Bulan Juli lalu, saya sempat mewawancarai Ulil Abshar untuk keperluan
edisi contoh majalan Madina yang sedang saya garap bersama Ihsan Ali Fauzi
dan Farid Gaban.
Majalah edisi contoh itu sudah jadi dan digunakan untuk keperluan terutama
mencari sponsor, iklan dan penyandang dana.
Wawancara dengan Ulil itu niatnya juga akan dimuat dalam edisi perdana.
Tapi daripada menunggu lama, saya rasa saya 'bocorkan' dulu saja hasil
wawancara itu pada peserta milis, mengingat isinya menurut saya bagus
untuk dishare.
Kami ngobrol terutama soal kenapa harus jauh-jauh belajar Islam di AS.
Pembicaraan tentu saja berkembang tentang pengamatan dia mengenai
perkembangan studi Islam di AS.
Berikut saya copykan hasil wawancara itu
ade armando
AA: Anda sekarang melanjutkan studi Islam di AS. Kabarnya Anda memfokuskan
perhatian pada studi Islam klasik, mengapa?
Ulil: Saya sebetulnya ke Boston University tidak untuk belajar khusus
tentang pemikiran Islam klasik. Tapi di semester pertama, saya sengaja
mengikuti sebuah matakuliah tentang Fakhruddin Al-Razi, seorang penafsir
penting dalam tradisi teologi Asy’ariyah abad ke 13, dari Persia. Saya
mengikuti kuliah itu karena suka saja, bukan karena diwajibkan. Tapi
karenanya, saya menjadi harus membaca pemikiran-pemikiran dia.
Ternyata Al-Razi itu menarik sekali. Dia seorang polemikus ulung yang
secara terbuka berhadap-hadapan dengan kaum rasionalis, Mu’tazilah. Saya
belajar tentang bagaimana Al-Razi memanfaatkan bahan-bahan dari filsafat
Yunani dalam membela argumennya. Saya melihat ada begitu banyak hal dalam
struktur pemikirannya yang dapat digunakan dalan diskusi modern.
Karena itulah kemudian saya memutuskan untuk mempelajari lebih dalam Islam
klasik. Di Boston saya hanya kuliah dua tahun. Ternyata waktu itu pendek
sekali. Di Harvard nanti, untuk program doctoral saya, saya akan lebih
jauh mendalami pemikiran-pemikiran Islam klasik ini.
AA: Apa yang penting dari Islam klasik itu?
Ulil: Banyak sekali. Saya belajar bagaimana tokoh-tokoh Islam pada
zamannya telah menjalani perdebatan tentang banyak isu sceara cerdas yang
sekarang kembali didiskusikan dengan cara yang kadang terlalu sengit dan
justru menemui kebuntuan.
Misalnya saja, isu tentang aspek-aspek mana saja dalam Alquran yang bisa
diubah dan yang tidak. Atau apa kedudukan akal dalam agama, apakah sumber
kebenaran itu akal atau wahyu? Itu semua adalah isu-isu yang tetap lazim
dipertentangkan saat ini. Al-Razi sendiri merekam perdebatannya dalam
sebuah diary perjalanan. Dan kita bisa membaca betapa kaya dan menarik
perdebatan yang terjadi saat itu.
Saya belajar bahwa bahwa sebenarnya pengkutuban antara kaum Mu’tazillah
dan Asy’ariyah secara kaku, di mana yang pertama sangat rasional sementara
yang kedua menolak akal sebagai sumber kebenaran adalah terlalu
menyederhanakan. Para ahli Asy’ariyah berdebat dengan menggunakan
argumen-argumen rasional! Al-Razi, misalnya, memiliki banyak formulasi
menarik.
Kalau saja perdebatan modern diperkaya oleh formulasi-formulasi klasik,
diskusinya akan lebih hidup, tidak deadlock. Warisan pemikiran para
sarjana dari abad-abad lalu itu bisa digunakan untuk memformulasikan
isu-isu modern. Kalau kita tidak menengok ke belakang, kita akan stuck,
karena tidak akan ada terobosan.
Misalnya soal Al-Ghazali. Sering dianggap dia antifilsafat, membunuh
filsafat dalam dunia Islam. Saya anggap itu tidak fair. Kalau kita
pelajari secara mendalam, ada beberapa peninggalan dia yang menarik. Dia
misalnya sudah membahas soal toleransi dan pluralisme, dengan cara cerdas.
Dia tidak sekadar mengharamkan atau menutup diskusi. Dia justru
membukanya. Dia membuat framework dulu. Mula-mula dia definisikan, apa itu
Islam. Jadi dia bertanya: apakah kalau orang tidak mengikuti asy’ariyah,
atau syiah atau mu’tazilah, maka orang itu menjadi tidak Islam? Kemudian
dia membuat kerangka empat tingkat keimanan seorang muslim. Dan dia
simpulkan, bahwa selama seseorang masuk dalam kategori empat tingkat
tersebut, dia tetap adalah muslim, terlepas dari sekte mana dia berasal.
Itu, menurut saya, luar biasa. Dia jauh lebih inklusif dari para
pengagumnya sekarang ini.
Begitu juga soal kebangkitan tubuh di hari akhir. Al Ghazali mengatakan,
percaya tentang kebangkitan di hari akhir adalah bagian dari definisi
tentang muslim atau tidak muslim. Tapi dia juga mengajukan empat
kemungkinan penafsiran tentang kebangkitan -- spiritual, fisikal, mental
atau imajinatif. Iman kepada kebangkitan di hari akhir dalam empat
tingkatan itu tetap bisa ditoleransi.
Jadi saya mempelajari bagaimana Al Ghazali mendekati masalah pluralisme
dengan cara ilmiah dan solid, dengan mendasarkan diri pada tradisi Islam.
Dia sangat toleran terhadap perbedaan, tidak kaku. Dan sumber-sumber
argumennya ádalah filsafat. Dia tidak anti filsafat. Dia mengkritik
filsafat, tapi dia menggunakan filsafat – termasuk Aristóteles – dalam
seluruh karya pentingnya.
AA: Mengapa terjadi salah penafsiran terhadap orang-orang seperti Al Ghazali?
Ulil: Salah satu kendala adalah kita sendiri memblok pemahaman kita. Dulu
saya juga begitu. Di semester awal, saya masih membawa sikap untuk
memilih-milih. Kalau ada buku yang kira-kira tidak liberal, saya mau
mempelajarinya. Misalnya saja, karena saya sudah begitu percaya bahwa Al
Ghazali antifilasafat, saya jadi tidak mempelajarinya. Ada banyak buku
yang semula saya nilai sudah pasti tidak mengajarkan apa-apa, ya tidak
akan saya baca.
Tapi kemudian saya bilang pada diri saya, saya tidak bisa terus begini
kalau mau belajar secara benar. Saya harus singkirkan blok-blok itu. Baru
kemudian saya bisa lebih santai membaca buku-buku klasik. Pada saat itulah
saya menemukan bahwa ada banyak kemungkinan dalam membaca tradisi.
Guru Al Ghazali, misalnya, Al-Haramain, memiliki sikap realistis mengenai
pemisahaan kekuasaan antara otoritas politik dan agama. Dia sendiri hidup
dalam sebuah masa di mana kekuasaan spiritual ada di tangan khalifah, yang
misalnya diwujudkan dalam bentuk menjadi imam Shalat Jumat, tapi
penyelenggaraan kekuasaan sehari-hari berada di tangan panglima perang.
Al-Haramain menulis risalah berisikan teori politik tentang pemilahan
tersebut. Saya semula skeptis mengenai dia. Tapi setelah membaca karyanya,
saya melihat dia sangat realistis tentang isu pembagian kekuasaan ini.
Jadi, bisa dikatakan gagasan tentang sekulerisme pun dikedepankan olehnya.
AA: Kenapa warisan tradisi yang kaya ini tidak sampai ke kelompok muslim
saat ini.
Ulil: Karena mereka tidak baca. Kedua karena tidak punya kemampuan
membaca. Untuk membaca karya-karya klasik ini, memang berat. Anda
berhadapan dengan teks kuno yang mungkin nampak tidak nyambung dgn
keadaan sekarang. Kalau orang tidak dibekali dengan alat untuk
menganalisis, sulit sekali untuk memahami substansi teks tersebut. Perlu
ketabahan sendiri untuk mempelajarinya.
Kalau saya membacanya sebelum saya berangkat ke sana, mungkin teks-teks
itu pun tidak akan berbunyi apa-apa. Tapi begitu kita membacanya dengan
kerangka analisis tertentu, menarik sekali. Banyak peminat Islam di
Indonesia ini tidak memiliki akses ke sumber-sumber klasik ini. Dan
kalaupun punya, mereka tidak memiliki lensa yang dibutuhkan untuk membaca
teks-teks tersebut sehingga memiliki makna.
AA: Tapi kenapa ke AS, untuk studi tentang Islam.
Ulil: Saya rasa studi Islam terbaik saat ini ada di Barat. Mereka memiliki
kultur kesarjanaan yang tidak ada dalam dunia Islam. Studi Islam di Barat
dilakukan tidak atas dasar iman, jadi tidak faith-based. Dan ini menjadi
justru sumber keunggulan mereka. Karena dengan demikian, mereka bebas
mengeksplorasi Islam sebagai subjek pengetahuan, tanpa ada beban bahwa
kajian itu harus sampai pada kesimpulan yang mengkonfirmasi atau menolak
kebenaran sebuah doktrin.
Saya rasa itu sangat membebaskan banyak hal. Teks menjadi bisa berbunyi
apa saja.
Sementara di dunia Islam, yang terjadi sebaliknya. Penelitian dilakukan
untuk mengkonfirmasi kebenaran sebuah doktrin, sebuah dogma.
Akibatnya studi Islam di Barat tumbuh luar biasa. Para sarjana di sana
bebas untuk melakukan berbagai eksperimen dengan sejumlah metode.
Misalnya, dalam studi hadiss. Sejauh-jauhnya seorang sarjana Islam
meneliti Hadis, dia tidak akan bisa melepaskan diri dari cara pandang yang
yang bertumpu pada sanad, mata rantai hadis. Jadi seorang sarjana Islam
akan bertanya: ”Apakah mata rantai sumber hadis itu sudah benar? Apakah
yang meriwayatkan hadis adalah orang baik dan bisa dipercaya?” Kalau
jawabannya, semua baik, maka hadis tersebut akan dengan sendirinya
dianggap benar. Akibat kepercayaan akan prinsip sanad tersebut, sarjana
Islam enggan untuk mempertanyakan kebenaran hadis dari sisi isi-nya, dari
sisi formulasi redaksionalnya.
Itu yang tidak membebani sarjana Barat. Mereka tidak punya kendala untuk
memverifikasi, menguji kebenaran hadis dari sisi isi. Sehingga dari
sarajana-sarjana Baratlah ditemukan bahwa banyak dari hadis yang selama
ini diterima sebagai benar oleh para ahli fiqih ternyata sebenarnya palsu,
misalnya untuk mendukung posisi legal dalam perdebatan hukum yang tidak
mungkin dikatakan Nabi. Kritik semacam ini tidak akan bisa datang dari
skema sanad yang dipercaya sarjana Muslim.
AA: Tapi yang justru dikuatirkan, tanpa paradigma yang faith-based ini,
Islam akan dipandang sebagai tidak suci lagi dan akan menjadikan sarjana
Islam menjauh kebenaran agamanya
Ulil: Itu miskonsepsi. Dalam tradisi ilmiah, tidak ada keyakinan yang
permanen. Setiap pernyataan ilmiah harus bisa dipertanyakan kembali,
difalsifikasi. Kesimpulan akan mengalami koreksi terus menerus. Namun
justru karena itu, kita melihat bahwa dari para sarjana yang melakukan
studi Islam di Barat, tumbuh sikap yang semakin simpatik pada Islam. Ini
terjadi karena kesimpulan-kesimpul an studi Islam di masa lalu tidak
diterima sebagai kesimpulan yang abadi dan terbuka untuk dikritik. Itu
berbeda dengan studi Islam di dunia Islam, yang kecenderungan umumnya
adalah melahirkan bukan statement ilmiah tapi statement iman, sehingga
tidak bisa dikoerksi.
Di Barat, studi Islam memang diawali dengan skeptisisme terhadap Islam.
Tapi studi itu terus berkembang, menjalani koreksi terus menerus,
sehingga justru saat ini yang lahir justru sikap yang semakin simpatik
AA:Ada kekhawatiran bahwa para sarjana Islam yang belajar ke Barat akan
pulang dengan mempertanyakan Islam sendiri.
Ulil: Kita memang harus membedakan antara Islam sebagai iman dan Islam
sebagai bidang studi. Tapi saya harus katakan, bahkan sarjana klasik Islam
jauh lebih menyadari itu.
Iman tetap merupakan kerangka besar, tapi mereka tidak dihantui oleh itu.
Misalnya tokoh Islam klasik, Al-Suyuthi. Dia menulis pada abad ke-16 bahwa
dalam Alquran sebenarnya ada kesalahan gramatik. Ini persoalan besar
karena bagi orang Islam, Quran adalah sebuah mukjizat literal. Kalau ada
kesalahan gramatik, bagaimana bisa disebut keajaiban? Kalau ternyata ada
kesalahan, bagaimana dia bisa disebut sempurna?
Tapi Al-Suyuthi menuliskannya. Dan dalam bukunya, ia menunjukkan ada tiga
ayat Quran yang mengandung kesalahan gramatik. Jadi ada isi Quran yang
menyalahi kaidah bahasa Arab. Buku itu jelas menggangu sekali sarjana
Quran. Tapi toh buku itu diizinkan terbit, tidak dilarang, tidak pernah
diharamkan di masanya. Ini menunjukkan bahwa dalam khazanah klasik, Islam
sebagai objek studi dipandang sebagai sesuatu yang relatif independen. Ia
dilepaskan dari masalah iman atau tidak iman. Buat saya yang terpenting
bahwa Al-Suyuthi memuat itu dalam bukunya. Yang ternyata sekarang tidak
dimuat oleh pengkaji Islam modern.
Contoh lain, umat Islam saat ini percaya bahwa jumlah surat Quran itu ada
114 dengan susunan yang sudah pasti. Al-Suyuthi menyatakan bahwa
urut-urutan surat dalam Quran sebenarnya tidak selalu sama. Ada beberapa
Quran yang dimiliki sahabat yang susunannya berbeda. Bahkan ada dua
tambahan surat dalam Quran Ibn Mas’ud yang tidak dikenal dalam Quran yang
kita kenal sekarang. Saya tidak ingin mengangkat kembali debat tentang
berapa sebenarnya jumlah surat Alquran. Poin terpentingnya adalah studi
tentang Quran di masa lalu dilakukan secara terbuka dan dihadapi dengan
biasa saja.
AA: Tapi kesimpulan itu tidak diterima sebagai kesimpulan mainstream
Ulil: Ya para sarjana modern berusaha menghindari dari perdebatan itu
dengan mengatakan bahwa apa yang dinyatakan Assuyuti tidak reliable, tidak
lulus test. Jadi diskusi lebih lanjut dihentikan karena ditutup dengan
kesimpulan bahwa buku itu tidak bisa diterima kebenarannya. Mereka
melindungi orotodoksi agama dengan tidak membicarakannya. Seolah karya
Al-Suyuthi ini tidak pantas ditelaah, tidak relevan. Padahal ia dikenal
sebagai ahli hadis.
AA: Bagaimana sikap Anda sendiri?
Ulil Sebetulnya saya tahu sudah lama. Tapi setelah saya membacanya
kembali, saya shock sekali.
AA: Itu tidak mengurangi keyakinan Anda pada Islam?
Ulil: Tidak mengurangi keyakinan saya pada Quran. Tapi tentu itu mengubah
cara saya mendekati Quran. Pada akhirnya saya percaya Alquran adalah kitab
suci. Tapi itu tidak berarti bahwa dia harus terbebas dari kritik atau
terbebas dari kemungkinan dia bisa dibicarakan secara kritis. Saya
berkesimpulan, Quran adalah teks yang diimani melalui sebuah proses yang
memiliki sejarahnya sendiri. Quran bukan teks yang sekali jadi. Quran
adalah teks yang terbuka,
AA: Dan ada kemungkinan Al-Suyuthi salah...
Ulil: Tentu saja selalu ada kemungkinan itu. Dan itulah baiknya kita
mendekati objek studi tanpa basis keyakinan, yaitu ini pun bukan
kesimpulan akhir. Dia memang bukan kesimpulan yang ngarang-ngarang,
arbitrer, tapi dia juga bukan sesuatu yang mutlak benar sehingga selalu
harus terbuka untuk kritik. Dia menggunakan data, dan data itu bisa juga
dipersoalkan.
AA: Jadi sebenarnya tidak ada masalah bahwa Anda berangkat ke Amerika
dengan keyakinan tertentu, dan di sana Anda akan menemukan data baru yang
mungkin berbeda dengan apa yang diyakini selama ini ....
Ulil: Tidak ada masalah, dan yang sebaliknya pun terjadi. Mungkin Anda
berangkat dengan sikap tidak percaya pada Tuhan, atau mungkin agnotistik,
dan berujung pada simpati. Banyak sekali sarjana Barat yang mempelajari
Islam dengan skpetistisme yang kadang radikal dan berujung pada simpati
yang mendalam pada Islam. Salah satu contoh terbaik adalah Annemarie
Schimmel. Dia tidak pernah menajdi muslim, dan dia memulai perkenalannya
dengan Islam secara skeptis. Namun kemudian, setelah dia belajar soal
Islam, dia menjadi sarjana yang sangat bersimpati pada Islam.
Bagi orang Islam seperti saya, belajar Islam dengan cara seperti di Barat
tidak membawa keruntuhan keyakinan melainkan membuka kita terhadap begitu
banyak kemungkinan yang didasari studi ilmiah. Saya merasa tidak ada suatu
ancaman besar terhadap keIslaman saya. Di sini sayapun membaca karya-karya
sarjana yang sangat kasar dan sinis teradap Islam, seperti Why I am Not a
Muslim dari Ibnu Warraq. Tapi saya merasa tidak terancam, karena saya
menganggap itu hanyalah studi ilmiah yang dalam kenyataannya juga dibantah
oleh para sarjana Barat lainnya. Itu hanyalah salah satu statement ilmiah
tentang Islam, tapi bukan satu-satunya. Karena statement itu banyak, maka
dia saling mengkoreksi.
Karakter kesarjanaan itu yang tidak dipahami banyak orang Islam. Mereka
memang skeptis, tetapi terus melakukan self-criticism, saling mengkoreksi.
Mereka terbuka terhadap segala kemungkinan, termasuk mendengarkan suara
orang Islam.
AA: Tapi memang ada masa dimana studi Islam di Barat justru cenderung
melihat Islam dalam konteks hubungan penjajah dan yang dijajah
Ulil: Ya, tapi itu sudah hilang, sudah lewat masanya. Orientalisme yang
sinis terhadap Islam, yang melecehkan Islam, seperti Ernest Renan di
Prancis di abad 19, sudah tidak lagi.
AA: Tapi bagaimana dengan tuduhan bahwa orientalisme dilatarbelakangi oleh
hasrat kapitalisme, hasrat penjajahan
Ulil: Salah satu kritik yang paling tajam kan datang dari Edward Said.
Tapi kritik semacam itu menurut saya tidak fair, dalam banyak hal. Bagi
para penulis kritis itu, orientalisme adalah alat kontrol yang dipakai
Barat untuk menguasai Islam. Saya tidak setuju. Saya anggap, hasrat
mengetahui adalah hasrat inheren dalam diri manusia. Memang hasrat
mengetahui bisa digunakan untuk menguasai orang lain, tapi itu bukan
kecenderungan yang intrinsik dalam manusia.
Saya percaya bahwa hasrat mengetahui sebenarnya adalah impuls dasar
manusia untuk mengetahui segala hal. Penyalahgunaan pengetahuan untuk
menguasai datang kemudian.
Bila Anda memandang orientalisme bukan sebagai abstrak, bukan sebagai
sebuah kategori besar, dan Anda berhadapan orang per orang, Anda akan tiba
pada kesimpulan berbeda. Tidak mungkin kita melihat Annemarie Schimmel
sebagai orang yang berhasrat menguasai Islam. Mungkin saja ada sebuah
institusi di luar sana yang memanfaatkan karya Schimmel untuk menguasai,
tapi itu isu lain.
AA: Tapi tidakkah Anda melihat bahwa tumbuhnya studi tentang Islam yang
berlangsung di pusat-pusat penelitian, universitas- unversitas Barat ini
turut dipengaruhi hasrat untuk memahami Islam demi kepentingan ekonomi dan
politik.
Ulil: Oh ya, itu pasti ada, karena bukankah penelitian-peneliti an itu
sebagian dananya datang dari negara? Tetapi hasrat kekuasaan yang datang
dari luar masyarakat akademis ini tidak akan sepenuhnya dapat
mengendalikan pengetahuan. Kalaupun pengetahuan hendak diarahkan untuk
melayani kepentingan tertentu, akan ada pemberontakan. Dan itulah yang
terjadi dalam studi Islam di Barat saat ini. Kritik-kritik terhadap
kebijakan luar negeri Bush saat ini datang dari profesor-profesor yang
mengajarkan Islam di universitas Barat.
Daniel Pipes, seorang ilmuwan AS yang sangat sinis pada Islam, membuat
sebuah website bernama Campus Watch, untuk antara lain memonitor
profesor-profesor di AS yang anti Israel dan anti kebijakan AS. Ternyata
sebagian besar profesor yang masuk kategori itu ada di Departremen of
Islamic Studies. Dan itu profesor-profesor kulit putih, bukan orang timur
tengah.
Jadi pengetahuan bisa diselewengkan untuk kepentingan kekuasaan, tapi pada
akhirnya disiplin ilmu pengetahuan memiliki otonominya sendiri. Dia bisa
dipakai, tapi pada akhirnya kalau dia diperlakukan semacam itu, dia akan
memberontak. Kekuasaan punya batas. Studi Islam punya otonomi yang
non-faith based, yang terus mengkoreksi dirinya sendiri. Dan apa yang
dihasilkan oleh masyarakat peneliti di sana bukan hanya bermanfaat bagi
studi Islam tapi juga memberi masukan berharga bagi para policy makers
dalam memandang dunia Islam.
Saya percaya bahwa kalau ilmu pengetahuan dilepaskan dari beban
non-ilmiah, termasuk di dalamnya beban iman, maka ia akan membawa
kemaslahatan yang besar bagi seluruh masyarakat.
AA: Anda berada di sana, Anda tidak melihat semacam konspirasi?
Ulil: Kalau saya duduk di kelas, saya memandang seorang profesor, ... ya
dia adalah seorang sarjana, ilmuwan yang bekerja dengan data, menggunakan
teori, berusaha menjelaskan fakta dengan teori-teori tersebut, dan
kemudian bisa dichallenge oleh siapa saja.
Saat ini semakin banyak orang seperti Esposito, Karen Armstrong yang
sangat bersimpati pada Islam. Sedemikian banyak, sehingga sekarang terjadi
pendulum balik. Ada kekuatiran bahwa sekarang kok studi Islam maunya
memuji-muji Islam saja. Kok tidak ada kritik? Ada semacam kerisauan bahwa
ada sikap berlebihan untuk menjaga political corectness. Seolah-olah kalau
ada mengkiritik Islam, Anda menjadi politically incorrect. Sekarang ini,
kecenderungan itu dikritik kembali oleh sejumlah sarjana karena dianggap
mulai tidak sehat. Tapi ya memang begitulah. Iklim pengetahuan di sana
sangat dinamis -- lari ke kiri kekanan, tapi at the end of the day, dia
terus mempebaiki dirinya sendiri.
AA: Anda melihat studi di AS menjadi lebih baik daripada Eropa?
Saat ini memang yang terbaik di AS. Banyak sekali sarjana terkemuka Eropa
pindah ke AS. Baik karena dana riset di AS yang jauh lebih besar, maupun
karena iklim akademik AS jauh lebih baik. Studi Islam di AS pelan-pelan
melampaui Eropa. Walaupun masterpiecenya masih di Eropa, peninggalan dari
masa lalu.
Dan yang berkembang bukan cuma perguruan tinggi yang non-faith based,
namun juga yang berbasis agama. Saat ini di beberapa tempat, lahir
sekolah-sekolah tentang Islam yang berbasis agama. Tapi pendekatannya juga
terbuka. Dan ini yang menurut saya juga merupakan pengaruh dari
studi-studi Islam yang non-faith based tadi.
Kesimpulan-kesimpul an ilmiah yang dilahirkan dan disebarkan lembaga
pengetahuan akan mengkoreksi keyakinan-keyakinan umat bergama yang
ternyata tidak memiliki dasar ilmiah.. Corak pemahaman keagamaan Islam di
AS mau tidak mau memperhitungkan kesimpulan2 ilmiah yang masuk akal.
Mereka menjadi lebih toleran, lebih terbuka lebih menggunakan akal ...
AA: Interaksi itu turut mengubah corak keberagamaan kaum imigran?
Ulil: Imigran generasi pertama tentu tidak. Tapi anak-anak mereka kan
bersekolah?. Bahkan sebagian dari mereka mengikuti studi Islam di
perguruan tinggi. Itu berpengaruh terjadap komunitas Islam. Karena itulah
saya berharap banyak pada pertumbuhan Islam di Barat. Karena mereka tumbuh
dalam peradaban yang mewarisi renaissance, maka Islam yang berkembang di
Barat pasti akan bicara dalam semangat renaissance. Mereka harus
menginkorporasikan buah pikiran Immanuel Kant, Rosseau; dan tidak bisa
semata-mata bicara filsafat Al Ghazali, Ibnu Rusy, .. . Saya menunggu
dengan berdebar2 corak Islam seperti apa yang akan lahir dari peradaban.
AA: Anda sudah melihat lahirnya corak2 baru itu?
Ulil: Ya, itu berlangsung. Sebagai contoh Irshad Mandji. Dia seorang
wanita muda yang sangat aktif bicara soal Islam, keturunan India berasal
dari Uganda, cantik, mendirikan sebuah projek bernama projek ijtihad. Dia
mengaku muslimah tapi sekaligus lesbian. Ini tidak mungkin terjadi di luar
Amerika. Dia menyuarakan pesan2 Islam, deeply comitted to Islam. Sangat
konfrontatif. Dia mengkritik keras para ulama. Dia buat acara di televisi
PBS, berjudul Faith Without fear. Dia membaca Quran dengan cara rasional
tanpa mengabaikan aspek2 spiritual dalam Islam.
Bahkan di sana sekarang ada komedi muslim. Ada standup comedian yang
mengkomedikan Islam. Mengejek Islam, tapi juga mengejek cara orang AS
memandang Islam. Semua disampaikan secara santai ....
AA: Jadi Anda menunggu dengan berdebar-debar dan optimistis?
Ulil: Saya opitmistis, karena infrastruktur yang ada memungkinkan
lahirnya renaissance dalam Islam. AS berbeda dengan Eropa. Di Eropa kan
kebanyakan imigran Islamnya adalah pekerja kasar, ekonomi rendah. Di AS,
kebanyakan kan datang ke AS untuk sekolah. Sebagian memang imigran dari
masa lalu yang meninggalkan tanah kelahirannya karena situasi politik atau
perang, tapi sekarang kan sudah generasi kedua dan ketiga yang sudah
sekolah di AS juga.
AA: Anda bicara infrastruktur pendidikan juga,.. perpustakaan?
Ulil: Perpustakaan memang penting. Tapi yang lebih penting adalah
publikasi. Produksi buku tg Islam di sana luar biasa mengagumkan. Setiap
bulan terbit buku baru tentang Islam. Ini dimungkinkan karena kultur
akademik yang baik.
Dalam hal studi Islam misalnya, mereka memiliki bahan-bahan yang dapat
dieksplorasi secara berkelanjutan. Di Barat, perpustakaan bukan hanya
menyimpan buku-buku tercetak, tapi juga manuskrip-manuskrip klasik asli
dalam tulisan tangan yang berabad-abad usianya. Melalui
manuskrip-manuskrip itulah, lahir berbagai studi verifikasi teks. Dengan
ketersediaan teks yang berlimpah, para sarjana melakukan studi mengenai
misalnya, apakah teks ini memang benar ditulis oleh Al Ghazalli; atau
kalaulah benar, apakah ini ditulis oleh penyalin yang memang berusia dekat
dengan usia Al Ghazalli, apakah penyalinan ditulis dengan lengkap dan utuh
..
Dengan demikian, sebuah teks, sebuah manuskrip memiliki sejarahnyan
sendiri. Teks bisa diuji dengan hukum2 yang objektif. Dan itu kemudian
berlaku untuk semua teks, termasuk pada Alquran juga.
Studi manuskrip menjadi salah keunggulan Barat. Yang baru belakangan
dikuti oleh dunia Islam. Dalam hal jumlah manuskrip, perpustakaan besar
seperti di Princeton University AS, mungkin kalah dari perpustakaan Islam
di Turki atau Mesir, misalnya. Tapi orang yang bekerja mempelajari,
memverifikasi manuskrip-manuskrip itu lebih banyak di AS.
AA: Apakah Anda bisa membayangkan studi serupa berkembang di Indonesia.
Ulil: Sebenarnya studi Islam di sini perlahan-lahan berkembang menjadi
kesarjanaan non-faith based. Tapi tidak bisa sepenuhnya. Beban keimanan
itu tidak akan bisa hilang. Karena itu saya rasa studi Islam di dunia
Islam tetap membutuhkan studi Islam di dunia barat. Sebagaimana studi
Hindu di India tidak bisa melepaskan diri dari komitmen kehinduan.
AA: Anda sudah dua tahun di AS. Bagaimana Anda memandang perkembangan
Indonesia dari jauh?
Ulil: Satu hal yang saya lihat adalah bahwa sekulerisme itu akan sangat
dirasakan manfaatnya ketika Anda menjadi minoritas. Ketika Anda mayoritas,
Anda tidak benar-benar menyadari manfaatnya. Orang2 Islam di AS saya rasa
pelan-pelan mengakui betapa enaknya hidup dalam sebuah negara yang
menganut sekulerisme, daripada kalau AS pelan-pelan menjadi negara Kristen
sebagaimana yang diagendakan kaum Evangelical.
Saya rasa kaum Islam akan mengapresiasi renaissance, persis karena mereka
di sana. Sekulerisme di AS kan bukan hostile secularism melainkan
religion-friendly secularism. Karena itu terpaan sekulerisme pada kaum
Islam sebagai minoritas itu penting sekali. Saat ini kosa-kosa kata yang
digunakan aktivis Muslim AS sudah kosakata sekuler. Misalnya civil
liberty, hak-hak sipil. Itu kosakata sekuler. Orang berjenggot Wahabi di
sana pun menggunakan kata civil rights. Ya, memang pertama-tama mereka
menggunakan kosakata itu berdasarkan asas manfaat, karena menguntungkan
kaum muslim minoritas. Tapi perlahan-lahan saya percaya mereka akan
meyakini itu. Saya mereka akan secara tulus menghayati norma-norma hak
sipil.
AA: Jadi semakin Anda di AS, Anda semakin sekuler
Ulil: Hmmm saya rasa saya semakin mengapresiasi.
edisi contoh majalan Madina yang sedang saya garap bersama Ihsan Ali Fauzi
dan Farid Gaban.
Majalah edisi contoh itu sudah jadi dan digunakan untuk keperluan terutama
mencari sponsor, iklan dan penyandang dana.
Wawancara dengan Ulil itu niatnya juga akan dimuat dalam edisi perdana.
Tapi daripada menunggu lama, saya rasa saya 'bocorkan' dulu saja hasil
wawancara itu pada peserta milis, mengingat isinya menurut saya bagus
untuk dishare.
Kami ngobrol terutama soal kenapa harus jauh-jauh belajar Islam di AS.
Pembicaraan tentu saja berkembang tentang pengamatan dia mengenai
perkembangan studi Islam di AS.
Berikut saya copykan hasil wawancara itu
ade armando
AA: Anda sekarang melanjutkan studi Islam di AS. Kabarnya Anda memfokuskan
perhatian pada studi Islam klasik, mengapa?
Ulil: Saya sebetulnya ke Boston University tidak untuk belajar khusus
tentang pemikiran Islam klasik. Tapi di semester pertama, saya sengaja
mengikuti sebuah matakuliah tentang Fakhruddin Al-Razi, seorang penafsir
penting dalam tradisi teologi Asy’ariyah abad ke 13, dari Persia. Saya
mengikuti kuliah itu karena suka saja, bukan karena diwajibkan. Tapi
karenanya, saya menjadi harus membaca pemikiran-pemikiran dia.
Ternyata Al-Razi itu menarik sekali. Dia seorang polemikus ulung yang
secara terbuka berhadap-hadapan dengan kaum rasionalis, Mu’tazilah. Saya
belajar tentang bagaimana Al-Razi memanfaatkan bahan-bahan dari filsafat
Yunani dalam membela argumennya. Saya melihat ada begitu banyak hal dalam
struktur pemikirannya yang dapat digunakan dalan diskusi modern.
Karena itulah kemudian saya memutuskan untuk mempelajari lebih dalam Islam
klasik. Di Boston saya hanya kuliah dua tahun. Ternyata waktu itu pendek
sekali. Di Harvard nanti, untuk program doctoral saya, saya akan lebih
jauh mendalami pemikiran-pemikiran Islam klasik ini.
AA: Apa yang penting dari Islam klasik itu?
Ulil: Banyak sekali. Saya belajar bagaimana tokoh-tokoh Islam pada
zamannya telah menjalani perdebatan tentang banyak isu sceara cerdas yang
sekarang kembali didiskusikan dengan cara yang kadang terlalu sengit dan
justru menemui kebuntuan.
Misalnya saja, isu tentang aspek-aspek mana saja dalam Alquran yang bisa
diubah dan yang tidak. Atau apa kedudukan akal dalam agama, apakah sumber
kebenaran itu akal atau wahyu? Itu semua adalah isu-isu yang tetap lazim
dipertentangkan saat ini. Al-Razi sendiri merekam perdebatannya dalam
sebuah diary perjalanan. Dan kita bisa membaca betapa kaya dan menarik
perdebatan yang terjadi saat itu.
Saya belajar bahwa bahwa sebenarnya pengkutuban antara kaum Mu’tazillah
dan Asy’ariyah secara kaku, di mana yang pertama sangat rasional sementara
yang kedua menolak akal sebagai sumber kebenaran adalah terlalu
menyederhanakan. Para ahli Asy’ariyah berdebat dengan menggunakan
argumen-argumen rasional! Al-Razi, misalnya, memiliki banyak formulasi
menarik.
Kalau saja perdebatan modern diperkaya oleh formulasi-formulasi klasik,
diskusinya akan lebih hidup, tidak deadlock. Warisan pemikiran para
sarjana dari abad-abad lalu itu bisa digunakan untuk memformulasikan
isu-isu modern. Kalau kita tidak menengok ke belakang, kita akan stuck,
karena tidak akan ada terobosan.
Misalnya soal Al-Ghazali. Sering dianggap dia antifilsafat, membunuh
filsafat dalam dunia Islam. Saya anggap itu tidak fair. Kalau kita
pelajari secara mendalam, ada beberapa peninggalan dia yang menarik. Dia
misalnya sudah membahas soal toleransi dan pluralisme, dengan cara cerdas.
Dia tidak sekadar mengharamkan atau menutup diskusi. Dia justru
membukanya. Dia membuat framework dulu. Mula-mula dia definisikan, apa itu
Islam. Jadi dia bertanya: apakah kalau orang tidak mengikuti asy’ariyah,
atau syiah atau mu’tazilah, maka orang itu menjadi tidak Islam? Kemudian
dia membuat kerangka empat tingkat keimanan seorang muslim. Dan dia
simpulkan, bahwa selama seseorang masuk dalam kategori empat tingkat
tersebut, dia tetap adalah muslim, terlepas dari sekte mana dia berasal.
Itu, menurut saya, luar biasa. Dia jauh lebih inklusif dari para
pengagumnya sekarang ini.
Begitu juga soal kebangkitan tubuh di hari akhir. Al Ghazali mengatakan,
percaya tentang kebangkitan di hari akhir adalah bagian dari definisi
tentang muslim atau tidak muslim. Tapi dia juga mengajukan empat
kemungkinan penafsiran tentang kebangkitan -- spiritual, fisikal, mental
atau imajinatif. Iman kepada kebangkitan di hari akhir dalam empat
tingkatan itu tetap bisa ditoleransi.
Jadi saya mempelajari bagaimana Al Ghazali mendekati masalah pluralisme
dengan cara ilmiah dan solid, dengan mendasarkan diri pada tradisi Islam.
Dia sangat toleran terhadap perbedaan, tidak kaku. Dan sumber-sumber
argumennya ádalah filsafat. Dia tidak anti filsafat. Dia mengkritik
filsafat, tapi dia menggunakan filsafat – termasuk Aristóteles – dalam
seluruh karya pentingnya.
AA: Mengapa terjadi salah penafsiran terhadap orang-orang seperti Al Ghazali?
Ulil: Salah satu kendala adalah kita sendiri memblok pemahaman kita. Dulu
saya juga begitu. Di semester awal, saya masih membawa sikap untuk
memilih-milih. Kalau ada buku yang kira-kira tidak liberal, saya mau
mempelajarinya. Misalnya saja, karena saya sudah begitu percaya bahwa Al
Ghazali antifilasafat, saya jadi tidak mempelajarinya. Ada banyak buku
yang semula saya nilai sudah pasti tidak mengajarkan apa-apa, ya tidak
akan saya baca.
Tapi kemudian saya bilang pada diri saya, saya tidak bisa terus begini
kalau mau belajar secara benar. Saya harus singkirkan blok-blok itu. Baru
kemudian saya bisa lebih santai membaca buku-buku klasik. Pada saat itulah
saya menemukan bahwa ada banyak kemungkinan dalam membaca tradisi.
Guru Al Ghazali, misalnya, Al-Haramain, memiliki sikap realistis mengenai
pemisahaan kekuasaan antara otoritas politik dan agama. Dia sendiri hidup
dalam sebuah masa di mana kekuasaan spiritual ada di tangan khalifah, yang
misalnya diwujudkan dalam bentuk menjadi imam Shalat Jumat, tapi
penyelenggaraan kekuasaan sehari-hari berada di tangan panglima perang.
Al-Haramain menulis risalah berisikan teori politik tentang pemilahan
tersebut. Saya semula skeptis mengenai dia. Tapi setelah membaca karyanya,
saya melihat dia sangat realistis tentang isu pembagian kekuasaan ini.
Jadi, bisa dikatakan gagasan tentang sekulerisme pun dikedepankan olehnya.
AA: Kenapa warisan tradisi yang kaya ini tidak sampai ke kelompok muslim
saat ini.
Ulil: Karena mereka tidak baca. Kedua karena tidak punya kemampuan
membaca. Untuk membaca karya-karya klasik ini, memang berat. Anda
berhadapan dengan teks kuno yang mungkin nampak tidak nyambung dgn
keadaan sekarang. Kalau orang tidak dibekali dengan alat untuk
menganalisis, sulit sekali untuk memahami substansi teks tersebut. Perlu
ketabahan sendiri untuk mempelajarinya.
Kalau saya membacanya sebelum saya berangkat ke sana, mungkin teks-teks
itu pun tidak akan berbunyi apa-apa. Tapi begitu kita membacanya dengan
kerangka analisis tertentu, menarik sekali. Banyak peminat Islam di
Indonesia ini tidak memiliki akses ke sumber-sumber klasik ini. Dan
kalaupun punya, mereka tidak memiliki lensa yang dibutuhkan untuk membaca
teks-teks tersebut sehingga memiliki makna.
AA: Tapi kenapa ke AS, untuk studi tentang Islam.
Ulil: Saya rasa studi Islam terbaik saat ini ada di Barat. Mereka memiliki
kultur kesarjanaan yang tidak ada dalam dunia Islam. Studi Islam di Barat
dilakukan tidak atas dasar iman, jadi tidak faith-based. Dan ini menjadi
justru sumber keunggulan mereka. Karena dengan demikian, mereka bebas
mengeksplorasi Islam sebagai subjek pengetahuan, tanpa ada beban bahwa
kajian itu harus sampai pada kesimpulan yang mengkonfirmasi atau menolak
kebenaran sebuah doktrin.
Saya rasa itu sangat membebaskan banyak hal. Teks menjadi bisa berbunyi
apa saja.
Sementara di dunia Islam, yang terjadi sebaliknya. Penelitian dilakukan
untuk mengkonfirmasi kebenaran sebuah doktrin, sebuah dogma.
Akibatnya studi Islam di Barat tumbuh luar biasa. Para sarjana di sana
bebas untuk melakukan berbagai eksperimen dengan sejumlah metode.
Misalnya, dalam studi hadiss. Sejauh-jauhnya seorang sarjana Islam
meneliti Hadis, dia tidak akan bisa melepaskan diri dari cara pandang yang
yang bertumpu pada sanad, mata rantai hadis. Jadi seorang sarjana Islam
akan bertanya: ”Apakah mata rantai sumber hadis itu sudah benar? Apakah
yang meriwayatkan hadis adalah orang baik dan bisa dipercaya?” Kalau
jawabannya, semua baik, maka hadis tersebut akan dengan sendirinya
dianggap benar. Akibat kepercayaan akan prinsip sanad tersebut, sarjana
Islam enggan untuk mempertanyakan kebenaran hadis dari sisi isi-nya, dari
sisi formulasi redaksionalnya.
Itu yang tidak membebani sarjana Barat. Mereka tidak punya kendala untuk
memverifikasi, menguji kebenaran hadis dari sisi isi. Sehingga dari
sarajana-sarjana Baratlah ditemukan bahwa banyak dari hadis yang selama
ini diterima sebagai benar oleh para ahli fiqih ternyata sebenarnya palsu,
misalnya untuk mendukung posisi legal dalam perdebatan hukum yang tidak
mungkin dikatakan Nabi. Kritik semacam ini tidak akan bisa datang dari
skema sanad yang dipercaya sarjana Muslim.
AA: Tapi yang justru dikuatirkan, tanpa paradigma yang faith-based ini,
Islam akan dipandang sebagai tidak suci lagi dan akan menjadikan sarjana
Islam menjauh kebenaran agamanya
Ulil: Itu miskonsepsi. Dalam tradisi ilmiah, tidak ada keyakinan yang
permanen. Setiap pernyataan ilmiah harus bisa dipertanyakan kembali,
difalsifikasi. Kesimpulan akan mengalami koreksi terus menerus. Namun
justru karena itu, kita melihat bahwa dari para sarjana yang melakukan
studi Islam di Barat, tumbuh sikap yang semakin simpatik pada Islam. Ini
terjadi karena kesimpulan-kesimpul an studi Islam di masa lalu tidak
diterima sebagai kesimpulan yang abadi dan terbuka untuk dikritik. Itu
berbeda dengan studi Islam di dunia Islam, yang kecenderungan umumnya
adalah melahirkan bukan statement ilmiah tapi statement iman, sehingga
tidak bisa dikoerksi.
Di Barat, studi Islam memang diawali dengan skeptisisme terhadap Islam.
Tapi studi itu terus berkembang, menjalani koreksi terus menerus,
sehingga justru saat ini yang lahir justru sikap yang semakin simpatik
AA:Ada kekhawatiran bahwa para sarjana Islam yang belajar ke Barat akan
pulang dengan mempertanyakan Islam sendiri.
Ulil: Kita memang harus membedakan antara Islam sebagai iman dan Islam
sebagai bidang studi. Tapi saya harus katakan, bahkan sarjana klasik Islam
jauh lebih menyadari itu.
Iman tetap merupakan kerangka besar, tapi mereka tidak dihantui oleh itu.
Misalnya tokoh Islam klasik, Al-Suyuthi. Dia menulis pada abad ke-16 bahwa
dalam Alquran sebenarnya ada kesalahan gramatik. Ini persoalan besar
karena bagi orang Islam, Quran adalah sebuah mukjizat literal. Kalau ada
kesalahan gramatik, bagaimana bisa disebut keajaiban? Kalau ternyata ada
kesalahan, bagaimana dia bisa disebut sempurna?
Tapi Al-Suyuthi menuliskannya. Dan dalam bukunya, ia menunjukkan ada tiga
ayat Quran yang mengandung kesalahan gramatik. Jadi ada isi Quran yang
menyalahi kaidah bahasa Arab. Buku itu jelas menggangu sekali sarjana
Quran. Tapi toh buku itu diizinkan terbit, tidak dilarang, tidak pernah
diharamkan di masanya. Ini menunjukkan bahwa dalam khazanah klasik, Islam
sebagai objek studi dipandang sebagai sesuatu yang relatif independen. Ia
dilepaskan dari masalah iman atau tidak iman. Buat saya yang terpenting
bahwa Al-Suyuthi memuat itu dalam bukunya. Yang ternyata sekarang tidak
dimuat oleh pengkaji Islam modern.
Contoh lain, umat Islam saat ini percaya bahwa jumlah surat Quran itu ada
114 dengan susunan yang sudah pasti. Al-Suyuthi menyatakan bahwa
urut-urutan surat dalam Quran sebenarnya tidak selalu sama. Ada beberapa
Quran yang dimiliki sahabat yang susunannya berbeda. Bahkan ada dua
tambahan surat dalam Quran Ibn Mas’ud yang tidak dikenal dalam Quran yang
kita kenal sekarang. Saya tidak ingin mengangkat kembali debat tentang
berapa sebenarnya jumlah surat Alquran. Poin terpentingnya adalah studi
tentang Quran di masa lalu dilakukan secara terbuka dan dihadapi dengan
biasa saja.
AA: Tapi kesimpulan itu tidak diterima sebagai kesimpulan mainstream
Ulil: Ya para sarjana modern berusaha menghindari dari perdebatan itu
dengan mengatakan bahwa apa yang dinyatakan Assuyuti tidak reliable, tidak
lulus test. Jadi diskusi lebih lanjut dihentikan karena ditutup dengan
kesimpulan bahwa buku itu tidak bisa diterima kebenarannya. Mereka
melindungi orotodoksi agama dengan tidak membicarakannya. Seolah karya
Al-Suyuthi ini tidak pantas ditelaah, tidak relevan. Padahal ia dikenal
sebagai ahli hadis.
AA: Bagaimana sikap Anda sendiri?
Ulil Sebetulnya saya tahu sudah lama. Tapi setelah saya membacanya
kembali, saya shock sekali.
AA: Itu tidak mengurangi keyakinan Anda pada Islam?
Ulil: Tidak mengurangi keyakinan saya pada Quran. Tapi tentu itu mengubah
cara saya mendekati Quran. Pada akhirnya saya percaya Alquran adalah kitab
suci. Tapi itu tidak berarti bahwa dia harus terbebas dari kritik atau
terbebas dari kemungkinan dia bisa dibicarakan secara kritis. Saya
berkesimpulan, Quran adalah teks yang diimani melalui sebuah proses yang
memiliki sejarahnya sendiri. Quran bukan teks yang sekali jadi. Quran
adalah teks yang terbuka,
AA: Dan ada kemungkinan Al-Suyuthi salah...
Ulil: Tentu saja selalu ada kemungkinan itu. Dan itulah baiknya kita
mendekati objek studi tanpa basis keyakinan, yaitu ini pun bukan
kesimpulan akhir. Dia memang bukan kesimpulan yang ngarang-ngarang,
arbitrer, tapi dia juga bukan sesuatu yang mutlak benar sehingga selalu
harus terbuka untuk kritik. Dia menggunakan data, dan data itu bisa juga
dipersoalkan.
AA: Jadi sebenarnya tidak ada masalah bahwa Anda berangkat ke Amerika
dengan keyakinan tertentu, dan di sana Anda akan menemukan data baru yang
mungkin berbeda dengan apa yang diyakini selama ini ....
Ulil: Tidak ada masalah, dan yang sebaliknya pun terjadi. Mungkin Anda
berangkat dengan sikap tidak percaya pada Tuhan, atau mungkin agnotistik,
dan berujung pada simpati. Banyak sekali sarjana Barat yang mempelajari
Islam dengan skpetistisme yang kadang radikal dan berujung pada simpati
yang mendalam pada Islam. Salah satu contoh terbaik adalah Annemarie
Schimmel. Dia tidak pernah menajdi muslim, dan dia memulai perkenalannya
dengan Islam secara skeptis. Namun kemudian, setelah dia belajar soal
Islam, dia menjadi sarjana yang sangat bersimpati pada Islam.
Bagi orang Islam seperti saya, belajar Islam dengan cara seperti di Barat
tidak membawa keruntuhan keyakinan melainkan membuka kita terhadap begitu
banyak kemungkinan yang didasari studi ilmiah. Saya merasa tidak ada suatu
ancaman besar terhadap keIslaman saya. Di sini sayapun membaca karya-karya
sarjana yang sangat kasar dan sinis teradap Islam, seperti Why I am Not a
Muslim dari Ibnu Warraq. Tapi saya merasa tidak terancam, karena saya
menganggap itu hanyalah studi ilmiah yang dalam kenyataannya juga dibantah
oleh para sarjana Barat lainnya. Itu hanyalah salah satu statement ilmiah
tentang Islam, tapi bukan satu-satunya. Karena statement itu banyak, maka
dia saling mengkoreksi.
Karakter kesarjanaan itu yang tidak dipahami banyak orang Islam. Mereka
memang skeptis, tetapi terus melakukan self-criticism, saling mengkoreksi.
Mereka terbuka terhadap segala kemungkinan, termasuk mendengarkan suara
orang Islam.
AA: Tapi memang ada masa dimana studi Islam di Barat justru cenderung
melihat Islam dalam konteks hubungan penjajah dan yang dijajah
Ulil: Ya, tapi itu sudah hilang, sudah lewat masanya. Orientalisme yang
sinis terhadap Islam, yang melecehkan Islam, seperti Ernest Renan di
Prancis di abad 19, sudah tidak lagi.
AA: Tapi bagaimana dengan tuduhan bahwa orientalisme dilatarbelakangi oleh
hasrat kapitalisme, hasrat penjajahan
Ulil: Salah satu kritik yang paling tajam kan datang dari Edward Said.
Tapi kritik semacam itu menurut saya tidak fair, dalam banyak hal. Bagi
para penulis kritis itu, orientalisme adalah alat kontrol yang dipakai
Barat untuk menguasai Islam. Saya tidak setuju. Saya anggap, hasrat
mengetahui adalah hasrat inheren dalam diri manusia. Memang hasrat
mengetahui bisa digunakan untuk menguasai orang lain, tapi itu bukan
kecenderungan yang intrinsik dalam manusia.
Saya percaya bahwa hasrat mengetahui sebenarnya adalah impuls dasar
manusia untuk mengetahui segala hal. Penyalahgunaan pengetahuan untuk
menguasai datang kemudian.
Bila Anda memandang orientalisme bukan sebagai abstrak, bukan sebagai
sebuah kategori besar, dan Anda berhadapan orang per orang, Anda akan tiba
pada kesimpulan berbeda. Tidak mungkin kita melihat Annemarie Schimmel
sebagai orang yang berhasrat menguasai Islam. Mungkin saja ada sebuah
institusi di luar sana yang memanfaatkan karya Schimmel untuk menguasai,
tapi itu isu lain.
AA: Tapi tidakkah Anda melihat bahwa tumbuhnya studi tentang Islam yang
berlangsung di pusat-pusat penelitian, universitas- unversitas Barat ini
turut dipengaruhi hasrat untuk memahami Islam demi kepentingan ekonomi dan
politik.
Ulil: Oh ya, itu pasti ada, karena bukankah penelitian-peneliti an itu
sebagian dananya datang dari negara? Tetapi hasrat kekuasaan yang datang
dari luar masyarakat akademis ini tidak akan sepenuhnya dapat
mengendalikan pengetahuan. Kalaupun pengetahuan hendak diarahkan untuk
melayani kepentingan tertentu, akan ada pemberontakan. Dan itulah yang
terjadi dalam studi Islam di Barat saat ini. Kritik-kritik terhadap
kebijakan luar negeri Bush saat ini datang dari profesor-profesor yang
mengajarkan Islam di universitas Barat.
Daniel Pipes, seorang ilmuwan AS yang sangat sinis pada Islam, membuat
sebuah website bernama Campus Watch, untuk antara lain memonitor
profesor-profesor di AS yang anti Israel dan anti kebijakan AS. Ternyata
sebagian besar profesor yang masuk kategori itu ada di Departremen of
Islamic Studies. Dan itu profesor-profesor kulit putih, bukan orang timur
tengah.
Jadi pengetahuan bisa diselewengkan untuk kepentingan kekuasaan, tapi pada
akhirnya disiplin ilmu pengetahuan memiliki otonominya sendiri. Dia bisa
dipakai, tapi pada akhirnya kalau dia diperlakukan semacam itu, dia akan
memberontak. Kekuasaan punya batas. Studi Islam punya otonomi yang
non-faith based, yang terus mengkoreksi dirinya sendiri. Dan apa yang
dihasilkan oleh masyarakat peneliti di sana bukan hanya bermanfaat bagi
studi Islam tapi juga memberi masukan berharga bagi para policy makers
dalam memandang dunia Islam.
Saya percaya bahwa kalau ilmu pengetahuan dilepaskan dari beban
non-ilmiah, termasuk di dalamnya beban iman, maka ia akan membawa
kemaslahatan yang besar bagi seluruh masyarakat.
AA: Anda berada di sana, Anda tidak melihat semacam konspirasi?
Ulil: Kalau saya duduk di kelas, saya memandang seorang profesor, ... ya
dia adalah seorang sarjana, ilmuwan yang bekerja dengan data, menggunakan
teori, berusaha menjelaskan fakta dengan teori-teori tersebut, dan
kemudian bisa dichallenge oleh siapa saja.
Saat ini semakin banyak orang seperti Esposito, Karen Armstrong yang
sangat bersimpati pada Islam. Sedemikian banyak, sehingga sekarang terjadi
pendulum balik. Ada kekuatiran bahwa sekarang kok studi Islam maunya
memuji-muji Islam saja. Kok tidak ada kritik? Ada semacam kerisauan bahwa
ada sikap berlebihan untuk menjaga political corectness. Seolah-olah kalau
ada mengkiritik Islam, Anda menjadi politically incorrect. Sekarang ini,
kecenderungan itu dikritik kembali oleh sejumlah sarjana karena dianggap
mulai tidak sehat. Tapi ya memang begitulah. Iklim pengetahuan di sana
sangat dinamis -- lari ke kiri kekanan, tapi at the end of the day, dia
terus mempebaiki dirinya sendiri.
AA: Anda melihat studi di AS menjadi lebih baik daripada Eropa?
Saat ini memang yang terbaik di AS. Banyak sekali sarjana terkemuka Eropa
pindah ke AS. Baik karena dana riset di AS yang jauh lebih besar, maupun
karena iklim akademik AS jauh lebih baik. Studi Islam di AS pelan-pelan
melampaui Eropa. Walaupun masterpiecenya masih di Eropa, peninggalan dari
masa lalu.
Dan yang berkembang bukan cuma perguruan tinggi yang non-faith based,
namun juga yang berbasis agama. Saat ini di beberapa tempat, lahir
sekolah-sekolah tentang Islam yang berbasis agama. Tapi pendekatannya juga
terbuka. Dan ini yang menurut saya juga merupakan pengaruh dari
studi-studi Islam yang non-faith based tadi.
Kesimpulan-kesimpul an ilmiah yang dilahirkan dan disebarkan lembaga
pengetahuan akan mengkoreksi keyakinan-keyakinan umat bergama yang
ternyata tidak memiliki dasar ilmiah.. Corak pemahaman keagamaan Islam di
AS mau tidak mau memperhitungkan kesimpulan2 ilmiah yang masuk akal.
Mereka menjadi lebih toleran, lebih terbuka lebih menggunakan akal ...
AA: Interaksi itu turut mengubah corak keberagamaan kaum imigran?
Ulil: Imigran generasi pertama tentu tidak. Tapi anak-anak mereka kan
bersekolah?. Bahkan sebagian dari mereka mengikuti studi Islam di
perguruan tinggi. Itu berpengaruh terjadap komunitas Islam. Karena itulah
saya berharap banyak pada pertumbuhan Islam di Barat. Karena mereka tumbuh
dalam peradaban yang mewarisi renaissance, maka Islam yang berkembang di
Barat pasti akan bicara dalam semangat renaissance. Mereka harus
menginkorporasikan buah pikiran Immanuel Kant, Rosseau; dan tidak bisa
semata-mata bicara filsafat Al Ghazali, Ibnu Rusy, .. . Saya menunggu
dengan berdebar2 corak Islam seperti apa yang akan lahir dari peradaban.
AA: Anda sudah melihat lahirnya corak2 baru itu?
Ulil: Ya, itu berlangsung. Sebagai contoh Irshad Mandji. Dia seorang
wanita muda yang sangat aktif bicara soal Islam, keturunan India berasal
dari Uganda, cantik, mendirikan sebuah projek bernama projek ijtihad. Dia
mengaku muslimah tapi sekaligus lesbian. Ini tidak mungkin terjadi di luar
Amerika. Dia menyuarakan pesan2 Islam, deeply comitted to Islam. Sangat
konfrontatif. Dia mengkritik keras para ulama. Dia buat acara di televisi
PBS, berjudul Faith Without fear. Dia membaca Quran dengan cara rasional
tanpa mengabaikan aspek2 spiritual dalam Islam.
Bahkan di sana sekarang ada komedi muslim. Ada standup comedian yang
mengkomedikan Islam. Mengejek Islam, tapi juga mengejek cara orang AS
memandang Islam. Semua disampaikan secara santai ....
AA: Jadi Anda menunggu dengan berdebar-debar dan optimistis?
Ulil: Saya opitmistis, karena infrastruktur yang ada memungkinkan
lahirnya renaissance dalam Islam. AS berbeda dengan Eropa. Di Eropa kan
kebanyakan imigran Islamnya adalah pekerja kasar, ekonomi rendah. Di AS,
kebanyakan kan datang ke AS untuk sekolah. Sebagian memang imigran dari
masa lalu yang meninggalkan tanah kelahirannya karena situasi politik atau
perang, tapi sekarang kan sudah generasi kedua dan ketiga yang sudah
sekolah di AS juga.
AA: Anda bicara infrastruktur pendidikan juga,.. perpustakaan?
Ulil: Perpustakaan memang penting. Tapi yang lebih penting adalah
publikasi. Produksi buku tg Islam di sana luar biasa mengagumkan. Setiap
bulan terbit buku baru tentang Islam. Ini dimungkinkan karena kultur
akademik yang baik.
Dalam hal studi Islam misalnya, mereka memiliki bahan-bahan yang dapat
dieksplorasi secara berkelanjutan. Di Barat, perpustakaan bukan hanya
menyimpan buku-buku tercetak, tapi juga manuskrip-manuskrip klasik asli
dalam tulisan tangan yang berabad-abad usianya. Melalui
manuskrip-manuskrip itulah, lahir berbagai studi verifikasi teks. Dengan
ketersediaan teks yang berlimpah, para sarjana melakukan studi mengenai
misalnya, apakah teks ini memang benar ditulis oleh Al Ghazalli; atau
kalaulah benar, apakah ini ditulis oleh penyalin yang memang berusia dekat
dengan usia Al Ghazalli, apakah penyalinan ditulis dengan lengkap dan utuh
..
Dengan demikian, sebuah teks, sebuah manuskrip memiliki sejarahnyan
sendiri. Teks bisa diuji dengan hukum2 yang objektif. Dan itu kemudian
berlaku untuk semua teks, termasuk pada Alquran juga.
Studi manuskrip menjadi salah keunggulan Barat. Yang baru belakangan
dikuti oleh dunia Islam. Dalam hal jumlah manuskrip, perpustakaan besar
seperti di Princeton University AS, mungkin kalah dari perpustakaan Islam
di Turki atau Mesir, misalnya. Tapi orang yang bekerja mempelajari,
memverifikasi manuskrip-manuskrip itu lebih banyak di AS.
AA: Apakah Anda bisa membayangkan studi serupa berkembang di Indonesia.
Ulil: Sebenarnya studi Islam di sini perlahan-lahan berkembang menjadi
kesarjanaan non-faith based. Tapi tidak bisa sepenuhnya. Beban keimanan
itu tidak akan bisa hilang. Karena itu saya rasa studi Islam di dunia
Islam tetap membutuhkan studi Islam di dunia barat. Sebagaimana studi
Hindu di India tidak bisa melepaskan diri dari komitmen kehinduan.
AA: Anda sudah dua tahun di AS. Bagaimana Anda memandang perkembangan
Indonesia dari jauh?
Ulil: Satu hal yang saya lihat adalah bahwa sekulerisme itu akan sangat
dirasakan manfaatnya ketika Anda menjadi minoritas. Ketika Anda mayoritas,
Anda tidak benar-benar menyadari manfaatnya. Orang2 Islam di AS saya rasa
pelan-pelan mengakui betapa enaknya hidup dalam sebuah negara yang
menganut sekulerisme, daripada kalau AS pelan-pelan menjadi negara Kristen
sebagaimana yang diagendakan kaum Evangelical.
Saya rasa kaum Islam akan mengapresiasi renaissance, persis karena mereka
di sana. Sekulerisme di AS kan bukan hostile secularism melainkan
religion-friendly secularism. Karena itu terpaan sekulerisme pada kaum
Islam sebagai minoritas itu penting sekali. Saat ini kosa-kosa kata yang
digunakan aktivis Muslim AS sudah kosakata sekuler. Misalnya civil
liberty, hak-hak sipil. Itu kosakata sekuler. Orang berjenggot Wahabi di
sana pun menggunakan kata civil rights. Ya, memang pertama-tama mereka
menggunakan kosakata itu berdasarkan asas manfaat, karena menguntungkan
kaum muslim minoritas. Tapi perlahan-lahan saya percaya mereka akan
meyakini itu. Saya mereka akan secara tulus menghayati norma-norma hak
sipil.
AA: Jadi semakin Anda di AS, Anda semakin sekuler
Ulil: Hmmm saya rasa saya semakin mengapresiasi.
Tue Aug 01, 2023 9:56 pm by wisatasemarang
» Portable STATA 18 Crack Full Version
Thu May 11, 2023 5:24 pm by wisatasemarang
» NVivo 12 Crack Full version
Mon Jan 30, 2023 11:16 am by wisatasemarang
» Tutorial Difference In difference (DID (Diff-in-Diff) With Eviews 13
Thu Nov 03, 2022 6:24 am by wisatasemarang
» Online Workshop Smart PLS Minggu, 01 Oktober 2022
Sat Sep 17, 2022 11:35 am by wisatasemarang
» kumpulan ebook tentang robot
Fri Jan 02, 2015 10:04 pm by kyuru
» MANTRA PELET
Wed May 16, 2012 3:31 am by orlandojack
» book love of spell
Sat Mar 24, 2012 8:08 pm by rifqi as
» attraction Formula
Sat Mar 24, 2012 7:09 pm by rifqi as