Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

ingin bergabung dengan elrakyat.tk klik pendaftaran. jika anda sudah pernah mendaftar silakan login. jangan lupa ajak kawan-kawanmu ke mari , dan jadilah top poster di forum kita

Join the forum, it's quick and easy

Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

ingin bergabung dengan elrakyat.tk klik pendaftaran. jika anda sudah pernah mendaftar silakan login. jangan lupa ajak kawan-kawanmu ke mari , dan jadilah top poster di forum kita

Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

Would you like to react to this message? Create an account in a few clicks or log in to continue.
Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

salah satu forum terbesar tempat kita bernostalgia

Login

Lupa password?

Our traffic

info rakyat

Sun Oct 31, 2010 9:05 pm by admin

---------------
PEMBERITAHUAN....

SF ZONA RELIGI SEKARANG KAMI PINDAH KE [You must be registered and logged in to see this link.] ANDA BISA BERPARTISIPASI DAN MENJADI MODERATOR SESUAI PERMINTAAN ANDA DENGAN REQUEST VIA SMS NO ADMIN 081945520865


Sekilas Info

Sun Jun 27, 2010 2:44 pm by admin

kabar gembira, forum lentera-rakyat mulai hari ini juga bisa diakses melalui [You must be registered and logged in to see this link.]


    wawancara dengan ulil abshar

    admin
    admin
    Admin
    Admin


    Zodiac : Virgo Jumlah posting : 688
    Join date : 19.03.10
    Age : 37
    Lokasi : Malang-Indonesia

    wawancara dengan ulil abshar Empty wawancara dengan ulil abshar

    Post by admin Sun Feb 13, 2011 11:23 pm

    Bulan Juli lalu, saya sempat mewawancarai Ulil Abshar untuk keperluan
    edisi contoh majalan Madina yang sedang saya garap bersama Ihsan Ali Fauzi
    dan Farid Gaban.

    Majalah edisi contoh itu sudah jadi dan digunakan untuk keperluan terutama
    mencari sponsor, iklan dan penyandang dana.

    Wawancara dengan Ulil itu niatnya juga akan dimuat dalam edisi perdana.
    Tapi daripada menunggu lama, saya rasa saya 'bocorkan' dulu saja hasil
    wawancara itu pada peserta milis, mengingat isinya menurut saya bagus
    untuk dishare.
    Kami ngobrol terutama soal kenapa harus jauh-jauh belajar Islam di AS.
    Pembicaraan tentu saja berkembang tentang pengamatan dia mengenai
    perkembangan studi Islam di AS.

    Berikut saya copykan hasil wawancara itu

    ade armando

    AA: Anda sekarang melanjutkan studi Islam di AS. Kabarnya Anda memfokuskan
    perhatian pada studi Islam klasik, mengapa?

    Ulil: Saya sebetulnya ke Boston University tidak untuk belajar khusus
    tentang pemikiran Islam klasik. Tapi di semester pertama, saya sengaja
    mengikuti sebuah matakuliah tentang Fakhruddin Al-Razi, seorang penafsir
    penting dalam tradisi teologi Asy’ariyah abad ke 13, dari Persia. Saya
    mengikuti kuliah itu karena suka saja, bukan karena diwajibkan. Tapi
    karenanya, saya menjadi harus membaca pemikiran-pemikiran dia.
    Ternyata Al-Razi itu menarik sekali. Dia seorang polemikus ulung yang
    secara terbuka berhadap-hadapan dengan kaum rasionalis, Mu’tazilah. Saya
    belajar tentang bagaimana Al-Razi memanfaatkan bahan-bahan dari filsafat
    Yunani dalam membela argumennya. Saya melihat ada begitu banyak hal dalam
    struktur pemikirannya yang dapat digunakan dalan diskusi modern.
    Karena itulah kemudian saya memutuskan untuk mempelajari lebih dalam Islam
    klasik. Di Boston saya hanya kuliah dua tahun. Ternyata waktu itu pendek
    sekali. Di Harvard nanti, untuk program doctoral saya, saya akan lebih
    jauh mendalami pemikiran-pemikiran Islam klasik ini.

    AA: Apa yang penting dari Islam klasik itu?

    Ulil: Banyak sekali. Saya belajar bagaimana tokoh-tokoh Islam pada
    zamannya telah menjalani perdebatan tentang banyak isu sceara cerdas yang
    sekarang kembali didiskusikan dengan cara yang kadang terlalu sengit dan
    justru menemui kebuntuan.

    Misalnya saja, isu tentang aspek-aspek mana saja dalam Alquran yang bisa
    diubah dan yang tidak. Atau apa kedudukan akal dalam agama, apakah sumber
    kebenaran itu akal atau wahyu? Itu semua adalah isu-isu yang tetap lazim
    dipertentangkan saat ini. Al-Razi sendiri merekam perdebatannya dalam
    sebuah diary perjalanan. Dan kita bisa membaca betapa kaya dan menarik
    perdebatan yang terjadi saat itu.

    Saya belajar bahwa bahwa sebenarnya pengkutuban antara kaum Mu’tazillah
    dan Asy’ariyah secara kaku, di mana yang pertama sangat rasional sementara
    yang kedua menolak akal sebagai sumber kebenaran adalah terlalu
    menyederhanakan. Para ahli Asy’ariyah berdebat dengan menggunakan
    argumen-argumen rasional! Al-Razi, misalnya, memiliki banyak formulasi
    menarik.

    Kalau saja perdebatan modern diperkaya oleh formulasi-formulasi klasik,
    diskusinya akan lebih hidup, tidak deadlock. Warisan pemikiran para
    sarjana dari abad-abad lalu itu bisa digunakan untuk memformulasikan
    isu-isu modern. Kalau kita tidak menengok ke belakang, kita akan stuck,
    karena tidak akan ada terobosan.

    Misalnya soal Al-Ghazali. Sering dianggap dia antifilsafat, membunuh
    filsafat dalam dunia Islam. Saya anggap itu tidak fair. Kalau kita
    pelajari secara mendalam, ada beberapa peninggalan dia yang menarik. Dia
    misalnya sudah membahas soal toleransi dan pluralisme, dengan cara cerdas.
    Dia tidak sekadar mengharamkan atau menutup diskusi. Dia justru
    membukanya. Dia membuat framework dulu. Mula-mula dia definisikan, apa itu
    Islam. Jadi dia bertanya: apakah kalau orang tidak mengikuti asy’ariyah,
    atau syiah atau mu’tazilah, maka orang itu menjadi tidak Islam? Kemudian
    dia membuat kerangka empat tingkat keimanan seorang muslim. Dan dia
    simpulkan, bahwa selama seseorang masuk dalam kategori empat tingkat
    tersebut, dia tetap adalah muslim, terlepas dari sekte mana dia berasal.
    Itu, menurut saya, luar biasa. Dia jauh lebih inklusif dari para
    pengagumnya sekarang ini.

    Begitu juga soal kebangkitan tubuh di hari akhir. Al Ghazali mengatakan,
    percaya tentang kebangkitan di hari akhir adalah bagian dari definisi
    tentang muslim atau tidak muslim. Tapi dia juga mengajukan empat
    kemungkinan penafsiran tentang kebangkitan -- spiritual, fisikal, mental
    atau imajinatif. Iman kepada kebangkitan di hari akhir dalam empat
    tingkatan itu tetap bisa ditoleransi.

    Jadi saya mempelajari bagaimana Al Ghazali mendekati masalah pluralisme
    dengan cara ilmiah dan solid, dengan mendasarkan diri pada tradisi Islam.
    Dia sangat toleran terhadap perbedaan, tidak kaku. Dan sumber-sumber
    argumennya ádalah filsafat. Dia tidak anti filsafat. Dia mengkritik
    filsafat, tapi dia menggunakan filsafat – termasuk Aristóteles – dalam
    seluruh karya pentingnya.

    AA: Mengapa terjadi salah penafsiran terhadap orang-orang seperti Al Ghazali?

    Ulil: Salah satu kendala adalah kita sendiri memblok pemahaman kita. Dulu
    saya juga begitu. Di semester awal, saya masih membawa sikap untuk
    memilih-milih. Kalau ada buku yang kira-kira tidak liberal, saya mau
    mempelajarinya. Misalnya saja, karena saya sudah begitu percaya bahwa Al
    Ghazali antifilasafat, saya jadi tidak mempelajarinya. Ada banyak buku
    yang semula saya nilai sudah pasti tidak mengajarkan apa-apa, ya tidak
    akan saya baca.

    Tapi kemudian saya bilang pada diri saya, saya tidak bisa terus begini
    kalau mau belajar secara benar. Saya harus singkirkan blok-blok itu. Baru
    kemudian saya bisa lebih santai membaca buku-buku klasik. Pada saat itulah
    saya menemukan bahwa ada banyak kemungkinan dalam membaca tradisi.

    Guru Al Ghazali, misalnya, Al-Haramain, memiliki sikap realistis mengenai
    pemisahaan kekuasaan antara otoritas politik dan agama. Dia sendiri hidup
    dalam sebuah masa di mana kekuasaan spiritual ada di tangan khalifah, yang
    misalnya diwujudkan dalam bentuk menjadi imam Shalat Jumat, tapi
    penyelenggaraan kekuasaan sehari-hari berada di tangan panglima perang.
    Al-Haramain menulis risalah berisikan teori politik tentang pemilahan
    tersebut. Saya semula skeptis mengenai dia. Tapi setelah membaca karyanya,
    saya melihat dia sangat realistis tentang isu pembagian kekuasaan ini.
    Jadi, bisa dikatakan gagasan tentang sekulerisme pun dikedepankan olehnya.

    AA: Kenapa warisan tradisi yang kaya ini tidak sampai ke kelompok muslim
    saat ini.

    Ulil: Karena mereka tidak baca. Kedua karena tidak punya kemampuan
    membaca. Untuk membaca karya-karya klasik ini, memang berat. Anda
    berhadapan dengan teks kuno yang mungkin nampak tidak nyambung dgn
    keadaan sekarang. Kalau orang tidak dibekali dengan alat untuk
    menganalisis, sulit sekali untuk memahami substansi teks tersebut. Perlu
    ketabahan sendiri untuk mempelajarinya.

    Kalau saya membacanya sebelum saya berangkat ke sana, mungkin teks-teks
    itu pun tidak akan berbunyi apa-apa. Tapi begitu kita membacanya dengan
    kerangka analisis tertentu, menarik sekali. Banyak peminat Islam di
    Indonesia ini tidak memiliki akses ke sumber-sumber klasik ini. Dan
    kalaupun punya, mereka tidak memiliki lensa yang dibutuhkan untuk membaca
    teks-teks tersebut sehingga memiliki makna.

    AA: Tapi kenapa ke AS, untuk studi tentang Islam.

    Ulil: Saya rasa studi Islam terbaik saat ini ada di Barat. Mereka memiliki
    kultur kesarjanaan yang tidak ada dalam dunia Islam. Studi Islam di Barat
    dilakukan tidak atas dasar iman, jadi tidak faith-based. Dan ini menjadi
    justru sumber keunggulan mereka. Karena dengan demikian, mereka bebas
    mengeksplorasi Islam sebagai subjek pengetahuan, tanpa ada beban bahwa
    kajian itu harus sampai pada kesimpulan yang mengkonfirmasi atau menolak
    kebenaran sebuah doktrin.

    Saya rasa itu sangat membebaskan banyak hal. Teks menjadi bisa berbunyi
    apa saja.
    Sementara di dunia Islam, yang terjadi sebaliknya. Penelitian dilakukan
    untuk mengkonfirmasi kebenaran sebuah doktrin, sebuah dogma.

    Akibatnya studi Islam di Barat tumbuh luar biasa. Para sarjana di sana
    bebas untuk melakukan berbagai eksperimen dengan sejumlah metode.
    Misalnya, dalam studi hadiss. Sejauh-jauhnya seorang sarjana Islam
    meneliti Hadis, dia tidak akan bisa melepaskan diri dari cara pandang yang
    yang bertumpu pada sanad, mata rantai hadis. Jadi seorang sarjana Islam
    akan bertanya: ”Apakah mata rantai sumber hadis itu sudah benar? Apakah
    yang meriwayatkan hadis adalah orang baik dan bisa dipercaya?” Kalau
    jawabannya, semua baik, maka hadis tersebut akan dengan sendirinya
    dianggap benar. Akibat kepercayaan akan prinsip sanad tersebut, sarjana
    Islam enggan untuk mempertanyakan kebenaran hadis dari sisi isi-nya, dari
    sisi formulasi redaksionalnya.

    Itu yang tidak membebani sarjana Barat. Mereka tidak punya kendala untuk
    memverifikasi, menguji kebenaran hadis dari sisi isi. Sehingga dari
    sarajana-sarjana Baratlah ditemukan bahwa banyak dari hadis yang selama
    ini diterima sebagai benar oleh para ahli fiqih ternyata sebenarnya palsu,
    misalnya untuk mendukung posisi legal dalam perdebatan hukum yang tidak
    mungkin dikatakan Nabi. Kritik semacam ini tidak akan bisa datang dari
    skema sanad yang dipercaya sarjana Muslim.

    AA: Tapi yang justru dikuatirkan, tanpa paradigma yang faith-based ini,
    Islam akan dipandang sebagai tidak suci lagi dan akan menjadikan sarjana
    Islam menjauh kebenaran agamanya

    Ulil: Itu miskonsepsi. Dalam tradisi ilmiah, tidak ada keyakinan yang
    permanen. Setiap pernyataan ilmiah harus bisa dipertanyakan kembali,
    difalsifikasi. Kesimpulan akan mengalami koreksi terus menerus. Namun
    justru karena itu, kita melihat bahwa dari para sarjana yang melakukan
    studi Islam di Barat, tumbuh sikap yang semakin simpatik pada Islam. Ini
    terjadi karena kesimpulan-kesimpul an studi Islam di masa lalu tidak
    diterima sebagai kesimpulan yang abadi dan terbuka untuk dikritik. Itu
    berbeda dengan studi Islam di dunia Islam, yang kecenderungan umumnya
    adalah melahirkan bukan statement ilmiah tapi statement iman, sehingga
    tidak bisa dikoerksi.

    Di Barat, studi Islam memang diawali dengan skeptisisme terhadap Islam.
    Tapi studi itu terus berkembang, menjalani koreksi terus menerus,
    sehingga justru saat ini yang lahir justru sikap yang semakin simpatik

    AA:Ada kekhawatiran bahwa para sarjana Islam yang belajar ke Barat akan
    pulang dengan mempertanyakan Islam sendiri.

    Ulil: Kita memang harus membedakan antara Islam sebagai iman dan Islam
    sebagai bidang studi. Tapi saya harus katakan, bahkan sarjana klasik Islam
    jauh lebih menyadari itu.
    Iman tetap merupakan kerangka besar, tapi mereka tidak dihantui oleh itu.

    Misalnya tokoh Islam klasik, Al-Suyuthi. Dia menulis pada abad ke-16 bahwa
    dalam Alquran sebenarnya ada kesalahan gramatik. Ini persoalan besar
    karena bagi orang Islam, Quran adalah sebuah mukjizat literal. Kalau ada
    kesalahan gramatik, bagaimana bisa disebut keajaiban? Kalau ternyata ada
    kesalahan, bagaimana dia bisa disebut sempurna?

    Tapi Al-Suyuthi menuliskannya. Dan dalam bukunya, ia menunjukkan ada tiga
    ayat Quran yang mengandung kesalahan gramatik. Jadi ada isi Quran yang
    menyalahi kaidah bahasa Arab. Buku itu jelas menggangu sekali sarjana
    Quran. Tapi toh buku itu diizinkan terbit, tidak dilarang, tidak pernah
    diharamkan di masanya. Ini menunjukkan bahwa dalam khazanah klasik, Islam
    sebagai objek studi dipandang sebagai sesuatu yang relatif independen. Ia
    dilepaskan dari masalah iman atau tidak iman. Buat saya yang terpenting
    bahwa Al-Suyuthi memuat itu dalam bukunya. Yang ternyata sekarang tidak
    dimuat oleh pengkaji Islam modern.

    Contoh lain, umat Islam saat ini percaya bahwa jumlah surat Quran itu ada
    114 dengan susunan yang sudah pasti. Al-Suyuthi menyatakan bahwa
    urut-urutan surat dalam Quran sebenarnya tidak selalu sama. Ada beberapa
    Quran yang dimiliki sahabat yang susunannya berbeda. Bahkan ada dua
    tambahan surat dalam Quran Ibn Mas’ud yang tidak dikenal dalam Quran yang
    kita kenal sekarang. Saya tidak ingin mengangkat kembali debat tentang
    berapa sebenarnya jumlah surat Alquran. Poin terpentingnya adalah studi
    tentang Quran di masa lalu dilakukan secara terbuka dan dihadapi dengan
    biasa saja.

    AA: Tapi kesimpulan itu tidak diterima sebagai kesimpulan mainstream

    Ulil: Ya para sarjana modern berusaha menghindari dari perdebatan itu
    dengan mengatakan bahwa apa yang dinyatakan Assuyuti tidak reliable, tidak
    lulus test. Jadi diskusi lebih lanjut dihentikan karena ditutup dengan
    kesimpulan bahwa buku itu tidak bisa diterima kebenarannya. Mereka
    melindungi orotodoksi agama dengan tidak membicarakannya. Seolah karya
    Al-Suyuthi ini tidak pantas ditelaah, tidak relevan. Padahal ia dikenal
    sebagai ahli hadis.

    AA: Bagaimana sikap Anda sendiri?

    Ulil Sebetulnya saya tahu sudah lama. Tapi setelah saya membacanya
    kembali, saya shock sekali.

    AA: Itu tidak mengurangi keyakinan Anda pada Islam?

    Ulil: Tidak mengurangi keyakinan saya pada Quran. Tapi tentu itu mengubah
    cara saya mendekati Quran. Pada akhirnya saya percaya Alquran adalah kitab
    suci. Tapi itu tidak berarti bahwa dia harus terbebas dari kritik atau
    terbebas dari kemungkinan dia bisa dibicarakan secara kritis. Saya
    berkesimpulan, Quran adalah teks yang diimani melalui sebuah proses yang
    memiliki sejarahnya sendiri. Quran bukan teks yang sekali jadi. Quran
    adalah teks yang terbuka,

    AA: Dan ada kemungkinan Al-Suyuthi salah...

    Ulil: Tentu saja selalu ada kemungkinan itu. Dan itulah baiknya kita
    mendekati objek studi tanpa basis keyakinan, yaitu ini pun bukan
    kesimpulan akhir. Dia memang bukan kesimpulan yang ngarang-ngarang,
    arbitrer, tapi dia juga bukan sesuatu yang mutlak benar sehingga selalu
    harus terbuka untuk kritik. Dia menggunakan data, dan data itu bisa juga
    dipersoalkan.

    AA: Jadi sebenarnya tidak ada masalah bahwa Anda berangkat ke Amerika
    dengan keyakinan tertentu, dan di sana Anda akan menemukan data baru yang
    mungkin berbeda dengan apa yang diyakini selama ini ....

    Ulil: Tidak ada masalah, dan yang sebaliknya pun terjadi. Mungkin Anda
    berangkat dengan sikap tidak percaya pada Tuhan, atau mungkin agnotistik,
    dan berujung pada simpati. Banyak sekali sarjana Barat yang mempelajari
    Islam dengan skpetistisme yang kadang radikal dan berujung pada simpati
    yang mendalam pada Islam. Salah satu contoh terbaik adalah Annemarie
    Schimmel. Dia tidak pernah menajdi muslim, dan dia memulai perkenalannya
    dengan Islam secara skeptis. Namun kemudian, setelah dia belajar soal
    Islam, dia menjadi sarjana yang sangat bersimpati pada Islam.

    Bagi orang Islam seperti saya, belajar Islam dengan cara seperti di Barat
    tidak membawa keruntuhan keyakinan melainkan membuka kita terhadap begitu
    banyak kemungkinan yang didasari studi ilmiah. Saya merasa tidak ada suatu
    ancaman besar terhadap keIslaman saya. Di sini sayapun membaca karya-karya
    sarjana yang sangat kasar dan sinis teradap Islam, seperti Why I am Not a
    Muslim dari Ibnu Warraq. Tapi saya merasa tidak terancam, karena saya
    menganggap itu hanyalah studi ilmiah yang dalam kenyataannya juga dibantah
    oleh para sarjana Barat lainnya. Itu hanyalah salah satu statement ilmiah
    tentang Islam, tapi bukan satu-satunya. Karena statement itu banyak, maka
    dia saling mengkoreksi.

    Karakter kesarjanaan itu yang tidak dipahami banyak orang Islam. Mereka
    memang skeptis, tetapi terus melakukan self-criticism, saling mengkoreksi.
    Mereka terbuka terhadap segala kemungkinan, termasuk mendengarkan suara
    orang Islam.

    AA: Tapi memang ada masa dimana studi Islam di Barat justru cenderung
    melihat Islam dalam konteks hubungan penjajah dan yang dijajah

    Ulil: Ya, tapi itu sudah hilang, sudah lewat masanya. Orientalisme yang
    sinis terhadap Islam, yang melecehkan Islam, seperti Ernest Renan di
    Prancis di abad 19, sudah tidak lagi.

    AA: Tapi bagaimana dengan tuduhan bahwa orientalisme dilatarbelakangi oleh
    hasrat kapitalisme, hasrat penjajahan

    Ulil: Salah satu kritik yang paling tajam kan datang dari Edward Said.
    Tapi kritik semacam itu menurut saya tidak fair, dalam banyak hal. Bagi
    para penulis kritis itu, orientalisme adalah alat kontrol yang dipakai
    Barat untuk menguasai Islam. Saya tidak setuju. Saya anggap, hasrat
    mengetahui adalah hasrat inheren dalam diri manusia. Memang hasrat
    mengetahui bisa digunakan untuk menguasai orang lain, tapi itu bukan
    kecenderungan yang intrinsik dalam manusia.

    Saya percaya bahwa hasrat mengetahui sebenarnya adalah impuls dasar
    manusia untuk mengetahui segala hal. Penyalahgunaan pengetahuan untuk
    menguasai datang kemudian.
    Bila Anda memandang orientalisme bukan sebagai abstrak, bukan sebagai
    sebuah kategori besar, dan Anda berhadapan orang per orang, Anda akan tiba
    pada kesimpulan berbeda. Tidak mungkin kita melihat Annemarie Schimmel
    sebagai orang yang berhasrat menguasai Islam. Mungkin saja ada sebuah
    institusi di luar sana yang memanfaatkan karya Schimmel untuk menguasai,
    tapi itu isu lain.

    AA: Tapi tidakkah Anda melihat bahwa tumbuhnya studi tentang Islam yang
    berlangsung di pusat-pusat penelitian, universitas- unversitas Barat ini
    turut dipengaruhi hasrat untuk memahami Islam demi kepentingan ekonomi dan
    politik.

    Ulil: Oh ya, itu pasti ada, karena bukankah penelitian-peneliti an itu
    sebagian dananya datang dari negara? Tetapi hasrat kekuasaan yang datang
    dari luar masyarakat akademis ini tidak akan sepenuhnya dapat
    mengendalikan pengetahuan. Kalaupun pengetahuan hendak diarahkan untuk
    melayani kepentingan tertentu, akan ada pemberontakan. Dan itulah yang
    terjadi dalam studi Islam di Barat saat ini. Kritik-kritik terhadap
    kebijakan luar negeri Bush saat ini datang dari profesor-profesor yang
    mengajarkan Islam di universitas Barat.

    Daniel Pipes, seorang ilmuwan AS yang sangat sinis pada Islam, membuat
    sebuah website bernama Campus Watch, untuk antara lain memonitor
    profesor-profesor di AS yang anti Israel dan anti kebijakan AS. Ternyata
    sebagian besar profesor yang masuk kategori itu ada di Departremen of
    Islamic Studies. Dan itu profesor-profesor kulit putih, bukan orang timur
    tengah.

    Jadi pengetahuan bisa diselewengkan untuk kepentingan kekuasaan, tapi pada
    akhirnya disiplin ilmu pengetahuan memiliki otonominya sendiri. Dia bisa
    dipakai, tapi pada akhirnya kalau dia diperlakukan semacam itu, dia akan
    memberontak. Kekuasaan punya batas. Studi Islam punya otonomi yang
    non-faith based, yang terus mengkoreksi dirinya sendiri. Dan apa yang
    dihasilkan oleh masyarakat peneliti di sana bukan hanya bermanfaat bagi
    studi Islam tapi juga memberi masukan berharga bagi para policy makers
    dalam memandang dunia Islam.

    Saya percaya bahwa kalau ilmu pengetahuan dilepaskan dari beban
    non-ilmiah, termasuk di dalamnya beban iman, maka ia akan membawa
    kemaslahatan yang besar bagi seluruh masyarakat.

    AA: Anda berada di sana, Anda tidak melihat semacam konspirasi?

    Ulil: Kalau saya duduk di kelas, saya memandang seorang profesor, ... ya
    dia adalah seorang sarjana, ilmuwan yang bekerja dengan data, menggunakan
    teori, berusaha menjelaskan fakta dengan teori-teori tersebut, dan
    kemudian bisa dichallenge oleh siapa saja.

    Saat ini semakin banyak orang seperti Esposito, Karen Armstrong yang
    sangat bersimpati pada Islam. Sedemikian banyak, sehingga sekarang terjadi
    pendulum balik. Ada kekuatiran bahwa sekarang kok studi Islam maunya
    memuji-muji Islam saja. Kok tidak ada kritik? Ada semacam kerisauan bahwa
    ada sikap berlebihan untuk menjaga political corectness. Seolah-olah kalau
    ada mengkiritik Islam, Anda menjadi politically incorrect. Sekarang ini,
    kecenderungan itu dikritik kembali oleh sejumlah sarjana karena dianggap
    mulai tidak sehat. Tapi ya memang begitulah. Iklim pengetahuan di sana
    sangat dinamis -- lari ke kiri kekanan, tapi at the end of the day, dia
    terus mempebaiki dirinya sendiri.

    AA: Anda melihat studi di AS menjadi lebih baik daripada Eropa?

    Saat ini memang yang terbaik di AS. Banyak sekali sarjana terkemuka Eropa
    pindah ke AS. Baik karena dana riset di AS yang jauh lebih besar, maupun
    karena iklim akademik AS jauh lebih baik. Studi Islam di AS pelan-pelan
    melampaui Eropa. Walaupun masterpiecenya masih di Eropa, peninggalan dari
    masa lalu.

    Dan yang berkembang bukan cuma perguruan tinggi yang non-faith based,
    namun juga yang berbasis agama. Saat ini di beberapa tempat, lahir
    sekolah-sekolah tentang Islam yang berbasis agama. Tapi pendekatannya juga
    terbuka. Dan ini yang menurut saya juga merupakan pengaruh dari
    studi-studi Islam yang non-faith based tadi.

    Kesimpulan-kesimpul an ilmiah yang dilahirkan dan disebarkan lembaga
    pengetahuan akan mengkoreksi keyakinan-keyakinan umat bergama yang
    ternyata tidak memiliki dasar ilmiah.. Corak pemahaman keagamaan Islam di
    AS mau tidak mau memperhitungkan kesimpulan2 ilmiah yang masuk akal.
    Mereka menjadi lebih toleran, lebih terbuka lebih menggunakan akal ...

    AA: Interaksi itu turut mengubah corak keberagamaan kaum imigran?

    Ulil: Imigran generasi pertama tentu tidak. Tapi anak-anak mereka kan
    bersekolah?. Bahkan sebagian dari mereka mengikuti studi Islam di
    perguruan tinggi. Itu berpengaruh terjadap komunitas Islam. Karena itulah
    saya berharap banyak pada pertumbuhan Islam di Barat. Karena mereka tumbuh
    dalam peradaban yang mewarisi renaissance, maka Islam yang berkembang di
    Barat pasti akan bicara dalam semangat renaissance. Mereka harus
    menginkorporasikan buah pikiran Immanuel Kant, Rosseau; dan tidak bisa
    semata-mata bicara filsafat Al Ghazali, Ibnu Rusy, .. . Saya menunggu
    dengan berdebar2 corak Islam seperti apa yang akan lahir dari peradaban.

    AA: Anda sudah melihat lahirnya corak2 baru itu?

    Ulil: Ya, itu berlangsung. Sebagai contoh Irshad Mandji. Dia seorang
    wanita muda yang sangat aktif bicara soal Islam, keturunan India berasal
    dari Uganda, cantik, mendirikan sebuah projek bernama projek ijtihad. Dia
    mengaku muslimah tapi sekaligus lesbian. Ini tidak mungkin terjadi di luar
    Amerika. Dia menyuarakan pesan2 Islam, deeply comitted to Islam. Sangat
    konfrontatif. Dia mengkritik keras para ulama. Dia buat acara di televisi
    PBS, berjudul Faith Without fear. Dia membaca Quran dengan cara rasional
    tanpa mengabaikan aspek2 spiritual dalam Islam.

    Bahkan di sana sekarang ada komedi muslim. Ada standup comedian yang
    mengkomedikan Islam. Mengejek Islam, tapi juga mengejek cara orang AS
    memandang Islam. Semua disampaikan secara santai ....

    AA: Jadi Anda menunggu dengan berdebar-debar dan optimistis?

    Ulil: Saya opitmistis, karena infrastruktur yang ada memungkinkan
    lahirnya renaissance dalam Islam. AS berbeda dengan Eropa. Di Eropa kan
    kebanyakan imigran Islamnya adalah pekerja kasar, ekonomi rendah. Di AS,
    kebanyakan kan datang ke AS untuk sekolah. Sebagian memang imigran dari
    masa lalu yang meninggalkan tanah kelahirannya karena situasi politik atau
    perang, tapi sekarang kan sudah generasi kedua dan ketiga yang sudah
    sekolah di AS juga.

    AA: Anda bicara infrastruktur pendidikan juga,.. perpustakaan?

    Ulil: Perpustakaan memang penting. Tapi yang lebih penting adalah
    publikasi. Produksi buku tg Islam di sana luar biasa mengagumkan. Setiap
    bulan terbit buku baru tentang Islam. Ini dimungkinkan karena kultur
    akademik yang baik.

    Dalam hal studi Islam misalnya, mereka memiliki bahan-bahan yang dapat
    dieksplorasi secara berkelanjutan. Di Barat, perpustakaan bukan hanya
    menyimpan buku-buku tercetak, tapi juga manuskrip-manuskrip klasik asli
    dalam tulisan tangan yang berabad-abad usianya. Melalui
    manuskrip-manuskrip itulah, lahir berbagai studi verifikasi teks. Dengan
    ketersediaan teks yang berlimpah, para sarjana melakukan studi mengenai
    misalnya, apakah teks ini memang benar ditulis oleh Al Ghazalli; atau
    kalaulah benar, apakah ini ditulis oleh penyalin yang memang berusia dekat
    dengan usia Al Ghazalli, apakah penyalinan ditulis dengan lengkap dan utuh
    ..

    Dengan demikian, sebuah teks, sebuah manuskrip memiliki sejarahnyan
    sendiri. Teks bisa diuji dengan hukum2 yang objektif. Dan itu kemudian
    berlaku untuk semua teks, termasuk pada Alquran juga.

    Studi manuskrip menjadi salah keunggulan Barat. Yang baru belakangan
    dikuti oleh dunia Islam. Dalam hal jumlah manuskrip, perpustakaan besar
    seperti di Princeton University AS, mungkin kalah dari perpustakaan Islam
    di Turki atau Mesir, misalnya. Tapi orang yang bekerja mempelajari,
    memverifikasi manuskrip-manuskrip itu lebih banyak di AS.

    AA: Apakah Anda bisa membayangkan studi serupa berkembang di Indonesia.

    Ulil: Sebenarnya studi Islam di sini perlahan-lahan berkembang menjadi
    kesarjanaan non-faith based. Tapi tidak bisa sepenuhnya. Beban keimanan
    itu tidak akan bisa hilang. Karena itu saya rasa studi Islam di dunia
    Islam tetap membutuhkan studi Islam di dunia barat. Sebagaimana studi
    Hindu di India tidak bisa melepaskan diri dari komitmen kehinduan.

    AA: Anda sudah dua tahun di AS. Bagaimana Anda memandang perkembangan
    Indonesia dari jauh?

    Ulil: Satu hal yang saya lihat adalah bahwa sekulerisme itu akan sangat
    dirasakan manfaatnya ketika Anda menjadi minoritas. Ketika Anda mayoritas,
    Anda tidak benar-benar menyadari manfaatnya. Orang2 Islam di AS saya rasa
    pelan-pelan mengakui betapa enaknya hidup dalam sebuah negara yang
    menganut sekulerisme, daripada kalau AS pelan-pelan menjadi negara Kristen
    sebagaimana yang diagendakan kaum Evangelical.

    Saya rasa kaum Islam akan mengapresiasi renaissance, persis karena mereka
    di sana. Sekulerisme di AS kan bukan hostile secularism melainkan
    religion-friendly secularism. Karena itu terpaan sekulerisme pada kaum
    Islam sebagai minoritas itu penting sekali. Saat ini kosa-kosa kata yang
    digunakan aktivis Muslim AS sudah kosakata sekuler. Misalnya civil
    liberty, hak-hak sipil. Itu kosakata sekuler. Orang berjenggot Wahabi di
    sana pun menggunakan kata civil rights. Ya, memang pertama-tama mereka
    menggunakan kosakata itu berdasarkan asas manfaat, karena menguntungkan
    kaum muslim minoritas. Tapi perlahan-lahan saya percaya mereka akan
    meyakini itu. Saya mereka akan secara tulus menghayati norma-norma hak
    sipil.

    AA: Jadi semakin Anda di AS, Anda semakin sekuler

    Ulil: Hmmm saya rasa saya semakin mengapresiasi.

      Waktu sekarang Thu Nov 21, 2024 4:55 pm