Globalisme Baru,
Rekonstruksi, dan Dekonstruksi
REALITAS
Indonesia hari ini adalah sebuah peta yang selama bertahun-tahun masyarakat tak
pernah diajak membukanya. Ketika peta itu dipahami sebagai peta dari suatu
kebudayaan, dengan seluruh fenomenanya yang mencemaskan hingga hari ini, maka
pembacaan terhadapnya sungguh tidak akan begitu saja sanggup menjawab berbagai
permasalahan. Di tengah itu semua, realitas Indonesia pun tak bisa disendirikan
dari realitas yang lain yang akhirnya membuat semacam tumpukkan kebingungan
dalam melakukan pembacaan terhadap diri sendiri. Peta itu adalah globalisme
baru yang telah mengubah struktur lokal-nasional-global
menjadi lokal-global. Di tengah
tarik-menarik lokal-global serupa inilah, globalisme baru itu bisa dikatakan abortif
ditating menjadi suatu ruang dialektika dalam membaca dan menanggapi berbagai
realitas permasalahan yang muncul. Yang kemudian hadir, misalnya, justru adalah
permasalahan berikutnya yang mengaburkan ruang pembacaan itu sendiri, yakni
bahasa---kata dan istilah-istilah--- yang merepresentasikan kebingungan dalam
memahami realitas yang terjadi. Seluruh peristilahan yang muncul akhirnya bisa
diidentifikasi sebagai suatu fakta dari bagaimana masyarakat mengalami
kebingungan dalam membaca peta permasalahan dan kebudayaan yang berlangsung di
sekelilingnya. Di lain sisi, tarikkan dari seluruh kenyataan ini mengembang
pada bagaimana budaya politik itu, dengan idealisasinya pada proses
demokratisasi, memaktubkan realitas yang sesungguhnya tak lebih dari sekadar sebuah
manipulasi. Oleh karena itu, soalnya kini, dalam kehendak melakukan kritik
budaya terhadap sebuah realitas Indonesia
adalah melakukan rekonstruksi di tengah dekonstruksi yang tak selesai. Salah
satu rekonstruksi itu menyaran pada bagaimana nasionalisme itu dilepaskan dari
citraan yang selama ini telah didekonstruksi oleh militer. Nasionalisme itu
harus dikembalikan pada kesadaran tentang gagasan dan kesadaran demokrasi.
Nasionalisme, ringkasnya, harus dilepaskan dari dekonstruksi militerisme. Karena
itulah dalam konteks kritik budaya hari ini, sesungguhnya terdapat tugas berat
antara merekonstruksi dan dekonstruksi dari berbagai permasalahan dan kenyataan
yang tak selesai.
Sementara
itu, budaya politik yang semata-mata melakukan pemujaan terhadap kekuasaan,
seperti yang terus terjadi secara telanjang dalam budaya politik Indonesia telah
menciptakan partai-partai politik manipulatif yang semata-mata mendudukkan
masyarakat sebagai objek, bisa disebut sebagai suatu fakta dari wajah lain
bagaimana dekonstruksi itu terjadi. Pendekatan parpol yang serba abstrak
terhadap masyarakat telah menjadi sejumlah penjelasan bagaimana terdapat jurang
yang besar antara kepentingan parpol dan persoalan-persoalan nyata masyarakat
itu sendiri. Keadaan ini sekaligus menerangkan bagaimana masyarakat, sekali
lagi, tak pernah diajak masuk ke wilayah pembacaan peta permasalahan dalam
konstruksi dan konfigurasi kebudayaan. Parpol akhirnya bisa disebut hanya hidup
dengan sejenis kecerdasan di bawah kecerdasan para perancang pop culture seperti McDonald, di mana
masyarakat dihampiri lewat citraan-citraan yang konkret yang langsung
mempengaruhi pemahamannya tentang ruang-ruang realitas.
Kritik
kebudayaan semacam ini, ketika peta-peta kenyataan lebih didominasi oleh
pola-pola kuasa, juga mengemuka dari budaya pembangunan yang terjadi. Budaya
pembangunan semacam ini seakan-akan adalah represenstasi dari kekuasaan yang
menegasikan proses perenungan dan pertumbuhan yang diajarkan oleh pepohonan.
Pembangunan, sebagai personifikasi dari sosok kekuasaan, telah membuat seluruh
kenyataan berlangsung seolah-olah dalam situasi yang serba darurat. Akhirnya,
budaya pembangunan semacam ini juga tengah menjelaskan di mana sesungguhnya
kemanusiaan itu diletakkan, ketika kekuasaan dan kekerasan hadir serta
dirayakan sebagai sebuah institusi.
Demikian
seluruhnya itu dikemukaan oleh Garin Nugroho, Harry Roesli, dan Tisna Sanjaya
ketika ketiganya tampil sebagai panelis dalam diskusi Pekan Budaya Rumah Nusantara, (14/10) yang baru lalu di Rumah
Nusantara Bandung. Ketiganya tampil lebih dulu seraya menunggu kedatangan
budayawan dan Mantan Presiden RI Abdurrahman Wahid yang juga hari itu hadir
sebagai panelis. Diskusi yang dipandu oleh Aat Suratin yang berangkat dengan
tema
Kritik Budaya di Masa Krisis ini. Di hadapan peserta
diskusi yang memenuhi selasar Rumah Nusantara yang datang dari berbagai
kalangan, diskusi ini hendak menawarkan suatu perbincangan kritis tentang
pembacaan atas realitas Indonesia hari ini, dengan berkonsentrasi pada
bagaimana sesungguhnya fenomena kebudayaan itu hendaknya ditafsirkan dengan
kritis. Dari yang mulai menghampirinya dari wacana globalisme baru, seperti
ditating oleh Garin Nugroho---yang lalu diperlebarnya hingga ke persoalan
lokal-global dan keniscayaan melakukan rekonstruksi di tengah dekonstruksi yang
tengah berlangsung---atau Harry Roesly yang memfokuskan amatan kritisnya pada
relasi antara budaya politik parpol dan masyarakat dengan meminjam perbandingan
sinismenya pada strategi kebudayaan McDonald; hingga Tisna Sanjaya yang
"berorasi" membacakan makalahnya perihal politik pembangunan yang
semata-mata hidup dengan identifikasi budaya kekuasaan dan kekerasan. Diskusi
yang berlangsung beberapa hari setelah ledakkan bom di Bali
itu, mau tak mau menggiring perbincangan ke arah persoalan-persoalan budaya
kekerasan, dan bagaimana membaca keseluruhannya itu.
**
INDONESIA di tengah realitas yang
transisional seperti sekarang, haruslah dilainkan dari apa yang selalu
dinyatakan oleh sejarah ketika sebuah negara mengalaminya, baik yang bernama
reformasi atau revolusi. Pelainan ini mendasar pada kenyataan bahwa pada
tabiatnya, setelah mengalami reformasi atau revolusi, dalam lima tahun suatu negara telah memiliki tanda
atau gejala-gejala ke arah kebangkitan. Untuk itulah, misalnya, Garin Nugroho
menyebut bagaimana Revolusi Prancis dalam lima
tahun telah menunjukkan gejala ke arah perubahan yang lebih baik. Baik
perubahan yang teridentifikasi dari sistem ilmu pengetahuan, dengan munculnya
teori Malthus. Demikian pula dalam perkembangan keseniannya. Revolusi yang
menjatuhkan sistem monarkhi di Prancis, memang telah menjadi penanda sejarah
penting bagi kebangkitan kesadaran kebudayaan negara itu.
"Sekarang
mari berkaca pada Indonesia
pasca Mei 1998, apakah ada tanda-tanda untuk kita menjawab permasalahan kita
dalam bidang perburuhan, kepemimpinan, dan permasalahan lainnya?" katanya.
Ia lalu menenggarai betapa persoalan besar yang tengah dihadapi bangsa ini
sekarang adalah ketidakmampuan membaca globalisme baru yang tengah terjadi.
Globalisme ini dalam batasan tertentu tidak lagi mempersoalkan nasional-global,
namun menghadapkan dialektika antara kesadaran lokal dan global. Ketidakmampuan
membaca tarik-menarik ini menyebabkan apa yang global memasuki wilayah lokal
dan melahirkan kebingungan-kebingungan. Termasuk kebingungan dalam menggagas
tafsir terhadap komunikasi, bahasa dan istilah-istilah. Dalam masa yang serba
transisi kebingungan itu bisa disebut kian menjadi-jadi. "Istilah atau
kata adalah perbuatan yang mengambil gerak badan dan mengandung senjata. Ia
selalu membawa pada organisasi, cara berpikir dan cara menanggapinya. Ia
membawa kita pada sejenis kebudayaan. Seluruh istilah pasca Mei 1998 adalah
istilah-istilah yang bermasalah untuk dihidupkan di masyarakat," tuturnya,
seraya mengambil contoh fakta pada istilah "Islam Liberal" dan
"Islam Radikal". Kedua istilah ini, kata dia, sesungguhnya tak pernah
dikenal, yang sekaligus juga telah menegasikan pluralitas seperti Muhammadiyah,
NU atau Persis. Muncul kedua istilah seperti ini berkesan terbaginya bangsa ke
dalam dikotomi seperti itu.
Dalam
pandangannya kemudian ia melihat bahwa persoalan kritik kebudayaan Indonesia hari
ini adalah bagaimana memahami ruang yang terletak di antara rekonstruksi dan
dekonstruksi. Dalam konteks nasionalisme, rekonstruksi dimaksud haruslah
melepaskan pengertian nasionalisme itu dari apa yang telah didekonstruksi oleh
militerisme, dengan mendudukkannya pada proses demokratisasi.
Dengan
sinisme yang berkesan berolok-olok, musikus Harry Roesly berangkat dengan
tawaran kritik budaya yang melihat perangai dan strategi parpol, dan posisi
masyarakat di seberangnya. Apabila meminjam pandangan Garin, tentang manipulasi
demokratisasi sebagai suatu dekonstruksi yang terus berlangsung, sinisme Harry
Roesly menemukan korelasinya. Demikian pula dengan apa yang dipresentasikan
oleh Tisna Sanjaya, ketika dekonstruksi itu terjadi lewat strategi budaya
pembagunan yang serba massif dan hegemonik.
Apa yang
dikemukakan oleh ketiga panelis segera mendapat tanggapan dari forum diskusi.
Di antaranya mencoba dengan kritis mempertanyakan sisi lain dari argumentasi
yang disampaikan panelis, seperti mengemuka dari Heru Hikayat yang mencoba
melakukan antitesis terhadap apa yang diuraikan Harry Roesly, atau juga
provokasi pesimisme Arahmaiani yang menolak pandangan Garin Nugroho tentang
harapan akan lahirnya budaya kepemimpinan yang baru pada masa datang. Demikian
pula Khalid yang mencoba menawarkan pemikiran lebih realistis dan holistik
dalam melihat budaya kekerasan, tanpa terperangkap menjadi romatisme para
seniman. Meski lalu lintas perbedaan pandangan relatif tidak mengemuka sebagai
suatu benturan yang ketat, bukan berarti perbincangan tidak menyimpan
perbedaan-perbedaan yang menarik sebagai sebuah diskusi. Lebih lagi dengan
beban tema yang penting seperti itu. (Ahda Imran)***
Rekonstruksi, dan Dekonstruksi
REALITAS
Indonesia hari ini adalah sebuah peta yang selama bertahun-tahun masyarakat tak
pernah diajak membukanya. Ketika peta itu dipahami sebagai peta dari suatu
kebudayaan, dengan seluruh fenomenanya yang mencemaskan hingga hari ini, maka
pembacaan terhadapnya sungguh tidak akan begitu saja sanggup menjawab berbagai
permasalahan. Di tengah itu semua, realitas Indonesia pun tak bisa disendirikan
dari realitas yang lain yang akhirnya membuat semacam tumpukkan kebingungan
dalam melakukan pembacaan terhadap diri sendiri. Peta itu adalah globalisme
baru yang telah mengubah struktur lokal-nasional-global
menjadi lokal-global. Di tengah
tarik-menarik lokal-global serupa inilah, globalisme baru itu bisa dikatakan abortif
ditating menjadi suatu ruang dialektika dalam membaca dan menanggapi berbagai
realitas permasalahan yang muncul. Yang kemudian hadir, misalnya, justru adalah
permasalahan berikutnya yang mengaburkan ruang pembacaan itu sendiri, yakni
bahasa---kata dan istilah-istilah--- yang merepresentasikan kebingungan dalam
memahami realitas yang terjadi. Seluruh peristilahan yang muncul akhirnya bisa
diidentifikasi sebagai suatu fakta dari bagaimana masyarakat mengalami
kebingungan dalam membaca peta permasalahan dan kebudayaan yang berlangsung di
sekelilingnya. Di lain sisi, tarikkan dari seluruh kenyataan ini mengembang
pada bagaimana budaya politik itu, dengan idealisasinya pada proses
demokratisasi, memaktubkan realitas yang sesungguhnya tak lebih dari sekadar sebuah
manipulasi. Oleh karena itu, soalnya kini, dalam kehendak melakukan kritik
budaya terhadap sebuah realitas Indonesia
adalah melakukan rekonstruksi di tengah dekonstruksi yang tak selesai. Salah
satu rekonstruksi itu menyaran pada bagaimana nasionalisme itu dilepaskan dari
citraan yang selama ini telah didekonstruksi oleh militer. Nasionalisme itu
harus dikembalikan pada kesadaran tentang gagasan dan kesadaran demokrasi.
Nasionalisme, ringkasnya, harus dilepaskan dari dekonstruksi militerisme. Karena
itulah dalam konteks kritik budaya hari ini, sesungguhnya terdapat tugas berat
antara merekonstruksi dan dekonstruksi dari berbagai permasalahan dan kenyataan
yang tak selesai.
Sementara
itu, budaya politik yang semata-mata melakukan pemujaan terhadap kekuasaan,
seperti yang terus terjadi secara telanjang dalam budaya politik Indonesia telah
menciptakan partai-partai politik manipulatif yang semata-mata mendudukkan
masyarakat sebagai objek, bisa disebut sebagai suatu fakta dari wajah lain
bagaimana dekonstruksi itu terjadi. Pendekatan parpol yang serba abstrak
terhadap masyarakat telah menjadi sejumlah penjelasan bagaimana terdapat jurang
yang besar antara kepentingan parpol dan persoalan-persoalan nyata masyarakat
itu sendiri. Keadaan ini sekaligus menerangkan bagaimana masyarakat, sekali
lagi, tak pernah diajak masuk ke wilayah pembacaan peta permasalahan dalam
konstruksi dan konfigurasi kebudayaan. Parpol akhirnya bisa disebut hanya hidup
dengan sejenis kecerdasan di bawah kecerdasan para perancang pop culture seperti McDonald, di mana
masyarakat dihampiri lewat citraan-citraan yang konkret yang langsung
mempengaruhi pemahamannya tentang ruang-ruang realitas.
Kritik
kebudayaan semacam ini, ketika peta-peta kenyataan lebih didominasi oleh
pola-pola kuasa, juga mengemuka dari budaya pembangunan yang terjadi. Budaya
pembangunan semacam ini seakan-akan adalah represenstasi dari kekuasaan yang
menegasikan proses perenungan dan pertumbuhan yang diajarkan oleh pepohonan.
Pembangunan, sebagai personifikasi dari sosok kekuasaan, telah membuat seluruh
kenyataan berlangsung seolah-olah dalam situasi yang serba darurat. Akhirnya,
budaya pembangunan semacam ini juga tengah menjelaskan di mana sesungguhnya
kemanusiaan itu diletakkan, ketika kekuasaan dan kekerasan hadir serta
dirayakan sebagai sebuah institusi.
Demikian
seluruhnya itu dikemukaan oleh Garin Nugroho, Harry Roesli, dan Tisna Sanjaya
ketika ketiganya tampil sebagai panelis dalam diskusi Pekan Budaya Rumah Nusantara, (14/10) yang baru lalu di Rumah
Nusantara Bandung. Ketiganya tampil lebih dulu seraya menunggu kedatangan
budayawan dan Mantan Presiden RI Abdurrahman Wahid yang juga hari itu hadir
sebagai panelis. Diskusi yang dipandu oleh Aat Suratin yang berangkat dengan
tema
Kritik Budaya di Masa Krisis ini. Di hadapan peserta
diskusi yang memenuhi selasar Rumah Nusantara yang datang dari berbagai
kalangan, diskusi ini hendak menawarkan suatu perbincangan kritis tentang
pembacaan atas realitas Indonesia hari ini, dengan berkonsentrasi pada
bagaimana sesungguhnya fenomena kebudayaan itu hendaknya ditafsirkan dengan
kritis. Dari yang mulai menghampirinya dari wacana globalisme baru, seperti
ditating oleh Garin Nugroho---yang lalu diperlebarnya hingga ke persoalan
lokal-global dan keniscayaan melakukan rekonstruksi di tengah dekonstruksi yang
tengah berlangsung---atau Harry Roesly yang memfokuskan amatan kritisnya pada
relasi antara budaya politik parpol dan masyarakat dengan meminjam perbandingan
sinismenya pada strategi kebudayaan McDonald; hingga Tisna Sanjaya yang
"berorasi" membacakan makalahnya perihal politik pembangunan yang
semata-mata hidup dengan identifikasi budaya kekuasaan dan kekerasan. Diskusi
yang berlangsung beberapa hari setelah ledakkan bom di Bali
itu, mau tak mau menggiring perbincangan ke arah persoalan-persoalan budaya
kekerasan, dan bagaimana membaca keseluruhannya itu.
**
INDONESIA di tengah realitas yang
transisional seperti sekarang, haruslah dilainkan dari apa yang selalu
dinyatakan oleh sejarah ketika sebuah negara mengalaminya, baik yang bernama
reformasi atau revolusi. Pelainan ini mendasar pada kenyataan bahwa pada
tabiatnya, setelah mengalami reformasi atau revolusi, dalam lima tahun suatu negara telah memiliki tanda
atau gejala-gejala ke arah kebangkitan. Untuk itulah, misalnya, Garin Nugroho
menyebut bagaimana Revolusi Prancis dalam lima
tahun telah menunjukkan gejala ke arah perubahan yang lebih baik. Baik
perubahan yang teridentifikasi dari sistem ilmu pengetahuan, dengan munculnya
teori Malthus. Demikian pula dalam perkembangan keseniannya. Revolusi yang
menjatuhkan sistem monarkhi di Prancis, memang telah menjadi penanda sejarah
penting bagi kebangkitan kesadaran kebudayaan negara itu.
"Sekarang
mari berkaca pada Indonesia
pasca Mei 1998, apakah ada tanda-tanda untuk kita menjawab permasalahan kita
dalam bidang perburuhan, kepemimpinan, dan permasalahan lainnya?" katanya.
Ia lalu menenggarai betapa persoalan besar yang tengah dihadapi bangsa ini
sekarang adalah ketidakmampuan membaca globalisme baru yang tengah terjadi.
Globalisme ini dalam batasan tertentu tidak lagi mempersoalkan nasional-global,
namun menghadapkan dialektika antara kesadaran lokal dan global. Ketidakmampuan
membaca tarik-menarik ini menyebabkan apa yang global memasuki wilayah lokal
dan melahirkan kebingungan-kebingungan. Termasuk kebingungan dalam menggagas
tafsir terhadap komunikasi, bahasa dan istilah-istilah. Dalam masa yang serba
transisi kebingungan itu bisa disebut kian menjadi-jadi. "Istilah atau
kata adalah perbuatan yang mengambil gerak badan dan mengandung senjata. Ia
selalu membawa pada organisasi, cara berpikir dan cara menanggapinya. Ia
membawa kita pada sejenis kebudayaan. Seluruh istilah pasca Mei 1998 adalah
istilah-istilah yang bermasalah untuk dihidupkan di masyarakat," tuturnya,
seraya mengambil contoh fakta pada istilah "Islam Liberal" dan
"Islam Radikal". Kedua istilah ini, kata dia, sesungguhnya tak pernah
dikenal, yang sekaligus juga telah menegasikan pluralitas seperti Muhammadiyah,
NU atau Persis. Muncul kedua istilah seperti ini berkesan terbaginya bangsa ke
dalam dikotomi seperti itu.
Dalam
pandangannya kemudian ia melihat bahwa persoalan kritik kebudayaan Indonesia hari
ini adalah bagaimana memahami ruang yang terletak di antara rekonstruksi dan
dekonstruksi. Dalam konteks nasionalisme, rekonstruksi dimaksud haruslah
melepaskan pengertian nasionalisme itu dari apa yang telah didekonstruksi oleh
militerisme, dengan mendudukkannya pada proses demokratisasi.
Dengan
sinisme yang berkesan berolok-olok, musikus Harry Roesly berangkat dengan
tawaran kritik budaya yang melihat perangai dan strategi parpol, dan posisi
masyarakat di seberangnya. Apabila meminjam pandangan Garin, tentang manipulasi
demokratisasi sebagai suatu dekonstruksi yang terus berlangsung, sinisme Harry
Roesly menemukan korelasinya. Demikian pula dengan apa yang dipresentasikan
oleh Tisna Sanjaya, ketika dekonstruksi itu terjadi lewat strategi budaya
pembagunan yang serba massif dan hegemonik.
Apa yang
dikemukakan oleh ketiga panelis segera mendapat tanggapan dari forum diskusi.
Di antaranya mencoba dengan kritis mempertanyakan sisi lain dari argumentasi
yang disampaikan panelis, seperti mengemuka dari Heru Hikayat yang mencoba
melakukan antitesis terhadap apa yang diuraikan Harry Roesly, atau juga
provokasi pesimisme Arahmaiani yang menolak pandangan Garin Nugroho tentang
harapan akan lahirnya budaya kepemimpinan yang baru pada masa datang. Demikian
pula Khalid yang mencoba menawarkan pemikiran lebih realistis dan holistik
dalam melihat budaya kekerasan, tanpa terperangkap menjadi romatisme para
seniman. Meski lalu lintas perbedaan pandangan relatif tidak mengemuka sebagai
suatu benturan yang ketat, bukan berarti perbincangan tidak menyimpan
perbedaan-perbedaan yang menarik sebagai sebuah diskusi. Lebih lagi dengan
beban tema yang penting seperti itu. (Ahda Imran)***
Tue Aug 01, 2023 9:56 pm by wisatasemarang
» Portable STATA 18 Crack Full Version
Thu May 11, 2023 5:24 pm by wisatasemarang
» NVivo 12 Crack Full version
Mon Jan 30, 2023 11:16 am by wisatasemarang
» Tutorial Difference In difference (DID (Diff-in-Diff) With Eviews 13
Thu Nov 03, 2022 6:24 am by wisatasemarang
» Online Workshop Smart PLS Minggu, 01 Oktober 2022
Sat Sep 17, 2022 11:35 am by wisatasemarang
» kumpulan ebook tentang robot
Fri Jan 02, 2015 10:04 pm by kyuru
» MANTRA PELET
Wed May 16, 2012 3:31 am by orlandojack
» book love of spell
Sat Mar 24, 2012 8:08 pm by rifqi as
» attraction Formula
Sat Mar 24, 2012 7:09 pm by rifqi as