Benarkah Wajah Sekolah ada pada Kepala Sekolah
Biasanya
di awal tahun ajaran baru para orang tua menjadi pusing memikirkan kelanjutan
pendidikan putera-puteri mereka. Berhadapan dengan biaya sekolah yang mahal dan
beban ekonomis yang berat rasanya tak kuat lagi hidup di dunia ini. Alhasil,
mereka cenderung memilih sekolah negeri. Kalau pun ada sekolah swasta maka
lebih sering putera-puterinya diarahkan kepada sekolah-sekolah swasta yang
gencar promosinya, walaupun belum mengetahui apa yang sebenarnya yang ada dan
akan terjadi. Ada juga orang tua yang sering mengklarifikasi eksistensi sekolah
dan kemajuannya sehingga melihat prospek sekolah sebagai wacana utama sebelum
menjatuhkan pilihan.
Namun sedemikian urgennya wacana mengenai kemajuan sekolah tidaklah lebih urgen
bila orang memberikan atensinya pada kiprah kepala sekolah. Eksplorasi argumen
dapat diberikan pada pernyataan ini.
Pertama, kepala sekolah adalah pelaksana suatu tugas yang sarat dengan harapan
dan pembaharuan. Kemasan cita-cita mulia pendidikan kita secara tidak langsung
diserahkan kepada kepala sekolah. Optimisme orang tua yang terkondisikan pada
kepercayaan menyekolahkan putera-puterinya pada sekolah tertentu tidak lain
berupa fenomen menggantungkan cita-citanya pada kepala sekolah. Peserta didik
dapat belajar dan membelajarkan dirinya hanya karena fasilitasi kepala sekolah.
Seonggokan aturan dan kurikulum yang selanjutnya direalisasiakan oleh para
pendidik sudah pasti atas koordinasi dan otokrasi dari kepala sekolah.
Singkatnya, kepala sekolah merupakan tokoh sentral pendidikan.
Kedua, sekolah sebagai suatu komunitas pendidikan membutuhkan seorang figur
pemimpin yang dapat mendayagunakan semua potensi yang ada dalam sekolah untuk
suatu visi dan misi sekolah. Pada level ini, kepala sekolah sering dianggap
satu atau identik, bahkan secara begitu saja dikatakan bahwa wajah sekolah ada
pada kepala sekolahnya. Di sini tampak peranan kepala sekolah bukan hanya
seorang akumulator yang mengumpulkan aneka ragam potensi penata usaha, guru,
karyawan dan peserta didik; melainkan konseptor managerial yang
bertanggungjawab pada kontribusi masing-masingnya demi efektivitas dan
efiseiensi kelangsungan pendidikan. Akhirnya, kepala sekolah berperanan sebagai
manager yang mengelola sekolah. Sayang sekali kalau kedua peran itu yakni
sebagai tokoh sentral dan manajer dalam sekolah diharubirukan oleh ketakmampuan
mengatasi aneka krisis yang ada dalam sekolah.
Krisis Kepemimpinan
Dualisme kurikulum nasional seakan-akan memberikan pekerjaan rumah tersendiri
bagi kepala sekolah. Demi standarisasi dan uniformitas, kepala sekolah menerima
semua mata pelajaran resmi milik para konseptor pendidikan. Sayangnya, peserta
didik dikorbankan oleh beban pelajaran yang kian menekan. Pengembangan
kurikulum dengan cara menambah mata pelajaran alternatif bukannya menambah
gairah belajar peserta didik malah memposisikan peserta didik sebagai robot
kurikulum. Belum lagi ada pekerjaan rumah yang mesti diselesaikan. Kapan mereka
bermain? Kapan mereka bersosialisasi dengan lingkungan? Sekolah betul-betul
tidak membebaskan peserta didik.
Kemasan kurikulum yang rapi itu pun masih belum bisa direalisasikan. Peserta
didik dibiarkan mengembara tanpa seorang fasilitator secara berlarut lama.
Kalaupun ada maka kualitasnya pun tak bisa dibanggakan karena selalu menunggu
instruksi dari kepala sekolah. Bukankah peserta didik harus memperoleh ilmu
pengetahuan? Bukankah mereka wajib menuntut hak mereka bila sudah melunasi
kewajibannya?
Krisis itu kian menghantu ketika kepala sekolah tidak lagi melihat
rekan-rekannya sebagai sumber daya yang cukup potensial demi kemajuan sekolah.
Hal ini ditandai oleh berbagai kebijakan dan keputusan yang kurang
partisipatif. Ada kesan seolah-olah mau kerja sendiri. Loyalitas buta dari
mitra kerjanya malah dibanggakan. Kebiasaan buruk dalam memberikan sterotip
yang irrasional bercokol akrab pada insan sentral ini. Orang yang kritis
menyiasati keadaan kerapkali dianggap musuh yang segera disingkirkan. Itu
pertanda rendahnya intelektualitas dan gagal membangun suatu team work yang
solid. Roh apa yang merasuki insan-insan ini? Barangkali nafas politik orde
baru yang telah sekian lama menggerogoti dunia pendidikan sehingga kepala
sekolah begitu egois dan sentralistik. Sangat disayangkan bila masyarakat
sebagai owner pendidikan membiarkan seorang tokoh sentral sekolah bertindak
otoriter dan tak mampu mengelola konflik. Lebih konyol lagi, ketika sang kepala
sekolah harus lari dari persoalan yang ditimbulkan akibat keputusan yang
sentralistik dan bingung mencari solusi yang akomodatif.
Krisis itu kian membara apabila kepala sekolah tidak mengetahui tugasnya
sebagai kepala sekolah. Bukankah dia adalah seorang planner, organizer,
actuater dan controller? Tidak ada tanda-tanda bagi sebuah manajemen yang
teratur. Komunikasi yang interpersonal dengan rekan kerja tidak banyak
dilakukan. Manajemen waktu, kurikulum, system informasi dan pembagian tugas
yang jelas kepada para wakil-wakilnya seolah-olah sudah ada tetapi tanpa arah
yang pasti.
Mekanisme komunikasi yang melahirkan suatu keputusan penting terpenjarakan
dalam persepsi yang keliru akibat tak bisa membedakan antara pertemuan dan
pengumuman sehingga sesuatu yang urgen dan bahkan harus segera dipecahkan malah
dibuat dalam bentuk pemberitahuan yang tak menuntut banyak masukan dan
tanggapan. Kesannya, kepala sekolah itu orang yang sudah banyak pengetahuan dan
pengalaman sehingga meremehkan input yang datang dari grassroot. Sang kepala
sekolah jarang berada di kantor, super sibuk, gemar menghadiri pertemuan di
luar sekolah. Ironisnya, kepala sekolah yang sibuk itu tidak mengetahui
perkembangan informasi yang mungkin sangat berguna bagi peserta didik dan
perkembangan rekan-rekannya. Kedisiplinan sebagai alasan bagi pemecatan bawahan
tetapi kepala sekolah sering tidak masuk sekolah dan berdalil mengikuti meeting
yang begitu urgen dan tak terwakilkan.
Kegagalan sekolah sebetulnya sudah diambang pintu bila letak prioritas
kebutuhan sekolah bukan pada kualitas intern tetapi pada promosi dan sensasi.
Kecanggihan sekolah dimegahkan pada deretan CD komputer sambil melupakan
ketersediaan buku dan majalah yang merangsang kesadaran membaca peserta didik.
Kepopuleran sekolah terletak pada seberapa jumlah masyarakat yang mengetahui
bahwa sekolahnya sudah terjamah oleh teknologi canggih yang menyajikan
pembelajaran via media OHP/LCD Projecktor sambil terlena dalam kebodohan
melihat efek negatif dan efektivitas dari penggunaan fasilitas itu. Seberapa
banyak waktu yang dipakai untuk menggerakkan mouse komputer? Apakah cocok media
ini dipakai dalam pembelajaran seperti matematika. Menulis angka-angka, rumus
dan proses kerja matematika di papan tulis itu juga merupakan suatu proses
belajar. Jadi, tak perlu meremehkan fasilitas pembelajaran yang sudah dipakai
bertahun-tahun lamanya.
Upaya sensasional menjadi kontraproduktif bila masyarakat dikibuli pada
janji-janji yang muluk bukan pada kenyataan yang seharusnya ada. Masyarakat
manakah yang membiarkan anak-anaknya kecewa akibat termakan janji? Pemerintah
mana yang membiarkan generasi penerus bangsa terjebak dalam arus propaganda
tanpa hasil yang real? Pemilik sekolah manakah yang membiarkan asetnya hancur
berkeping-keping akibat ulah dari sang kepala sekolah yang tak tahu diri? Atau,
peserta didik manakah yang berhasil digembleng karena penipuan yang
terselubung?
Manajer di Sekolah
Mengimbangi krisis yang ada, kepala sekolah tidak hanya dituntut sebagai
educator dan administrator, melainkan juga harus berperanan sebagai manajer dan
supervisor yang mampu menerapkan manajemen bermutu. Indikasinya ada pada iklim
kerja dan proses pembelajaran yang konstruktif, berkreasi serta berprestasi.
Manajemen sekolah tidak lain berarti pendayagunaan dan penggunaan sumber daya
yang ada dan yang dapat diadakan secara efisien dan efektif untuk mencapai visi
dan misi sekolah. Kepala sekolah bertanggung jawab atas jalannya lembaga
sekolah dan kegiatannya. Kepala sekolah berada di garda terdepan dan dapat
diukur keberhasilannya.
Pada prinsipnya manajemen sekolah itu sama dengan manajemen yang diterapkan di
perusahaan. Perbedaannya terdapat pada produk akhir yang dihasilkan. Yang
dihasilkan oleh manajemen sekolah adalah manusia yang berubah. Dari yang tidak
tahu menjadi tahu, dari yang tidak berpengalaman menjadi berpengalaman, dari
yang tak bisa menjadi bisa. Sedangkan sasaran manajemen perusahaan itu pada
kualitas produksi benda-benda mati. Jadi, manajemen sekolah berandil kuat pada
pembentukan kualitas manusia yang merupakan generasi penerus bangsa. Atensi
masyarakat yang telah teralienasikan akibat propaganda wacana teknologi dalam
pembelajaran harus segera diobati dengan mengedepankan wacana kualitas kepala
sekolah. Realitas sekolah itu dimanage oleh kepala sekolah bukan pada kata-kata
para marketer yang mengejar target siswa demi perolehan bonus.
Para ahli manajemen seperti Michael A. Hitt & R. Duane Ireland & Robert
E. Hoslisson (1997,18) melihat bahwa salah satu input strategis bagi langkah
maju perusahaan adalah membentuk konsep yang berbasiskan sumber daya manusia
demi suatu profitabilitas yang tinggi. Tak ada salahnya konsep ini dipakai di
sekolah. Secara sederhana dapat diterjemahkan bahwa keberhasilan sekolah
tergantung pada teknik mengelola manusia-manusia yang ada di sekolah untuk
suatu keberhasilan yang tak terukur nilainya yaitu pemanusiaan manusia dalam
diri peserta didik dan penghargaan bagi rekan-rekan pendidik sebagai insan yang
kreatif dan peduli akan nasib generasi penerus bangsa.
Tujuh kegiatan pokok yang harus diemban kepala sekolah yakni merencanakan,
mengorganisasi, mengadakan staf, mengarahkan/orientasi sasaran, mengkoordinasi,
memantau serta menilai/evaluasi. Melalui kegiatan perencanaan terjawablah
beberapa pertanyaan: Apa yang akan, apa yang seharusnya dan apa yang sebaiknya?
Hal ini tentu berkaitan dengan perencanaan reguler, teknis-opersional dan
perencanaan strategis (jangka pendek, jangka menengah dan jangka panjang).
Kepala sekolah mulai menggarap bidang sasaran yang mungkin sebelumnya sudah
dikaji secara bersama-sama.
Dalam kegiatan perencanaan, garapan bidang sasaran itu dibagi, dipilah,
dikelompokkan serta diprioritaskan. Pusat perhatian dan pemikiran tertuju
kepada pertanyaan: Bagaimana membagi, memilah dan mengelompokkan sasaran itu
sehingga dapat diselesaikan? Tentu saja atas hasil pertimbangan partisipatif
yang menghengkangkan persepsi keliru mengenai "meeting sama dengan
pemberitahuan".
Pada kegiatan selanjutnya yaitu pengadaan staf, yang dilakukan adalah berpikir
tentang siapa yang diperlukan dan dipercayakan dalam bidang garapan itu
masing-masingnya setelah dipilah-pilah dan diprioritaskan. Adakah dan siapakah
orangnya dan bagaimana mengikutsertakannya?
Pertanyaan mengenai kejelasan siapa yang harus mengarahkan dan dari siapa
pengarahan/petunjuk itu didapatkan dilakukan pada tahap pengarahan/orientasi
sasaran. Apa yang harus diberitahukan? Bagaimana mengerjakannya? Kapan mulai
dan kapan selesai?
Kemudian dalam tahap pengkoordinasian yang harus dilakukan adalah menjadwalkan
waktu pengerjaannya agar masing-masing bagian dapat mulai dan selesai pada
waktunya. Di sini ada keharusan bagi yang diserahi tugas menggarap
bagian-bagian tertentu kembali mempertanyakan kapan harus mulai dan kapan harus
mempertanggungjawabkannya. Mereka harus memperhitungkan secara matang dan tepat
mengenai waktu yang harus digunakan selama proses garapan berlangsung. Hal ini
bukan berarti kalau terkejar deadline maka pekerjaan harus urak-urakkan.
Kepala sekolah dapat mengetahui bagaimana proses pengerjaan itu terlaksana
sesuai rencana, cara, hasil dan waktu penyelesaian. Kegiatan ini dapat dipantau
agar memperoleh informasi perkembangan yang aktual. Antisipasi pun bisa
dilakukan terhadap hal-hal yang tak sesuai dengan rencana.
Untuk penilaian atau evaluasi, kepala sekolah dapat memperoleh kesesuaian
rencana dengan realitas melalui eksplorasi pertanyaan-pertanyaan. Apakah hasil
yang diperoleh sesuai dengan yang direncanakan? Adakah perbaikan yang dapat
dilakukan? Pada tahap ini kepala sekolah dapat memberikan penghargaan kepada
mereka yang berprestasi dan pembinaan bagi mereka yang gagal atau kurang
berprestasi. Sangat lucu kalau supervisi kepala sekolah hanyalah kewajiban dari
Diknas dan hasilnya digunakan sebagai alasan pemecatan bagi rekan-rekannya.
Seorang manajer sekolah bertanggung jawab dan yakin bahwa kegiatan-kegiatan
yang terjadi di sekolah adalah menggarap rencana dengan benar lalu
mengerjakannya dengan benar pula. Oleh karena itu visi dan misi sekolah harus
dipahami terlebih dahulu sebelum menjadi titik tolak prediksi dan sebelum
disosialisasikan. Hanya dengan itu kepala sekolah dapat membuat prediksi dan
merancang langkah antisipasi yang tepat sasaran. Selain itu diperlukan suatu
unjuk profesional yang kelihatan sepele tetapi begitu urgen seperti kemahiran
menggunakan filsafat pendidikan, psikologi, ilmu kepemimpinan serta antroplogi
dan sosiologi.
Guru dan Siwa adalah Mitra Kepala Sekolah
Penggunaan School Based Management ( Manajemen Berbasis Sekolah ) oleh
Pemerintah Indonesia dalam kerangka meminimalisasi sentralisme pendidikan
mempunyai implikasi yang signifikan bagi otonomi sekolah. Hal itu berarti
sekolah diberikan keleluasaan untuk mendayagunakan sumber daya yang ada secara
efektif. Oleh karena implikasi itu maka sekali lagi peran kepala sekolah sangat
dibutuhkan untuk mengelola manusia-manusia yang ada dalam organisasi sekolah,
termasuk memiliki strategi yang tepat untuk mengelola konflik. Kepala sekolah
akan berhadapan dengan pribadi-pribadi yang berbeda karakter.
Yang penting baginya adalah mempunyai pemahaman yang tangguh akan hakikat
manusia. McGregor (1960) berasumsi bahwa manusia tidak memiliki sifat bawaan
yang tidak menyukai pekerjaan. Di bawah kondisi tertentu manusia bersedia
mencapai tujuan tanpa harus dipaksa dan ia mampu diserahi tanggung jawab.
Urgensitasnya bagi kepala sekolah adalah menerapkan gaya kepemimpinan yang
partisipatif demokratik dan memperhatikan perkembangan profesional sebagai
salah satu cara untuk memotivasi guru-guru dan para siswa.
Selain itu berlandaskan teori Maslow (1943), kepala sekolah juga disentil
dengan persepsi bahwa guru dan siswa berkemungkinan memiliki tingkat kebutuhan
yang berbeda-beda. Yang pasti mereka akan mengejar kebutuhan yang lebih tinggi
yakni interaksi, afiliasi sosial, aktualisasi diri dan kesempatan berkembang.
Oleh karena itu, mereka bersedia menerima tantangan dan bekerja lebih keras.
Kiat kepala sekolah adalah memikirkan fleksibilitas peran dan kesempatan,
bukannya otoriter dan "semau gue". Demi kelancaran semua kegiatan itu
kepala sekolah harus mengubah gaya pertemuan yang sifatnya pemberitahuan kepada
pertemuan yang sesungguhnya yakni mendengarkan apa kata mereka dan bagaimana
seharusnya mereka menindaklanjutinya.
Sekolah dan Wajah Kepala Sekolah
Dalam hal kekurangberhasilan wajah sekolah mungkin tepat dilekatkan pada kepala
sekolah. Bahkan bukan sekedar melekatkan melainkan suatu konsekuensi kiprah
regulasi kepala sekolah. Ibarat nahkoda yang menjalankan sebuah kapal
mengarungi samudera, kepala sekolah mengatur dan memanajemeni segala sesuatu
yang ada di sekolah. Dengan demikian, yang harus bertanggung jawab atas
kandasnya sebuah sekolah dan gagalnya peserta didik adalah kepala sekolah.
Apabila sekolah menuai keberhasilan maka kinerja kepala sekolah telah terukur.
Semakin banyak orang yang menikmati kepuasan batin, yakni dihargai,
diberdayakan dan prestatif adalah tanda-tanda kemajuan bagi kepala sekolah.
Nahkoda sekolah telah mendekatkan keberhasilan para penumpang pada wilayah
tujuan yang ingin diraihnya. Peserta didik merasa enjoy dan betah bila berada
di sekolah. Proses pembelajarannya telah menjadikan peserta didik lebih
manusiawi dan semakin menemukan diri mereka sendiri. Para guru mempunyai sense
of belonging yang tinggi akan sekolah. Kualitas sekolah dirajut dan
dipertahankan. Bukan tidak mungkin hal-hal itu secara tidak langsung memikat
para pengembara idealis untuk memasukkan anak-anaknya pada sekolah yang bermutu
itu.
Namun keberhasilan itu bukan semata keberhasilan kepala sekolah melainkan
keberhasilan semua orang yang terlibat dalam kegiatan manajemen sekolah.
Sebagai satu kesatuan, para penggarap manajemen telah mampu menunjukkan kerja
yang kualitatif dan kooperatif. Keberhasilan masing-masingnya adalah juga
keberhasilan kepala sekolah. Wajah sekolah ada pada kepala sekolah.
Biasanya
di awal tahun ajaran baru para orang tua menjadi pusing memikirkan kelanjutan
pendidikan putera-puteri mereka. Berhadapan dengan biaya sekolah yang mahal dan
beban ekonomis yang berat rasanya tak kuat lagi hidup di dunia ini. Alhasil,
mereka cenderung memilih sekolah negeri. Kalau pun ada sekolah swasta maka
lebih sering putera-puterinya diarahkan kepada sekolah-sekolah swasta yang
gencar promosinya, walaupun belum mengetahui apa yang sebenarnya yang ada dan
akan terjadi. Ada juga orang tua yang sering mengklarifikasi eksistensi sekolah
dan kemajuannya sehingga melihat prospek sekolah sebagai wacana utama sebelum
menjatuhkan pilihan.
Namun sedemikian urgennya wacana mengenai kemajuan sekolah tidaklah lebih urgen
bila orang memberikan atensinya pada kiprah kepala sekolah. Eksplorasi argumen
dapat diberikan pada pernyataan ini.
Pertama, kepala sekolah adalah pelaksana suatu tugas yang sarat dengan harapan
dan pembaharuan. Kemasan cita-cita mulia pendidikan kita secara tidak langsung
diserahkan kepada kepala sekolah. Optimisme orang tua yang terkondisikan pada
kepercayaan menyekolahkan putera-puterinya pada sekolah tertentu tidak lain
berupa fenomen menggantungkan cita-citanya pada kepala sekolah. Peserta didik
dapat belajar dan membelajarkan dirinya hanya karena fasilitasi kepala sekolah.
Seonggokan aturan dan kurikulum yang selanjutnya direalisasiakan oleh para
pendidik sudah pasti atas koordinasi dan otokrasi dari kepala sekolah.
Singkatnya, kepala sekolah merupakan tokoh sentral pendidikan.
Kedua, sekolah sebagai suatu komunitas pendidikan membutuhkan seorang figur
pemimpin yang dapat mendayagunakan semua potensi yang ada dalam sekolah untuk
suatu visi dan misi sekolah. Pada level ini, kepala sekolah sering dianggap
satu atau identik, bahkan secara begitu saja dikatakan bahwa wajah sekolah ada
pada kepala sekolahnya. Di sini tampak peranan kepala sekolah bukan hanya
seorang akumulator yang mengumpulkan aneka ragam potensi penata usaha, guru,
karyawan dan peserta didik; melainkan konseptor managerial yang
bertanggungjawab pada kontribusi masing-masingnya demi efektivitas dan
efiseiensi kelangsungan pendidikan. Akhirnya, kepala sekolah berperanan sebagai
manager yang mengelola sekolah. Sayang sekali kalau kedua peran itu yakni
sebagai tokoh sentral dan manajer dalam sekolah diharubirukan oleh ketakmampuan
mengatasi aneka krisis yang ada dalam sekolah.
Krisis Kepemimpinan
Dualisme kurikulum nasional seakan-akan memberikan pekerjaan rumah tersendiri
bagi kepala sekolah. Demi standarisasi dan uniformitas, kepala sekolah menerima
semua mata pelajaran resmi milik para konseptor pendidikan. Sayangnya, peserta
didik dikorbankan oleh beban pelajaran yang kian menekan. Pengembangan
kurikulum dengan cara menambah mata pelajaran alternatif bukannya menambah
gairah belajar peserta didik malah memposisikan peserta didik sebagai robot
kurikulum. Belum lagi ada pekerjaan rumah yang mesti diselesaikan. Kapan mereka
bermain? Kapan mereka bersosialisasi dengan lingkungan? Sekolah betul-betul
tidak membebaskan peserta didik.
Kemasan kurikulum yang rapi itu pun masih belum bisa direalisasikan. Peserta
didik dibiarkan mengembara tanpa seorang fasilitator secara berlarut lama.
Kalaupun ada maka kualitasnya pun tak bisa dibanggakan karena selalu menunggu
instruksi dari kepala sekolah. Bukankah peserta didik harus memperoleh ilmu
pengetahuan? Bukankah mereka wajib menuntut hak mereka bila sudah melunasi
kewajibannya?
Krisis itu kian menghantu ketika kepala sekolah tidak lagi melihat
rekan-rekannya sebagai sumber daya yang cukup potensial demi kemajuan sekolah.
Hal ini ditandai oleh berbagai kebijakan dan keputusan yang kurang
partisipatif. Ada kesan seolah-olah mau kerja sendiri. Loyalitas buta dari
mitra kerjanya malah dibanggakan. Kebiasaan buruk dalam memberikan sterotip
yang irrasional bercokol akrab pada insan sentral ini. Orang yang kritis
menyiasati keadaan kerapkali dianggap musuh yang segera disingkirkan. Itu
pertanda rendahnya intelektualitas dan gagal membangun suatu team work yang
solid. Roh apa yang merasuki insan-insan ini? Barangkali nafas politik orde
baru yang telah sekian lama menggerogoti dunia pendidikan sehingga kepala
sekolah begitu egois dan sentralistik. Sangat disayangkan bila masyarakat
sebagai owner pendidikan membiarkan seorang tokoh sentral sekolah bertindak
otoriter dan tak mampu mengelola konflik. Lebih konyol lagi, ketika sang kepala
sekolah harus lari dari persoalan yang ditimbulkan akibat keputusan yang
sentralistik dan bingung mencari solusi yang akomodatif.
Krisis itu kian membara apabila kepala sekolah tidak mengetahui tugasnya
sebagai kepala sekolah. Bukankah dia adalah seorang planner, organizer,
actuater dan controller? Tidak ada tanda-tanda bagi sebuah manajemen yang
teratur. Komunikasi yang interpersonal dengan rekan kerja tidak banyak
dilakukan. Manajemen waktu, kurikulum, system informasi dan pembagian tugas
yang jelas kepada para wakil-wakilnya seolah-olah sudah ada tetapi tanpa arah
yang pasti.
Mekanisme komunikasi yang melahirkan suatu keputusan penting terpenjarakan
dalam persepsi yang keliru akibat tak bisa membedakan antara pertemuan dan
pengumuman sehingga sesuatu yang urgen dan bahkan harus segera dipecahkan malah
dibuat dalam bentuk pemberitahuan yang tak menuntut banyak masukan dan
tanggapan. Kesannya, kepala sekolah itu orang yang sudah banyak pengetahuan dan
pengalaman sehingga meremehkan input yang datang dari grassroot. Sang kepala
sekolah jarang berada di kantor, super sibuk, gemar menghadiri pertemuan di
luar sekolah. Ironisnya, kepala sekolah yang sibuk itu tidak mengetahui
perkembangan informasi yang mungkin sangat berguna bagi peserta didik dan
perkembangan rekan-rekannya. Kedisiplinan sebagai alasan bagi pemecatan bawahan
tetapi kepala sekolah sering tidak masuk sekolah dan berdalil mengikuti meeting
yang begitu urgen dan tak terwakilkan.
Kegagalan sekolah sebetulnya sudah diambang pintu bila letak prioritas
kebutuhan sekolah bukan pada kualitas intern tetapi pada promosi dan sensasi.
Kecanggihan sekolah dimegahkan pada deretan CD komputer sambil melupakan
ketersediaan buku dan majalah yang merangsang kesadaran membaca peserta didik.
Kepopuleran sekolah terletak pada seberapa jumlah masyarakat yang mengetahui
bahwa sekolahnya sudah terjamah oleh teknologi canggih yang menyajikan
pembelajaran via media OHP/LCD Projecktor sambil terlena dalam kebodohan
melihat efek negatif dan efektivitas dari penggunaan fasilitas itu. Seberapa
banyak waktu yang dipakai untuk menggerakkan mouse komputer? Apakah cocok media
ini dipakai dalam pembelajaran seperti matematika. Menulis angka-angka, rumus
dan proses kerja matematika di papan tulis itu juga merupakan suatu proses
belajar. Jadi, tak perlu meremehkan fasilitas pembelajaran yang sudah dipakai
bertahun-tahun lamanya.
Upaya sensasional menjadi kontraproduktif bila masyarakat dikibuli pada
janji-janji yang muluk bukan pada kenyataan yang seharusnya ada. Masyarakat
manakah yang membiarkan anak-anaknya kecewa akibat termakan janji? Pemerintah
mana yang membiarkan generasi penerus bangsa terjebak dalam arus propaganda
tanpa hasil yang real? Pemilik sekolah manakah yang membiarkan asetnya hancur
berkeping-keping akibat ulah dari sang kepala sekolah yang tak tahu diri? Atau,
peserta didik manakah yang berhasil digembleng karena penipuan yang
terselubung?
Manajer di Sekolah
Mengimbangi krisis yang ada, kepala sekolah tidak hanya dituntut sebagai
educator dan administrator, melainkan juga harus berperanan sebagai manajer dan
supervisor yang mampu menerapkan manajemen bermutu. Indikasinya ada pada iklim
kerja dan proses pembelajaran yang konstruktif, berkreasi serta berprestasi.
Manajemen sekolah tidak lain berarti pendayagunaan dan penggunaan sumber daya
yang ada dan yang dapat diadakan secara efisien dan efektif untuk mencapai visi
dan misi sekolah. Kepala sekolah bertanggung jawab atas jalannya lembaga
sekolah dan kegiatannya. Kepala sekolah berada di garda terdepan dan dapat
diukur keberhasilannya.
Pada prinsipnya manajemen sekolah itu sama dengan manajemen yang diterapkan di
perusahaan. Perbedaannya terdapat pada produk akhir yang dihasilkan. Yang
dihasilkan oleh manajemen sekolah adalah manusia yang berubah. Dari yang tidak
tahu menjadi tahu, dari yang tidak berpengalaman menjadi berpengalaman, dari
yang tak bisa menjadi bisa. Sedangkan sasaran manajemen perusahaan itu pada
kualitas produksi benda-benda mati. Jadi, manajemen sekolah berandil kuat pada
pembentukan kualitas manusia yang merupakan generasi penerus bangsa. Atensi
masyarakat yang telah teralienasikan akibat propaganda wacana teknologi dalam
pembelajaran harus segera diobati dengan mengedepankan wacana kualitas kepala
sekolah. Realitas sekolah itu dimanage oleh kepala sekolah bukan pada kata-kata
para marketer yang mengejar target siswa demi perolehan bonus.
Para ahli manajemen seperti Michael A. Hitt & R. Duane Ireland & Robert
E. Hoslisson (1997,18) melihat bahwa salah satu input strategis bagi langkah
maju perusahaan adalah membentuk konsep yang berbasiskan sumber daya manusia
demi suatu profitabilitas yang tinggi. Tak ada salahnya konsep ini dipakai di
sekolah. Secara sederhana dapat diterjemahkan bahwa keberhasilan sekolah
tergantung pada teknik mengelola manusia-manusia yang ada di sekolah untuk
suatu keberhasilan yang tak terukur nilainya yaitu pemanusiaan manusia dalam
diri peserta didik dan penghargaan bagi rekan-rekan pendidik sebagai insan yang
kreatif dan peduli akan nasib generasi penerus bangsa.
Tujuh kegiatan pokok yang harus diemban kepala sekolah yakni merencanakan,
mengorganisasi, mengadakan staf, mengarahkan/orientasi sasaran, mengkoordinasi,
memantau serta menilai/evaluasi. Melalui kegiatan perencanaan terjawablah
beberapa pertanyaan: Apa yang akan, apa yang seharusnya dan apa yang sebaiknya?
Hal ini tentu berkaitan dengan perencanaan reguler, teknis-opersional dan
perencanaan strategis (jangka pendek, jangka menengah dan jangka panjang).
Kepala sekolah mulai menggarap bidang sasaran yang mungkin sebelumnya sudah
dikaji secara bersama-sama.
Dalam kegiatan perencanaan, garapan bidang sasaran itu dibagi, dipilah,
dikelompokkan serta diprioritaskan. Pusat perhatian dan pemikiran tertuju
kepada pertanyaan: Bagaimana membagi, memilah dan mengelompokkan sasaran itu
sehingga dapat diselesaikan? Tentu saja atas hasil pertimbangan partisipatif
yang menghengkangkan persepsi keliru mengenai "meeting sama dengan
pemberitahuan".
Pada kegiatan selanjutnya yaitu pengadaan staf, yang dilakukan adalah berpikir
tentang siapa yang diperlukan dan dipercayakan dalam bidang garapan itu
masing-masingnya setelah dipilah-pilah dan diprioritaskan. Adakah dan siapakah
orangnya dan bagaimana mengikutsertakannya?
Pertanyaan mengenai kejelasan siapa yang harus mengarahkan dan dari siapa
pengarahan/petunjuk itu didapatkan dilakukan pada tahap pengarahan/orientasi
sasaran. Apa yang harus diberitahukan? Bagaimana mengerjakannya? Kapan mulai
dan kapan selesai?
Kemudian dalam tahap pengkoordinasian yang harus dilakukan adalah menjadwalkan
waktu pengerjaannya agar masing-masing bagian dapat mulai dan selesai pada
waktunya. Di sini ada keharusan bagi yang diserahi tugas menggarap
bagian-bagian tertentu kembali mempertanyakan kapan harus mulai dan kapan harus
mempertanggungjawabkannya. Mereka harus memperhitungkan secara matang dan tepat
mengenai waktu yang harus digunakan selama proses garapan berlangsung. Hal ini
bukan berarti kalau terkejar deadline maka pekerjaan harus urak-urakkan.
Kepala sekolah dapat mengetahui bagaimana proses pengerjaan itu terlaksana
sesuai rencana, cara, hasil dan waktu penyelesaian. Kegiatan ini dapat dipantau
agar memperoleh informasi perkembangan yang aktual. Antisipasi pun bisa
dilakukan terhadap hal-hal yang tak sesuai dengan rencana.
Untuk penilaian atau evaluasi, kepala sekolah dapat memperoleh kesesuaian
rencana dengan realitas melalui eksplorasi pertanyaan-pertanyaan. Apakah hasil
yang diperoleh sesuai dengan yang direncanakan? Adakah perbaikan yang dapat
dilakukan? Pada tahap ini kepala sekolah dapat memberikan penghargaan kepada
mereka yang berprestasi dan pembinaan bagi mereka yang gagal atau kurang
berprestasi. Sangat lucu kalau supervisi kepala sekolah hanyalah kewajiban dari
Diknas dan hasilnya digunakan sebagai alasan pemecatan bagi rekan-rekannya.
Seorang manajer sekolah bertanggung jawab dan yakin bahwa kegiatan-kegiatan
yang terjadi di sekolah adalah menggarap rencana dengan benar lalu
mengerjakannya dengan benar pula. Oleh karena itu visi dan misi sekolah harus
dipahami terlebih dahulu sebelum menjadi titik tolak prediksi dan sebelum
disosialisasikan. Hanya dengan itu kepala sekolah dapat membuat prediksi dan
merancang langkah antisipasi yang tepat sasaran. Selain itu diperlukan suatu
unjuk profesional yang kelihatan sepele tetapi begitu urgen seperti kemahiran
menggunakan filsafat pendidikan, psikologi, ilmu kepemimpinan serta antroplogi
dan sosiologi.
Guru dan Siwa adalah Mitra Kepala Sekolah
Penggunaan School Based Management ( Manajemen Berbasis Sekolah ) oleh
Pemerintah Indonesia dalam kerangka meminimalisasi sentralisme pendidikan
mempunyai implikasi yang signifikan bagi otonomi sekolah. Hal itu berarti
sekolah diberikan keleluasaan untuk mendayagunakan sumber daya yang ada secara
efektif. Oleh karena implikasi itu maka sekali lagi peran kepala sekolah sangat
dibutuhkan untuk mengelola manusia-manusia yang ada dalam organisasi sekolah,
termasuk memiliki strategi yang tepat untuk mengelola konflik. Kepala sekolah
akan berhadapan dengan pribadi-pribadi yang berbeda karakter.
Yang penting baginya adalah mempunyai pemahaman yang tangguh akan hakikat
manusia. McGregor (1960) berasumsi bahwa manusia tidak memiliki sifat bawaan
yang tidak menyukai pekerjaan. Di bawah kondisi tertentu manusia bersedia
mencapai tujuan tanpa harus dipaksa dan ia mampu diserahi tanggung jawab.
Urgensitasnya bagi kepala sekolah adalah menerapkan gaya kepemimpinan yang
partisipatif demokratik dan memperhatikan perkembangan profesional sebagai
salah satu cara untuk memotivasi guru-guru dan para siswa.
Selain itu berlandaskan teori Maslow (1943), kepala sekolah juga disentil
dengan persepsi bahwa guru dan siswa berkemungkinan memiliki tingkat kebutuhan
yang berbeda-beda. Yang pasti mereka akan mengejar kebutuhan yang lebih tinggi
yakni interaksi, afiliasi sosial, aktualisasi diri dan kesempatan berkembang.
Oleh karena itu, mereka bersedia menerima tantangan dan bekerja lebih keras.
Kiat kepala sekolah adalah memikirkan fleksibilitas peran dan kesempatan,
bukannya otoriter dan "semau gue". Demi kelancaran semua kegiatan itu
kepala sekolah harus mengubah gaya pertemuan yang sifatnya pemberitahuan kepada
pertemuan yang sesungguhnya yakni mendengarkan apa kata mereka dan bagaimana
seharusnya mereka menindaklanjutinya.
Sekolah dan Wajah Kepala Sekolah
Dalam hal kekurangberhasilan wajah sekolah mungkin tepat dilekatkan pada kepala
sekolah. Bahkan bukan sekedar melekatkan melainkan suatu konsekuensi kiprah
regulasi kepala sekolah. Ibarat nahkoda yang menjalankan sebuah kapal
mengarungi samudera, kepala sekolah mengatur dan memanajemeni segala sesuatu
yang ada di sekolah. Dengan demikian, yang harus bertanggung jawab atas
kandasnya sebuah sekolah dan gagalnya peserta didik adalah kepala sekolah.
Apabila sekolah menuai keberhasilan maka kinerja kepala sekolah telah terukur.
Semakin banyak orang yang menikmati kepuasan batin, yakni dihargai,
diberdayakan dan prestatif adalah tanda-tanda kemajuan bagi kepala sekolah.
Nahkoda sekolah telah mendekatkan keberhasilan para penumpang pada wilayah
tujuan yang ingin diraihnya. Peserta didik merasa enjoy dan betah bila berada
di sekolah. Proses pembelajarannya telah menjadikan peserta didik lebih
manusiawi dan semakin menemukan diri mereka sendiri. Para guru mempunyai sense
of belonging yang tinggi akan sekolah. Kualitas sekolah dirajut dan
dipertahankan. Bukan tidak mungkin hal-hal itu secara tidak langsung memikat
para pengembara idealis untuk memasukkan anak-anaknya pada sekolah yang bermutu
itu.
Namun keberhasilan itu bukan semata keberhasilan kepala sekolah melainkan
keberhasilan semua orang yang terlibat dalam kegiatan manajemen sekolah.
Sebagai satu kesatuan, para penggarap manajemen telah mampu menunjukkan kerja
yang kualitatif dan kooperatif. Keberhasilan masing-masingnya adalah juga
keberhasilan kepala sekolah. Wajah sekolah ada pada kepala sekolah.
Tue Aug 01, 2023 9:56 pm by wisatasemarang
» Portable STATA 18 Crack Full Version
Thu May 11, 2023 5:24 pm by wisatasemarang
» NVivo 12 Crack Full version
Mon Jan 30, 2023 11:16 am by wisatasemarang
» Tutorial Difference In difference (DID (Diff-in-Diff) With Eviews 13
Thu Nov 03, 2022 6:24 am by wisatasemarang
» Online Workshop Smart PLS Minggu, 01 Oktober 2022
Sat Sep 17, 2022 11:35 am by wisatasemarang
» kumpulan ebook tentang robot
Fri Jan 02, 2015 10:04 pm by kyuru
» MANTRA PELET
Wed May 16, 2012 3:31 am by orlandojack
» book love of spell
Sat Mar 24, 2012 8:08 pm by rifqi as
» attraction Formula
Sat Mar 24, 2012 7:09 pm by rifqi as