Pengalaman Mistik
Kaum Sufi
Nurcholish
Madjid
Minggu
lalu, Prof Annemarie Schimmel --seorang tokoh kaliber dunia, ahli Islam dari
Jerman-- menyampaikan tiga orasi ilmiah mengenai Tasawuf (Sufisme) di Jakarta.
Kunjungannya disambut dengan penuh minat oleh para pecinta Tasawuf. Oleh karena
itu, ada baiknya jika kita sedikit merefleksikan arti tasawuf dan kehidupan
kaum Sufinya dalam orientasi keagamaan kita.
Nabi
Muhammad s.a.w. sering disebut sebagai seorang Rasul yang paling berhasil dalam
mewujudkan misi sucinya. Bukti yang biasa dipakai untuk mendukung penilaian itu
ialah hal-hal yang bersifat sosial-politik, khususnya dalam bentuk keberhasilan
ekspansi-ekspansi militer. Dan Nabi Muhammad s.a.w., sama halnya dengan
beberapa Nabi yang lain seperti Musa dan Dawud a.s., adalah seorang ''Nabi
Bersenjata'' (Armed Prophet),
sebagaimana dikatakan oleh sosiolog terkenal, Max Weber.
Oleh
karena kenyataan itu, ada sementara ahli yang hendak mereduksi misi Nabi
Muhammad s.a.w. sebagai tidak lebih daripada suatu gerakan reformasi sosial,
dengan program-program seperti pengangkatan martabat kaum lemah (khususnya kaum
perempuan dan budak), penegakan kekuasaan hukum, usaha mewujudkan keadilan
sosial, tekanan kepada persamaan umat manusia (egalitarianisme), dan lain-lain.
Dalam pandangan mereka yang parsial itu, Nabi Muhammad s.a.w. tidak bisa
disamakan dengan Nabi `Isa al-Masih, karena ajaran Nabi Muhammad tidak banyak
mengandung kedalaman keruhanian pribadi. Mereka berpendapat bahwa Nabi Muhammad
s.a.w. lebih mirip dengan Nabi Musa a.s. dan para Rasul dari kalangan anak
turun Nabi Ya`qub (yang bergelar Isra-El), yang mengajarkan tentang betapa
pentingnya berpegang kepada hukum-hukum Taurat (Talmudic Law).
Padahal,
di samping segi sosial-politik itu, Islam --seperti ditunjukkan dalam
Al-Qur'an-- juga banyak menegaskan pentingnya orientasi keruhanian yang
bersifat ke dalam dan mengarah kepada pribadi. Justru sudah menjadi kesadaran
para sarjana Islam sejak dari masa-masa awal bahwa Islam adalah agama
pertengahan (wasath), yakni antara di
satu pihak agama Yahudi yang legalistik dan banyak menekankan orientasi
kemasyarakatan itu dan, di pihak lain, agama Kristen yang spiritualistik dan
sangat memperhatikan kedalaman olah serta pengalaman ruhani serta membuat agama
itu lembut. Seperti dikatakan oleh Ibn Taymiyyah, ''Syari`ah Taurat didominasi
oleh ketegaran, dan Syari`ah Injil didominasi oleh kelembutan; sedangkan
Syari`ah Al-Qur'an menengahi dan meliputi keduanya itu.''
Maka,
sebagai bentuk pertengahan dan sekaligus antara kedua agama pendahulunya itu,
Islam mengandung ajaran-ajaran hukum dengan orientasi kepada masalah-masalah
tingkah laku manusia secara lahiriah seperti pada agama Yahudi, tapi juga
mengandung ajaran-ajaran keruhanian yang mendalam seperti pada agama Kristen. Bahkan
sesungguhnya antara keduanya itu tidak bisa dipisahkan, meskipun bisa
dibedakan. Artinya, ketika seorang Muslim dituntut untuk tunduk kepada suatu
hukum tingkah laku lahiriah, ia diharapkan, malah diharuskan, menerimanya
dengan ketulusan yang terbit dari lubuk hatinya. Ia harus merasakan ketentuan
hukum itu sebagai sesuatu yang berakar dalam komitmen spiritualnya. Kenyataan
ini tecermin dalam susunan kitab-kitab fiqih, yang selalu dimulai dengan bab
pensucian (thaharah) sebagai awal
perjalanan pensucian batin. Walaupun tetap ada kemungkinan orang mengenali mana
yang lebih lahiriah, dan mana pula yang batiniah.
Sebenarnya,
sudah sejak zaman Rasulullah s.a.w. sendiri terdapat kelompok para Sahabat Nabi
yang lebih tertarik kepada hal-hal yang bersifat lebih batiniah itu.
Disebut-sebut, misalnya, kelompok ahl
al-Shuffah, yaitu sejumlah Sahabat yang memilih hidup sebagai faqir dan sangat setia kepada masjid.
Tidak heran bahwa kelompok ini, dalam literatur kesufian, sering diacu sebagai
teladan kehidupan saleh di kalangan para Sahabat.
Al-Qur'an
sendiri juga memuat berbagai firman yang merujuk kepada pengalaman spiritual
Nabi. Misalnya, lukisan tentang dua kali pengalaman Nabi bertemu dan berhadapan
dengan Malaikat Jibril dan Allah. Yang pertama ialah pengalaman beliau ketika
menerima wahyu pertama di gua Hira', di atas Bukit Cahaya (Jabal Nur). Dan yang kedua ialah pengalaman beliau dengan
perjalanan malam (isra') dan naik ke
langit (mi`raj) yang terkenal itu.
Kedua pengalaman Nabi itu dilukiskan dalam Kitab Suci (Q. 53: 1-18) demikian:
Demi bintang ketika sedang tenggelam
Sahabatmu sekalian itu tidaklah sesat atau pun menyimpang
Dan ia tidaklah berucap karena menurutkan keinginan
Itu tidak lain adalah ajaran yang diwahyukan
Diajarkan kepadanya oleh Jibril yang kuat perkasa
Yang bijaksana, dan yang telah menampakkan diri secara sempurna
Yaitu ketika ia berada di puncak cakrawala
Kemudian ia pun mendekat, dan menghampiri
Hingga sejarak kedua ujung busur panah, atau lebih dekat lagi
Lalu Tuhan wahyukan kepada hamba-Nya apa yang diwahyukan-Nya
Tidaklah jiwa (Nabi) mendustakan yang dilihatnya sendiri
Apakah kamu semua akan membantahnya tentang yang ia saksikan?
Padahal sungguh ia telah menyaksikan pada lain kesempatan
Yaitu didekat Pohon Sidrah (Lotus), di alam penghabisan
Di sebelahnya ada Surga tempat kediaman
Ketika Pohon Sidrah itu diliputi cahaya tak terlukiskan
Penglihatan Nabi tidak bergoyah, dan tidak pula salah arah
Sungguh ia telah menyaksikan tanda-tanda Tuhannya yang Agung tak terkira.
Bagi kaum Sufi, pengalaman Nabi dalam Isra-Mi`raj itu adalah sebuah contoh
puncak pengalaman ruhani. Justru ia adalah pengalaman ruhani yang tertinggi,
yang hanya bisa dipunyai oleh seorang Nabi. Namun kaum Sufi berusaha untuk
meniru dan mengulanginya bagi diri mereka sendiri, dalam dimensi, skala, dan
format yang sepadan dengan kemampuan mereka. Hal ini dikarenakan inti
pengalaman itu ialah penghayatan yang pekat akan situasi diri yang sedang
berada di hadapan Tuhan, dan bagaimana ia ''bertemu'' dengan Dzat Yang Maha
Tinggi itu.
''Pertemuan''
dengan Tuhan, dengan sendirinya, juga merupakan puncak kebahagiaan, yang
dilukiskan dalam sebuah hadis sebagai ''sesuatu yang tak pernah terlihat oleh
mata.'' Hal ini karena dalam pertemuan tersebut segala rahasia kebenaran
''tersingkap'' (kasyf) untuk sang
hamba, dan sang hamba pun lebur serta sirna (fana') dalam Kebenaran. Oleh karena itu, Ibn 'Arabi, misalnya,
melukiskan ''metode'' atau thariqah-nya
sebagai perjalanan ke arah penyingkapan Cahaya Ilahi, melalui pengunduran diri
(khalwah) dari kehidupan ramai.
Hidup
dengan ''pengunduran diri'' dan sikap penuh kepasrahan tersebut memang bisa
mengesankan kepasifan dan eskapisme. Akan tetapi, sebagai dorongan hidup
bermoral, pengalaman mistis kaum Sufi sebetulnya merupakan suatu kedahsyatan.
Karena itulah ajaran Tasawuf juga disebut sebagai ajaran akhlak. Dan akhlak
yang hendak mereka wujudkan ialah yang merupakan ''tiruan'' akhlak Tuhan,
sesuai dengan sabda Nabi yang mereka pegang teguh, ''Berakhlaklah kamu semua
dengan akhlak Allah.''
Tulisan ini pernah dimuat di Tabloid
Tekad No.18/II
Kaum Sufi
Nurcholish
Madjid
Minggu
lalu, Prof Annemarie Schimmel --seorang tokoh kaliber dunia, ahli Islam dari
Jerman-- menyampaikan tiga orasi ilmiah mengenai Tasawuf (Sufisme) di Jakarta.
Kunjungannya disambut dengan penuh minat oleh para pecinta Tasawuf. Oleh karena
itu, ada baiknya jika kita sedikit merefleksikan arti tasawuf dan kehidupan
kaum Sufinya dalam orientasi keagamaan kita.
Nabi
Muhammad s.a.w. sering disebut sebagai seorang Rasul yang paling berhasil dalam
mewujudkan misi sucinya. Bukti yang biasa dipakai untuk mendukung penilaian itu
ialah hal-hal yang bersifat sosial-politik, khususnya dalam bentuk keberhasilan
ekspansi-ekspansi militer. Dan Nabi Muhammad s.a.w., sama halnya dengan
beberapa Nabi yang lain seperti Musa dan Dawud a.s., adalah seorang ''Nabi
Bersenjata'' (Armed Prophet),
sebagaimana dikatakan oleh sosiolog terkenal, Max Weber.
Oleh
karena kenyataan itu, ada sementara ahli yang hendak mereduksi misi Nabi
Muhammad s.a.w. sebagai tidak lebih daripada suatu gerakan reformasi sosial,
dengan program-program seperti pengangkatan martabat kaum lemah (khususnya kaum
perempuan dan budak), penegakan kekuasaan hukum, usaha mewujudkan keadilan
sosial, tekanan kepada persamaan umat manusia (egalitarianisme), dan lain-lain.
Dalam pandangan mereka yang parsial itu, Nabi Muhammad s.a.w. tidak bisa
disamakan dengan Nabi `Isa al-Masih, karena ajaran Nabi Muhammad tidak banyak
mengandung kedalaman keruhanian pribadi. Mereka berpendapat bahwa Nabi Muhammad
s.a.w. lebih mirip dengan Nabi Musa a.s. dan para Rasul dari kalangan anak
turun Nabi Ya`qub (yang bergelar Isra-El), yang mengajarkan tentang betapa
pentingnya berpegang kepada hukum-hukum Taurat (Talmudic Law).
Padahal,
di samping segi sosial-politik itu, Islam --seperti ditunjukkan dalam
Al-Qur'an-- juga banyak menegaskan pentingnya orientasi keruhanian yang
bersifat ke dalam dan mengarah kepada pribadi. Justru sudah menjadi kesadaran
para sarjana Islam sejak dari masa-masa awal bahwa Islam adalah agama
pertengahan (wasath), yakni antara di
satu pihak agama Yahudi yang legalistik dan banyak menekankan orientasi
kemasyarakatan itu dan, di pihak lain, agama Kristen yang spiritualistik dan
sangat memperhatikan kedalaman olah serta pengalaman ruhani serta membuat agama
itu lembut. Seperti dikatakan oleh Ibn Taymiyyah, ''Syari`ah Taurat didominasi
oleh ketegaran, dan Syari`ah Injil didominasi oleh kelembutan; sedangkan
Syari`ah Al-Qur'an menengahi dan meliputi keduanya itu.''
Maka,
sebagai bentuk pertengahan dan sekaligus antara kedua agama pendahulunya itu,
Islam mengandung ajaran-ajaran hukum dengan orientasi kepada masalah-masalah
tingkah laku manusia secara lahiriah seperti pada agama Yahudi, tapi juga
mengandung ajaran-ajaran keruhanian yang mendalam seperti pada agama Kristen. Bahkan
sesungguhnya antara keduanya itu tidak bisa dipisahkan, meskipun bisa
dibedakan. Artinya, ketika seorang Muslim dituntut untuk tunduk kepada suatu
hukum tingkah laku lahiriah, ia diharapkan, malah diharuskan, menerimanya
dengan ketulusan yang terbit dari lubuk hatinya. Ia harus merasakan ketentuan
hukum itu sebagai sesuatu yang berakar dalam komitmen spiritualnya. Kenyataan
ini tecermin dalam susunan kitab-kitab fiqih, yang selalu dimulai dengan bab
pensucian (thaharah) sebagai awal
perjalanan pensucian batin. Walaupun tetap ada kemungkinan orang mengenali mana
yang lebih lahiriah, dan mana pula yang batiniah.
Sebenarnya,
sudah sejak zaman Rasulullah s.a.w. sendiri terdapat kelompok para Sahabat Nabi
yang lebih tertarik kepada hal-hal yang bersifat lebih batiniah itu.
Disebut-sebut, misalnya, kelompok ahl
al-Shuffah, yaitu sejumlah Sahabat yang memilih hidup sebagai faqir dan sangat setia kepada masjid.
Tidak heran bahwa kelompok ini, dalam literatur kesufian, sering diacu sebagai
teladan kehidupan saleh di kalangan para Sahabat.
Al-Qur'an
sendiri juga memuat berbagai firman yang merujuk kepada pengalaman spiritual
Nabi. Misalnya, lukisan tentang dua kali pengalaman Nabi bertemu dan berhadapan
dengan Malaikat Jibril dan Allah. Yang pertama ialah pengalaman beliau ketika
menerima wahyu pertama di gua Hira', di atas Bukit Cahaya (Jabal Nur). Dan yang kedua ialah pengalaman beliau dengan
perjalanan malam (isra') dan naik ke
langit (mi`raj) yang terkenal itu.
Kedua pengalaman Nabi itu dilukiskan dalam Kitab Suci (Q. 53: 1-18) demikian:
Demi bintang ketika sedang tenggelam
Sahabatmu sekalian itu tidaklah sesat atau pun menyimpang
Dan ia tidaklah berucap karena menurutkan keinginan
Itu tidak lain adalah ajaran yang diwahyukan
Diajarkan kepadanya oleh Jibril yang kuat perkasa
Yang bijaksana, dan yang telah menampakkan diri secara sempurna
Yaitu ketika ia berada di puncak cakrawala
Kemudian ia pun mendekat, dan menghampiri
Hingga sejarak kedua ujung busur panah, atau lebih dekat lagi
Lalu Tuhan wahyukan kepada hamba-Nya apa yang diwahyukan-Nya
Tidaklah jiwa (Nabi) mendustakan yang dilihatnya sendiri
Apakah kamu semua akan membantahnya tentang yang ia saksikan?
Padahal sungguh ia telah menyaksikan pada lain kesempatan
Yaitu didekat Pohon Sidrah (Lotus), di alam penghabisan
Di sebelahnya ada Surga tempat kediaman
Ketika Pohon Sidrah itu diliputi cahaya tak terlukiskan
Penglihatan Nabi tidak bergoyah, dan tidak pula salah arah
Sungguh ia telah menyaksikan tanda-tanda Tuhannya yang Agung tak terkira.
Bagi kaum Sufi, pengalaman Nabi dalam Isra-Mi`raj itu adalah sebuah contoh
puncak pengalaman ruhani. Justru ia adalah pengalaman ruhani yang tertinggi,
yang hanya bisa dipunyai oleh seorang Nabi. Namun kaum Sufi berusaha untuk
meniru dan mengulanginya bagi diri mereka sendiri, dalam dimensi, skala, dan
format yang sepadan dengan kemampuan mereka. Hal ini dikarenakan inti
pengalaman itu ialah penghayatan yang pekat akan situasi diri yang sedang
berada di hadapan Tuhan, dan bagaimana ia ''bertemu'' dengan Dzat Yang Maha
Tinggi itu.
''Pertemuan''
dengan Tuhan, dengan sendirinya, juga merupakan puncak kebahagiaan, yang
dilukiskan dalam sebuah hadis sebagai ''sesuatu yang tak pernah terlihat oleh
mata.'' Hal ini karena dalam pertemuan tersebut segala rahasia kebenaran
''tersingkap'' (kasyf) untuk sang
hamba, dan sang hamba pun lebur serta sirna (fana') dalam Kebenaran. Oleh karena itu, Ibn 'Arabi, misalnya,
melukiskan ''metode'' atau thariqah-nya
sebagai perjalanan ke arah penyingkapan Cahaya Ilahi, melalui pengunduran diri
(khalwah) dari kehidupan ramai.
Hidup
dengan ''pengunduran diri'' dan sikap penuh kepasrahan tersebut memang bisa
mengesankan kepasifan dan eskapisme. Akan tetapi, sebagai dorongan hidup
bermoral, pengalaman mistis kaum Sufi sebetulnya merupakan suatu kedahsyatan.
Karena itulah ajaran Tasawuf juga disebut sebagai ajaran akhlak. Dan akhlak
yang hendak mereka wujudkan ialah yang merupakan ''tiruan'' akhlak Tuhan,
sesuai dengan sabda Nabi yang mereka pegang teguh, ''Berakhlaklah kamu semua
dengan akhlak Allah.''
Tulisan ini pernah dimuat di Tabloid
Tekad No.18/II
Tue Aug 01, 2023 9:56 pm by wisatasemarang
» Portable STATA 18 Crack Full Version
Thu May 11, 2023 5:24 pm by wisatasemarang
» NVivo 12 Crack Full version
Mon Jan 30, 2023 11:16 am by wisatasemarang
» Tutorial Difference In difference (DID (Diff-in-Diff) With Eviews 13
Thu Nov 03, 2022 6:24 am by wisatasemarang
» Online Workshop Smart PLS Minggu, 01 Oktober 2022
Sat Sep 17, 2022 11:35 am by wisatasemarang
» kumpulan ebook tentang robot
Fri Jan 02, 2015 10:04 pm by kyuru
» MANTRA PELET
Wed May 16, 2012 3:31 am by orlandojack
» book love of spell
Sat Mar 24, 2012 8:08 pm by rifqi as
» attraction Formula
Sat Mar 24, 2012 7:09 pm by rifqi as