Totalitas Hidup Seorang Muslim
Oleh: Ust.DR. Ahzami Sami'un Jazuli
"Dan sesungguhnya jika kamu
mendatangkan kepada orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang diberi Al-Kitab
(Taurat dan Injil), semua ayat (keterangan), mereka tidak akan mengikuti
kiblatmu, dan kamu pun tidak akan mengikuti kiblat mereka, dan sebagian dari
mereka pun tidak mengikuti kiblat sebagianyang lain. Dan sesungguhnya jika kamu
mengikuti keinginan mereka setelah datang ilmu kepadamu, sesungguhnya kamu kalau
begitu termasuk golongan orang-orang yang zalim".(QS. 2:145)
Ayat ini menjelaskan tentang pengingkaran ahli kitab untuk
mengikuti kiblatnya kaum muslimin. Kalau kita perhatikan pada ayat lain,
sebenarnya Ahli Kitab ini jelas-jelas mengenal Rasulillah SAW. Allah SWT
berfirman :
Orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang
telah Kami beri Al-Kitab (Taurat dan Injil) mengenal Muhammad seperti mereka
mengenal anak-anaknya sendirir. Dan sesungguhnya sebagian di antara mereka
menyembunyikan kebenaran, padahal mereka mengetahui. (QS. 2:146).
Ayat 146 dari Qs. Al-Baqoroh
menggambarkan bahwa pengenalan Ahli Kitab kepada Rasulullah Muhammad SAW itu
sebagaimana mereka mengenal anaknya sendiri. Jadi sangat kenal. Namun demikian,
ketika Rasulullah Muhammad SAW di utus kepada seluruh manusia, mereka
seolah-olah tidak tahu. Mereka mengingkarinya. Mereka tidak mau mengikutinya.
Ahli Kitab mengetahui tentang
kebenaran kerasulan Muhammad SAW, bahwa beliau benar-benar utusan Allah. Tetapi
mereka tidak mengakui kiblatnya,tidak mengakui kebenarannya, tidak mengikuti
jalan hidupnya, seperti yang tercantum pada awal ayat ini :
"Dan sesungguhnya jika kamu
mendatangkan kepada orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang diberi Al-Kitab
(Taurat dan Injil), semua ayat (keterangan), mereka tidak akan mengikuti
kiblatmu..."
Mengapa Ahli kitab mengingkari
kerasulan Muhammad padahal mereka mengetahui bahwa perilakunya itu salah ?
Mereka melakukan itu karena tidak bisa lepas dari hawa nafsunya ('adamu tajrid
'anil hawa). Ketika totalitas hidupnya tidak diserahkan kepada Allah, walaupun
dia tahu tentang suatu kebenaran,dia tidak mau mengikutinya. Ahli kitab (Yahudi
dan Nasrani) ini tahu bahwa Rasulullah SAW itu utusan Allah, jelas dalam kitab
mereka diterangkan hal tersebut.
Mengukur seseorang dari pengetahuannya
semata tidak cukup. Buktinya adalah Yahudi dan Nasrani tahu dan mengenal
tentang Muhammad, tetapi mereka tidak beriman kepada Rasulullah SAW. Keimanan
mereka kepada Allah patut diragukan. Imannya kepada Allah tidak total sehingga
ketika Allah menentukan Muhammad yang dipilih sebagai Rasulnya, mereka tidak
bisa
menerima. Mereka tidak bisa melepaskan
dirinya dari hawa nafsunya, dari kepentingannya. Hawa nafsu mereka menginginkan
agar Allah menunjuk Rasul dari golongannya. Mereka hanya mentaati Allah jika
sesuai dengan hawa nafsunya.
Sikap Ahli kitab ini merupakan
pelajaran bagi kita untuk senantiasa mengingatkan diri kita dan masyarakat kita
agar tidak menjadikan tingginya ilmu yang dimiliki oleh seseorang sebagai
standar ketinggian derajat seseorang atau suatu kaum. Fenomena ahli kitab ini
adalah fenomena tentang lapisan masyarakat yang terpelajar yang melakukan
pelanggaran dan penyimpangan. Banyak ummat Islam yang tahu bahwa sesuatu itu
halal, atau haram, tetapi mereka melanggarnya. Mereka masih berbuat maksiyat.
Mereka belum bisa melepaskan seluruh pengaruh hawa nafsunya.
Bukankah orang yang minum minuman
keras itu pada umumnya mereka tahu kalau minum minuman keras itu haram ? Mereka
tahu. Tetapi mereka melanggarnya.Hawa nafsu telah mendominasi dirinya. Orang
yang korupsi atau kolusi, bukankah mereka terpelajar yang mengetahui bahwa
korupsi dan kolusi itu termasuk kema'siyatan ?. Ketika mereka masih jadi
pelajar atau mahasiswa mungkin ikut dalam demonstrasi anti korupsi atau kolusi.
Tetapi ketika dia yang berkesempatan untuk melakukan korupsi dan kolusi, mereka
melakukannya juga. Ini semua bukan berarti dia tidak tahu yang halal dan yang
haram, akan tetapi hawa nafsu dan kepentingan berperan sangat dominan pada
dirinya.
Berdakwah kepada orang-orang yang
sudah pernah belajar Islam kadang-kadang lebih sulit daripada yang sama sekali
belum pernah belajar Islam. Orang yang pernah belajar Islam, baik di Pesantren,
di Perguruan Tinggi, atau di tempat lain, mereka merasa seolah-olah ilmu yang
didapatkannya telah cukup baginya untuk selamat dari adzab Allah. Kalau
diingatkan ketika dia berbuat ma'siyat, merasa lebih pintar daripada yang
mendakwahi. Orang-orang yang mempunyai pandangan semacam ini sulit untuk
menerima kebenaran yang dikemukakan orang lain.
Ketika menghadapi orang yang demikian,
kita disuruh berjidal atau berdebat seperti kata Allah dalam surat An-Nahl ayat
125: "Serulah (manusia) kepada jalan Rabbmu dengan hikmah dan pelajaran
yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik. Sesungguhnya Rabbmu
Dia-lah yang lebih mengetahui tentang
siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dia-lah yang lebih mengetahui
orang-orang yang mendapat petunjuk" (Qs.An-Nahl 125)
Ahli tafsir mengatakan bahwa berdakwah
dengan wajadilhum billati hiya ahsan itu ditujukan kepada ahli kitab dan
orang-orang yang berilmu tetapi mereka tidak mau mengikuti kebenaran Islam.
Kenapa kita tidak disuruh menda'wahi mereka dengan nasehat? Karena nasehat
sangat tepat jika ditujukan kepada orang yang tidak tahu. Memang benar bahwa
nasehat itu untuk semua manusia, tetapi nasehat akan mudah diterima bagi orang
yang memang tidak tahu. Bagi orang yang sudah tahu tentang sesuatu tetapi dia
tidak mau mengamalkan kebenaran yang diketahuinya, kita harus berda'wah
kepadanya dengan berjidal dengan cara yang ahsan.
Ketika Ahli Kitab tidak mau mengikuti
Rasulullah SAW, apa sikap beliau ? Apa beliau harus mengalah ? Ternyata tidak.
Allah mengatakan (dan tidaklah kamu mengikuti kiblat mereka).
Dalam ilmu lughoh, kalimat itu disebut
jumlatul ismiyat yang bermakna tetap eksis dan kontinyu. Ini mengandung arti
bahwa dalam hal apapun jangan sekali-kali kita mengikuti kiblatnya Ahli Kitab.
Dan ini berlaku untuk selama-lamanya.
Pesan Allah ini pada realitanya belum
kita laksanakan dengan baik. Sistem ekonomi kita meniru mereka, sistem politik
juga meniru mereka dan sistem pendidikan juga demikian. Sisi yang lainnya dalam
hidup kita juga banyak meniru mereka.
Dalam bidang pendidikan misalnya,
sistem pendidikan kita banyak diwarnai dengan ikthilat. Padahal jika kita
bicara tentang sistem pendidikan Islam yang diterapkan dari jaman Rasul sampai
jaman generasi yang menjadikan Islam sebagai petunjuk hidupnya, tidak ada
sekolah yang memperbolehkan ikhtilat, yang mencampurkan antara laki-laki dan
perempuan. Ada yang mengatakan bahwa itu dilakukan dengan alasan darurat.
Mereka berpikiran jika antara laki-laki dan perempuan dipisah, nanti gurunya
banyak, lalu menggajinya dari mana ? Padahal sesuatu yang darurat itu ada
batasnya. Tidak bisa sampai mati masih menggunakan alasan darurat. Dalam aturan
Islam, ketika kita diperbolehkan makan bangkai karena kita lapar, setelah kita
makan dan sudah cukup menghilangkan lapar, kita tidak diperbolehkan meneruskan
makan dengan alasan darurat.
Ummat Islam yang tidak memahami ayat
semacam ini sangat mudah terjebak mengikuti cara hidup Ahli Kitab. Padahal
jelas-jelas Allah mengatakan ( janganlah kalian mengikuti kiblat mereka).
Penegasan Allah ini tidak kebetulan. Bukan berarti kalau suatu saat kita
menganggap bahwa kondisinya lain, kita boleh mengikuti mereka. Tidak ada
begitu.
Sebaliknya Allah mengatakan (sebagian
mereka tidak mau mengikuti sebagian yang lain). Yahudi dan Nasrani pada
dasarnya selalu ribut, hanya kita saja yang tidak mengetahui. Sebenarnya
kepentingan-kepentingan Yahudi dan Nasrani sering bertabrakan. Dalam melakukan
lobi-lobi di Amerika misalnya, mereka selalu "cakar-cakaran".
Demikian pula dalam banyak hal lainnya.Tetapi ketika menghadapi Islam mereka
bersatu.
Selanjutnya Allah mengatakan :
"...Dan sesungguhnya jika kamu
mengikuti keinginan mereka setelah datang ilmu kepadamu yaitu Al-Qur'an,
Al-Islam, sesungguhnya kamu kalau begitu termasuk golongan orang-orang yang
zalim..."
Rasulullah SAW saja kalau mengikuti
selera Ahli Kitab termasuk orang yang dholim, apalagi kita yang tidak ada
hubungan darah dengan Rasulullah SAW. Dalam Islam tidak ada basa-basi. Siapapun
yang menentang ajaran Allah, dia adalah dholim. Ini pernyataan yang tegas dari
Allah yang harus kita taati. Kita jangan suka berstrategi untuk menyiasati
aturan Allah ini. Kita tidak usah takut manusia akan lari jika kita mentaati
aturan Allah ini. Jangan sampai kita mengatakan "Pak, mereka tidak mau
ikut kalau kita begitu....
Pak, kalau kita tidak begini nanti
tidak diterima masyarakat". Dakwah ini harus dilakukan dengan mengikuti
jalan Allah, bukan untuk mengikuti selera masyarakat. Memang boleh kita
mempertimbangkan sesuatu untuk kemashlahatan, sepanjang tidak bertentangan
dengan prinsip-prinsip yang digariskan oleh Allah SWT. Kita sekarang ini terlalu
banyak membuat kebijakan-kebijakan tanpa memperhatikan dasar-dasar 'aqidah yang
digariskan Allah. Mungkin kita khawatir jika selalu berpegang pada prinsip yang
digariskan Allah malah sulit diterima masyarakat. Kekhawatiran ini tidak
berdasar. Rasulullah SAW juga ketika berdakwah, awalnya memang tidak diterima
masyarakat. Tetapi beliau tetap berpegang pada prinsip yang digariskan Allah.
Dan hasil yang dicapai Rasulullah dengan izin Allah sedemikian menakjubkan.
Ini menegaskan agar nilai yang kita
anut harus tetap. Nilai yang kita pegang itu adalah ajaran Allah SWT, bukan
selera masyarakat. Ketika Allah menurunkan jumlatul ismiyat ini tidak
kebetulan, tetapi Allah memilih dengan hikmah, supaya ummat Islam jangan
sedikitpun mengikuti jalan yang dibentangkan oleh Yahudi dan Nasrani. Ketika
Umar bin Khothob r.a menjadi kholifah, beliau berusaha merapikan masalah
ketatanegaraan (bukan berarti sebelumnya tidak rapi, tetapi sebelumnya belum
sempurna sehingga perlu disempurnakan). Untuk itu beliau membutuhkan orang-orang
yang ahli dalam tata negara. Ketika itu Gubernurnya menawarkan seorang kristen
yang ahli tata negara untuk bekerja di iddaroh (di kantor kenegaraan). Apa kata
Umar bin Khothob ? Apa beliau mengatakan "Wah Anda baik, Anda betul-betul
bisa mencari orang yang kita butuhkan, karena pada tahun-tahun ini kita butuh
ahli semacam ini". Ternyata Umar tidak mengatakan demikian tetapi beliau
malah berkata: "Untuk apa kita menerima orang Kristen, apakah kalau orang
kristen itu mati, kita tidak lagi bekerja ? Saya tidak mau menerima semua
ini". Begitu kata Umar. Padahal orang kristen itu benar-benar ahli dalam
bidang yang sedang dibutuhkan negara. Itupun Umar bin Khothob menolaknya.
Betapa Umar betul-betul memahami dan mengamalkan isi ayat ini. Tidak mungkin orang-orang
kafir itu bekerja tanpa pamrih. Pasti dia mempunyai tujuan-tujuan tertentu.
Mana ada orang kafir yang ketika bekerja dia tidak mencari posisi untuk
mendakwahkan agamanya ?
Thobi'atul ma'rokat (karakter
peperangan) antara haq dan bathil itu tidak pernah selesai. Ketika al-haq
eksis, al-bathil tidak akan merasa aman, merasa terganggu. Mereka pasti
bergerak.
Jika ada orang beriman yang tidak
berda'wah, berarti dia tidak mengetahui thobi'atul haq (hakekat kebenaran).
Cacing yang hidup di tempat kotor, jika kita pegang untuk kita pindah pada air
yang bersih, dia menolak. Ketika kita masukkan cacing tersebut ke dalam air
kolam yang bersih dia tidak betah, karena sudah biasa di tempat yang kotor.
Kehidupan cacing ini contoh bagi kita. Kita mengajak mereka (orang-orang yang
kotor itu) supaya dia bersih dari dosa, supaya dia baik. Tetapi ketika kita
tarik kepada sesuatu yang bersih, dia bergerak, dia menggeliat dan melawan. Dia
lebih suka tetap mempertahankan eksistensi kebathilannya. Inilah pelajaran berharga
dari Allah yang harus kita perhatikan.
Oleh: Ust.DR. Ahzami Sami'un Jazuli
"Dan sesungguhnya jika kamu
mendatangkan kepada orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang diberi Al-Kitab
(Taurat dan Injil), semua ayat (keterangan), mereka tidak akan mengikuti
kiblatmu, dan kamu pun tidak akan mengikuti kiblat mereka, dan sebagian dari
mereka pun tidak mengikuti kiblat sebagianyang lain. Dan sesungguhnya jika kamu
mengikuti keinginan mereka setelah datang ilmu kepadamu, sesungguhnya kamu kalau
begitu termasuk golongan orang-orang yang zalim".(QS. 2:145)
Ayat ini menjelaskan tentang pengingkaran ahli kitab untuk
mengikuti kiblatnya kaum muslimin. Kalau kita perhatikan pada ayat lain,
sebenarnya Ahli Kitab ini jelas-jelas mengenal Rasulillah SAW. Allah SWT
berfirman :
Orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang
telah Kami beri Al-Kitab (Taurat dan Injil) mengenal Muhammad seperti mereka
mengenal anak-anaknya sendirir. Dan sesungguhnya sebagian di antara mereka
menyembunyikan kebenaran, padahal mereka mengetahui. (QS. 2:146).
Ayat 146 dari Qs. Al-Baqoroh
menggambarkan bahwa pengenalan Ahli Kitab kepada Rasulullah Muhammad SAW itu
sebagaimana mereka mengenal anaknya sendiri. Jadi sangat kenal. Namun demikian,
ketika Rasulullah Muhammad SAW di utus kepada seluruh manusia, mereka
seolah-olah tidak tahu. Mereka mengingkarinya. Mereka tidak mau mengikutinya.
Ahli Kitab mengetahui tentang
kebenaran kerasulan Muhammad SAW, bahwa beliau benar-benar utusan Allah. Tetapi
mereka tidak mengakui kiblatnya,tidak mengakui kebenarannya, tidak mengikuti
jalan hidupnya, seperti yang tercantum pada awal ayat ini :
"Dan sesungguhnya jika kamu
mendatangkan kepada orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang diberi Al-Kitab
(Taurat dan Injil), semua ayat (keterangan), mereka tidak akan mengikuti
kiblatmu..."
Mengapa Ahli kitab mengingkari
kerasulan Muhammad padahal mereka mengetahui bahwa perilakunya itu salah ?
Mereka melakukan itu karena tidak bisa lepas dari hawa nafsunya ('adamu tajrid
'anil hawa). Ketika totalitas hidupnya tidak diserahkan kepada Allah, walaupun
dia tahu tentang suatu kebenaran,dia tidak mau mengikutinya. Ahli kitab (Yahudi
dan Nasrani) ini tahu bahwa Rasulullah SAW itu utusan Allah, jelas dalam kitab
mereka diterangkan hal tersebut.
Mengukur seseorang dari pengetahuannya
semata tidak cukup. Buktinya adalah Yahudi dan Nasrani tahu dan mengenal
tentang Muhammad, tetapi mereka tidak beriman kepada Rasulullah SAW. Keimanan
mereka kepada Allah patut diragukan. Imannya kepada Allah tidak total sehingga
ketika Allah menentukan Muhammad yang dipilih sebagai Rasulnya, mereka tidak
bisa
menerima. Mereka tidak bisa melepaskan
dirinya dari hawa nafsunya, dari kepentingannya. Hawa nafsu mereka menginginkan
agar Allah menunjuk Rasul dari golongannya. Mereka hanya mentaati Allah jika
sesuai dengan hawa nafsunya.
Sikap Ahli kitab ini merupakan
pelajaran bagi kita untuk senantiasa mengingatkan diri kita dan masyarakat kita
agar tidak menjadikan tingginya ilmu yang dimiliki oleh seseorang sebagai
standar ketinggian derajat seseorang atau suatu kaum. Fenomena ahli kitab ini
adalah fenomena tentang lapisan masyarakat yang terpelajar yang melakukan
pelanggaran dan penyimpangan. Banyak ummat Islam yang tahu bahwa sesuatu itu
halal, atau haram, tetapi mereka melanggarnya. Mereka masih berbuat maksiyat.
Mereka belum bisa melepaskan seluruh pengaruh hawa nafsunya.
Bukankah orang yang minum minuman
keras itu pada umumnya mereka tahu kalau minum minuman keras itu haram ? Mereka
tahu. Tetapi mereka melanggarnya.Hawa nafsu telah mendominasi dirinya. Orang
yang korupsi atau kolusi, bukankah mereka terpelajar yang mengetahui bahwa
korupsi dan kolusi itu termasuk kema'siyatan ?. Ketika mereka masih jadi
pelajar atau mahasiswa mungkin ikut dalam demonstrasi anti korupsi atau kolusi.
Tetapi ketika dia yang berkesempatan untuk melakukan korupsi dan kolusi, mereka
melakukannya juga. Ini semua bukan berarti dia tidak tahu yang halal dan yang
haram, akan tetapi hawa nafsu dan kepentingan berperan sangat dominan pada
dirinya.
Berdakwah kepada orang-orang yang
sudah pernah belajar Islam kadang-kadang lebih sulit daripada yang sama sekali
belum pernah belajar Islam. Orang yang pernah belajar Islam, baik di Pesantren,
di Perguruan Tinggi, atau di tempat lain, mereka merasa seolah-olah ilmu yang
didapatkannya telah cukup baginya untuk selamat dari adzab Allah. Kalau
diingatkan ketika dia berbuat ma'siyat, merasa lebih pintar daripada yang
mendakwahi. Orang-orang yang mempunyai pandangan semacam ini sulit untuk
menerima kebenaran yang dikemukakan orang lain.
Ketika menghadapi orang yang demikian,
kita disuruh berjidal atau berdebat seperti kata Allah dalam surat An-Nahl ayat
125: "Serulah (manusia) kepada jalan Rabbmu dengan hikmah dan pelajaran
yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik. Sesungguhnya Rabbmu
Dia-lah yang lebih mengetahui tentang
siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dia-lah yang lebih mengetahui
orang-orang yang mendapat petunjuk" (Qs.An-Nahl 125)
Ahli tafsir mengatakan bahwa berdakwah
dengan wajadilhum billati hiya ahsan itu ditujukan kepada ahli kitab dan
orang-orang yang berilmu tetapi mereka tidak mau mengikuti kebenaran Islam.
Kenapa kita tidak disuruh menda'wahi mereka dengan nasehat? Karena nasehat
sangat tepat jika ditujukan kepada orang yang tidak tahu. Memang benar bahwa
nasehat itu untuk semua manusia, tetapi nasehat akan mudah diterima bagi orang
yang memang tidak tahu. Bagi orang yang sudah tahu tentang sesuatu tetapi dia
tidak mau mengamalkan kebenaran yang diketahuinya, kita harus berda'wah
kepadanya dengan berjidal dengan cara yang ahsan.
Ketika Ahli Kitab tidak mau mengikuti
Rasulullah SAW, apa sikap beliau ? Apa beliau harus mengalah ? Ternyata tidak.
Allah mengatakan (dan tidaklah kamu mengikuti kiblat mereka).
Dalam ilmu lughoh, kalimat itu disebut
jumlatul ismiyat yang bermakna tetap eksis dan kontinyu. Ini mengandung arti
bahwa dalam hal apapun jangan sekali-kali kita mengikuti kiblatnya Ahli Kitab.
Dan ini berlaku untuk selama-lamanya.
Pesan Allah ini pada realitanya belum
kita laksanakan dengan baik. Sistem ekonomi kita meniru mereka, sistem politik
juga meniru mereka dan sistem pendidikan juga demikian. Sisi yang lainnya dalam
hidup kita juga banyak meniru mereka.
Dalam bidang pendidikan misalnya,
sistem pendidikan kita banyak diwarnai dengan ikthilat. Padahal jika kita
bicara tentang sistem pendidikan Islam yang diterapkan dari jaman Rasul sampai
jaman generasi yang menjadikan Islam sebagai petunjuk hidupnya, tidak ada
sekolah yang memperbolehkan ikhtilat, yang mencampurkan antara laki-laki dan
perempuan. Ada yang mengatakan bahwa itu dilakukan dengan alasan darurat.
Mereka berpikiran jika antara laki-laki dan perempuan dipisah, nanti gurunya
banyak, lalu menggajinya dari mana ? Padahal sesuatu yang darurat itu ada
batasnya. Tidak bisa sampai mati masih menggunakan alasan darurat. Dalam aturan
Islam, ketika kita diperbolehkan makan bangkai karena kita lapar, setelah kita
makan dan sudah cukup menghilangkan lapar, kita tidak diperbolehkan meneruskan
makan dengan alasan darurat.
Ummat Islam yang tidak memahami ayat
semacam ini sangat mudah terjebak mengikuti cara hidup Ahli Kitab. Padahal
jelas-jelas Allah mengatakan ( janganlah kalian mengikuti kiblat mereka).
Penegasan Allah ini tidak kebetulan. Bukan berarti kalau suatu saat kita
menganggap bahwa kondisinya lain, kita boleh mengikuti mereka. Tidak ada
begitu.
Sebaliknya Allah mengatakan (sebagian
mereka tidak mau mengikuti sebagian yang lain). Yahudi dan Nasrani pada
dasarnya selalu ribut, hanya kita saja yang tidak mengetahui. Sebenarnya
kepentingan-kepentingan Yahudi dan Nasrani sering bertabrakan. Dalam melakukan
lobi-lobi di Amerika misalnya, mereka selalu "cakar-cakaran".
Demikian pula dalam banyak hal lainnya.Tetapi ketika menghadapi Islam mereka
bersatu.
Selanjutnya Allah mengatakan :
"...Dan sesungguhnya jika kamu
mengikuti keinginan mereka setelah datang ilmu kepadamu yaitu Al-Qur'an,
Al-Islam, sesungguhnya kamu kalau begitu termasuk golongan orang-orang yang
zalim..."
Rasulullah SAW saja kalau mengikuti
selera Ahli Kitab termasuk orang yang dholim, apalagi kita yang tidak ada
hubungan darah dengan Rasulullah SAW. Dalam Islam tidak ada basa-basi. Siapapun
yang menentang ajaran Allah, dia adalah dholim. Ini pernyataan yang tegas dari
Allah yang harus kita taati. Kita jangan suka berstrategi untuk menyiasati
aturan Allah ini. Kita tidak usah takut manusia akan lari jika kita mentaati
aturan Allah ini. Jangan sampai kita mengatakan "Pak, mereka tidak mau
ikut kalau kita begitu....
Pak, kalau kita tidak begini nanti
tidak diterima masyarakat". Dakwah ini harus dilakukan dengan mengikuti
jalan Allah, bukan untuk mengikuti selera masyarakat. Memang boleh kita
mempertimbangkan sesuatu untuk kemashlahatan, sepanjang tidak bertentangan
dengan prinsip-prinsip yang digariskan oleh Allah SWT. Kita sekarang ini terlalu
banyak membuat kebijakan-kebijakan tanpa memperhatikan dasar-dasar 'aqidah yang
digariskan Allah. Mungkin kita khawatir jika selalu berpegang pada prinsip yang
digariskan Allah malah sulit diterima masyarakat. Kekhawatiran ini tidak
berdasar. Rasulullah SAW juga ketika berdakwah, awalnya memang tidak diterima
masyarakat. Tetapi beliau tetap berpegang pada prinsip yang digariskan Allah.
Dan hasil yang dicapai Rasulullah dengan izin Allah sedemikian menakjubkan.
Ini menegaskan agar nilai yang kita
anut harus tetap. Nilai yang kita pegang itu adalah ajaran Allah SWT, bukan
selera masyarakat. Ketika Allah menurunkan jumlatul ismiyat ini tidak
kebetulan, tetapi Allah memilih dengan hikmah, supaya ummat Islam jangan
sedikitpun mengikuti jalan yang dibentangkan oleh Yahudi dan Nasrani. Ketika
Umar bin Khothob r.a menjadi kholifah, beliau berusaha merapikan masalah
ketatanegaraan (bukan berarti sebelumnya tidak rapi, tetapi sebelumnya belum
sempurna sehingga perlu disempurnakan). Untuk itu beliau membutuhkan orang-orang
yang ahli dalam tata negara. Ketika itu Gubernurnya menawarkan seorang kristen
yang ahli tata negara untuk bekerja di iddaroh (di kantor kenegaraan). Apa kata
Umar bin Khothob ? Apa beliau mengatakan "Wah Anda baik, Anda betul-betul
bisa mencari orang yang kita butuhkan, karena pada tahun-tahun ini kita butuh
ahli semacam ini". Ternyata Umar tidak mengatakan demikian tetapi beliau
malah berkata: "Untuk apa kita menerima orang Kristen, apakah kalau orang
kristen itu mati, kita tidak lagi bekerja ? Saya tidak mau menerima semua
ini". Begitu kata Umar. Padahal orang kristen itu benar-benar ahli dalam
bidang yang sedang dibutuhkan negara. Itupun Umar bin Khothob menolaknya.
Betapa Umar betul-betul memahami dan mengamalkan isi ayat ini. Tidak mungkin orang-orang
kafir itu bekerja tanpa pamrih. Pasti dia mempunyai tujuan-tujuan tertentu.
Mana ada orang kafir yang ketika bekerja dia tidak mencari posisi untuk
mendakwahkan agamanya ?
Thobi'atul ma'rokat (karakter
peperangan) antara haq dan bathil itu tidak pernah selesai. Ketika al-haq
eksis, al-bathil tidak akan merasa aman, merasa terganggu. Mereka pasti
bergerak.
Jika ada orang beriman yang tidak
berda'wah, berarti dia tidak mengetahui thobi'atul haq (hakekat kebenaran).
Cacing yang hidup di tempat kotor, jika kita pegang untuk kita pindah pada air
yang bersih, dia menolak. Ketika kita masukkan cacing tersebut ke dalam air
kolam yang bersih dia tidak betah, karena sudah biasa di tempat yang kotor.
Kehidupan cacing ini contoh bagi kita. Kita mengajak mereka (orang-orang yang
kotor itu) supaya dia bersih dari dosa, supaya dia baik. Tetapi ketika kita
tarik kepada sesuatu yang bersih, dia bergerak, dia menggeliat dan melawan. Dia
lebih suka tetap mempertahankan eksistensi kebathilannya. Inilah pelajaran berharga
dari Allah yang harus kita perhatikan.
Tue Aug 01, 2023 9:56 pm by wisatasemarang
» Portable STATA 18 Crack Full Version
Thu May 11, 2023 5:24 pm by wisatasemarang
» NVivo 12 Crack Full version
Mon Jan 30, 2023 11:16 am by wisatasemarang
» Tutorial Difference In difference (DID (Diff-in-Diff) With Eviews 13
Thu Nov 03, 2022 6:24 am by wisatasemarang
» Online Workshop Smart PLS Minggu, 01 Oktober 2022
Sat Sep 17, 2022 11:35 am by wisatasemarang
» kumpulan ebook tentang robot
Fri Jan 02, 2015 10:04 pm by kyuru
» MANTRA PELET
Wed May 16, 2012 3:31 am by orlandojack
» book love of spell
Sat Mar 24, 2012 8:08 pm by rifqi as
» attraction Formula
Sat Mar 24, 2012 7:09 pm by rifqi as