Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

ingin bergabung dengan elrakyat.tk klik pendaftaran. jika anda sudah pernah mendaftar silakan login. jangan lupa ajak kawan-kawanmu ke mari , dan jadilah top poster di forum kita

Join the forum, it's quick and easy

Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

ingin bergabung dengan elrakyat.tk klik pendaftaran. jika anda sudah pernah mendaftar silakan login. jangan lupa ajak kawan-kawanmu ke mari , dan jadilah top poster di forum kita

Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

Would you like to react to this message? Create an account in a few clicks or log in to continue.
Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

salah satu forum terbesar tempat kita bernostalgia

Login

Lupa password?

Our traffic

info rakyat

Sun Oct 31, 2010 9:05 pm by admin

---------------
PEMBERITAHUAN....

SF ZONA RELIGI SEKARANG KAMI PINDAH KE [You must be registered and logged in to see this link.] ANDA BISA BERPARTISIPASI DAN MENJADI MODERATOR SESUAI PERMINTAAN ANDA DENGAN REQUEST VIA SMS NO ADMIN 081945520865


Sekilas Info

Sun Jun 27, 2010 2:44 pm by admin

kabar gembira, forum lentera-rakyat mulai hari ini juga bisa diakses melalui [You must be registered and logged in to see this link.]


    jangan main-main dengan perempuan

    admin
    admin
    Admin
    Admin


    Zodiac : Virgo Jumlah posting : 688
    Join date : 19.03.10
    Age : 37
    Lokasi : Malang-Indonesia

    jangan main-main dengan perempuan Empty jangan main-main dengan perempuan

    Post by admin Tue Jun 15, 2010 12:43 pm

    Jangan Main-Main
    dengan Perempuan!








    Cerpen
    Lan Fang


    Malam ini aku sungguh terkejut ketika melihat perempuanku berdiri di depanku.
    Ia bebas!
    "Apa yang kau tulis? Apa kau menulis tentang perempuan lagi?"
    mendadak saja ia sudah mendelik di depanku.
    "Kenapa?" tanyaku acuh tak acuh dengan rasa tidak senang.

    Menurutku apa yang akan aku tulis adalah urusanku sendiri. Karena apa yang akan
    aku tuangkan dalam kata-kata adalah apa yang ada di dalam otak dan kepalaku!
    Jadi bukan wewenang perempuanku untuk melakukan intervensi terhadap apa yang
    akan aku tulis.

    Jujur saja, aku tidak suka dengan kehadirannya di saat aku menulis. Ia selalu
    mengusikku dengan segala kenyinyirannya sehingga apa yang aku tulis tidak murni
    dari jari-jemariku sendiri.

    Karena ketidaksukaanku itulah, maka ia kupasung selama lima tahun!
    Lima tahun yang lalu, bibirnya yang indah kujahit, gigi geliginya kucabut, dan
    lidahnya kupotong. Lalu bibirnya yang indah itu, gigi geliginya, dan lidahnya,
    kusimpan di dalam toples yang berisi air keras. Kuawetkan di dalam toples itu!
    Tidak hanya itu! Kalau boleh aku meminjam istilah Agatha Christie ketika menggambarkan
    otak Hercule Poirot adalah "sel-sel kelabu"-nya dan semangatnya
    kukunci di dalam gudang gelap. Dan rongga matanya yang kerap kali mengeluarkan
    butir-butir air mata, aku cungkili lalu kubekukan di dalam frezer.

    Sehingga dalam lima tahun terakhir ini, perempuanku tidak bisa berkata-kata,
    tidak mempunyai semangat karena sel-sel kelabu di kepalanya tidak berjalan
    normal, dan tidak bisa mengeluarkan air mata sama sekali! Ia benar-benar
    seperti robot. Ia tertawa tetapi tidak bisa menyeringai. Ia menangis tetapi
    tanpa air mata. Ia tubuh tanpa jiwa. Ia bergerak hanya berdasarkan perintahku
    ketika aku membutuhkannya untuk menyiapkan segelas kopi untukku. Seluruh roda
    hidupnya kubuat jalan di tempat.

    Setiap hari perempuanku sibuk dengan dirinya sendiri. Ia sibuk mencari mulut
    yang memuat lidah, bibir, dan giginya, juga memunguti kristal-kristal air
    matanya di dalam frezer, atau merenda sel-sel kelabu di dalam kepalanya dan
    menyulam semangatnya yang hilang.

    "Apa kau menulis tentang perempuan lagi?" suara perempuanku
    mengelegar kali ini.
    Aku tengadah karena terkejut. Jari-jemariku berhenti menari di atas keyboard
    tuts-tuts laptopku. Dan aku terperanjat tidak kepalang tanggung ketika aku
    menyadari perempuanku berdiri di depanku dengan begitu perkasa! Jahitan di
    bibirnya sudah rentas. Gigi geliginya sudah menjadi taring semua.
    Dan…lidahnya berapi!

    Astaga!
    Aku larikan pandanganku ke toples berisi air keras di mana aku mengawetkan
    organ-organ mulut perempuanku. Semua masih lengkap di dalam toples itu…

    "Bah! Kau kira kau bisa memasung mulutku untuk selamanya?" Ia
    bertanya dengan ketus.
    Aku berlari ke gudang gelap di mana aku menyekap sel-sel kelabu otak dan
    semangatnya. Semua masih ada di tempatnya.

    "Kau pikir aku tidak bisa mendapatkan sel-sel kelabu dan semangat
    baru?" Ia bertanya dengan nada mencemooh.
    Aku berlari lagi membuka frezer. Kulihat butir-butir air matanya yang membeku
    masih menjadi stalagnit dan stalagtit di sana. Tidak ada yang berubah.

    "Kau mau aku tidak bisa tertawa dan menangis untuk selamanya kan? Kau kira
    semudah itu?" Suaranya terdengar sampai di tempat aku berdiri.
    "Lalu apa maumu?" kudengar nada suaraku setengah putus asa.

    Aku berjalan gontai dengan bahu lesu kembali ke tempat dudukku. Aku merasa
    seperti ada sebuah bahaya laten yang mengancamku. Naluriku mengatakan bahwa
    perempuanku sekarang lebih berbahaya dibanding lima tahun lalu.

    "Jangan main-main dengan perempuan!!!" jawabnya cepat dan tegas.
    "Apa?!"

    "Jangan main-main dengan perempuan!!!" Ia mengulangi kalimatnya.
    "Aku tidak mengerti apa maksudmu..."

    "Baik. Sekarang giliranmu untuk duduk dan mendengarkan kata-kataku. Tutup
    laptopmu. Karena aku muak dengan semua tulisanmu yang gentayangan di dunia
    perempuan. Sekarang aku ingin kamu menulis tentang laki-laki!" perintahnya
    seperti seorang juragan.

    Nah…nah…nah…, inilah salah satu alasan kenapa aku memasungnya lima tahun
    lalu. Ia benar-benar seperti seorang juragan, seorang boss, seorang atasan,
    seorang direktur, kalau sudah mengeluarkan kata-kata. Ia perempuan yang bisa
    membuat kebanyakan orang mengiyakan semua kata-katanya.

    Tetapi, tidak aku!
    Justru aku adalah orang yang membuatnya mati dari kata-kata. Memasungnya mati
    dari emosi. Membuatnya tidak peduli dengan dunia sekitarnya. Kusibukkan ia
    dengan mencari mulut, sel-sel kelabu, semangat, dan air matanya.

    Perempuanku mengambil posisi duduk di depanku. Ia pandangi aku dengan matanya
    yang berapi. Lalu mulai bicara lagi dengan lidahnya yang berapi pula.

    "Aku ingin kamu menulis tentang laki-laki!" Ia mengulangi kata-katanya.
    "Aku tidak bisa..."

    "Harus bisa!" potongnya cepat. "Sudah terlalu banyak dan sudah
    terlalu lama perempuan dipermainkan dari segala segi. Coba kamu lihat semua
    iklan di televisi, mulai makanan, sabun, elektronik, pakaian dalam, obat datang
    bulan sampai obat panu kadas dan kurap, semua memakai perempuan," ia mulai
    nyerocos dengan intonasi suara yang semakin lama semakin tinggi.

    "Itu namanya perempuan mempunyai nilai jual karena indah dan
    menarik."
    "Bah! Perempuan mempunyai nilai jual? Apa maksudnya perempuan itu menarik?
    Lalu dengan alasan menarik itu kalian, kaum laki-laki, dengan seenaknya saja
    mempelajari dan membedah perempuan bukan saja secara visual tetapi juga secara
    riil. Dokter-dokter kandungan mengobok-obok perempuan mulai dari labia mayora,
    labia minora, saluran falopii, uterus, bahkan menjadikannya kelinci percobaan
    untuk proses inseminasi, bayi tabung, bahkan mungkin program cloning di
    kemudian hari, dengan alasan kemajuan ilmu kedokteran."

    "Itu namanya kodrat. Karena itu perempuan berharga..."
    "Apa katamu?" Ia seperti harimau meradang.
    Matanya semakin berapi. Lidahnya semakin membara.

    "Perempuan berharga?! Kalau perempuan berharga kenapa undang-undang
    perkawinan hanya mengatur tentang poligami? Kenapa tidak mengatur tentang
    poliandri? Kenapa kalau perempuan tidak bisa memberikan keturunan bisa
    menjadikan alasan bagi laki-laki untuk kawin lagi? Bagaimana dengan laki-laki
    yang impoten, azospermia, ejakulasi dini, atau apa saja namanya..., bisakah
    dijadikan alasan buat perempuan kawin lagi? Di mana hukum perkawinan kita
    menempatkan bahwa perempuan itu berharga?"

    "Ah…kau lebih baik menjadi aktivis perempuan dan ikut demo di bundaran
    Hotel Indonesia saja sambil membawa spanduk besar-besar membela hak asasi
    perempuan," aku mulai kalah omong.

    Nah…nah…nah…, wajar kan kalau perempuanku kupasung lima tahun lalu?
    Memang semua yang dikatakannya benar dan masuk akal. Tetapi juga benar-benar
    membuat posisi laki-laki berbahaya.

    "Kalian, kaum laki-laki, masih belum cukup puas dengan itu. Semua wartawan
    koran masih saja menulis tentang perempuan yang diperkosa dengan visum et
    repertum vagina sobek dan selaput dara rusak, lalu dibunuh, dipotong-potong dan
    dibuang. Kenapa tidak pernah ada berita seperti ini...hm..." Ia kelihatan
    berpikir sejenak. "Begini...: Telah ditemukan mayat seorang laki-laki di
    atas tempat tidur dalam keadaan telanjang dengan bagian-bagian tubuh
    terpotong-potong, kepala lepas dari tubuhnya, dan menggigit penis yang
    dijahitkan ke mulutnya sendiri. Bagaimana?"

    Huek!
    Tetapi perempuanku justru tertawa terkekeh-kekeh sampai air matanya meleleh.

    Setelah lima tahun, baru kali ini aku melihat matanya mengeluarkan air mata
    lagi, bibirnya menyeringai tertawa, dan ada nada suara yang keluar dari labirin
    tenggorokannya.

    Aku tidak tahu apa makna tertawanya. Ia sukakah? Gelikah? Getirkah? Atau
    mungkin aku terlalu lama memasung perempuanku sehingga aku sendiri tidak
    mengenal makna tertawanya dan tidak bisa membaca arti air matanya? Aku tidak
    kenal dengan perempuanku sendirikah?

    Sehabis tertawanya yang cukup lama, ia menarik nafas panjang. Mengambil
    sebatang rokokku di atas meja, menyulutnya dengan lidahnya yang berapi. Ia
    memang tidak memerlukan korek api lagi karena lidahnya sudah berapi.

    "Sekarang, kalian yang mengaku penulis, juga beramai-ramai menulis tentang
    perempuan. Kalian telanjangi perempuan di atas kertas sampai tidak ada ruang
    untuk sembunyi lagi untuk perempuan. Kalian geluti dan perkosa perempuan
    beramai-ramai dari visualnya, haknya, organnya, emosinya, air matanya, juga
    kelaminnya!"

    "Ng… karena perempuan menarik. Ia marah menarik, ia tertawa menarik, ia
    menangis juga menarik, ia telanjang…apalagi. Menarik sekali!"
    "Ya, kalian telanjangi perempuan habis-habisan."

    "Karena menelanjangi perempuan itu nikmat."
    "Kenapa tidak menelanjangi pemikirannya, ide-idenya, semangatnya,
    kekuatannya, atau telanjangi penderitaan dan rasa sakitnya?" kata-katanya
    seperti peluru keluar dari moncong senapan.

    Sementara itu asap rokoknya mengepul sambung-menyambung seperti asap lokomotif
    kereta api.

    Aku terdiam.
    "Atau... karena kalian cuma main-main dengan perempuan..." Ia menutup
    kata-kata dengan nada sumbang.

    Mungkin ya.
    Mungkin?

    Ya. Mungkin.
    Perempuan memang obyek yang menarik untuk dijadikan mainan kata-kata, mainan
    imajinasi, mainan emosi, juga mainan inspirasi. Tetapi jika ternyata
    "permainan" dengan perempuan itu akhirnya menimbulkan ketimpangan dan
    ketidakadilan seperti yang dirasakan oleh perempuanku, aku masih tidak tahu
    harus meletakkan masalahnya di mana.

    Apakah memang perempuan adalah obyek lemah yang mudah dipakai sebagai mainan?
    Atau memang perempuan justru obyek kuat yang menikmati dirinya ketika
    dipergunakan sebagai mainan? Apakah perempuan memang begitu menarik dan
    berharga dari segala segi sehingga menjadi komsumsi pasar, teknologi, sampai
    kepada para pujangga dan seniman? Atau sebaliknya, perempuan justru sangat
    rendah sehingga tidak mempunyai persamaan hak di dalam hukum dan seks?

    Tetapi bagaimanapun perempuan, apakah ia kuat atau lemah, apakah ia berharga
    atau rendah, ternyata ia tetap menjadi "obyek". Karena begitu ia
    ingin mengganti posisinya menjadi "subyek", maka seperti aku, kaum
    laki-laki akan memasungnya. Karena sebagaimana yang kupikirkan, jika perempuan
    menjadi "subyek" maka ia akan membahayakan posisi laki-laki.

    Karena ia adalah mahluk lemah sekaligus kuat, ia direndahkan tetapi dibutuhkan,
    ia tidak berarti apa-apa tetapi sangat berharga!
    Tengah aku masih sibuk dengan debat kusirku sendiri, perempuanku mendekat dan
    berkata, "aku ingin bercinta denganmu malam ini…"

    Ia hembuskan sebuah udara dari mulutnya yang merupakan campuran dari nafasnya
    yang wangi dan kepulan asap rokok. Begitu seksi dan menggoda. Tetapi aku lebih
    merasakan itu sebagai sebuah perintah daripada sebuah permintaan.

    Aku gemetar.
    "Tidak, aku tidak berani main-main dengan perempuan..." ***

    Surabaya, Maret 2004




      Waktu sekarang Mon Nov 25, 2024 9:36 pm