APA YANG TIDAK DIAJARKAN
DI UNIVERSITAS:
Teknik
yang Menarik, Lucu dan Praktis untuk Mengajar Bahasa dan Kepekaan Budaya yang
Tinggi
M.
Bundhowi[1]
Pengembangan teknik untuk
mengajarkan kepekaan budaya mulai
mendapat perhatian di tengah maraknya pengembangan teknik pengajaran
keterampilan berbahasa murid. Pengajar BIPA, baik penutur asli maupun bukan
asli, sering terperangah ketika menghadapi situasi di mana perbenturan budaya
dalam khasanah pembelajaran BIPA menjadi hal yang sangat fundamental.
Workshop (lokakarya) ini
akan membawa peserta untuk memngeksplorasi teknik dan pengajaran khasanah
lintas budaya (Indonesia dan non-Indonesia sebagai latar belakang budaya
siswa). Presentasi yang serupa telah
diujicobakan ke guru-guru bahasa Indonesia di beberapa sekolah di NSW,
Australia yang diorganisir oleh Departemen Pendidikan dan Training NSW.
Pendahuluan
Nampaknya ketertarikan kepada
pembahasan masalah silang budaya dalam
pengembangan BIPA memperlihatkan kecenderungan yang meningkat. Hal ini tampak
pada membesarnya jumlah abstrak, makalah dan diskusi tentang budaya pada
konperensi BIPA akhir-akhir ini. Fenomena ini menunjukkan bagaimana semua yang
berkutat di bidang pengembangan BIPA semakin sadar bahwa budaya sebagai hal
yang tidak terpisah dari bahasa.
Memang ketertarikan dalam
pengembangan pengajaran budaya dalam kaitannya dengan pengembangan BIPA cukup
menggembirakan, namun harus disadari bahwa masih banyak pekerjaan yang masih
harus dikembangkan supaya pengajaran kebudayaan ini tidak ketinggalan dari
perkembangan bahasa Indonesianya.
Batu pijakan dalam lokakarya tentang teknik pengajaran yang menarik, lucu dan
praktis untuk mengajar Bahasa dan kepekaan budaya yang tinggimerupakan proses akumulasi empiris
yang penulis peroleh dari pengalaman mengajar:
a) Pengungsi Vietnam, Kamboja, Hmong di
Kamp Pengungsi Indochina, Galang (1987 –1993) yang berlatar belakang linguistik
bahasa – bahasa Asia. Teknik pengajaran kesadaran lintas budaya yang
dikembangkan disempurnakan dengan teknik-teknik penyampaian menggunakan bahasa
target – Inggris yang disampaikan menggunakan komik strip. Para pengungsi ini
akan menuju dan tinggal di negara ke tiga, Amerika, Kanada, Australia, Inggris
dan negara-negara Eropa barat termasuk Jerman, Prancis dsb. Yang berlatar
belakang budaya yang jauh berbeda dari budaya mereka sendiri.
b) Siswa BIPA dari mancanegara yang belajar
di Indonesia Australia Language Foundation (1993 – sekarang). Teknik pengajaran
kesadaran lintas budaya yang dikembangkan disempurnakan dengan teknik-teknik
penyampaian menggunakan bahasa target – Indonesia. disampaikan menggunakan
komik strip, kuliah budaya serta immerse dalam budaya. Siswa tinggal di
keluarga Indonesia (Bali).
c) Mengajar siswa SD sampai SLTP di Evans
Head, Mullumbimby, Ballina, Evans Head, Broad Water di NSW, Australia (2000).
Penggunaan kartun dan komik strip sangat membantu dalam pengajaran bahasa dan
kepekaan budaya terutama bagi siswa usia muda karena dalam tahap ini siswa
sangat tanggap terhadap stimulus visual yang lucu, menarik dan praktis.
d) Lokakarya penggunaan komik strip dan
kartun bagi guru-guru bahasa Indonesia di Dubbo, Mullumbimby, Byron Bay dan
Sydney.
Kesimpangsiuran pengajaran kesadaran
budaya
Ada semacam
kesalahpahaman yang harus dipaparkan, terutama yang berkaitan dengan pengajaran
unsur-unsur kebudayaan. Karena kebudayaan merupakan hal berproses dan
berkembang dalam waktu yang lama (selama manusia hidup) maka ada rasa apatis
dari banyak pihak, termasuk pengajar yang berpendirian bahwa kebudayaan tidak
bisa diajarkan. Tarik ulur bisa tidaknya
budaya (dalam hal ini Indonesia) diajarkan kepada siswa BIPA sering muncul
dalam lokakarya yang banyak dihadiri oleh pengajar bahasa Indonesia di negara
selain Indonesia, yang kebanyakan berlatar belakang pendidikan kebahasaan
dengan teori barat. Hal tersebut ada
benarnya dan itu merupakan pendapat yang bisa dimengerti. Dalam hal ini harus
dimengerti bahwa upaya pengajaran unsur kebudayaan dalam bahasa (dalam hal ini
BIPA) bukan merupakan usaha untuk mengajarkan budaya, karena sebetulnya sasaran
pengajaran unsur kebudayaan adalah untuk menanamkan kepekaan atau kesadaran
lintas budaya.
Gairah memadukan pengajaran kesadaran
silang budaya pada pengajaran BIPA
Dari banyak pembahasan tentang
pegajaran silang budaya yang termaktub dalam banyak presentasi makalah, dapat
disimpulkan bahwa sudah ada kegairahan untuk pengembangan pengajaran budaya
tersebut. Namun hal yang cukup mengherankan adalah kegairahan ini justru
terlihat di beberapa pusat pengembangan Bahasa Indonesia di luar negeri. Bagaimana ini bisa terjadi?
Ada beberapa alasan mengapa
konsep lintas kebudayaan tidak mempunyai porsi yang cukup dalam pembahasannya
(terutama di dalam negeri).
1)
Memang kalau dilihat unsur kedaruratannya pengajaran budaya dalam BIPA
tidak dianggap sebagai hal yang penting[2].
Pembahasan bahasa Indonesia dengan unsur-unsur kebahasaannya (linguistik) masih
memerlukan pengembangan yang serius.
Terlihat betapa ketinggalannya pengajaran dan pembelajaran bahasa
Indonesia, dibandingkan dengan pengembangan bahasa Inggris. Bahan ajar, teknik
serta faktor-faktor lain sering kali diambil dari yang terdapat dalam bahasa
Inggris. Di samping itu, pendekatan teori kebahasaan Chomsky
(Chomsky:1968-1972) dan Piaget yang mengesampingkan unsur etnografi wacana
disempurnakan oleh Hymes yang mengedepankan teori wacana sebagai sistem
perilaku budaya (1971). Teori keterpautan budaya ini akhirnya diperkuat oleh
Basil Bernstein dan Edward T. Hall yang memandang betapa kuatnya kebudayaan
identik dengan cara penuturan berbahasa.
2)
Pembahasan budaya[3]
berkutat hanya pada konsep teoritis.
Pengajaran sosiolinguistik yang seharusnya mencakup makna-makna yang
termaktub dalam bahasa lewat budayanya seakan menjadi pembahasan yang kering
sehingga mahasiswa/ pelajar kurang mempunyai ketertarikan membahasnya.
3)
Di samping adanya kenyataan bahwa pengajaran BIPA tidak
diajarkan di perguruan tinggi, FKIP atau institusi pendidikan lain, juga tidak
terdapat mata kuliah sosiolinguistik Bahasa Indonesia di perguruan tinggi.
Kalaupun toh ada pembahasan kebudayaan, baik di tingkat perguruan tinggi,
kursus maupun sekolah kebahasaan yang lain tidak/kurang memberikan porsi
pembahasan kebudayaan di luar konteks
kesadaran (out of arawereness culture)[4].
Pembahasan kebudayaan hanya mencakup praktik-praktik kebudayaan yang kasat mata
(train, makanan, drama, lukisan dsb.). Besarnya potensi budaya out of awareness yang mencakup
konsep-konsep yang jauh lebih luas dan menarik untuk dibahas menjadi tereduksi
bahkan tidak tersentuh sama sekali.
4)
Pengajaran pemahaman lintas budaya dengan tujuan
utamanya untuk menanamkan kesadaran lintas budaya masih menggunakan banyak
teknik tradisional, yakni kuliah saja. Walaupun toh ada cara lain yang ditempuh
biasanya hanya masih berkutat pada perbandingan kebudayaaan. Terobosan-terobosan
teknik pengajaran menggunakan teknologi yang lebih modern dan canggih maupun
teknik sederhana yang praktis belum banyak dicoba.
5)
Pengajaran sadar budaya diberikan secara terpisah dari
bahasa Indonesia. Sering kali pengajaran ini dilakukan dalam bahasa ibu si
pembelajar dengan asumsi bahwa pembelajar belum mempunyai keterampilan
berbahasa target (Indonesia) yang mencukupi untuk membahas masalah silang
budaya ini. Pengajaran sadar budaya juga lebih sering diberikan kepada siswa
beraras tinggi.
Analogi
Gunung Es Budaya
Di dalam kesadaran
Sering
diajarkan
Tarian,
makanan, pakaian,
drama, sastra, dsb.
Yang termaktub dalam komunikasi: masalah
pribadi,
kesopanan, jarak komunikasi , penghargaan ,
keterbukaan, mencampuri urusan, kerendahan
hati, kontak
mata,
bahasa tubuh, keterbukaan, konsep
waktu dsb. Yang
tidak termaktub dalam komunikasi verbal: tempo kerja,
konsep
persahabatan, keterusterangan, kecantikan, kebersihan,
H.A.M.,
hormat kepada yang lebih tua, keluarga, kosmologi,
Konsep dosa dsb.
Di luar kesadaran
Jarang/ tidak
diajarkan
6) Belum
ada terdapat teknik pengajaran sadar budaya yang menggabungkan keterampilan
berbahasa: mendengarkan, bicara, membaca dan menulis dan di dalamnya, dan juga sebaliknya dalam
pengajaran bahasa Indonesia unsur-unsur lintas budaya hanya digunakan sebagai
catatan saja. Padahal ada potensi yang begitu banyak untuk memproduksi bahasa yang berbudaya.
Menarik diamati kecenderungan
pengajaran kebudayaan sebagai unsur pengajaran BIPA di luar negeri. Hijirida
Kyoko dan Diane Uyetake, seperti yang dikupas oleh I Ketut Surajaya[5], mengajukan 14 kiat pengajaran kebudayaan
Indonesia, termasuk di dalamnya: kuliah, contoh benda budaya, demonstrasi dan
partisipasi aktif, eksekursi, majalah dinding, tari dan nyanyi, simulasi,
video, audio motor units,
identifikasi kultural perilaku umum, konotasi kultural; bahan bacaan
otentik. Upaya-upaya pengajaran unsur
silang budaya ini patut dikembangkan dengan memperluasnya pada tahap pembahasan
kesadaran di luar kesadaran.
Teknik yang Menarik, Lucu dan Praktis
untuk Mengajar Bahasa dan Kepekaan Budaya yang Tinggi
Berikut ditampilkan pendekatan-pendekatan
pengajaran silang budaya yang terpadu dalam pengajaran bahasa Indonesia.
Teknik-teknik yang ditampilkan dalam lokakarya ini memadukan semua keterampilan
berbahasa dengan tujuan mengajarkan bahasa Indonesia dengan potensi budaya yang
termaktub dalam komunikasinya. Dalam menampilkan teknik-teknik ini alat Bantu
ajar: gambar, komik, kartun diekplorasi penggunaannya. Salah satu sasaran yang
ingin dicapai dalam presentasi ini adalah untuk menyadarkan pengajar BIPA bahwa
banyak sekali teknik-teknik pengajaran silang budaya dalam BIPA yang menunggu
untuk dieksploitasi lebih lanjut.
Berikut adalah teknik-teknik yang
dikembangkan untuk mengajarkan paduan bahasa dan pengenalan lintas budaya:
I Berbicara:
Bertanya
jawab:
Alat
peraga: The First Trip Abroad
Pada aktivitas ini siswa diminta untuk
membuat pasangan A dan B. Mereka harus
duduk/ berdiri berhadapan untuk melakukan kegiatan menerangkan/bercakap. Dalam
proses bertanya jawab akan terjadi keributan. Ini memang disengaja, karena
dengan demikian siswa bisa menggunakan bahasa survivalnya (misalnya meminta
pasangan untuk mengulang pertanyaan, atau untuk berbicara pelan-pelan. Walaupun
fokus dari aktivitas ini adalah berbicara, namun kegiatan menulis bisa juga
dipadukan di sini, di mana siswa diminta untuk menulis jawaban yang mereka
dapat dari pasangan.
Pembahasan
Budaya
Alat
peraga: Body Culture
Siswa bisa diajak untuk membahas komik
yang baru saja digunakan dalam kegiatan bertanya jawab. Kemudian mereka bisa
menerangkan perbedaan budaya antara budaya yang mereka sedang pelajari, yakni
budaya Indonesia dengan budaya mereka sendiri.
Bermain Peran
Alat
peraga : Buni Goes to The West
Bermain peran bisa dilaksanakan setelah
semua penyajian teknik-teknik pengajaran dan pembelajaran konsep kesadaran
silang budaya. Untuk mengkongkritkan cerita, komik strip bisa diperankan oleh
siswa. Siswa bisa memilih karakter
(tokoh komik) yang sesuai dengan keinginan mereka. Beri mereka waktu sesaat untuk menyiapkan
peran tersebut. Dengan melaksanakan
bermain peran tersebut, siswa bisa merasakan pengalaman budaya langsung.
Permainan peran bisa menjadi kegiatan lanjutan (follow up) yang menggunakan komik strip. Siswa dapat secara
sukarela untuk memerankan karakter di komik tersebut. Biasanya situasi lucu
akan terjadi dalam aktivitas ini.
Bahasa
spontanitas
Alat
peraga : The Javanese Visit
Kegiatan ini dilaksanakan dengan cara
siswa/peserta berdiri berkeliling. Pengajar bisa meminta siswa menggambarkan
atau mengucapkan apa yang dikatakan (baik verbal maupun dalam hati) dalam
setiap strip kartun secara keras-keras bergiliran. Kegiatan ini bisa lebih
melibatkan semua siswa dalam proses berbahasa dan terlibat dalam proses budaya.
Beningan (Overhead
Transparency) dan slide
Menebak
dan Meneruskan Cerita
Alat
peraga : PMS (Penyakit Menular Sosial)
a)
Komik Strip
1) Respon
Dengan menggunakan
OHT siswa bisa memberikan respon langsung. Mereka bisa diminta untuk memaparkan
alur cerita. Biasanya dalam aktivitas
ini pengajar berfungsi sebagai pelempar pertanyaan/fasilitator kegiatan
bahasa. Pengajar memperlihatkan komik
strip satu kotak demi satu kotak.
Pengajar meminta murid untuk menjawab/menerangkan isi strip tersebut.
Setelah kegiatan tersebut usai siswa bisa diminta untuk:
a) menceriterakan ulang
isi komik strip dengan bahasa mereka
sendiri.
b) membuat laporan tertulis tentang
keseluruhan komik strip.
2) Menebak gambar komik strip.
Sebelum strip
Dubuque, pengajar meminta murid untuk Menebak isi komik strip baik secara
keseluruhan maupun strip demi strip. Combines lain untuk kegiatan ini adalah
bahwa pengajar tidak menunjukkan gambar yang terakhir, dan dia bisa meminta
siswa untuk menebak gambar yang terakhir tersebut. Atau siswa bisa disuruh
untuk membuat suatu cerita rekaan tentang lanjutan dari cerita tersebut baik
secara tertulis maupun lisan.
b)
Gambar Tunggal
Dengan menggunakan proyektor slide,
pengajar menunjukkan suatu gambar/ kartun (yang bisa diambil dari salah satu
strip). Slide tersebut dibuat sedemikian buram sehingga siswa tidak bisa
melihatnya dengan jelas. Pengajar meminta siswa untuk menebak gambar tersebut.
Sedikit demi sedikit gambar tersebut bisa diperjelas.
II Menyimak
Menyusun
Alat
peraga: Nosy Neighbour
Komik bisa dipotong rangka per rangka
untuk aktivitas menyusun ini. Siswa bisa dibagi ke dalam kelompok kecil,
dan setiap kelompok diberi sebuah 1 set
komik, yang harus mereka susun ke dalam urutan yang benar dan logis. Kemudian
siswa bisa menarasikan strip tersebut. Pengajar juga bisa menyiapkan sebuah
teks tentang komik strip tersebut dan membacanya keras-keras untuk siswa-siswa
yang harus menyusun kartu tersebut berdasarkan apa yang mereka dengarkan.
III Membaca
Menjodohkan
Alat
peraga: Nosy Neighbour
Sebagai lanjutan dari kegiatan menyusun,
aktivitas ini dilaksanakan dengan cara: Siswa menjodohkan potongan komik strip
dengan kartu kata-kata, kalimat atau pun frasa tentang masing-masing gambar.
II Menulis
Siswa Pemula
Semua kegiatan yang menggunakan komik
strip dan kartun bisa diikuti dengan kegiatan menulis: menulis esei berdasarkan
kartun atau pun interpretasi terhadap kartun. Siswa pemula bisa diminta untuk
menceriterakan (kembali) alur cerita. Selagi mereka melakukannya, pengajar bisa
menuliskan kata-kata, kalimat dari siswa di papan tulis. Siswa kemudian bisa
melingkari kata-kata tertentu (kata kerja, benda atau kata sifat). Tugas
menulis yang mungkin bisa diberikan:
menuliskan sebuah cerita di papan tulis, mendikte, menuliskan kembali, menyalin
dan mengganti beberapa kata dalam cerita.
·
Siswa
menjawab pertanyaan menyimak tentang kartun/komik strip.
·
Siswa
menulis sebuah karangan berdasarkan komik strip secara terpandu.
·
Membuat
karangan bebas tentang komik strip baik secara individual maupun kelompok. Di
sini siswa bisa memberikan interpretasi mereka atas cerita di komik strip
tersebut.
·
Siswa
mengembangkan sebuah dialog.
·
Siswa
menuliskan sebuah dialog yang terjadi dalam peristiwa yang digambarkan dalam
komik strip dengan cara menuliskannya dalam speech
bubble (balon bicara).
Siswa bisa diminta
untuk menceriterakan strip komik
Selagi mereka bercerita, tulis kalimat - kalimat tersebut di papan
tulis. Hasil tulisan tersebut bisa digunakan sebagai bahan latihan di bawah
ini:
·
membaca
secara keras
·
menyalin
·
menulis
ulang dan mengganti sebagian kata – kata
·
mengubah
tata bahasa di papan tulis, misalnya dari kalimat aktif menjadi kalimat pasif,
dan variasi tata bahasa lainnya.
Siswa
Aras Tinggi
Pengajar memberikan gambar tunggal atau
komik strip ke pasangan kelompok.
Kombinasi
Seperti
gambar lain, kartun dan komik strip dapat digunakan untuk berbagai aktivitas,
misalnya permainan, pemanasan dan pengisi pelajaran (untuk kegiatan pemanasan
sebelum belajar atau pun pendinginan seusai belajar.)
Ice-Breakers:
1
Identifikasi
Pengajar
bisa menunjukkan gambar komik strip yang
sudah dibesarkan(fotokopi) secara sekilas dan meminta siswa untuk
mengidentifikasinya.
2 Chinese
Whisper (Berbisik)
Pengajar menyediakan kalimat-kalimat
berdasarkan komik strip. Siswa dibagi ke dalam dua grup, dan mereka berdiri
berjajar berhadapan. Pengajar memanggil siswa diurutan terdepan dan memberinya
sebuah kalimat yang ia harus bisikkan ke murid berikutnya, dan murid ke dua
harus membisikkan kalimat tersebut ke murid berikutnya. Murid yang terakhir
harus meneriakkan kalimat tersebut dan menuliskannya di papan tulis. Setelah
semua kalimat tersebut sudah dibisikkan, diteriakkan dan dituliskan di papan
tulis, siswa harus cepat-cepat menyusun komik strip yang sesuai dengan
kalimat-kalimat yang dibisikkan tadi. Aktivitas ini bisa dilaksanakan sebagai
kompetisi.
Kesimpulan
Secara umum bisa dikatakan bahwa kita
mungkin masih banyak ketinggalan dari praktisi pengajaran lintas budaya di luar
negeri. Tampak jelas bahwa pengembangan materi pembelajaran bahasa dan lintas
budaya antara Indonesia sebagai bahasa dan budaya target dengan bahasa atau
budaya ibu penutur asing memerlukan kreativitas dan imajinasi dari pengajar
bahasa Indonesia. Dengan demikian
pengembangan pengajaran BIPA tidak hanya harus berfokus pada teori-teori
kebahasaan dan pengajaran, namun juga harus mencakup pembahasan/pengajaran
lintas budaya sebagai bagian yang tak terpisahkan dari pengajaran BIPA.
Pengajar BIPA tidak hanya dituntut untuk menjadi guru yang berpengalaman, namun
mereka juga harus menjadi guru yang memiliki kiat-kiat mendidik dengan segala
teknik yang menarik, praktis mudah dimengerti sehingga bukan hanya pengetahuan
linguistik saja yang diterima siswa BIPA namun juga kepekaan budaya
Indonesianya.
Bacaan pilihan:
Surajaya, I Ketut. 1995. Kiat
Pembelajaran Kebudayaan Indonesia dalam Kelas Bahasa Indonesia Bagi Penutur
Asing: Suatu Ancangan Diplomasi Kebudayaan, KIPBIPA,
Gasion, Jan C. 1984. Culture Awareness Teaching Techniques. Brattleboro, Vermont: Pro
Liongua Associates.
Draine, Chatie and
Barbara Hall.
1984. Culture Shock: Indonesia.
Singapore: Times Books International.
[1] M.
Bundhowi, Language Training Specialist,E-Mail : Mbundhowi@ialfbali.co.id ,Telp:
(0361) 225243, 221783, 225243
Indonesia Australia Language Foundation, Jl. Kapten Agung 17, Denpasar,
Bali.
[2] Dari 39 pemakalah pada
KIPBIPA 1995 di Fakultas Sastra Indonesia hanya ada 1 pemakalah yang
membahas
masalah pengajaran kebudayaan Indonesia. Sedangkan pada Kongres Bahasa
Indonesia VI pada tahun 1998 yang diselenggarakan oleh Pusat Pembinaan dan Pengembangan
Bahasa, DEBDIKBUD di Jakarta, dari 89 pemakalah hanya 2 pemakalah yang membahas
masalah kaitan bahasa Indonesia dengan kebudayaan . Tidak satu pun membahas
budaya di luar daerah kesadaran.
[3]
Bundhowi, M, Komponen Budaya dalam
Pengajaran BIPA, Buletin Pengajaran BIPA, IALF, 2000
[4] Dari
konsep Ice Berg of Culture.
[5] Mengajar
di Jepang.
DI UNIVERSITAS:
Teknik
yang Menarik, Lucu dan Praktis untuk Mengajar Bahasa dan Kepekaan Budaya yang
Tinggi
M.
Bundhowi[1]
Pengembangan teknik untuk
mengajarkan kepekaan budaya mulai
mendapat perhatian di tengah maraknya pengembangan teknik pengajaran
keterampilan berbahasa murid. Pengajar BIPA, baik penutur asli maupun bukan
asli, sering terperangah ketika menghadapi situasi di mana perbenturan budaya
dalam khasanah pembelajaran BIPA menjadi hal yang sangat fundamental.
Workshop (lokakarya) ini
akan membawa peserta untuk memngeksplorasi teknik dan pengajaran khasanah
lintas budaya (Indonesia dan non-Indonesia sebagai latar belakang budaya
siswa). Presentasi yang serupa telah
diujicobakan ke guru-guru bahasa Indonesia di beberapa sekolah di NSW,
Australia yang diorganisir oleh Departemen Pendidikan dan Training NSW.
Pendahuluan
Nampaknya ketertarikan kepada
pembahasan masalah silang budaya dalam
pengembangan BIPA memperlihatkan kecenderungan yang meningkat. Hal ini tampak
pada membesarnya jumlah abstrak, makalah dan diskusi tentang budaya pada
konperensi BIPA akhir-akhir ini. Fenomena ini menunjukkan bagaimana semua yang
berkutat di bidang pengembangan BIPA semakin sadar bahwa budaya sebagai hal
yang tidak terpisah dari bahasa.
Memang ketertarikan dalam
pengembangan pengajaran budaya dalam kaitannya dengan pengembangan BIPA cukup
menggembirakan, namun harus disadari bahwa masih banyak pekerjaan yang masih
harus dikembangkan supaya pengajaran kebudayaan ini tidak ketinggalan dari
perkembangan bahasa Indonesianya.
Batu pijakan dalam lokakarya tentang teknik pengajaran yang menarik, lucu dan
praktis untuk mengajar Bahasa dan kepekaan budaya yang tinggimerupakan proses akumulasi empiris
yang penulis peroleh dari pengalaman mengajar:
a) Pengungsi Vietnam, Kamboja, Hmong di
Kamp Pengungsi Indochina, Galang (1987 –1993) yang berlatar belakang linguistik
bahasa – bahasa Asia. Teknik pengajaran kesadaran lintas budaya yang
dikembangkan disempurnakan dengan teknik-teknik penyampaian menggunakan bahasa
target – Inggris yang disampaikan menggunakan komik strip. Para pengungsi ini
akan menuju dan tinggal di negara ke tiga, Amerika, Kanada, Australia, Inggris
dan negara-negara Eropa barat termasuk Jerman, Prancis dsb. Yang berlatar
belakang budaya yang jauh berbeda dari budaya mereka sendiri.
b) Siswa BIPA dari mancanegara yang belajar
di Indonesia Australia Language Foundation (1993 – sekarang). Teknik pengajaran
kesadaran lintas budaya yang dikembangkan disempurnakan dengan teknik-teknik
penyampaian menggunakan bahasa target – Indonesia. disampaikan menggunakan
komik strip, kuliah budaya serta immerse dalam budaya. Siswa tinggal di
keluarga Indonesia (Bali).
c) Mengajar siswa SD sampai SLTP di Evans
Head, Mullumbimby, Ballina, Evans Head, Broad Water di NSW, Australia (2000).
Penggunaan kartun dan komik strip sangat membantu dalam pengajaran bahasa dan
kepekaan budaya terutama bagi siswa usia muda karena dalam tahap ini siswa
sangat tanggap terhadap stimulus visual yang lucu, menarik dan praktis.
d) Lokakarya penggunaan komik strip dan
kartun bagi guru-guru bahasa Indonesia di Dubbo, Mullumbimby, Byron Bay dan
Sydney.
Kesimpangsiuran pengajaran kesadaran
budaya
Ada semacam
kesalahpahaman yang harus dipaparkan, terutama yang berkaitan dengan pengajaran
unsur-unsur kebudayaan. Karena kebudayaan merupakan hal berproses dan
berkembang dalam waktu yang lama (selama manusia hidup) maka ada rasa apatis
dari banyak pihak, termasuk pengajar yang berpendirian bahwa kebudayaan tidak
bisa diajarkan. Tarik ulur bisa tidaknya
budaya (dalam hal ini Indonesia) diajarkan kepada siswa BIPA sering muncul
dalam lokakarya yang banyak dihadiri oleh pengajar bahasa Indonesia di negara
selain Indonesia, yang kebanyakan berlatar belakang pendidikan kebahasaan
dengan teori barat. Hal tersebut ada
benarnya dan itu merupakan pendapat yang bisa dimengerti. Dalam hal ini harus
dimengerti bahwa upaya pengajaran unsur kebudayaan dalam bahasa (dalam hal ini
BIPA) bukan merupakan usaha untuk mengajarkan budaya, karena sebetulnya sasaran
pengajaran unsur kebudayaan adalah untuk menanamkan kepekaan atau kesadaran
lintas budaya.
Gairah memadukan pengajaran kesadaran
silang budaya pada pengajaran BIPA
Dari banyak pembahasan tentang
pegajaran silang budaya yang termaktub dalam banyak presentasi makalah, dapat
disimpulkan bahwa sudah ada kegairahan untuk pengembangan pengajaran budaya
tersebut. Namun hal yang cukup mengherankan adalah kegairahan ini justru
terlihat di beberapa pusat pengembangan Bahasa Indonesia di luar negeri. Bagaimana ini bisa terjadi?
Ada beberapa alasan mengapa
konsep lintas kebudayaan tidak mempunyai porsi yang cukup dalam pembahasannya
(terutama di dalam negeri).
1)
Memang kalau dilihat unsur kedaruratannya pengajaran budaya dalam BIPA
tidak dianggap sebagai hal yang penting[2].
Pembahasan bahasa Indonesia dengan unsur-unsur kebahasaannya (linguistik) masih
memerlukan pengembangan yang serius.
Terlihat betapa ketinggalannya pengajaran dan pembelajaran bahasa
Indonesia, dibandingkan dengan pengembangan bahasa Inggris. Bahan ajar, teknik
serta faktor-faktor lain sering kali diambil dari yang terdapat dalam bahasa
Inggris. Di samping itu, pendekatan teori kebahasaan Chomsky
(Chomsky:1968-1972) dan Piaget yang mengesampingkan unsur etnografi wacana
disempurnakan oleh Hymes yang mengedepankan teori wacana sebagai sistem
perilaku budaya (1971). Teori keterpautan budaya ini akhirnya diperkuat oleh
Basil Bernstein dan Edward T. Hall yang memandang betapa kuatnya kebudayaan
identik dengan cara penuturan berbahasa.
2)
Pembahasan budaya[3]
berkutat hanya pada konsep teoritis.
Pengajaran sosiolinguistik yang seharusnya mencakup makna-makna yang
termaktub dalam bahasa lewat budayanya seakan menjadi pembahasan yang kering
sehingga mahasiswa/ pelajar kurang mempunyai ketertarikan membahasnya.
3)
Di samping adanya kenyataan bahwa pengajaran BIPA tidak
diajarkan di perguruan tinggi, FKIP atau institusi pendidikan lain, juga tidak
terdapat mata kuliah sosiolinguistik Bahasa Indonesia di perguruan tinggi.
Kalaupun toh ada pembahasan kebudayaan, baik di tingkat perguruan tinggi,
kursus maupun sekolah kebahasaan yang lain tidak/kurang memberikan porsi
pembahasan kebudayaan di luar konteks
kesadaran (out of arawereness culture)[4].
Pembahasan kebudayaan hanya mencakup praktik-praktik kebudayaan yang kasat mata
(train, makanan, drama, lukisan dsb.). Besarnya potensi budaya out of awareness yang mencakup
konsep-konsep yang jauh lebih luas dan menarik untuk dibahas menjadi tereduksi
bahkan tidak tersentuh sama sekali.
4)
Pengajaran pemahaman lintas budaya dengan tujuan
utamanya untuk menanamkan kesadaran lintas budaya masih menggunakan banyak
teknik tradisional, yakni kuliah saja. Walaupun toh ada cara lain yang ditempuh
biasanya hanya masih berkutat pada perbandingan kebudayaaan. Terobosan-terobosan
teknik pengajaran menggunakan teknologi yang lebih modern dan canggih maupun
teknik sederhana yang praktis belum banyak dicoba.
5)
Pengajaran sadar budaya diberikan secara terpisah dari
bahasa Indonesia. Sering kali pengajaran ini dilakukan dalam bahasa ibu si
pembelajar dengan asumsi bahwa pembelajar belum mempunyai keterampilan
berbahasa target (Indonesia) yang mencukupi untuk membahas masalah silang
budaya ini. Pengajaran sadar budaya juga lebih sering diberikan kepada siswa
beraras tinggi.
Analogi
Gunung Es Budaya
Di dalam kesadaran
Sering
diajarkan
Tarian,
makanan, pakaian,
drama, sastra, dsb.
Yang termaktub dalam komunikasi: masalah
pribadi,
kesopanan, jarak komunikasi , penghargaan ,
keterbukaan, mencampuri urusan, kerendahan
hati, kontak
mata,
bahasa tubuh, keterbukaan, konsep
waktu dsb. Yang
tidak termaktub dalam komunikasi verbal: tempo kerja,
konsep
persahabatan, keterusterangan, kecantikan, kebersihan,
H.A.M.,
hormat kepada yang lebih tua, keluarga, kosmologi,
Konsep dosa dsb.
Di luar kesadaran
Jarang/ tidak
diajarkan
6) Belum
ada terdapat teknik pengajaran sadar budaya yang menggabungkan keterampilan
berbahasa: mendengarkan, bicara, membaca dan menulis dan di dalamnya, dan juga sebaliknya dalam
pengajaran bahasa Indonesia unsur-unsur lintas budaya hanya digunakan sebagai
catatan saja. Padahal ada potensi yang begitu banyak untuk memproduksi bahasa yang berbudaya.
Menarik diamati kecenderungan
pengajaran kebudayaan sebagai unsur pengajaran BIPA di luar negeri. Hijirida
Kyoko dan Diane Uyetake, seperti yang dikupas oleh I Ketut Surajaya[5], mengajukan 14 kiat pengajaran kebudayaan
Indonesia, termasuk di dalamnya: kuliah, contoh benda budaya, demonstrasi dan
partisipasi aktif, eksekursi, majalah dinding, tari dan nyanyi, simulasi,
video, audio motor units,
identifikasi kultural perilaku umum, konotasi kultural; bahan bacaan
otentik. Upaya-upaya pengajaran unsur
silang budaya ini patut dikembangkan dengan memperluasnya pada tahap pembahasan
kesadaran di luar kesadaran.
Teknik yang Menarik, Lucu dan Praktis
untuk Mengajar Bahasa dan Kepekaan Budaya yang Tinggi
Berikut ditampilkan pendekatan-pendekatan
pengajaran silang budaya yang terpadu dalam pengajaran bahasa Indonesia.
Teknik-teknik yang ditampilkan dalam lokakarya ini memadukan semua keterampilan
berbahasa dengan tujuan mengajarkan bahasa Indonesia dengan potensi budaya yang
termaktub dalam komunikasinya. Dalam menampilkan teknik-teknik ini alat Bantu
ajar: gambar, komik, kartun diekplorasi penggunaannya. Salah satu sasaran yang
ingin dicapai dalam presentasi ini adalah untuk menyadarkan pengajar BIPA bahwa
banyak sekali teknik-teknik pengajaran silang budaya dalam BIPA yang menunggu
untuk dieksploitasi lebih lanjut.
Berikut adalah teknik-teknik yang
dikembangkan untuk mengajarkan paduan bahasa dan pengenalan lintas budaya:
I Berbicara:
Bertanya
jawab:
Alat
peraga: The First Trip Abroad
Pada aktivitas ini siswa diminta untuk
membuat pasangan A dan B. Mereka harus
duduk/ berdiri berhadapan untuk melakukan kegiatan menerangkan/bercakap. Dalam
proses bertanya jawab akan terjadi keributan. Ini memang disengaja, karena
dengan demikian siswa bisa menggunakan bahasa survivalnya (misalnya meminta
pasangan untuk mengulang pertanyaan, atau untuk berbicara pelan-pelan. Walaupun
fokus dari aktivitas ini adalah berbicara, namun kegiatan menulis bisa juga
dipadukan di sini, di mana siswa diminta untuk menulis jawaban yang mereka
dapat dari pasangan.
Pembahasan
Budaya
Alat
peraga: Body Culture
Siswa bisa diajak untuk membahas komik
yang baru saja digunakan dalam kegiatan bertanya jawab. Kemudian mereka bisa
menerangkan perbedaan budaya antara budaya yang mereka sedang pelajari, yakni
budaya Indonesia dengan budaya mereka sendiri.
Bermain Peran
Alat
peraga : Buni Goes to The West
Bermain peran bisa dilaksanakan setelah
semua penyajian teknik-teknik pengajaran dan pembelajaran konsep kesadaran
silang budaya. Untuk mengkongkritkan cerita, komik strip bisa diperankan oleh
siswa. Siswa bisa memilih karakter
(tokoh komik) yang sesuai dengan keinginan mereka. Beri mereka waktu sesaat untuk menyiapkan
peran tersebut. Dengan melaksanakan
bermain peran tersebut, siswa bisa merasakan pengalaman budaya langsung.
Permainan peran bisa menjadi kegiatan lanjutan (follow up) yang menggunakan komik strip. Siswa dapat secara
sukarela untuk memerankan karakter di komik tersebut. Biasanya situasi lucu
akan terjadi dalam aktivitas ini.
Bahasa
spontanitas
Alat
peraga : The Javanese Visit
Kegiatan ini dilaksanakan dengan cara
siswa/peserta berdiri berkeliling. Pengajar bisa meminta siswa menggambarkan
atau mengucapkan apa yang dikatakan (baik verbal maupun dalam hati) dalam
setiap strip kartun secara keras-keras bergiliran. Kegiatan ini bisa lebih
melibatkan semua siswa dalam proses berbahasa dan terlibat dalam proses budaya.
Beningan (Overhead
Transparency) dan slide
Menebak
dan Meneruskan Cerita
Alat
peraga : PMS (Penyakit Menular Sosial)
a)
Komik Strip
1) Respon
Dengan menggunakan
OHT siswa bisa memberikan respon langsung. Mereka bisa diminta untuk memaparkan
alur cerita. Biasanya dalam aktivitas
ini pengajar berfungsi sebagai pelempar pertanyaan/fasilitator kegiatan
bahasa. Pengajar memperlihatkan komik
strip satu kotak demi satu kotak.
Pengajar meminta murid untuk menjawab/menerangkan isi strip tersebut.
Setelah kegiatan tersebut usai siswa bisa diminta untuk:
a) menceriterakan ulang
isi komik strip dengan bahasa mereka
sendiri.
b) membuat laporan tertulis tentang
keseluruhan komik strip.
2) Menebak gambar komik strip.
Sebelum strip
Dubuque, pengajar meminta murid untuk Menebak isi komik strip baik secara
keseluruhan maupun strip demi strip. Combines lain untuk kegiatan ini adalah
bahwa pengajar tidak menunjukkan gambar yang terakhir, dan dia bisa meminta
siswa untuk menebak gambar yang terakhir tersebut. Atau siswa bisa disuruh
untuk membuat suatu cerita rekaan tentang lanjutan dari cerita tersebut baik
secara tertulis maupun lisan.
b)
Gambar Tunggal
Dengan menggunakan proyektor slide,
pengajar menunjukkan suatu gambar/ kartun (yang bisa diambil dari salah satu
strip). Slide tersebut dibuat sedemikian buram sehingga siswa tidak bisa
melihatnya dengan jelas. Pengajar meminta siswa untuk menebak gambar tersebut.
Sedikit demi sedikit gambar tersebut bisa diperjelas.
II Menyimak
Menyusun
Alat
peraga: Nosy Neighbour
Komik bisa dipotong rangka per rangka
untuk aktivitas menyusun ini. Siswa bisa dibagi ke dalam kelompok kecil,
dan setiap kelompok diberi sebuah 1 set
komik, yang harus mereka susun ke dalam urutan yang benar dan logis. Kemudian
siswa bisa menarasikan strip tersebut. Pengajar juga bisa menyiapkan sebuah
teks tentang komik strip tersebut dan membacanya keras-keras untuk siswa-siswa
yang harus menyusun kartu tersebut berdasarkan apa yang mereka dengarkan.
III Membaca
Menjodohkan
Alat
peraga: Nosy Neighbour
Sebagai lanjutan dari kegiatan menyusun,
aktivitas ini dilaksanakan dengan cara: Siswa menjodohkan potongan komik strip
dengan kartu kata-kata, kalimat atau pun frasa tentang masing-masing gambar.
II Menulis
Siswa Pemula
Semua kegiatan yang menggunakan komik
strip dan kartun bisa diikuti dengan kegiatan menulis: menulis esei berdasarkan
kartun atau pun interpretasi terhadap kartun. Siswa pemula bisa diminta untuk
menceriterakan (kembali) alur cerita. Selagi mereka melakukannya, pengajar bisa
menuliskan kata-kata, kalimat dari siswa di papan tulis. Siswa kemudian bisa
melingkari kata-kata tertentu (kata kerja, benda atau kata sifat). Tugas
menulis yang mungkin bisa diberikan:
menuliskan sebuah cerita di papan tulis, mendikte, menuliskan kembali, menyalin
dan mengganti beberapa kata dalam cerita.
·
Siswa
menjawab pertanyaan menyimak tentang kartun/komik strip.
·
Siswa
menulis sebuah karangan berdasarkan komik strip secara terpandu.
·
Membuat
karangan bebas tentang komik strip baik secara individual maupun kelompok. Di
sini siswa bisa memberikan interpretasi mereka atas cerita di komik strip
tersebut.
·
Siswa
mengembangkan sebuah dialog.
·
Siswa
menuliskan sebuah dialog yang terjadi dalam peristiwa yang digambarkan dalam
komik strip dengan cara menuliskannya dalam speech
bubble (balon bicara).
Siswa bisa diminta
untuk menceriterakan strip komik
Selagi mereka bercerita, tulis kalimat - kalimat tersebut di papan
tulis. Hasil tulisan tersebut bisa digunakan sebagai bahan latihan di bawah
ini:
·
membaca
secara keras
·
menyalin
·
menulis
ulang dan mengganti sebagian kata – kata
·
mengubah
tata bahasa di papan tulis, misalnya dari kalimat aktif menjadi kalimat pasif,
dan variasi tata bahasa lainnya.
Siswa
Aras Tinggi
Pengajar memberikan gambar tunggal atau
komik strip ke pasangan kelompok.
Kombinasi
Seperti
gambar lain, kartun dan komik strip dapat digunakan untuk berbagai aktivitas,
misalnya permainan, pemanasan dan pengisi pelajaran (untuk kegiatan pemanasan
sebelum belajar atau pun pendinginan seusai belajar.)
Ice-Breakers:
1
Identifikasi
Pengajar
bisa menunjukkan gambar komik strip yang
sudah dibesarkan(fotokopi) secara sekilas dan meminta siswa untuk
mengidentifikasinya.
2 Chinese
Whisper (Berbisik)
Pengajar menyediakan kalimat-kalimat
berdasarkan komik strip. Siswa dibagi ke dalam dua grup, dan mereka berdiri
berjajar berhadapan. Pengajar memanggil siswa diurutan terdepan dan memberinya
sebuah kalimat yang ia harus bisikkan ke murid berikutnya, dan murid ke dua
harus membisikkan kalimat tersebut ke murid berikutnya. Murid yang terakhir
harus meneriakkan kalimat tersebut dan menuliskannya di papan tulis. Setelah
semua kalimat tersebut sudah dibisikkan, diteriakkan dan dituliskan di papan
tulis, siswa harus cepat-cepat menyusun komik strip yang sesuai dengan
kalimat-kalimat yang dibisikkan tadi. Aktivitas ini bisa dilaksanakan sebagai
kompetisi.
Kesimpulan
Secara umum bisa dikatakan bahwa kita
mungkin masih banyak ketinggalan dari praktisi pengajaran lintas budaya di luar
negeri. Tampak jelas bahwa pengembangan materi pembelajaran bahasa dan lintas
budaya antara Indonesia sebagai bahasa dan budaya target dengan bahasa atau
budaya ibu penutur asing memerlukan kreativitas dan imajinasi dari pengajar
bahasa Indonesia. Dengan demikian
pengembangan pengajaran BIPA tidak hanya harus berfokus pada teori-teori
kebahasaan dan pengajaran, namun juga harus mencakup pembahasan/pengajaran
lintas budaya sebagai bagian yang tak terpisahkan dari pengajaran BIPA.
Pengajar BIPA tidak hanya dituntut untuk menjadi guru yang berpengalaman, namun
mereka juga harus menjadi guru yang memiliki kiat-kiat mendidik dengan segala
teknik yang menarik, praktis mudah dimengerti sehingga bukan hanya pengetahuan
linguistik saja yang diterima siswa BIPA namun juga kepekaan budaya
Indonesianya.
Bacaan pilihan:
Surajaya, I Ketut. 1995. Kiat
Pembelajaran Kebudayaan Indonesia dalam Kelas Bahasa Indonesia Bagi Penutur
Asing: Suatu Ancangan Diplomasi Kebudayaan, KIPBIPA,
Gasion, Jan C. 1984. Culture Awareness Teaching Techniques. Brattleboro, Vermont: Pro
Liongua Associates.
Draine, Chatie and
Barbara Hall.
1984. Culture Shock: Indonesia.
Singapore: Times Books International.
[1] M.
Bundhowi, Language Training Specialist,E-Mail : Mbundhowi@ialfbali.co.id ,Telp:
(0361) 225243, 221783, 225243
Indonesia Australia Language Foundation, Jl. Kapten Agung 17, Denpasar,
Bali.
[2] Dari 39 pemakalah pada
KIPBIPA 1995 di Fakultas Sastra Indonesia hanya ada 1 pemakalah yang
membahas
masalah pengajaran kebudayaan Indonesia. Sedangkan pada Kongres Bahasa
Indonesia VI pada tahun 1998 yang diselenggarakan oleh Pusat Pembinaan dan Pengembangan
Bahasa, DEBDIKBUD di Jakarta, dari 89 pemakalah hanya 2 pemakalah yang membahas
masalah kaitan bahasa Indonesia dengan kebudayaan . Tidak satu pun membahas
budaya di luar daerah kesadaran.
[3]
Bundhowi, M, Komponen Budaya dalam
Pengajaran BIPA, Buletin Pengajaran BIPA, IALF, 2000
[4] Dari
konsep Ice Berg of Culture.
[5] Mengajar
di Jepang.
Tue Aug 01, 2023 9:56 pm by wisatasemarang
» Portable STATA 18 Crack Full Version
Thu May 11, 2023 5:24 pm by wisatasemarang
» NVivo 12 Crack Full version
Mon Jan 30, 2023 11:16 am by wisatasemarang
» Tutorial Difference In difference (DID (Diff-in-Diff) With Eviews 13
Thu Nov 03, 2022 6:24 am by wisatasemarang
» Online Workshop Smart PLS Minggu, 01 Oktober 2022
Sat Sep 17, 2022 11:35 am by wisatasemarang
» kumpulan ebook tentang robot
Fri Jan 02, 2015 10:04 pm by kyuru
» MANTRA PELET
Wed May 16, 2012 3:31 am by orlandojack
» book love of spell
Sat Mar 24, 2012 8:08 pm by rifqi as
» attraction Formula
Sat Mar 24, 2012 7:09 pm by rifqi as