Resensi Kitab
Judul : An-Nidlam Al-Iqtishadiy fil Islam
Pengarang : Taqyuddin An-Nabhaniy
Penerbit : Darul Ummah, Beirut, Libanon
Cetakan : Ke-4 tahun 1990 M / 1410 H
Tebal : 309 halaman termasuk muqadimah, daftar
isi, dan halaman sampul
Pengantar
Membaca karya Taqyuddin An-Nabhaniy serasa hampir tidak pernah tidak mesti dijumpai bahasan tentang kepemimpinan berpikir (qiyadah fikriyyah) sebagai hal paling esensial bagi bangkitnya sebuah umat. Bahkan dikatakan sekalipun kekayaan sebuah bangsa yang bersifat materi telah hancur, maka akan bisa dipulihkan kembali dengan segera, selama bangsa tersebut melestarikan kekayaan berpikir mereka.
Hal yang sama ditulisnya pula pada muqadimah kitab “An-Nidlam Al-Iqtishadiy fil Islam” ini. Umat Islam pada saat ini bisa dikatakan telah kehilangan pemikirannya, sehingga mereka kehilangan metode berpikirnya yang inovatif. Dengan demikian, mereka tidak memiliki pemikiran-pemikiran alternatif yang berlawanan dengan pemikiran yang ingin dan sedang ‘dijejalkan’ kepada dirinya, sehingga memungkinkan terjadinya pertarungan antara dua pemikiran. Dari pertarungan seperti ini diharapkan generasi umat Islam akan mampu menemukan pemikiran yang tepat dan benar.
Akan tetapi, kenyataannya justru sangat bertolak-belakang. Generasi umat Islam dewasa ini mewarisi Islam hanya sekedar sebagai sebuah upacara ritual dan simbol-simbol keagamaan, seperti halnya orang-orang Nasrani. Sementara pada saat yang sama, mereka terkesima dan terpesona dengan pemikiran kapitalistik ataupun sosialistik yang dinilainya telah berhasil dikembangkan, terutama di negara-negara yang berlabel ‘modern’. Tidak mengherankan apabila hal yang demikian menjadikan mereka merasa inferior (rendah diri) terhadap kemampuan Islam untuk melahirkan solusi-solusi bagi problem kehidupan yang datang silih-berganti. Pada gilirannya, generasi umat Islam ini akan sangat bergantung kepada hukum dan solusi-solusi kapitalis-sosialis. Dan tentu saja, Taqyuddin melihat hal tersebut sebagai sebuah masalah umat yang perlu dikritisi (lihat hal 17).
Degradasi pemikiran itu tidak luput menyangkut pemikiran di bidang ekonomi sebagai salah satu masalah paling berat yang telah memalingkan kaum muslimin, disamping persoalan di bidang pemerintahan. Pemikiran-pemikiran di bidang inilah yang paling banyak direkayasa oleh Barat, dimana secara de facto umat Islam dipimpin dengan mempergunakan sistem ekonomi kapitalis pada semua sektor kehidupan perekonomiannya.
Oleh karena itu, dalam pandangan Taqyuddin, pemikiran-pemikiran Islam tentang ekonomi inilah yang sebenarnya harus dikaji dan disosialisasikan kembali. Pertama, memberikan gambaran yang jelas tentang ekonomi dalam sistem kapitalis dan sosialis yang dipergunakan Barat, sehingga akan diketahui kebobrokan sistem ini. Kedua, memaparkan pemikiran-pemikiran ekonomi Islam yang bisa memberikan solusi terhadap problem-problem kehidupan perekonomian dengan solusi yang tepat (al-mu’alajah ash-shahihah). Ketiga, membandingkan ketiga pemikiran ekonomi itu sehingga terbukti dengan jelas bagaimana kontribusi pemikiran ekonomi kapitalis-sosialis terhadap rusaknya kehidupan ekonomi serta bagaimana sebenarnya pemikiran ekonomi Islam mampu menyelesaikan problematika umat di bidang ekonomi. Semangat inilah nampaknya yang mendorong Taqyuddin menulis kitab ini (lihat hal 19).
Prinsip Ekonomi Kapitalis dan Sosialis
Ekonomi kapitalis membahas tentang kebutuhan-kebutuhan manusia (al-hajatul insan) dan alat-alat pemuasnya (wasail isyba’) yang hanya menyangkut aspek-aspek materi (an-nahiyatul madiyah) dari kehidupan manusia. Ekonomi kapitalis dibangun atas 3 (tiga) prinsip.
Pertama, barang dan jasa sebagai alat pemuas kebutuhan manusia memiliki keterbatasan untuk memenuhi kebutuhan manusia yang beraneka-ragam dan terus-menerus. Kedua, nilai (qimah) suatu barang yang dihasilkan sebagai dasar penelitian ekonomi. Ketiga, harga (al-amn) dan peranannya dalam produksi, konsumsi dan distribusi sebagai alat pengendali dalam sistem ekonomi kapitalis.
Barang (sala’) merupakan alat pemuas kebutuhan yang bisa diindera dan dirasakan, seperti kebutuhan akan makan dan minum. Sedangkan jasa (al-khudzmat) merupakan alat pemuas kebutuhan yang bisa dirasakan tetapi tidak bisa diindera, seperti kebutuhan akan layanan dokter atau guru. Adapun kebutuhan ma’nawi (non fisik) seperti rasa bangga (al-fahkru) ataupun kebutuhan spiritual (al-hajatul ruhiyyah) seperti pensucian terhadap sesuatu (at-taqdis) tidak dikenal di dalam sistem ekonomi kapitalis.
Judul : An-Nidlam Al-Iqtishadiy fil Islam
Pengarang : Taqyuddin An-Nabhaniy
Penerbit : Darul Ummah, Beirut, Libanon
Cetakan : Ke-4 tahun 1990 M / 1410 H
Tebal : 309 halaman termasuk muqadimah, daftar
isi, dan halaman sampul
Pengantar
Membaca karya Taqyuddin An-Nabhaniy serasa hampir tidak pernah tidak mesti dijumpai bahasan tentang kepemimpinan berpikir (qiyadah fikriyyah) sebagai hal paling esensial bagi bangkitnya sebuah umat. Bahkan dikatakan sekalipun kekayaan sebuah bangsa yang bersifat materi telah hancur, maka akan bisa dipulihkan kembali dengan segera, selama bangsa tersebut melestarikan kekayaan berpikir mereka.
Hal yang sama ditulisnya pula pada muqadimah kitab “An-Nidlam Al-Iqtishadiy fil Islam” ini. Umat Islam pada saat ini bisa dikatakan telah kehilangan pemikirannya, sehingga mereka kehilangan metode berpikirnya yang inovatif. Dengan demikian, mereka tidak memiliki pemikiran-pemikiran alternatif yang berlawanan dengan pemikiran yang ingin dan sedang ‘dijejalkan’ kepada dirinya, sehingga memungkinkan terjadinya pertarungan antara dua pemikiran. Dari pertarungan seperti ini diharapkan generasi umat Islam akan mampu menemukan pemikiran yang tepat dan benar.
Akan tetapi, kenyataannya justru sangat bertolak-belakang. Generasi umat Islam dewasa ini mewarisi Islam hanya sekedar sebagai sebuah upacara ritual dan simbol-simbol keagamaan, seperti halnya orang-orang Nasrani. Sementara pada saat yang sama, mereka terkesima dan terpesona dengan pemikiran kapitalistik ataupun sosialistik yang dinilainya telah berhasil dikembangkan, terutama di negara-negara yang berlabel ‘modern’. Tidak mengherankan apabila hal yang demikian menjadikan mereka merasa inferior (rendah diri) terhadap kemampuan Islam untuk melahirkan solusi-solusi bagi problem kehidupan yang datang silih-berganti. Pada gilirannya, generasi umat Islam ini akan sangat bergantung kepada hukum dan solusi-solusi kapitalis-sosialis. Dan tentu saja, Taqyuddin melihat hal tersebut sebagai sebuah masalah umat yang perlu dikritisi (lihat hal 17).
Degradasi pemikiran itu tidak luput menyangkut pemikiran di bidang ekonomi sebagai salah satu masalah paling berat yang telah memalingkan kaum muslimin, disamping persoalan di bidang pemerintahan. Pemikiran-pemikiran di bidang inilah yang paling banyak direkayasa oleh Barat, dimana secara de facto umat Islam dipimpin dengan mempergunakan sistem ekonomi kapitalis pada semua sektor kehidupan perekonomiannya.
Oleh karena itu, dalam pandangan Taqyuddin, pemikiran-pemikiran Islam tentang ekonomi inilah yang sebenarnya harus dikaji dan disosialisasikan kembali. Pertama, memberikan gambaran yang jelas tentang ekonomi dalam sistem kapitalis dan sosialis yang dipergunakan Barat, sehingga akan diketahui kebobrokan sistem ini. Kedua, memaparkan pemikiran-pemikiran ekonomi Islam yang bisa memberikan solusi terhadap problem-problem kehidupan perekonomian dengan solusi yang tepat (al-mu’alajah ash-shahihah). Ketiga, membandingkan ketiga pemikiran ekonomi itu sehingga terbukti dengan jelas bagaimana kontribusi pemikiran ekonomi kapitalis-sosialis terhadap rusaknya kehidupan ekonomi serta bagaimana sebenarnya pemikiran ekonomi Islam mampu menyelesaikan problematika umat di bidang ekonomi. Semangat inilah nampaknya yang mendorong Taqyuddin menulis kitab ini (lihat hal 19).
Prinsip Ekonomi Kapitalis dan Sosialis
Ekonomi kapitalis membahas tentang kebutuhan-kebutuhan manusia (al-hajatul insan) dan alat-alat pemuasnya (wasail isyba’) yang hanya menyangkut aspek-aspek materi (an-nahiyatul madiyah) dari kehidupan manusia. Ekonomi kapitalis dibangun atas 3 (tiga) prinsip.
Pertama, barang dan jasa sebagai alat pemuas kebutuhan manusia memiliki keterbatasan untuk memenuhi kebutuhan manusia yang beraneka-ragam dan terus-menerus. Kedua, nilai (qimah) suatu barang yang dihasilkan sebagai dasar penelitian ekonomi. Ketiga, harga (al-amn) dan peranannya dalam produksi, konsumsi dan distribusi sebagai alat pengendali dalam sistem ekonomi kapitalis.
Barang (sala’) merupakan alat pemuas kebutuhan yang bisa diindera dan dirasakan, seperti kebutuhan akan makan dan minum. Sedangkan jasa (al-khudzmat) merupakan alat pemuas kebutuhan yang bisa dirasakan tetapi tidak bisa diindera, seperti kebutuhan akan layanan dokter atau guru. Adapun kebutuhan ma’nawi (non fisik) seperti rasa bangga (al-fahkru) ataupun kebutuhan spiritual (al-hajatul ruhiyyah) seperti pensucian terhadap sesuatu (at-taqdis) tidak dikenal di dalam sistem ekonomi kapitalis.
Tue Aug 01, 2023 9:56 pm by wisatasemarang
» Portable STATA 18 Crack Full Version
Thu May 11, 2023 5:24 pm by wisatasemarang
» NVivo 12 Crack Full version
Mon Jan 30, 2023 11:16 am by wisatasemarang
» Tutorial Difference In difference (DID (Diff-in-Diff) With Eviews 13
Thu Nov 03, 2022 6:24 am by wisatasemarang
» Online Workshop Smart PLS Minggu, 01 Oktober 2022
Sat Sep 17, 2022 11:35 am by wisatasemarang
» kumpulan ebook tentang robot
Fri Jan 02, 2015 10:04 pm by kyuru
» MANTRA PELET
Wed May 16, 2012 3:31 am by orlandojack
» book love of spell
Sat Mar 24, 2012 8:08 pm by rifqi as
» attraction Formula
Sat Mar 24, 2012 7:09 pm by rifqi as