Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

ingin bergabung dengan elrakyat.tk klik pendaftaran. jika anda sudah pernah mendaftar silakan login. jangan lupa ajak kawan-kawanmu ke mari , dan jadilah top poster di forum kita

Join the forum, it's quick and easy

Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

ingin bergabung dengan elrakyat.tk klik pendaftaran. jika anda sudah pernah mendaftar silakan login. jangan lupa ajak kawan-kawanmu ke mari , dan jadilah top poster di forum kita

Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

Would you like to react to this message? Create an account in a few clicks or log in to continue.
Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

salah satu forum terbesar tempat kita bernostalgia

Login

Lupa password?

Our traffic

info rakyat

Sun Oct 31, 2010 9:05 pm by admin

---------------
PEMBERITAHUAN....

SF ZONA RELIGI SEKARANG KAMI PINDAH KE [You must be registered and logged in to see this link.] ANDA BISA BERPARTISIPASI DAN MENJADI MODERATOR SESUAI PERMINTAAN ANDA DENGAN REQUEST VIA SMS NO ADMIN 081945520865


Sekilas Info

Sun Jun 27, 2010 2:44 pm by admin

kabar gembira, forum lentera-rakyat mulai hari ini juga bisa diakses melalui [You must be registered and logged in to see this link.]


    pakaian wanita muslimah

    admin
    admin
    Admin
    Admin


    Zodiac : Virgo Jumlah posting : 688
    Join date : 19.03.10
    Age : 36
    Lokasi : Malang-Indonesia

    pakaian wanita muslimah Empty pakaian wanita muslimah

    Post by admin Thu Dec 16, 2010 6:20 pm



    PAKAIAN WANITA MUSLIMAH


    Berpakaian adalah Fitrah Manusia
    Pakaian (libas) adalah salah satu karunia Allah yang diberikan kepada manusia. Kesempurnaan ciptaan Allah pada manusia menghajatkan perlengkapan sesuai dengan tingkat kebudayaan dan intelektualitasnya, berbeda dengan binatang dan makhluk lainnya. Manusia memerlukan pakaian sebagai bagian dari produk budaya, akan tetapi Islam memberikan pula ketentuan berkaitan dengan pakaian, sebagaimana firman Allah:
    “Hai anak Adam, sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutupi auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan; dan pakaian taqwa itulah yang paling baik” (Al A’raf : 26).
    Pada kenyataannya, manusia sejek belum mengenal Islam, atau di tempat-tempat yang tisdak mengenal agama, mereka telah mengenal pakaian, sesederhana apapun pakaian itu. Berbagai daerha memiliki kekhasan dalam berpakaian, dan bisa mengalami perkembangan atau perubahan sejalan dengan perkembangan kebudayaan mereka. Di Jepang memiliki model pakaian tradisional yang menutup selruh tubuh perempuan, kecuali bagian kepalanya. Para pendekar di China yang sering ditayangkan oleh film-film Kungfu, para pendekar wanitanya juga mengenalan pakaian panjang yang menutup seluruh tubuh mereka kecuali bagian kepala.
    Sedangkan di beberapa daerah pedalaman, masyarakat mengenakan pakaian sederhana yang hanya menutup wilayah khusus aurat mereka, seperti kaum lelaki mengenakan koteka saja, atau kaum perempuan mengenakan rumbai-rumbai yang menutup hanya bagian bawahnya saja. Dalam kondisi masyarakat yang primitif sekalipun, ternyata mereka merasa ada sesuatu yang harus ditutupi dari orang lain. Hal ini emnunjukkan bahwa sesungguhnya berpakaian ter,m,asuk fiutrah kemanusiaan.
    Akan tetapi, Islam memandang pakaian tidak semata-mata lahir karena konstruksi sosial dan budaya kemanusiaan, dimana hal itu tidak lahir dalam budaya binatang. Islam memberikan makna yang lebih dengan menghadirkan syariat berpakaian bagi laki-laki dan wanita, bukan semata dari kacamata kepantasan ataupun selera keindahan, akan tetapi menjadi sebuah ibadah.

    Pakaian Wanita Muslimah Bukan Hijab
    Dalam kaitan dengan pakaian wanita muslimah, ada beberapa istilah yang akan saling terkait, seperti istilah jilbab, khimar, cadar, juga hijab. Istilah-istilah tersebut harus dipahami dengan proporsionla dan tepat agar tidak menimbulkan kesalahan persepsi dalam memahami esensi dari tuntutan syaraiat terhadap wanita muslimah. Hijab adalah tuntunan syari’at yang berikan kepada isteri-isteri Nabi, sebagaimana firmanNya:
    “Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (isteri-isteri Nabi) maka mintalah dari belakang hijab. Cara yang demikian itu lebih suci bagimu dan bagi mereka” (Al Ahzab : 53).
    Anas bin Malik mengatakan, “Aku yang paling tahu tentang ayat hijab ini. Ketika Zainab binti Jahsyi menikah dengan Rasulullah saw, dia berada dengan beliau dalam rumah. Beliau menyiapkan makanan dan mengundang orang lalu mereka duduk berbiang-bincang (dalam riwayat Muslim disebutkan bahwa isteri beliau memelingkan wajahnya ke dinding). Lalu Rasulullah keluar kemudian kembali lagi dan orang-orang masisaja duduk berbincang-bincang, lalu turunlah ayat hijab. Kemudian dibentangkanlah hijab, para tamu pun bangkit” (Riwayat Bukhari dan Muslim).
    Hijab bermakna penghalang atau tabir antara laki-laki dan perempuan untuk tidak saling melihat. Istilah hijab dikhususkan bagi isteri-isteri Nabi dalam bergaul dengan laki-laki lain di dalam rumah, untuk membedakan isteri Nabi dari wanita yang lainnya, serta untuk menghormati keluarga Rasulullah saw. Dalam aplikasinya, ayat hijab ini dilaksanakan dalam dua bentuk. Pertama bentuk langsung pemasangan tabir di dalam rumah ketika isteri-isteri Nabi berbicara dengan laki-laki nonmahram, sehingga isteri-isterin Nabi tidak terlihat oleh mereka. Hal ini untuk melengkapi aturan lainnya bagi isteri Nabi yaitu tinggal di dalam rumah:
    “Dan hendaklah engkau tetap tinggal di rumahmu” (Al Ahzab : 33).
    Kedua, para isteri Nabi mengenakan penutup wajah dan seluruh tubuh ketika keluar rumah untuk suatu urusan yang syar’i. Dengan demikinan para isteri Nabi tidak kelihatan tubuhnya, termasuk wajah dan kedua telapak tangannya ketika di luar rumah, sebagai aplikasi atas ayat hijab. Al Baghawi dalam tafisirnya ketika mengomentari ayat hijab menjelaskan, “Setelah ayat hijab diturunkan, tidak seoangpun dibolehkan melihat isteri-isteri Rasulullah saw, walaupun mereka menutup wajah atau tidak”.
    Akan tetapi, para wanita sahabaiyat Nabi tidak mendapatkan kewajiban sebagaimana para isteri Nabi, sehingga baik sebelum maupun setelah turunnya ayat hijab tidak membedakan pensampilan wanita muslimah pada umumnya. Perlu dipahami, bahwa pakaian muslimah tidak disebutkan sebagai hijab, tetapi disebut sebagai libas, jilbab atau khumur (khimar). Hijab tidak bermakna pakaian yang menutup tubuh, tetapi tabir yang menutup atau menghalangi dari pandangan.
    Para wanita muslimah pada umumnya mendapatkan kewajiban menutup tubuh dengan jilbab mereka, sebagaimana firman Allah:
    “Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu, dan isteri orang-orang mukmin: Hendaklah mereka mengulurkan jilbab mereka ke seluruh tubuh. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah dikenal, karena itu mereka tidak diganggu” (Al Ahzab: 59).
    Jilbab adalah pakaian panjang yang dikenakan merangkapi pakaian dalam wanita dan tidak menutup wajahnya. Ayat di atas menuntut kaum wanita untuk mengulurkan jilbabnya ke tubuh mereka ketika keluar rumah sebagai identitas yang membedakan mereka dari perempuan budak, sehingga tidak ada yang akan mengganggu. Menurut Abu Syuqah, ayat ini menunjukkan bahwa jilbab disyariatkan untuk menyempurnakan keadaan ketika mereka keluar rumah. Adapun terpenuhinya penutup yang wajib terhadap aurat, hal ini dapat diwujudkan dengan pakaian yang bagaimanapun bentuknya asalkan memenuhi persyaratan yang diperintahkan Allah.
    Sedangkan khimar yang dimaksud dalam firman Allah dalam surat An nur ayat 31 berikut adalah penutup kepala, bukan penutup wajah:
    “Dan hendaklah mereka menutupkan khimar (kain kerudung) mereka ke dada mereka” (An Nur: 31).
    Dalam kitab Al Mu’jam Al Wasith disebutkan, “Khimar adal;ah segala sesuatu yang menutup. Termasuk dalam jenis khimar adalah khimar perempuan yaitu pakaian yang dikenakan kaum wanita untuk menutup kepala mereka. Termasuk kategori khimar pula adalah imamah (sorban) yang dipakai kaum laki-laki untuk menutup kepala dan dililitkan ke leher”.
    Senada dengan itu, Ar Raghib Al Asfahani dalam kitab Al Mufradat fi Gharibil Qur’an menjelaskan, “Khumrun arti asalnya adalah menutup sesuatu, dan sesuatu yang dipakai untuk menutup disebut sebagai khimar. Akan tetapi, dalam definisi-definisi, khimar ialah nama suatu pakaian yang dikenakan para wanita untuk menutup kepala mereka. Khimar jamaknya adalah khumur, sebagaimana firman Allah dalam An Nur ayat 31”.
    Itu semuanya, tidak disebut sebagai hijab. Para wanita muslimah di luar isyeri Nabi tidak mendapatkan tuntunan hijab.

    Hijab Dikhusus Bagi para Isteri Nabi
    Ibnu Kutaibah berpendapat. “Kami mengatakan bahwa allah Ta’ala memerintahkan para isteri Nabi untuk mengenakan hijab, artinya kita dilarang berbicara dengan mereka kecuaali dari balik tabir. Hal ini berlaku bagi mereka yang melihat (melek) maupun yang buta. Pertemuan yang tidak dibatasi dengan hijab berarti melanggar perintah Allah. Perlakuan ini khusus bagi para isteri Nabi saw seperti kekhususan larangan ,menikahinya bagi semua kaum muslimin”.
    Ketika memberikan syarah Shahih Muslim, Imam Nawawi menukil pendapat Al Qadhi Iyadh sebagai berikut, “Hijab diwajibkan secara khusus bagi para isteri Nabi, mencakup wajah dan kedua telapak tangan. Hal ini tidalk ada yang membantah. Mereka tidak dibenarkan membuka bagian dari tubuh mereka dan memperlihatkan sosok mereka jecuali jika ada keperluan mendesak untuk keluar rumah, seperti untuk buang hajat”.
    Lebih lanjut Al Qadhi Iyadh menjelaskan, “Jika ikut duduk-dudi=uk dengan orang lain., para isteri Nabi selalu memasang tabir. Jika keluar rumah merekapun memasang tabir dan menutup sosok mereka. Ketika Zainab ra (salah seorang isteri Nabi saw) meninggal, orang-orang memnbuatkan baginya sebuah kubajh penutup di atas usungan jenazahnya untuk menutupi sosoknya”.
    Al Muhlib berpendapat, “Hijab hanya diwajibkan secara khusus kepada para isteri Nabi saw”. Ibnu Bathal mengatakan, “Kaum wanita muslimah tidak diwajibkan berhijab seperti yang diwajibkan atas isteri nabi saw”. Jelaslah bahwa para ulama terdahulu memahami kekhususan hijab hanya bagi isteri-isteri Nabi., tidak bagi wanita musliamah secara umum.
    Hal ini penting untuk dikemukakan, mengingat sering ada kerancuan dalam memahami perbedaan antara hijab dengan jilbab. Kadang dijumpai kata hijab digunakan untuk menunjukkan pakaian. Bahkan kadang-kadang istilah hijab digunakan untuk suatu penyebutan dengan maksud penjagaan diri wanita dalam aspek yang umum, seperti misalnya ungkapan “wanita muslimah harus berhijab” sementara yang dimaksudkan adalah “wanita muslimah harus bisa menjaga pergaulan dengan laki-laki”.
    Dijumpai pula penggunaan istilah hijab untuk mengganti kata jilbab, seperti ketika menyebut para wanita yang berjilbab dengan mengatakan “wanita yang berhijab”. Atau wanita yang tidak mengenakan busana muslimah dikatakan “mereka belum berhijab”. Pemakaian istilah hijab dalam contoh-contoh tersebut tidak tepat, mengingat ayat hijab hanya diberlakukan bagi isteri-isteri Nabi saw, dan konteksnya adalah menjaga agar isteri-isteri Nabi tidak terlihat langsung oleh kaum lalki-laki nonmahram..
    Ada sementara pemahaman yang membedakan, seakan-akan para wanita di zaman Nabi berinteraksi dengan laki-laki sebelum turun ayat hijab, lalu akhirnya tidak boleh berinteraksi dengan laki-laki setelah turunnya ayat hijab. Pemahaman seperti ini bertentangan dengan realitas kehidupan sahabat-sahabiyat Nabi –semoga Allah melimpahkan rahmat kepada mereka semua— bahwa sesungguhnya interaksi laki-laki dan perempuan di zaman Nabi terjadi baik sebelum maupun setelkah turun ayat hijab.
    Ayat hijab tersebut menurut Ibnu Sa’ad dalam Ath Thabaqat Al Kubra turun pada bulan Dzulqaidah tahun kelima Hijriyah. Peraturan atau adab ini dikhususkan bagi isteri-isteri Nabi saja, karena kekhususan posisi mereka dibandingkan dengan wanita-wanita pada umumnya. Isteri-isteri Nabi dipersiapkan untuk hidup menyendiri –tidak menikah lagi—sepeninggal Rasulullah saw. Hal ini sebagaimana ditetapkan Allah dalam pemnghujung ayat hijab:
    “Dan tidak boleh kamu menyakiti hati Rasulullah dan tidak boleh pula mengawini isteri-isterinya sesudah ia wafat selama-lamanya. Sesungguhnya perbuatan itu adalah amat besar (dosanya) di sisi Allah” (Al Ahzab: 53).

    Dengan demikian jelaslah duduk permasalahannya, bahwa turunnya ayat hijab hanya khusus bagi isteri-isteri Nabi saw untuk membatasi atau menutup mereka dari pabdangan laki-laki nonmahram. Hal ini tampak dari perilaku Nabi saw terhadap isteri-isteri beliau setelah turunnya ayat hijab. Beliau senantiasa memasang tabir bagi isteri beliau agar terhalang dari pandangan laki-plaki nonmahram.
    Anas ra mengatakan bahwa Nabi saw tinggal di suatu tempat antara Kahibar dan Madinah selama tiga hari. Saat itu beliau mengadakan pesta pernikahan dengan Shafiyah binti Hayy. Kaum muslimin bertanya, “Apakah perempuan itu adalah salah seorang Ummahatul Mukminin atau salah seorang hamba wanita beliau?” Ketika beliau saw meninggalkan tempat itu beliau membentangkan tabir di belakangnya untuk membatasi Shafiyah dengan orang lain (riwayat Bukhari dan Muslim).
    Adapun bagi wanita muslimah selain isteri Nabi, mereka mendapatkan tuntunan mengenakan busana muslimah dan sejumlah etika dalam pergaulan dengan lawan jenis, akan tetapi bukan hijab sebagaimana ajaran yang diaplikasikan oleh isteri-isteri Nabi saw.

    Syarat-syarat Pakaian Muslimah
    Adapun persyaratan pakaian bagi wanita muslimah yang diatur dalam syariat Islam adalh sebagai berikut:
    1. Menutup Seluruh Tubuh Kecuali Wajah dan Kedua Telapak Tangan
    Seluruh tubuh wanita, kecuali wajah dan kedua telapak tangannya adalah aurat yang harus ditutupi dari pandangan orang yang tidak berhak melihatnya. Nabi bersabda kepada Asma’:
    “Wahai Asma’ sesungguhnya wanita itu apabila telah dewasa tidak layak kelihatan darinya kecuali ini dan ini” sembari beliau berisyarat ke wajah da kedua telapak tangan beliau (Riwayat Abu Daud).
    Asy Syaukani mengomentari hadits tersebut dengan mengatakan, “Di dalam hadits ini terdapat dalil bagi orang yang berpendapat bolehnya melihat wanita yang bukan mahram”. Ibnu Ruslan menambahkan, “Hal ini bila bila diyakini tidak akan membawa syahwat perzinahan dan lainnya”.
    Allah Ta’ala telah berfirman:
    “Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali yang biasa tampak padanya dan hendaklah mereka menutupkan kain jilbabnya ke dadanya” (An Nur: 31).
    Kalimat maa zhahara minha dalam ayat di atas dijelaskan oleh Az Zamakhsyari, “Yang biasa tampak misalnya cincin, celak dan inai. Semua itu tidak mengapa ditampakkan di hadapan laki-laki yang bukan mahramnya”. Abu Ja’far ath Thahawi dalam kitab Syarh Ma’ani Al Atsar menjekaskan, “Dibolehkan bagi laki-laki bagian tubuh wanita yang tidak dilarang, yaitu wajah dan kedua telapak tangan; tetapi terlarang kalau terhadap isteri-isteroi Nabi saw. Hal ini menjadi pendapat Imama Abu Hanifah, Abu Yusuf dan Muhammad. Mudah-mudahan Allah merahmati mereka”.
    Asy Syaukani menjelaskan, “Kesimpulannya ialah, seorang wanita boleh menampakkan sebagian tempat-tempat perhiasannya karena memang diperlukan, mislnya untuk mengambil sesuatu, untuk jual beli, dan untuk persaksian. Oleh karena itulah tempat-tempat perhiasan tersebut dikecualikan darin larangan dalam ayat tersebut. Dan tempat-tempat perhiasan yang dikecualikan itu tidak lain adalah wajah dan kedua telapak tangan”.
    Dengan demikian pakaian wanita harus menutup seluruh tubuh mereka kecuali wajah dan telapak tangan. Pendapat ini merupakan kesepakatan ulama terdahulu, baik dari kalangan para mufasir, ahli hadits, serta para ahli fikih dari berbagai madzhab. Para ulama zaman terdahulu telah mensepakati bahwa wajah dan kedua telapak tangan bukanlah aurat, hal ini menjadi pendapat yang tercantum dalam karya-karya besar berikut:
    a. Fikih Madzhab Hanafi: kitab Al Mabsuth karya As Sarkhasi (wafat 490 H), kitab Al Hidayah karya Al Marghinani (wafat 593 H), kitab Fathul Qadir karya Al Kamal bin Al Humam (wafat 681 H)
    b. Fikih Madzhab Maliki: kitab Al Muwatha’ karya Imam Malik (wafat 179 H), kitab Al Mudawwanatul Kubra, kitab Al Muntaqa’ syarah Al Muwatha’ karya abul Walid Al Baji (wafat 179 H), kitab At Tamhid karya Ibnu Abdil Barr (wafat 463 H), kitab Al Kafi karya Ibnu Abdil Barr.
    c. Fikih Madzhab Syafi’i: kitab Al Umm karya Imam Syafi’i (wafat 240 H), kitab Al Muhadzdzab karya asy Syairazi (wafat 476 H), kitab Al Majmu’ karya Imam An Nawawi (wafat 676 H).
    d. Fikih Madzhab Hanbali: kitab Al Mukhtashar karya Al Khiraqi (wafat 344 H), kitab al Hidayah karya Al Kaludzani (wafat 510 H), kitab Al Ifshah an Ma’anish Shihah karya Ibnu Hubairah (wafat 560 H), kitab Al Mughni karya Ibnu Qudamah (wafat 620 H), kitab Al Muharrar fil Fiqhi karya Majduddin Ibnu Taimiyah (wafat 652 H).
    e. Fikih Madzhab Zhahiri: kitab Al Muhalla karya Ibnu Hazm (wafat 456 H).
    Keseluruhan kitab-kitan fikih berbagai madzhab sebagaimana dicantumkan di atas, menyatakan bahwa wajah dan kedua telapak tangan wanita bukanlah aurat. Hal ini dikuatkan lagi dalam kitab Al Fiqh ala Madzahib Al Arba’ah (Fikih Empat Madzhab) susunan Dewan Ulama Saudi yang menyimpulkan, “Adapun bila di hadapan laki-laki yang bukan mahramnya atau di hadapan wanita non muslim, maka aurat wanita adalah keseluruhan badannya, kecuali wajah dan kedua telapak tangannya. Keduanya bukan aurat sehingga boleh ditampakkan bila aman dari gangguan”.
    Adapun para mufasir yang berpenbdapat bahwa wajah dan kedua telapak tangan wanita bukan aurat adalah:
    a. Ath Thabari (wafat 310 H) dalam Jami’ul Bayan ‘an Takwil Ayatil Qur’an
    b. Al Jashash (wafat 370 H), dalam Ahkamul Qur’an
    c. Al Wahidi (wafat 468 H), dalam Al Wafiz Fi Tafsiril Qura’anil Aziz
    d. Al Baghawi (wafat 516 H), dalam Ma’alimut Tanzil Fit Tafsir
    e. Az Zamakhsyari (wafat 528), dalam Tafsir Al Kasysyaf
    f. Al Qadhi Abu Bakar Ibnul Arabi (wafat 543 H), dalam Ahkamul Qur’an
    g. Al Fakhur Razi (wafat 606 H), dalam At Tafsirul Kabir
    h. Al Qurthubi (wafat 671 H), dalam Al Jami’ Li Ahkamil Qur’an
    i. Al Khazin (wafat 725 H), dalam Lubabut Ta’wil Fi Ma’anit Tanzil
    j. An Naisaburi (wafat 728 H), dalam Ghara’ibul Qur’an wa Ragha’ibul Furqan
    k. Abu Hayyan Al Andalusi (wafat 754 H), dalam Al Bahrul Muhith
    l. Abu Su’ud (wafat 951 H) dalam Tafsir Abis Su’ud
    m. Ibnu Badis (wafat 1359 H) dalam Min Atsari Ibni Badis.
    Di dalam kitab Al Muwatha’ diriwayatkan dari Yahya bahwa Imam Malik pernah ditanya, “Apakah seorang wanita (boleh) makan bersma laki-laki yang bukan mahramnya atau makan bersama anak laki-lakinya (saja)?” Imam Malik menjawab, “Tidak mengapa (bersama laki-lakin yang bukan mahramnya) asalkan laki-laki tersebut telah dikenali”. Beliau menambahkan, “Biasa wanita (menemani) makan suaminya dan bersama para tamunya”.
    Al Baji di dalam kitab Al Muntaqa Syarh Al Muwatha’ mengomentari perkataan Imam Malik tersebur, “Dibolehkan laki-laki memandang wajah dan kedua tangan perempuan itu, karena kedua bagian tubuh tersebut tentu terlihat pada saat dia makan”.
    Terhadap segolongan kaum muslimin yang secara ketat mewajibkan para wanita muslimah menutup wajah (dengan cadar) dan kedua telapak tangan mereka, Syaikh Nasiruddin Al Albani dalam Kitabnya Ar Radd Al Mufhim mengatakan, “Orang-orang yang mewajibkan para wanita menutup wajah dan kedua telapak tangannya tidak berdasar kepada Al Qur’an dan As Sunnah maupun ijma’ ulama”. Di bagian lain, Albani mengatakan mereka yang mewajibkan cadar bagi wanita muslimah sebagai “berdalil dengan hadits-hadits dhaif, atsar-atsar lemah, serta atsar-atsar palsu yang mereka ketahui, atau mungkin tidak mereka ketahui”.
    Sikap mewajibkan cadar bagi wanita muslimah karena menganggap ada nash-nash syariat yang menunjukkan kewajiban, dianggap Albani sebagai hal yang berlebih-lebihan di dalam agama. Perhatikan ungkapan Nashiruddin Al Albani, seorang ulama tokoh Salafi berikut, “Saya berkeyakinan bahwa sikap berlebih-lebihan terhadap urusan wajah wanita itu tidak mungkin bisa mencetak generasi wanita di tiap-tiap negerinya yang mampu mengemban tugas yang tergantung di leher mereka”.
    “Wanita-wanita seperti itu juga tidak akan mampu bertindak secara luwes dan tangkas di saat keadaan membutuhkan. Dari hadits-hadits kita bisa mengetahui bahwa para wanita di zaman Rasulullah ikut menyuguhkanb makan dan minum para tamu, ikut berperang dengan memberi minum mereka yang lkehausan, memberi makan mereka yang kepalaran, mengevkuasi mereka yang terbunuh; terkadang wanita sendiri ikut berperang di saat kondisi mengharuskan”.
    “Mungkinkah wanita-pwanita yang memakai cadar dan kaus tangan mampu melakukan kegiatan dan tugas-tugas semacam itu?” Lanjut Albani, “Ya Allah, tidak mungkin. Kegiatan dan tugas-tugas semacam itu hanya akan bisa dilakukan tatkala para wanita membuka wajah dan kedua tangan mereka”.
    Para shahabiyat Nabi menampakkan wajah mereka setelah turunnya ayat hijab. Qais bin Abi Hazim berkata, “Kami menemui Abu Bakar ra ketika ia sakit maka aku melihat di sisinya seorang wanita yang putih, tangannya berlukis, dan sedang mengusir lalat. Ia adalah Asma’ binti Umais”. Al Harits bin Ubaid, “Aku melihat Ummu Darda’ di atas unta yang kuat tanpa mengenakan penutup, untuk menjenguk seorang laki-laki Anshar di masjid (Riwayat Bukhary).
    Mengenai tumit, sebagian ulama’ kita tidak memasukkannya sebagai aurat perempuan. Al Babarti dalam Syarah Al Inayah alal Hidayah mengatakan, “Al Hasan meriwayatkan dari Abu Hanifah bahwa tumit itu bukan aurat, dan Al Karakhi juga berpendapat sendiri …. Kalau wajah yang banyak menimbulkan kesenangan itu saja bukan aurat, maka tumit lebih utama untuk dikatakan bukan aurat”.
    Imam Nawawi dalam Al Majmu’ disebutkan, Abu Hanifah, Ats Tsauri dan Al Muzani berkata, “Kedua tumitnya juga bukan aurat”. Asy Syaukani berkata dalam Fathul Qadir “Jika yang dimaksud dengan zinah itu tempat-tempatnya, maka pengecualian itu kembali kepada apa yang sulit bagi wanita untuk menutupnya, seperti kedua tangan, kedua tumit dan sebagainya”. Pendapat seperti juga dikemukakan oleh Shidiq Hasan Khan dalam Nailul Maram.
    Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menetapkan terbukanya kedua tumit dalam shalat. Beliau mngatakan, “Demikian pula boleh menampakkan tu,mit dalam shalat menurut Imam abu Hanifah, dan itulh yang lebih kuat, karena Aisyah menjadikannya sebagai perhiasan lahir. Ia berkata mengenai ayat --Dan janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka kecuali apa yang biasa tampak darinya—bahwa Fatkhah adalah cincin dari perak yang ada di jari kedua kaki”.
    Masalah aurat sama saja kondisinya baik di dalam shalat maupun di luarshalat, oleh karena itu jika tumit boleh ditampakkan di dalam shalat maka boleh pula ditampakkan di luar shalat. Wallahu a’lam bish shawab.
    2. Pakaian Tidak Menampakkan Aurat
    Agar bisa berfungsi menutup dalam artian tidak menampakkan aurat, maka pakaian tersebut harus longgar dan tidak sempit, serta dari bahan yang kuat tertutup dan tidak transparan. Inilah syarat kedua dari pakaian wanita muslimah. Berbagai model pakaian yang dikenakan masyarakat saat ini, khususnya para wanita, banyak yang sengaja dibuat sangat ketat sehingga membentuk tubuh mereka dengan jelas. Atau sebagian lagi ada yang mengenakan pakaian dari kain yang tipis atau transparan sehingga bentuk serta kulit tubuh mereka bisa terlihat dengan jelas.
    Allah Ta’ala telah berfirman:
    “Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali yang biasa tampak padanya dan hendaklah mereka menutupkan kain jilbabnya ke dadanya” (An Nur: 31).
    Ayat di atas dengan sangat tegas memerintahkan agar “tidak menampakkan perhiasan”, sebagaimana dijelaskan di depan yang dimaksud perhiasan adalah tubuh wanita itu sendiri, dengan pengecualian “yang biasa tampak padanya” yaitu wajah dan kedua telapak tangan.
    Ayat tersebut tidak mengatakan “hendaklah mereka menutup perhiasan mereka”, akan tetapi “janganlah mereka menampakkan perhiasannya”. Ada perbedaan yang sangat mendasar antara kata “jangan tampakkan” dengan “menutup”. Apabila yang diperintahkan adalah menutup tubuh, para wanita yang saat ini berbusana dengan pakaian yang sangat ketat membungkus tubuh mereka, sudah melaksanakan perintah tersebut. Mereka telah menutup tubuh, yaitu dengan kain yang sangat ketat.
    Namun karena bunyi perintahnya adalah “jangan tampakkan perhiasan”, maka mereka yang berbusana ketat sehingga lekuk-lekuk tubuhnya masih terlihat dengan sangat jelas, belum memenuhi perintah tersebut. Kaus ketat yang membungkus tubuh wanita, celana panjang yang ketat melekat di bagian bawahnya, tetaplah menampakkan perhiasan wanita, meskipun sudah ada kegiatan menutup.
    Sebagaimana jika kita mengatakan “Tutuplah makanan itu”, maka kita bisa menutupnya dengan plastik atau dengan alat lain yang transparan. Sudah ditutup, tetapi bendanya masih kelihatan, karena penutupnya transparan. Seperti halnya model penutup handphone yang terbuat dari plastik transparan, masih menampakkan bentuk dan warna aslinya. Akan tetapi jika dikatakan, “Jangan tampakkan makanan itu”, maka perilaku kita adalah berusaha menyembunyikan sehingga aman dan tidak kelihatan.
    Apabila fungsi mengenakan pakaian adalah untuk menghindarkan diri dari fitnah, maka dengan model pakaian ketat dan transparan belum bisa memenuhi fungsi tersebut. Daya tarik yang ditimbullkan oleh tubuh wanita, masih akan tertampakkan dengan kuat apabila para wanita mengenakan pakaian semacam itu. Rasulullah saw pernah menengarai umatnya bakal ada yang “berpakaian tetapi telanjang” sebagai salah satu ciri-ciri datangnya kiamat. Bisa jadi, pakaian ketat dan transparan itulah yang dimaksudkan, bahwa mereka telah berpakaian akan tetapi hakikatnya masih telanjang.
    3. Memperhatikan Keindahan dan Kepantasan Secara Wajar
    Islam adalah ajaran yang memperhatikan keindahan dalam segala hal, termasuk dalam berpakaian. Abdullah bin Mas’ud menceritakan bahwa seorang laki-lakai berkata kepada nabi saw, “seseungguhnya seseporang suka pakaiannya bagus dn sandalnya bagus”. Maka Nabi saw bersabda:
    “Sesungguhnya Allah itu indah dan mencintai keindahan” (riwayat Muslim).
    Di zaman kita hidup sekarang, berbagai model pakaian dijumpai, sesuai dengan kultur masyarakat atau negara masing-masing. Ada model pakaian tertentu yang dianggap lazim di sebuah daerah, akan tetapi dipandang aneh dan tidak pantas pada tempat yang lain. Hal semacam ini merupakan khazanah budaya kemanusiaan yang tidak diingkari begitu saja oleh Islam. Selera akan keindahan justru ditumbuhkan dalam tradisi keislaman.
    Syariat Islam menegaskan tentang esensi pakaian yang harus bisa menutup aurat sehingga tidak tertampakkan kepada orang-orang yang tidak berhak. Akan tetapi tidak mengatur mengenai warna, mode, ataupun asesoris pakaian dengan detail dan renik. Setiap tempat bisa memiliki warna dan mode yang berbeda, dengan tetap mempertimbangkan faktor keindahan dan kepantasan yang wajar. Bahkan, untuk satu momen bisa berbeda dengan momen yang lain di sebuah tempat dan pada orang yang sama.
    Sebagai comntoh, ketika menghadiri acara walimah pernikahan, seseorang wanita muslimah mengenakan pakaian muslimah yang mengandung unsur warna-warna dan motif tertentu yang cerah. Akan tetapi ada nilai kepatutan yang berbeda saat menghadiri atau menengok seseorang yang meninggal dunia. Dalam suasana berkabung warna pakaian dan coraknya pun menyesuaikan dengan suasana tersebut, yang di berbagai tempat lebih merasa tepoat menggunakan pakaian berwarna gelap atau hitam.
    Oleh karena itu, Imam Ath Thabari dalam Fathul Bari mengatakan, “Sesungguhnya memelihara model zaman termasuk muru’ah (kepatutan) selama tidak mengandung dosa; dan menyelahi mkodel serupa dengan mencari keytenaran”. Di sini yang harus lebih diperhatikan adalah esensi menutup aurat, sedangkan masalah warna, corak, motif ataupun mode, bisa menyesuaikan dengan berbagai kondisi selama tidak terlalu mencolok dan mengundang perhatian, atau menyalahi kepatutan dan keindahan.
    Yang tercela adalah apabila pakaian wanita muslimah tersebut, dalam rangka mencari keindahan secara berlebihan, sampai mengundang syahwat laki-laki yang berinteraksi dengannya. Pakaiannya sedemikian mencolok perhatian, dan ditambah dengan beraneka ragam asesoris yang semakin menguatkan gebyar penampilan, bisa menimbulkan asosiasi tersendiri yang negatif. Selera keindahan harus dipenuhi secara wajar, sebab berlebihan dalam segala sesuatu termasuk sifat tercela, dan bahkan bisa jatuh ke dalam penampilan yang norak dan tidak memiliki nilai kepatutan berdasarkan kebiasaan rata-rata muslimah di tempat itu.
    Jangan sampai para wanita mengenakan busana muslimah yang secara fungsi telah menutup aurat, akan tetapi aneh dan asing karena tidak ada kebiasaan berpakaian seperti itu di kalangan kaum muslimah, hanya karena ingin mencari popularitas. Rasulullah saw bersabda:
    “Barangsiapa yang memakai pakaian kemasyhuran di dunia, maka Allah akan memakaiakan kepadanya pakaian kehinaan pada hari kiamat, kemudian dinyalakan untuknya api neraka” (riwayat Abu Dawud).
    Demikianlah beberapa persyaratan umum pakaian wanita muslimah. Keseluruhannya menjadi satu bagian yang utuh dari proses ibadah dan sekaligus dakwah ilallah, menjaga pelaksanaan syariat akan tetapi tetap bisa memperhatikan dan mengikuti perkembangan mode untuk memenuhi selera keindahan secara wajar.

      Waktu sekarang Thu May 09, 2024 12:28 pm