Cerpen Raudal Tanjung Banua
Rumah-rumah menghadap jalan, dan membuka pintu-pintunya untuk kepergian. Ia
selalu bergumam dengan nada sesal, sambil menyaksikan kendaraan bersileweran,
berhenti, datang dan pergi. Debu berhamburan dekat halaman. Di saat bersamaan,
ia mendengar bunyi seruling, jauh di belakang, seperti memanggil-manggil. Tapi
ia tahu, tak ada lagi barisan kerbau dihalau anak gembala ke sebentang padang
rawa-rawa. Tempat itu sudah lama tiada, ditimbun, dibikin jalan baru, dan
rumah-rumah baru pun takzim menghadap jalan yang belum sempat diberi nama itu.
Tentu dengan harga tanah yang lantas mengharu-biru!
Rumahnya sendiri (setengah tembok beratap seng karatan) menghadap jalan utama,
yang menghubungkan kota-kota di selatan dan di utara --kota-kota yang hanya
sesekali dijelangnya. Dan bila ia menjelang salah satu kota di selatan atau di
utara, dengan membawa hasil keringatnya, hatinya siap teriba. Betapa tidak.
Cabai yang ia turun-pikulkan dari mobil datsun atau pick-up tumpangan, selalu
saja jeblok di pasar raya. Beberapa kali ia menyimak baik-baik siaran RRI yang
membacakan daftar harga sayur-mayur, dan dadanya akan berdebar saat item cabe
merah keriting disebutkan, sambil melirik sekarung goni cabainya tersandar
miring di sudut dinding. Alamat menunggu busuk atau hancur.
Selebihnya, ia akan lebih banyak berkeluh-kesah tentang rumah-rumah menghadap
jalan, yang telah membuka pintu-pintunya untuk kepergian, tapi belum tentu
menerima kepulangan. Ia tidaklah berlebihan. Empat orang anaknya, tiga di
antaranya laki-laki, telah lama meninggalkannya, tentu lewat jalan aspal yang
terbelintang legam di depan rumahnya itu; dan tak pulang hingga kini. Yang
paling menyakitkan, satu-satunya anak perempuannya, yang diharapkan merawatnya
di masa tua seperti sekarang, ikut lenyap di jalan itu. Sering ia menyesali
kelok jalan dengan membayangkan riuh pasar. Pasar yang riuh, pikirnya, mengapa
tak sepenuh hati menerima keringat petani, sementara harga pupuk dan pestisida
terus merangkak naik di kios-kios langganan? Buah sesal yang agaknya telah
mengantar anak-keponakan dan orang kampungnya pergi ke perantauan, bahkan ke
rantau-rantau abadi, tak pulang lagi. Dan betapa malang dia yang
ditinggalkan…
***
DIA yang kuceritakan ini sebenarnya adalah kakekku sendiri. Kakek Kadi orang
memanggilnya, dari nama asli Khaidir; dan sebagaimana lazimnya di kampung,
orang memilih kata yang mudah dilafalkan: Khaidir jadi Kadi. Tapi itu sudah
cukup merujuk sesosok laki-laki yang sunyi, ditinggalkan cucu, anak dan istri,
termasuk para tetangga yang ia cintai. Akulah cucu satu-satunya yang menemani
kakek sampai setengah uzur. Menemani seorang uzur berarti juga mendengar
keluh-kesah dan aliran lahar ceritanya, bukan? Meski sebagai pendengar (kadang
tak kelewat setia) peranku dapat dikatakan kebetulan.
Ya, kebetulan ayahku yang merupakan anak tertua si kakek, hendak menyeberang ke
tanah jiran, sementara aku yang adalah anak tertua ayah sedang demam panas. Dan
keberangkatan tak mungkin ditunda karena mereka telah membayar mahal kepada
tekong yang menentukan jadwal keberangkatan, tanpa dapat ditawar. Terpaksa aku
ditinggal, dan ketika sembuh, kusadari tak ada lagi ayah-ibu serta kedua orang
adikku yang masih kecil, bahkan satu di antaranya sedang erat menyusu. Waktu
itu, nenek masih hidup. Seorang perempuan, siapa pun dia, tentu tak bakal sulit
menjadi ibu, bukan? Apalagi dalam hal diriku, perempuan itu nenekku sendiri,
perempuan kasih.
Kehadiranku yang berangkat remaja menjadi penghiburan tersendiri bagi kakek
yang suka menghabiskan waktunya dengan memandang ujung jalan --utara atau
selatan, jauh, jauh! Lalu ia akan bercerita (ah, berkeluh-kesah!) dengan nada
haru. Baginya, ujung jalan seakan tak berkesudahan, bagai nasib para pelintas,
entah sampai entah tidak. Semua itu membuatnya larut dalam renung panjang
tentang jalan dan perjalanan. Tentang rumah-rumah yang ditinggalkan. Tentang
kepergian yang kekal.
Ketika nenek meninggal karena sakit, kakek mengira kebersamaanku dengannya akan
menjadi sedikit kekal, setidaknya karena tidak mungkin seorang cucu seperti aku
--yang pendiam, dan lebih suka mencorat-coret buku tulis dengan kalimat angan--
akan tega meninggalkannya sebatang kara. Jelas kakek keliru tentang itu.
Justru, setelah menyerap begitu banyak cerita darinya, khususnya tentang jalan
yang membawa orang-orang pergi, diam-diam aku menjadi penasaran. Maka, dengan
sedikit bebal, kutinggalkan dia sendirian.
***
TAPI aneh, setelah jauh dari kakek, ungkapannya tentang rumah-rumah menghadap
jalan, malah semakin mekar dalam kepalaku. Mungkin aku terperangkap begitu jauh
dalam labirin ungkapan yang mengharu-biru itu. Atau, mungkin karena aku berada
di pusaran waktu yang perlahan membuktikan kebenaran ungkapannya dulu.
Apa pun, semenjak meninggalkan kampung, aku selalu memperhatikan rumah-rumah di
sepanjang jalan, yang sebagaimana rumah-rumah di kampungku, semua serambi,
pintu utama, juga pun tingkap, memilih menghadap jalan, entah mengapa. Itulah
yang justru menjadi renungan kakekku dari waktu ke waktu, dulu, terlebih bila
kerinduan kepada anak-cucu serta keponakannya memuncak. Ya, mengapa pintu dan
penutu rumah harus menghadap ke jalan raya, seperti hendak menciumnya, seperti
tak henti menyapa, padahal telah ia bawa pergi seisi rumah? Sungguh asing!
Perasaan asing yang kian menggasing bilik dadaku kini. Padahal, jauh sebelumnya
aku juga sudah terbiasa menyaksikan gerobak, pedati, dan berbagai kendaraan melewati
jalan di depan rumah. Meski memang, saat itu, kakek belum terlalu sering
berkeluh-kesah tentang kepergian; ia pun, setahuku, belum punya ungkapan khas
tentang rumah-rumah menghadap jalan. Bahkan pada masa itu aku sering ikut
pedati kakek ke sungai mengangkut pasir dan kerikil. Sepanjang jalan, roda besi
pedati terdengar gemertak dan suara genta berkecambah, ditingkahi dengus kerbau
yang letih oleh pelecut dan lobang jalanan. Sementara air pasir dan kerikil
yang keruh menetes-netes di sela-sela dinding papan pedati, menyiram sepanjang
jalur yang kami lalui. Jalan aspal yang belum terlalu baik waktu itu.
Pernah, ketika aku duduk menjuntai di atas dinding pedati, rodanya yang sebelah
kiri masuk ke lobang, membuat pedati miring ke kiri; dan tak pelak lagi, aku
jatuh telentang ke aspal yang legam! Aku pingsan. Kakek menyiram kepalaku
dengan bergantang air, dan ketika siuman, itulah saat aku tak pernah lagi ikut
dengan pedati tuanya. Toh tak lama sesudahnya pedati itu pun dibiarkan
menganggur, teronggok di bawah pohon cempedak di belakang rumah. Kerbau penarik
pedati dialihkan kakek menarik bajak di sawah. "Jalan sudah bagus dan
lebar, truk-truk sudah bisa masuk hingga ke tepi sungai, membawa pasir dan
kerikil lebih cepat. Biarlah pedati mengalah," kata kakek masygul. Kakek
lalu menggarap sawah dan kebunnya, meski nasibnya pun sepantun kerbau pedati;
sarat beban di mana saja.
Ya, jalanan yang bagus dan mulus memang telah mencampakkan pedati dan gerobak
ke rumah-rumah tak berpenghuni. Sebaliknya, truk-truk bak terbuka semakin
merajalela, tidak saja mengeruk pasir dan kerikil, tapi juga tanah liat.
Lihatlah, bukit-bukit pada kerowak. Aku dan anak-anak kampung lainnya sering
ikut dengan sebuah truk pengangkut tanah liat yang setiap hari bisa bolak-balik
empat atau lima kali ke selatan kampung. Sepanjang jalan yang dilalui, biasanya
kami melemparkan tanah liat yang lunak ke kepala orang-orang yang kami temui,
sambil bersorak gembira bila ada yang kena. Pernah, segumpal tanah liat yang
kami lemparkan menclok di kepala botak seorang anak, dan kami masih sempat
melihat bekasnya yang memerah untuk beberapa detik lamanya dari atas truk yang
melaju. Bagai jalan setapak di lereng bukit kelabu, lalu menghilang dari
pandangan karena gerak dan laju, jarak dan waktu. Sampai suatu ketika orang
kampung menyetop truk kami, memperingatkan sopir, Pak Mua, agar jangan membawa
anak-anak kecil yang menjengkelkan seperti kami. Sejak itu, kami kehilangan
dunia yang bergerak dan laju, meskipun hanya sebatas kampung. Padahal kampung
pada waktu itu terasa alangkah luas, alangkah jauh, bagai tak tersentuh. Untuk
sampai ke sudut-sudut kampung, jarak terasa tak mudah ditempuh.
Meski pada saat itu sudah banyak orang kampungku yang pergi merantau, ke dunia
yang hanya ada dalam anganku, sehingga seringlah aku membayangkan kota manakah
gerangan yang mereka tuju. Aku mendengar cerita tentang jalan yang lazim
dilalui ke rantau tujuan, seperti "Lobang Kelam" dan "Kelok
Sembilan". Bertahun-tahun kemudian aku tahu bahwa yang satu adalah
terowongan batu di kaki bukit dan yang satu lagi adalah jalan dengan patahan
tajam di perbatasan; kebetulan ada sembilan kelok. Cerita dan istilah yang
kudapatkan dari para perantau, seingatku sama asing dan barunya dengan
kepulangan mereka dari rantau. Kepulangan yang ditandai suara bis yang
mencericit, dan seketika benda besar yang bergerak itu telah tertegak di depan
rumah! Suasana yang bakal mendatangkan denyut dan hiburan tersendiri bagi
setiap orang di kampung yang membosankan. Semua mata di jendela, di pintu atau serambi
rumah, akan nyalang menghadap jalan, dengan dada berdegup menduga siapakah yang
bakal turun? Adakah famili yang dinanti atau keluarga yang lama pergi? Bila
yang turun sudah diketahui, orang-orang akan bergumam sebentar, "O, si
Anu!" tapi tak lantas kehilangan rasa memiliki. Mereka akan berlari ke
tepi jalan, membantu kernet bis menurunkan beban, sampai akhirnya bis yang
telah membawa si perantau dari kota, entah di mana, segera melanjutkan
perjalanan. Maka si perantau yang baru datang akan dikerumuni orang sekampung,
sekadar menyapa atau bertanya apa kabar, syukur-syukur terbetik sedikit berita
tentang orang kampung lainnya yang kebetulan satu rantauan.
Aku baru mulai menginjakkan kaki di kota-kota yang lebih jauh, ketika
tetanggaku membeli sebuah bis antarkota --hasil penjualan tanah warisan. Aku
membantu-bantu menjadi kernet, dengan si Ujang sebagai kernet resmi, sehingga
jelas aku tidak digaji. Tapi aku senang, melewati jalanan, melintasi
rumah-rumah --menghadap jalan! Kadang dari jendela bis yang melaju kulihat juga
bulan pucat ikut berlari bersama kami, memintas jarak dan waktu.
Jarak dan waktu jualah yang kemudian membawaku (tak kalah pucat!) ke kota-kota
lain yang belum terbayangkan sebelumnya. Dan ungkapan kakek pun kekal di setiap
langkah. Ya, karena sepanjang jalan yang kulalui, semua rumah seperti tunduk
dan berserah ke jalan raya, bahkan di kota-kota yang padat kusaksikan
rumah-rumah bagai berlomba menjengukkan wajah dan pintu-pintunya ke luar dari
sesak ruang, menatap gang dan jalan-jalan aspal yang melingkar. Ketika untuk
pertama kalinya aku menuju kota luar pulau, kusaksikan rumah-rumah di sepanjang
pelabuhan penyeberangan masih berebut menghadap ujung jalan dan ramai-ramai
membelakangi selat yang menjadi jalan raya kapal-kapal. Mengapa rumah-rumah
harus menghadap jalan, dan itu pun sebatas jalan darat, jalan aspal yang keras
dan legam?
Ketika naik kereta api ke lain kota, aku pun menyaksikan rumah-rumah yang
berderet membelakangi rel, tempat dari mana asap dapur yang ramping, sesekali
berjabat sesaat dengan kepulan asap di cerobong lokomotif --yang terus menjerit
dan melenguh sampai jauh. Mengingatkan suara seruling dan lenguh kerbau yang
memang mesti bergema di padang-padang sunyi belakang rumah. Kemudian, aku
menyeberang ke pulau yang lebih jauh, yang terkenal dengan sungai-sungainya
yang lebar dan panjang, kusaksikan rumah-rumah bertiang tinggi yang dibangun di
atas air, juga membelakangi arus sungai, dan ramai-ramai menghadap jalan aspal
yang terkelupas dan hancur. Hanya ruang belakang rumah yang menghadap air,
dengan kaki-kaki tiang menyanggah kakus, tempat mencuci dan kamar mandi; sumber
segala kotoran dan polusi. Di atas tiang-tiang kelabu itulah, di antara
kapal-kapal penarik kayu gelondongan dan kapal batubara yang terlihat seperti
pulau hitam, aku sering tegak menatap kejauhan. Menatap kapal-kapal hitam
karatan lainnya di ujung sana, bergerak perlahan bagai waktu yang melarutkan
diriku di rantau orang. Juga kayu-kayu kuning-kelabu karena kulitnya lepas atau
terkelupas (berhari-hari dari hulu), kini terbelintang bagai daratan kuning,
sunyi dan asing, menggenapkan kenangan waktu dalam diriku.
***
JADI, adakah di dunia ini sebuah kampung di mana rumah-rumahnya tidak menghadap
jalan? Bertahun-tahun merantau, dengan ingatan yang lumayan kekal akan ungkapan
kakek, aku selalu merindukan kampung yang demikian. Kubayangkan, sebuah kampung
dengan rumah-rumah melingkar, saling berhadapan, sehingga di tengah-tengahnya
tercipta sebuah tanah lapang. Itulah tanah halaman yang membentuk ruang bersama
tempat anak-anak bermain kala terang bulan, dan orang-orang saling berbincang
hanya dari penutu atau serambi rumahnya, bersahut-sahutan dengan satu
kesungguhan. Banyak yang mungkin mereka percakapkan, tapi yang pasti
menyiratkan satu hal: "Jangan pergi!" Tapi di manakah ada kampung
seperti itu? Ke manakah harus kucari? Adakah ia di hulu sungai terjauh, atau
harus kubangun sendiri di sebalik bukit kelabu? Aku tak tahu.
Sampai suatu hari, ketika menonton televisi di warung kopi langganan kami, aku
menyaksikan sebuah acara unik: seorang laki-laki tua memanjat pohon cempedak di
belakang rumahnya, dan bersikeras tak mau turun, konon sudah bertahun-tahun!
Makanan dan segala kebutuhannya harus digeret oleh tetangga lewat tali yang
digantungkan ke dahan. Kulihat juga sebuah bangkai pedati di bawah pohon itu,
dipenuhi serakkan daun-daun gugur. Alangkah senyap! Aku terhenyak, sekaligus
takjub. Laki-laki itu, laki-laki itu, tidak salah lagi, kakekku! Ia disebut
dengan nama lengkapnya: Sutan Khaidir Mahmuda! Menurut penyiar televisi, si
kakek tak mau turun karena dengan cara itulah ia merasakan rumahnya tak lagi
menghadap jalan.
Bagi Sutan Khaidir, jalan darat tak lain sebuah kealpaan: memudahkan siapa saja
untuk pergi, tapi tidak untuk kembali. Sering ia bertanya, mengapa negeri
bahari ini luput memanfaatkan jalan air? Sungai dan lautan hanya sekadar tempat
mencari ikan --itu pun tak maksimal-- dan sama sekali lalai membacanya sebagai
jalan raya maha sempurna yang akan menghubungkan kita dengan pulau-pulau, ujung
benua, segala bangsa. Dan di sana angin senantiasa bertiup, gelombang dan arus
mengalir; memudahkan siapa pun untuk pulang. Tapi lihatlah, katanya,
rumah-rumah di pantai, di tepi sungai, sengaja dibangun membelakangi tiang
layar, lengkung perahu dan kapal-kapal, hanya demi jalan darat yang keras dan
legam!*
Disebutkan pula, puncak kekecewaan Sutan Khaidir adalah ketika cucu
kesayangannya ikut pergi menyusuri jalan lempang di depan rumahnya itu! Sejak
itu ia memutuskan naik ke pohon. (Kamera zoom; seraut wajah tua tengadah kukuh
menatap jagad raya). "Ini jalan lain, jalan lurus ke langit, di mana saya
tak perlu berpikir ke utara atau selatan, timur atau barat, kiri atau kanan,
tapi ke atas, ke atas, ke langit pembebasan…."
Aku yang sekarang bekerja di pusat penggergajian kayu di tepi Sungai Mahakam,
hanya bisa menahan sedu. Tak sanggup kuhirup kopiku, meski tahu jam istirahat
sebentar lagi berakhir dan lenguh chin-show beserta gergaji-gergaji panjang
akan menguasai keadaan.
"Hap! Tak tahu dia, di atas kan ada pesawat terbang lewat?!" seorang
kawan sekerja nyeletuk mengomentari tayangan itu, lalu tertawa terpingkal.
"Bahkan kalau ia membangun rumah karang di dasar lautan, juga ada kapal
selam yang bakal lewat!" seseorang lain menimpal.
"Ke bulan sekalipun!"
"Bahkan di langit ke tujuh ada buraq dan kepak malaikat!"
Suasana lalu riuh oleh tawa. Hanya aku yang takjub. Hanya aku yang terkesima.
Di kepalaku berkelabat keinginan serupa; masuk ke hutan lebih dalam, jauh dari
jalanan yang ramai dan hibuk. Akan kubangun rumah pohon di bawah lindungan atap
kanopi, di atas kekokohan dahan-dahan, seperti burung enggang membuat sarang.
Tapi, aduh, di manakah tempat aman untuk sebuah rumah pohon sedang jerit
enggang dan orang hutan terus-menerus menyayat perasaan, di antara pohon-pohon
rubuh dan terbakar? Entah, entah…
Tiba-tiba aku teringat satu kata, "Pulang!"
Rumah-rumah menghadap jalan, dan membuka pintu-pintunya untuk kepergian. Ia
selalu bergumam dengan nada sesal, sambil menyaksikan kendaraan bersileweran,
berhenti, datang dan pergi. Debu berhamburan dekat halaman. Di saat bersamaan,
ia mendengar bunyi seruling, jauh di belakang, seperti memanggil-manggil. Tapi
ia tahu, tak ada lagi barisan kerbau dihalau anak gembala ke sebentang padang
rawa-rawa. Tempat itu sudah lama tiada, ditimbun, dibikin jalan baru, dan
rumah-rumah baru pun takzim menghadap jalan yang belum sempat diberi nama itu.
Tentu dengan harga tanah yang lantas mengharu-biru!
Rumahnya sendiri (setengah tembok beratap seng karatan) menghadap jalan utama,
yang menghubungkan kota-kota di selatan dan di utara --kota-kota yang hanya
sesekali dijelangnya. Dan bila ia menjelang salah satu kota di selatan atau di
utara, dengan membawa hasil keringatnya, hatinya siap teriba. Betapa tidak.
Cabai yang ia turun-pikulkan dari mobil datsun atau pick-up tumpangan, selalu
saja jeblok di pasar raya. Beberapa kali ia menyimak baik-baik siaran RRI yang
membacakan daftar harga sayur-mayur, dan dadanya akan berdebar saat item cabe
merah keriting disebutkan, sambil melirik sekarung goni cabainya tersandar
miring di sudut dinding. Alamat menunggu busuk atau hancur.
Selebihnya, ia akan lebih banyak berkeluh-kesah tentang rumah-rumah menghadap
jalan, yang telah membuka pintu-pintunya untuk kepergian, tapi belum tentu
menerima kepulangan. Ia tidaklah berlebihan. Empat orang anaknya, tiga di
antaranya laki-laki, telah lama meninggalkannya, tentu lewat jalan aspal yang
terbelintang legam di depan rumahnya itu; dan tak pulang hingga kini. Yang
paling menyakitkan, satu-satunya anak perempuannya, yang diharapkan merawatnya
di masa tua seperti sekarang, ikut lenyap di jalan itu. Sering ia menyesali
kelok jalan dengan membayangkan riuh pasar. Pasar yang riuh, pikirnya, mengapa
tak sepenuh hati menerima keringat petani, sementara harga pupuk dan pestisida
terus merangkak naik di kios-kios langganan? Buah sesal yang agaknya telah
mengantar anak-keponakan dan orang kampungnya pergi ke perantauan, bahkan ke
rantau-rantau abadi, tak pulang lagi. Dan betapa malang dia yang
ditinggalkan…
***
DIA yang kuceritakan ini sebenarnya adalah kakekku sendiri. Kakek Kadi orang
memanggilnya, dari nama asli Khaidir; dan sebagaimana lazimnya di kampung,
orang memilih kata yang mudah dilafalkan: Khaidir jadi Kadi. Tapi itu sudah
cukup merujuk sesosok laki-laki yang sunyi, ditinggalkan cucu, anak dan istri,
termasuk para tetangga yang ia cintai. Akulah cucu satu-satunya yang menemani
kakek sampai setengah uzur. Menemani seorang uzur berarti juga mendengar
keluh-kesah dan aliran lahar ceritanya, bukan? Meski sebagai pendengar (kadang
tak kelewat setia) peranku dapat dikatakan kebetulan.
Ya, kebetulan ayahku yang merupakan anak tertua si kakek, hendak menyeberang ke
tanah jiran, sementara aku yang adalah anak tertua ayah sedang demam panas. Dan
keberangkatan tak mungkin ditunda karena mereka telah membayar mahal kepada
tekong yang menentukan jadwal keberangkatan, tanpa dapat ditawar. Terpaksa aku
ditinggal, dan ketika sembuh, kusadari tak ada lagi ayah-ibu serta kedua orang
adikku yang masih kecil, bahkan satu di antaranya sedang erat menyusu. Waktu
itu, nenek masih hidup. Seorang perempuan, siapa pun dia, tentu tak bakal sulit
menjadi ibu, bukan? Apalagi dalam hal diriku, perempuan itu nenekku sendiri,
perempuan kasih.
Kehadiranku yang berangkat remaja menjadi penghiburan tersendiri bagi kakek
yang suka menghabiskan waktunya dengan memandang ujung jalan --utara atau
selatan, jauh, jauh! Lalu ia akan bercerita (ah, berkeluh-kesah!) dengan nada
haru. Baginya, ujung jalan seakan tak berkesudahan, bagai nasib para pelintas,
entah sampai entah tidak. Semua itu membuatnya larut dalam renung panjang
tentang jalan dan perjalanan. Tentang rumah-rumah yang ditinggalkan. Tentang
kepergian yang kekal.
Ketika nenek meninggal karena sakit, kakek mengira kebersamaanku dengannya akan
menjadi sedikit kekal, setidaknya karena tidak mungkin seorang cucu seperti aku
--yang pendiam, dan lebih suka mencorat-coret buku tulis dengan kalimat angan--
akan tega meninggalkannya sebatang kara. Jelas kakek keliru tentang itu.
Justru, setelah menyerap begitu banyak cerita darinya, khususnya tentang jalan
yang membawa orang-orang pergi, diam-diam aku menjadi penasaran. Maka, dengan
sedikit bebal, kutinggalkan dia sendirian.
***
TAPI aneh, setelah jauh dari kakek, ungkapannya tentang rumah-rumah menghadap
jalan, malah semakin mekar dalam kepalaku. Mungkin aku terperangkap begitu jauh
dalam labirin ungkapan yang mengharu-biru itu. Atau, mungkin karena aku berada
di pusaran waktu yang perlahan membuktikan kebenaran ungkapannya dulu.
Apa pun, semenjak meninggalkan kampung, aku selalu memperhatikan rumah-rumah di
sepanjang jalan, yang sebagaimana rumah-rumah di kampungku, semua serambi,
pintu utama, juga pun tingkap, memilih menghadap jalan, entah mengapa. Itulah
yang justru menjadi renungan kakekku dari waktu ke waktu, dulu, terlebih bila
kerinduan kepada anak-cucu serta keponakannya memuncak. Ya, mengapa pintu dan
penutu rumah harus menghadap ke jalan raya, seperti hendak menciumnya, seperti
tak henti menyapa, padahal telah ia bawa pergi seisi rumah? Sungguh asing!
Perasaan asing yang kian menggasing bilik dadaku kini. Padahal, jauh sebelumnya
aku juga sudah terbiasa menyaksikan gerobak, pedati, dan berbagai kendaraan melewati
jalan di depan rumah. Meski memang, saat itu, kakek belum terlalu sering
berkeluh-kesah tentang kepergian; ia pun, setahuku, belum punya ungkapan khas
tentang rumah-rumah menghadap jalan. Bahkan pada masa itu aku sering ikut
pedati kakek ke sungai mengangkut pasir dan kerikil. Sepanjang jalan, roda besi
pedati terdengar gemertak dan suara genta berkecambah, ditingkahi dengus kerbau
yang letih oleh pelecut dan lobang jalanan. Sementara air pasir dan kerikil
yang keruh menetes-netes di sela-sela dinding papan pedati, menyiram sepanjang
jalur yang kami lalui. Jalan aspal yang belum terlalu baik waktu itu.
Pernah, ketika aku duduk menjuntai di atas dinding pedati, rodanya yang sebelah
kiri masuk ke lobang, membuat pedati miring ke kiri; dan tak pelak lagi, aku
jatuh telentang ke aspal yang legam! Aku pingsan. Kakek menyiram kepalaku
dengan bergantang air, dan ketika siuman, itulah saat aku tak pernah lagi ikut
dengan pedati tuanya. Toh tak lama sesudahnya pedati itu pun dibiarkan
menganggur, teronggok di bawah pohon cempedak di belakang rumah. Kerbau penarik
pedati dialihkan kakek menarik bajak di sawah. "Jalan sudah bagus dan
lebar, truk-truk sudah bisa masuk hingga ke tepi sungai, membawa pasir dan
kerikil lebih cepat. Biarlah pedati mengalah," kata kakek masygul. Kakek
lalu menggarap sawah dan kebunnya, meski nasibnya pun sepantun kerbau pedati;
sarat beban di mana saja.
Ya, jalanan yang bagus dan mulus memang telah mencampakkan pedati dan gerobak
ke rumah-rumah tak berpenghuni. Sebaliknya, truk-truk bak terbuka semakin
merajalela, tidak saja mengeruk pasir dan kerikil, tapi juga tanah liat.
Lihatlah, bukit-bukit pada kerowak. Aku dan anak-anak kampung lainnya sering
ikut dengan sebuah truk pengangkut tanah liat yang setiap hari bisa bolak-balik
empat atau lima kali ke selatan kampung. Sepanjang jalan yang dilalui, biasanya
kami melemparkan tanah liat yang lunak ke kepala orang-orang yang kami temui,
sambil bersorak gembira bila ada yang kena. Pernah, segumpal tanah liat yang
kami lemparkan menclok di kepala botak seorang anak, dan kami masih sempat
melihat bekasnya yang memerah untuk beberapa detik lamanya dari atas truk yang
melaju. Bagai jalan setapak di lereng bukit kelabu, lalu menghilang dari
pandangan karena gerak dan laju, jarak dan waktu. Sampai suatu ketika orang
kampung menyetop truk kami, memperingatkan sopir, Pak Mua, agar jangan membawa
anak-anak kecil yang menjengkelkan seperti kami. Sejak itu, kami kehilangan
dunia yang bergerak dan laju, meskipun hanya sebatas kampung. Padahal kampung
pada waktu itu terasa alangkah luas, alangkah jauh, bagai tak tersentuh. Untuk
sampai ke sudut-sudut kampung, jarak terasa tak mudah ditempuh.
Meski pada saat itu sudah banyak orang kampungku yang pergi merantau, ke dunia
yang hanya ada dalam anganku, sehingga seringlah aku membayangkan kota manakah
gerangan yang mereka tuju. Aku mendengar cerita tentang jalan yang lazim
dilalui ke rantau tujuan, seperti "Lobang Kelam" dan "Kelok
Sembilan". Bertahun-tahun kemudian aku tahu bahwa yang satu adalah
terowongan batu di kaki bukit dan yang satu lagi adalah jalan dengan patahan
tajam di perbatasan; kebetulan ada sembilan kelok. Cerita dan istilah yang
kudapatkan dari para perantau, seingatku sama asing dan barunya dengan
kepulangan mereka dari rantau. Kepulangan yang ditandai suara bis yang
mencericit, dan seketika benda besar yang bergerak itu telah tertegak di depan
rumah! Suasana yang bakal mendatangkan denyut dan hiburan tersendiri bagi
setiap orang di kampung yang membosankan. Semua mata di jendela, di pintu atau serambi
rumah, akan nyalang menghadap jalan, dengan dada berdegup menduga siapakah yang
bakal turun? Adakah famili yang dinanti atau keluarga yang lama pergi? Bila
yang turun sudah diketahui, orang-orang akan bergumam sebentar, "O, si
Anu!" tapi tak lantas kehilangan rasa memiliki. Mereka akan berlari ke
tepi jalan, membantu kernet bis menurunkan beban, sampai akhirnya bis yang
telah membawa si perantau dari kota, entah di mana, segera melanjutkan
perjalanan. Maka si perantau yang baru datang akan dikerumuni orang sekampung,
sekadar menyapa atau bertanya apa kabar, syukur-syukur terbetik sedikit berita
tentang orang kampung lainnya yang kebetulan satu rantauan.
Aku baru mulai menginjakkan kaki di kota-kota yang lebih jauh, ketika
tetanggaku membeli sebuah bis antarkota --hasil penjualan tanah warisan. Aku
membantu-bantu menjadi kernet, dengan si Ujang sebagai kernet resmi, sehingga
jelas aku tidak digaji. Tapi aku senang, melewati jalanan, melintasi
rumah-rumah --menghadap jalan! Kadang dari jendela bis yang melaju kulihat juga
bulan pucat ikut berlari bersama kami, memintas jarak dan waktu.
Jarak dan waktu jualah yang kemudian membawaku (tak kalah pucat!) ke kota-kota
lain yang belum terbayangkan sebelumnya. Dan ungkapan kakek pun kekal di setiap
langkah. Ya, karena sepanjang jalan yang kulalui, semua rumah seperti tunduk
dan berserah ke jalan raya, bahkan di kota-kota yang padat kusaksikan
rumah-rumah bagai berlomba menjengukkan wajah dan pintu-pintunya ke luar dari
sesak ruang, menatap gang dan jalan-jalan aspal yang melingkar. Ketika untuk
pertama kalinya aku menuju kota luar pulau, kusaksikan rumah-rumah di sepanjang
pelabuhan penyeberangan masih berebut menghadap ujung jalan dan ramai-ramai
membelakangi selat yang menjadi jalan raya kapal-kapal. Mengapa rumah-rumah
harus menghadap jalan, dan itu pun sebatas jalan darat, jalan aspal yang keras
dan legam?
Ketika naik kereta api ke lain kota, aku pun menyaksikan rumah-rumah yang
berderet membelakangi rel, tempat dari mana asap dapur yang ramping, sesekali
berjabat sesaat dengan kepulan asap di cerobong lokomotif --yang terus menjerit
dan melenguh sampai jauh. Mengingatkan suara seruling dan lenguh kerbau yang
memang mesti bergema di padang-padang sunyi belakang rumah. Kemudian, aku
menyeberang ke pulau yang lebih jauh, yang terkenal dengan sungai-sungainya
yang lebar dan panjang, kusaksikan rumah-rumah bertiang tinggi yang dibangun di
atas air, juga membelakangi arus sungai, dan ramai-ramai menghadap jalan aspal
yang terkelupas dan hancur. Hanya ruang belakang rumah yang menghadap air,
dengan kaki-kaki tiang menyanggah kakus, tempat mencuci dan kamar mandi; sumber
segala kotoran dan polusi. Di atas tiang-tiang kelabu itulah, di antara
kapal-kapal penarik kayu gelondongan dan kapal batubara yang terlihat seperti
pulau hitam, aku sering tegak menatap kejauhan. Menatap kapal-kapal hitam
karatan lainnya di ujung sana, bergerak perlahan bagai waktu yang melarutkan
diriku di rantau orang. Juga kayu-kayu kuning-kelabu karena kulitnya lepas atau
terkelupas (berhari-hari dari hulu), kini terbelintang bagai daratan kuning,
sunyi dan asing, menggenapkan kenangan waktu dalam diriku.
***
JADI, adakah di dunia ini sebuah kampung di mana rumah-rumahnya tidak menghadap
jalan? Bertahun-tahun merantau, dengan ingatan yang lumayan kekal akan ungkapan
kakek, aku selalu merindukan kampung yang demikian. Kubayangkan, sebuah kampung
dengan rumah-rumah melingkar, saling berhadapan, sehingga di tengah-tengahnya
tercipta sebuah tanah lapang. Itulah tanah halaman yang membentuk ruang bersama
tempat anak-anak bermain kala terang bulan, dan orang-orang saling berbincang
hanya dari penutu atau serambi rumahnya, bersahut-sahutan dengan satu
kesungguhan. Banyak yang mungkin mereka percakapkan, tapi yang pasti
menyiratkan satu hal: "Jangan pergi!" Tapi di manakah ada kampung
seperti itu? Ke manakah harus kucari? Adakah ia di hulu sungai terjauh, atau
harus kubangun sendiri di sebalik bukit kelabu? Aku tak tahu.
Sampai suatu hari, ketika menonton televisi di warung kopi langganan kami, aku
menyaksikan sebuah acara unik: seorang laki-laki tua memanjat pohon cempedak di
belakang rumahnya, dan bersikeras tak mau turun, konon sudah bertahun-tahun!
Makanan dan segala kebutuhannya harus digeret oleh tetangga lewat tali yang
digantungkan ke dahan. Kulihat juga sebuah bangkai pedati di bawah pohon itu,
dipenuhi serakkan daun-daun gugur. Alangkah senyap! Aku terhenyak, sekaligus
takjub. Laki-laki itu, laki-laki itu, tidak salah lagi, kakekku! Ia disebut
dengan nama lengkapnya: Sutan Khaidir Mahmuda! Menurut penyiar televisi, si
kakek tak mau turun karena dengan cara itulah ia merasakan rumahnya tak lagi
menghadap jalan.
Bagi Sutan Khaidir, jalan darat tak lain sebuah kealpaan: memudahkan siapa saja
untuk pergi, tapi tidak untuk kembali. Sering ia bertanya, mengapa negeri
bahari ini luput memanfaatkan jalan air? Sungai dan lautan hanya sekadar tempat
mencari ikan --itu pun tak maksimal-- dan sama sekali lalai membacanya sebagai
jalan raya maha sempurna yang akan menghubungkan kita dengan pulau-pulau, ujung
benua, segala bangsa. Dan di sana angin senantiasa bertiup, gelombang dan arus
mengalir; memudahkan siapa pun untuk pulang. Tapi lihatlah, katanya,
rumah-rumah di pantai, di tepi sungai, sengaja dibangun membelakangi tiang
layar, lengkung perahu dan kapal-kapal, hanya demi jalan darat yang keras dan
legam!*
Disebutkan pula, puncak kekecewaan Sutan Khaidir adalah ketika cucu
kesayangannya ikut pergi menyusuri jalan lempang di depan rumahnya itu! Sejak
itu ia memutuskan naik ke pohon. (Kamera zoom; seraut wajah tua tengadah kukuh
menatap jagad raya). "Ini jalan lain, jalan lurus ke langit, di mana saya
tak perlu berpikir ke utara atau selatan, timur atau barat, kiri atau kanan,
tapi ke atas, ke atas, ke langit pembebasan…."
Aku yang sekarang bekerja di pusat penggergajian kayu di tepi Sungai Mahakam,
hanya bisa menahan sedu. Tak sanggup kuhirup kopiku, meski tahu jam istirahat
sebentar lagi berakhir dan lenguh chin-show beserta gergaji-gergaji panjang
akan menguasai keadaan.
"Hap! Tak tahu dia, di atas kan ada pesawat terbang lewat?!" seorang
kawan sekerja nyeletuk mengomentari tayangan itu, lalu tertawa terpingkal.
"Bahkan kalau ia membangun rumah karang di dasar lautan, juga ada kapal
selam yang bakal lewat!" seseorang lain menimpal.
"Ke bulan sekalipun!"
"Bahkan di langit ke tujuh ada buraq dan kepak malaikat!"
Suasana lalu riuh oleh tawa. Hanya aku yang takjub. Hanya aku yang terkesima.
Di kepalaku berkelabat keinginan serupa; masuk ke hutan lebih dalam, jauh dari
jalanan yang ramai dan hibuk. Akan kubangun rumah pohon di bawah lindungan atap
kanopi, di atas kekokohan dahan-dahan, seperti burung enggang membuat sarang.
Tapi, aduh, di manakah tempat aman untuk sebuah rumah pohon sedang jerit
enggang dan orang hutan terus-menerus menyayat perasaan, di antara pohon-pohon
rubuh dan terbakar? Entah, entah…
Tiba-tiba aku teringat satu kata, "Pulang!"
Tue Aug 01, 2023 9:56 pm by wisatasemarang
» Portable STATA 18 Crack Full Version
Thu May 11, 2023 5:24 pm by wisatasemarang
» NVivo 12 Crack Full version
Mon Jan 30, 2023 11:16 am by wisatasemarang
» Tutorial Difference In difference (DID (Diff-in-Diff) With Eviews 13
Thu Nov 03, 2022 6:24 am by wisatasemarang
» Online Workshop Smart PLS Minggu, 01 Oktober 2022
Sat Sep 17, 2022 11:35 am by wisatasemarang
» kumpulan ebook tentang robot
Fri Jan 02, 2015 10:04 pm by kyuru
» MANTRA PELET
Wed May 16, 2012 3:31 am by orlandojack
» book love of spell
Sat Mar 24, 2012 8:08 pm by rifqi as
» attraction Formula
Sat Mar 24, 2012 7:09 pm by rifqi as