Mimpi tentang Rumah
Cerpen Mustafa Ismail
KAMI punya rumah di kampung. Tidak besar, tapi cukup menyenangkan. Rumah itu
semi permanen. Ayah membangun rumah itu ketika aku kecil. Ibuku yang menimbun
bagian dalam rumah itu, dengan tanah merah, sebelum diberi lantai dari semen
campur pasir. Tanah itu diambil dari kebun kosong persis di depan bakal rumah
kami, yang juga milik salah seorang famili ibu.
Waktu itu ibu tengah hamil adikku. Tetapi ibu tidak peduli. Ia memaksa diri
mengangkut tanah untuk menimbun, karena bersemangat untuk punya rumah. Itu
dilakukan ibu setiap pagi sampai matahari berada di atas kepala. Aku, yang
waktu itu masih kecil, sepulang sekolah ikut membantu ibu. Biasanya aku
mengangkut tanah dengan pengki dan membawa tertatih-tatih. Kalau sudah siang,
ibu berhenti dan pulang untuk memasak. Aku juga ikut pulang karena lepas siang
aku bersiap- siap untuk mengaji di meunasah.
***
AYAH dan ibu membangun rumah itu boleh dikata dengan semangat. Ayah seorang
pegawai kecil di sebuah sekolah dan ibu membantu menambah pendapatan keluarga
dengan menanam sayur-sayuran di halaman rumah tempat kami tinggal yang memang
cukup luas.
Kalau musim tanam kacang tanah atau semangka, ibu juga ikut serta bertani
dengan menyewa sawah orang lain dengan sistem bagi hasil.
Jadi praktis tidak banyak uang yang ditabung ayah dan ibu, kecuali beberapa
puluh gram emas yang dikumpulkan bertahun-tahun, ditambah dengan meminjam
kiri-kanan, termasuk dari atasan ayah di kantor. Tak ada bantuan dari siapa pun
kecuali sebuah dorongan agar kami punya rumah.
Sebelumnya kami memang punya rumah, tapi sebuah gubuk di tanah pemberian orang
tua ibuku. Itu sungguh kurang menyenangkan bagi ayah. Sebab tanah itu kerap
dipersoalkan oleh saudara ibu yang lain, terutama adiknya, meskipun sebetulnya
mereka sudah mendapat bagian masing-masing. Tetapi begitulah orang tak puas:
selalu saja lebih indah hal-hal yang belum mereka miliki. Ayah tidak mau
repot-repot dengan itu.
Maka ketika ada orang menjual tanah, ayah lalu membeli tanah itu. Ibu pun
gembira sekali ketika itu. Apalagi tanah untuk rumah itu letaknya di pinggir
jalan kabupaten yang berdebu dan tak beraspal. Jalan selebar tiga meteran itu
menghubungkan Kecamatan Trienggadeng dan Meureudu, yang berjarak sekitar tujuh
atau delapan kilometer itu. Aku suka menempuhnya dengan bersepeda bersama
kawan-kawan sebaya.
Di samping jalan itu, membentang rel kereta api, menjulur dari Sigli entah
sampai di mana. Mungkin sampai Aceh Utara dan Aceh Timur. Mungkin pula sampai
Sumatra Utara. Aku memang tidak terlalu mengusut soal itu. Apalagi aku tidak
pernah naik kereta yang melintas di rel itu. Hanya pernah melihatnya ketika aku
kecil. Ketika aku mulai sekolah kereta api sudah tak ada. Tidak jalan lagi.
Entah mengapa. Padahal, ketika tahu ayah membeli tanah dan akan membikin rumah
di Jalan Baroh -orang kampungku menyebut begitu- aku senangnya bukan main. Aku
membayangkan sesekali bisa naik kereta api.
***
AKU pernah bertanya: mengapa ibu begitu kuat mengangkat tanah untuk menimbun
rumah? Jawaban ibu membikinku haru. "Kita memang harus kuat agar bisa
punya rumah. Bagaimanapun kita lebih tenang tinggal di rumah sendiri, rumah
yang kita bangun dengan keringat sendiri," kata ibu.
Ibu juga tidak mengajak ayah untuk membantu menimbun bagian dalam rumah.
Menurut ibu, ayah juga sama seperti ibu. Hanya beda tempat saja. "Ibu
justru membantu ayahmu. Kalau ayah turut mengangkat tanah, kasihan ayahmu
terlalu lelah. Ayahmu sudah bekerja pagi sampai lepas siang," ujarnya.
"Mengapa tidak diupahin saja sama orang untuk menimbun?"
Pertanyaanku dijawab dengan senyum oleh ibu. "Kalau kita upahin sama
orang, kita tidak pernah bisa merasakan bagaimana sulitnya membangun rumah.
Padahal itu penting supaya kita tahu benar arti sebuah jerih payah sehingga
bisa merawatnya dengan baik. Lagi pula, kita tidak punya uang untuk itu."
Ah ibu, sungguh aku tidak terlalu mengerti kata-kata ibu. Aku pun tidak hendak
bertanya lebih lanjut. Aku cuma bisa memahami kata-kata ibu bahwa mereka -ayah
dan ibu- bercita-cita punya rumah. Rumah lebih baik. Di tanah sendiri. Lalu aku
pun ikut membantu ibu. "Ayo, jangan bicara saja. Bantu ibu," katanya
kemudian. Aku mencangkul bongkahan-bongkahan tanah dan memasukkan ke kain tua
ibu yang digelar di tanah. Selanjutnya, ibu berjalan tertatih-tatih dengan
perutnya makin buncit membawa beban tanah untuk menimbun rumah. Sebetulnya aku
ingin libur sekolah beberapa hari agar bisa menemani sekaligus membantu ibu.
Tetapi ibu melarangku. Katanya: kamu harus sekolah, biar bisa seperti ayah.
***
Lalu rumah itu berdiri. Setengah permanen. Rumah kami pertama-tama sangat
jelek. Serupa onggokan. Memang, sudah beratap, berlantai, berdinding, dan
berpintu. Tapi atapnya belum dicat merah saga, sebagaimana rumah-rumah lain
yang beratap seng. Lantainya bukan tegel atau keramik, tetapi cuma beton yang
dipernis dengan air semen.
Terus dindingnya masih menyembulkan batu-bata merah, belum diplester sama
sekali. Loteng alias plafonnya belum ada. Kalau siang, panas matahari langsung
menusuk ubun-ubun. Kalau musim hujan, dinginnya tak ketulungan. Hanya pintunya
yang bagus. "Mengapa rumah kita tidak sebagus rumah-rumah di dekat
pasar?"
"Rumah kita terbuat dari keringat. Tidak sama dengan rumah-rumah dekat
pasar, milik toke-toke dan pejabat kecamatan, yang dibuat dengan uang. Sabar
saja, kalau waktu milik kita, Insya Allah, rumah kita lama-lama akan menjadi
seperti rumah-rumah dekat pasar itu." Ayah benar. Pelan-pelan rumah kami
menjadi bagus. Satu per satu didandani. Atapnya dicat merah saga.
Diplester. Mula-mula bagian depan yang diplester, kali lain kamar tamu, terus
merembet sampai kamar ayah, ruang makan, dapur, sampai ke kamarku. Itu
dilakukan masing-masing dalam interval waktu berbulan-bulan. Setelah itu diberi
loteng atau plafon. Mula-mula loteng bagian kamar tamu, lalu kamar makan, terus
kamar ayah, terus loteng dapur, terakhir loteng kamarku. Tidurku pun menjadi
tidak panas lagi. Lalu dicat. Semua itu dilakukan satu per satu dengan jeda
cukup lama, sampai ayah berhasil mengumpulkan butiran-butiran waktu secukupnya.
***
RUMAH kami dekat pantai. Kalau malam aku suka duduk di luar, menikmati suara debur
ombak. Kadang- kadang bersama ibu sambil menunggu ayah pulang dari pasar.
Kadang bersama kakek, ayah ibu. Kakek suka bercerita tentang dongeng-dongeng.
Aku mendengarnya sampai larut malam. Aku memang biasa tidur malam.
Kata kakek, rumah kami dekat Malaysia. Dari pantai di belakang rumahku, ada
sebuah jembatan menghubungkan kampung kami dengan Malaysia. Jembatan itu
terbuat dari bambu. Karena itu, banyak orang kampung merantau ke Malaysia,
tinggal dan beranak-pinak di sana. "Mengapa jembatan itu sudah tidak ada?
Aku ingin sekali main sore-sore Malaysia," tanyaku suatu kali. Kakek
segera menyela. "Jembatan itu masih ada. Tetapi tidak bisa dilihat oleh
anak kecil. Makanya kamu cepat- cepat besar kalau ingin main soresore ke
Malaysia. Kamu bisa bersepeda ke sana," ujarnya. "Mengapa jembatan
bambu bisa untuk bersepeda?"
"Itulah hebatnya," tanggap kakek. Meski bambu, tetapi kalau kita
berjalan di atasnya, serasa berjalan di jalan licin beraspal. Bahkan, ada
beberapa mobil yang lewat sana." "Mengapa bisa?" Aku makin tidak
mengerti.
Kakek tersenyum sebentar, lalu berujar. "Bisa saja. Sebab, jembatan itu
dibuat oleh indatu kita. Orang-orang kita yang hidup beratus-ratus tahun lalu.
Mereka membuatnya perlahan-lahan. Dengan semangat berkobar. Mereka menumpahkan
seluruh cinta untuknya.
Mereka tidak dibayar. Tetapi mereka senang melakukannya. Mereka makan dari
harta Tuhan. Kalau siang, mereka membangun jembatan Kalau malam, mereka
memancing atau menjala ikan. Setiap pagi, banyak orang datang ke sana untuk
membeli ikan-ikan hasil tangkapan mereka." "Termasuk kakek?"
"Ya, termasuk kakek."
Kakek memang seorang pedagang ikan. Kakek bukan cuma menjual ikan di pasar.
Juga berjualan sampai ke kecamatan lain dengan mengayuh sepeda kumbang. Sering
sekali kakek pulang larut malam. Tertatih-tatih mengayuh sepeda yang tak ada
lampunya itu. Kalau bulan tidak terang, kakek memakai lampu senter untuk
penerang jalan. Kadang kakek membawa banyak ikan yang tersisa. Lalu misyik
-panggilanku untuk nenek- mencuci ikan-ikan itu dan membelahnya, memberi garam
dan dijemur untuk dijadikan ikan asin. Itu dilakukan malam itu juga, supaya
ikanikan itu tidak keburu busuk. Sering mendapatkan kakek pulang malam, aku
kerap bertanya: "Apakah kakek tidak takut hantu? Sebab, kata orang kalau
malam banyak hantu."
Kakek tertawa terbahak-bahak mendengar mendengar pertanyaanku. Aku menjadi tak
mengerti. Lalu ia menukas: "Hantu itu tak pernah ada. Jalanan aman-aman
saja." "Benarkah?" Kakek mengangguk.
***
Sejak situasi di Aceh makin tidak menyenangkan, ayah dan ibu memutuskan tinggal
di Jakarta. Kebetulan aku sudah beberapa tahun tinggal dan bekerja di kota ini.
Bukan hanya ayah dan ibu, sebagian warga lain, yang punya sanakfamili di luar
Aceh, juga ikut mengungsi.
Ingin menentramkan diri, katanya. Pemuda juga begitu, mereka banyak yang pergi
merantau. Ada yang ke Medan, Batam, Jakarta, sampai Malaysia. Tetapi, sejak
tinggal di kota ini, ayah kerap termenung. Pikirannya selalu tertuju pada
rumah. Tak jarang ia marahmarah sendiri dan mengatakan ingin pulang saja ke
kampung. Sering pula ayah menyalahkan ibu yang dulu terus mendorong agar mereka
segera meninggalkan kampung karena tidak sanggup lagi menghadapi berbagai
kejadian yang malang-melintang di depan mata.
Kalau sedang berdebat dengan ibu -sebab ibu lebih berprinsip lebih baik hidup
tenang jauh dari kampung daripada hidup was-was dan ketakutan i kampung
sendiri- ayah selalu mengatakan: "Kalau Tuhan mau mencabut nyawa kita, di
mana saja bisa. Mengapa kita harus takut pada mati." Kalau sudah begitu,
ibu tidak akan melayani, dan pergi ke belakang dan menangis, karena merasa
terus dipersalahkan oleh ayah. Waktu-waktu yang paling sering terjadi keributan
antara ayah dan ibu adalah menjelang habis masa kontrak rumah. Karena pada masa
itu ayah harus mengeluarkan uang dalam jumlah banyak untuk membayar biaya
kontrak selanjutnya. Meski punya uang pensiun -ayah pensiunan pegawai negeri
golongan IIID- sekitar Rp 1 juta rupiah sebulan, ayah selalu kepayahan setiap
akan membayar biaya kontrakan.
Bisa dipahami memang, agak berat hidup di kota ini dengan gaji satu juta rupiah
sebulan. Tetapi kalau dipikirpikir, masih beruntung ayah mempunyai pendapatan.
Itu ditambah lagi dengan usaha ibu sehari-hari membuat kue untuk ditaruh di
warung dekat tempat tinggal. Tidak banyak pemasukan memang, tetapi untuk
belanja ikan dan sayur setiap hari tercukupi. Tetapi bagi ayah, ibu selalu
dianggap telah mengambil keputusan yang keliru: hijrah dari kampung. Karena
itu, ayah merasa selalu harus mengeluarkan uang banyak untuk tempat tinggal dan
biaya hidup. "Rumah orang kita perbaiki, rumah sendiri kita biarkan
terlantar," kata ayah selalu. Maksud ayah, membayar sekian juta rupiah
untuk biaya kontrakan dianggap memperbaiki rumah orang. Kalau itu digunakan
untuk merawat rumah sendiri, betapa sudah bagusnya rumah itu. Bukan hanya ibu,
aku sendiri kadang juga kena semprot dari ayah. Aku dianggap yang memprovokasi
ibu agar hijrah dari kampung dulu. Aku memang beberapa kali mengirim surat
kepada ibu agar mempertimbangkan -aku tidak menyuruh- untuk tinggal di Jakarta
saja. Mulanya ibu agak ragu. Tetapi setelah mengetahui sebagian orang Aceh,
yang punya sanak-famili di luar daerah, meninggalkan kampung, ibu jadi
terpengaruh juga.
Jadilah ibu kemudian mendesak ayah agar segera berkemas. Ayah menjual sepeda
motor kesayangannya, menurut ayah, dengan harga murah. Juga menjual televisi,
kulkas, dan perangkat elektronik lain. Semua dengan harga "butuh
uang". Kecuali rumah, ayah bersikeras tidak mau menjualnya. "Kalau
kita jual, nanti saat Aceh aman dan kita pulang kampung, kita akan tinggal di
mana?" tanya ayah. Ibu memang tidak menyuruh agar ayah menjual rumah,
karena ibu juga berharap suatu saat bisa kembali pulang kampung dan
menghabiskan masa tuanya di sana. Akulah yang menyurati agar ayah dan ibu menjual
rumah, setelah mengetahui keputusan mereka untuk hijrah. Aku berpikir praktis
saja, daripada rusak, mendingan diuangkan saja. Lagi pula, buat apa lagi ayah
dan ibu pulang ke kampung, semua anakanaknya -aku dan seorang adikku- sudah
tinggal dan bekerja di Jakarta. Mendingan mereka tinggal di Jakarta, bisa dekat
dengan kami, juga cucu-cucunya, yakni anak-anakku. Tetapi aku tidak memaksa
juga. Biarlah ayah dan ibu mengambil keputusannya sendiri.
***
"Apakah kamu pernah berpikir tentang rumah? Rumah kita di kampung,"
tanya ayah suatu sore, ketika aku baru saja tiba dari tempat kerja. Aku melihat
mata ayah basah dan beberapa tetes air matanya meluncur ke pipinya yang mulai
keriput. Baru sekali ini aku melihat ayah menangis. Biasanya kalau teringat rumah,
ayah hanya marah-marah dan wajahnya menjadi bersemu merah.
Aku duduk di samping ayah, memandang butiran-butiran hujan yang mulai turun, di
tempat tinggal ayah dan ibu, sebuah rumah sederhana yang dikontrak seharga lima
juta rupiah setahun itu. Aku betul-betul tersentak dengan cara ayah bertanya,
juga suasana hatinya yang terasa begitu galau dan sedih. Ada apa yang terjadi
sebenarnya.
Tetapi aku hanya menarik napas dalam- dalam dan menghembuskannya perlahan. Aku
tidak tahu bagaimana harus menjawab pertanyaan ayah. Aku hanya bisa
membayangkan dari jauh: sebuah rumah semi permanen, berkamar dua, dan beratap
merah saga. Sepi dan sendiri. "Apakah ada kabar dari kampung?"
tanyaku kemudian setelah lama terdiam. "Tidak," katanya sambil
terisak, lalu mengusap air mata dengan ujung jarinya.
"Itulah masalahnya. Ayah khawatir terjadi apa-apa dengan rumah kita. Tadi
malam ayah bermimpi rumah kita sudah roboh. Dan orang-orang satu per satu
datang untuk mengambil papan dan kayu untuk dijadikan kayu bakar," kata
ayah sangat pelan dengan isak yang tidak bisa ditahan. "Itu kan mimpi.
Pada kenyataannya kan tidak."
"Mimpi itu ayah yakin sekali benar. Dan arti mimpi itu bisa banyak. Bisa
saja rumah itu digunakan oleh orang lain untuk hal-hal yang tidak kita
inginkan. Atau paling tidak rumah itu sudah bocor, kotor, dan mungkin kayu-
kayunya mulai lapuk dan catnya sudah terkelupas. Padahal kamu tahu, betapa
susahnya kita untuk punya rumah dulu. Kita dulu harus tahan lapar untuk
membangunnya."
Sekali lagi aku menarik napas. Betul juga kata ayah. "Bagaimana kalau kita
kirim surat kepada paman di kampung menanyakan kondisi rumah?"
"Tidak. Ayah terpikir mau pulang sendiri ke Aceh ingin melihat rumah.
Kasihan kalau rumah itu jadi rusak," suara ayah.
"Tetapi di kampung belum aman. Kita tunggu saja sampai kondisi benar-benar
tenteram," aku memberi pengertian. "Sampai kapan?" Ayah bertanya
dengan suara serak. Beberapa tetes air mata kembali meluncur ke pipinya. Aku
menggigit bibir, tidak tahu harus berkata apa. "Seharusnya, masa-masa
pensiun begini ayah jalani bersama ibumu di kampung sambil merawat rumah,"
tutur ayah dengan wajah yang makin basah. ***
Pamulang, 27 Mei 2004
Cerpen Mustafa Ismail
KAMI punya rumah di kampung. Tidak besar, tapi cukup menyenangkan. Rumah itu
semi permanen. Ayah membangun rumah itu ketika aku kecil. Ibuku yang menimbun
bagian dalam rumah itu, dengan tanah merah, sebelum diberi lantai dari semen
campur pasir. Tanah itu diambil dari kebun kosong persis di depan bakal rumah
kami, yang juga milik salah seorang famili ibu.
Waktu itu ibu tengah hamil adikku. Tetapi ibu tidak peduli. Ia memaksa diri
mengangkut tanah untuk menimbun, karena bersemangat untuk punya rumah. Itu
dilakukan ibu setiap pagi sampai matahari berada di atas kepala. Aku, yang
waktu itu masih kecil, sepulang sekolah ikut membantu ibu. Biasanya aku
mengangkut tanah dengan pengki dan membawa tertatih-tatih. Kalau sudah siang,
ibu berhenti dan pulang untuk memasak. Aku juga ikut pulang karena lepas siang
aku bersiap- siap untuk mengaji di meunasah.
***
AYAH dan ibu membangun rumah itu boleh dikata dengan semangat. Ayah seorang
pegawai kecil di sebuah sekolah dan ibu membantu menambah pendapatan keluarga
dengan menanam sayur-sayuran di halaman rumah tempat kami tinggal yang memang
cukup luas.
Kalau musim tanam kacang tanah atau semangka, ibu juga ikut serta bertani
dengan menyewa sawah orang lain dengan sistem bagi hasil.
Jadi praktis tidak banyak uang yang ditabung ayah dan ibu, kecuali beberapa
puluh gram emas yang dikumpulkan bertahun-tahun, ditambah dengan meminjam
kiri-kanan, termasuk dari atasan ayah di kantor. Tak ada bantuan dari siapa pun
kecuali sebuah dorongan agar kami punya rumah.
Sebelumnya kami memang punya rumah, tapi sebuah gubuk di tanah pemberian orang
tua ibuku. Itu sungguh kurang menyenangkan bagi ayah. Sebab tanah itu kerap
dipersoalkan oleh saudara ibu yang lain, terutama adiknya, meskipun sebetulnya
mereka sudah mendapat bagian masing-masing. Tetapi begitulah orang tak puas:
selalu saja lebih indah hal-hal yang belum mereka miliki. Ayah tidak mau
repot-repot dengan itu.
Maka ketika ada orang menjual tanah, ayah lalu membeli tanah itu. Ibu pun
gembira sekali ketika itu. Apalagi tanah untuk rumah itu letaknya di pinggir
jalan kabupaten yang berdebu dan tak beraspal. Jalan selebar tiga meteran itu
menghubungkan Kecamatan Trienggadeng dan Meureudu, yang berjarak sekitar tujuh
atau delapan kilometer itu. Aku suka menempuhnya dengan bersepeda bersama
kawan-kawan sebaya.
Di samping jalan itu, membentang rel kereta api, menjulur dari Sigli entah
sampai di mana. Mungkin sampai Aceh Utara dan Aceh Timur. Mungkin pula sampai
Sumatra Utara. Aku memang tidak terlalu mengusut soal itu. Apalagi aku tidak
pernah naik kereta yang melintas di rel itu. Hanya pernah melihatnya ketika aku
kecil. Ketika aku mulai sekolah kereta api sudah tak ada. Tidak jalan lagi.
Entah mengapa. Padahal, ketika tahu ayah membeli tanah dan akan membikin rumah
di Jalan Baroh -orang kampungku menyebut begitu- aku senangnya bukan main. Aku
membayangkan sesekali bisa naik kereta api.
***
AKU pernah bertanya: mengapa ibu begitu kuat mengangkat tanah untuk menimbun
rumah? Jawaban ibu membikinku haru. "Kita memang harus kuat agar bisa
punya rumah. Bagaimanapun kita lebih tenang tinggal di rumah sendiri, rumah
yang kita bangun dengan keringat sendiri," kata ibu.
Ibu juga tidak mengajak ayah untuk membantu menimbun bagian dalam rumah.
Menurut ibu, ayah juga sama seperti ibu. Hanya beda tempat saja. "Ibu
justru membantu ayahmu. Kalau ayah turut mengangkat tanah, kasihan ayahmu
terlalu lelah. Ayahmu sudah bekerja pagi sampai lepas siang," ujarnya.
"Mengapa tidak diupahin saja sama orang untuk menimbun?"
Pertanyaanku dijawab dengan senyum oleh ibu. "Kalau kita upahin sama
orang, kita tidak pernah bisa merasakan bagaimana sulitnya membangun rumah.
Padahal itu penting supaya kita tahu benar arti sebuah jerih payah sehingga
bisa merawatnya dengan baik. Lagi pula, kita tidak punya uang untuk itu."
Ah ibu, sungguh aku tidak terlalu mengerti kata-kata ibu. Aku pun tidak hendak
bertanya lebih lanjut. Aku cuma bisa memahami kata-kata ibu bahwa mereka -ayah
dan ibu- bercita-cita punya rumah. Rumah lebih baik. Di tanah sendiri. Lalu aku
pun ikut membantu ibu. "Ayo, jangan bicara saja. Bantu ibu," katanya
kemudian. Aku mencangkul bongkahan-bongkahan tanah dan memasukkan ke kain tua
ibu yang digelar di tanah. Selanjutnya, ibu berjalan tertatih-tatih dengan
perutnya makin buncit membawa beban tanah untuk menimbun rumah. Sebetulnya aku
ingin libur sekolah beberapa hari agar bisa menemani sekaligus membantu ibu.
Tetapi ibu melarangku. Katanya: kamu harus sekolah, biar bisa seperti ayah.
***
Lalu rumah itu berdiri. Setengah permanen. Rumah kami pertama-tama sangat
jelek. Serupa onggokan. Memang, sudah beratap, berlantai, berdinding, dan
berpintu. Tapi atapnya belum dicat merah saga, sebagaimana rumah-rumah lain
yang beratap seng. Lantainya bukan tegel atau keramik, tetapi cuma beton yang
dipernis dengan air semen.
Terus dindingnya masih menyembulkan batu-bata merah, belum diplester sama
sekali. Loteng alias plafonnya belum ada. Kalau siang, panas matahari langsung
menusuk ubun-ubun. Kalau musim hujan, dinginnya tak ketulungan. Hanya pintunya
yang bagus. "Mengapa rumah kita tidak sebagus rumah-rumah di dekat
pasar?"
"Rumah kita terbuat dari keringat. Tidak sama dengan rumah-rumah dekat
pasar, milik toke-toke dan pejabat kecamatan, yang dibuat dengan uang. Sabar
saja, kalau waktu milik kita, Insya Allah, rumah kita lama-lama akan menjadi
seperti rumah-rumah dekat pasar itu." Ayah benar. Pelan-pelan rumah kami
menjadi bagus. Satu per satu didandani. Atapnya dicat merah saga.
Diplester. Mula-mula bagian depan yang diplester, kali lain kamar tamu, terus
merembet sampai kamar ayah, ruang makan, dapur, sampai ke kamarku. Itu
dilakukan masing-masing dalam interval waktu berbulan-bulan. Setelah itu diberi
loteng atau plafon. Mula-mula loteng bagian kamar tamu, lalu kamar makan, terus
kamar ayah, terus loteng dapur, terakhir loteng kamarku. Tidurku pun menjadi
tidak panas lagi. Lalu dicat. Semua itu dilakukan satu per satu dengan jeda
cukup lama, sampai ayah berhasil mengumpulkan butiran-butiran waktu secukupnya.
***
RUMAH kami dekat pantai. Kalau malam aku suka duduk di luar, menikmati suara debur
ombak. Kadang- kadang bersama ibu sambil menunggu ayah pulang dari pasar.
Kadang bersama kakek, ayah ibu. Kakek suka bercerita tentang dongeng-dongeng.
Aku mendengarnya sampai larut malam. Aku memang biasa tidur malam.
Kata kakek, rumah kami dekat Malaysia. Dari pantai di belakang rumahku, ada
sebuah jembatan menghubungkan kampung kami dengan Malaysia. Jembatan itu
terbuat dari bambu. Karena itu, banyak orang kampung merantau ke Malaysia,
tinggal dan beranak-pinak di sana. "Mengapa jembatan itu sudah tidak ada?
Aku ingin sekali main sore-sore Malaysia," tanyaku suatu kali. Kakek
segera menyela. "Jembatan itu masih ada. Tetapi tidak bisa dilihat oleh
anak kecil. Makanya kamu cepat- cepat besar kalau ingin main soresore ke
Malaysia. Kamu bisa bersepeda ke sana," ujarnya. "Mengapa jembatan
bambu bisa untuk bersepeda?"
"Itulah hebatnya," tanggap kakek. Meski bambu, tetapi kalau kita
berjalan di atasnya, serasa berjalan di jalan licin beraspal. Bahkan, ada
beberapa mobil yang lewat sana." "Mengapa bisa?" Aku makin tidak
mengerti.
Kakek tersenyum sebentar, lalu berujar. "Bisa saja. Sebab, jembatan itu
dibuat oleh indatu kita. Orang-orang kita yang hidup beratus-ratus tahun lalu.
Mereka membuatnya perlahan-lahan. Dengan semangat berkobar. Mereka menumpahkan
seluruh cinta untuknya.
Mereka tidak dibayar. Tetapi mereka senang melakukannya. Mereka makan dari
harta Tuhan. Kalau siang, mereka membangun jembatan Kalau malam, mereka
memancing atau menjala ikan. Setiap pagi, banyak orang datang ke sana untuk
membeli ikan-ikan hasil tangkapan mereka." "Termasuk kakek?"
"Ya, termasuk kakek."
Kakek memang seorang pedagang ikan. Kakek bukan cuma menjual ikan di pasar.
Juga berjualan sampai ke kecamatan lain dengan mengayuh sepeda kumbang. Sering
sekali kakek pulang larut malam. Tertatih-tatih mengayuh sepeda yang tak ada
lampunya itu. Kalau bulan tidak terang, kakek memakai lampu senter untuk
penerang jalan. Kadang kakek membawa banyak ikan yang tersisa. Lalu misyik
-panggilanku untuk nenek- mencuci ikan-ikan itu dan membelahnya, memberi garam
dan dijemur untuk dijadikan ikan asin. Itu dilakukan malam itu juga, supaya
ikanikan itu tidak keburu busuk. Sering mendapatkan kakek pulang malam, aku
kerap bertanya: "Apakah kakek tidak takut hantu? Sebab, kata orang kalau
malam banyak hantu."
Kakek tertawa terbahak-bahak mendengar mendengar pertanyaanku. Aku menjadi tak
mengerti. Lalu ia menukas: "Hantu itu tak pernah ada. Jalanan aman-aman
saja." "Benarkah?" Kakek mengangguk.
***
Sejak situasi di Aceh makin tidak menyenangkan, ayah dan ibu memutuskan tinggal
di Jakarta. Kebetulan aku sudah beberapa tahun tinggal dan bekerja di kota ini.
Bukan hanya ayah dan ibu, sebagian warga lain, yang punya sanakfamili di luar
Aceh, juga ikut mengungsi.
Ingin menentramkan diri, katanya. Pemuda juga begitu, mereka banyak yang pergi
merantau. Ada yang ke Medan, Batam, Jakarta, sampai Malaysia. Tetapi, sejak
tinggal di kota ini, ayah kerap termenung. Pikirannya selalu tertuju pada
rumah. Tak jarang ia marahmarah sendiri dan mengatakan ingin pulang saja ke
kampung. Sering pula ayah menyalahkan ibu yang dulu terus mendorong agar mereka
segera meninggalkan kampung karena tidak sanggup lagi menghadapi berbagai
kejadian yang malang-melintang di depan mata.
Kalau sedang berdebat dengan ibu -sebab ibu lebih berprinsip lebih baik hidup
tenang jauh dari kampung daripada hidup was-was dan ketakutan i kampung
sendiri- ayah selalu mengatakan: "Kalau Tuhan mau mencabut nyawa kita, di
mana saja bisa. Mengapa kita harus takut pada mati." Kalau sudah begitu,
ibu tidak akan melayani, dan pergi ke belakang dan menangis, karena merasa
terus dipersalahkan oleh ayah. Waktu-waktu yang paling sering terjadi keributan
antara ayah dan ibu adalah menjelang habis masa kontrak rumah. Karena pada masa
itu ayah harus mengeluarkan uang dalam jumlah banyak untuk membayar biaya
kontrak selanjutnya. Meski punya uang pensiun -ayah pensiunan pegawai negeri
golongan IIID- sekitar Rp 1 juta rupiah sebulan, ayah selalu kepayahan setiap
akan membayar biaya kontrakan.
Bisa dipahami memang, agak berat hidup di kota ini dengan gaji satu juta rupiah
sebulan. Tetapi kalau dipikirpikir, masih beruntung ayah mempunyai pendapatan.
Itu ditambah lagi dengan usaha ibu sehari-hari membuat kue untuk ditaruh di
warung dekat tempat tinggal. Tidak banyak pemasukan memang, tetapi untuk
belanja ikan dan sayur setiap hari tercukupi. Tetapi bagi ayah, ibu selalu
dianggap telah mengambil keputusan yang keliru: hijrah dari kampung. Karena
itu, ayah merasa selalu harus mengeluarkan uang banyak untuk tempat tinggal dan
biaya hidup. "Rumah orang kita perbaiki, rumah sendiri kita biarkan
terlantar," kata ayah selalu. Maksud ayah, membayar sekian juta rupiah
untuk biaya kontrakan dianggap memperbaiki rumah orang. Kalau itu digunakan
untuk merawat rumah sendiri, betapa sudah bagusnya rumah itu. Bukan hanya ibu,
aku sendiri kadang juga kena semprot dari ayah. Aku dianggap yang memprovokasi
ibu agar hijrah dari kampung dulu. Aku memang beberapa kali mengirim surat
kepada ibu agar mempertimbangkan -aku tidak menyuruh- untuk tinggal di Jakarta
saja. Mulanya ibu agak ragu. Tetapi setelah mengetahui sebagian orang Aceh,
yang punya sanak-famili di luar daerah, meninggalkan kampung, ibu jadi
terpengaruh juga.
Jadilah ibu kemudian mendesak ayah agar segera berkemas. Ayah menjual sepeda
motor kesayangannya, menurut ayah, dengan harga murah. Juga menjual televisi,
kulkas, dan perangkat elektronik lain. Semua dengan harga "butuh
uang". Kecuali rumah, ayah bersikeras tidak mau menjualnya. "Kalau
kita jual, nanti saat Aceh aman dan kita pulang kampung, kita akan tinggal di
mana?" tanya ayah. Ibu memang tidak menyuruh agar ayah menjual rumah,
karena ibu juga berharap suatu saat bisa kembali pulang kampung dan
menghabiskan masa tuanya di sana. Akulah yang menyurati agar ayah dan ibu menjual
rumah, setelah mengetahui keputusan mereka untuk hijrah. Aku berpikir praktis
saja, daripada rusak, mendingan diuangkan saja. Lagi pula, buat apa lagi ayah
dan ibu pulang ke kampung, semua anakanaknya -aku dan seorang adikku- sudah
tinggal dan bekerja di Jakarta. Mendingan mereka tinggal di Jakarta, bisa dekat
dengan kami, juga cucu-cucunya, yakni anak-anakku. Tetapi aku tidak memaksa
juga. Biarlah ayah dan ibu mengambil keputusannya sendiri.
***
"Apakah kamu pernah berpikir tentang rumah? Rumah kita di kampung,"
tanya ayah suatu sore, ketika aku baru saja tiba dari tempat kerja. Aku melihat
mata ayah basah dan beberapa tetes air matanya meluncur ke pipinya yang mulai
keriput. Baru sekali ini aku melihat ayah menangis. Biasanya kalau teringat rumah,
ayah hanya marah-marah dan wajahnya menjadi bersemu merah.
Aku duduk di samping ayah, memandang butiran-butiran hujan yang mulai turun, di
tempat tinggal ayah dan ibu, sebuah rumah sederhana yang dikontrak seharga lima
juta rupiah setahun itu. Aku betul-betul tersentak dengan cara ayah bertanya,
juga suasana hatinya yang terasa begitu galau dan sedih. Ada apa yang terjadi
sebenarnya.
Tetapi aku hanya menarik napas dalam- dalam dan menghembuskannya perlahan. Aku
tidak tahu bagaimana harus menjawab pertanyaan ayah. Aku hanya bisa
membayangkan dari jauh: sebuah rumah semi permanen, berkamar dua, dan beratap
merah saga. Sepi dan sendiri. "Apakah ada kabar dari kampung?"
tanyaku kemudian setelah lama terdiam. "Tidak," katanya sambil
terisak, lalu mengusap air mata dengan ujung jarinya.
"Itulah masalahnya. Ayah khawatir terjadi apa-apa dengan rumah kita. Tadi
malam ayah bermimpi rumah kita sudah roboh. Dan orang-orang satu per satu
datang untuk mengambil papan dan kayu untuk dijadikan kayu bakar," kata
ayah sangat pelan dengan isak yang tidak bisa ditahan. "Itu kan mimpi.
Pada kenyataannya kan tidak."
"Mimpi itu ayah yakin sekali benar. Dan arti mimpi itu bisa banyak. Bisa
saja rumah itu digunakan oleh orang lain untuk hal-hal yang tidak kita
inginkan. Atau paling tidak rumah itu sudah bocor, kotor, dan mungkin kayu-
kayunya mulai lapuk dan catnya sudah terkelupas. Padahal kamu tahu, betapa
susahnya kita untuk punya rumah dulu. Kita dulu harus tahan lapar untuk
membangunnya."
Sekali lagi aku menarik napas. Betul juga kata ayah. "Bagaimana kalau kita
kirim surat kepada paman di kampung menanyakan kondisi rumah?"
"Tidak. Ayah terpikir mau pulang sendiri ke Aceh ingin melihat rumah.
Kasihan kalau rumah itu jadi rusak," suara ayah.
"Tetapi di kampung belum aman. Kita tunggu saja sampai kondisi benar-benar
tenteram," aku memberi pengertian. "Sampai kapan?" Ayah bertanya
dengan suara serak. Beberapa tetes air mata kembali meluncur ke pipinya. Aku
menggigit bibir, tidak tahu harus berkata apa. "Seharusnya, masa-masa
pensiun begini ayah jalani bersama ibumu di kampung sambil merawat rumah,"
tutur ayah dengan wajah yang makin basah. ***
Pamulang, 27 Mei 2004
Tue Aug 01, 2023 9:56 pm by wisatasemarang
» Portable STATA 18 Crack Full Version
Thu May 11, 2023 5:24 pm by wisatasemarang
» NVivo 12 Crack Full version
Mon Jan 30, 2023 11:16 am by wisatasemarang
» Tutorial Difference In difference (DID (Diff-in-Diff) With Eviews 13
Thu Nov 03, 2022 6:24 am by wisatasemarang
» Online Workshop Smart PLS Minggu, 01 Oktober 2022
Sat Sep 17, 2022 11:35 am by wisatasemarang
» kumpulan ebook tentang robot
Fri Jan 02, 2015 10:04 pm by kyuru
» MANTRA PELET
Wed May 16, 2012 3:31 am by orlandojack
» book love of spell
Sat Mar 24, 2012 8:08 pm by rifqi as
» attraction Formula
Sat Mar 24, 2012 7:09 pm by rifqi as