Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

ingin bergabung dengan elrakyat.tk klik pendaftaran. jika anda sudah pernah mendaftar silakan login. jangan lupa ajak kawan-kawanmu ke mari , dan jadilah top poster di forum kita

Join the forum, it's quick and easy

Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

ingin bergabung dengan elrakyat.tk klik pendaftaran. jika anda sudah pernah mendaftar silakan login. jangan lupa ajak kawan-kawanmu ke mari , dan jadilah top poster di forum kita

Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

Would you like to react to this message? Create an account in a few clicks or log in to continue.
Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

salah satu forum terbesar tempat kita bernostalgia

Login

Lupa password?

Our traffic

info rakyat

Sun Oct 31, 2010 9:05 pm by admin

---------------
PEMBERITAHUAN....

SF ZONA RELIGI SEKARANG KAMI PINDAH KE [You must be registered and logged in to see this link.] ANDA BISA BERPARTISIPASI DAN MENJADI MODERATOR SESUAI PERMINTAAN ANDA DENGAN REQUEST VIA SMS NO ADMIN 081945520865


Sekilas Info

Sun Jun 27, 2010 2:44 pm by admin

kabar gembira, forum lentera-rakyat mulai hari ini juga bisa diakses melalui [You must be registered and logged in to see this link.]


    globalisme baru

    kutubuku
    kutubuku
    Mega Ultimate Member


    Zodiac : Virgo Jumlah posting : 297
    Join date : 18.06.10
    Age : 36
    Lokasi : rahasia

    globalisme baru Empty globalisme baru

    Post by kutubuku Thu Jun 24, 2010 5:30 pm

    Globalisme Baru,
    Rekonstruksi, dan Dekonstruksi



    REALITAS
    Indonesia hari ini adalah sebuah peta yang selama bertahun-tahun masyarakat tak
    pernah diajak membukanya. Ketika peta itu dipahami sebagai peta dari suatu
    kebudayaan, dengan seluruh fenomenanya yang mencemaskan hingga hari ini, maka
    pembacaan terhadapnya sungguh tidak akan begitu saja sanggup menjawab berbagai
    permasalahan. Di tengah itu semua, realitas Indonesia pun tak bisa disendirikan
    dari realitas yang lain yang akhirnya membuat semacam tumpukkan kebingungan
    dalam melakukan pembacaan terhadap diri sendiri. Peta itu adalah globalisme
    baru yang telah mengubah struktur lokal-nasional-global
    menjadi lokal-global. Di tengah
    tarik-menarik lokal-global serupa inilah, globalisme baru itu bisa dikatakan abortif
    ditating menjadi suatu ruang dialektika dalam membaca dan menanggapi berbagai
    realitas permasalahan yang muncul. Yang kemudian hadir, misalnya, justru adalah
    permasalahan berikutnya yang mengaburkan ruang pembacaan itu sendiri, yakni
    bahasa---kata dan istilah-istilah--- yang merepresentasikan kebingungan dalam
    memahami realitas yang terjadi. Seluruh peristilahan yang muncul akhirnya bisa
    diidentifikasi sebagai suatu fakta dari bagaimana masyarakat mengalami
    kebingungan dalam membaca peta permasalahan dan kebudayaan yang berlangsung di
    sekelilingnya. Di lain sisi, tarikkan dari seluruh kenyataan ini mengembang
    pada bagaimana budaya politik itu, dengan idealisasinya pada proses
    demokratisasi, memaktubkan realitas yang sesungguhnya tak lebih dari sekadar sebuah
    manipulasi. Oleh karena itu, soalnya kini, dalam kehendak melakukan kritik
    budaya terhadap sebuah realitas Indonesia
    adalah melakukan rekon­struksi di tengah dekonstruksi yang tak selesai. Salah
    satu rekonstruksi itu menyaran pada bagaimana nasionalisme itu dilepaskan dari
    citraan yang selama ini telah didekonstruksi oleh mili­ter. Nasionalisme itu
    harus dikembalikan pada kesadaran tentang gagasan dan kesadaran demokrasi.
    Nasionalisme, ringkasnya, harus dilepaskan dari dekonstruksi militerisme. Karena
    itulah dalam konteks kritik budaya hari ini, sesungguhnya terdapat tugas berat
    antara merekonstruksi dan dekonstruksi dari berbagai permasalahan dan kenyataan
    yang tak selesai.



    Sementara
    itu, budaya politik yang semata-mata melakukan pemujaan terhadap kekuasaan,
    seperti yang terus terjadi secara telanjang dalam budaya politik Indonesia telah
    menciptakan partai-partai politik manipulatif yang semata-mata mendudukkan
    masyarakat sebagai objek, bisa disebut sebagai suatu fakta dari wajah lain
    bagaimana dekonstruksi itu terjadi. Pendekatan parpol yang serba abstrak
    terhadap masyarakat telah menjadi sejumlah penjelasan bagaimana terdapat jurang
    yang besar antara kepentingan parpol dan persoalan-persoalan nyata masyarakat
    itu sendiri. Keadaan ini sekaligus menerangkan bagaimana masyarakat, sekali
    lagi, tak pernah diajak masuk ke wilayah pembacaan peta permasalahan dalam
    konstruksi dan konfigurasi kebudayaan. Parpol akhirnya bisa disebut hanya hidup
    dengan sejenis kecerdasan di bawah kecerdasan para perancang pop culture seperti McDonald, di mana
    masyarakat dihampiri lewat citraan-citraan yang konkret yang langsung
    mempengaruhi pemahamannya tentang ruang-ruang realitas.



    Kritik
    kebudayaan semacam ini, ketika peta-peta kenyataan lebih didominasi oleh
    pola-pola kuasa, juga mengemuka dari budaya pembangunan yang terjadi. Budaya
    pembangunan semacam ini seakan-akan adalah represenstasi dari kekuasaan yang
    menegasikan proses perenungan dan pertumbuhan yang diajarkan oleh pepohonan.
    Pembangunan, sebagai personifikasi dari sosok kekuasaan, telah membuat seluruh
    kenyataan berlangsung seolah-olah dalam situasi yang serba darurat. Akhirnya,
    budaya pembangunan semacam ini juga tengah menjelaskan di mana sesungguhnya
    kemanusiaan itu diletakkan, ketika kekuasaan dan kekerasan hadir serta
    dirayakan sebagai sebuah institusi.



    Demikian
    seluruhnya itu dikemukaan oleh Garin Nugroho, Harry Roesli, dan Tisna Sanjaya
    ketika ketiganya tampil sebagai panelis dalam diskusi Pekan Budaya Rumah Nusantara, (14/10) yang baru lalu di Rumah
    Nusantara Bandung. Ketiganya tampil lebih dulu seraya menunggu kedatangan
    budayawan dan Mantan Presiden RI Abdurrahman Wahid yang juga hari itu hadir
    sebagai panelis. Diskusi yang dipandu oleh Aat Suratin yang berangkat dengan
    tema



    Kritik Budaya di Masa Krisis ini. Di hadapan peserta
    diskusi yang memenuhi selasar Rumah Nusantara yang datang dari berbagai
    kalangan, diskusi ini hendak menawarkan suatu perbincangan kritis tentang
    pembacaan atas realitas Indonesia hari ini, dengan berkonsentrasi pada
    bagaimana sesungguhnya fenomena kebudayaan itu hendaknya ditafsirkan dengan
    kritis. Dari yang mulai menghampirinya dari wacana globalisme baru, seperti
    ditating oleh Garin Nugroho---yang lalu diperlebarnya hingga ke persoalan
    lokal-global dan keniscayaan melakukan rekonstruksi di tengah dekonstruksi yang
    tengah berlangsung---atau Harry Roesly yang memfokuskan amatan kritisnya pada
    relasi antara budaya politik parpol dan masyarakat dengan meminjam perbandingan
    sinismenya pada strategi kebudayaan McDonald; hingga Tisna Sanjaya yang
    "berorasi" membacakan makalahnya perihal politik pembangunan yang
    semata-mata hidup dengan identifikasi budaya kekuasaan dan kekerasan. Diskusi
    yang berlangsung beberapa hari setelah ledakkan bom di Bali
    itu, mau tak mau menggiring perbincangan ke arah persoalan-persoalan budaya
    kekerasan, dan bagaimana membaca keseluruhannya itu.



    **


    INDONESIA di tengah realitas yang
    transisional seperti sekarang, haruslah dilainkan dari apa yang selalu
    dinyatakan oleh sejarah ketika sebuah negara mengalaminya, baik yang bernama
    reformasi atau revolusi. Pelainan ini mendasar pada kenyataan bahwa pada
    tabiatnya, setelah mengalami reformasi atau revolusi, dalam lima tahun suatu negara telah memiliki tanda
    atau gejala-gejala ke arah kebangkitan. Untuk itulah, misalnya, Garin Nugroho
    menyebut bagaimana Revolusi Prancis dalam lima
    tahun te­lah menunjukkan gejala ke arah perubahan yang lebih baik. Baik
    perubahan yang teridentifikasi dari sistem ilmu pengetahuan, dengan munculnya
    teori Malthus. Demikian pula dalam perkembangan keseniannya. Revolusi yang
    menjatuhkan sistem monarkhi di Prancis, memang telah menjadi penanda sejarah
    penting bagi kebangkitan kesadaran kebudayaan negara itu.



    "Sekarang
    mari berkaca pada Indonesia
    pasca Mei 1998, apakah ada tanda-tanda untuk kita menjawab permasalahan kita
    dalam bidang perburuhan, kepemimpinan, dan permasalahan lainnya?" katanya.
    Ia lalu menenggarai betapa persoalan besar yang tengah dihadapi bangsa ini
    sekarang adalah ketidakmampuan membaca globalisme baru yang tengah terjadi.
    Globalisme ini dalam batasan tertentu tidak lagi mempersoalkan nasional-global,
    namun menghadapkan dialektika antara kesadaran lokal dan global. Ketidakmampuan
    membaca tarik-menarik ini menyebabkan apa yang global memasuki wilayah lokal
    dan melahirkan kebingungan-kebingungan. Termasuk kebingungan dalam menggagas
    tafsir terhadap komunikasi, bahasa dan istilah-istilah. Dalam masa yang serba
    transisi kebingungan itu bisa disebut kian menjadi-jadi. "Istilah atau
    kata adalah perbuatan yang mengambil gerak badan dan mengandung senjata. Ia
    selalu membawa pada organisasi, cara berpikir dan cara menanggapinya. Ia
    membawa kita pada sejenis kebudayaan. Seluruh istilah pasca Mei 1998 adalah
    istilah-istilah yang bermasalah untuk dihidupkan di masyarakat," tuturnya,
    seraya mengambil contoh fakta pada istilah "Islam Liberal" dan
    "Islam Radikal". Kedua istilah ini, kata dia, sesungguhnya tak pernah
    dikenal, yang sekaligus juga telah menegasikan pluralitas seperti Muhammadiyah,
    NU atau Persis. Muncul kedua istilah seperti ini berkesan terbaginya bangsa ke
    dalam dikotomi seperti itu.



    Dalam
    pandangannya kemudian ia melihat bahwa persoalan kritik kebudayaan Indonesia hari
    ini adalah bagaimana memahami ruang yang terletak di antara rekonstruksi dan
    dekonstruksi. Dalam konteks nasionalisme, rekonstruksi dimaksud haruslah
    melepaskan pengertian nasionalisme itu dari apa yang telah didekonstruksi oleh
    militerisme, dengan mendudukkannya pada proses demokratisasi.



    Dengan
    sinisme yang berkesan berolok-olok, musikus Harry Roesly berangkat dengan
    tawaran kritik budaya yang melihat perangai dan strategi parpol, dan posisi
    masyarakat di seberangnya. Apabila meminjam pandangan Garin, tentang manipulasi
    demokratisasi sebagai suatu dekonstruksi yang terus berlangsung, sinisme Harry
    Roesly menemukan korelasinya. Demikian pula dengan apa yang dipresentasikan
    oleh Tisna Sanjaya, ketika dekonstruksi itu terjadi lewat strategi budaya
    pembagunan yang serba massif dan hegemonik.



    Apa yang
    dikemukakan oleh ketiga panelis segera mendapat tanggapan dari forum diskusi.
    Di antaranya mencoba dengan kritis mempertanyakan sisi lain dari argumentasi
    yang disampaikan panelis, seperti mengemuka dari Heru Hikayat yang mencoba
    melakukan antitesis terhadap apa yang diuraikan Harry Roesly, atau juga
    provokasi pesimisme Arahmaiani yang menolak pandangan Garin Nugroho tentang
    harapan akan lahirnya budaya kepemimpinan yang baru pada masa datang. Demikian
    pula Khalid yang mencoba menawarkan pemikiran lebih realistis dan holistik
    dalam melihat budaya kekerasan, tanpa terperangkap menjadi romatisme para
    seniman. Meski lalu lintas perbedaan pandangan relatif tidak mengemuka sebagai
    suatu benturan yang ketat, bukan berarti perbincangan tidak menyimpan
    perbedaan-perbedaan yang menarik sebagai sebuah diskusi. Lebih lagi dengan
    beban tema yang penting seperti itu. (Ahda Imran)***

      Waktu sekarang Wed May 08, 2024 8:52 pm