Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

ingin bergabung dengan elrakyat.tk klik pendaftaran. jika anda sudah pernah mendaftar silakan login. jangan lupa ajak kawan-kawanmu ke mari , dan jadilah top poster di forum kita

Join the forum, it's quick and easy

Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

ingin bergabung dengan elrakyat.tk klik pendaftaran. jika anda sudah pernah mendaftar silakan login. jangan lupa ajak kawan-kawanmu ke mari , dan jadilah top poster di forum kita

Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

Would you like to react to this message? Create an account in a few clicks or log in to continue.
Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

salah satu forum terbesar tempat kita bernostalgia

Login

Lupa password?

Our traffic

info rakyat

Sun Oct 31, 2010 9:05 pm by admin

---------------
PEMBERITAHUAN....

SF ZONA RELIGI SEKARANG KAMI PINDAH KE [You must be registered and logged in to see this link.] ANDA BISA BERPARTISIPASI DAN MENJADI MODERATOR SESUAI PERMINTAAN ANDA DENGAN REQUEST VIA SMS NO ADMIN 081945520865


Sekilas Info

Sun Jun 27, 2010 2:44 pm by admin

kabar gembira, forum lentera-rakyat mulai hari ini juga bisa diakses melalui [You must be registered and logged in to see this link.]


    korelasi antara ibadah dan shalat

    admin
    admin
    Admin
    Admin


    Zodiac : Virgo Jumlah posting : 688
    Join date : 19.03.10
    Age : 37
    Lokasi : Malang-Indonesia

    korelasi antara ibadah dan shalat Empty korelasi antara ibadah dan shalat

    Post by admin Mon Feb 28, 2011 10:21 am

    KORELASI IBADAH PUASA DENGAN SHALAT
    Kalau kita perhatikan, ibadah puasa ternyata memiliki korelasi positif dengan ibadah lain dalam Islam, terutama shalat, yakni selalu dibarengi oleh dimensi konsekuensial atau ikutan. Kalau ibadah puasa dikeluarkan zakat fitrah sebagai perwujudan nilai kemanusiaan (dimensi horizontal), maka dalam shalat disimbolkan dengan salam pada akhir shalat.
    Ada tiga hal mendasar yang disebutkan oleh al-Qur’an berkaitan dengan eksistensi manusia. Pertama, Allah Swt. “telah menciptakan manusia dalam bentuk yang terbaik” (QS. 95: 4). Kedua, Allah Swt. “telah memilih manusia sebagai khalifah-Nya di muka bumi ini” (QS. 2: 30). Ketiga, Allah Swt. “telah menciptakan manusia (juga jin) hanya untuk beribadah kepada-Nya” (QS. 51: 56). Hal yang terakhir disebutkan merupakan konsekuensi logis dari dua hal sebelumnya. Artinya, karena manusia adalah makhluk ciptaan-Nya yang terbaik dan sebagai khalifah-Nya Swt, maka manusia hanya pantas beribadah kepada-Nya, karena ia berada di puncak bangun kerucut ciptaan-Nya Swt, sedangkan ciptaan lain berada di bagian bawah, dan diciptakan untuk kepentingan manusia. Dengan demikian, manusia harus mampu memandang ciptaan lain sebagai hal yang nisbi, relatif, dan rendah, hanya Allahlah yang layak dan patut disembah. Inilah yang disebut pengertian tauhid yang membebaskan manusia dari penghambaan kepada selain Allah Swt.

    Tetapi dalam perjalanan selanjutnya, segala fasilitas duniawiyah yang disediakan oleh-Nya Swt, juga kemampuan memilih yang dianugerahkan oleh Allah Swt. kepada manusia, malah justeru menjauhkan manusia dari ‘tujuan’ dimana ia diciptakan, yaitu untuk beribadah kepada-Nya. Manusia terbelenggu oleh fasilitas dan rutinitas pencapaiannya. Akibatnya, semangat ibadah dan tauhid yang merupakan fitrah dasar manusia (QS. 30:30) semakin memudar dan menjauh darinya. Untuk itulah Allah Swt. mengutus para rasul-Nya dalam rangka mengingatkan dan mengembalikan manusia kepada fitrahnya yang dapat diraih kembali dengan beribadah kepada Allah Swt.

    Pertanyaan yang timbul adalah apakah kaitannya antara ibadah puasa -- juga ibadah-ibadah lainnya -- dengan fitrah manusia untuk menjadi makhluk terbaik dengan menyembah hanya kepada satu Tuhan? Bagaimanakah wujud sebenarnya semangat tauhid itu dalam konteks keseharian manusia?

    Dalam bulan Ramadhan, manusia yang telah memiliki keimanan sekecil apapun dituntut untuk melakukan berbagai latihan ruhaniah, utamanya adalah puasa yang diartikan sebagai “menahan diri dari makan, minum, dan upaya mengeluarkan sperma dari terbitnya fajar hingga terbenamnya matahari”. Target pencapaian yang diharapkan dari latihan ini adalah agar manusia dapat melepaskan diri dari belenggu penyembahan kepada hal-hal selain Allah Swt. serta mampu menemukan kembali harkat kemanusiaannya sebagai makhluk atau ciptaan Allah yang terbaik.

    Problem belenggu kemanusiaan yang dapat memalingkan manusia dari Allah Swt. terkadang dapat berbentuk nafsu tak terkendalikan kepada cinta materi, seperti rumah mewah, mobil mewah, tanah, istri, dan anak. Pada tataran yang lebih tinggi, kecintaan terhadap hal-hal yang bersifat materi tersebut dapat menjadikan manusia seakan-akan ‘menyembah’ materi, yang dengan sendirinya, sebenarnya ia sudah terjerumus ke perilaku syirik. Hal ini bisa kita lihat, umpamanya, dalam ungkapan orang Inggris, “He washes his car ritually,” bahwa mencuci mobil—juga mengejar dan menjaga harta lainnya—sudah merupakan suatu ritualitas (yang bernilai ibadah) bagi seseorang. Suatu hal yang sangat jauh dari fitrah manusia sebagai makhluk tertinggi, yang hanya ‘wajar’ menjadikan Allah Swt. sebagai Tuhan-nya.

    Namun juga jangan disalahpahami bahwa tidaklah benar bahwa bila kita harus hidup sesuai dengan ajaran Islam, maka kita harus pula menghindari atau menjauhkan diri dari hal-hal yang berbau keduniaan atau materi. Dunia dan materi dalam Islam dipandang sebagai hal-hal yang positif, sebagaimana dalam QS. 14: 19 bahwa bumi dan langit beserta isinya semua diciptakan dengan hak, tidak sia-sia, dan diperuntukkan bagi kepentingan manusia, Rosululloh dalam hadispun mensinyalir tentang hal itu, dunia dipandang sebagai hal yang positif. dalam beribadah kepada Allah Swt. Islam melihat alam semesta ini dengan konsep positive values, dipenuhi dengan nilai-nilai positif bagi kehidupan dan kelestarian manusia itu sendiri. Tegasnya, Islam bukanlah agama rahbâniyyah, yang mengharamkan hal-hal bersifat duniawi atau materi. Islam tidak mengajarkan kepada pengikutnya untuk meninggalkan hal-hal yang berbau duniawi, zuhud atau asketik. Yang dikehendaki oleh Islam, sekali lagi, adalah agar manusia tidak terbelenggu oleh semua itu, manusia berada pada fitrahnya sebagai makhluk Tuhan yang tertinggi dan terbaik. Dan semua ini dapat dicapai manakala manusia sampai kepada tahap—setelah melakukan ibadah-ibadah tersebut, tentunya—mengetahui essensi dari setiap ibadah yang dibebankan terhadapnya, yakni ‘pengendalian diri’ yang merupakan inti dari hakekat takwa dalam pengertiannya yang luas.

    Dalam dimensi absolut, takwa adalah kemampuan melepaskan diri dari tawanan dirinya (manusia), dari belenggu di sini dan sekarang, captive of here and now, yang dapat memperdaya manusia untuk memahami hakikat kediriannya. Dengan demikian, takwa dapat juga dipahami sebagai sikap berpengharapan terhadap masa depan, yakni dengan mengendalikan diri menunda kesenangan duniawi demi kesenangan akherat yang lebih abadi. Inilah yang diisyaratkan oleh Rasulullah Saw. melalui sabdanya, “Orang yang cerdas adalah orang yang mampu mengendalikan dirinya, dan ia melakukan aktivitas yang akan memberikan manfaat kepadanya setelah dia mati.”

    Dimensi pengendalian diri dan pembebasan diri dari perbudakan hawa nafsu dan materi—yang merupakan buah dari ibadah—tentu saja memerlukan wujud yang konkret dalam keseharian manusia. Dalam Islam, hal tersebut diwujudkan melalui amal shaleh atau kerja sosial yang berguna bagi orang lain. (lihat QS. al-‘Ashr/103) dan dalam hadits, hal tersebut dinyatakan sebagai ‘barometer’ kebaikan (khairiyyah) manusia. “Manusia terbaik adalah yang paling banyak memberikan manfaat terhadap sesama,” demikian sabda Rasulullah Saw.

    Oleh karena itu, kalau kita perhatikan dan teliti kembali, ajaran dan perintah ibadah puasa ternyata memiliki korelasi positif dengan ibadah-ibadah lain dalam Islam, terutama ibadah shalat, yakni selalu dibarengi oleh dimensi konsekuensial atau ikutan. Sebagaimana halnya ibadah puasa, perintah menjalankan ibadah shalat juga selalu diiringi dengan perintah berzakat, yaitu zakat kekayaan. Hal tersebut dapat dilihat dari banyaknya ayat dalam al-Qur’an yang memerintahkan mengerjakan atau mendirikan shalat, yang kemudian diiringi dengan perintah mengeluarkan zakat, seperti, “Dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan ruku’lah beserta orang-orang yang ruku’.” (QS. 2: 43) dan banyak lagi ayat-ayat yang lain, seperti QS. 22: 78, 10: 87, dan 24: 56.

    Dalam menjalankan praktik ibadah puasa, kita dianjurkan mengeluarkan zakat fitrah yang tujuannya adalah pembuktian keimanan kita. Sementara itu, dalam praktik ibadah shalat, kita juga disuruh menyertainya dengan mengeluarkan zakat. Kalau dalam ibadah puasa kita mengeluarkan zakat fitrah sebagai perwujudan nilai kemanusiaan, dimensi horizontal, maka dalam shalat, hal itu disimbolisasikan dengan salam pada akhir shalat. Itulah sebabnya ada yang beranggapan bahwa nilai atau pahala puasa tidak sah kalau tidak disertai mengeluarkan zakat fitrah, dengan menganalogikan salam pada shalat. Dalam shalat, seseorang dinilai tidak sah kalau tidak mengucapkan salam. Singkat kata, perwujudan keimanan dan ketakwaan yang merupakan hasil dari ibadah—baik itu puasa maupun shalat—mengharuskan adanya suatu perwujudan yang konkret berupa amal shaleh. Artinya, terdapat paralelisme antara iman, takwa, dan amal shaleh atau lebih populer dengan adanya komitmen sosial.


    Baik zakat mâl atau zakat kekayaan maupun zakat fitrah, pada dasarnya juga merupakan simbolisasi pemadatan nilai keimanan yang tidak kasat mata. Adapun ide dasar yang terkandung dalam keduanya adalah penyucian diri dari segala belenggu dan keterikatan akan hal-hal yang bersifat duniawi atau materi. Sarana penyucian adalah menunjukkan komitmen, kepedulian sosial. Dengan demikian, akan terwujudlah insan paripurna, makhluk terbaik yang berada di atas segalanya, tidak terikat oleh apapun, serta hanya menjadi hamba Allah Swt. semata. Inilah tujuan utama seluruh manusia, sesuai dengan ikrar yang selalu dibacakannya di hadapan Allah Swt. minimal tujuh belas kali dalam sehari, “iyyâka na’budu wa iyyâka nasta’în, hanya kepada-Mu kami menghamba, dan hanya kepada-Mu kami memohon.” Wallâhu a’lam. []

    Sumber :
    Diambil dari Opini Buletin PSQ Edisi 05/Juli-Agustus/2005, yang ditulis oleh Wahyu Widayana, Peserta Program Pendidikan Kader Mufassir (PKM).

      Waktu sekarang Thu Nov 21, 2024 5:59 pm