Jangan Main-Main
dengan Perempuan!
Cerpen
Lan Fang
Malam ini aku sungguh terkejut ketika melihat perempuanku berdiri di depanku.
Ia bebas!
"Apa yang kau tulis? Apa kau menulis tentang perempuan lagi?"
mendadak saja ia sudah mendelik di depanku.
"Kenapa?" tanyaku acuh tak acuh dengan rasa tidak senang.
Menurutku apa yang akan aku tulis adalah urusanku sendiri. Karena apa yang akan
aku tuangkan dalam kata-kata adalah apa yang ada di dalam otak dan kepalaku!
Jadi bukan wewenang perempuanku untuk melakukan intervensi terhadap apa yang
akan aku tulis.
Jujur saja, aku tidak suka dengan kehadirannya di saat aku menulis. Ia selalu
mengusikku dengan segala kenyinyirannya sehingga apa yang aku tulis tidak murni
dari jari-jemariku sendiri.
Karena ketidaksukaanku itulah, maka ia kupasung selama lima tahun!
Lima tahun yang lalu, bibirnya yang indah kujahit, gigi geliginya kucabut, dan
lidahnya kupotong. Lalu bibirnya yang indah itu, gigi geliginya, dan lidahnya,
kusimpan di dalam toples yang berisi air keras. Kuawetkan di dalam toples itu!
Tidak hanya itu! Kalau boleh aku meminjam istilah Agatha Christie ketika menggambarkan
otak Hercule Poirot adalah "sel-sel kelabu"-nya dan semangatnya
kukunci di dalam gudang gelap. Dan rongga matanya yang kerap kali mengeluarkan
butir-butir air mata, aku cungkili lalu kubekukan di dalam frezer.
Sehingga dalam lima tahun terakhir ini, perempuanku tidak bisa berkata-kata,
tidak mempunyai semangat karena sel-sel kelabu di kepalanya tidak berjalan
normal, dan tidak bisa mengeluarkan air mata sama sekali! Ia benar-benar
seperti robot. Ia tertawa tetapi tidak bisa menyeringai. Ia menangis tetapi
tanpa air mata. Ia tubuh tanpa jiwa. Ia bergerak hanya berdasarkan perintahku
ketika aku membutuhkannya untuk menyiapkan segelas kopi untukku. Seluruh roda
hidupnya kubuat jalan di tempat.
Setiap hari perempuanku sibuk dengan dirinya sendiri. Ia sibuk mencari mulut
yang memuat lidah, bibir, dan giginya, juga memunguti kristal-kristal air
matanya di dalam frezer, atau merenda sel-sel kelabu di dalam kepalanya dan
menyulam semangatnya yang hilang.
"Apa kau menulis tentang perempuan lagi?" suara perempuanku
mengelegar kali ini.
Aku tengadah karena terkejut. Jari-jemariku berhenti menari di atas keyboard
tuts-tuts laptopku. Dan aku terperanjat tidak kepalang tanggung ketika aku
menyadari perempuanku berdiri di depanku dengan begitu perkasa! Jahitan di
bibirnya sudah rentas. Gigi geliginya sudah menjadi taring semua.
Dan…lidahnya berapi!
Astaga!
Aku larikan pandanganku ke toples berisi air keras di mana aku mengawetkan
organ-organ mulut perempuanku. Semua masih lengkap di dalam toples itu…
"Bah! Kau kira kau bisa memasung mulutku untuk selamanya?" Ia
bertanya dengan ketus.
Aku berlari ke gudang gelap di mana aku menyekap sel-sel kelabu otak dan
semangatnya. Semua masih ada di tempatnya.
"Kau pikir aku tidak bisa mendapatkan sel-sel kelabu dan semangat
baru?" Ia bertanya dengan nada mencemooh.
Aku berlari lagi membuka frezer. Kulihat butir-butir air matanya yang membeku
masih menjadi stalagnit dan stalagtit di sana. Tidak ada yang berubah.
"Kau mau aku tidak bisa tertawa dan menangis untuk selamanya kan? Kau kira
semudah itu?" Suaranya terdengar sampai di tempat aku berdiri.
"Lalu apa maumu?" kudengar nada suaraku setengah putus asa.
Aku berjalan gontai dengan bahu lesu kembali ke tempat dudukku. Aku merasa
seperti ada sebuah bahaya laten yang mengancamku. Naluriku mengatakan bahwa
perempuanku sekarang lebih berbahaya dibanding lima tahun lalu.
"Jangan main-main dengan perempuan!!!" jawabnya cepat dan tegas.
"Apa?!"
"Jangan main-main dengan perempuan!!!" Ia mengulangi kalimatnya.
"Aku tidak mengerti apa maksudmu..."
"Baik. Sekarang giliranmu untuk duduk dan mendengarkan kata-kataku. Tutup
laptopmu. Karena aku muak dengan semua tulisanmu yang gentayangan di dunia
perempuan. Sekarang aku ingin kamu menulis tentang laki-laki!" perintahnya
seperti seorang juragan.
Nah…nah…nah…, inilah salah satu alasan kenapa aku memasungnya lima tahun
lalu. Ia benar-benar seperti seorang juragan, seorang boss, seorang atasan,
seorang direktur, kalau sudah mengeluarkan kata-kata. Ia perempuan yang bisa
membuat kebanyakan orang mengiyakan semua kata-katanya.
Tetapi, tidak aku!
Justru aku adalah orang yang membuatnya mati dari kata-kata. Memasungnya mati
dari emosi. Membuatnya tidak peduli dengan dunia sekitarnya. Kusibukkan ia
dengan mencari mulut, sel-sel kelabu, semangat, dan air matanya.
Perempuanku mengambil posisi duduk di depanku. Ia pandangi aku dengan matanya
yang berapi. Lalu mulai bicara lagi dengan lidahnya yang berapi pula.
"Aku ingin kamu menulis tentang laki-laki!" Ia mengulangi kata-katanya.
"Aku tidak bisa..."
"Harus bisa!" potongnya cepat. "Sudah terlalu banyak dan sudah
terlalu lama perempuan dipermainkan dari segala segi. Coba kamu lihat semua
iklan di televisi, mulai makanan, sabun, elektronik, pakaian dalam, obat datang
bulan sampai obat panu kadas dan kurap, semua memakai perempuan," ia mulai
nyerocos dengan intonasi suara yang semakin lama semakin tinggi.
"Itu namanya perempuan mempunyai nilai jual karena indah dan
menarik."
"Bah! Perempuan mempunyai nilai jual? Apa maksudnya perempuan itu menarik?
Lalu dengan alasan menarik itu kalian, kaum laki-laki, dengan seenaknya saja
mempelajari dan membedah perempuan bukan saja secara visual tetapi juga secara
riil. Dokter-dokter kandungan mengobok-obok perempuan mulai dari labia mayora,
labia minora, saluran falopii, uterus, bahkan menjadikannya kelinci percobaan
untuk proses inseminasi, bayi tabung, bahkan mungkin program cloning di
kemudian hari, dengan alasan kemajuan ilmu kedokteran."
"Itu namanya kodrat. Karena itu perempuan berharga..."
"Apa katamu?" Ia seperti harimau meradang.
Matanya semakin berapi. Lidahnya semakin membara.
"Perempuan berharga?! Kalau perempuan berharga kenapa undang-undang
perkawinan hanya mengatur tentang poligami? Kenapa tidak mengatur tentang
poliandri? Kenapa kalau perempuan tidak bisa memberikan keturunan bisa
menjadikan alasan bagi laki-laki untuk kawin lagi? Bagaimana dengan laki-laki
yang impoten, azospermia, ejakulasi dini, atau apa saja namanya..., bisakah
dijadikan alasan buat perempuan kawin lagi? Di mana hukum perkawinan kita
menempatkan bahwa perempuan itu berharga?"
"Ah…kau lebih baik menjadi aktivis perempuan dan ikut demo di bundaran
Hotel Indonesia saja sambil membawa spanduk besar-besar membela hak asasi
perempuan," aku mulai kalah omong.
Nah…nah…nah…, wajar kan kalau perempuanku kupasung lima tahun lalu?
Memang semua yang dikatakannya benar dan masuk akal. Tetapi juga benar-benar
membuat posisi laki-laki berbahaya.
"Kalian, kaum laki-laki, masih belum cukup puas dengan itu. Semua wartawan
koran masih saja menulis tentang perempuan yang diperkosa dengan visum et
repertum vagina sobek dan selaput dara rusak, lalu dibunuh, dipotong-potong dan
dibuang. Kenapa tidak pernah ada berita seperti ini...hm..." Ia kelihatan
berpikir sejenak. "Begini...: Telah ditemukan mayat seorang laki-laki di
atas tempat tidur dalam keadaan telanjang dengan bagian-bagian tubuh
terpotong-potong, kepala lepas dari tubuhnya, dan menggigit penis yang
dijahitkan ke mulutnya sendiri. Bagaimana?"
Huek!
Tetapi perempuanku justru tertawa terkekeh-kekeh sampai air matanya meleleh.
Setelah lima tahun, baru kali ini aku melihat matanya mengeluarkan air mata
lagi, bibirnya menyeringai tertawa, dan ada nada suara yang keluar dari labirin
tenggorokannya.
Aku tidak tahu apa makna tertawanya. Ia sukakah? Gelikah? Getirkah? Atau
mungkin aku terlalu lama memasung perempuanku sehingga aku sendiri tidak
mengenal makna tertawanya dan tidak bisa membaca arti air matanya? Aku tidak
kenal dengan perempuanku sendirikah?
Sehabis tertawanya yang cukup lama, ia menarik nafas panjang. Mengambil
sebatang rokokku di atas meja, menyulutnya dengan lidahnya yang berapi. Ia
memang tidak memerlukan korek api lagi karena lidahnya sudah berapi.
"Sekarang, kalian yang mengaku penulis, juga beramai-ramai menulis tentang
perempuan. Kalian telanjangi perempuan di atas kertas sampai tidak ada ruang
untuk sembunyi lagi untuk perempuan. Kalian geluti dan perkosa perempuan
beramai-ramai dari visualnya, haknya, organnya, emosinya, air matanya, juga
kelaminnya!"
"Ng… karena perempuan menarik. Ia marah menarik, ia tertawa menarik, ia
menangis juga menarik, ia telanjang…apalagi. Menarik sekali!"
"Ya, kalian telanjangi perempuan habis-habisan."
"Karena menelanjangi perempuan itu nikmat."
"Kenapa tidak menelanjangi pemikirannya, ide-idenya, semangatnya,
kekuatannya, atau telanjangi penderitaan dan rasa sakitnya?" kata-katanya
seperti peluru keluar dari moncong senapan.
Sementara itu asap rokoknya mengepul sambung-menyambung seperti asap lokomotif
kereta api.
Aku terdiam.
"Atau... karena kalian cuma main-main dengan perempuan..." Ia menutup
kata-kata dengan nada sumbang.
Mungkin ya.
Mungkin?
Ya. Mungkin.
Perempuan memang obyek yang menarik untuk dijadikan mainan kata-kata, mainan
imajinasi, mainan emosi, juga mainan inspirasi. Tetapi jika ternyata
"permainan" dengan perempuan itu akhirnya menimbulkan ketimpangan dan
ketidakadilan seperti yang dirasakan oleh perempuanku, aku masih tidak tahu
harus meletakkan masalahnya di mana.
Apakah memang perempuan adalah obyek lemah yang mudah dipakai sebagai mainan?
Atau memang perempuan justru obyek kuat yang menikmati dirinya ketika
dipergunakan sebagai mainan? Apakah perempuan memang begitu menarik dan
berharga dari segala segi sehingga menjadi komsumsi pasar, teknologi, sampai
kepada para pujangga dan seniman? Atau sebaliknya, perempuan justru sangat
rendah sehingga tidak mempunyai persamaan hak di dalam hukum dan seks?
Tetapi bagaimanapun perempuan, apakah ia kuat atau lemah, apakah ia berharga
atau rendah, ternyata ia tetap menjadi "obyek". Karena begitu ia
ingin mengganti posisinya menjadi "subyek", maka seperti aku, kaum
laki-laki akan memasungnya. Karena sebagaimana yang kupikirkan, jika perempuan
menjadi "subyek" maka ia akan membahayakan posisi laki-laki.
Karena ia adalah mahluk lemah sekaligus kuat, ia direndahkan tetapi dibutuhkan,
ia tidak berarti apa-apa tetapi sangat berharga!
Tengah aku masih sibuk dengan debat kusirku sendiri, perempuanku mendekat dan
berkata, "aku ingin bercinta denganmu malam ini…"
Ia hembuskan sebuah udara dari mulutnya yang merupakan campuran dari nafasnya
yang wangi dan kepulan asap rokok. Begitu seksi dan menggoda. Tetapi aku lebih
merasakan itu sebagai sebuah perintah daripada sebuah permintaan.
Aku gemetar.
"Tidak, aku tidak berani main-main dengan perempuan..." ***
Surabaya, Maret 2004
dengan Perempuan!
Cerpen
Lan Fang
Malam ini aku sungguh terkejut ketika melihat perempuanku berdiri di depanku.
Ia bebas!
"Apa yang kau tulis? Apa kau menulis tentang perempuan lagi?"
mendadak saja ia sudah mendelik di depanku.
"Kenapa?" tanyaku acuh tak acuh dengan rasa tidak senang.
Menurutku apa yang akan aku tulis adalah urusanku sendiri. Karena apa yang akan
aku tuangkan dalam kata-kata adalah apa yang ada di dalam otak dan kepalaku!
Jadi bukan wewenang perempuanku untuk melakukan intervensi terhadap apa yang
akan aku tulis.
Jujur saja, aku tidak suka dengan kehadirannya di saat aku menulis. Ia selalu
mengusikku dengan segala kenyinyirannya sehingga apa yang aku tulis tidak murni
dari jari-jemariku sendiri.
Karena ketidaksukaanku itulah, maka ia kupasung selama lima tahun!
Lima tahun yang lalu, bibirnya yang indah kujahit, gigi geliginya kucabut, dan
lidahnya kupotong. Lalu bibirnya yang indah itu, gigi geliginya, dan lidahnya,
kusimpan di dalam toples yang berisi air keras. Kuawetkan di dalam toples itu!
Tidak hanya itu! Kalau boleh aku meminjam istilah Agatha Christie ketika menggambarkan
otak Hercule Poirot adalah "sel-sel kelabu"-nya dan semangatnya
kukunci di dalam gudang gelap. Dan rongga matanya yang kerap kali mengeluarkan
butir-butir air mata, aku cungkili lalu kubekukan di dalam frezer.
Sehingga dalam lima tahun terakhir ini, perempuanku tidak bisa berkata-kata,
tidak mempunyai semangat karena sel-sel kelabu di kepalanya tidak berjalan
normal, dan tidak bisa mengeluarkan air mata sama sekali! Ia benar-benar
seperti robot. Ia tertawa tetapi tidak bisa menyeringai. Ia menangis tetapi
tanpa air mata. Ia tubuh tanpa jiwa. Ia bergerak hanya berdasarkan perintahku
ketika aku membutuhkannya untuk menyiapkan segelas kopi untukku. Seluruh roda
hidupnya kubuat jalan di tempat.
Setiap hari perempuanku sibuk dengan dirinya sendiri. Ia sibuk mencari mulut
yang memuat lidah, bibir, dan giginya, juga memunguti kristal-kristal air
matanya di dalam frezer, atau merenda sel-sel kelabu di dalam kepalanya dan
menyulam semangatnya yang hilang.
"Apa kau menulis tentang perempuan lagi?" suara perempuanku
mengelegar kali ini.
Aku tengadah karena terkejut. Jari-jemariku berhenti menari di atas keyboard
tuts-tuts laptopku. Dan aku terperanjat tidak kepalang tanggung ketika aku
menyadari perempuanku berdiri di depanku dengan begitu perkasa! Jahitan di
bibirnya sudah rentas. Gigi geliginya sudah menjadi taring semua.
Dan…lidahnya berapi!
Astaga!
Aku larikan pandanganku ke toples berisi air keras di mana aku mengawetkan
organ-organ mulut perempuanku. Semua masih lengkap di dalam toples itu…
"Bah! Kau kira kau bisa memasung mulutku untuk selamanya?" Ia
bertanya dengan ketus.
Aku berlari ke gudang gelap di mana aku menyekap sel-sel kelabu otak dan
semangatnya. Semua masih ada di tempatnya.
"Kau pikir aku tidak bisa mendapatkan sel-sel kelabu dan semangat
baru?" Ia bertanya dengan nada mencemooh.
Aku berlari lagi membuka frezer. Kulihat butir-butir air matanya yang membeku
masih menjadi stalagnit dan stalagtit di sana. Tidak ada yang berubah.
"Kau mau aku tidak bisa tertawa dan menangis untuk selamanya kan? Kau kira
semudah itu?" Suaranya terdengar sampai di tempat aku berdiri.
"Lalu apa maumu?" kudengar nada suaraku setengah putus asa.
Aku berjalan gontai dengan bahu lesu kembali ke tempat dudukku. Aku merasa
seperti ada sebuah bahaya laten yang mengancamku. Naluriku mengatakan bahwa
perempuanku sekarang lebih berbahaya dibanding lima tahun lalu.
"Jangan main-main dengan perempuan!!!" jawabnya cepat dan tegas.
"Apa?!"
"Jangan main-main dengan perempuan!!!" Ia mengulangi kalimatnya.
"Aku tidak mengerti apa maksudmu..."
"Baik. Sekarang giliranmu untuk duduk dan mendengarkan kata-kataku. Tutup
laptopmu. Karena aku muak dengan semua tulisanmu yang gentayangan di dunia
perempuan. Sekarang aku ingin kamu menulis tentang laki-laki!" perintahnya
seperti seorang juragan.
Nah…nah…nah…, inilah salah satu alasan kenapa aku memasungnya lima tahun
lalu. Ia benar-benar seperti seorang juragan, seorang boss, seorang atasan,
seorang direktur, kalau sudah mengeluarkan kata-kata. Ia perempuan yang bisa
membuat kebanyakan orang mengiyakan semua kata-katanya.
Tetapi, tidak aku!
Justru aku adalah orang yang membuatnya mati dari kata-kata. Memasungnya mati
dari emosi. Membuatnya tidak peduli dengan dunia sekitarnya. Kusibukkan ia
dengan mencari mulut, sel-sel kelabu, semangat, dan air matanya.
Perempuanku mengambil posisi duduk di depanku. Ia pandangi aku dengan matanya
yang berapi. Lalu mulai bicara lagi dengan lidahnya yang berapi pula.
"Aku ingin kamu menulis tentang laki-laki!" Ia mengulangi kata-katanya.
"Aku tidak bisa..."
"Harus bisa!" potongnya cepat. "Sudah terlalu banyak dan sudah
terlalu lama perempuan dipermainkan dari segala segi. Coba kamu lihat semua
iklan di televisi, mulai makanan, sabun, elektronik, pakaian dalam, obat datang
bulan sampai obat panu kadas dan kurap, semua memakai perempuan," ia mulai
nyerocos dengan intonasi suara yang semakin lama semakin tinggi.
"Itu namanya perempuan mempunyai nilai jual karena indah dan
menarik."
"Bah! Perempuan mempunyai nilai jual? Apa maksudnya perempuan itu menarik?
Lalu dengan alasan menarik itu kalian, kaum laki-laki, dengan seenaknya saja
mempelajari dan membedah perempuan bukan saja secara visual tetapi juga secara
riil. Dokter-dokter kandungan mengobok-obok perempuan mulai dari labia mayora,
labia minora, saluran falopii, uterus, bahkan menjadikannya kelinci percobaan
untuk proses inseminasi, bayi tabung, bahkan mungkin program cloning di
kemudian hari, dengan alasan kemajuan ilmu kedokteran."
"Itu namanya kodrat. Karena itu perempuan berharga..."
"Apa katamu?" Ia seperti harimau meradang.
Matanya semakin berapi. Lidahnya semakin membara.
"Perempuan berharga?! Kalau perempuan berharga kenapa undang-undang
perkawinan hanya mengatur tentang poligami? Kenapa tidak mengatur tentang
poliandri? Kenapa kalau perempuan tidak bisa memberikan keturunan bisa
menjadikan alasan bagi laki-laki untuk kawin lagi? Bagaimana dengan laki-laki
yang impoten, azospermia, ejakulasi dini, atau apa saja namanya..., bisakah
dijadikan alasan buat perempuan kawin lagi? Di mana hukum perkawinan kita
menempatkan bahwa perempuan itu berharga?"
"Ah…kau lebih baik menjadi aktivis perempuan dan ikut demo di bundaran
Hotel Indonesia saja sambil membawa spanduk besar-besar membela hak asasi
perempuan," aku mulai kalah omong.
Nah…nah…nah…, wajar kan kalau perempuanku kupasung lima tahun lalu?
Memang semua yang dikatakannya benar dan masuk akal. Tetapi juga benar-benar
membuat posisi laki-laki berbahaya.
"Kalian, kaum laki-laki, masih belum cukup puas dengan itu. Semua wartawan
koran masih saja menulis tentang perempuan yang diperkosa dengan visum et
repertum vagina sobek dan selaput dara rusak, lalu dibunuh, dipotong-potong dan
dibuang. Kenapa tidak pernah ada berita seperti ini...hm..." Ia kelihatan
berpikir sejenak. "Begini...: Telah ditemukan mayat seorang laki-laki di
atas tempat tidur dalam keadaan telanjang dengan bagian-bagian tubuh
terpotong-potong, kepala lepas dari tubuhnya, dan menggigit penis yang
dijahitkan ke mulutnya sendiri. Bagaimana?"
Huek!
Tetapi perempuanku justru tertawa terkekeh-kekeh sampai air matanya meleleh.
Setelah lima tahun, baru kali ini aku melihat matanya mengeluarkan air mata
lagi, bibirnya menyeringai tertawa, dan ada nada suara yang keluar dari labirin
tenggorokannya.
Aku tidak tahu apa makna tertawanya. Ia sukakah? Gelikah? Getirkah? Atau
mungkin aku terlalu lama memasung perempuanku sehingga aku sendiri tidak
mengenal makna tertawanya dan tidak bisa membaca arti air matanya? Aku tidak
kenal dengan perempuanku sendirikah?
Sehabis tertawanya yang cukup lama, ia menarik nafas panjang. Mengambil
sebatang rokokku di atas meja, menyulutnya dengan lidahnya yang berapi. Ia
memang tidak memerlukan korek api lagi karena lidahnya sudah berapi.
"Sekarang, kalian yang mengaku penulis, juga beramai-ramai menulis tentang
perempuan. Kalian telanjangi perempuan di atas kertas sampai tidak ada ruang
untuk sembunyi lagi untuk perempuan. Kalian geluti dan perkosa perempuan
beramai-ramai dari visualnya, haknya, organnya, emosinya, air matanya, juga
kelaminnya!"
"Ng… karena perempuan menarik. Ia marah menarik, ia tertawa menarik, ia
menangis juga menarik, ia telanjang…apalagi. Menarik sekali!"
"Ya, kalian telanjangi perempuan habis-habisan."
"Karena menelanjangi perempuan itu nikmat."
"Kenapa tidak menelanjangi pemikirannya, ide-idenya, semangatnya,
kekuatannya, atau telanjangi penderitaan dan rasa sakitnya?" kata-katanya
seperti peluru keluar dari moncong senapan.
Sementara itu asap rokoknya mengepul sambung-menyambung seperti asap lokomotif
kereta api.
Aku terdiam.
"Atau... karena kalian cuma main-main dengan perempuan..." Ia menutup
kata-kata dengan nada sumbang.
Mungkin ya.
Mungkin?
Ya. Mungkin.
Perempuan memang obyek yang menarik untuk dijadikan mainan kata-kata, mainan
imajinasi, mainan emosi, juga mainan inspirasi. Tetapi jika ternyata
"permainan" dengan perempuan itu akhirnya menimbulkan ketimpangan dan
ketidakadilan seperti yang dirasakan oleh perempuanku, aku masih tidak tahu
harus meletakkan masalahnya di mana.
Apakah memang perempuan adalah obyek lemah yang mudah dipakai sebagai mainan?
Atau memang perempuan justru obyek kuat yang menikmati dirinya ketika
dipergunakan sebagai mainan? Apakah perempuan memang begitu menarik dan
berharga dari segala segi sehingga menjadi komsumsi pasar, teknologi, sampai
kepada para pujangga dan seniman? Atau sebaliknya, perempuan justru sangat
rendah sehingga tidak mempunyai persamaan hak di dalam hukum dan seks?
Tetapi bagaimanapun perempuan, apakah ia kuat atau lemah, apakah ia berharga
atau rendah, ternyata ia tetap menjadi "obyek". Karena begitu ia
ingin mengganti posisinya menjadi "subyek", maka seperti aku, kaum
laki-laki akan memasungnya. Karena sebagaimana yang kupikirkan, jika perempuan
menjadi "subyek" maka ia akan membahayakan posisi laki-laki.
Karena ia adalah mahluk lemah sekaligus kuat, ia direndahkan tetapi dibutuhkan,
ia tidak berarti apa-apa tetapi sangat berharga!
Tengah aku masih sibuk dengan debat kusirku sendiri, perempuanku mendekat dan
berkata, "aku ingin bercinta denganmu malam ini…"
Ia hembuskan sebuah udara dari mulutnya yang merupakan campuran dari nafasnya
yang wangi dan kepulan asap rokok. Begitu seksi dan menggoda. Tetapi aku lebih
merasakan itu sebagai sebuah perintah daripada sebuah permintaan.
Aku gemetar.
"Tidak, aku tidak berani main-main dengan perempuan..." ***
Surabaya, Maret 2004
Tue Aug 01, 2023 9:56 pm by wisatasemarang
» Portable STATA 18 Crack Full Version
Thu May 11, 2023 5:24 pm by wisatasemarang
» NVivo 12 Crack Full version
Mon Jan 30, 2023 11:16 am by wisatasemarang
» Tutorial Difference In difference (DID (Diff-in-Diff) With Eviews 13
Thu Nov 03, 2022 6:24 am by wisatasemarang
» Online Workshop Smart PLS Minggu, 01 Oktober 2022
Sat Sep 17, 2022 11:35 am by wisatasemarang
» kumpulan ebook tentang robot
Fri Jan 02, 2015 10:04 pm by kyuru
» MANTRA PELET
Wed May 16, 2012 3:31 am by orlandojack
» book love of spell
Sat Mar 24, 2012 8:08 pm by rifqi as
» attraction Formula
Sat Mar 24, 2012 7:09 pm by rifqi as