Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

ingin bergabung dengan elrakyat.tk klik pendaftaran. jika anda sudah pernah mendaftar silakan login. jangan lupa ajak kawan-kawanmu ke mari , dan jadilah top poster di forum kita

Join the forum, it's quick and easy

Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

ingin bergabung dengan elrakyat.tk klik pendaftaran. jika anda sudah pernah mendaftar silakan login. jangan lupa ajak kawan-kawanmu ke mari , dan jadilah top poster di forum kita

Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

Would you like to react to this message? Create an account in a few clicks or log in to continue.
Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

salah satu forum terbesar tempat kita bernostalgia

Login

Lupa password?

Our traffic

info rakyat

Sun Oct 31, 2010 9:05 pm by admin

---------------
PEMBERITAHUAN....

SF ZONA RELIGI SEKARANG KAMI PINDAH KE [You must be registered and logged in to see this link.] ANDA BISA BERPARTISIPASI DAN MENJADI MODERATOR SESUAI PERMINTAAN ANDA DENGAN REQUEST VIA SMS NO ADMIN 081945520865


Sekilas Info

Sun Jun 27, 2010 2:44 pm by admin

kabar gembira, forum lentera-rakyat mulai hari ini juga bisa diakses melalui [You must be registered and logged in to see this link.]


    utopia pendidikan pluralisme agama

    ratri
    ratri
    Mega Ultimate Member


    Zodiac : Virgo Jumlah posting : 281
    Join date : 01.04.10
    Age : 36
    Lokasi : di hati si admin

    utopia pendidikan pluralisme agama Empty utopia pendidikan pluralisme agama

    Post by ratri Mon Jun 14, 2010 10:41 pm

    Pendidikan pluralisme agama dalam dianggap sesuai dalam era pluralis-multikultural. Perkataan "era pluralis
    mutlikultural" seakan akan mengambarkan datangnya era baru yang belum pernah ada sebelumnya. Ia seperti suatu
    arus pemikiran baru yang tidak pernah wujud sebelumnya. Padahal bangsa ini sejak dulu hingga saat memiliki banyak
    agama dan budaya, dan semua orang menyadari akan hal itu.

    Memang banyak yang mengangkat ide pluralisme agama sebagai ide yang cocok untuk model kehidupan beragama di
    Indonesia. Tapi telah banyak pula tulisan yang membongkat kerancuannya. (lihat misalnya Republika 4 April 2003, 14
    Februari 2003). Kerancuan itu lebih nampak lagi ketika ide pluralisme agama diusulkan sebagai alternatif pendidikan
    agama.
    Sejatinya usulan menerapkan ide pendidikan pluralisme agama (PPA) dalam sistim pendidika nasional adalah utopia
    belaka. Implikasinya sekurang-kurangnya ada dua:

    Pertama: masalah pada domain kognitif. Jika PPA berarti mengajarkan agama-agama, maka semua murid perlu diajari
    doktrin (teologi) atau ajaran moral semua agama. Guru harus mengajarkan kebaikan dan kebenaran semua agama.

    Tidak mudah bagi murid SD, SLTP, SLTA membandingkan konsep-konsep Tuhan, agama dan konsep moral yang
    berbeda-beda. Perbandingan seperti ini lebih menekankan pada pengetahuan atau ilmu tentang kepercaayaan daripada
    pendidikan keimanan. Ini hanya cocok untuk tingkat perguruan tinggi.

    Kedua: masalah pada domain afektif. Jika PPA dimaksudkan untuk menanamkan nilai moral semua agama sekaligus,
    maka murid-murid akan bingung dalam pengamalannya secara individu dan sosial. Setiap agama mempunyai ajaran
    moral sendiri-sendiri. Nilai moralitas yang mana yang harus ia jalankan dan apakah konsekuensi teologisnya.

    Jadi usaha untuk mengangkat realitas agama yang plural dan masyarakat yang mutlitukultural ini kedalam satu bentuk
    pendidikan atau pengajaran adalah sia-sia, jika tidak utopis. Pada dataran konsep pluralisme agama ini sungguh
    bermasalah, khususnya dalam pandangan Islam. Konsep Tuhan saja berbeda-beda, apalagai konsep moralnya. Sebab
    konsep moral sesuatu agama, adalah bagian dari konsep ketuhanannya.

    Ide PPA nampaknya hanya ingin mereduksi agama menjadi pendidikan moral yang menekankan kesadaran pluralitas
    agama dan masyarakat yang mutlikultural. Walhal, pendidikan moral dizaman Orde Baru, PMP, terbukti tidak efektif
    menghapus korupsi, kolusi dan nepotisme. Bahkan tidak menghasilkan bangsa yang bermoral, beretika, dan bertimbang
    rasa.

    Memikirkan pluralisme agama sah sah saja, asal tidak melupakan singularitas agama-agama. Maka, perhatian
    sebaiknya diberikan kepada singularitas masing-masing agama. Dalam artian masing-masing agama dibebaskan
    mengajarkan konsep-konsep agamanya, kepada murid-murid pemeluk agama itu. Sehingga menghasilkan manusia-
    manusia bermoral, pada level ihsan. Berbuat baik karena merasa berhadapan dengan Tuhan dan dilihat Tuhan. Pada
    level ini dijamin tidak akan ada kemunafikan sedikitpun.

    Kritikan bahwa pendidikan agama selama ini hanya menekankan kesalehan individual dan tidak perduli dengan
    kesalehan sosial, tidak beralasan. Sebab inti agama adalah hubungan pribadi hamba dengan Tuhannya. Pembentukan
    pribadi adalah awal dari pembentukan masyarakat. Korupsi, manipulasi, dan tindak amoral lainnya bukan karena
    dekadensi kesalehan sosial, tapi kurangnya religiusitas individu.

    Jika orientasi pendidikan agama adalah untuk menghindari konflik antar agama, maka tidak salah jika pemerintah
    menganjurkan agar materi pendidikan setiap agama ditambah dengan ajaran kerukunan, toleransi persatuan, kejujuran,
    keadilan dsb. Dengan catatan semua itu harus sesuai dengan konsep agama masing-masing, tanpa mengorbankan inti
    ajaran agamanya. Ini lebih menghormati institusi agama.

    Masalah titik temu agama

    http://www.insistnet.com - INSISTNET.COM Powered by Mambo Open Source Generated: 31 January, 2005, 05:51Usaha memperkenalkan pendidikan pluralisme agama didukung oleh usaha mencari titik temu agama-agama. Sumber
    pendapat ini adalah ide transcendent unity of religions-nya Schuon. Gagasan ini saja masih "gelap", bagaimana pula ide
    ini akan dipakai dalam pendidikan agama?

    Dalam mencari titik temu agama-agama kita menghadapi masalah. Dimana dan pada level apa titik itu berada. Jika titik
    temu itu dimaksud adalah nilai-nilai kebaikan dan moralitas, ia akan tetap tidak bertemu karena perbedaan asas
    teologisnya. Jika titik dimaksud adalah tingkat transcendent, maka disini kita hanya bicara pengalaman keagamaan dan
    bukan 'agama'. Transcendent hanya menunjukkan pengalaman keagamaan yang bersifat personal pada level isoteris.
    Pada level inipun konsep Tuhan dan kebenaran masing-masing agama masih tidak bisa bertemu.

    Memang, masalah yang 'merepotkan' kelompok pluralis adalah adanya klaim kebenaran oleh tiap-tiap agama. Hal ini
    mengingatkan kita pada 'kerepotan' yang mirip dialami Nietzsche. Akhirnya ia mengatakan: there is no difference
    between truth and error. So, if we reject the error we have also to reject the truth. Artinya, kalau anda mengklaim agama
    anda benar bisa jadi ia salah. Masalahnya esensi agama adalah kepercayaan pada Tuhan dan kebenaran agama itu.
    Menghilangkan klaim kebenaran itu sama dengan menghilangkan esensi agamanya.

    Solusinya, pendidikan agama harus tetap ada dalam Sisdiknas dan ditujukan pertama-tama untuk menanamkan
    keimanan dan kebenaran masing-masing agama. Dengan tetap berhak mempertahankan sifat ekslusifnya, setiap agama
    perlu meningkatkan kesadaran moral individu dalam kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat yang
    majemuk. Jadi tidak perlu mengorbankan kepercayaan hanya karena kemajemukan: causa patrocino non bona peir erit.

      Waktu sekarang Thu May 09, 2024 2:01 pm