Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

ingin bergabung dengan elrakyat.tk klik pendaftaran. jika anda sudah pernah mendaftar silakan login. jangan lupa ajak kawan-kawanmu ke mari , dan jadilah top poster di forum kita

Join the forum, it's quick and easy

Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

ingin bergabung dengan elrakyat.tk klik pendaftaran. jika anda sudah pernah mendaftar silakan login. jangan lupa ajak kawan-kawanmu ke mari , dan jadilah top poster di forum kita

Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

Would you like to react to this message? Create an account in a few clicks or log in to continue.
Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

salah satu forum terbesar tempat kita bernostalgia

Login

Lupa password?

Our traffic

info rakyat

Sun Oct 31, 2010 9:05 pm by admin

---------------
PEMBERITAHUAN....

SF ZONA RELIGI SEKARANG KAMI PINDAH KE [You must be registered and logged in to see this link.] ANDA BISA BERPARTISIPASI DAN MENJADI MODERATOR SESUAI PERMINTAAN ANDA DENGAN REQUEST VIA SMS NO ADMIN 081945520865


Sekilas Info

Sun Jun 27, 2010 2:44 pm by admin

kabar gembira, forum lentera-rakyat mulai hari ini juga bisa diakses melalui [You must be registered and logged in to see this link.]


    rumah-rumah menghadap jalan

    admin
    admin
    Admin
    Admin


    Zodiac : Virgo Jumlah posting : 688
    Join date : 19.03.10
    Age : 37
    Lokasi : Malang-Indonesia

    rumah-rumah menghadap jalan Empty rumah-rumah menghadap jalan

    Post by admin Tue Jun 15, 2010 12:24 pm

    Cerpen Raudal Tanjung Banua

    Rumah-rumah menghadap jalan, dan membuka pintu-pintunya untuk kepergian. Ia
    selalu bergumam dengan nada sesal, sambil menyaksikan kendaraan bersileweran,
    berhenti, datang dan pergi. Debu berhamburan dekat halaman. Di saat bersamaan,
    ia mendengar bunyi seruling, jauh di belakang, seperti memanggil-manggil. Tapi
    ia tahu, tak ada lagi barisan kerbau dihalau anak gembala ke sebentang padang
    rawa-rawa. Tempat itu sudah lama tiada, ditimbun, dibikin jalan baru, dan
    rumah-rumah baru pun takzim menghadap jalan yang belum sempat diberi nama itu.
    Tentu dengan harga tanah yang lantas mengharu-biru!

    Rumahnya sendiri (setengah tembok beratap seng karatan) menghadap jalan utama,
    yang menghubungkan kota-kota di selatan dan di utara --kota-kota yang hanya
    sesekali dijelangnya. Dan bila ia menjelang salah satu kota di selatan atau di
    utara, dengan membawa hasil keringatnya, hatinya siap teriba. Betapa tidak.
    Cabai yang ia turun-pikulkan dari mobil datsun atau pick-up tumpangan, selalu
    saja jeblok di pasar raya. Beberapa kali ia menyimak baik-baik siaran RRI yang
    membacakan daftar harga sayur-mayur, dan dadanya akan berdebar saat item cabe
    merah keriting disebutkan, sambil melirik sekarung goni cabainya tersandar
    miring di sudut dinding. Alamat menunggu busuk atau hancur.

    Selebihnya, ia akan lebih banyak berkeluh-kesah tentang rumah-rumah menghadap
    jalan, yang telah membuka pintu-pintunya untuk kepergian, tapi belum tentu
    menerima kepulangan. Ia tidaklah berlebihan. Empat orang anaknya, tiga di
    antaranya laki-laki, telah lama meninggalkannya, tentu lewat jalan aspal yang
    terbelintang legam di depan rumahnya itu; dan tak pulang hingga kini. Yang
    paling menyakitkan, satu-satunya anak perempuannya, yang diharapkan merawatnya
    di masa tua seperti sekarang, ikut lenyap di jalan itu. Sering ia menyesali
    kelok jalan dengan membayangkan riuh pasar. Pasar yang riuh, pikirnya, mengapa
    tak sepenuh hati menerima keringat petani, sementara harga pupuk dan pestisida
    terus merangkak naik di kios-kios langganan? Buah sesal yang agaknya telah
    mengantar anak-keponakan dan orang kampungnya pergi ke perantauan, bahkan ke
    rantau-rantau abadi, tak pulang lagi. Dan betapa malang dia yang
    ditinggalkan…
    ***
    DIA yang kuceritakan ini sebenarnya adalah kakekku sendiri. Kakek Kadi orang
    memanggilnya, dari nama asli Khaidir; dan sebagaimana lazimnya di kampung,
    orang memilih kata yang mudah dilafalkan: Khaidir jadi Kadi. Tapi itu sudah
    cukup merujuk sesosok laki-laki yang sunyi, ditinggalkan cucu, anak dan istri,
    termasuk para tetangga yang ia cintai. Akulah cucu satu-satunya yang menemani
    kakek sampai setengah uzur. Menemani seorang uzur berarti juga mendengar
    keluh-kesah dan aliran lahar ceritanya, bukan? Meski sebagai pendengar (kadang
    tak kelewat setia) peranku dapat dikatakan kebetulan.

    Ya, kebetulan ayahku yang merupakan anak tertua si kakek, hendak menyeberang ke
    tanah jiran, sementara aku yang adalah anak tertua ayah sedang demam panas. Dan
    keberangkatan tak mungkin ditunda karena mereka telah membayar mahal kepada
    tekong yang menentukan jadwal keberangkatan, tanpa dapat ditawar. Terpaksa aku
    ditinggal, dan ketika sembuh, kusadari tak ada lagi ayah-ibu serta kedua orang
    adikku yang masih kecil, bahkan satu di antaranya sedang erat menyusu. Waktu
    itu, nenek masih hidup. Seorang perempuan, siapa pun dia, tentu tak bakal sulit
    menjadi ibu, bukan? Apalagi dalam hal diriku, perempuan itu nenekku sendiri,
    perempuan kasih.

    Kehadiranku yang berangkat remaja menjadi penghiburan tersendiri bagi kakek
    yang suka menghabiskan waktunya dengan memandang ujung jalan --utara atau
    selatan, jauh, jauh! Lalu ia akan bercerita (ah, berkeluh-kesah!) dengan nada
    haru. Baginya, ujung jalan seakan tak berkesudahan, bagai nasib para pelintas,
    entah sampai entah tidak. Semua itu membuatnya larut dalam renung panjang
    tentang jalan dan perjalanan. Tentang rumah-rumah yang ditinggalkan. Tentang
    kepergian yang kekal.

    Ketika nenek meninggal karena sakit, kakek mengira kebersamaanku dengannya akan
    menjadi sedikit kekal, setidaknya karena tidak mungkin seorang cucu seperti aku
    --yang pendiam, dan lebih suka mencorat-coret buku tulis dengan kalimat angan--
    akan tega meninggalkannya sebatang kara. Jelas kakek keliru tentang itu.
    Justru, setelah menyerap begitu banyak cerita darinya, khususnya tentang jalan
    yang membawa orang-orang pergi, diam-diam aku menjadi penasaran. Maka, dengan
    sedikit bebal, kutinggalkan dia sendirian.
    ***
    TAPI aneh, setelah jauh dari kakek, ungkapannya tentang rumah-rumah menghadap
    jalan, malah semakin mekar dalam kepalaku. Mungkin aku terperangkap begitu jauh
    dalam labirin ungkapan yang mengharu-biru itu. Atau, mungkin karena aku berada
    di pusaran waktu yang perlahan membuktikan kebenaran ungkapannya dulu.

    Apa pun, semenjak meninggalkan kampung, aku selalu memperhatikan rumah-rumah di
    sepanjang jalan, yang sebagaimana rumah-rumah di kampungku, semua serambi,
    pintu utama, juga pun tingkap, memilih menghadap jalan, entah mengapa. Itulah
    yang justru menjadi renungan kakekku dari waktu ke waktu, dulu, terlebih bila
    kerinduan kepada anak-cucu serta keponakannya memuncak. Ya, mengapa pintu dan
    penutu rumah harus menghadap ke jalan raya, seperti hendak menciumnya, seperti
    tak henti menyapa, padahal telah ia bawa pergi seisi rumah? Sungguh asing!

    Perasaan asing yang kian menggasing bilik dadaku kini. Padahal, jauh sebelumnya
    aku juga sudah terbiasa menyaksikan gerobak, pedati, dan berbagai kendaraan melewati
    jalan di depan rumah. Meski memang, saat itu, kakek belum terlalu sering
    berkeluh-kesah tentang kepergian; ia pun, setahuku, belum punya ungkapan khas
    tentang rumah-rumah menghadap jalan. Bahkan pada masa itu aku sering ikut
    pedati kakek ke sungai mengangkut pasir dan kerikil. Sepanjang jalan, roda besi
    pedati terdengar gemertak dan suara genta berkecambah, ditingkahi dengus kerbau
    yang letih oleh pelecut dan lobang jalanan. Sementara air pasir dan kerikil
    yang keruh menetes-netes di sela-sela dinding papan pedati, menyiram sepanjang
    jalur yang kami lalui. Jalan aspal yang belum terlalu baik waktu itu.

    Pernah, ketika aku duduk menjuntai di atas dinding pedati, rodanya yang sebelah
    kiri masuk ke lobang, membuat pedati miring ke kiri; dan tak pelak lagi, aku
    jatuh telentang ke aspal yang legam! Aku pingsan. Kakek menyiram kepalaku
    dengan bergantang air, dan ketika siuman, itulah saat aku tak pernah lagi ikut
    dengan pedati tuanya. Toh tak lama sesudahnya pedati itu pun dibiarkan
    menganggur, teronggok di bawah pohon cempedak di belakang rumah. Kerbau penarik
    pedati dialihkan kakek menarik bajak di sawah. "Jalan sudah bagus dan
    lebar, truk-truk sudah bisa masuk hingga ke tepi sungai, membawa pasir dan
    kerikil lebih cepat. Biarlah pedati mengalah," kata kakek masygul. Kakek
    lalu menggarap sawah dan kebunnya, meski nasibnya pun sepantun kerbau pedati;
    sarat beban di mana saja.

    Ya, jalanan yang bagus dan mulus memang telah mencampakkan pedati dan gerobak
    ke rumah-rumah tak berpenghuni. Sebaliknya, truk-truk bak terbuka semakin
    merajalela, tidak saja mengeruk pasir dan kerikil, tapi juga tanah liat.
    Lihatlah, bukit-bukit pada kerowak. Aku dan anak-anak kampung lainnya sering
    ikut dengan sebuah truk pengangkut tanah liat yang setiap hari bisa bolak-balik
    empat atau lima kali ke selatan kampung. Sepanjang jalan yang dilalui, biasanya
    kami melemparkan tanah liat yang lunak ke kepala orang-orang yang kami temui,
    sambil bersorak gembira bila ada yang kena. Pernah, segumpal tanah liat yang
    kami lemparkan menclok di kepala botak seorang anak, dan kami masih sempat
    melihat bekasnya yang memerah untuk beberapa detik lamanya dari atas truk yang
    melaju. Bagai jalan setapak di lereng bukit kelabu, lalu menghilang dari
    pandangan karena gerak dan laju, jarak dan waktu. Sampai suatu ketika orang
    kampung menyetop truk kami, memperingatkan sopir, Pak Mua, agar jangan membawa
    anak-anak kecil yang menjengkelkan seperti kami. Sejak itu, kami kehilangan
    dunia yang bergerak dan laju, meskipun hanya sebatas kampung. Padahal kampung
    pada waktu itu terasa alangkah luas, alangkah jauh, bagai tak tersentuh. Untuk
    sampai ke sudut-sudut kampung, jarak terasa tak mudah ditempuh.

    Meski pada saat itu sudah banyak orang kampungku yang pergi merantau, ke dunia
    yang hanya ada dalam anganku, sehingga seringlah aku membayangkan kota manakah
    gerangan yang mereka tuju. Aku mendengar cerita tentang jalan yang lazim
    dilalui ke rantau tujuan, seperti "Lobang Kelam" dan "Kelok
    Sembilan". Bertahun-tahun kemudian aku tahu bahwa yang satu adalah
    terowongan batu di kaki bukit dan yang satu lagi adalah jalan dengan patahan
    tajam di perbatasan; kebetulan ada sembilan kelok. Cerita dan istilah yang
    kudapatkan dari para perantau, seingatku sama asing dan barunya dengan
    kepulangan mereka dari rantau. Kepulangan yang ditandai suara bis yang
    mencericit, dan seketika benda besar yang bergerak itu telah tertegak di depan
    rumah! Suasana yang bakal mendatangkan denyut dan hiburan tersendiri bagi
    setiap orang di kampung yang membosankan. Semua mata di jendela, di pintu atau serambi
    rumah, akan nyalang menghadap jalan, dengan dada berdegup menduga siapakah yang
    bakal turun? Adakah famili yang dinanti atau keluarga yang lama pergi? Bila
    yang turun sudah diketahui, orang-orang akan bergumam sebentar, "O, si
    Anu!" tapi tak lantas kehilangan rasa memiliki. Mereka akan berlari ke
    tepi jalan, membantu kernet bis menurunkan beban, sampai akhirnya bis yang
    telah membawa si perantau dari kota, entah di mana, segera melanjutkan
    perjalanan. Maka si perantau yang baru datang akan dikerumuni orang sekampung,
    sekadar menyapa atau bertanya apa kabar, syukur-syukur terbetik sedikit berita
    tentang orang kampung lainnya yang kebetulan satu rantauan.

    Aku baru mulai menginjakkan kaki di kota-kota yang lebih jauh, ketika
    tetanggaku membeli sebuah bis antarkota --hasil penjualan tanah warisan. Aku
    membantu-bantu menjadi kernet, dengan si Ujang sebagai kernet resmi, sehingga
    jelas aku tidak digaji. Tapi aku senang, melewati jalanan, melintasi
    rumah-rumah --menghadap jalan! Kadang dari jendela bis yang melaju kulihat juga
    bulan pucat ikut berlari bersama kami, memintas jarak dan waktu.

    Jarak dan waktu jualah yang kemudian membawaku (tak kalah pucat!) ke kota-kota
    lain yang belum terbayangkan sebelumnya. Dan ungkapan kakek pun kekal di setiap
    langkah. Ya, karena sepanjang jalan yang kulalui, semua rumah seperti tunduk
    dan berserah ke jalan raya, bahkan di kota-kota yang padat kusaksikan
    rumah-rumah bagai berlomba menjengukkan wajah dan pintu-pintunya ke luar dari
    sesak ruang, menatap gang dan jalan-jalan aspal yang melingkar. Ketika untuk
    pertama kalinya aku menuju kota luar pulau, kusaksikan rumah-rumah di sepanjang
    pelabuhan penyeberangan masih berebut menghadap ujung jalan dan ramai-ramai
    membelakangi selat yang menjadi jalan raya kapal-kapal. Mengapa rumah-rumah
    harus menghadap jalan, dan itu pun sebatas jalan darat, jalan aspal yang keras
    dan legam?

    Ketika naik kereta api ke lain kota, aku pun menyaksikan rumah-rumah yang
    berderet membelakangi rel, tempat dari mana asap dapur yang ramping, sesekali
    berjabat sesaat dengan kepulan asap di cerobong lokomotif --yang terus menjerit
    dan melenguh sampai jauh. Mengingatkan suara seruling dan lenguh kerbau yang
    memang mesti bergema di padang-padang sunyi belakang rumah. Kemudian, aku
    menyeberang ke pulau yang lebih jauh, yang terkenal dengan sungai-sungainya
    yang lebar dan panjang, kusaksikan rumah-rumah bertiang tinggi yang dibangun di
    atas air, juga membelakangi arus sungai, dan ramai-ramai menghadap jalan aspal
    yang terkelupas dan hancur. Hanya ruang belakang rumah yang menghadap air,
    dengan kaki-kaki tiang menyanggah kakus, tempat mencuci dan kamar mandi; sumber
    segala kotoran dan polusi. Di atas tiang-tiang kelabu itulah, di antara
    kapal-kapal penarik kayu gelondongan dan kapal batubara yang terlihat seperti
    pulau hitam, aku sering tegak menatap kejauhan. Menatap kapal-kapal hitam
    karatan lainnya di ujung sana, bergerak perlahan bagai waktu yang melarutkan
    diriku di rantau orang. Juga kayu-kayu kuning-kelabu karena kulitnya lepas atau
    terkelupas (berhari-hari dari hulu), kini terbelintang bagai daratan kuning,
    sunyi dan asing, menggenapkan kenangan waktu dalam diriku.
    ***
    JADI, adakah di dunia ini sebuah kampung di mana rumah-rumahnya tidak menghadap
    jalan? Bertahun-tahun merantau, dengan ingatan yang lumayan kekal akan ungkapan
    kakek, aku selalu merindukan kampung yang demikian. Kubayangkan, sebuah kampung
    dengan rumah-rumah melingkar, saling berhadapan, sehingga di tengah-tengahnya
    tercipta sebuah tanah lapang. Itulah tanah halaman yang membentuk ruang bersama
    tempat anak-anak bermain kala terang bulan, dan orang-orang saling berbincang
    hanya dari penutu atau serambi rumahnya, bersahut-sahutan dengan satu
    kesungguhan. Banyak yang mungkin mereka percakapkan, tapi yang pasti
    menyiratkan satu hal: "Jangan pergi!" Tapi di manakah ada kampung
    seperti itu? Ke manakah harus kucari? Adakah ia di hulu sungai terjauh, atau
    harus kubangun sendiri di sebalik bukit kelabu? Aku tak tahu.

    Sampai suatu hari, ketika menonton televisi di warung kopi langganan kami, aku
    menyaksikan sebuah acara unik: seorang laki-laki tua memanjat pohon cempedak di
    belakang rumahnya, dan bersikeras tak mau turun, konon sudah bertahun-tahun!
    Makanan dan segala kebutuhannya harus digeret oleh tetangga lewat tali yang
    digantungkan ke dahan. Kulihat juga sebuah bangkai pedati di bawah pohon itu,
    dipenuhi serakkan daun-daun gugur. Alangkah senyap! Aku terhenyak, sekaligus
    takjub. Laki-laki itu, laki-laki itu, tidak salah lagi, kakekku! Ia disebut
    dengan nama lengkapnya: Sutan Khaidir Mahmuda! Menurut penyiar televisi, si
    kakek tak mau turun karena dengan cara itulah ia merasakan rumahnya tak lagi
    menghadap jalan.

    Bagi Sutan Khaidir, jalan darat tak lain sebuah kealpaan: memudahkan siapa saja
    untuk pergi, tapi tidak untuk kembali. Sering ia bertanya, mengapa negeri
    bahari ini luput memanfaatkan jalan air? Sungai dan lautan hanya sekadar tempat
    mencari ikan --itu pun tak maksimal-- dan sama sekali lalai membacanya sebagai
    jalan raya maha sempurna yang akan menghubungkan kita dengan pulau-pulau, ujung
    benua, segala bangsa. Dan di sana angin senantiasa bertiup, gelombang dan arus
    mengalir; memudahkan siapa pun untuk pulang. Tapi lihatlah, katanya,
    rumah-rumah di pantai, di tepi sungai, sengaja dibangun membelakangi tiang
    layar, lengkung perahu dan kapal-kapal, hanya demi jalan darat yang keras dan
    legam!*

    Disebutkan pula, puncak kekecewaan Sutan Khaidir adalah ketika cucu
    kesayangannya ikut pergi menyusuri jalan lempang di depan rumahnya itu! Sejak
    itu ia memutuskan naik ke pohon. (Kamera zoom; seraut wajah tua tengadah kukuh
    menatap jagad raya). "Ini jalan lain, jalan lurus ke langit, di mana saya
    tak perlu berpikir ke utara atau selatan, timur atau barat, kiri atau kanan,
    tapi ke atas, ke atas, ke langit pembebasan…."

    Aku yang sekarang bekerja di pusat penggergajian kayu di tepi Sungai Mahakam,
    hanya bisa menahan sedu. Tak sanggup kuhirup kopiku, meski tahu jam istirahat
    sebentar lagi berakhir dan lenguh chin-show beserta gergaji-gergaji panjang
    akan menguasai keadaan.

    "Hap! Tak tahu dia, di atas kan ada pesawat terbang lewat?!" seorang
    kawan sekerja nyeletuk mengomentari tayangan itu, lalu tertawa terpingkal.

    "Bahkan kalau ia membangun rumah karang di dasar lautan, juga ada kapal
    selam yang bakal lewat!" seseorang lain menimpal.

    "Ke bulan sekalipun!"
    "Bahkan di langit ke tujuh ada buraq dan kepak malaikat!"
    Suasana lalu riuh oleh tawa. Hanya aku yang takjub. Hanya aku yang terkesima.
    Di kepalaku berkelabat keinginan serupa; masuk ke hutan lebih dalam, jauh dari
    jalanan yang ramai dan hibuk. Akan kubangun rumah pohon di bawah lindungan atap
    kanopi, di atas kekokohan dahan-dahan, seperti burung enggang membuat sarang.
    Tapi, aduh, di manakah tempat aman untuk sebuah rumah pohon sedang jerit
    enggang dan orang hutan terus-menerus menyayat perasaan, di antara pohon-pohon
    rubuh dan terbakar? Entah, entah…
    Tiba-tiba aku teringat satu kata, "Pulang!"




      Waktu sekarang Mon Nov 25, 2024 8:31 pm