Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

ingin bergabung dengan elrakyat.tk klik pendaftaran. jika anda sudah pernah mendaftar silakan login. jangan lupa ajak kawan-kawanmu ke mari , dan jadilah top poster di forum kita

Join the forum, it's quick and easy

Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

ingin bergabung dengan elrakyat.tk klik pendaftaran. jika anda sudah pernah mendaftar silakan login. jangan lupa ajak kawan-kawanmu ke mari , dan jadilah top poster di forum kita

Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

Would you like to react to this message? Create an account in a few clicks or log in to continue.
Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

salah satu forum terbesar tempat kita bernostalgia

Login

Lupa password?

Our traffic

info rakyat

Sun Oct 31, 2010 9:05 pm by admin

---------------
PEMBERITAHUAN....

SF ZONA RELIGI SEKARANG KAMI PINDAH KE [You must be registered and logged in to see this link.] ANDA BISA BERPARTISIPASI DAN MENJADI MODERATOR SESUAI PERMINTAAN ANDA DENGAN REQUEST VIA SMS NO ADMIN 081945520865


Sekilas Info

Sun Jun 27, 2010 2:44 pm by admin

kabar gembira, forum lentera-rakyat mulai hari ini juga bisa diakses melalui [You must be registered and logged in to see this link.]


    mimpi tentang rumah

    admin
    admin
    Admin
    Admin


    Zodiac : Virgo Jumlah posting : 688
    Join date : 19.03.10
    Age : 36
    Lokasi : Malang-Indonesia

    mimpi tentang rumah Empty mimpi tentang rumah

    Post by admin Tue Jun 15, 2010 12:32 pm

    Mimpi tentang Rumah








    Cerpen Mustafa Ismail

    KAMI punya rumah di kampung. Tidak besar, tapi cukup menyenangkan. Rumah itu
    semi permanen. Ayah membangun rumah itu ketika aku kecil. Ibuku yang menimbun
    bagian dalam rumah itu, dengan tanah merah, sebelum diberi lantai dari semen
    campur pasir. Tanah itu diambil dari kebun kosong persis di depan bakal rumah
    kami, yang juga milik salah seorang famili ibu.

    Waktu itu ibu tengah hamil adikku. Tetapi ibu tidak peduli. Ia memaksa diri
    mengangkut tanah untuk menimbun, karena bersemangat untuk punya rumah. Itu
    dilakukan ibu setiap pagi sampai matahari berada di atas kepala. Aku, yang
    waktu itu masih kecil, sepulang sekolah ikut membantu ibu. Biasanya aku
    mengangkut tanah dengan pengki dan membawa tertatih-tatih. Kalau sudah siang,
    ibu berhenti dan pulang untuk memasak. Aku juga ikut pulang karena lepas siang
    aku bersiap- siap untuk mengaji di meunasah.
    ***

    AYAH dan ibu membangun rumah itu boleh dikata dengan semangat. Ayah seorang
    pegawai kecil di sebuah sekolah dan ibu membantu menambah pendapatan keluarga
    dengan menanam sayur-sayuran di halaman rumah tempat kami tinggal yang memang
    cukup luas.

    Kalau musim tanam kacang tanah atau semangka, ibu juga ikut serta bertani
    dengan menyewa sawah orang lain dengan sistem bagi hasil.

    Jadi praktis tidak banyak uang yang ditabung ayah dan ibu, kecuali beberapa
    puluh gram emas yang dikumpulkan bertahun-tahun, ditambah dengan meminjam
    kiri-kanan, termasuk dari atasan ayah di kantor. Tak ada bantuan dari siapa pun
    kecuali sebuah dorongan agar kami punya rumah.

    Sebelumnya kami memang punya rumah, tapi sebuah gubuk di tanah pemberian orang
    tua ibuku. Itu sungguh kurang menyenangkan bagi ayah. Sebab tanah itu kerap
    dipersoalkan oleh saudara ibu yang lain, terutama adiknya, meskipun sebetulnya
    mereka sudah mendapat bagian masing-masing. Tetapi begitulah orang tak puas:
    selalu saja lebih indah hal-hal yang belum mereka miliki. Ayah tidak mau
    repot-repot dengan itu.

    Maka ketika ada orang menjual tanah, ayah lalu membeli tanah itu. Ibu pun
    gembira sekali ketika itu. Apalagi tanah untuk rumah itu letaknya di pinggir
    jalan kabupaten yang berdebu dan tak beraspal. Jalan selebar tiga meteran itu
    menghubungkan Kecamatan Trienggadeng dan Meureudu, yang berjarak sekitar tujuh
    atau delapan kilometer itu. Aku suka menempuhnya dengan bersepeda bersama
    kawan-kawan sebaya.

    Di samping jalan itu, membentang rel kereta api, menjulur dari Sigli entah
    sampai di mana. Mungkin sampai Aceh Utara dan Aceh Timur. Mungkin pula sampai
    Sumatra Utara. Aku memang tidak terlalu mengusut soal itu. Apalagi aku tidak
    pernah naik kereta yang melintas di rel itu. Hanya pernah melihatnya ketika aku
    kecil. Ketika aku mulai sekolah kereta api sudah tak ada. Tidak jalan lagi.
    Entah mengapa. Padahal, ketika tahu ayah membeli tanah dan akan membikin rumah
    di Jalan Baroh -orang kampungku menyebut begitu- aku senangnya bukan main. Aku
    membayangkan sesekali bisa naik kereta api.
    ***

    AKU pernah bertanya: mengapa ibu begitu kuat mengangkat tanah untuk menimbun
    rumah? Jawaban ibu membikinku haru. "Kita memang harus kuat agar bisa
    punya rumah. Bagaimanapun kita lebih tenang tinggal di rumah sendiri, rumah
    yang kita bangun dengan keringat sendiri," kata ibu.

    Ibu juga tidak mengajak ayah untuk membantu menimbun bagian dalam rumah.
    Menurut ibu, ayah juga sama seperti ibu. Hanya beda tempat saja. "Ibu
    justru membantu ayahmu. Kalau ayah turut mengangkat tanah, kasihan ayahmu
    terlalu lelah. Ayahmu sudah bekerja pagi sampai lepas siang," ujarnya.
    "Mengapa tidak diupahin saja sama orang untuk menimbun?"

    Pertanyaanku dijawab dengan senyum oleh ibu. "Kalau kita upahin sama
    orang, kita tidak pernah bisa merasakan bagaimana sulitnya membangun rumah.
    Padahal itu penting supaya kita tahu benar arti sebuah jerih payah sehingga
    bisa merawatnya dengan baik. Lagi pula, kita tidak punya uang untuk itu."

    Ah ibu, sungguh aku tidak terlalu mengerti kata-kata ibu. Aku pun tidak hendak
    bertanya lebih lanjut. Aku cuma bisa memahami kata-kata ibu bahwa mereka -ayah
    dan ibu- bercita-cita punya rumah. Rumah lebih baik. Di tanah sendiri. Lalu aku
    pun ikut membantu ibu. "Ayo, jangan bicara saja. Bantu ibu," katanya
    kemudian. Aku mencangkul bongkahan-bongkahan tanah dan memasukkan ke kain tua
    ibu yang digelar di tanah. Selanjutnya, ibu berjalan tertatih-tatih dengan
    perutnya makin buncit membawa beban tanah untuk menimbun rumah. Sebetulnya aku
    ingin libur sekolah beberapa hari agar bisa menemani sekaligus membantu ibu.
    Tetapi ibu melarangku. Katanya: kamu harus sekolah, biar bisa seperti ayah.
    ***

    Lalu rumah itu berdiri. Setengah permanen. Rumah kami pertama-tama sangat
    jelek. Serupa onggokan. Memang, sudah beratap, berlantai, berdinding, dan
    berpintu. Tapi atapnya belum dicat merah saga, sebagaimana rumah-rumah lain
    yang beratap seng. Lantainya bukan tegel atau keramik, tetapi cuma beton yang
    dipernis dengan air semen.

    Terus dindingnya masih menyembulkan batu-bata merah, belum diplester sama
    sekali. Loteng alias plafonnya belum ada. Kalau siang, panas matahari langsung
    menusuk ubun-ubun. Kalau musim hujan, dinginnya tak ketulungan. Hanya pintunya
    yang bagus. "Mengapa rumah kita tidak sebagus rumah-rumah di dekat
    pasar?"

    "Rumah kita terbuat dari keringat. Tidak sama dengan rumah-rumah dekat
    pasar, milik toke-toke dan pejabat kecamatan, yang dibuat dengan uang. Sabar
    saja, kalau waktu milik kita, Insya Allah, rumah kita lama-lama akan menjadi
    seperti rumah-rumah dekat pasar itu." Ayah benar. Pelan-pelan rumah kami
    menjadi bagus. Satu per satu didandani. Atapnya dicat merah saga.

    Diplester. Mula-mula bagian depan yang diplester, kali lain kamar tamu, terus
    merembet sampai kamar ayah, ruang makan, dapur, sampai ke kamarku. Itu
    dilakukan masing-masing dalam interval waktu berbulan-bulan. Setelah itu diberi
    loteng atau plafon. Mula-mula loteng bagian kamar tamu, lalu kamar makan, terus
    kamar ayah, terus loteng dapur, terakhir loteng kamarku. Tidurku pun menjadi
    tidak panas lagi. Lalu dicat. Semua itu dilakukan satu per satu dengan jeda
    cukup lama, sampai ayah berhasil mengumpulkan butiran-butiran waktu secukupnya.
    ***

    RUMAH kami dekat pantai. Kalau malam aku suka duduk di luar, menikmati suara debur
    ombak. Kadang- kadang bersama ibu sambil menunggu ayah pulang dari pasar.
    Kadang bersama kakek, ayah ibu. Kakek suka bercerita tentang dongeng-dongeng.
    Aku mendengarnya sampai larut malam. Aku memang biasa tidur malam.

    Kata kakek, rumah kami dekat Malaysia. Dari pantai di belakang rumahku, ada
    sebuah jembatan menghubungkan kampung kami dengan Malaysia. Jembatan itu
    terbuat dari bambu. Karena itu, banyak orang kampung merantau ke Malaysia,
    tinggal dan beranak-pinak di sana. "Mengapa jembatan itu sudah tidak ada?
    Aku ingin sekali main sore-sore Malaysia," tanyaku suatu kali. Kakek
    segera menyela. "Jembatan itu masih ada. Tetapi tidak bisa dilihat oleh
    anak kecil. Makanya kamu cepat- cepat besar kalau ingin main soresore ke
    Malaysia. Kamu bisa bersepeda ke sana," ujarnya. "Mengapa jembatan
    bambu bisa untuk bersepeda?"

    "Itulah hebatnya," tanggap kakek. Meski bambu, tetapi kalau kita
    berjalan di atasnya, serasa berjalan di jalan licin beraspal. Bahkan, ada
    beberapa mobil yang lewat sana." "Mengapa bisa?" Aku makin tidak
    mengerti.

    Kakek tersenyum sebentar, lalu berujar. "Bisa saja. Sebab, jembatan itu
    dibuat oleh indatu kita. Orang-orang kita yang hidup beratus-ratus tahun lalu.
    Mereka membuatnya perlahan-lahan. Dengan semangat berkobar. Mereka menumpahkan
    seluruh cinta untuknya.

    Mereka tidak dibayar. Tetapi mereka senang melakukannya. Mereka makan dari
    harta Tuhan. Kalau siang, mereka membangun jembatan Kalau malam, mereka
    memancing atau menjala ikan. Setiap pagi, banyak orang datang ke sana untuk
    membeli ikan-ikan hasil tangkapan mereka." "Termasuk kakek?"
    "Ya, termasuk kakek."

    Kakek memang seorang pedagang ikan. Kakek bukan cuma menjual ikan di pasar.
    Juga berjualan sampai ke kecamatan lain dengan mengayuh sepeda kumbang. Sering
    sekali kakek pulang larut malam. Tertatih-tatih mengayuh sepeda yang tak ada
    lampunya itu. Kalau bulan tidak terang, kakek memakai lampu senter untuk
    penerang jalan. Kadang kakek membawa banyak ikan yang tersisa. Lalu misyik
    -panggilanku untuk nenek- mencuci ikan-ikan itu dan membelahnya, memberi garam
    dan dijemur untuk dijadikan ikan asin. Itu dilakukan malam itu juga, supaya
    ikanikan itu tidak keburu busuk. Sering mendapatkan kakek pulang malam, aku
    kerap bertanya: "Apakah kakek tidak takut hantu? Sebab, kata orang kalau
    malam banyak hantu."

    Kakek tertawa terbahak-bahak mendengar mendengar pertanyaanku. Aku menjadi tak
    mengerti. Lalu ia menukas: "Hantu itu tak pernah ada. Jalanan aman-aman
    saja." "Benarkah?" Kakek mengangguk.
    ***

    Sejak situasi di Aceh makin tidak menyenangkan, ayah dan ibu memutuskan tinggal
    di Jakarta. Kebetulan aku sudah beberapa tahun tinggal dan bekerja di kota ini.
    Bukan hanya ayah dan ibu, sebagian warga lain, yang punya sanakfamili di luar
    Aceh, juga ikut mengungsi.

    Ingin menentramkan diri, katanya. Pemuda juga begitu, mereka banyak yang pergi
    merantau. Ada yang ke Medan, Batam, Jakarta, sampai Malaysia. Tetapi, sejak
    tinggal di kota ini, ayah kerap termenung. Pikirannya selalu tertuju pada
    rumah. Tak jarang ia marahmarah sendiri dan mengatakan ingin pulang saja ke
    kampung. Sering pula ayah menyalahkan ibu yang dulu terus mendorong agar mereka
    segera meninggalkan kampung karena tidak sanggup lagi menghadapi berbagai
    kejadian yang malang-melintang di depan mata.

    Kalau sedang berdebat dengan ibu -sebab ibu lebih berprinsip lebih baik hidup
    tenang jauh dari kampung daripada hidup was-was dan ketakutan i kampung
    sendiri- ayah selalu mengatakan: "Kalau Tuhan mau mencabut nyawa kita, di
    mana saja bisa. Mengapa kita harus takut pada mati." Kalau sudah begitu,
    ibu tidak akan melayani, dan pergi ke belakang dan menangis, karena merasa
    terus dipersalahkan oleh ayah. Waktu-waktu yang paling sering terjadi keributan
    antara ayah dan ibu adalah menjelang habis masa kontrak rumah. Karena pada masa
    itu ayah harus mengeluarkan uang dalam jumlah banyak untuk membayar biaya
    kontrak selanjutnya. Meski punya uang pensiun -ayah pensiunan pegawai negeri
    golongan IIID- sekitar Rp 1 juta rupiah sebulan, ayah selalu kepayahan setiap
    akan membayar biaya kontrakan.

    Bisa dipahami memang, agak berat hidup di kota ini dengan gaji satu juta rupiah
    sebulan. Tetapi kalau dipikirpikir, masih beruntung ayah mempunyai pendapatan.
    Itu ditambah lagi dengan usaha ibu sehari-hari membuat kue untuk ditaruh di
    warung dekat tempat tinggal. Tidak banyak pemasukan memang, tetapi untuk
    belanja ikan dan sayur setiap hari tercukupi. Tetapi bagi ayah, ibu selalu
    dianggap telah mengambil keputusan yang keliru: hijrah dari kampung. Karena
    itu, ayah merasa selalu harus mengeluarkan uang banyak untuk tempat tinggal dan
    biaya hidup. "Rumah orang kita perbaiki, rumah sendiri kita biarkan
    terlantar," kata ayah selalu. Maksud ayah, membayar sekian juta rupiah
    untuk biaya kontrakan dianggap memperbaiki rumah orang. Kalau itu digunakan
    untuk merawat rumah sendiri, betapa sudah bagusnya rumah itu. Bukan hanya ibu,
    aku sendiri kadang juga kena semprot dari ayah. Aku dianggap yang memprovokasi
    ibu agar hijrah dari kampung dulu. Aku memang beberapa kali mengirim surat
    kepada ibu agar mempertimbangkan -aku tidak menyuruh- untuk tinggal di Jakarta
    saja. Mulanya ibu agak ragu. Tetapi setelah mengetahui sebagian orang Aceh,
    yang punya sanak-famili di luar daerah, meninggalkan kampung, ibu jadi
    terpengaruh juga.

    Jadilah ibu kemudian mendesak ayah agar segera berkemas. Ayah menjual sepeda
    motor kesayangannya, menurut ayah, dengan harga murah. Juga menjual televisi,
    kulkas, dan perangkat elektronik lain. Semua dengan harga "butuh
    uang". Kecuali rumah, ayah bersikeras tidak mau menjualnya. "Kalau
    kita jual, nanti saat Aceh aman dan kita pulang kampung, kita akan tinggal di
    mana?" tanya ayah. Ibu memang tidak menyuruh agar ayah menjual rumah,
    karena ibu juga berharap suatu saat bisa kembali pulang kampung dan
    menghabiskan masa tuanya di sana. Akulah yang menyurati agar ayah dan ibu menjual
    rumah, setelah mengetahui keputusan mereka untuk hijrah. Aku berpikir praktis
    saja, daripada rusak, mendingan diuangkan saja. Lagi pula, buat apa lagi ayah
    dan ibu pulang ke kampung, semua anakanaknya -aku dan seorang adikku- sudah
    tinggal dan bekerja di Jakarta. Mendingan mereka tinggal di Jakarta, bisa dekat
    dengan kami, juga cucu-cucunya, yakni anak-anakku. Tetapi aku tidak memaksa
    juga. Biarlah ayah dan ibu mengambil keputusannya sendiri.
    ***

    "Apakah kamu pernah berpikir tentang rumah? Rumah kita di kampung,"
    tanya ayah suatu sore, ketika aku baru saja tiba dari tempat kerja. Aku melihat
    mata ayah basah dan beberapa tetes air matanya meluncur ke pipinya yang mulai
    keriput. Baru sekali ini aku melihat ayah menangis. Biasanya kalau teringat rumah,
    ayah hanya marah-marah dan wajahnya menjadi bersemu merah.

    Aku duduk di samping ayah, memandang butiran-butiran hujan yang mulai turun, di
    tempat tinggal ayah dan ibu, sebuah rumah sederhana yang dikontrak seharga lima
    juta rupiah setahun itu. Aku betul-betul tersentak dengan cara ayah bertanya,
    juga suasana hatinya yang terasa begitu galau dan sedih. Ada apa yang terjadi
    sebenarnya.

    Tetapi aku hanya menarik napas dalam- dalam dan menghembuskannya perlahan. Aku
    tidak tahu bagaimana harus menjawab pertanyaan ayah. Aku hanya bisa
    membayangkan dari jauh: sebuah rumah semi permanen, berkamar dua, dan beratap
    merah saga. Sepi dan sendiri. "Apakah ada kabar dari kampung?"
    tanyaku kemudian setelah lama terdiam. "Tidak," katanya sambil
    terisak, lalu mengusap air mata dengan ujung jarinya.

    "Itulah masalahnya. Ayah khawatir terjadi apa-apa dengan rumah kita. Tadi
    malam ayah bermimpi rumah kita sudah roboh. Dan orang-orang satu per satu
    datang untuk mengambil papan dan kayu untuk dijadikan kayu bakar," kata
    ayah sangat pelan dengan isak yang tidak bisa ditahan. "Itu kan mimpi.
    Pada kenyataannya kan tidak."

    "Mimpi itu ayah yakin sekali benar. Dan arti mimpi itu bisa banyak. Bisa
    saja rumah itu digunakan oleh orang lain untuk hal-hal yang tidak kita
    inginkan. Atau paling tidak rumah itu sudah bocor, kotor, dan mungkin kayu-
    kayunya mulai lapuk dan catnya sudah terkelupas. Padahal kamu tahu, betapa
    susahnya kita untuk punya rumah dulu. Kita dulu harus tahan lapar untuk
    membangunnya."

    Sekali lagi aku menarik napas. Betul juga kata ayah. "Bagaimana kalau kita
    kirim surat kepada paman di kampung menanyakan kondisi rumah?"
    "Tidak. Ayah terpikir mau pulang sendiri ke Aceh ingin melihat rumah.
    Kasihan kalau rumah itu jadi rusak," suara ayah.

    "Tetapi di kampung belum aman. Kita tunggu saja sampai kondisi benar-benar
    tenteram," aku memberi pengertian. "Sampai kapan?" Ayah bertanya
    dengan suara serak. Beberapa tetes air mata kembali meluncur ke pipinya. Aku
    menggigit bibir, tidak tahu harus berkata apa. "Seharusnya, masa-masa
    pensiun begini ayah jalani bersama ibumu di kampung sambil merawat rumah,"
    tutur ayah dengan wajah yang makin basah. ***

    Pamulang, 27 Mei 2004

      Waktu sekarang Mon May 20, 2024 1:18 am