Kesadaran Jender di Kalangan Umat Islam
Oleh: Dzuriyatun Toyibah
BAGI umat Islam, Nabi Muhammad merupakan pionir dalam
pembebasan ketertindasan perempuan yang terjadi di Arab pada zaman jahiliyah.
Akan tetapi, mengapa perempuan Muslim lebih banyak yang termarjinalisasi dalam
bidang ekonomi, tersubordinasi dan dianggap tidak penting dalam kehidupan
politik, rawan sebagai obyek kekerasan, beban kerja lebih besar, dan pelabelan
negatif?
Kondisi ini biasanya dianggap sudah adil karena
penghormatan kepada perempuan yang menempatkan perempuan pada posisi sebagai
ibu manusia yang mendapatkan perlindungan laki-laki, yang seluruh kebutuhannya
dicukupi laki-laki. Perempuan adalah ratu, yang dihormati umat manusia karena
perempuan adalah tiang negara, dan banyak jargon lainnya yang begitu manis dan
menghegemoni perempuan sehingga perempuan larut dalam dunia impian itu.
Pada akhirnya, ketika kenyataan yang harus dihadapi
perempuan adalah kesulitan ekonomi, kebrutalan laki-laki, maka perempuan tidak
siap. Di sana-sini TKW menjamur, buruh perempuan dianggap sebagai pencari
nafkah tambahan, padahal dia bekerja karena bapaknya sakit atau dia adalah
janda yang ditinggal suami dengan anak-anak yang masih kecil, dan lain-lainnya.
Kesetaraan jender, sebagaimana dibahas dalam disertasi
Nazaruddin Umar dan Zaitunah Anwar (1998), memberikan dasar teologi yang
membebaskan mendasarkan argumentasinya pada munculnya tafsir yang bias jender
karena faktor budaya patriarki, sehingga memunculkan teologi perspektif Islam
yang cenderung melihat perempuan sebagai makhluk yang harus dibedakan dari
laki-laki. Teologi semacam ini juga digagas dalam perspektif yang dikemukakan
Riffat Hassan, Fatimah Mernissi, dan lain-lain. ***
MUNCULNYA dua jenis kelamin pada manusia telah
mengakibatkan konstruksi sosial yang melegitimasi pembedaan laki-laki dan
perempuan pada sisi jender yang mengakibatkan pembedaan peran dan fungsi
perempuan dan laki-laki dalam kehidupan masyarakat. Permasalahan perbedaan
fisik perempuan dan laki-laki, yang menyebabkan fungsi reproduksi (hamil,
melahirkan, menyusui) pada perempuan, menciptakan fungsi lainnya bagi
perempuan, seperti fungsi sebagai penanggung jawab pada tugas-tugas domestik
dalam rumah tangga. Muncullah perluasan cakupan kodrat dan fitrah, yang
sebenarnya merupakan hal-hal yang tidak bisa diubah yang semestinya hanya
kondisi fisik semata, meluas sampai pada kondisi yang mestinya dinegosiasikan,
seperti harapan masyarakat akan peran-peran yang dimainkan.
Implikasi selanjutnya membuat perempuan ditempatkan pada
posisi sebagai makhluk nomor dua (secondary creation), yang hanya untuk
melayani kepentingan laki-laki. Dalam hubungan sosial mengakibatkan hubungan
hierarkis dominatif laki-laki dan perempuan, baik dalam kehidupan keluarga
maupun dalam kehidupan kemasyarakatan, seperti dalam bidang ekonomi, politik
sosial, dan budaya.
Dalam masalah ini terjadi sebuah hubungan tautologi,
apakah agama, khususnya Islam, yang memberikan legitimasi terhadap pelanggengan
dominasi patriarki, atau sebaliknya tafsir agama yang dipengaruhi budaya
patriarki sehingga muncul tafsir bias jender hadis misogini, fikih patriarki
yang hasilnya adalah ketimpangan peran perempuan dan laki-laki. Di atas itu
semua ada nilai-nilai keadilan yang juga menjadi bagian dari ajaran agama (Islam).
Kesadaran akan ketidakadilan jender juga menjadi kesadaran di kalangan umat
Islam. Dengan berlandaskan pada ajaran yang bersifat universal, maka di dunia
Islam muncul tafsir alternatif dan tandingan terhadap ketidakadilan jender yang
menjadi dogma pada mayoritas umat Islam.
Transformasi sosial melalui gerakan jender di Indonesia
sering kali dicitrakan sebagai milik kalangan feminis yang bergerak melalui
LSM. Padahal, berapa banyak organ gerakan perempuan yang berbasiskan agama
(Islam) telah muncul sejak masa lalu, seperti, Muslimat, Fatayat, Aisyiah, dan
lain-lain. Hal ini bila mengacu pada definisi feminisme secara substansial
sebagai kesadaran adanya ketidakadilan yang dialami perempuan di rumah tangga,
tempat kerja, ataupun di tengah masyarakat sehingga muncul upaya mengatasi
ketertindasan itu meskipun dalam pola sebagaimana semangat zaman waktu itu. ***
PERMASALAHAN inti dalam gerakan feminisme adalah
konstruksi sosial yang tidak adil. Ketidakadilan adalah kata kunci yang menjadi
visi gerakan feminisme, sehingga visi gerakan feminis adalah gerakan untuk
mengembalikan perempuan pada tempatnya sebagai manusia yang tidak
dibeda-bedakan atas laki-laki. Pengertian keadilan ini akan berbeda dengan
keadilan menempatkan perempuan pada tempatnya sebagai perempuan yang berbeda
dengan laki-laki, sehingga melahirkan konsep membiarkan berbeda sebagaimana
yang digagas Ratna Megawangi (1999) yang cenderung mempertahankan status quo.
Dengan mengacu kepada Islam sebagai agama rahmatan lil
'alamin, maka selayaknya gerakan jender yang berperspektif perlawanan
ketidakadilan juga menjadi salah satu dari perhatian gerakan Islam. Bukankah
mengonstruksi peran sosial laki-laki dan perempuan (jender) adalah bagian dari
urusan dunia yang sebagaimana Nabi katakan dengan antum a'lamuri biumuri
dunyakum? Maka manusia yang hidup pada kurun waktu dan tempat tertentu itulah
yang lebih memahami masalahnya, bukan sebaliknya mencari jejak penyelesaian
dengan kembali ke budaya masa lalu.
Di sisi lain, perempuan juga sangat rawan untuk
dipolitisasi. Fakta membuktikan bahwa sebagai manusia perempuan butuh untuk
mengaktualisasikan diri dan bisa membuat sebuah keputusan. Kondisi ini
menghasilkan sebuah tesis bahwa perempuan harus dilibatkan dalam proses-proses
pembuatan keputusan agar perempuan tidak selalu hanya menjadi korban.
Representasi politik perempuan dianggap akan memberi kontribusi positif bagi
macetnya komunikasi politik yang terjadi selama ini, karena diharapkan sifat
politik yang sangat maskulin akan bisa ditembus sifat-sifat feminin yang
biasanya dilekatkan pada perempuan.
Pada saat pembicaraan tentang politik perempuan menjadi
marak, seiring dengan munculnya Megawati Soekarnoputri sebagai perempuan
presiden di Indonesia, pembicaraan tentang legitimasi agama (baca: Islam) terhadap
perempuan kembali muncul. Yang harus diperhatikan adalah benarkah isu
legitimasi perempuan menjadi pemimpin adalah murni pemikiran yang muncul untuk
keadilan sebagai visi gerakan perempuan, atau hanya sekadar jebakan politik.
Sayangnya, kesadaran akan hak-hak perempuan di kalangan umat Islam biasanya
bukan pada kesadaran murni, melainkan gerakan yang bersifat basa-basi untuk
mendukung kepentingan politik sesaat. Kepentingan perempuan adalah menciptakan
konstruksi sosial dan relasi sosial yang adil, bukan sekadar simbolisasi
politik.
Dzuriyatun Toyibah, Ketua PB Pergerakan Mahasiswa Islam
Indonesia, pengurus Yayasan Masyarakat Ahimsa, mahasiswa Program Pascasarjana
Manajemen Pembangunan Sosial Universitas Indonesia.
back
Oleh: Dzuriyatun Toyibah
BAGI umat Islam, Nabi Muhammad merupakan pionir dalam
pembebasan ketertindasan perempuan yang terjadi di Arab pada zaman jahiliyah.
Akan tetapi, mengapa perempuan Muslim lebih banyak yang termarjinalisasi dalam
bidang ekonomi, tersubordinasi dan dianggap tidak penting dalam kehidupan
politik, rawan sebagai obyek kekerasan, beban kerja lebih besar, dan pelabelan
negatif?
Kondisi ini biasanya dianggap sudah adil karena
penghormatan kepada perempuan yang menempatkan perempuan pada posisi sebagai
ibu manusia yang mendapatkan perlindungan laki-laki, yang seluruh kebutuhannya
dicukupi laki-laki. Perempuan adalah ratu, yang dihormati umat manusia karena
perempuan adalah tiang negara, dan banyak jargon lainnya yang begitu manis dan
menghegemoni perempuan sehingga perempuan larut dalam dunia impian itu.
Pada akhirnya, ketika kenyataan yang harus dihadapi
perempuan adalah kesulitan ekonomi, kebrutalan laki-laki, maka perempuan tidak
siap. Di sana-sini TKW menjamur, buruh perempuan dianggap sebagai pencari
nafkah tambahan, padahal dia bekerja karena bapaknya sakit atau dia adalah
janda yang ditinggal suami dengan anak-anak yang masih kecil, dan lain-lainnya.
Kesetaraan jender, sebagaimana dibahas dalam disertasi
Nazaruddin Umar dan Zaitunah Anwar (1998), memberikan dasar teologi yang
membebaskan mendasarkan argumentasinya pada munculnya tafsir yang bias jender
karena faktor budaya patriarki, sehingga memunculkan teologi perspektif Islam
yang cenderung melihat perempuan sebagai makhluk yang harus dibedakan dari
laki-laki. Teologi semacam ini juga digagas dalam perspektif yang dikemukakan
Riffat Hassan, Fatimah Mernissi, dan lain-lain. ***
MUNCULNYA dua jenis kelamin pada manusia telah
mengakibatkan konstruksi sosial yang melegitimasi pembedaan laki-laki dan
perempuan pada sisi jender yang mengakibatkan pembedaan peran dan fungsi
perempuan dan laki-laki dalam kehidupan masyarakat. Permasalahan perbedaan
fisik perempuan dan laki-laki, yang menyebabkan fungsi reproduksi (hamil,
melahirkan, menyusui) pada perempuan, menciptakan fungsi lainnya bagi
perempuan, seperti fungsi sebagai penanggung jawab pada tugas-tugas domestik
dalam rumah tangga. Muncullah perluasan cakupan kodrat dan fitrah, yang
sebenarnya merupakan hal-hal yang tidak bisa diubah yang semestinya hanya
kondisi fisik semata, meluas sampai pada kondisi yang mestinya dinegosiasikan,
seperti harapan masyarakat akan peran-peran yang dimainkan.
Implikasi selanjutnya membuat perempuan ditempatkan pada
posisi sebagai makhluk nomor dua (secondary creation), yang hanya untuk
melayani kepentingan laki-laki. Dalam hubungan sosial mengakibatkan hubungan
hierarkis dominatif laki-laki dan perempuan, baik dalam kehidupan keluarga
maupun dalam kehidupan kemasyarakatan, seperti dalam bidang ekonomi, politik
sosial, dan budaya.
Dalam masalah ini terjadi sebuah hubungan tautologi,
apakah agama, khususnya Islam, yang memberikan legitimasi terhadap pelanggengan
dominasi patriarki, atau sebaliknya tafsir agama yang dipengaruhi budaya
patriarki sehingga muncul tafsir bias jender hadis misogini, fikih patriarki
yang hasilnya adalah ketimpangan peran perempuan dan laki-laki. Di atas itu
semua ada nilai-nilai keadilan yang juga menjadi bagian dari ajaran agama (Islam).
Kesadaran akan ketidakadilan jender juga menjadi kesadaran di kalangan umat
Islam. Dengan berlandaskan pada ajaran yang bersifat universal, maka di dunia
Islam muncul tafsir alternatif dan tandingan terhadap ketidakadilan jender yang
menjadi dogma pada mayoritas umat Islam.
Transformasi sosial melalui gerakan jender di Indonesia
sering kali dicitrakan sebagai milik kalangan feminis yang bergerak melalui
LSM. Padahal, berapa banyak organ gerakan perempuan yang berbasiskan agama
(Islam) telah muncul sejak masa lalu, seperti, Muslimat, Fatayat, Aisyiah, dan
lain-lain. Hal ini bila mengacu pada definisi feminisme secara substansial
sebagai kesadaran adanya ketidakadilan yang dialami perempuan di rumah tangga,
tempat kerja, ataupun di tengah masyarakat sehingga muncul upaya mengatasi
ketertindasan itu meskipun dalam pola sebagaimana semangat zaman waktu itu. ***
PERMASALAHAN inti dalam gerakan feminisme adalah
konstruksi sosial yang tidak adil. Ketidakadilan adalah kata kunci yang menjadi
visi gerakan feminisme, sehingga visi gerakan feminis adalah gerakan untuk
mengembalikan perempuan pada tempatnya sebagai manusia yang tidak
dibeda-bedakan atas laki-laki. Pengertian keadilan ini akan berbeda dengan
keadilan menempatkan perempuan pada tempatnya sebagai perempuan yang berbeda
dengan laki-laki, sehingga melahirkan konsep membiarkan berbeda sebagaimana
yang digagas Ratna Megawangi (1999) yang cenderung mempertahankan status quo.
Dengan mengacu kepada Islam sebagai agama rahmatan lil
'alamin, maka selayaknya gerakan jender yang berperspektif perlawanan
ketidakadilan juga menjadi salah satu dari perhatian gerakan Islam. Bukankah
mengonstruksi peran sosial laki-laki dan perempuan (jender) adalah bagian dari
urusan dunia yang sebagaimana Nabi katakan dengan antum a'lamuri biumuri
dunyakum? Maka manusia yang hidup pada kurun waktu dan tempat tertentu itulah
yang lebih memahami masalahnya, bukan sebaliknya mencari jejak penyelesaian
dengan kembali ke budaya masa lalu.
Di sisi lain, perempuan juga sangat rawan untuk
dipolitisasi. Fakta membuktikan bahwa sebagai manusia perempuan butuh untuk
mengaktualisasikan diri dan bisa membuat sebuah keputusan. Kondisi ini
menghasilkan sebuah tesis bahwa perempuan harus dilibatkan dalam proses-proses
pembuatan keputusan agar perempuan tidak selalu hanya menjadi korban.
Representasi politik perempuan dianggap akan memberi kontribusi positif bagi
macetnya komunikasi politik yang terjadi selama ini, karena diharapkan sifat
politik yang sangat maskulin akan bisa ditembus sifat-sifat feminin yang
biasanya dilekatkan pada perempuan.
Pada saat pembicaraan tentang politik perempuan menjadi
marak, seiring dengan munculnya Megawati Soekarnoputri sebagai perempuan
presiden di Indonesia, pembicaraan tentang legitimasi agama (baca: Islam) terhadap
perempuan kembali muncul. Yang harus diperhatikan adalah benarkah isu
legitimasi perempuan menjadi pemimpin adalah murni pemikiran yang muncul untuk
keadilan sebagai visi gerakan perempuan, atau hanya sekadar jebakan politik.
Sayangnya, kesadaran akan hak-hak perempuan di kalangan umat Islam biasanya
bukan pada kesadaran murni, melainkan gerakan yang bersifat basa-basi untuk
mendukung kepentingan politik sesaat. Kepentingan perempuan adalah menciptakan
konstruksi sosial dan relasi sosial yang adil, bukan sekadar simbolisasi
politik.
Dzuriyatun Toyibah, Ketua PB Pergerakan Mahasiswa Islam
Indonesia, pengurus Yayasan Masyarakat Ahimsa, mahasiswa Program Pascasarjana
Manajemen Pembangunan Sosial Universitas Indonesia.
back
Tue Aug 01, 2023 9:56 pm by wisatasemarang
» Portable STATA 18 Crack Full Version
Thu May 11, 2023 5:24 pm by wisatasemarang
» NVivo 12 Crack Full version
Mon Jan 30, 2023 11:16 am by wisatasemarang
» Tutorial Difference In difference (DID (Diff-in-Diff) With Eviews 13
Thu Nov 03, 2022 6:24 am by wisatasemarang
» Online Workshop Smart PLS Minggu, 01 Oktober 2022
Sat Sep 17, 2022 11:35 am by wisatasemarang
» kumpulan ebook tentang robot
Fri Jan 02, 2015 10:04 pm by kyuru
» MANTRA PELET
Wed May 16, 2012 3:31 am by orlandojack
» book love of spell
Sat Mar 24, 2012 8:08 pm by rifqi as
» attraction Formula
Sat Mar 24, 2012 7:09 pm by rifqi as