkin poligami
digolongkan sesuatu yang baik jika dalam prakteknya mengakibatkan permusuhan
dan meruntuhkan nilai-nilai persaudaraan?. Bukankah Islam sangat menjunjung
tinggi sebuah persaudaraan dan kesatuan umat?. Kesakitan hati wanita lebih
terbakar lagi ketika para fuqaha tidak mensyaratkan keadilan kasih sayang suami
terhadap istri-istrinya dalam berpoligami, tetapi hanya mensyaratkan keadilan
dalam pemberian nafkah lahir dan nafkah bathin.
Ayat Al-Qur'an yang menyinggung
masalah poligami adalah ayat yang membolehkan poligami tetapi sekaligus
memberikan peringatan (Q.S. An-Nisa’, 3)dan (Q.S. An-Nisa’, 29). Pada ayat
pertama menjelaskan bahwa syari'at mewajibkan keadilan dalam berpoligami,
kemudian ayat kedua menjelaskan bahwa keadilan tersebut adalah sesuatu yang
mustahil. Maka dari sini dapat disimpulkan bahwa sesungguhnya berpoligami itu
haram kalau seandainya tidak ada nash-nash sunnah yang menunjukkan kebolehan
dalam berpoligami. Kebolehan dalam berpoligami selalu terkait dengan
kemaslahatan umat, sebagaimana hukum-hukum mubah lainnya dalam syari'at
Islam. Oleh karena itu, seorang hakim bisa saja melarang poligami jika poligami
dapat meruntuhkan sendi-sendi Islam yang lebih penting untuk diperjuangkan,
seperti persaudaraan dan kesatuan umat.
Penutup
Demikian panjangnya masalah yang berhubungan dengan wanita,
sehingga apa yang tertulis disini belum sepenuhnya mewakili, dan akhirnya masih
perlu kajian ulang atas segala bentuk permasalahan yang sedang berkembang di
dunia wanita saat ini,
dan konsep keluarga dalam islam[1][1]
Moch Moealliem[2][2]
Pendahuluan
Ketika kita menerima bahwa
pemikiran yang kita lontarkan adalah sebuah ke-bid'ah-an tetapi bukan
dalam agama melainkan bid'ah dalam budaya dan interaksi sosial
masyarakat.Sejatinya, setiap umat tertentu dan pada masa tertentu pula,
mempunyai adat istiadat dan tata-krama (moralitas) tersendiri yang sesuai
dengan apa yang mereka sepakati bersama (kontrak sosial). Adat-istiadat dan
tata-krama tersebut selalu berubah secara disadari ataupun tidak disadari
sesuai dengan kondisi dan pergantian zaman.
Pada zaman Romawi dan Yunani
kuno, seorang wanita tidak ada bedanya
seperti seorang budak yang berada dalam kekangan orang tua (bapak)
kemudian suaminya dan akhirnya anak lelakinya tertua.Dan seorang kepala
keluarga berhak sepenuhnya terhadap wanita, maka wanita pada zaman itu
boleh-boleh saja diperjual-belikan, dijadikan hadiah dan warisan kepada ahli
warisnya, atau bahkan dibunuh.
Pada zaman pra-Islam orang Arab
mempunyai kebudayaan membunuh anak perempuan kandungnya, berhubungan intim
antar laki-laki dengan wanita secara
bebas dengan tanpa adanya ikatan tali perkawinan (free Sex) . Kebudayaan tersebut masih berlangsung sampai abad
kedelapan belas di beberaa suku Afrika. Di beberap suku Asia
berkeyakinan bahwa wanita tidak mempunyai hak hidup setelah kematian sang suami
dan sebagian mereka menghadiahkannya kepada tamu sebagai sebuah penghormatan.
Dalam peradaban mesir kuno, komunitas masyarakat mesir memiliki kepercayaan
teologis, bahwa, untuk mengantisipasi amuk banjir dari sungai Nil
--satu-satunya sumber mata air—sebagai manifestasi amarah Dewa Air, maka
disetiap pertengahan bulan (bulan purnama) masyarakat mesir mengorbankan
perempuan yang masih gadis di persembahkan
untuk Dewa Air.
Islam di turunkan dalam komunitas
masyarakat yang tidak empati terhadap kaum Hawa. Bahkan, perempuan tidak
ubahnya seperti benda yang bisa di lemparkan dari satu tangan ke tangan yang
lain, lebih jauh pembunuhan terhadap anak perempuan adalah tradisi bagi jazirah
arab jahili pada masa itu. Salah satu misi dan visi Islam ialah meninggikan
harkat dan martabat kaum hawa, dan pembebasan kaum hawa (tahrierul Mar'ah) dari pelecehan seksual, subordinasi, dan
marjinalisasi. Martabat wanita dan laki-laki dalam pandangan islam memiliki
derajat yang sama (Egaliter). Hanya kualitas taqwa kepada tuhan sajalah yang
membedakan tinggi-rendahnya derajat seseorang (laki-laki maupun
perempuan).
Konsep Islam
tentang kesetaraan gender yang di
gelindingkan dalam masyarakat jahili,
telah menimbulkan reaksi yang cukup keras. Konsepsi itu terlalu dan sangat
modern bagi zamanya. Sayangnya, tidak ada infra struktural sosial yang
menyangga, dan mengusung konsepsi kesetaraan gender itu menuju masyarakat
ideal.).
Ada tiga fenomena dan
sekaligus perbedaan yang cukup mencolok
seputar hubungan dan pembagian kerja antara laki-laki dan perempuan
dalam kehidupan sosial. Pertama, pola hubungan antara laki-laki dan perempuan
yang berkembang dalam masyarakat padang
pasir yang Nomad dimana laki-laki
lebih dominan dari pada perempuan. Kedua, dalam masyarakat Agraris dengan wilayah yang subur yang memberikan peran perempuan
lebih mandiri. Dan ketiga, pola hubungan yang terbentuk dalam masyarakat industri
maju yang telah menempatkan teknologi canggih, semisal komputer dan internet,
sebagai bagian dari teknologi harian yang lebih menghargai skill dari pada
jenis kelamin. Pendeknya, kondisi dan struktural ekonomi sebuah masyarakat akan
mempengaruhi pola hubungan antara laki-laki dan perempuan.
Qosim
Amien dalam bukunya Taahrirul Marah mengatakan,
laki-laki dan perempuan sama-sama memiliki akal sebagai kekuatan nalar,
analisa, dan mengkritisi sesuatu. Karena itu, laki-laki dan perempuan memiliki
hak yang sama dalam mengenyam pendidikan. Hubungan laki-laki dan perempuan
dalam sama-sama belajar tidak harus dengan pola yang kaku atau rigid. Interaksi
sosial (ikhtilath) antara kaum adam
dan kaum Hawa adalah sebuah keharusan untuk belajar saling memahami satu sama
yang lainya. Hijab yang menghalangi
dan membatasi interaksi sosial antara kedua belah pihak merupakan salah satu
penghambat kemajuan proses belajar-mengajar ( Tarbiah wa ta'lim). Dalam Masyarakat Industri, gender maskulin
bukanlah gender yang perlu dibanggakan, dan bukan perlambang superioritas.
dan sebaliknya, gender feminin bukanlah gender yang memalukan, dan bukanlah
ikon perlambang inferioritas. Yang menjadi barometer superior atau
inferior dan naik atau turunya derajat ditinjau dari segi kualitas, kapasitas,
dan skill (bakat atau kebisaan) yang
dimiliki oleh masing-masing individu manusia..
Dalam
masyarat Patriarki, kaum Hawa hanya berperan dalam wilayah domestik (terkenal
dengan istilah "sumur, dapur, dan kasur"). Atau perempuan tidak lebih
dari konco wingking (teman
penyempurna) bagi laki-laki. Namun, lain
halnya dalam dunia dimana peradaban telah berkembang pesat dan kompetisi
diruang publik telah memberikan tempat bagi siapa saja yang memiliki skill atau
keahlian yang di butuhkan tanpa memperdulikan jenis kelamin. Perbedaan gender
telah hilang relefansinya dalam dunia yang berperadaban (civilized). Kaum hawa tidak hanya berperan dalam wilayah domestik,
tapi lebih jauh bisa berperan dan mendapatkan posisi yang layak dalam wilayah
publik sesuai dengan kapabilitasnya. Kegiatan yang bersifat sosial, seperti
politik praktis, dan kerja sosial lainya bisa di jamah dan di rambah kaum
wanita. Kalau kita kembali kesejarah (Back To Historis), banyak kaum hawa yang
mendapatkan peran politik, seperti A'isah (istri nabi) menjadi penglima perang
di waktu perang jamal membawahi puluhan pasukan guna melawan kelompok Ali
(KW).
Konsep keluarga dalam Islam
Pemberdayaan wanita tidak hanya
berkutat pada masalah pendidikan saja, akan tetapi juga dalam membangun bahtera
rumah tangga. Kemajuan berfikir seorang wanita sangat menentukan kesuksesan dan
kelangsungan dalam membina rumah tangga yang damai sejahtera. Namun, karena
keluarga sangat erat kaitannya dengan adat-istiadat (cultur) dan hukum syari'at agama, maka perlu kiranya mengkritisi
teks-teks agama yang berkenaan dengan keluarga.
Pernikahan
Pernikahan dalam pandangan Islam adalah kesepakatan bersama
yang bertitik tolak dari kalimat Allah (syariat Ilahi). Itu merupakan
kesepakatan bersama yang mudah diterapkan, yang laki-laki dan perempuan-apabila
mereka telah memenuhi syarat-syarat syar'i dalam akad pernikahan-dapat
mengadakan akad nikah di antara mereka dengan kehendak mereka sendiri dan
dengan komitmen akad mereka tanpa perlu seorang perantara pun, dan tanpa perlu
kepada bantuan tokoh agama pun.
Makna hikmah Ilahi dalam perkawinan menurut Islam terletak
pada keabsahan perkawinan itu sendiri. Oleh karena itu, kita mengetahui bahwa
termasuk hal yang disunahkan adalah, pria mengucapkan kepada istrinya pada saat
malam pernikahan, dan sebelum mulai menggaulinya, "Ya Allah dengan
kalimat-Mu aku mengambilnya." Melalui hal itu jelaslah bahwa hubungan
suami dengan istrinya bertitik tolak dari kalimatullah dan kalimatullah bertitik
tolak dari syariat-Nya, yakni kecintaan Allah kepada pernikahan ini. Pernikahan
islami bukan rahasia Ilahi yang hanya dimiliki oleh para ulama (tokoh-tokoh
agama), tetapi ia rahasia Ilahi yang memanifestasi dalam syariat dan kecintaan
Allah kepadanya, dan ini adalah hal yang dapat disadari dan dipahami oleh pria
dan wanita. Oleh karena itu, persoalan perkawinan dalam Islam bukanlah hal yang
pelik dan tidak ada otoritas kependetaan yang bertanggung jawab terhadap
keabsahan perkawinan-tidak seperti kalangan Kristen-yang menganggap perkawinan
harus terlaksana di bawah pengawasannya.
Kalangan Kristen mengharuskan pelaksanaan akad nikah pada
si pendeta, karena hanya dia yang memiliki rahasia agama yang suci yang
terkandung dalam perkawinan. Pemikahan dalam Islam merupakan persoalan pribadi
sekali seperti akad yang lain antara dua orang, dan pengucapan lafal akad
menunjukkan keabsahan, bukan menunjukkan bahwa ia adalah rahasia Ilahi
Akad nikah
Akad adalah ungkapan yang terang-terangan (jelas) tentang
keinginan untuk melaksanakan suatu komitmen dengan serius, dengan makna
tertentu dan keharusan menggunakan pengucapan lafal tertentu terhadap pihak
lain yang menjalin kesepakatan dengan pihak yang pertama, di mana kedua pihak
yang melakukan akad benar-benar konsekuen dan menghormati makna akad tersebut
di hadapan Allah dan di hadapan masing-masing mereka serta di hadapan
masyarakat. Yakni, itu merupakan keinginan untuk melaksanakan suatu komitmen
yang terkait dengan komitmen lain sebagai konsekuensi darinya.
Pelaksanaan akad dalam perkawinan adalah sangat perlu, sama
perlunya dengan pelaksanaan ikatan-ikatan lain yang terlaksana dengan adanya
kesepakatan antara kedua belah pihak. Maka, haruslah ada peneguhan keinginan
untuk melangsungkan pernikahan yang serius dengan cara mengumumkan di depan
orang lain secara gamblang dan jelas, berupa pengucapan lafal tertentu,
sehingga apabila hal itu terwujud, maka itu cukup sebagai jaminan adanya
komitmen kedua pasangan untuk menjalankan kewajiban-kewajiban masing-masing
mereka dan memenuhi hak- hak masing-masing mereka sebagai akibat dari
perkawinan itu sendiri.
Akad tersebut merupakan ungkapan komitmen kuat dan sebagai
pilar untuk memperkokoh kehidupan berumah tangga, sebab jika hubungan
suami-istri bertitik tolak dari "keinginan yang numpang lewat"
(sepintas), maka tak satu pun dan kedua pasangan yang dapat menuntut tanggung
jawab pihak yang lain terhadapnya. Adapun jika bertitik tolak dan suatu akad,
maka kedua pasangan menjadi terikat dengan aturan tertentu di dalamnya, persis
sebagaimana seseorang yang melaksanakan akad-akad yang lain-seperti akad
jual-beli, persewaan, sampai akad-akad internasional-dalam kehidupan.
Sesungguhnya keinginan timbal balik yang tidak dikuatkan dengan suatu akad yang
mengharuskan kedua belah pihak, memerlukan kekokohan dan dasar yang dapat
dijadikan sandaran dalam pelaksanaan.
Wanita dan Konsep poligami
Poligami (Ta'addud jauzah) bukanlah semata-mata syari'at agama Islam, tetapi
lebih merupakan bentuk adat-istiadat atau tradisi warisan umat terdahulu pada
masa wanita diposisikan antara manusia dan hewan. Sesungguhnya poligami adalah
bentuk penghinaan terhadap kaum perempuan, karena pada dasarnya, tidak seorang
wanita pun yang yang rela untuk dimadu sebagaimana halnya tidak seorang lelaki
pun yang rela jika lelaki lain ikut mendapatkan bagian cinta kasih istrinya (poliandri).
Ini sudah menjadi tabi'at manusia (firah) dan kecenderungan hati nurani
manusia. Jika ada wanita yang rela dimadu, maka hal tersebut tidak lepas
dikarenakan dua hal ; pertama, kedalaman cintanya terhadap sang suami, maka ia
akan merasakan kesedihan yang amat mendalam dan sangat menyiksa dirinya. Dan
yang kedua, untuk menjaga martabat keluarga. Seperti halnya yang pertama,
alasan yang kedua ini juga membuat kesusahan dalam diri wanita karena ia
merasakan kegelisahan yang tak berujung.
Sudah
menjadi fitrah wanita untuk cenderung mendominasi atas hati suami. Karenanya,
ketika seorang istri melihat suaminya berdampingan dengan istrinya yang lain,
akan membakar emosi dan mengakibatkan kesakitan hati yang sangat luar biasa.
Pada akhirnya menyulut api permusuhan yang meruntuhkan nilai-nilai persaudaraan
dan etika kemanusiaan yang seharusnya dijaga. Maka bagaimana mungkin poligami
digolongkan sesuatu yang baik jika dalam prakteknya mengakibatkan permusuhan
dan meruntuhkan nilai-nilai persaudaraan?. Bukankah Islam sangat menjunjung
tinggi sebuah persaudaraan dan kesatuan umat?. Kesakitan hati wanita lebih
terbakar lagi ketika para fuqaha tidak mensyaratkan keadilan kasih sayang suami
terhadap istri-istrinya dalam berpoligami, tetapi hanya mensyaratkan keadilan
dalam pemberian nafkah lahir dan nafkah bathin.
Ayat Al-Qur'an yang menyinggung
masalah poligami adalah ayat yang membolehkan poligami tetapi sekaligus
memberikan peringatan (Q.S. An-Nisa’, 3)dan (Q.S. An-Nisa’, 29). Pada ayat
pertama menjelaskan bahwa syari'at mewajibkan keadilan dalam berpoligami,
kemudian ayat kedua menjelaskan bahwa keadilan tersebut adalah sesuatu yang
mustahil. Maka dari sini dapat disimpulkan bahwa sesungguhnya berpoligami itu
haram kalau seandainya tidak ada nash-nash sunnah yang menunjukkan kebolehan
dalam berpoligami. Kebolehan dalam berpoligami selalu terkait dengan
kemaslahatan umat, sebagaimana hukum-hukum mubah lainnya dalam syari'at
Islam. Oleh karena itu, seorang hakim bisa saja melarang poligami jika poligami
dapat meruntuhkan sendi-sendi Islam yang lebih penting untuk diperjuangkan,
seperti persaudaraan dan kesatuan umat.
Penutup
Demikian panjangnya masalah yang berhubungan dengan wanita,
sehingga apa yang tertulis disini belum sepenuhnya mewakili, dan akhirnya masih
perlu kajian ulang atas segala bentuk permasalahan yang sedang berkembang di
dunia wanita saat ini,
Tue Aug 01, 2023 9:56 pm by wisatasemarang
» Portable STATA 18 Crack Full Version
Thu May 11, 2023 5:24 pm by wisatasemarang
» NVivo 12 Crack Full version
Mon Jan 30, 2023 11:16 am by wisatasemarang
» Tutorial Difference In difference (DID (Diff-in-Diff) With Eviews 13
Thu Nov 03, 2022 6:24 am by wisatasemarang
» Online Workshop Smart PLS Minggu, 01 Oktober 2022
Sat Sep 17, 2022 11:35 am by wisatasemarang
» kumpulan ebook tentang robot
Fri Jan 02, 2015 10:04 pm by kyuru
» MANTRA PELET
Wed May 16, 2012 3:31 am by orlandojack
» book love of spell
Sat Mar 24, 2012 8:08 pm by rifqi as
» attraction Formula
Sat Mar 24, 2012 7:09 pm by rifqi as