Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

ingin bergabung dengan elrakyat.tk klik pendaftaran. jika anda sudah pernah mendaftar silakan login. jangan lupa ajak kawan-kawanmu ke mari , dan jadilah top poster di forum kita

Join the forum, it's quick and easy

Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

ingin bergabung dengan elrakyat.tk klik pendaftaran. jika anda sudah pernah mendaftar silakan login. jangan lupa ajak kawan-kawanmu ke mari , dan jadilah top poster di forum kita

Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

Would you like to react to this message? Create an account in a few clicks or log in to continue.
Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

salah satu forum terbesar tempat kita bernostalgia

Login

Lupa password?

Our traffic

info rakyat

Sun Oct 31, 2010 9:05 pm by admin

---------------
PEMBERITAHUAN....

SF ZONA RELIGI SEKARANG KAMI PINDAH KE [You must be registered and logged in to see this link.] ANDA BISA BERPARTISIPASI DAN MENJADI MODERATOR SESUAI PERMINTAAN ANDA DENGAN REQUEST VIA SMS NO ADMIN 081945520865


Sekilas Info

Sun Jun 27, 2010 2:44 pm by admin

kabar gembira, forum lentera-rakyat mulai hari ini juga bisa diakses melalui [You must be registered and logged in to see this link.]


    jangan berlaku zhalim

    kutubuku
    kutubuku
    Mega Ultimate Member


    Zodiac : Virgo Jumlah posting : 297
    Join date : 18.06.10
    Age : 37
    Lokasi : rahasia

    jangan berlaku zhalim Empty jangan berlaku zhalim

    Post by kutubuku Wed Jun 30, 2010 5:01 pm

    Berlaku
    Zhalim Kepada Manusia Secara Etika, Seperti Ghibah dan Mencerca




    Tadi kita berbicara tentang taubat
    dari pelanggaran atas hak-hak harta orang lain. Kemudian bagaimana kita
    bertaubat dari hak-hak maknawi dan etis mereka. Seperti melakukan penghinaan terhadapnya
    dengan ghibah, qadzaf (menuduh zina), mengecam, mencela, menghinanya atau
    tindakan lainnya. Apakah taubat dalam dosa seperti ini disyaratkan agar
    memberitahukan orang yang ia zalimi itu, atau ia meminta maaf dan ampunan
    darinya?. Ataukah juga ia memberitahukannya bahwa ia telah berbuat zalim
    kepadanya, namun tidak disyaratkan menyebutkan secara detail kezhalimannya
    itu?. Ataukah kedua hal tadi tidak disyaratkan untuk mencapai taubat dalam dosa
    seperti ini, namun cukup ia bertaubat kepada Allah SWT tanpa memberitahukan dan
    tanpa meminta maaf kepada orang yang ia tuduh dan ia kecam itu?


    Dalam hal ini ada tiga pendapat:

    Dari imam Ahmad ada dua riwayat
    pendapatnya dalam masalah hukum qadzaf. Apakah orang yang menuduh zina (qadzif)
    itu ketika bertaubat disyaratkan melakukan hal ini: memberitahukan tindakannya
    kepada orang yang ia tuduhkan, dan kemudian meminta maaf dari perbuatannya itu
    atau tidak? Dan nantinya disimpulkan pula dari kedua hal itu tentang cara
    taubat orang yang berghibah dan mencela


    Dalam mazhab Syafi'i, Abi Hanifah
    dan Malik, disyaratkan untuk memberitahukan detail kezhalimannya dan meminta
    maaf atas perbuatannya itu. Seperti disebutkan oleh sahabat-shahabat mereka
    dalam kitab-kitab mereka.


    Orang yang mensyaratkan
    pemberitahuan dan meminta maaf itu berdalil: karena dosa itu adalah hak
    manusia, maka hak itu tidak hilang kecuali dengan meminta maaf dari dosa
    tertentu itu dan meminta dibebaskan darinya.


    Kemudian kelompok ulama yang tidak
    menganggap sah pembersihan diri tanpa menjelaskan detail kesalahannya itu,
    mensyaratkan agar ia memberitahukan masalahnya secara jelas. Seperti ia
    berkata: aku telah mengecam dan mencela dirimu, aku telah mengejekmu, atau juga
    aku telah berghibah dan menyebut keburukanmu. Terutama jika orang yang
    melanggar hak orang lain itu mengetahui kadar haknya, maka ia harus
    memberitahukan orang yang ia zhalimi itu kadar haknya itu. Karena orang itu
    mungkin tidak akan memaafkanya jika ia tahu kadar kejahatan yang telah
    dilakukan orang itu terhadapnya. Dan ia berkata kepadanya: aku telah berlaku
    zalim kepadamu dan aku telah mengghibah dirimu selama sepuluh tahun. Ia mungkin
    dapat memaafkannya atas ghibahnya sekali atau beberapa kali, namun ia tidak
    dapat memaafkannya jika ia mengghibahnya sampai bertahun-tahun.


    Mereka berdalil atas pendapat itu
    dengan sabda Rasulullah Saw : "Barangsiapa yang telah melakukan kezaliman
    kepada suadaranya, baik harta maupun harga diri, maka pada hari ini hendaklah
    ia meminta dibebaskan, sebelum datang hari tidak berguna padanya dinar dan
    dirham, kecuali kebaikan dengan keburukan".


    Mereka berkata: karena dalam suatu
    dosa ada dua hak: hak Allah SWT dan hak manusia. Maka taubat dari dosa itu
    adalah dengan meminta maaf kepada manusia karena hak orang itu atasnya; dan
    dengan menyesali perbuatan itu untuk menghapus dosa di hadapan Allah SWT,
    karena hak Allah SWT atasnya.


    Mereka berkata: oleh karena itu,
    dosa orang yang membunuh tidak dapat sempurna kecuali dengan memberikan dirinya
    kepada wali korbannya; jika mereka mau, mereka dapat mengqishashnya; dan jika
    tidak, mereka dapat memaafkannya. Demikian juga taubat perampok.


    Pendapat yang lain mengatakan:
    tidak disyaratkan dalam taubat itu memberitahukan kejahatan apa yang telah ia
    lakukan kepadanya, apakah itu tentang kehormatan diri, mengqazafnya atau mengghibahnya.
    Namun ia cukup bertaubat kepada Allah SWT, kemudian menyebutkan orang yang
    pernah ia ghibahkan atau ia qadzaf dengan kebalikan ghibah dan qadzaf itu,
    sehingga ghibahnya berganti dengan pujian, dan menyebutkan
    kebaikan-kebaikannya. Dari qadzaf berganti menjadi menyebut kebersihan dirinya,
    dan menjaga kehormatan dirinya, serta ia memintakan istighfar baginya sesuai
    dengan kadar ghibahnya atasnya.


    Ini adalah pendapat yang dipilih
    oleh Ibnu Taimiah.


    Orang yang berpendapat dengan
    pendapat ini berdalil bahwa dengan memberitahukannya hanya akan membawa
    kemafsadatan yang lebih besar, dan tidak pula menjamin akan tercapai
    kemaslahatan, karena hal itu hanya akan menambah kesal dan sakit hati saja.
    Barangkali orang itu berada dalam ketentraman sebelum mendengar itu, namun
    ketika ia mendengarnya, justru ia menjadi gelisah dan marah hingga tidak mampu
    menahannya, dan akhirnya membuat bahaya bagi diri dan tubuhnya.


    Jika demikian, maka syari'ah tidak
    membenarkannya, apalagi sampai mewajibkan dan memerintahkannya.


    Mereka berkata:

    Dapat juga keterusterangannya itu
    akan menjadi pangkal permusuhan antara dia dengan orang yang membeberkan
    kesalahannya itu, dan ia tidak akan ridha terhadapnya selama-lamanya. Dari
    tahunya itu akan melahirkan permusuhan dan kemarahan yang mengakibatkana
    kejahatan yang lebih besar dari kejahatan ghibah dan qadzaf. Ini tentu
    bertentangan dengan tujuan syari'ah untuk menyatukan hati dan saling kasih-
    sayang antara mereka.


    Mereka berkata: perbedaan antara
    hak itu dengan hak-hak harta dan hak atas tubuh ada dua segi:


    Pertama: ia dapat mengambil manfaat darinya jika
    dikembalikan kepadanya, oleh karena itu tidak boleh disembunyikan darinya,
    karena itu adalah haknya, dan harus diberikan kepdanya. Berbeda dengan ghibah
    dan qadzaf, dalam hal ini tidak ada yang dapat memberikan manfaat baginya,
    malah akan membuatnya sulit dan sakit hati saja. Dan jika di antara keduanya
    dilakukan qiyas, itu adalah qiyas yang paling buruk.


    Kedua: karena tentang harta itu, jika ia
    memberitahukan orang yang berhak itu, maka itu tidak membuatnya teraniaya,
    serta tidak pula menimbulkan marah dan sakit hati, malah itu dapat membuatnya
    gembira dan senang. Berbeda halnya jika ia memberitahukannya apa yang merobek
    harga dirinya sepanjang usinya, siang dan malam, seperti qadzaf, ghibah dan
    celaan. Maka mengukur masalah terakhir ini dengan yang pertama adalah tidak
    benar. Ini adalah pendapat yang benar dari dua pendapat. Wallahu a'lam.
    (Madarij Salikin: 1/289, 291).



    * * *

      Waktu sekarang Mon Nov 25, 2024 11:58 pm