Pendidikan pluralisme agama dalam dianggap sesuai dalam era pluralis-multikultural. Perkataan "era pluralis
mutlikultural" seakan akan mengambarkan datangnya era baru yang belum pernah ada sebelumnya. Ia seperti suatu
arus pemikiran baru yang tidak pernah wujud sebelumnya. Padahal bangsa ini sejak dulu hingga saat memiliki banyak
agama dan budaya, dan semua orang menyadari akan hal itu.
Memang banyak yang mengangkat ide pluralisme agama sebagai ide yang cocok untuk model kehidupan beragama di
Indonesia. Tapi telah banyak pula tulisan yang membongkat kerancuannya. (lihat misalnya Republika 4 April 2003, 14
Februari 2003). Kerancuan itu lebih nampak lagi ketika ide pluralisme agama diusulkan sebagai alternatif pendidikan
agama.
Sejatinya usulan menerapkan ide pendidikan pluralisme agama (PPA) dalam sistim pendidika nasional adalah utopia
belaka. Implikasinya sekurang-kurangnya ada dua:
Pertama: masalah pada domain kognitif. Jika PPA berarti mengajarkan agama-agama, maka semua murid perlu diajari
doktrin (teologi) atau ajaran moral semua agama. Guru harus mengajarkan kebaikan dan kebenaran semua agama.
Tidak mudah bagi murid SD, SLTP, SLTA membandingkan konsep-konsep Tuhan, agama dan konsep moral yang
berbeda-beda. Perbandingan seperti ini lebih menekankan pada pengetahuan atau ilmu tentang kepercaayaan daripada
pendidikan keimanan. Ini hanya cocok untuk tingkat perguruan tinggi.
Kedua: masalah pada domain afektif. Jika PPA dimaksudkan untuk menanamkan nilai moral semua agama sekaligus,
maka murid-murid akan bingung dalam pengamalannya secara individu dan sosial. Setiap agama mempunyai ajaran
moral sendiri-sendiri. Nilai moralitas yang mana yang harus ia jalankan dan apakah konsekuensi teologisnya.
Jadi usaha untuk mengangkat realitas agama yang plural dan masyarakat yang mutlitukultural ini kedalam satu bentuk
pendidikan atau pengajaran adalah sia-sia, jika tidak utopis. Pada dataran konsep pluralisme agama ini sungguh
bermasalah, khususnya dalam pandangan Islam. Konsep Tuhan saja berbeda-beda, apalagai konsep moralnya. Sebab
konsep moral sesuatu agama, adalah bagian dari konsep ketuhanannya.
Ide PPA nampaknya hanya ingin mereduksi agama menjadi pendidikan moral yang menekankan kesadaran pluralitas
agama dan masyarakat yang mutlikultural. Walhal, pendidikan moral dizaman Orde Baru, PMP, terbukti tidak efektif
menghapus korupsi, kolusi dan nepotisme. Bahkan tidak menghasilkan bangsa yang bermoral, beretika, dan bertimbang
rasa.
Memikirkan pluralisme agama sah sah saja, asal tidak melupakan singularitas agama-agama. Maka, perhatian
sebaiknya diberikan kepada singularitas masing-masing agama. Dalam artian masing-masing agama dibebaskan
mengajarkan konsep-konsep agamanya, kepada murid-murid pemeluk agama itu. Sehingga menghasilkan manusia-
manusia bermoral, pada level ihsan. Berbuat baik karena merasa berhadapan dengan Tuhan dan dilihat Tuhan. Pada
level ini dijamin tidak akan ada kemunafikan sedikitpun.
Kritikan bahwa pendidikan agama selama ini hanya menekankan kesalehan individual dan tidak perduli dengan
kesalehan sosial, tidak beralasan. Sebab inti agama adalah hubungan pribadi hamba dengan Tuhannya. Pembentukan
pribadi adalah awal dari pembentukan masyarakat. Korupsi, manipulasi, dan tindak amoral lainnya bukan karena
dekadensi kesalehan sosial, tapi kurangnya religiusitas individu.
Jika orientasi pendidikan agama adalah untuk menghindari konflik antar agama, maka tidak salah jika pemerintah
menganjurkan agar materi pendidikan setiap agama ditambah dengan ajaran kerukunan, toleransi persatuan, kejujuran,
keadilan dsb. Dengan catatan semua itu harus sesuai dengan konsep agama masing-masing, tanpa mengorbankan inti
ajaran agamanya. Ini lebih menghormati institusi agama.
Masalah titik temu agama
http://www.insistnet.com - INSISTNET.COM Powered by Mambo Open Source Generated: 31 January, 2005, 05:51Usaha memperkenalkan pendidikan pluralisme agama didukung oleh usaha mencari titik temu agama-agama. Sumber
pendapat ini adalah ide transcendent unity of religions-nya Schuon. Gagasan ini saja masih "gelap", bagaimana pula ide
ini akan dipakai dalam pendidikan agama?
Dalam mencari titik temu agama-agama kita menghadapi masalah. Dimana dan pada level apa titik itu berada. Jika titik
temu itu dimaksud adalah nilai-nilai kebaikan dan moralitas, ia akan tetap tidak bertemu karena perbedaan asas
teologisnya. Jika titik dimaksud adalah tingkat transcendent, maka disini kita hanya bicara pengalaman keagamaan dan
bukan 'agama'. Transcendent hanya menunjukkan pengalaman keagamaan yang bersifat personal pada level isoteris.
Pada level inipun konsep Tuhan dan kebenaran masing-masing agama masih tidak bisa bertemu.
Memang, masalah yang 'merepotkan' kelompok pluralis adalah adanya klaim kebenaran oleh tiap-tiap agama. Hal ini
mengingatkan kita pada 'kerepotan' yang mirip dialami Nietzsche. Akhirnya ia mengatakan: there is no difference
between truth and error. So, if we reject the error we have also to reject the truth. Artinya, kalau anda mengklaim agama
anda benar bisa jadi ia salah. Masalahnya esensi agama adalah kepercayaan pada Tuhan dan kebenaran agama itu.
Menghilangkan klaim kebenaran itu sama dengan menghilangkan esensi agamanya.
Solusinya, pendidikan agama harus tetap ada dalam Sisdiknas dan ditujukan pertama-tama untuk menanamkan
keimanan dan kebenaran masing-masing agama. Dengan tetap berhak mempertahankan sifat ekslusifnya, setiap agama
perlu meningkatkan kesadaran moral individu dalam kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat yang
majemuk. Jadi tidak perlu mengorbankan kepercayaan hanya karena kemajemukan: causa patrocino non bona peir erit.
mutlikultural" seakan akan mengambarkan datangnya era baru yang belum pernah ada sebelumnya. Ia seperti suatu
arus pemikiran baru yang tidak pernah wujud sebelumnya. Padahal bangsa ini sejak dulu hingga saat memiliki banyak
agama dan budaya, dan semua orang menyadari akan hal itu.
Memang banyak yang mengangkat ide pluralisme agama sebagai ide yang cocok untuk model kehidupan beragama di
Indonesia. Tapi telah banyak pula tulisan yang membongkat kerancuannya. (lihat misalnya Republika 4 April 2003, 14
Februari 2003). Kerancuan itu lebih nampak lagi ketika ide pluralisme agama diusulkan sebagai alternatif pendidikan
agama.
Sejatinya usulan menerapkan ide pendidikan pluralisme agama (PPA) dalam sistim pendidika nasional adalah utopia
belaka. Implikasinya sekurang-kurangnya ada dua:
Pertama: masalah pada domain kognitif. Jika PPA berarti mengajarkan agama-agama, maka semua murid perlu diajari
doktrin (teologi) atau ajaran moral semua agama. Guru harus mengajarkan kebaikan dan kebenaran semua agama.
Tidak mudah bagi murid SD, SLTP, SLTA membandingkan konsep-konsep Tuhan, agama dan konsep moral yang
berbeda-beda. Perbandingan seperti ini lebih menekankan pada pengetahuan atau ilmu tentang kepercaayaan daripada
pendidikan keimanan. Ini hanya cocok untuk tingkat perguruan tinggi.
Kedua: masalah pada domain afektif. Jika PPA dimaksudkan untuk menanamkan nilai moral semua agama sekaligus,
maka murid-murid akan bingung dalam pengamalannya secara individu dan sosial. Setiap agama mempunyai ajaran
moral sendiri-sendiri. Nilai moralitas yang mana yang harus ia jalankan dan apakah konsekuensi teologisnya.
Jadi usaha untuk mengangkat realitas agama yang plural dan masyarakat yang mutlitukultural ini kedalam satu bentuk
pendidikan atau pengajaran adalah sia-sia, jika tidak utopis. Pada dataran konsep pluralisme agama ini sungguh
bermasalah, khususnya dalam pandangan Islam. Konsep Tuhan saja berbeda-beda, apalagai konsep moralnya. Sebab
konsep moral sesuatu agama, adalah bagian dari konsep ketuhanannya.
Ide PPA nampaknya hanya ingin mereduksi agama menjadi pendidikan moral yang menekankan kesadaran pluralitas
agama dan masyarakat yang mutlikultural. Walhal, pendidikan moral dizaman Orde Baru, PMP, terbukti tidak efektif
menghapus korupsi, kolusi dan nepotisme. Bahkan tidak menghasilkan bangsa yang bermoral, beretika, dan bertimbang
rasa.
Memikirkan pluralisme agama sah sah saja, asal tidak melupakan singularitas agama-agama. Maka, perhatian
sebaiknya diberikan kepada singularitas masing-masing agama. Dalam artian masing-masing agama dibebaskan
mengajarkan konsep-konsep agamanya, kepada murid-murid pemeluk agama itu. Sehingga menghasilkan manusia-
manusia bermoral, pada level ihsan. Berbuat baik karena merasa berhadapan dengan Tuhan dan dilihat Tuhan. Pada
level ini dijamin tidak akan ada kemunafikan sedikitpun.
Kritikan bahwa pendidikan agama selama ini hanya menekankan kesalehan individual dan tidak perduli dengan
kesalehan sosial, tidak beralasan. Sebab inti agama adalah hubungan pribadi hamba dengan Tuhannya. Pembentukan
pribadi adalah awal dari pembentukan masyarakat. Korupsi, manipulasi, dan tindak amoral lainnya bukan karena
dekadensi kesalehan sosial, tapi kurangnya religiusitas individu.
Jika orientasi pendidikan agama adalah untuk menghindari konflik antar agama, maka tidak salah jika pemerintah
menganjurkan agar materi pendidikan setiap agama ditambah dengan ajaran kerukunan, toleransi persatuan, kejujuran,
keadilan dsb. Dengan catatan semua itu harus sesuai dengan konsep agama masing-masing, tanpa mengorbankan inti
ajaran agamanya. Ini lebih menghormati institusi agama.
Masalah titik temu agama
http://www.insistnet.com - INSISTNET.COM Powered by Mambo Open Source Generated: 31 January, 2005, 05:51Usaha memperkenalkan pendidikan pluralisme agama didukung oleh usaha mencari titik temu agama-agama. Sumber
pendapat ini adalah ide transcendent unity of religions-nya Schuon. Gagasan ini saja masih "gelap", bagaimana pula ide
ini akan dipakai dalam pendidikan agama?
Dalam mencari titik temu agama-agama kita menghadapi masalah. Dimana dan pada level apa titik itu berada. Jika titik
temu itu dimaksud adalah nilai-nilai kebaikan dan moralitas, ia akan tetap tidak bertemu karena perbedaan asas
teologisnya. Jika titik dimaksud adalah tingkat transcendent, maka disini kita hanya bicara pengalaman keagamaan dan
bukan 'agama'. Transcendent hanya menunjukkan pengalaman keagamaan yang bersifat personal pada level isoteris.
Pada level inipun konsep Tuhan dan kebenaran masing-masing agama masih tidak bisa bertemu.
Memang, masalah yang 'merepotkan' kelompok pluralis adalah adanya klaim kebenaran oleh tiap-tiap agama. Hal ini
mengingatkan kita pada 'kerepotan' yang mirip dialami Nietzsche. Akhirnya ia mengatakan: there is no difference
between truth and error. So, if we reject the error we have also to reject the truth. Artinya, kalau anda mengklaim agama
anda benar bisa jadi ia salah. Masalahnya esensi agama adalah kepercayaan pada Tuhan dan kebenaran agama itu.
Menghilangkan klaim kebenaran itu sama dengan menghilangkan esensi agamanya.
Solusinya, pendidikan agama harus tetap ada dalam Sisdiknas dan ditujukan pertama-tama untuk menanamkan
keimanan dan kebenaran masing-masing agama. Dengan tetap berhak mempertahankan sifat ekslusifnya, setiap agama
perlu meningkatkan kesadaran moral individu dalam kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat yang
majemuk. Jadi tidak perlu mengorbankan kepercayaan hanya karena kemajemukan: causa patrocino non bona peir erit.
Tue Aug 01, 2023 9:56 pm by wisatasemarang
» Portable STATA 18 Crack Full Version
Thu May 11, 2023 5:24 pm by wisatasemarang
» NVivo 12 Crack Full version
Mon Jan 30, 2023 11:16 am by wisatasemarang
» Tutorial Difference In difference (DID (Diff-in-Diff) With Eviews 13
Thu Nov 03, 2022 6:24 am by wisatasemarang
» Online Workshop Smart PLS Minggu, 01 Oktober 2022
Sat Sep 17, 2022 11:35 am by wisatasemarang
» kumpulan ebook tentang robot
Fri Jan 02, 2015 10:04 pm by kyuru
» MANTRA PELET
Wed May 16, 2012 3:31 am by orlandojack
» book love of spell
Sat Mar 24, 2012 8:08 pm by rifqi as
» attraction Formula
Sat Mar 24, 2012 7:09 pm by rifqi as