Berikan
Kepercayaan kepada Rakyat
ST
Sularto
Pesimisme
dan optimisme, dua entitas yang tidak bisa dipisahkan dalam memahami persoalan
dengan cara pikir positif. Untuk bangsa dan negara Indonesia tercinta, meskipun
ada yang sinis bertanya ”masihkah di tahun 2030 negara dan bangsa Indonesia?”
disampaikan sejumlah harapan.
Harapan
tersebut ialah negara ini akan tetap eksis, berkembang lebih cepat, asal
diselenggarakan dan dipenuhi sejumlah syarat, di antaranya mengembangkan
keunggulan-keunggulan yang dikaruniakan Allah berikut etos kerja yang
mengedepankan kepentingan rakyat banyak dengan asas dan prinsip keadilan.
Berkembangnya
perasaan gamang dan pesimistis, terutama menyangkut pemberantasan korupsi yang
jadi ”target” pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla, bisa
dimaklumi. Ketika ada kesan ”pilih kasih” dan ”tebang pilih”, sempat muncul
sikap apatis.
Kebimbangan
dalam menyelesaikan kasus-kasus besar, seperti Bantuan Likuiditas Bank
Indonesia (BLBI) dan kasus Soeharto, membuat praksis pemerintahan di bidang
pengembangan ekonomi terganggu. Tampilnya kembali Boediono menyiratkan harapan,
meskipun kemudian perlu waktu untuk menemukan tone yang sama di antara sesama
pejabat teras khususnya yang membidangi perekonomian.
Persaingan
yang terjadi antara eksekutif dan legislatif, di satu pihak adalah buah
reformasi ketika pendulum kekuatan berayun ekstrem, membuat eksekutif
tergagap-gagap.
Ditambah
dengan belum adanya reformasi birokrasi— reformasi birokrasi sebatas reformasi
bedak—tetap sebagai pelayan untuk dirinya sendiri dan bukan untuk rakyat,
gencarnya upaya pemberantasan korupsi yang di antaranya mengakibatkan birokrasi
kurang berani melangkah, kesan ”jalan di tempat” untuk reformasi di beberapa
bidang memperoleh pembenaran.
Banyaknya
pemimpin partai duduk di jajaran eksekutif, bagian dari ”politik dagang sapi”,
kebimbangan mencolok terjadi. Masyarakat mengkritik dan mengharapkan eksekutif
profesional di bidangnya dan bukan karena faktor ”bagi-bagi kursi”. Sinisme
logis, kabinet ”pelangi” presidensial, tetapi dalam praktik adalah parlementer,
mempersulit pemerintah melakukan terobosan-terobosan seperti yang dijanjikan
sebelumnya.
Krisis di
bidang sosial-budaya memperoleh reperkusi dalam praksis pendidikan. Praksis
pemerintahan selama delapan tahun, dengan gradasi berbeda-beda, mengulang apa
yang dilakukan tiga pemerintahan reformasi sebelumnya.
Anggaran
pendidikan 20 persen yang hanya dipenuhi rata-rata 8-9 persen, dengan faktor
skala prioritas sebagai alasan justifikasi, menyebabkan kinerja empat rezim pemerintahan
reformasi tidak jauh beda dengan sebelumnya.
Yang
berbeda, dan itu positif, pada era rezim pemerintahan saat ini ditandai
bangkitnya keberanian para guru memperjuangkan nasib mereka: ikut serta
berpolitik praktis termasuk menuntut keberpihakan eksekutif terhadap
pengembangan sumber daya manusia (SDM).
Mati
suri
Laporan-laporan
kemerosotan mutu bangsa ini, hampir di seluruh bidang kecuali korupsi,
membenarkan pesimisme dan kegamangan selama delapan tahun lewat. Indonesia ada
di ambang kehancuran.
Indonesia di
ambang keterbelakangan, yang terbukti dengan ketertinggalannya dibandingkan
dengan negara yang belakangan memperoleh kemerdekaan seperti Vietnam, atau
semakin tertunduk kelu—malu oleh kemajuan tetangga seperti Malaysia, Thailand,
apalagi Korea Selatan.
Diterpa
musibah alam, terorisme, dan terjangan globalisasi—secara umum tidak hanya
bidang ekonomi, secara umum mesti dipahami sisi positifnya—membawa
bangsa-negara Indonesia ”mati suri”. Pada saat yang sama, Indonesia menjadi
salah satu negara yang terperangkap dalam kelompok korban marginalisasi global.
Globalisasi
aksi terorisme berdampak buruk terhadap pengembangan keunggulan yang dimiliki,
seperti pariwisata atau kecemasan terus-menerus yang secara psikologis tidak
kondusif untuk melakukan terobosan.
Sikap saling
curiga dan tidak percaya tidak lagi dilandasi semangat dan sikap kritis
menambah keterpurukan—untuk tidak mengatakan negara ini melapuk. Nubras-nubras,
sebuah istilah bijak orang Jawa, tepat menggambarkan keadaan sewindu reformasi
dalam hal menempatkan diri Indonesia sebagai bagian global masyarakat dunia.
Etika
agama
Agama-agama,
di satu pihak, meningkat dari segi keumatan, tetapi belum berdampak pada
pengembangan kehidupan sehari-hari.
Kalau Max
Weber, seorang sosiolog dan bukan agamawan, bisa membangun sebuah etika agama
(Kristen) untuk memotivasi dan memacu produktivitas, diharapkan terobosan
agama-agama dengan sistem teologi dan ibadatnya, tidak hanya sukses menanamkan
penghayatan kesalehan pribadi maupun keumatan.
Preferential
for the poor, salah satu semangat yang didasari etika agama, hendaknya tidak
berhenti pada hidup saleh namun juga harus sampai pada ”pertobatan” agar punya
daya gugat dan daya gugah terhadap pengembangan masyarakat. Sosiologi agama
ditagih tidak sekadar terhenti pada penghayatan kesalehan pribadi dan keumatan.
Media massa
yang ikut menikmati reformasi awalnya ibarat ”kuda lepas kandang”, repotnya
belum mampu merumuskan kembali perannya. Kebebasan barulah sebatas bebas dari
(freedom from), tetapi belum bebas untuk (freedom for).
Media yang
seharusnya memberi makna atas peristiwa dan mengarahkan bangsa ini semakin
demokratis, di antaranya pengembangan ruang perbedaan pendapat, justru sebagian
besar terlibat dalam pengembangan sisi bisnis. Sisi ideal industri media kurang
diberi tempat.
Tugas pokok
yang disebut media sebagai salah satu pilar masyarakat warga kurang terawat
dengan baik. Kasus-kasus yang timbul konflik antara eksekutif dan industri
media, industri media dan masyarakat pembacanya, menunjukkan masih ada soal
dengan berkah yang dinikmati.
Konsentrasi
kekuasaan berpusat pada sejumlah elite dan kekuasaan belum terbagikan pada
masyarakat, tidak banyak berubah dibandingkan dengan pemerintahan sebelumnya.
Ada yang menyebut, sebenarnya reformasi dalam arti penguatan kekuatan rakyat,
afirmasi terhadap kekuatan rakyat, belum berkembang.
Demokrasi
belum terjadi secara struktural, baru prosedural. Kultur feodal yang
bertentangan dengan kultur demokrasi masih terjadi.
Padahal,
demokratisasi berkembang kalau ada persebaran kekuasaan, terjadi check and
balance—kontrol dan perimbangan—satu dari pilar-pilar demokrasi yang pernah
dirumuskan eksekutif-birokrasi, masyarakat warga, pasar dengan media sebagai
kompas, diperuntukkan bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat banyak.
Masa
ketidakpastian
Masa
ketidakpastian dunia, menurut istilah Anthony Giddens (Jalan Ketiga. Pembaruan
Demokrasi Sosial, 1998) manufactured uncertainty, tampaknya berlaku untuk
Indonesia menuju tahun 2030. Giddens benar, ketidakpastian itu ditimbulkan oleh
ulah manusia, bukan ulah alam.
Manufactured
uncertainty, sebenarnya jauh sebelum reformasi 1998, mengarahkan pada tantangan
high consequence risk, risiko yang punya konsekuensi jauh. Memikirkan nasib
dunia perlu menempatkannya dalam empat gugus, yakni kapitalisme,
industrialisme, pengawasan, dan kekuatan militer. Keempat gugus itu harus
dipikirkan bersama.
Relevansi
sepotong teori Giddens membantu menempatkan bertemunya pesimisme dan optimisme.
Dia tidak hanya mengandalkan negara kuat, sebab bisa terjadi ini akan otoriter,
melainkan penguatan-penguatan yang diberikan kepada gerakan-gerakan sosial yang
selama dua dekade ini berkembang luas.
Gerakan itu
beragam, diselenggarakan oleh anak-anak muda, tidak hanya lingkungan, tetapi
juga masalah ekonomi biaya tinggi, kesamaan jender, bahkan artikulasi hak-hak
kaum gay, yang muaranya adalah tersedianya ranah publik bagi artikulasi
pengucapan hak-hak rakyat.
Di Indonesia
gerakan-gerakan sosial itu mengarah pada penyadaran bersama (konsientisasi),
sebuah advokasi bersama tentang hak-hak rakyat untuk ikut serta melakukan
perubahan sosial-politik-budaya, dan tidak terutama ke perubahan struktur.
Persoalannya,
bagaimana psikologi dan kinerja birokrasi yang sudah telanjur mandek-beku itu
bisa direformasi? Birokrasi diharapkan jadi motor, dan tidak tertelikung
sendiri oleh motivasi dan etos kerja masa lalu yang kurang memberi makna luhur
birokrasi sebagai pelayan masyarakat.
Bersama
birokrasi dan lembaga-lembaga gerakan sosial baru dilakukan satu perimbangan
kekuasaan, sinergi antara state-birokrasi (politik), civil society (masyarakat
warga), dan ekonomi (pasar). Ketiganya merupakan tiga lembaga yang sebaiknya
bekerja secara sinergik, bersemangat mengembangkan mutual trust, dengan target
dan arah yang sama.
Oleh karena itu,
dirasa perlu penguatan dan pengembangan masyarakat warga, tidak hanya dalam hal
ini lembaga swadaya masyarakat, melainkan juga revitalisasi asosiasi
voluntaristik, keluarga, dan asosiasi publik serta peran serta dalam
gerakan-gerakan sosial baru, mulai dari lokal, nasional, regional, dan global.
Sikap saling
percaya menjadi keharusan, kebajikan yang semakin berharga mahal di negeri ini.
Yang gampang muncul adalah ketidakpercayaan dan saling curiga, saling
menyalahkan dan mencari kambing.
Ketidakpercayaan
menguat dan tumbuh subur justru ketika partai-partai politik yang diharapkan
berfungsi sebagai pintu masuk (entry point), sekaligus sarana demokratisasi,
disempitkan untuk kepentingan kelompok menduduki struktur birokrasi eksekutif
maupun legislatif. Kompetensi menjadi persyaratan mutlak sehingga dengan
kompetensi itu struktur menjadi sah secara moral. Moral memiliki keterampilan,
komitmen, dan berpotensi untuk kemajuan.
Keunggulan
perlu dikenali dan dikembangkan sebagai nilai tambah. Ketika sumber daya alam
menjadi habis, perlu ditelaah keunggulan sumber daya manusia.
Taruhlah
kalau IQ (intellegence quotient) menjadi salah satu keunggulan, terdapat 5
persen atau 12,5 juta orang dari populasi penduduk Indonesia (sekitar 250 juta)
memiliki IQ di atas 120 yang berpotensi menjadi pemimpin sekelas Abraham
Lincoln dan Thomas Jefferson; dan 0,1 persen di atas 150 atau 250.000 sekelas
Einstein.
Memang, IQ
tidak satu-satunya faktor keberhasilan, selain faktor-faktor lain seperti EI
(emotional intellegence), juga nasib baik sekaligus daya tahan, daya juang,
termasuk etos kerja yang baik. Data itu menyejukkan di tengah kecemasan satu
per satu hilangnya keunggulan dan kelambanan/kebimbangan menangkap peluang.
Etos
kerja baru
Agar
harapan-harapan itu diupayakan berhasil, yang mendesak diperlukan adalah
membangun etos kerja baru. Kebudayaan kita lebih memberi perhatian pada etos
produksi kekuasaan (the production of power) dan produksi keindahan (the
production of beauty). Maka perlu dikembangkan etos produksi kesejahteraan (the
production of wealth).
Konsep
kekayaan dibalik, jangan lagi menjadi kategori yang dianggap asing. Produksi
ekonomi perlu diafirmasi secara utuh dalam kebudayaan. Kekayaan dan keuntungan
ekonomi yang diperoleh dengan kerja keras perlu jadi bagian utuh dari etos
baru.
Sentimen
agama dan politik kedaerahan yang selama ini dipakai menyelesaikan konflik
sosial justru mempercepat proses marginalisasi dan rasa keterasingan yang
mendalam. Perlu ditinggalkan sikap, bahwa semua gagasan dan keputusan politik dikuasai
oleh hegemoni elite. Mengapa? Tujuannya agar masyarakat mendapat ruang untuk
menyatakan diri dan menjadi dirinya sendiri.
Memberi
ruang publik berarti mengafirmasi persoalan kebutuhan pokok yang dihadapi
rakyat banyak, terutama masalah kelangkaan lapangan kerja yang dialami oleh
lebih dari 65 juta penduduk. Kondisi obyektif perekonomian sebaiknya tidak
dilepaskan dari konteks dan ranah percaturan dan kebijakan elite kekuasaan.
Rekonstruksi
makna kebangsaan bagi kebanyakan rakyat sekarang ialah menjadi orang Indonesia
berarti memperoleh pekerjaan, bisa menyekolahkan anak, dan kalau sakit bisa
berobat. Kearifan lokal, dalam konteks pemberdayaan rakyat, mendesak pula
didekati tidak lagi sebagai sudah kuno dan perlu ditinggalkan, melainkan
diafirmasi sebagai keunggulan.
Partnership
pemerintah dan masyarakat warga, terutama dunia usaha, merupakan keharusan,
yang bisa terjadi apabila ada hubungan kesetaraan. Disiplin menjadi syarat
tambahan, yang tidak prima di tingkat rencana dan program kerja, tetapi dalam
implementasi dan pelaksanaan.
”Berikan
kepercayaan kepada rakyat”, mengandaikan sosok kepemimpinan (leadership), yang
tidak hanya pemimpi-pemimpi dan pembimbang-pembimbang, tetapi mereka bisa
menempatkan diri sebagai konduktor orkestra yang namanya INDONESIA; yang tidak
hanya mencari dan menemukan kambing hitam, tetapi yang mampu menangkap
keunggulan-keunggulan sebagai nilai tambah yang diberi wadah dan suasana yang
kondusif; yang tegas mengonduktori musisi memainkan ”instrumen” masing-masing
tepat waktu dan tepat sasaran.
Siapa
pemimpin-pemimpin masa depan?
Merekalah,
di antaranya manusia-manusia unggul Indonesia, yang tidak hanya unggul otak dan
terampil, tetapi juga unggul dalam komitmen, tabiat perilaku, dan punya hati
terhadap rakyat!
Kepercayaan kepada Rakyat
ST
Sularto
Pesimisme
dan optimisme, dua entitas yang tidak bisa dipisahkan dalam memahami persoalan
dengan cara pikir positif. Untuk bangsa dan negara Indonesia tercinta, meskipun
ada yang sinis bertanya ”masihkah di tahun 2030 negara dan bangsa Indonesia?”
disampaikan sejumlah harapan.
Harapan
tersebut ialah negara ini akan tetap eksis, berkembang lebih cepat, asal
diselenggarakan dan dipenuhi sejumlah syarat, di antaranya mengembangkan
keunggulan-keunggulan yang dikaruniakan Allah berikut etos kerja yang
mengedepankan kepentingan rakyat banyak dengan asas dan prinsip keadilan.
Berkembangnya
perasaan gamang dan pesimistis, terutama menyangkut pemberantasan korupsi yang
jadi ”target” pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla, bisa
dimaklumi. Ketika ada kesan ”pilih kasih” dan ”tebang pilih”, sempat muncul
sikap apatis.
Kebimbangan
dalam menyelesaikan kasus-kasus besar, seperti Bantuan Likuiditas Bank
Indonesia (BLBI) dan kasus Soeharto, membuat praksis pemerintahan di bidang
pengembangan ekonomi terganggu. Tampilnya kembali Boediono menyiratkan harapan,
meskipun kemudian perlu waktu untuk menemukan tone yang sama di antara sesama
pejabat teras khususnya yang membidangi perekonomian.
Persaingan
yang terjadi antara eksekutif dan legislatif, di satu pihak adalah buah
reformasi ketika pendulum kekuatan berayun ekstrem, membuat eksekutif
tergagap-gagap.
Ditambah
dengan belum adanya reformasi birokrasi— reformasi birokrasi sebatas reformasi
bedak—tetap sebagai pelayan untuk dirinya sendiri dan bukan untuk rakyat,
gencarnya upaya pemberantasan korupsi yang di antaranya mengakibatkan birokrasi
kurang berani melangkah, kesan ”jalan di tempat” untuk reformasi di beberapa
bidang memperoleh pembenaran.
Banyaknya
pemimpin partai duduk di jajaran eksekutif, bagian dari ”politik dagang sapi”,
kebimbangan mencolok terjadi. Masyarakat mengkritik dan mengharapkan eksekutif
profesional di bidangnya dan bukan karena faktor ”bagi-bagi kursi”. Sinisme
logis, kabinet ”pelangi” presidensial, tetapi dalam praktik adalah parlementer,
mempersulit pemerintah melakukan terobosan-terobosan seperti yang dijanjikan
sebelumnya.
Krisis di
bidang sosial-budaya memperoleh reperkusi dalam praksis pendidikan. Praksis
pemerintahan selama delapan tahun, dengan gradasi berbeda-beda, mengulang apa
yang dilakukan tiga pemerintahan reformasi sebelumnya.
Anggaran
pendidikan 20 persen yang hanya dipenuhi rata-rata 8-9 persen, dengan faktor
skala prioritas sebagai alasan justifikasi, menyebabkan kinerja empat rezim pemerintahan
reformasi tidak jauh beda dengan sebelumnya.
Yang
berbeda, dan itu positif, pada era rezim pemerintahan saat ini ditandai
bangkitnya keberanian para guru memperjuangkan nasib mereka: ikut serta
berpolitik praktis termasuk menuntut keberpihakan eksekutif terhadap
pengembangan sumber daya manusia (SDM).
Mati
suri
Laporan-laporan
kemerosotan mutu bangsa ini, hampir di seluruh bidang kecuali korupsi,
membenarkan pesimisme dan kegamangan selama delapan tahun lewat. Indonesia ada
di ambang kehancuran.
Indonesia di
ambang keterbelakangan, yang terbukti dengan ketertinggalannya dibandingkan
dengan negara yang belakangan memperoleh kemerdekaan seperti Vietnam, atau
semakin tertunduk kelu—malu oleh kemajuan tetangga seperti Malaysia, Thailand,
apalagi Korea Selatan.
Diterpa
musibah alam, terorisme, dan terjangan globalisasi—secara umum tidak hanya
bidang ekonomi, secara umum mesti dipahami sisi positifnya—membawa
bangsa-negara Indonesia ”mati suri”. Pada saat yang sama, Indonesia menjadi
salah satu negara yang terperangkap dalam kelompok korban marginalisasi global.
Globalisasi
aksi terorisme berdampak buruk terhadap pengembangan keunggulan yang dimiliki,
seperti pariwisata atau kecemasan terus-menerus yang secara psikologis tidak
kondusif untuk melakukan terobosan.
Sikap saling
curiga dan tidak percaya tidak lagi dilandasi semangat dan sikap kritis
menambah keterpurukan—untuk tidak mengatakan negara ini melapuk. Nubras-nubras,
sebuah istilah bijak orang Jawa, tepat menggambarkan keadaan sewindu reformasi
dalam hal menempatkan diri Indonesia sebagai bagian global masyarakat dunia.
Etika
agama
Agama-agama,
di satu pihak, meningkat dari segi keumatan, tetapi belum berdampak pada
pengembangan kehidupan sehari-hari.
Kalau Max
Weber, seorang sosiolog dan bukan agamawan, bisa membangun sebuah etika agama
(Kristen) untuk memotivasi dan memacu produktivitas, diharapkan terobosan
agama-agama dengan sistem teologi dan ibadatnya, tidak hanya sukses menanamkan
penghayatan kesalehan pribadi maupun keumatan.
Preferential
for the poor, salah satu semangat yang didasari etika agama, hendaknya tidak
berhenti pada hidup saleh namun juga harus sampai pada ”pertobatan” agar punya
daya gugat dan daya gugah terhadap pengembangan masyarakat. Sosiologi agama
ditagih tidak sekadar terhenti pada penghayatan kesalehan pribadi dan keumatan.
Media massa
yang ikut menikmati reformasi awalnya ibarat ”kuda lepas kandang”, repotnya
belum mampu merumuskan kembali perannya. Kebebasan barulah sebatas bebas dari
(freedom from), tetapi belum bebas untuk (freedom for).
Media yang
seharusnya memberi makna atas peristiwa dan mengarahkan bangsa ini semakin
demokratis, di antaranya pengembangan ruang perbedaan pendapat, justru sebagian
besar terlibat dalam pengembangan sisi bisnis. Sisi ideal industri media kurang
diberi tempat.
Tugas pokok
yang disebut media sebagai salah satu pilar masyarakat warga kurang terawat
dengan baik. Kasus-kasus yang timbul konflik antara eksekutif dan industri
media, industri media dan masyarakat pembacanya, menunjukkan masih ada soal
dengan berkah yang dinikmati.
Konsentrasi
kekuasaan berpusat pada sejumlah elite dan kekuasaan belum terbagikan pada
masyarakat, tidak banyak berubah dibandingkan dengan pemerintahan sebelumnya.
Ada yang menyebut, sebenarnya reformasi dalam arti penguatan kekuatan rakyat,
afirmasi terhadap kekuatan rakyat, belum berkembang.
Demokrasi
belum terjadi secara struktural, baru prosedural. Kultur feodal yang
bertentangan dengan kultur demokrasi masih terjadi.
Padahal,
demokratisasi berkembang kalau ada persebaran kekuasaan, terjadi check and
balance—kontrol dan perimbangan—satu dari pilar-pilar demokrasi yang pernah
dirumuskan eksekutif-birokrasi, masyarakat warga, pasar dengan media sebagai
kompas, diperuntukkan bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat banyak.
Masa
ketidakpastian
Masa
ketidakpastian dunia, menurut istilah Anthony Giddens (Jalan Ketiga. Pembaruan
Demokrasi Sosial, 1998) manufactured uncertainty, tampaknya berlaku untuk
Indonesia menuju tahun 2030. Giddens benar, ketidakpastian itu ditimbulkan oleh
ulah manusia, bukan ulah alam.
Manufactured
uncertainty, sebenarnya jauh sebelum reformasi 1998, mengarahkan pada tantangan
high consequence risk, risiko yang punya konsekuensi jauh. Memikirkan nasib
dunia perlu menempatkannya dalam empat gugus, yakni kapitalisme,
industrialisme, pengawasan, dan kekuatan militer. Keempat gugus itu harus
dipikirkan bersama.
Relevansi
sepotong teori Giddens membantu menempatkan bertemunya pesimisme dan optimisme.
Dia tidak hanya mengandalkan negara kuat, sebab bisa terjadi ini akan otoriter,
melainkan penguatan-penguatan yang diberikan kepada gerakan-gerakan sosial yang
selama dua dekade ini berkembang luas.
Gerakan itu
beragam, diselenggarakan oleh anak-anak muda, tidak hanya lingkungan, tetapi
juga masalah ekonomi biaya tinggi, kesamaan jender, bahkan artikulasi hak-hak
kaum gay, yang muaranya adalah tersedianya ranah publik bagi artikulasi
pengucapan hak-hak rakyat.
Di Indonesia
gerakan-gerakan sosial itu mengarah pada penyadaran bersama (konsientisasi),
sebuah advokasi bersama tentang hak-hak rakyat untuk ikut serta melakukan
perubahan sosial-politik-budaya, dan tidak terutama ke perubahan struktur.
Persoalannya,
bagaimana psikologi dan kinerja birokrasi yang sudah telanjur mandek-beku itu
bisa direformasi? Birokrasi diharapkan jadi motor, dan tidak tertelikung
sendiri oleh motivasi dan etos kerja masa lalu yang kurang memberi makna luhur
birokrasi sebagai pelayan masyarakat.
Bersama
birokrasi dan lembaga-lembaga gerakan sosial baru dilakukan satu perimbangan
kekuasaan, sinergi antara state-birokrasi (politik), civil society (masyarakat
warga), dan ekonomi (pasar). Ketiganya merupakan tiga lembaga yang sebaiknya
bekerja secara sinergik, bersemangat mengembangkan mutual trust, dengan target
dan arah yang sama.
Oleh karena itu,
dirasa perlu penguatan dan pengembangan masyarakat warga, tidak hanya dalam hal
ini lembaga swadaya masyarakat, melainkan juga revitalisasi asosiasi
voluntaristik, keluarga, dan asosiasi publik serta peran serta dalam
gerakan-gerakan sosial baru, mulai dari lokal, nasional, regional, dan global.
Sikap saling
percaya menjadi keharusan, kebajikan yang semakin berharga mahal di negeri ini.
Yang gampang muncul adalah ketidakpercayaan dan saling curiga, saling
menyalahkan dan mencari kambing.
Ketidakpercayaan
menguat dan tumbuh subur justru ketika partai-partai politik yang diharapkan
berfungsi sebagai pintu masuk (entry point), sekaligus sarana demokratisasi,
disempitkan untuk kepentingan kelompok menduduki struktur birokrasi eksekutif
maupun legislatif. Kompetensi menjadi persyaratan mutlak sehingga dengan
kompetensi itu struktur menjadi sah secara moral. Moral memiliki keterampilan,
komitmen, dan berpotensi untuk kemajuan.
Keunggulan
perlu dikenali dan dikembangkan sebagai nilai tambah. Ketika sumber daya alam
menjadi habis, perlu ditelaah keunggulan sumber daya manusia.
Taruhlah
kalau IQ (intellegence quotient) menjadi salah satu keunggulan, terdapat 5
persen atau 12,5 juta orang dari populasi penduduk Indonesia (sekitar 250 juta)
memiliki IQ di atas 120 yang berpotensi menjadi pemimpin sekelas Abraham
Lincoln dan Thomas Jefferson; dan 0,1 persen di atas 150 atau 250.000 sekelas
Einstein.
Memang, IQ
tidak satu-satunya faktor keberhasilan, selain faktor-faktor lain seperti EI
(emotional intellegence), juga nasib baik sekaligus daya tahan, daya juang,
termasuk etos kerja yang baik. Data itu menyejukkan di tengah kecemasan satu
per satu hilangnya keunggulan dan kelambanan/kebimbangan menangkap peluang.
Etos
kerja baru
Agar
harapan-harapan itu diupayakan berhasil, yang mendesak diperlukan adalah
membangun etos kerja baru. Kebudayaan kita lebih memberi perhatian pada etos
produksi kekuasaan (the production of power) dan produksi keindahan (the
production of beauty). Maka perlu dikembangkan etos produksi kesejahteraan (the
production of wealth).
Konsep
kekayaan dibalik, jangan lagi menjadi kategori yang dianggap asing. Produksi
ekonomi perlu diafirmasi secara utuh dalam kebudayaan. Kekayaan dan keuntungan
ekonomi yang diperoleh dengan kerja keras perlu jadi bagian utuh dari etos
baru.
Sentimen
agama dan politik kedaerahan yang selama ini dipakai menyelesaikan konflik
sosial justru mempercepat proses marginalisasi dan rasa keterasingan yang
mendalam. Perlu ditinggalkan sikap, bahwa semua gagasan dan keputusan politik dikuasai
oleh hegemoni elite. Mengapa? Tujuannya agar masyarakat mendapat ruang untuk
menyatakan diri dan menjadi dirinya sendiri.
Memberi
ruang publik berarti mengafirmasi persoalan kebutuhan pokok yang dihadapi
rakyat banyak, terutama masalah kelangkaan lapangan kerja yang dialami oleh
lebih dari 65 juta penduduk. Kondisi obyektif perekonomian sebaiknya tidak
dilepaskan dari konteks dan ranah percaturan dan kebijakan elite kekuasaan.
Rekonstruksi
makna kebangsaan bagi kebanyakan rakyat sekarang ialah menjadi orang Indonesia
berarti memperoleh pekerjaan, bisa menyekolahkan anak, dan kalau sakit bisa
berobat. Kearifan lokal, dalam konteks pemberdayaan rakyat, mendesak pula
didekati tidak lagi sebagai sudah kuno dan perlu ditinggalkan, melainkan
diafirmasi sebagai keunggulan.
Partnership
pemerintah dan masyarakat warga, terutama dunia usaha, merupakan keharusan,
yang bisa terjadi apabila ada hubungan kesetaraan. Disiplin menjadi syarat
tambahan, yang tidak prima di tingkat rencana dan program kerja, tetapi dalam
implementasi dan pelaksanaan.
”Berikan
kepercayaan kepada rakyat”, mengandaikan sosok kepemimpinan (leadership), yang
tidak hanya pemimpi-pemimpi dan pembimbang-pembimbang, tetapi mereka bisa
menempatkan diri sebagai konduktor orkestra yang namanya INDONESIA; yang tidak
hanya mencari dan menemukan kambing hitam, tetapi yang mampu menangkap
keunggulan-keunggulan sebagai nilai tambah yang diberi wadah dan suasana yang
kondusif; yang tegas mengonduktori musisi memainkan ”instrumen” masing-masing
tepat waktu dan tepat sasaran.
Siapa
pemimpin-pemimpin masa depan?
Merekalah,
di antaranya manusia-manusia unggul Indonesia, yang tidak hanya unggul otak dan
terampil, tetapi juga unggul dalam komitmen, tabiat perilaku, dan punya hati
terhadap rakyat!
Tue Aug 01, 2023 9:56 pm by wisatasemarang
» Portable STATA 18 Crack Full Version
Thu May 11, 2023 5:24 pm by wisatasemarang
» NVivo 12 Crack Full version
Mon Jan 30, 2023 11:16 am by wisatasemarang
» Tutorial Difference In difference (DID (Diff-in-Diff) With Eviews 13
Thu Nov 03, 2022 6:24 am by wisatasemarang
» Online Workshop Smart PLS Minggu, 01 Oktober 2022
Sat Sep 17, 2022 11:35 am by wisatasemarang
» kumpulan ebook tentang robot
Fri Jan 02, 2015 10:04 pm by kyuru
» MANTRA PELET
Wed May 16, 2012 3:31 am by orlandojack
» book love of spell
Sat Mar 24, 2012 8:08 pm by rifqi as
» attraction Formula
Sat Mar 24, 2012 7:09 pm by rifqi as