Menolak Kepemimpinan Wanita
M. Afifuddin
قَالَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ وَلَّوْا
أَمْرَهُمْ اِمْرَأَةً"
"Tidak akan berbahagia / berjaya suatu kaum yang menyerahkan urusan mereka
kepada wanita (mengangkat wanita sebagai pemimpin)."
DERAJAT HADITS
Hadits ini dikeluarkan oleh:
- Imam Al-Bukhari dalam kitab Shahihnya di dua tempat. Kitabul Maghazi bab
Kitab An-Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam ila Kisra wa Qaisar no. 4425 dan
Kitabul Fitan no. 7099.
- Imam Abu Isa At-Tirmidzi dalam Sunannya, Kitabul Fitan no. 2262 dan beliau
menyatakan: "Hadits ini hasan shahih."
- Imam An-Nasa`i dalam Sunannya, Kitab Adabil Qudlat bab An-Nahyu 'an
Isti'malin Nisa fi Hukmi no. 2/305 no. 5403.
- Al-Hakim dalam Mustadraknya, Kitabul Fitan wal Malahim 4/570 no. 8599 dan
beliau menyatakan: "Hadits ini sanadnya shahih dan keduanya (Bukhari dan
Muslim) tidak mengeluarkannya."
- Imam Al-Baihaqi dalam As-Sunan Al-Kubra, bab La Yuwalli Al-Wali Imra`atan
wala Fasiqan wala Jahilan Amral Qadla, Kitab Adabul Qadli, 10/201 no. 20362.
- Imam Al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah, Kitabul Imarah wal Qadla, bab
Karahiyatu Tauliyatin Nisa 6/60 no. 2486. Kata beliau: "Hadits
shahih."
- Al-Khatib At-Tibrizi dalam Misykatul Mashabih, Kitabul Umarah wal Qadla pasal
pertama 2/1091 no. 3693.
- Al-Imam As-Suyuthi dalam Jami'us Shaghir, lihat Faidlul Qadir karya Al-Munawi
5/386 no. 7393 dan beliau (Suyuthi) memberi kode: "Shahih."
Dari berbagai jalan dari Al-Hasan dari Abi Bakrah radliyallahu 'anhu, beliau
menceritakan:
لَقَدْ نَفَعَنِيَ اللهُ بِكَلِمَةٍ سَمِعْتُهَا مِنْ رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه
وسلم أَيَّامَ الْجَمَلِ بَعْدَ مَا كِدْتُ أَنْ أَلْحَقَ بِأَصْحَابِ الجَمَلِ
فَأُقَاتِلَ مَعَهُمْ. قَالَ: لَمَّا بَلَغَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم
أَنَّ أَهْلَ فَارِسٍ قَدْ مَلَّكُوا عَلَيْهِمْ بِنْتَ كِسْرَى. قَالَ: (فَذَكَرَ
الْحَدِيْثَ).
"Sungguh Allah telah memberi aku manfaat dengan satu kalimat yang aku
dengar dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pada hari perang Jamal,
setelah hampir saja aku bergabung dengan Ashabul Jamal (Aisyah dan orang-orang
yang bersamanya, pent) dan berperang bersama mereka." Beliau (Abu Bakrah)
berkata: "Tatkala sampai (khabar) kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa
sallam bahwa penduduk Persia menobatkan putri Kisra sebagai ratu mereka, beliau
bersabda: (lalu beliau menyebutkan hadits di atas)."
Asy-Syaikh Al-Muhaddits Muhammad Nashiruddin Al-Albani berkata dalam kitabnya
(Irwaul Ghalil 8/109 no. 2456): "Al-Hasan tersebut adalah Al-Bashri. Ia
mudallis (orang yang suka menyamarkan perawi sebuah hadits, pent) dan dia
meriwayatkan hadits ini secara mu'an'an (dengan menggunakan lafadh 'an yang
artinya "dari", pent)[1] pada semua jalan yang tersebut (dalam
referensi) di atas. Namun hadits ini memiliki jalan lain dari Abi Bakrah yang
dikeluarkan oleh Imam Ahmad 5/38 & 47 melalui jalan 'Uyainah: Telah
menceritakan kepadaku dari ayahku dari Abi Bakrah dengan lafadh:
لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ أَسْنَدُوْا أَمْرَهُمْ اِمْرَأَةً
"Tidak akan bahagia / jaya suatu kaum yang menyandarkan urusan mereka
kepada seorang wanita."
Saya (Al-Albani) berkata: "Sanadnya jayyid (bagus). 'Uyainah adalah putra
Abdurrahman bin Jausyan. Dia seorang tsiqah (terpercaya), demikian pula
ayahnya."
Oleh karena itulah beliau menshahihkan hadits ini dalam Al-Irwa` 8/109 no. 2456
dan 8/235 no. 2613, Shahihul Jami' no. 5225, Shahih Sunan At-Tirmidzi no. 1847
dan Shahih Sunan An-Nasa`i no. 4981.
Sehingga secara ilmu hadits, riwayat hadits ini derajatnya shahih dan dapat
dijadikan sebagai dalil atau hujjah.
Adapun pernyataan Prof Dr. Nurcholis Majid dalam makalahnya yang dimuat di
Harian Jawa Pos terbitan Minggu Pahing 8 November 1998 halaman 1: "Hukum
agama (Islam) tidak secara tegas mengatur boleh tidaknya wanita menjadi kepala
negara atau kepala pemerintahan...."
Dia juga menyatakan: "Memang ada hadits-hadits Rasulullah shallallahu
'alaihi wa sallam yang menganjurkan jabatan kepala negara atau kepala
pemerintahan semestinya dijabat oleh pria, meski begitu hadits-hadits tersebut
lemah." Dan insya Allah yang dia maksud adalah hadits yang sedang kita
bahas, maka kita katakan:
Lihatlah pernyataan yang dilontarkan oleh seseorang yang disebut-sebut sebagai
tokoh "cendekiawan muslim". Ucapan yang dilontarkan di saat
musuh-musuh rakyat sedang berupaya menghancurkan bangsa Indonesia yang
mayoritas penduduknya beragama Islam, dengan mendukung seorang wanita sebagai
kepala negara. Pernyataan di atas tidak keluar dari dua kemungkinan:
1. Pernyataan tersebut dilontarkan oleh seorang yang jahil (bodoh) yang sama
sekali tidak mengerti kaidah ilmu hadits dalam masalah tashhih (menshahihkan)
dan tadl'if (melemahkan) sehingga orang tersebut perlu diajari sampai dia
mengerti. Dan sungguh naif orang seperti ini disebut cendekiawan / tokoh
muslim, apalagi ulama.
2. Pernyataan tersebut dilontarkan oleh shahibul hawa (pengekor hawa nafsu)
yang mempunyai misi dan tujuan untuk membikin makar terhadap kaum muslimin.
Maka kita harus memperingatkan umat dari bahaya pemikirannya.
Kalaulah kita mencermati sepak terjangnya dalam dunia keislaman, dengan
pemikiran dan pernyataan-pernyataannya yang menyimpang, maka kedua kemungkinan
di atas ada pada dia, sekalipun yang kedua lebih menonjol. Wallahu musta'an.
Sangatlah disayangkan pada jaman modern seperti sekarang ini atau yang biasa
disebut era globalisasi, masih banyak kaum muslimin yang tidak menjadikan
hadits tersebut di atas sebaga dasar, dalil / hujjah dengan alasan kuno yang
sudah lama dilontarkan rasionalis sesat yang berkiblat kepada orang kafir dari
Yunani kuno, yaitu alasan bahwa hadits tersebut adalah ahad (diriwayatkan oleh
satu orang), seperti pernyataan seorang Wahyuni Widyaningsih, manajer kajian
pada 'Elsad, Surabaya dalam tulisannya yang berjudul "Presiden Perempuan
di mata Islam", dimuat di Jawa Pos senin legi 2 November 1998 di halaman
4. Atau orang-orang yang sepaham dengan dia.
Pemikiran tersebut menyimpang karena pemkiran seperti ini pada kenyataannya
menyalahi prinsip Islam itu sendiri. Al-Qur`an dan Al-Hadits dan kesepakatan
para ulama Islam yang diakui keilmuannya telah menunjukkan bahwa semua hadits
shahih yang datang dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam baik itu ahad
ataupun mutawatir wajib diterima, baik yang berbicara masalah aqidah maupun
hukum-hukum syariat, dan hadits-hadits tersebut dapat dijadikan dasar hukum.
Apabila ada seseorang yang menyelisihi kesepakatan ini, maka dia telah
mengadakan perkara baru (membuat bid'ah, ed) dalam masalah agama. Lihat
penjelasan Imam Asy-Syafi'i tentang masalah ini dalam kitabnya Ar-Risalah
halaman 401 – 453 dan Al-Muhaddits Muhammad Nashiruddin Al-Albani dalam
kitabnya Al-Hadits Hujjatun bi Nafsihi fil Aqa'id wal Ahkam halaman 51-72.
Ada pula beberapa tokoh yang menyatakan bahwa hadits di atas tidak dapat
dijadikan dasar dengan alasan latar belakang penuturan hadits ini (asbabul
wurud, ed). Hadits ini diucapkan oleh Rasulullah pada saat mendengar kabar
bahwa penduduk Persia menobatkan putri Kisra yaitu Buran sebagai kepala negara
mereka. Melihat latar belakang yang demikian, tampak hadits di atas sangat
kasuistik dan tradisional sekali (menunjukkan pada konteks tertentu). Demikian
dinyatakan oleh Dr. Said Aqil Siradj, Katib Am Syuriah PB NU dalam tulisannya
yang berjudul "Pro dan Kontra Presiden Wanita" yang dimuat di Jawa
Pos terbitan Sabtu 21 November 1998 dan pernyataan Dr. Alwi Shihab, seorang
staf pengajar lulusan Universitas Harvard USA, dan juga ketua PKB dalam
tulisannya yang berjudul "Memperhatikan Prinsip daripada Label".
Dimuat di Jawa Pos terbitan Selasa 17 November 1998.
Kita katakan: Sebab penuturan hadits di atas memang seperti yang telah
dijelaskan. Namun kalau kita lebih mencermati riwayat-riwayat hadits ini dalam
referensi yang telah kita cantumkan di awal, maka kita akan mendapatkan
kejelasan bahwa hadits ini tidak kasuistik atau menunjukkan konteks tertentu,
dalam hal ini adalah penduduk Persia. Buktinya, sabda Rasulullah shallallahu
'alaihi wa sallam di atas dijadikan dasar oleh Abu Bakrah radliyallahu 'anhu
untuk tidak bergabung dengan pasukan yang dipimpin oleh Aisyah radliyallahu
'anha dalam perang Jamal. Bahkan hadits ini dijadikan pedoman untuk menilai
kedua belah pihak (pasukan Ali bin Abi Thalib dan pasukan Aisyah).
Al-Hafidh Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam kitabnya Fathul Bari 13/60 setelah
membawakan hadits di atas menyatakan: "Al-Ismaili menambahkan di akhir hadits
dari jalan An-Nadlr bin Syumail dari Auf bahwa Abu Bakrah menyatakan:
فَعَرَفْتُ أَنَّ أَصْحَابَ الْجَمَلِ لَنْ يُفْلِحُوا
"Maka saya tahu bahwa ashabul jamal (Aisyah dan tentaranya) tidak akan
jaya / menang." (Lihat Irsyadul Sari 5/49 oleh Al-Qasythalani)
Pernyataan beliau radliyallahu 'anhu bukan karena ada tendensi politik seperti
yang dikatakan saudari Wahyuni Widyaningsih, namun murni semata-mata
menyampaikan sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Kita katakan
demikian karena beliau salah satu shahabat Rasul, sedangkan para ulama telah
sepakat bahwa semua shahabat adalah 'udul (adil). Ini juga menunjukkan
pemahaman beliau terhadap hadits tersebut.
Pernyataan beliau juga tidak berarti menghina atau meremehkan kemampuan Aisyah
radliyallahu 'anha. Ibnu Bathal menukilkan dari Al-Muhallab, beliau
menjelaskan: "Dhahir hadits Abu Bakrah terkesan meremehkan pendapat Aisyah
dalam perbuatan yang ia lakukan, padahal tidaklah demikian. Karena menurut
pendapat yang masyhur, Abu Bakrah pada dasarnya sependapat dengan Aisyah, yaitu
ingin mengadakan perdamaian di kalangan massa dan tidak bermaksud untuk
berperang. Namun tatkala api perang telah menyala, orang-orang yang bersama
Aisyah mau tidak mau harus ikut berperang. Abu Bakrah sendiri tidak ruju' dari
pendapat semula. Hanya saja beliau mendapatkan firasat bahwa mereka akan kalah
karena mereka dipimpin oleh Aisyah tatkala beliau ingat sabda Rasul tentang
bangsa Persia..."
Pernyataan beliau ini justru menunjukkan bahwa faktor penentu utama bagi posisi
kepala negara adalah gender, bukan semata-mata integritas, kemampuan dan
dukungan masyarakat. Karena kita semua sepakat bahwa Aisyah memiliki kemampuan
dan pada waktu itu mendapat dukungan dari sebagian shahabat Rasul. Wallahu
a'lam.
Dari sinilah kita kembali kepada kaidah masyhur yang telah disepakati oleh para
ulama:
الْعِبْرَةُ بِعُمُوْمِ اللَّفْظِ لاَ بِخُصُوْصِ السَّبَبِ
"Yang menjadi patokan pengambilan suatu hukum adalah pengertian umum dari
suatu kata, dan bukan pada konteks atau sebabnya yang spesifik."
Juga ada kaidah ushul fiqh:
إِذَا وَقَعَتِ النَّكِرَةُ فِي سِيَاقِ النَّفْيِ أَوْ النَّهْيِ أَوِ الشَّرْطِ
أَوِ اْلإِسْتِفْهَامِ دَلَّتْ عَلَى الْعُمُوْمِ
"Apabila isim nakirah terletak setelah teks nafi (peniadaan) atau nahi
(larangan) atau syarat atau istifham (pertanyaan), maka ia menunjukkan makna
umum." (Lihat Al-Qawaidul Lisan li Tafsiril Qur`an [masuk bagian Tafsir
As-Sa`di] 5/472 dan Al-Ushul min 'Ilmil Ushul hal. 23 oleh Syaikh Ibnu
Utsaimin)
Lafadh hadits di atas sesuai dengan kaidah tersebut dimana kata qaumun (قوم)
sebagai isim nakirah jatuh setelah teks nafi yaitu lan yuflih (لن يفلح), maka
hadits tersebut di atas menunjukkan pengertian umum.
PENJELASAN HADITS
Hadits di atas dijadikan dasar para ulama untuk melarang seorang wanita
memangku jabatan sebagai kepala negara. Berikut ini akan saya nukilkan
keterangan ulama berbagai madzhab tentang hadits di atas:
- Ibnu Hazm Adh-Dhahiri dalam kitabnya Al-Fashl 4/110 menyatakan: "Seluruh
golongan Ahli kiblat (muslimin), tidak ada seorang pun dari mereka yang
memperbolehkan kepemimpinan seorang wanita." (Lihat Al-Imamatul 'Udhma
hal. 246).
- Ibnu Qudamah Al-Maqdisi dalam kitab Al-Mughni 10/92 menjelaskan alasan
seorang wanita tidak boleh menjadi hakum atau pemimpin: "...karena seorang
hakim (qadli) harus menghadiri tempat pengadilan dan perkumpulan lelaki dan
membutuhkan pandangan yang tajam serta kecerdasan akal yang sempurna. Sementara
wanita adalah makhluk yang kurang akalnya, dangkal pandangan pemikirannya,
tidak boleh hadir pada perkumpulan kaum lelaki dan tidak diterima persaksiannya
(dalam pengadilan) sekalipun 1000 (seribu) wanita selama tidak ada laki-laki
(yang ikut jadi saksi). Allah telah mengingatkan sifat pelupa mereka dalam
firman-Nya:
أَنْ تَضِلَّ إِحْدَاهُمَا فَتُذَكِّرَ إِحْدَاهُمَا الأُخْرَى
"...supaya jika seorang lupa maka seorang lagi mengingatkannya...."
(Al-Baqarah: 282)
Seorang wanita tidak layak memangku jabatan kepemimpinan tertinggi dan tidak
pula mengatur sebuah negara. Oleh karena itu Rasulullah shallallahu 'alaihi wa
sallam, para khalifahnya dan para ulama yang datang sepeninggal beliau tidak
pernah mengangkat seorang wanita sebagai hakim atau mengatur sebuah wilayah di
suatu negara. Menurut berita yang sampai kepada kami, kalaulah boleh, maka
tidak akan kosong seluruh masa dari kepemimpinan wanita...."
- Abu Muhammad Al-Husain bin Mas'ud Al-Baghawi dalam kitabnya Syarhus Sunnah
6/60 menjelaskan: "(Para ulama) sepakat bahwa seorang wanita tidak boleh
menjadi pemimpin dan hakim (qadli) karena seorang imam (pemimpin) perlu keluar
untuk mengurusi permasalahan jihad (perang) dan urusan kaum muslimin. Sementara
seorang hakim harus keluar untuk memutuskan berbagai permasalahan. Sedangkan
wanita adalah aurat, tidak boleh keluar (dari rumahnya). Wanita sering kali
tidak mampu mengurusi banyak perkara karena kelemahannya dan dikarenakan wanita
itu kurang (agama dan akalnya). Padahal kepemimpinan dan kehakiman itu adalah
jabatan yang sempurna , tidak boleh dijabat kecuali oleh kaum lelaki yang
sempurna...."
- Abu Bakar Ibnul 'Arabi Al-Maliki dalam kitabnya Aridlatul Ahwadzi juz 9/119
setelah membawakan hadits ini menjelaskan: "Hadits ini menunjukkan bahwa
kepemimpinan itu adalah hak lelaki. Tidak ada celah bagi wanita dalam masalah
ini menurut kesepakatan (ulama, pent)."
- Muhammad Abdurra`uf Al-Munawi dalam kitabnya Faidlul Qadir 5/386 setelah
menyebutkan hadits ini menyatakan: "...yang demikian itu karena kekurangan
yang ada pada seorang (wanita) dan kelemahan pandangannya (rasionya), juga
karena seorang pemimpin dituntut untuk keluar mengurusi problem rakyat.
Sedangkan seorang wanit adalah aurat yang tidak mungkin keluar melakukan tugas
seperti itu. Maka ia tidak sah menjadi seorang pemimpin dan hakim."
- At-Thibi menjelaskan: "Hadits ini menyandarkan ketidakbahagiaan,
ketidakjayaan bangsa Persia secara ta`kid (penekanan) dan pada hadits ini ada
isyarat bahwa kejayaan milik bangsa Arab, sehingga berita ini merupakan
mu'jizat."
- Imam As-Shan'ani dalam Subulus Salam Kitabul Qadla 4/229 menjelaskan hadits
ini: "Di dalam hadits ini ada dalil yang menunjukkan tidak bolehnya
seorang wanita memimpin sesuatu pun dari hukum-hukum yang bersifat umum di
kalangan muslimin...." Beliau juga menegaskan: "Hadits ini
mengabarkan tentang ketidakjayaan suatu kaum yang mengangkat wanita sebagai
pemimpin. Sedangkan kita dilarang melakukan sesuatu yang mengakibatkan
ketidakjayaan / ketidakbahagiaan pada diri kita dan diperintahkan untuk
berupaya mengerjakan sesuatu yang membawa kepada kebahagiaan dan kejayaan."
- Imam Asy-Syaukani dalam kitabnya Nailul Authar juz 8/272 bab Al-Mu`min
Wilayatil Mar`ati was Shabiyi wa Man La Yuhsinul Qadla menerangkan: "Pada
hadits ini terdapat dalil yang menunjukkan bahwa seorang wanita bukanlah orang
yang pantas dan berhak menjadi pemimpin. Bahkan tidak halal bagi suatu kaum
mengangkat seorang wanita sebagai pemimpin. Sedangkan menjauhkan diri dari
perkara yang membawa kepada ketidakbahagiaan adalah wajib."
- Dalam kitabnya yang lain yaitu As-Sailul Jarar 4/505 ketika berbicara tentang
syarat seorang pemimpin harus pria, beliau menjabarkan: "...Alasannya
adalah karena kaum wanita adalah orang yang kurang akal[2] dan agamanya
sebagaimana yang disabdakan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Orang
yang seperti itu keadaannya, tentu saja sangat tidak pantas mengurusi problem
umat. Oleh sebab itulah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda dalam
sebuah hadits yang shahih:
لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ وَلَّوْا أَمْرَهُمْ اِمْرَأَةً
"Tidak akan jaya suatu kaum yang dipimpin oleh seorang wanita."
- Al-'Allamah Muhammad Amin Asy-Syinqithi dalam Adlwaul Bayan 1/52 menjelaskan:
"Termasuk syarat kepala negara adalah dia seorang pria. Tidak ada ikhtilaf
dalam masalah ini di kalangan para ulama. Dalilnya adalah hadits yang terdapat
dalam Shahih Bukhari dan yang lainnya dari hadits Abi Bakrah bahwa Nabi
shallallahu 'alaihi wa sallam tatkala sampai pada beliau kabar bahwa penduduk
Persia menobatkan putri Kisra sebagai ratu (kepala negara), beliau bersabda:
(hadits di atas)."
- Shafiyur Rahman Al-Mubarak Furi dalam Ithaful Kiram hal. 417-418 menerangkan:
"Hadits ini umum mencakup semua kepemimpinan dalam suatu pemerintahan
sampai jabatan terkecil sekalipun, walaupun hadits ini disabdakan oleh
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam tatkala sampai berita bahwa penduduk
Persia mengangkat putri Kisra sebagai pemimpin (kepala negara) mereka..."
- Abdullah bin Abdurrahman Al-Bassam dalam Taudlihul Ahkam 6/142 juga
menjelaskan: "Hadits ini secara tegas menyatakan tidak sahnya kepemimpinan
seorang wanita, dan suatu masyarakat atau bangsa yang mengangkat seorang wanita
sebagai pemimpin tidak akan bahagia, baik dalam urusan duniawi maupun urusan
ukhrawi. Ini adalah pendapat jumhur ulama, di antaranya adalah tiga imam
madzhab di kalangan Ahlus Sunnah wal Jamaah yaitu Malik, Asy-Syafi'i dan
Ahmad."
- Sementara Abu Hanifah berpendapat boleh mengangkat wanita sebagai pemimpin
dalam masalah hukum kecuali hukum-hukum had. Namun pendapat ini bertentangan
dengan nash dalil dan fitrah Rabbani.... "Sekalipun dia (wanita) memiliki
kekuatan dan mendapat dukungan masyarakat, tetap mereka tidak akan bahagia /
jaya dalam urusan duniawi maupun urusan agama. Wallahul musta'an." (Lihat
kembali ucapan ulama tentang Abu Hanifah pada edisi 29 majalah Salafy)
Demikian penjelasan para ulama jaman dahulu maupun sekarang tentang hadits ini
atau permasalahan yang dibahas dalam hadits ini. Semuanya menjelaskan tidak
bolehnya wanita menjadi pemimpin. Hujjah mereka kita susun sebagai berikut:
1. Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala yang tersebut dalam surat An-Nisa 34:
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى
بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ
"Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita. Oleh karena Allah
telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita).
Dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta
mereka...." (An-Nisa: 34)
Silakan lihat pembahasan ini dalam rubrik Tafsir edisi kali ini.
2. Sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam yang sedang kita bahas kali
ini berikut penjelasan ulama tentangnya.
3. Ijma', Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, para khalifah beliau dan
generasi setelah mereka sampai sekarang ini tidak pernah mengangkat wanita
sebagai pemimpin. Ini menunjukkan adanya kesepakatan di kalangan mereka
(ijma'). Ijma' (kesepakatan ulama) merupakan argumentasi yang signifikan karena
Allah tidak akan mengumpulkan umat ini di atas kesalahan.
Kalau ada yang mengatakan bahwa kaum wanita pada waktu itu tidak ada yang
menjabat sebagai pemimpin karena kondisi sosial dan kedudukan wanita yang
sangat terpuruk seperti pernyataan Dr. Alwi Shihab dalam tulisan beliau yang
berjudul "Memperhatikan Prinsip daripada Label" yang dimuat di Jawa
Pos Selasa 17 November 1998, maka kita dapatkan:
1. Kita semua sepakat bahwa syariat yang Allah tetapkan melalui lisan Rasul-Nya
shallallahu 'alaihi wa sallam telah sempurna. Dijelaskan Rasul melalui sunahnya
dan telah dipraktekkan beliau bersama para shahabatnya radliyallahu 'anhum.
Apa yang dikerjakan Rasul dan para shahabatnya adalah yang terbaik dan membawa
kebaikan dunia dan akhirat dan karena itu kita juga ikut mengerjakannya. Apa
yang ditinggalkan Rasul dan para shahabatnya (padahal beliau mampu dan mungkin
mengerjakannya) adalah jelek, tidak membawa kebaikan kebahagiaan dunia dan
akhirat. Dan kita pun harus pula meninggalkannya.
Apabila Rasul memberitahukan tentang suatu perbuatan / amalan yang membawa
kepada kebahagiaan dan kejayaan, maka kita harus meyakini kebenaran berita
tersebut dan kita berupaya melaksanakan amalan tersebut.
Dan apabila Rasul memberitahukan tentang suatu amalan yang membawa kepada
ketidakbahagiaan atau ketidakjayaan, maka kita harus membenarkannya dan kita
diperintah untuk menjauhi / meninggalkan hal tersebut. Allah Subhanahu wa
Ta'ala berfirman:
وَمَا ءَاتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا
"Apa saja yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah dia dan apa yang
dilarangnya bagimu maka tinggalkannya...." (Al-Hasyr: 7)
2. Kita semua meyakini bahwa syariat Allah adalah adil, sesuai dengan fitrah
dan dapat diterapkan di setiap tempat dan masa. Apa yang Allah dan Rasul-Nya
tetapkan, itulah yang terbaik bagi umat ini dan apa yang Allah dan Rasul-Nya
larang, itulah yang akan membawa kesengsaraan dan kebinasaan umat ini.
Ketetapan ini berlaku bagi semua manusia, baik laki-laki maupun wanita, bangsa
Arab maupun non-Arab.
3. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dalam sebuah sabdanya yang masyhur
telah memberitakan:
خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِي ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُم ثُمَّ الَّذِيْنَ
يَلُوْنَهُم...
"Sebaik-baik manusia adalah generasiku (shahabat) kemudian yang setelah
mereka (tabi'in), kemudian yang setelah mereka (tabi'ut tabi'in)...."
(Muttafaqun 'alaihi, lihat Al-Misykah no. 3767)
Kondisi sosial suatu masyarakat tidak bisa dinilai dengan materi semata, karena
kita melihat kenyataan adanya suatu negeri yang baik dari segi materi namun
rusak dari segi moral dan keagamaannya sehingga tindak kriminal dan berbagai problem
masyarakat menjamur di negeri tersebut. Kebahagiaan dan kejayaan negeri itupun
bersifat semu.
Maka sebaik-baik kondisi sosial suatu masyarakat yang pernah ada di dunia ini
adalah generasi Nabi beserta para shahabatnya, tabi'in dan tabi'ut tabi'in.
4. Sejarah membuktikan, pada jaman jahiliyah sebelum diutusnya Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam, derajat, harkat, dan martabat kaum wanita
diinjak-injak. Mereka dihinakan dan dilecehkan. Hak-hak mereka tidak dipenuhi.
Bayi wanita dikubur hidup-hidup dan mereka hanya dijadikan sebagai pemuas hawa
nafsu birahi kaum lelaki. Namun setelah diutusnya Rasulullah shallallahu
'alaihi wa sallam, dengan syariatnya Allah Subhanahu wa Ta'ala, mengangkat
derajat kaum wanita, hak-hak mereka dipenuhi, kehormatan mereka dilindungi dan
Allah Ta'ala memberikan kepada mereka suatu jabatan mulia sesuai dengan fitrah
kewanitaan mereka dan yang membesarkan mereka hingga menjadi generasi Rabbani.
Apabila kaum wanita diberi suatu jabatan yang tidak sesuai dengan fitrah kewanitaannya,
bahkan jabatan itu akan membuat mereka kembali kepada jaman jahiliyah, maka
berarti hak-hak mereka terinjak-injak, tak terpenuhi dan menentang misi Islam
itu sendiri.
Maka pernyataan yang dilontarkan oleh Dr. Alwi Shihab di atas justru mewakili
misi orang-orang kafir yang berupaya merusak kehidupan dunia ini dengan
mengembalikan kaum wanita seperti jaman jahiliyah dahulu, dipoles dengan nama
emansipasi wanita, kebebasan berpikir (tidak jumud) dan berbagai label lainnya.
Pernyataan di atas justru menunjukkan kejumudan cara berpikir Dr. Alwi Shihab
yang notabene meniru pemikiran picik rasionalis sesat baik dahulu maupun
sekarang. Wallahul musta'an.
4. Kaum wanita adalah aurat, mereka diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya
untuk tinggal di rumah demi menjaga kehormatan dan haknya. Mereka tidak boleh
keluar rumah ke tempat perkumpulan lelaki kecuali karena terpaksa dan harus
dengan mahram. Allah Ta'ala memerintahkan dengan firman-Nya:
وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلاَ تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الأُولَى
"Dan hendaklah kaum (istri-istri Nabi) tetap di rumahmu dan janganlah kamu
berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliyah yang dahulu...."
(Al-Ahzab: 33)
5. Kaum wanita adalah makhluk yang kurang dari segi akal dan agamanya, sebagaimana
sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam:
مَا رَأَيْتُ مِنْ نَاقِصَاتِ عَقْلٍ وَدِيْنٍ أَذْهَبَ لِلُبِّ الرِّجَالِ
الْحَازِمِ مِنْ إِحْدَاكُنَّ، قُلْنَ: وَمَا نُقْصَانُ دِيْنِنَا وَعَقْلِنَا يَا
رَسُولُ اللهِ؟ قَالَ: أَلَيْسَ شَهَادَةُ الْمَرْأَةِ مِثْلُ نِصْفَ شَهَادَةِ
الرَّجُلِ؟ قُلْنَ: بَلَى، قَالَ: فَذَلِكَ نُقْصَانُ عَقْلِهَا، أَلَيْسَ إِذَا
حَاضَتْ لَمْ تُصَلِّ وَلَمْ تَصُم؟ قُلْنَ: بَلَى، قَالَ: فَذَلِكَ مِنْ
نُقْصَانِ دِيْنِهَا ﴿رواه البخاري ٣٠٤ ومسلم ٧٩﴾
"Aku tidak pernah melihat orang yang kurang akal dan agamanya yang mampu
meluluhkan hati seorang laki-laki yang tegas kecuali kalian (kaum
wanita)." Mereka (para shahabat wanita) bertanya: "Apa yang
menyebabkan kurangnya agama dan akal kami, wahai Rasulullah?" Beliau
menjawab: "Bukankah persaksian wanita seperti setengah persaksian seorang
lelaki?" Mereka menjawab: "Ya." Beliau menjawab: "Maka
itulah yang dimaksud kurang akalnya. Bukankah apabila wanita haid, ia tidak
shalat dan tidak puasa?" Mereka menjawab: "Ya." Beliau bersabda:
"Itulah yang dimaksud kurang agamanya." (HSR. Bukhari 364 dan Muslim
79)
6. Syarat utama yang menentukan posisi jabatan kepala negara adalah gender dan
para ulama telah sepakat dalam hal ini (yaitu laki-laki), bukan semata-mata
kemampuannya, kesediannya ataupun dukungan masyarakatnya.
Syubhat dan Bantahannya
Muhammad Al-Ghazali dalam kitabnya As-Sunnah An-Nabawiyyah baina Ahlil Fiqhi
wal Hadits hal. 48-50 (telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan
judul Studi Kritis terhadap Hadits menyatakan bahwa hadits di atas tidak
dimaksudkan sebagai prinsip Islam yang mewajibkan pria menjadi kepala negara
karena akan bertentangan dengan kandungan Al-Qur`an di surat An-Naml yang
memuji kebijakan dan kearifan kerajaan Saba` (Ratu Sheba yang bernama Balqis).
Dengan demikian, hadits di atas tidak dapat dijadikan sumber hukum. Pernyataan
ini juga dinukil dan dilontarkan oleh Dr. Alwi Shihab dalam tulisannya yang
dimuat di Jawa Pos Selasa 17 November 1998.
Jawaban dari syubhat di atas sebagai berikut:
1. Kita mempunyai prinsip bahwa Kalamullah (Al-Qur`an) selamanya tidak
bertentangan satu sama lain. Demikian pula kita meyakini bahwa sabda Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam yang shahih, tidak akan bertentangan dengan
Kalamullah, bahkan sebagai penjelas dan penerangnya. Allah Ta'ala berfirman:
أَفَلاَ يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْءَانَ وَلَوْ كَانَ مِنْ عِنْدِ غَيْرِ اللَّهِ
لَوَجَدُوا فِيهِ اخْتِلاَفًا كَثِيرًا
"Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al-Qur`an? Kalau kiranya Al-Qur`an
itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di
dalamnya." (An-Nisa: 82)
Bila kita mendapati adanya pertentangan dalam Al-Qur`an, maka kita harus
membawa masing-masing ayat kepada makna yang sesuai dengannya (dikompromikan)
dan kita tidak boleh membuang atau menolak sebagian ayat dan menerima sebagian
yang lain, karena perbuatan tersebut adalah akhlak musyrikin. Allah berfirman:
الَّذِينَ جَعَلُوا الْقُرْءَانَ عِضِينَ
"(Yaitu) orang-orang yang telah menjadikan Al-Qur`an itu terbagi-bagi
(yakni menerima sebagian dan menolak sebagian yang lain)." (Al-Hijr: 91)
2. Imam Al-Alusi dalam kitabnya Ruhul Ma'ani 10/185 menjelaskan firman Allah
dalam surat An-Naml 23:
إِنِّي وَجَدْتُ امْرَأَةً تَمْلِكُهُمْ وَأُوتِيَتْ مِنْ كُلِّ شَيْءٍ وَلَهَا
عَرْشٌ عَظِيمٌ
"Sesungguhnya aku menjumpai seorang wanita yang memerintahkan mereka, dan
dia dianugerahi segala sesuatu serta mempunyai singgasana yang besar."
Beliau menyatakan: "Ayat ini tidak menunjukkan kebolehan seorang wanita
sebagai ratu (pemimpin negara) dan tidak diperbolehkan berhujjah dengan
perbuatan kaum kafir dalam permasalahan (kepemimpinan) ini. Dalam Shahih
Bukhari dari Ibnu Abbas[3] bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam tatkala
menerima berita bahwa penduduk Persia mengangkat putri Kisra sebagai ratu,
beliau bersabda: (hadits tersebut di atas)."
Imam Al-Baghawi dalam Tafsirnya Ma'alimut Tanzil 3/414 juga menjelaskan ayat di
atas dengan membawakan riwayat hadits tersebut.
Bahkan kalaupun terjadi pada masa itu orang-orang dijajah/diperintah seorang
wanita maka itu adalah syariat orang sebelum kita contoh seperti ini misalnya;
sujudnya keluarga Yusuf kepada nabi Yusuf 'alaihissalam. Dengan penjelasan para
ulama yang telah tersebut di atas dan terbantahnya berbagai syubhat sekitar
masalah ini, maka jelas bagi kita bahwa kaum wanita tidak boleh menjadi kepala
negara. Inilah prinsip Islam yang harus diyakini para pemeluknya.
Dan kita menasehatkan kepada kaum muslimin dan muslimat agar mereka mengetahui
(mengilmui) prinsip agama mereka supaya dengan mantap memeluk dan meyakininya
dan jangan sampai mereka terombang-ambing oleh "teriakan" orang-orang
yang berupaya mati-matian membikin makar untuk menghancurkan kehidupan bangsa
dan negara mereka, sekalipun dipoles dengan label "reformasi" dan
"perjuangan demokrasi".
Mudah-mudahan Allah Ta'ala menyelamatkan bangsa dan masyarakat kita dari
kehancuran dan kebinasaan dan mudah-mudahan Allah Ta'ala mengokohkan hati, iman
dan takwa kita supaya kita tetap di atas al-haq (kebenaran) di dalam mensikapi
kondisi yang terjadi di negara kita.
Ya Allah, perbaikilah keadaan pemerintah kami. Berilah taufiq dan hidayah
kepada mereka. Anugerahkan kepada mereka kesehatan dan keadilan dalam memimpin
kami dan jadikanlah teman akrab mereka orang-orang yang shalih yang Engkau ridlai.
Amin ya mujibas sailin.
DAFTAR REFERENSI
1. Adlwaul Bayan, Muhammad Amin Asy-Syanqithi, cet. Darul Kutub Al-Ilmiyyah,
takhrij Muhammad Abdul Aziz al-Khalidi.
2. Al-Imamatul 'Udhma, Abdullah bin Umar Ad-Dumaiji, cet. Dar Thayyibah.
3. Al-Mughni, Ibnu Qudamah Al-Maqdisi, cet. Darul Fikr.
4. Al-Mustadrak, Al-Hakim An-Naisaburi, cet. Darul Kutub Al-Ilmiyah, Dirasah wa
tahqiq Musthafa Abdul Qadir 'Atha.
5. Aridlatul Ahwadzi, Abu Bakar Ibnul Arabi Al-Maliki, cet. Dar Ihyaut Turats.
6. Al-Qur`anul Karim.
7. As-Sailul Jarar, Imam Asy-Syaukani, cet. Darul Kutub Al-Ilmiyyah, tahqiq
Mahmud Ibrahim Zayid.
8. As-Sunanul Kubra, Imam Al-Baihaqi, cet. Darul Kutub Ilmiyyah, tahqiq
Muhammad Abdul Qadir 'Atha.
9. Fathul Bari, Al-Hafidh Ibnu Hajar Al-Asqalani, cet. Dar Ad-Dayyan At-Turats.
10. Faidlul Qadir, Al-'Allamah Muhammad Abdur Rauf Al-Munawi, cet. Darul Kutub
Al-Ilmiyyah, tashshih Ahmad Abdus Salam.
11. Irwaul Ghalil, Muhammad Nashiruddin Al-Albani, cet. Al-Maktab Al-Islami.
12. Irsyadus Sari, Al-Qasthalani, cet. Darul Kutub Al-Ilmiyyah, tashshih
Muhammad Abdul Aziz Al-Khalidi.
13. Ithaful Kiram, Shafiyur Rahman Al-Mubarak Furi, cet. Darul Faiha dan Dar
As-Salam.
14. Nailul Authar, Asy-Syaukani, cet. Darul Kutub Al-Ilmiyyah, tashshih
Muhammad Salim Hasyim.
15. Ma'alimut Tanzil, Al-Baghawi, cet. Darul Ma'rifah, tahqiq Khalid
Abdurrahman Al-'Ukk dan Marwan Suwar.
16. Misykatul Mashabih, Al-Khatib At-Tibrizi, cet. Al-Maktab Al-Islami, tahqiq
Muhammad Nashiruddin Al-Albani.
17. Ruhul Ma'ani, Mahmud Al-Alusi, cet. Darul Kutub Al-Ilmiyyah, tashshih Ali
Abdul Bari Athiyah.
18. Shahih Jamius Shaghir, Al-Albani, cet. Maktab Al-Islami.
19. Shahih Sunan At-Tirmidzi, Al-Albani, cet. Maktab Al-Islami.
20. Shahih Sunan An-Nasa`i, Al-Albani, cet. Maktab Al-Islami.
21. Subulus Salam, Ash-Shan'ani, cet. Darul Fikr, tahqiq Muhammad Abdul Qadir
'Atha`.
22. Syarhus Sunnah, Al-Baghawi, cet. Maktabah At-Tijariyah, tahqiq Said
Al-Lahham.
23. Taisirul Karimir Rahman, Nashir As-Sa'di, cet. Darul Fikr, muraja'ah 'Alaus
Said.
24. Taudlihul Ahkam, Abdullah Al-Bassam.
------------------------------------------------------
[1] Orang yang suka menyamarkan perawi hadits, tidak diterima haditsnya kecuali
dia mengatakan dengan jelas bahwa dia mendengar sendiri secara langsung dari
perawinya, misalnya dengan lafadh: "Berkata kepadaku", "aku
mendengar darinya", atau "dia mengabarkan kepadaku". Adapun jika
dia mengatakan dengan tidak jelas seperti: "dari fulan", belum tentu
ia mendengar darinya secara langsung. Bisa jadi melalui perawi yang ia
sembunyikan karena dia seorang mudallis. Ed.
[2] Lemah dalam menganalisa suatu persoalan.
[3] Yang terdapat dalam Shahih Bukhari bukan dari Ibnu Abbas radliyallahu
'anhu, namun dari Abi Bakrah radliyallahu 'anhu. Mudah-mudahan Allah mengampuni
kesalahan beliau (Al-Alusi) rahimahullah. (pent).
(Sumber: Majalah Salafy rubrik Hadits edisi XXX/1420 H/1999 M, judul asli
Menolak Kepemimpinan Wanita. Penulis ustadz Muhammad Afifuddin. Dikutip dari
http://salafy.iwebland.com/baca.php?id=24).
Cetak
M. Afifuddin
قَالَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ وَلَّوْا
أَمْرَهُمْ اِمْرَأَةً"
"Tidak akan berbahagia / berjaya suatu kaum yang menyerahkan urusan mereka
kepada wanita (mengangkat wanita sebagai pemimpin)."
DERAJAT HADITS
Hadits ini dikeluarkan oleh:
- Imam Al-Bukhari dalam kitab Shahihnya di dua tempat. Kitabul Maghazi bab
Kitab An-Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam ila Kisra wa Qaisar no. 4425 dan
Kitabul Fitan no. 7099.
- Imam Abu Isa At-Tirmidzi dalam Sunannya, Kitabul Fitan no. 2262 dan beliau
menyatakan: "Hadits ini hasan shahih."
- Imam An-Nasa`i dalam Sunannya, Kitab Adabil Qudlat bab An-Nahyu 'an
Isti'malin Nisa fi Hukmi no. 2/305 no. 5403.
- Al-Hakim dalam Mustadraknya, Kitabul Fitan wal Malahim 4/570 no. 8599 dan
beliau menyatakan: "Hadits ini sanadnya shahih dan keduanya (Bukhari dan
Muslim) tidak mengeluarkannya."
- Imam Al-Baihaqi dalam As-Sunan Al-Kubra, bab La Yuwalli Al-Wali Imra`atan
wala Fasiqan wala Jahilan Amral Qadla, Kitab Adabul Qadli, 10/201 no. 20362.
- Imam Al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah, Kitabul Imarah wal Qadla, bab
Karahiyatu Tauliyatin Nisa 6/60 no. 2486. Kata beliau: "Hadits
shahih."
- Al-Khatib At-Tibrizi dalam Misykatul Mashabih, Kitabul Umarah wal Qadla pasal
pertama 2/1091 no. 3693.
- Al-Imam As-Suyuthi dalam Jami'us Shaghir, lihat Faidlul Qadir karya Al-Munawi
5/386 no. 7393 dan beliau (Suyuthi) memberi kode: "Shahih."
Dari berbagai jalan dari Al-Hasan dari Abi Bakrah radliyallahu 'anhu, beliau
menceritakan:
لَقَدْ نَفَعَنِيَ اللهُ بِكَلِمَةٍ سَمِعْتُهَا مِنْ رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه
وسلم أَيَّامَ الْجَمَلِ بَعْدَ مَا كِدْتُ أَنْ أَلْحَقَ بِأَصْحَابِ الجَمَلِ
فَأُقَاتِلَ مَعَهُمْ. قَالَ: لَمَّا بَلَغَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم
أَنَّ أَهْلَ فَارِسٍ قَدْ مَلَّكُوا عَلَيْهِمْ بِنْتَ كِسْرَى. قَالَ: (فَذَكَرَ
الْحَدِيْثَ).
"Sungguh Allah telah memberi aku manfaat dengan satu kalimat yang aku
dengar dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pada hari perang Jamal,
setelah hampir saja aku bergabung dengan Ashabul Jamal (Aisyah dan orang-orang
yang bersamanya, pent) dan berperang bersama mereka." Beliau (Abu Bakrah)
berkata: "Tatkala sampai (khabar) kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa
sallam bahwa penduduk Persia menobatkan putri Kisra sebagai ratu mereka, beliau
bersabda: (lalu beliau menyebutkan hadits di atas)."
Asy-Syaikh Al-Muhaddits Muhammad Nashiruddin Al-Albani berkata dalam kitabnya
(Irwaul Ghalil 8/109 no. 2456): "Al-Hasan tersebut adalah Al-Bashri. Ia
mudallis (orang yang suka menyamarkan perawi sebuah hadits, pent) dan dia
meriwayatkan hadits ini secara mu'an'an (dengan menggunakan lafadh 'an yang
artinya "dari", pent)[1] pada semua jalan yang tersebut (dalam
referensi) di atas. Namun hadits ini memiliki jalan lain dari Abi Bakrah yang
dikeluarkan oleh Imam Ahmad 5/38 & 47 melalui jalan 'Uyainah: Telah
menceritakan kepadaku dari ayahku dari Abi Bakrah dengan lafadh:
لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ أَسْنَدُوْا أَمْرَهُمْ اِمْرَأَةً
"Tidak akan bahagia / jaya suatu kaum yang menyandarkan urusan mereka
kepada seorang wanita."
Saya (Al-Albani) berkata: "Sanadnya jayyid (bagus). 'Uyainah adalah putra
Abdurrahman bin Jausyan. Dia seorang tsiqah (terpercaya), demikian pula
ayahnya."
Oleh karena itulah beliau menshahihkan hadits ini dalam Al-Irwa` 8/109 no. 2456
dan 8/235 no. 2613, Shahihul Jami' no. 5225, Shahih Sunan At-Tirmidzi no. 1847
dan Shahih Sunan An-Nasa`i no. 4981.
Sehingga secara ilmu hadits, riwayat hadits ini derajatnya shahih dan dapat
dijadikan sebagai dalil atau hujjah.
Adapun pernyataan Prof Dr. Nurcholis Majid dalam makalahnya yang dimuat di
Harian Jawa Pos terbitan Minggu Pahing 8 November 1998 halaman 1: "Hukum
agama (Islam) tidak secara tegas mengatur boleh tidaknya wanita menjadi kepala
negara atau kepala pemerintahan...."
Dia juga menyatakan: "Memang ada hadits-hadits Rasulullah shallallahu
'alaihi wa sallam yang menganjurkan jabatan kepala negara atau kepala
pemerintahan semestinya dijabat oleh pria, meski begitu hadits-hadits tersebut
lemah." Dan insya Allah yang dia maksud adalah hadits yang sedang kita
bahas, maka kita katakan:
Lihatlah pernyataan yang dilontarkan oleh seseorang yang disebut-sebut sebagai
tokoh "cendekiawan muslim". Ucapan yang dilontarkan di saat
musuh-musuh rakyat sedang berupaya menghancurkan bangsa Indonesia yang
mayoritas penduduknya beragama Islam, dengan mendukung seorang wanita sebagai
kepala negara. Pernyataan di atas tidak keluar dari dua kemungkinan:
1. Pernyataan tersebut dilontarkan oleh seorang yang jahil (bodoh) yang sama
sekali tidak mengerti kaidah ilmu hadits dalam masalah tashhih (menshahihkan)
dan tadl'if (melemahkan) sehingga orang tersebut perlu diajari sampai dia
mengerti. Dan sungguh naif orang seperti ini disebut cendekiawan / tokoh
muslim, apalagi ulama.
2. Pernyataan tersebut dilontarkan oleh shahibul hawa (pengekor hawa nafsu)
yang mempunyai misi dan tujuan untuk membikin makar terhadap kaum muslimin.
Maka kita harus memperingatkan umat dari bahaya pemikirannya.
Kalaulah kita mencermati sepak terjangnya dalam dunia keislaman, dengan
pemikiran dan pernyataan-pernyataannya yang menyimpang, maka kedua kemungkinan
di atas ada pada dia, sekalipun yang kedua lebih menonjol. Wallahu musta'an.
Sangatlah disayangkan pada jaman modern seperti sekarang ini atau yang biasa
disebut era globalisasi, masih banyak kaum muslimin yang tidak menjadikan
hadits tersebut di atas sebaga dasar, dalil / hujjah dengan alasan kuno yang
sudah lama dilontarkan rasionalis sesat yang berkiblat kepada orang kafir dari
Yunani kuno, yaitu alasan bahwa hadits tersebut adalah ahad (diriwayatkan oleh
satu orang), seperti pernyataan seorang Wahyuni Widyaningsih, manajer kajian
pada 'Elsad, Surabaya dalam tulisannya yang berjudul "Presiden Perempuan
di mata Islam", dimuat di Jawa Pos senin legi 2 November 1998 di halaman
4. Atau orang-orang yang sepaham dengan dia.
Pemikiran tersebut menyimpang karena pemkiran seperti ini pada kenyataannya
menyalahi prinsip Islam itu sendiri. Al-Qur`an dan Al-Hadits dan kesepakatan
para ulama Islam yang diakui keilmuannya telah menunjukkan bahwa semua hadits
shahih yang datang dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam baik itu ahad
ataupun mutawatir wajib diterima, baik yang berbicara masalah aqidah maupun
hukum-hukum syariat, dan hadits-hadits tersebut dapat dijadikan dasar hukum.
Apabila ada seseorang yang menyelisihi kesepakatan ini, maka dia telah
mengadakan perkara baru (membuat bid'ah, ed) dalam masalah agama. Lihat
penjelasan Imam Asy-Syafi'i tentang masalah ini dalam kitabnya Ar-Risalah
halaman 401 – 453 dan Al-Muhaddits Muhammad Nashiruddin Al-Albani dalam
kitabnya Al-Hadits Hujjatun bi Nafsihi fil Aqa'id wal Ahkam halaman 51-72.
Ada pula beberapa tokoh yang menyatakan bahwa hadits di atas tidak dapat
dijadikan dasar dengan alasan latar belakang penuturan hadits ini (asbabul
wurud, ed). Hadits ini diucapkan oleh Rasulullah pada saat mendengar kabar
bahwa penduduk Persia menobatkan putri Kisra yaitu Buran sebagai kepala negara
mereka. Melihat latar belakang yang demikian, tampak hadits di atas sangat
kasuistik dan tradisional sekali (menunjukkan pada konteks tertentu). Demikian
dinyatakan oleh Dr. Said Aqil Siradj, Katib Am Syuriah PB NU dalam tulisannya
yang berjudul "Pro dan Kontra Presiden Wanita" yang dimuat di Jawa
Pos terbitan Sabtu 21 November 1998 dan pernyataan Dr. Alwi Shihab, seorang
staf pengajar lulusan Universitas Harvard USA, dan juga ketua PKB dalam
tulisannya yang berjudul "Memperhatikan Prinsip daripada Label".
Dimuat di Jawa Pos terbitan Selasa 17 November 1998.
Kita katakan: Sebab penuturan hadits di atas memang seperti yang telah
dijelaskan. Namun kalau kita lebih mencermati riwayat-riwayat hadits ini dalam
referensi yang telah kita cantumkan di awal, maka kita akan mendapatkan
kejelasan bahwa hadits ini tidak kasuistik atau menunjukkan konteks tertentu,
dalam hal ini adalah penduduk Persia. Buktinya, sabda Rasulullah shallallahu
'alaihi wa sallam di atas dijadikan dasar oleh Abu Bakrah radliyallahu 'anhu
untuk tidak bergabung dengan pasukan yang dipimpin oleh Aisyah radliyallahu
'anha dalam perang Jamal. Bahkan hadits ini dijadikan pedoman untuk menilai
kedua belah pihak (pasukan Ali bin Abi Thalib dan pasukan Aisyah).
Al-Hafidh Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam kitabnya Fathul Bari 13/60 setelah
membawakan hadits di atas menyatakan: "Al-Ismaili menambahkan di akhir hadits
dari jalan An-Nadlr bin Syumail dari Auf bahwa Abu Bakrah menyatakan:
فَعَرَفْتُ أَنَّ أَصْحَابَ الْجَمَلِ لَنْ يُفْلِحُوا
"Maka saya tahu bahwa ashabul jamal (Aisyah dan tentaranya) tidak akan
jaya / menang." (Lihat Irsyadul Sari 5/49 oleh Al-Qasythalani)
Pernyataan beliau radliyallahu 'anhu bukan karena ada tendensi politik seperti
yang dikatakan saudari Wahyuni Widyaningsih, namun murni semata-mata
menyampaikan sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Kita katakan
demikian karena beliau salah satu shahabat Rasul, sedangkan para ulama telah
sepakat bahwa semua shahabat adalah 'udul (adil). Ini juga menunjukkan
pemahaman beliau terhadap hadits tersebut.
Pernyataan beliau juga tidak berarti menghina atau meremehkan kemampuan Aisyah
radliyallahu 'anha. Ibnu Bathal menukilkan dari Al-Muhallab, beliau
menjelaskan: "Dhahir hadits Abu Bakrah terkesan meremehkan pendapat Aisyah
dalam perbuatan yang ia lakukan, padahal tidaklah demikian. Karena menurut
pendapat yang masyhur, Abu Bakrah pada dasarnya sependapat dengan Aisyah, yaitu
ingin mengadakan perdamaian di kalangan massa dan tidak bermaksud untuk
berperang. Namun tatkala api perang telah menyala, orang-orang yang bersama
Aisyah mau tidak mau harus ikut berperang. Abu Bakrah sendiri tidak ruju' dari
pendapat semula. Hanya saja beliau mendapatkan firasat bahwa mereka akan kalah
karena mereka dipimpin oleh Aisyah tatkala beliau ingat sabda Rasul tentang
bangsa Persia..."
Pernyataan beliau ini justru menunjukkan bahwa faktor penentu utama bagi posisi
kepala negara adalah gender, bukan semata-mata integritas, kemampuan dan
dukungan masyarakat. Karena kita semua sepakat bahwa Aisyah memiliki kemampuan
dan pada waktu itu mendapat dukungan dari sebagian shahabat Rasul. Wallahu
a'lam.
Dari sinilah kita kembali kepada kaidah masyhur yang telah disepakati oleh para
ulama:
الْعِبْرَةُ بِعُمُوْمِ اللَّفْظِ لاَ بِخُصُوْصِ السَّبَبِ
"Yang menjadi patokan pengambilan suatu hukum adalah pengertian umum dari
suatu kata, dan bukan pada konteks atau sebabnya yang spesifik."
Juga ada kaidah ushul fiqh:
إِذَا وَقَعَتِ النَّكِرَةُ فِي سِيَاقِ النَّفْيِ أَوْ النَّهْيِ أَوِ الشَّرْطِ
أَوِ اْلإِسْتِفْهَامِ دَلَّتْ عَلَى الْعُمُوْمِ
"Apabila isim nakirah terletak setelah teks nafi (peniadaan) atau nahi
(larangan) atau syarat atau istifham (pertanyaan), maka ia menunjukkan makna
umum." (Lihat Al-Qawaidul Lisan li Tafsiril Qur`an [masuk bagian Tafsir
As-Sa`di] 5/472 dan Al-Ushul min 'Ilmil Ushul hal. 23 oleh Syaikh Ibnu
Utsaimin)
Lafadh hadits di atas sesuai dengan kaidah tersebut dimana kata qaumun (قوم)
sebagai isim nakirah jatuh setelah teks nafi yaitu lan yuflih (لن يفلح), maka
hadits tersebut di atas menunjukkan pengertian umum.
PENJELASAN HADITS
Hadits di atas dijadikan dasar para ulama untuk melarang seorang wanita
memangku jabatan sebagai kepala negara. Berikut ini akan saya nukilkan
keterangan ulama berbagai madzhab tentang hadits di atas:
- Ibnu Hazm Adh-Dhahiri dalam kitabnya Al-Fashl 4/110 menyatakan: "Seluruh
golongan Ahli kiblat (muslimin), tidak ada seorang pun dari mereka yang
memperbolehkan kepemimpinan seorang wanita." (Lihat Al-Imamatul 'Udhma
hal. 246).
- Ibnu Qudamah Al-Maqdisi dalam kitab Al-Mughni 10/92 menjelaskan alasan
seorang wanita tidak boleh menjadi hakum atau pemimpin: "...karena seorang
hakim (qadli) harus menghadiri tempat pengadilan dan perkumpulan lelaki dan
membutuhkan pandangan yang tajam serta kecerdasan akal yang sempurna. Sementara
wanita adalah makhluk yang kurang akalnya, dangkal pandangan pemikirannya,
tidak boleh hadir pada perkumpulan kaum lelaki dan tidak diterima persaksiannya
(dalam pengadilan) sekalipun 1000 (seribu) wanita selama tidak ada laki-laki
(yang ikut jadi saksi). Allah telah mengingatkan sifat pelupa mereka dalam
firman-Nya:
أَنْ تَضِلَّ إِحْدَاهُمَا فَتُذَكِّرَ إِحْدَاهُمَا الأُخْرَى
"...supaya jika seorang lupa maka seorang lagi mengingatkannya...."
(Al-Baqarah: 282)
Seorang wanita tidak layak memangku jabatan kepemimpinan tertinggi dan tidak
pula mengatur sebuah negara. Oleh karena itu Rasulullah shallallahu 'alaihi wa
sallam, para khalifahnya dan para ulama yang datang sepeninggal beliau tidak
pernah mengangkat seorang wanita sebagai hakim atau mengatur sebuah wilayah di
suatu negara. Menurut berita yang sampai kepada kami, kalaulah boleh, maka
tidak akan kosong seluruh masa dari kepemimpinan wanita...."
- Abu Muhammad Al-Husain bin Mas'ud Al-Baghawi dalam kitabnya Syarhus Sunnah
6/60 menjelaskan: "(Para ulama) sepakat bahwa seorang wanita tidak boleh
menjadi pemimpin dan hakim (qadli) karena seorang imam (pemimpin) perlu keluar
untuk mengurusi permasalahan jihad (perang) dan urusan kaum muslimin. Sementara
seorang hakim harus keluar untuk memutuskan berbagai permasalahan. Sedangkan
wanita adalah aurat, tidak boleh keluar (dari rumahnya). Wanita sering kali
tidak mampu mengurusi banyak perkara karena kelemahannya dan dikarenakan wanita
itu kurang (agama dan akalnya). Padahal kepemimpinan dan kehakiman itu adalah
jabatan yang sempurna , tidak boleh dijabat kecuali oleh kaum lelaki yang
sempurna...."
- Abu Bakar Ibnul 'Arabi Al-Maliki dalam kitabnya Aridlatul Ahwadzi juz 9/119
setelah membawakan hadits ini menjelaskan: "Hadits ini menunjukkan bahwa
kepemimpinan itu adalah hak lelaki. Tidak ada celah bagi wanita dalam masalah
ini menurut kesepakatan (ulama, pent)."
- Muhammad Abdurra`uf Al-Munawi dalam kitabnya Faidlul Qadir 5/386 setelah
menyebutkan hadits ini menyatakan: "...yang demikian itu karena kekurangan
yang ada pada seorang (wanita) dan kelemahan pandangannya (rasionya), juga
karena seorang pemimpin dituntut untuk keluar mengurusi problem rakyat.
Sedangkan seorang wanit adalah aurat yang tidak mungkin keluar melakukan tugas
seperti itu. Maka ia tidak sah menjadi seorang pemimpin dan hakim."
- At-Thibi menjelaskan: "Hadits ini menyandarkan ketidakbahagiaan,
ketidakjayaan bangsa Persia secara ta`kid (penekanan) dan pada hadits ini ada
isyarat bahwa kejayaan milik bangsa Arab, sehingga berita ini merupakan
mu'jizat."
- Imam As-Shan'ani dalam Subulus Salam Kitabul Qadla 4/229 menjelaskan hadits
ini: "Di dalam hadits ini ada dalil yang menunjukkan tidak bolehnya
seorang wanita memimpin sesuatu pun dari hukum-hukum yang bersifat umum di
kalangan muslimin...." Beliau juga menegaskan: "Hadits ini
mengabarkan tentang ketidakjayaan suatu kaum yang mengangkat wanita sebagai
pemimpin. Sedangkan kita dilarang melakukan sesuatu yang mengakibatkan
ketidakjayaan / ketidakbahagiaan pada diri kita dan diperintahkan untuk
berupaya mengerjakan sesuatu yang membawa kepada kebahagiaan dan kejayaan."
- Imam Asy-Syaukani dalam kitabnya Nailul Authar juz 8/272 bab Al-Mu`min
Wilayatil Mar`ati was Shabiyi wa Man La Yuhsinul Qadla menerangkan: "Pada
hadits ini terdapat dalil yang menunjukkan bahwa seorang wanita bukanlah orang
yang pantas dan berhak menjadi pemimpin. Bahkan tidak halal bagi suatu kaum
mengangkat seorang wanita sebagai pemimpin. Sedangkan menjauhkan diri dari
perkara yang membawa kepada ketidakbahagiaan adalah wajib."
- Dalam kitabnya yang lain yaitu As-Sailul Jarar 4/505 ketika berbicara tentang
syarat seorang pemimpin harus pria, beliau menjabarkan: "...Alasannya
adalah karena kaum wanita adalah orang yang kurang akal[2] dan agamanya
sebagaimana yang disabdakan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Orang
yang seperti itu keadaannya, tentu saja sangat tidak pantas mengurusi problem
umat. Oleh sebab itulah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda dalam
sebuah hadits yang shahih:
لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ وَلَّوْا أَمْرَهُمْ اِمْرَأَةً
"Tidak akan jaya suatu kaum yang dipimpin oleh seorang wanita."
- Al-'Allamah Muhammad Amin Asy-Syinqithi dalam Adlwaul Bayan 1/52 menjelaskan:
"Termasuk syarat kepala negara adalah dia seorang pria. Tidak ada ikhtilaf
dalam masalah ini di kalangan para ulama. Dalilnya adalah hadits yang terdapat
dalam Shahih Bukhari dan yang lainnya dari hadits Abi Bakrah bahwa Nabi
shallallahu 'alaihi wa sallam tatkala sampai pada beliau kabar bahwa penduduk
Persia menobatkan putri Kisra sebagai ratu (kepala negara), beliau bersabda:
(hadits di atas)."
- Shafiyur Rahman Al-Mubarak Furi dalam Ithaful Kiram hal. 417-418 menerangkan:
"Hadits ini umum mencakup semua kepemimpinan dalam suatu pemerintahan
sampai jabatan terkecil sekalipun, walaupun hadits ini disabdakan oleh
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam tatkala sampai berita bahwa penduduk
Persia mengangkat putri Kisra sebagai pemimpin (kepala negara) mereka..."
- Abdullah bin Abdurrahman Al-Bassam dalam Taudlihul Ahkam 6/142 juga
menjelaskan: "Hadits ini secara tegas menyatakan tidak sahnya kepemimpinan
seorang wanita, dan suatu masyarakat atau bangsa yang mengangkat seorang wanita
sebagai pemimpin tidak akan bahagia, baik dalam urusan duniawi maupun urusan
ukhrawi. Ini adalah pendapat jumhur ulama, di antaranya adalah tiga imam
madzhab di kalangan Ahlus Sunnah wal Jamaah yaitu Malik, Asy-Syafi'i dan
Ahmad."
- Sementara Abu Hanifah berpendapat boleh mengangkat wanita sebagai pemimpin
dalam masalah hukum kecuali hukum-hukum had. Namun pendapat ini bertentangan
dengan nash dalil dan fitrah Rabbani.... "Sekalipun dia (wanita) memiliki
kekuatan dan mendapat dukungan masyarakat, tetap mereka tidak akan bahagia /
jaya dalam urusan duniawi maupun urusan agama. Wallahul musta'an." (Lihat
kembali ucapan ulama tentang Abu Hanifah pada edisi 29 majalah Salafy)
Demikian penjelasan para ulama jaman dahulu maupun sekarang tentang hadits ini
atau permasalahan yang dibahas dalam hadits ini. Semuanya menjelaskan tidak
bolehnya wanita menjadi pemimpin. Hujjah mereka kita susun sebagai berikut:
1. Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala yang tersebut dalam surat An-Nisa 34:
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى
بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ
"Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita. Oleh karena Allah
telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita).
Dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta
mereka...." (An-Nisa: 34)
Silakan lihat pembahasan ini dalam rubrik Tafsir edisi kali ini.
2. Sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam yang sedang kita bahas kali
ini berikut penjelasan ulama tentangnya.
3. Ijma', Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, para khalifah beliau dan
generasi setelah mereka sampai sekarang ini tidak pernah mengangkat wanita
sebagai pemimpin. Ini menunjukkan adanya kesepakatan di kalangan mereka
(ijma'). Ijma' (kesepakatan ulama) merupakan argumentasi yang signifikan karena
Allah tidak akan mengumpulkan umat ini di atas kesalahan.
Kalau ada yang mengatakan bahwa kaum wanita pada waktu itu tidak ada yang
menjabat sebagai pemimpin karena kondisi sosial dan kedudukan wanita yang
sangat terpuruk seperti pernyataan Dr. Alwi Shihab dalam tulisan beliau yang
berjudul "Memperhatikan Prinsip daripada Label" yang dimuat di Jawa
Pos Selasa 17 November 1998, maka kita dapatkan:
1. Kita semua sepakat bahwa syariat yang Allah tetapkan melalui lisan Rasul-Nya
shallallahu 'alaihi wa sallam telah sempurna. Dijelaskan Rasul melalui sunahnya
dan telah dipraktekkan beliau bersama para shahabatnya radliyallahu 'anhum.
Apa yang dikerjakan Rasul dan para shahabatnya adalah yang terbaik dan membawa
kebaikan dunia dan akhirat dan karena itu kita juga ikut mengerjakannya. Apa
yang ditinggalkan Rasul dan para shahabatnya (padahal beliau mampu dan mungkin
mengerjakannya) adalah jelek, tidak membawa kebaikan kebahagiaan dunia dan
akhirat. Dan kita pun harus pula meninggalkannya.
Apabila Rasul memberitahukan tentang suatu perbuatan / amalan yang membawa
kepada kebahagiaan dan kejayaan, maka kita harus meyakini kebenaran berita
tersebut dan kita berupaya melaksanakan amalan tersebut.
Dan apabila Rasul memberitahukan tentang suatu amalan yang membawa kepada
ketidakbahagiaan atau ketidakjayaan, maka kita harus membenarkannya dan kita
diperintah untuk menjauhi / meninggalkan hal tersebut. Allah Subhanahu wa
Ta'ala berfirman:
وَمَا ءَاتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا
"Apa saja yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah dia dan apa yang
dilarangnya bagimu maka tinggalkannya...." (Al-Hasyr: 7)
2. Kita semua meyakini bahwa syariat Allah adalah adil, sesuai dengan fitrah
dan dapat diterapkan di setiap tempat dan masa. Apa yang Allah dan Rasul-Nya
tetapkan, itulah yang terbaik bagi umat ini dan apa yang Allah dan Rasul-Nya
larang, itulah yang akan membawa kesengsaraan dan kebinasaan umat ini.
Ketetapan ini berlaku bagi semua manusia, baik laki-laki maupun wanita, bangsa
Arab maupun non-Arab.
3. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dalam sebuah sabdanya yang masyhur
telah memberitakan:
خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِي ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُم ثُمَّ الَّذِيْنَ
يَلُوْنَهُم...
"Sebaik-baik manusia adalah generasiku (shahabat) kemudian yang setelah
mereka (tabi'in), kemudian yang setelah mereka (tabi'ut tabi'in)...."
(Muttafaqun 'alaihi, lihat Al-Misykah no. 3767)
Kondisi sosial suatu masyarakat tidak bisa dinilai dengan materi semata, karena
kita melihat kenyataan adanya suatu negeri yang baik dari segi materi namun
rusak dari segi moral dan keagamaannya sehingga tindak kriminal dan berbagai problem
masyarakat menjamur di negeri tersebut. Kebahagiaan dan kejayaan negeri itupun
bersifat semu.
Maka sebaik-baik kondisi sosial suatu masyarakat yang pernah ada di dunia ini
adalah generasi Nabi beserta para shahabatnya, tabi'in dan tabi'ut tabi'in.
4. Sejarah membuktikan, pada jaman jahiliyah sebelum diutusnya Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam, derajat, harkat, dan martabat kaum wanita
diinjak-injak. Mereka dihinakan dan dilecehkan. Hak-hak mereka tidak dipenuhi.
Bayi wanita dikubur hidup-hidup dan mereka hanya dijadikan sebagai pemuas hawa
nafsu birahi kaum lelaki. Namun setelah diutusnya Rasulullah shallallahu
'alaihi wa sallam, dengan syariatnya Allah Subhanahu wa Ta'ala, mengangkat
derajat kaum wanita, hak-hak mereka dipenuhi, kehormatan mereka dilindungi dan
Allah Ta'ala memberikan kepada mereka suatu jabatan mulia sesuai dengan fitrah
kewanitaan mereka dan yang membesarkan mereka hingga menjadi generasi Rabbani.
Apabila kaum wanita diberi suatu jabatan yang tidak sesuai dengan fitrah kewanitaannya,
bahkan jabatan itu akan membuat mereka kembali kepada jaman jahiliyah, maka
berarti hak-hak mereka terinjak-injak, tak terpenuhi dan menentang misi Islam
itu sendiri.
Maka pernyataan yang dilontarkan oleh Dr. Alwi Shihab di atas justru mewakili
misi orang-orang kafir yang berupaya merusak kehidupan dunia ini dengan
mengembalikan kaum wanita seperti jaman jahiliyah dahulu, dipoles dengan nama
emansipasi wanita, kebebasan berpikir (tidak jumud) dan berbagai label lainnya.
Pernyataan di atas justru menunjukkan kejumudan cara berpikir Dr. Alwi Shihab
yang notabene meniru pemikiran picik rasionalis sesat baik dahulu maupun
sekarang. Wallahul musta'an.
4. Kaum wanita adalah aurat, mereka diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya
untuk tinggal di rumah demi menjaga kehormatan dan haknya. Mereka tidak boleh
keluar rumah ke tempat perkumpulan lelaki kecuali karena terpaksa dan harus
dengan mahram. Allah Ta'ala memerintahkan dengan firman-Nya:
وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلاَ تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الأُولَى
"Dan hendaklah kaum (istri-istri Nabi) tetap di rumahmu dan janganlah kamu
berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliyah yang dahulu...."
(Al-Ahzab: 33)
5. Kaum wanita adalah makhluk yang kurang dari segi akal dan agamanya, sebagaimana
sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam:
مَا رَأَيْتُ مِنْ نَاقِصَاتِ عَقْلٍ وَدِيْنٍ أَذْهَبَ لِلُبِّ الرِّجَالِ
الْحَازِمِ مِنْ إِحْدَاكُنَّ، قُلْنَ: وَمَا نُقْصَانُ دِيْنِنَا وَعَقْلِنَا يَا
رَسُولُ اللهِ؟ قَالَ: أَلَيْسَ شَهَادَةُ الْمَرْأَةِ مِثْلُ نِصْفَ شَهَادَةِ
الرَّجُلِ؟ قُلْنَ: بَلَى، قَالَ: فَذَلِكَ نُقْصَانُ عَقْلِهَا، أَلَيْسَ إِذَا
حَاضَتْ لَمْ تُصَلِّ وَلَمْ تَصُم؟ قُلْنَ: بَلَى، قَالَ: فَذَلِكَ مِنْ
نُقْصَانِ دِيْنِهَا ﴿رواه البخاري ٣٠٤ ومسلم ٧٩﴾
"Aku tidak pernah melihat orang yang kurang akal dan agamanya yang mampu
meluluhkan hati seorang laki-laki yang tegas kecuali kalian (kaum
wanita)." Mereka (para shahabat wanita) bertanya: "Apa yang
menyebabkan kurangnya agama dan akal kami, wahai Rasulullah?" Beliau
menjawab: "Bukankah persaksian wanita seperti setengah persaksian seorang
lelaki?" Mereka menjawab: "Ya." Beliau menjawab: "Maka
itulah yang dimaksud kurang akalnya. Bukankah apabila wanita haid, ia tidak
shalat dan tidak puasa?" Mereka menjawab: "Ya." Beliau bersabda:
"Itulah yang dimaksud kurang agamanya." (HSR. Bukhari 364 dan Muslim
79)
6. Syarat utama yang menentukan posisi jabatan kepala negara adalah gender dan
para ulama telah sepakat dalam hal ini (yaitu laki-laki), bukan semata-mata
kemampuannya, kesediannya ataupun dukungan masyarakatnya.
Syubhat dan Bantahannya
Muhammad Al-Ghazali dalam kitabnya As-Sunnah An-Nabawiyyah baina Ahlil Fiqhi
wal Hadits hal. 48-50 (telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan
judul Studi Kritis terhadap Hadits menyatakan bahwa hadits di atas tidak
dimaksudkan sebagai prinsip Islam yang mewajibkan pria menjadi kepala negara
karena akan bertentangan dengan kandungan Al-Qur`an di surat An-Naml yang
memuji kebijakan dan kearifan kerajaan Saba` (Ratu Sheba yang bernama Balqis).
Dengan demikian, hadits di atas tidak dapat dijadikan sumber hukum. Pernyataan
ini juga dinukil dan dilontarkan oleh Dr. Alwi Shihab dalam tulisannya yang
dimuat di Jawa Pos Selasa 17 November 1998.
Jawaban dari syubhat di atas sebagai berikut:
1. Kita mempunyai prinsip bahwa Kalamullah (Al-Qur`an) selamanya tidak
bertentangan satu sama lain. Demikian pula kita meyakini bahwa sabda Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam yang shahih, tidak akan bertentangan dengan
Kalamullah, bahkan sebagai penjelas dan penerangnya. Allah Ta'ala berfirman:
أَفَلاَ يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْءَانَ وَلَوْ كَانَ مِنْ عِنْدِ غَيْرِ اللَّهِ
لَوَجَدُوا فِيهِ اخْتِلاَفًا كَثِيرًا
"Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al-Qur`an? Kalau kiranya Al-Qur`an
itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di
dalamnya." (An-Nisa: 82)
Bila kita mendapati adanya pertentangan dalam Al-Qur`an, maka kita harus
membawa masing-masing ayat kepada makna yang sesuai dengannya (dikompromikan)
dan kita tidak boleh membuang atau menolak sebagian ayat dan menerima sebagian
yang lain, karena perbuatan tersebut adalah akhlak musyrikin. Allah berfirman:
الَّذِينَ جَعَلُوا الْقُرْءَانَ عِضِينَ
"(Yaitu) orang-orang yang telah menjadikan Al-Qur`an itu terbagi-bagi
(yakni menerima sebagian dan menolak sebagian yang lain)." (Al-Hijr: 91)
2. Imam Al-Alusi dalam kitabnya Ruhul Ma'ani 10/185 menjelaskan firman Allah
dalam surat An-Naml 23:
إِنِّي وَجَدْتُ امْرَأَةً تَمْلِكُهُمْ وَأُوتِيَتْ مِنْ كُلِّ شَيْءٍ وَلَهَا
عَرْشٌ عَظِيمٌ
"Sesungguhnya aku menjumpai seorang wanita yang memerintahkan mereka, dan
dia dianugerahi segala sesuatu serta mempunyai singgasana yang besar."
Beliau menyatakan: "Ayat ini tidak menunjukkan kebolehan seorang wanita
sebagai ratu (pemimpin negara) dan tidak diperbolehkan berhujjah dengan
perbuatan kaum kafir dalam permasalahan (kepemimpinan) ini. Dalam Shahih
Bukhari dari Ibnu Abbas[3] bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam tatkala
menerima berita bahwa penduduk Persia mengangkat putri Kisra sebagai ratu,
beliau bersabda: (hadits tersebut di atas)."
Imam Al-Baghawi dalam Tafsirnya Ma'alimut Tanzil 3/414 juga menjelaskan ayat di
atas dengan membawakan riwayat hadits tersebut.
Bahkan kalaupun terjadi pada masa itu orang-orang dijajah/diperintah seorang
wanita maka itu adalah syariat orang sebelum kita contoh seperti ini misalnya;
sujudnya keluarga Yusuf kepada nabi Yusuf 'alaihissalam. Dengan penjelasan para
ulama yang telah tersebut di atas dan terbantahnya berbagai syubhat sekitar
masalah ini, maka jelas bagi kita bahwa kaum wanita tidak boleh menjadi kepala
negara. Inilah prinsip Islam yang harus diyakini para pemeluknya.
Dan kita menasehatkan kepada kaum muslimin dan muslimat agar mereka mengetahui
(mengilmui) prinsip agama mereka supaya dengan mantap memeluk dan meyakininya
dan jangan sampai mereka terombang-ambing oleh "teriakan" orang-orang
yang berupaya mati-matian membikin makar untuk menghancurkan kehidupan bangsa
dan negara mereka, sekalipun dipoles dengan label "reformasi" dan
"perjuangan demokrasi".
Mudah-mudahan Allah Ta'ala menyelamatkan bangsa dan masyarakat kita dari
kehancuran dan kebinasaan dan mudah-mudahan Allah Ta'ala mengokohkan hati, iman
dan takwa kita supaya kita tetap di atas al-haq (kebenaran) di dalam mensikapi
kondisi yang terjadi di negara kita.
Ya Allah, perbaikilah keadaan pemerintah kami. Berilah taufiq dan hidayah
kepada mereka. Anugerahkan kepada mereka kesehatan dan keadilan dalam memimpin
kami dan jadikanlah teman akrab mereka orang-orang yang shalih yang Engkau ridlai.
Amin ya mujibas sailin.
DAFTAR REFERENSI
1. Adlwaul Bayan, Muhammad Amin Asy-Syanqithi, cet. Darul Kutub Al-Ilmiyyah,
takhrij Muhammad Abdul Aziz al-Khalidi.
2. Al-Imamatul 'Udhma, Abdullah bin Umar Ad-Dumaiji, cet. Dar Thayyibah.
3. Al-Mughni, Ibnu Qudamah Al-Maqdisi, cet. Darul Fikr.
4. Al-Mustadrak, Al-Hakim An-Naisaburi, cet. Darul Kutub Al-Ilmiyah, Dirasah wa
tahqiq Musthafa Abdul Qadir 'Atha.
5. Aridlatul Ahwadzi, Abu Bakar Ibnul Arabi Al-Maliki, cet. Dar Ihyaut Turats.
6. Al-Qur`anul Karim.
7. As-Sailul Jarar, Imam Asy-Syaukani, cet. Darul Kutub Al-Ilmiyyah, tahqiq
Mahmud Ibrahim Zayid.
8. As-Sunanul Kubra, Imam Al-Baihaqi, cet. Darul Kutub Ilmiyyah, tahqiq
Muhammad Abdul Qadir 'Atha.
9. Fathul Bari, Al-Hafidh Ibnu Hajar Al-Asqalani, cet. Dar Ad-Dayyan At-Turats.
10. Faidlul Qadir, Al-'Allamah Muhammad Abdur Rauf Al-Munawi, cet. Darul Kutub
Al-Ilmiyyah, tashshih Ahmad Abdus Salam.
11. Irwaul Ghalil, Muhammad Nashiruddin Al-Albani, cet. Al-Maktab Al-Islami.
12. Irsyadus Sari, Al-Qasthalani, cet. Darul Kutub Al-Ilmiyyah, tashshih
Muhammad Abdul Aziz Al-Khalidi.
13. Ithaful Kiram, Shafiyur Rahman Al-Mubarak Furi, cet. Darul Faiha dan Dar
As-Salam.
14. Nailul Authar, Asy-Syaukani, cet. Darul Kutub Al-Ilmiyyah, tashshih
Muhammad Salim Hasyim.
15. Ma'alimut Tanzil, Al-Baghawi, cet. Darul Ma'rifah, tahqiq Khalid
Abdurrahman Al-'Ukk dan Marwan Suwar.
16. Misykatul Mashabih, Al-Khatib At-Tibrizi, cet. Al-Maktab Al-Islami, tahqiq
Muhammad Nashiruddin Al-Albani.
17. Ruhul Ma'ani, Mahmud Al-Alusi, cet. Darul Kutub Al-Ilmiyyah, tashshih Ali
Abdul Bari Athiyah.
18. Shahih Jamius Shaghir, Al-Albani, cet. Maktab Al-Islami.
19. Shahih Sunan At-Tirmidzi, Al-Albani, cet. Maktab Al-Islami.
20. Shahih Sunan An-Nasa`i, Al-Albani, cet. Maktab Al-Islami.
21. Subulus Salam, Ash-Shan'ani, cet. Darul Fikr, tahqiq Muhammad Abdul Qadir
'Atha`.
22. Syarhus Sunnah, Al-Baghawi, cet. Maktabah At-Tijariyah, tahqiq Said
Al-Lahham.
23. Taisirul Karimir Rahman, Nashir As-Sa'di, cet. Darul Fikr, muraja'ah 'Alaus
Said.
24. Taudlihul Ahkam, Abdullah Al-Bassam.
------------------------------------------------------
[1] Orang yang suka menyamarkan perawi hadits, tidak diterima haditsnya kecuali
dia mengatakan dengan jelas bahwa dia mendengar sendiri secara langsung dari
perawinya, misalnya dengan lafadh: "Berkata kepadaku", "aku
mendengar darinya", atau "dia mengabarkan kepadaku". Adapun jika
dia mengatakan dengan tidak jelas seperti: "dari fulan", belum tentu
ia mendengar darinya secara langsung. Bisa jadi melalui perawi yang ia
sembunyikan karena dia seorang mudallis. Ed.
[2] Lemah dalam menganalisa suatu persoalan.
[3] Yang terdapat dalam Shahih Bukhari bukan dari Ibnu Abbas radliyallahu
'anhu, namun dari Abi Bakrah radliyallahu 'anhu. Mudah-mudahan Allah mengampuni
kesalahan beliau (Al-Alusi) rahimahullah. (pent).
(Sumber: Majalah Salafy rubrik Hadits edisi XXX/1420 H/1999 M, judul asli
Menolak Kepemimpinan Wanita. Penulis ustadz Muhammad Afifuddin. Dikutip dari
http://salafy.iwebland.com/baca.php?id=24).
Cetak
Tue Aug 01, 2023 9:56 pm by wisatasemarang
» Portable STATA 18 Crack Full Version
Thu May 11, 2023 5:24 pm by wisatasemarang
» NVivo 12 Crack Full version
Mon Jan 30, 2023 11:16 am by wisatasemarang
» Tutorial Difference In difference (DID (Diff-in-Diff) With Eviews 13
Thu Nov 03, 2022 6:24 am by wisatasemarang
» Online Workshop Smart PLS Minggu, 01 Oktober 2022
Sat Sep 17, 2022 11:35 am by wisatasemarang
» kumpulan ebook tentang robot
Fri Jan 02, 2015 10:04 pm by kyuru
» MANTRA PELET
Wed May 16, 2012 3:31 am by orlandojack
» book love of spell
Sat Mar 24, 2012 8:08 pm by rifqi as
» attraction Formula
Sat Mar 24, 2012 7:09 pm by rifqi as