Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

ingin bergabung dengan elrakyat.tk klik pendaftaran. jika anda sudah pernah mendaftar silakan login. jangan lupa ajak kawan-kawanmu ke mari , dan jadilah top poster di forum kita

Join the forum, it's quick and easy

Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

ingin bergabung dengan elrakyat.tk klik pendaftaran. jika anda sudah pernah mendaftar silakan login. jangan lupa ajak kawan-kawanmu ke mari , dan jadilah top poster di forum kita

Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

Would you like to react to this message? Create an account in a few clicks or log in to continue.
Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

salah satu forum terbesar tempat kita bernostalgia

Login

Lupa password?

Our traffic

info rakyat

Sun Oct 31, 2010 9:05 pm by admin

---------------
PEMBERITAHUAN....

SF ZONA RELIGI SEKARANG KAMI PINDAH KE [You must be registered and logged in to see this link.] ANDA BISA BERPARTISIPASI DAN MENJADI MODERATOR SESUAI PERMINTAAN ANDA DENGAN REQUEST VIA SMS NO ADMIN 081945520865


Sekilas Info

Sun Jun 27, 2010 2:44 pm by admin

kabar gembira, forum lentera-rakyat mulai hari ini juga bisa diakses melalui [You must be registered and logged in to see this link.]


    berikan kepercayaan pada rakyat

    ratri
    ratri
    Mega Ultimate Member


    Zodiac : Virgo Jumlah posting : 281
    Join date : 01.04.10
    Age : 36
    Lokasi : di hati si admin

    berikan kepercayaan pada rakyat Empty berikan kepercayaan pada rakyat

    Post by ratri Fri Jun 18, 2010 8:44 pm

    Berikan
    Kepercayaan kepada Rakyat


    ST
    Sularto


    Pesimisme
    dan optimisme, dua entitas yang tidak bisa dipisahkan dalam memahami persoalan
    dengan cara pikir positif. Untuk bangsa dan negara Indonesia tercinta, meskipun
    ada yang sinis bertanya ”masihkah di tahun 2030 negara dan bangsa Indonesia?”
    disampaikan sejumlah harapan.


    Harapan
    tersebut ialah negara ini akan tetap eksis, berkembang lebih cepat, asal
    diselenggarakan dan dipenuhi sejumlah syarat, di antaranya mengembangkan
    keunggulan-keunggulan yang dikaruniakan Allah berikut etos kerja yang
    mengedepankan kepentingan rakyat banyak dengan asas dan prinsip keadilan.


    Berkembangnya
    perasaan gamang dan pesimistis, terutama menyangkut pemberantasan korupsi yang
    jadi ”target” pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla, bisa
    dimaklumi. Ketika ada kesan ”pilih kasih” dan ”tebang pilih”, sempat muncul
    sikap apatis.


    Kebimbangan
    dalam menyelesaikan kasus-kasus besar, seperti Bantuan Likuiditas Bank
    Indonesia (BLBI) dan kasus Soeharto, membuat praksis pemerintahan di bidang
    pengembangan ekonomi terganggu. Tampilnya kembali Boediono menyiratkan harapan,
    meskipun kemudian perlu waktu untuk menemukan tone yang sama di antara sesama
    pejabat teras khususnya yang membidangi perekonomian.


    Persaingan
    yang terjadi antara eksekutif dan legislatif, di satu pihak adalah buah
    reformasi ketika pendulum kekuatan berayun ekstrem, membuat eksekutif
    tergagap-gagap.


    Ditambah
    dengan belum adanya reformasi birokrasi— reformasi birokrasi sebatas reformasi
    bedak—tetap sebagai pelayan untuk dirinya sendiri dan bukan untuk rakyat,
    gencarnya upaya pemberantasan korupsi yang di antaranya mengakibatkan birokrasi
    kurang berani melangkah, kesan ”jalan di tempat” untuk reformasi di beberapa
    bidang memperoleh pembenaran.


    Banyaknya
    pemimpin partai duduk di jajaran eksekutif, bagian dari ”politik dagang sapi”,
    kebimbangan mencolok terjadi. Masyarakat mengkritik dan mengharapkan eksekutif
    profesional di bidangnya dan bukan karena faktor ”bagi-bagi kursi”. Sinisme
    logis, kabinet ”pelangi” presidensial, tetapi dalam praktik adalah parlementer,
    mempersulit pemerintah melakukan terobosan-terobosan seperti yang dijanjikan
    sebelumnya.


    Krisis di
    bidang sosial-budaya memperoleh reperkusi dalam praksis pendidikan. Praksis
    pemerintahan selama delapan tahun, dengan gradasi berbeda-beda, mengulang apa
    yang dilakukan tiga pemerintahan reformasi sebelumnya.


    Anggaran
    pendidikan 20 persen yang hanya dipenuhi rata-rata 8-9 persen, dengan faktor
    skala prioritas sebagai alasan justifikasi, menyebabkan kinerja empat rezim pemerintahan
    reformasi tidak jauh beda dengan sebelumnya.


    Yang
    berbeda, dan itu positif, pada era rezim pemerintahan saat ini ditandai
    bangkitnya keberanian para guru memperjuangkan nasib mereka: ikut serta
    berpolitik praktis termasuk menuntut keberpihakan eksekutif terhadap
    pengembangan sumber daya manusia (SDM).


    Mati
    suri


    Laporan-laporan
    kemerosotan mutu bangsa ini, hampir di seluruh bidang kecuali korupsi,
    membenarkan pesimisme dan kegamangan selama delapan tahun lewat. Indonesia ada
    di ambang kehancuran.


    Indonesia di
    ambang keterbelakangan, yang terbukti dengan ketertinggalannya dibandingkan
    dengan negara yang belakangan memperoleh kemerdekaan seperti Vietnam, atau
    semakin tertunduk kelu—malu oleh kemajuan tetangga seperti Malaysia, Thailand,
    apalagi Korea Selatan.


    Diterpa
    musibah alam, terorisme, dan terjangan globalisasi—secara umum tidak hanya
    bidang ekonomi, secara umum mesti dipahami sisi positifnya—membawa
    bangsa-negara Indonesia ”mati suri”. Pada saat yang sama, Indonesia menjadi
    salah satu negara yang terperangkap dalam kelompok korban marginalisasi global.


    Globalisasi
    aksi terorisme berdampak buruk terhadap pengembangan keunggulan yang dimiliki,
    seperti pariwisata atau kecemasan terus-menerus yang secara psikologis tidak
    kondusif untuk melakukan terobosan.


    Sikap saling
    curiga dan tidak percaya tidak lagi dilandasi semangat dan sikap kritis
    menambah keterpurukan—untuk tidak mengatakan negara ini melapuk. Nubras-nubras,
    sebuah istilah bijak orang Jawa, tepat menggambarkan keadaan sewindu reformasi
    dalam hal menempatkan diri Indonesia sebagai bagian global masyarakat dunia.


    Etika
    agama


    Agama-agama,
    di satu pihak, meningkat dari segi keumatan, tetapi belum berdampak pada
    pengembangan kehidupan sehari-hari.


    Kalau Max
    Weber, seorang sosiolog dan bukan agamawan, bisa membangun sebuah etika agama
    (Kristen) untuk memotivasi dan memacu produktivitas, diharapkan terobosan
    agama-agama dengan sistem teologi dan ibadatnya, tidak hanya sukses menanamkan
    penghayatan kesalehan pribadi maupun keumatan.


    Preferential
    for the poor, salah satu semangat yang didasari etika agama, hendaknya tidak
    berhenti pada hidup saleh namun juga harus sampai pada ”pertobatan” agar punya
    daya gugat dan daya gugah terhadap pengembangan masyarakat. Sosiologi agama
    ditagih tidak sekadar terhenti pada penghayatan kesalehan pribadi dan keumatan.


    Media massa
    yang ikut menikmati reformasi awalnya ibarat ”kuda lepas kandang”, repotnya
    belum mampu merumuskan kembali perannya. Kebebasan barulah sebatas bebas dari
    (freedom from), tetapi belum bebas untuk (freedom for).


    Media yang
    seharusnya memberi makna atas peristiwa dan mengarahkan bangsa ini semakin
    demokratis, di antaranya pengembangan ruang perbedaan pendapat, justru sebagian
    besar terlibat dalam pengembangan sisi bisnis. Sisi ideal industri media kurang
    diberi tempat.


    Tugas pokok
    yang disebut media sebagai salah satu pilar masyarakat warga kurang terawat
    dengan baik. Kasus-kasus yang timbul konflik antara eksekutif dan industri
    media, industri media dan masyarakat pembacanya, menunjukkan masih ada soal
    dengan berkah yang dinikmati.


    Konsentrasi
    kekuasaan berpusat pada sejumlah elite dan kekuasaan belum terbagikan pada
    masyarakat, tidak banyak berubah dibandingkan dengan pemerintahan sebelumnya.
    Ada yang menyebut, sebenarnya reformasi dalam arti penguatan kekuatan rakyat,
    afirmasi terhadap kekuatan rakyat, belum berkembang.


    Demokrasi
    belum terjadi secara struktural, baru prosedural. Kultur feodal yang
    bertentangan dengan kultur demokrasi masih terjadi.


    Padahal,
    demokratisasi berkembang kalau ada persebaran kekuasaan, terjadi check and
    balance—kontrol dan perimbangan—satu dari pilar-pilar demokrasi yang pernah
    dirumuskan eksekutif-birokrasi, masyarakat warga, pasar dengan media sebagai
    kompas, diperuntukkan bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat banyak.


    Masa
    ketidakpastian


    Masa
    ketidakpastian dunia, menurut istilah Anthony Giddens (Jalan Ketiga. Pembaruan
    Demokrasi Sosial, 1998) manufactured uncertainty, tampaknya berlaku untuk
    Indonesia menuju tahun 2030. Giddens benar, ketidakpastian itu ditimbulkan oleh
    ulah manusia, bukan ulah alam.


    Manufactured
    uncertainty, sebenarnya jauh sebelum reformasi 1998, mengarahkan pada tantangan
    high consequence risk, risiko yang punya konsekuensi jauh. Memikirkan nasib
    dunia perlu menempatkannya dalam empat gugus, yakni kapitalisme,
    industrialisme, pengawasan, dan kekuatan militer. Keempat gugus itu harus
    dipikirkan bersama.


    Relevansi
    sepotong teori Giddens membantu menempatkan bertemunya pesimisme dan optimisme.
    Dia tidak hanya mengandalkan negara kuat, sebab bisa terjadi ini akan otoriter,
    melainkan penguatan-penguatan yang diberikan kepada gerakan-gerakan sosial yang
    selama dua dekade ini berkembang luas.


    Gerakan itu
    beragam, diselenggarakan oleh anak-anak muda, tidak hanya lingkungan, tetapi
    juga masalah ekonomi biaya tinggi, kesamaan jender, bahkan artikulasi hak-hak
    kaum gay, yang muaranya adalah tersedianya ranah publik bagi artikulasi
    pengucapan hak-hak rakyat.


    Di Indonesia
    gerakan-gerakan sosial itu mengarah pada penyadaran bersama (konsientisasi),
    sebuah advokasi bersama tentang hak-hak rakyat untuk ikut serta melakukan
    perubahan sosial-politik-budaya, dan tidak terutama ke perubahan struktur.


    Persoalannya,
    bagaimana psikologi dan kinerja birokrasi yang sudah telanjur mandek-beku itu
    bisa direformasi? Birokrasi diharapkan jadi motor, dan tidak tertelikung
    sendiri oleh motivasi dan etos kerja masa lalu yang kurang memberi makna luhur
    birokrasi sebagai pelayan masyarakat.


    Bersama
    birokrasi dan lembaga-lembaga gerakan sosial baru dilakukan satu perimbangan
    kekuasaan, sinergi antara state-birokrasi (politik), civil society (masyarakat
    warga), dan ekonomi (pasar). Ketiganya merupakan tiga lembaga yang sebaiknya
    bekerja secara sinergik, bersemangat mengembangkan mutual trust, dengan target
    dan arah yang sama.


    Oleh karena itu,
    dirasa perlu penguatan dan pengembangan masyarakat warga, tidak hanya dalam hal
    ini lembaga swadaya masyarakat, melainkan juga revitalisasi asosiasi
    voluntaristik, keluarga, dan asosiasi publik serta peran serta dalam
    gerakan-gerakan sosial baru, mulai dari lokal, nasional, regional, dan global.


    Sikap saling
    percaya menjadi keharusan, kebajikan yang semakin berharga mahal di negeri ini.
    Yang gampang muncul adalah ketidakpercayaan dan saling curiga, saling
    menyalahkan dan mencari kambing.


    Ketidakpercayaan
    menguat dan tumbuh subur justru ketika partai-partai politik yang diharapkan
    berfungsi sebagai pintu masuk (entry point), sekaligus sarana demokratisasi,
    disempitkan untuk kepentingan kelompok menduduki struktur birokrasi eksekutif
    maupun legislatif. Kompetensi menjadi persyaratan mutlak sehingga dengan
    kompetensi itu struktur menjadi sah secara moral. Moral memiliki keterampilan,
    komitmen, dan berpotensi untuk kemajuan.


    Keunggulan
    perlu dikenali dan dikembangkan sebagai nilai tambah. Ketika sumber daya alam
    menjadi habis, perlu ditelaah keunggulan sumber daya manusia.


    Taruhlah
    kalau IQ (intellegence quotient) menjadi salah satu keunggulan, terdapat 5
    persen atau 12,5 juta orang dari populasi penduduk Indonesia (sekitar 250 juta)
    memiliki IQ di atas 120 yang berpotensi menjadi pemimpin sekelas Abraham
    Lincoln dan Thomas Jefferson; dan 0,1 persen di atas 150 atau 250.000 sekelas
    Einstein.


    Memang, IQ
    tidak satu-satunya faktor keberhasilan, selain faktor-faktor lain seperti EI
    (emotional intellegence), juga nasib baik sekaligus daya tahan, daya juang,
    termasuk etos kerja yang baik. Data itu menyejukkan di tengah kecemasan satu
    per satu hilangnya keunggulan dan kelambanan/kebimbangan menangkap peluang.


    Etos
    kerja baru


    Agar
    harapan-harapan itu diupayakan berhasil, yang mendesak diperlukan adalah
    membangun etos kerja baru. Kebudayaan kita lebih memberi perhatian pada etos
    produksi kekuasaan (the production of power) dan produksi keindahan (the
    production of beauty). Maka perlu dikembangkan etos produksi kesejahteraan (the
    production of wealth).


    Konsep
    kekayaan dibalik, jangan lagi menjadi kategori yang dianggap asing. Produksi
    ekonomi perlu diafirmasi secara utuh dalam kebudayaan. Kekayaan dan keuntungan
    ekonomi yang diperoleh dengan kerja keras perlu jadi bagian utuh dari etos
    baru.


    Sentimen
    agama dan politik kedaerahan yang selama ini dipakai menyelesaikan konflik
    sosial justru mempercepat proses marginalisasi dan rasa keterasingan yang
    mendalam. Perlu ditinggalkan sikap, bahwa semua gagasan dan keputusan politik dikuasai
    oleh hegemoni elite. Mengapa? Tujuannya agar masyarakat mendapat ruang untuk
    menyatakan diri dan menjadi dirinya sendiri.


    Memberi
    ruang publik berarti mengafirmasi persoalan kebutuhan pokok yang dihadapi
    rakyat banyak, terutama masalah kelangkaan lapangan kerja yang dialami oleh
    lebih dari 65 juta penduduk. Kondisi obyektif perekonomian sebaiknya tidak
    dilepaskan dari konteks dan ranah percaturan dan kebijakan elite kekuasaan.


    Rekonstruksi
    makna kebangsaan bagi kebanyakan rakyat sekarang ialah menjadi orang Indonesia
    berarti memperoleh pekerjaan, bisa menyekolahkan anak, dan kalau sakit bisa
    berobat. Kearifan lokal, dalam konteks pemberdayaan rakyat, mendesak pula
    didekati tidak lagi sebagai sudah kuno dan perlu ditinggalkan, melainkan
    diafirmasi sebagai keunggulan.


    Partnership
    pemerintah dan masyarakat warga, terutama dunia usaha, merupakan keharusan,
    yang bisa terjadi apabila ada hubungan kesetaraan. Disiplin menjadi syarat
    tambahan, yang tidak prima di tingkat rencana dan program kerja, tetapi dalam
    implementasi dan pelaksanaan.


    ”Berikan
    kepercayaan kepada rakyat”, mengandaikan sosok kepemimpinan (leadership), yang
    tidak hanya pemimpi-pemimpi dan pembimbang-pembimbang, tetapi mereka bisa
    menempatkan diri sebagai konduktor orkestra yang namanya INDONESIA; yang tidak
    hanya mencari dan menemukan kambing hitam, tetapi yang mampu menangkap
    keunggulan-keunggulan sebagai nilai tambah yang diberi wadah dan suasana yang
    kondusif; yang tegas mengonduktori musisi memainkan ”instrumen” masing-masing
    tepat waktu dan tepat sasaran.


    Siapa
    pemimpin-pemimpin masa depan?


    Merekalah,
    di antaranya manusia-manusia unggul Indonesia, yang tidak hanya unggul otak dan
    terampil, tetapi juga unggul dalam komitmen, tabiat perilaku, dan punya hati
    terhadap rakyat!

      Waktu sekarang Thu May 09, 2024 1:29 pm