Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

ingin bergabung dengan elrakyat.tk klik pendaftaran. jika anda sudah pernah mendaftar silakan login. jangan lupa ajak kawan-kawanmu ke mari , dan jadilah top poster di forum kita

Join the forum, it's quick and easy

Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

ingin bergabung dengan elrakyat.tk klik pendaftaran. jika anda sudah pernah mendaftar silakan login. jangan lupa ajak kawan-kawanmu ke mari , dan jadilah top poster di forum kita

Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

Would you like to react to this message? Create an account in a few clicks or log in to continue.
Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

salah satu forum terbesar tempat kita bernostalgia

Login

Lupa password?

Our traffic

info rakyat

Sun Oct 31, 2010 9:05 pm by admin

---------------
PEMBERITAHUAN....

SF ZONA RELIGI SEKARANG KAMI PINDAH KE [You must be registered and logged in to see this link.] ANDA BISA BERPARTISIPASI DAN MENJADI MODERATOR SESUAI PERMINTAAN ANDA DENGAN REQUEST VIA SMS NO ADMIN 081945520865


Sekilas Info

Sun Jun 27, 2010 2:44 pm by admin

kabar gembira, forum lentera-rakyat mulai hari ini juga bisa diakses melalui [You must be registered and logged in to see this link.]


    keberadaan sekolah swasta semakin terpuruk

    ratri
    ratri
    Mega Ultimate Member


    Zodiac : Virgo Jumlah posting : 281
    Join date : 01.04.10
    Age : 36
    Lokasi : di hati si admin

    keberadaan sekolah swasta semakin terpuruk Empty keberadaan sekolah swasta semakin terpuruk

    Post by ratri Mon Jun 14, 2010 10:46 pm

    Anggapan bahwa “Keberadaan sekolah-sekolah swasta makin lama makin terpuruk”, ternyata bukan hanya omong kosong, setidaknya hal itu terjadi di kota Kabupaten Garut dan mungkin juga di berbagai daerah lainnya.
    Tak sedikit sekolah-sekolah swasta umumnya yang terletak di kota kabupaten, juga di kecamatan yang terancam gulung tikar akibat semakin berkurang jumlah siswanya, padahal sebagian di antara mereka bisa dikategorikan sebagai “Sekolah Pejuang”, karena keberadaannya yang telah sekian lama, yaitu beberapa tahun sebelum Indonesia merdeka, sebut saja: Sekolah Pasundan yang berawal dari “Sekolah Pasundan Istri dan didirikan oleh R.A. Dewi Sartika”, Sekolah Taman Siswa didirikan oleh Bapak Pendidikan Indonesia, Ki Hadjar Dewantara, dan masih ada sekolah-sekolah lainnya yang memiliki catatan sejarah dan berdiri saat Indonesia masih berusia “balita”.

    Latar belakang berdirinya sekolah-sekolah swasta itu, jelas bukanlah didasari niat untuk mencari keuntungan bagi pendirinya, namun karena rasa tanggung jawab sebagai “warga negara yang mampu berbuat sesuatu bagi anak bangsa umumnya di negeri ini”.

    Banyaknya anak-anak bangsa yang tidak mendapatkan kesempatan untuk berpendidikan di zaman penjajahan Hindia Belanda adalah realita nyata saat itu yang sungguh sangat menyedihkan, maka dengan alasan itulah mereka mendirikan lembaga pendidikan yang berorientasi sosial murni dengan dana swadaya berasal dari milik pribadi para pendiri. Tujuan mereka saat itu hanya satu: “Turut serta mencerdaskan anak bangsa di negeri ini”.

    Zaman pun terus berganti, akan tetapi perjuangan untuk menegakkan eksistensi sekolah-sekolah itu tetaplah dengan cara swadaya murni. Berbagai kemelut kerap terjadi yang pada umumnya muncul karena terbatasnya dana operasional sekolah, sementara tuntutan perubahan paradigma pendidikan selalu siap menghadang setiap saat. Dan ternyata patutlah disyukuri, karena dengan didasari loyalisme dan jiwa pengabdian tinggi dari pihak yayasan juga para pengajar di sekolah-sekolah swasta tersebut, hal ini menjadikan keberadaannya mampu untuk tetap dipertahankan.

    Namun sampai kapankah mereka akan sanggup bertahan, sementara keberadaan mereka taklah diperhitungkan? Sedangkan bila mau jujur mengakui, tak sedikit prestasi gemilang yang telah mampu diraih oleh sekolah-sekolah swasta ini, baik pada bidang akademis, olah raga juga kesenian. Namun prestasi-prestasi itu ternyata tak pernah mampu menerbitkan perhatian dari pihak berwenang bagi perkembangan dan kemajuan sekolah-sekolah swasta tersebut. Untuk ini seakan berlaku prinsip: “prestasi sebaik apapun yang berhasil diraih sekolah swasta, tak akan menjadikan naiknya gengsi/prestise daerah!” Dalam kaitannya dengan makin terpuruknya sekolah-sekolah swasta ini, beberapa hal bisa ditengarai sebagai penyebabnya, antara lain:

    1. Minimnya perhatian pemerintah

    Hal ini sangat dirasakan oleh para pengelola Lembaga Pendidikan Swasta umumnya di berbagai daerah. Keberadaan Lembaga Pendidikan itu adalah milik swasta/yayasan, memang benar dan tak perlu diperdebatkan lagi.

    Namun keberadaan mereka yang telah sekian puluh tahun lamanya membantu pemerintah untuk “turut mencerdaskan anak bangsa” pun adalah fakta nyata yang tak mungkin bisa dipungkiri. Saat Negara ini masih berusia balita dan belumlah mampu untuk mendirikan banyak sekolah guna mencerdaskan anak bangsanya, saat itulah mereka yang juga merupakan bagian dari warga bangsa ini memiliki kepekaan dan kepedulian untuk membantu pemerintah “turut serta mencerdaskan anak bangsanya”.

    Akan tetapi apa yang terjadi dalam perkembangannya kemudian, manakala pemerintah negeri ini telah memiliki kemampuan untuk mendirikan banyak sekolah bagi rakyatnya? Ternyata keberadaan sekolah-sekolah swasta itu seolah terlupakan dan pada akhirnya terpinggirkan. Sulitnya mendapatkan berbagai bantuan bagi pengadaan dan penyempurnaan berbagai sarana pendidikan, merupakan hal biasa yang dialami para pengelola sekolah swasta ini, walau mereka tahu tak sedikit sebenarnya bantuan yang sejatinya diperuntukkan bagi sekolah swasta.

    Berbeloknya tujuan pengalokasian berbagai bantuan, juga tak tepatnya sasaran pemberian bantuan sudah merupakan hal umum diketahui dan seakan telah menjadi cerita tersendiri dalam perjalanannya. Alhasil, berbagai bantuan bagi sekolah swasta tetap menggelontor dari sumbernya, namun keberadaan sekolah swasta tetaplah tak berubah.

    Minimnya perhatian pemerintah ini pun bisa dirasakan terhadap pengakuan dan penghargaan bagi berbagai prestasi yang telah berhasil diraih oleh sekolah-sekolah swasta. “Padahal tak sedikit sekolah-sekolah swasta yang telah mampu berprestasi secara murni dalam berbagai bidang tanpa disertai upaya memanipulasi prestasi demi sebuah prestise”, namun hak untuk memperoleh sebuah pengakuan dan penghargaan ternyata berlalu begitu saja “seolah prestasi-prestasi itu tak ada urusannya dengan Dinas Pemerintah terkait!”

    Hal inilah yang antara lain menjadi penyebab seolah prestise sekolah swasta hanya sekolah tak bermutu, kelas dua dan hanya diminati oleh anak-anak yang terbuang, Dan untuk itu bisa dikatakan; “telah terjadi pembentukan sebuah image negatif bagi sekolah-sekolah swasta umumnya”.

    2. Dana BOS dengan berbagai dampaknya

    Tujuan dari Kebijakan Dana bantuan Operasional Sekolah yang diperuntukan bagi seluruh siswa di tiap sekolah, adalah untuk membantu biaya operasional sekolah sehingga dengan demikian anak-anak yang berasal dari keluarga ekonomi tak mampu bisa tetap bersekolah dan tak harus menjadi anak putus sekolah. Namun dalam perjalanannya ternyata telah terjadi berbagai penyimpangan terhadap tujuan semula, dan penyimpangan yang sangat kentara antara lain dilakukan dengan cara:
    Me-mark up jumlah siswa di sebuah sekolah,
    Pelanggaran terhadap Keputusan DIRJEN Pendidikan Dasar dan Menengah Nomor: 541/C.C3/Kep/MN/2004 Tentang Pedoman Tipe Sekolah menengah Pertama.
    Dan yang menjadi alasan terjadinya penyimpangan-penyimpangan itu, adalah jelas sebagai upaya agar bertambah besarnya jumlah dana BOS yang diperoleh.

    Dalam SK DIRJEN DIKDASMEN No. 541/C.C3/Kep/MN/2004 Tentang Pedoman Tipe sekolah Menengah Pertama, telah dengan sangat jelas menyebutkan persyaratan untuk berbagai tipe sekolah plus jumlah maximum peserta didik untuk tiap rombongan belajar/kelas yaitu 40 siswa. Aturan ini ditetapkan DIRJEN DIKDASMEN bukanlah tanpa alasan, akan tetapi dengan pertimbangan kapasitas ruang kelas belajar juga efektifitas proses kegiatan belajar.

    Walaupun hal ini bila mengacu pada Kurikulum yang sekarang berlaku; yaitu Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), sebenarnya dengan jumlah siswa 40/kelas pun sudah terlalu banyak dan tak memungkinkan terlaksananya proses belajar sesuai KTSP itu dapat berlangsung efektif, karena persyaratan ideal untuk jumlah siswa per kelas sesuai KTSP adalah 18–20 orang siswa.

    Sudah umum diketahui, bahwa ternyata pada umumnya di sekolah-sekolah negeri jumlah kelas/rombongan belajar, juga jumlah siswa per kelas tak sesuai persyaratan yang telah ditentukan, alias membengkak melebihi persyaratan. Sebagai contoh: Dalam SK DIRJEN DIKDASMEN, ditetapkan bahwa untuk sekolah tipe A = 27 rombongan belajar/kelas; artinya 27 : 3 tingkatan (Kelas VII,VIII & IX) = Kelas VII adalah 9 rombongan belajar/kelas, Kelas VIII adalah 9 rombongan belajar/kelas, dan untuk kelas IX juga 9 rombongan belajar/kelas.

    Dengan ketentuan lanjutan: Peserta didik, tiap 1 rombongan belajar maksimum 40 siswa. Dalam kenyataannya, tak sedikit sekolah-sekolah negeri dengan tipe A, memiliki jumlah rombongan belajar/kelas lebih dari 9 kelas, juga jumlah siswa per kelas hingga 44-46 orang siswa. Bahkan ada juga, yang kemudian membuka kelas jauh agar bisa menampung jumlah siswa sebanyak mungkin, padahal disekitarnya masih terdapat sekolah swasta. Pengertian kelas jauh; sejatinya adalah kelas dari sekolah yang sama, namun terletak lebih jauh dari sekolah induknya, dengan tujuan untuk memberi kesempatan siswa agar dapat bersekolah dekat dengan tempat tinggalnya.

    Namun ternyata nafsu untuk membuat sekolah jauh ini kerap membuahkan peristiwa ironis, yaitu siswa yang telah bersekolah di salah satu sekolah swasta “tiba-tiba” pindah ke sekolah jauh tersebut. Dan lebih ironis lagi, ada juga sekolah yang membuka kelas jauh, tapi ternyata tetap belajar disekolah induknya; artinya hanya namanya saja “sekolah jauh”. Dan akibatnya dengan bertambahnya siswa yang sedianya untuk “sekolah jauh” itu, pada akhirnya dijejal bersama-sama dengan siswa kelas regular dalam ruang kelas yang sama. Dan hikmah dari membengkaknya jumlah siswa di sebuah sekolah, berarti lancar pulalah gelontoran berbagai dana bantuan untuk berbagai sarana sekolah, sehingga dalam sekejap image sekolah unggulan pun diperoleh seiring dengan megahnya bangunan sekolah.

    3. Diskriminasi kebijakan terhadap sekolah swasta

    Ternyata tak hanya sampai trade mark unggulan, karena masih diikuti dengan penganugerahan lanjutan sebuah “status bergengsi” bagi sekolah-sekolah berpenampilan megah tersebut, dan yang pasti dengan penganugerahan status itu berarti menambah lancarnya gelontoran dana bantuan untuk melengkapi sarana dan prasarana sesuai status yang ditetapkan.

    Kemudahan mendapatkan status bergengsi ini, mau tak mau pada akhirnya memunculkan kesan bahwa; pemberian status tersebut hanyalah sebagai “jembatan”, untuk memudahkan mengalirnya berbagai dana bantuan. Dan kesan itu rasanya tidak terlalu berlebihan, mengingat kriteria penetapan “Status Sekolah bergengsi” itu tidaklah jelas.

    Bila yang menjadi kriteria adalah “Prestasi Akademis atau lainnya”, maka apabila penilaian itu dilakukan secara obyektif, seharusnya bukan hanya sekolah negeri yang bisa mendapatkan status bergengsi tersebut, akan tetapi banyak sekolah swasta pun yang seharusnya berhak mendapatkannya. Sedangkan kenyataannya; andai pun untuk sekolah swasta diberikan status bergengsi tertentu, maka status itu selalu diberi embel-embel “Mandiri” dibelakangnya, seperti contoh: “Sekolah Standar Nasional Mandiri dan Sekolah Berstandar Internasional Mandiri”.

    Apakah embel-embel tambahan itu dimaksudkan agar tak perlu memberikan dana bantuan bagi pengembangan sarana dan prasarananya? Bukankah sekolah-sekolah swasta inipun sekarang diwajibkan untuk membayar pajak? Jadi alasan apakah yang menyebabkan Hak mereka harus dibedakan?

    Bila ternyata pemerintah beranggapan bahwa sekolah swasta identik dengan sekolah mampu/elite dan sebagainya, maka anggapan seperti ini sangatlah disayangkan karena itu berarti pemerintah memandang keberadaan sekolah swasta ini melalui “kacamata kuda” dengan contoh sekolah-sekolah swasta “elite” di kota-kota besar, dan tak pernah meninjau langsung keberadaannya di berbagai daerah.

    “Habis manis sepah dibuang”, sangatlah tepat untuk menggambarkan nasib keberadaan sekolah-sekolah swasta umumnya kini di berbagai daerah di negeri ini.

      Waktu sekarang Thu May 09, 2024 9:34 am