Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

ingin bergabung dengan elrakyat.tk klik pendaftaran. jika anda sudah pernah mendaftar silakan login. jangan lupa ajak kawan-kawanmu ke mari , dan jadilah top poster di forum kita

Join the forum, it's quick and easy

Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

ingin bergabung dengan elrakyat.tk klik pendaftaran. jika anda sudah pernah mendaftar silakan login. jangan lupa ajak kawan-kawanmu ke mari , dan jadilah top poster di forum kita

Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

Would you like to react to this message? Create an account in a few clicks or log in to continue.
Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

salah satu forum terbesar tempat kita bernostalgia

Login

Lupa password?

Our traffic

info rakyat

Sun Oct 31, 2010 9:05 pm by admin

---------------
PEMBERITAHUAN....

SF ZONA RELIGI SEKARANG KAMI PINDAH KE [You must be registered and logged in to see this link.] ANDA BISA BERPARTISIPASI DAN MENJADI MODERATOR SESUAI PERMINTAAN ANDA DENGAN REQUEST VIA SMS NO ADMIN 081945520865


Sekilas Info

Sun Jun 27, 2010 2:44 pm by admin

kabar gembira, forum lentera-rakyat mulai hari ini juga bisa diakses melalui [You must be registered and logged in to see this link.]


    tolak kepemimpinan wanita

    kutubuku
    kutubuku
    Mega Ultimate Member


    Zodiac : Virgo Jumlah posting : 297
    Join date : 18.06.10
    Age : 36
    Lokasi : rahasia

    tolak kepemimpinan wanita Empty tolak kepemimpinan wanita

    Post by kutubuku Sat Jul 03, 2010 4:18 pm

    Menolak Kepemimpinan Wanita
    M. Afifuddin

    قَالَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ وَلَّوْا
    أَمْرَهُمْ اِمْرَأَةً"

    "Tidak akan berbahagia / berjaya suatu kaum yang menyerahkan urusan mereka
    kepada wanita (mengangkat wanita sebagai pemimpin)."


    DERAJAT HADITS

    Hadits ini dikeluarkan oleh:

    - Imam Al-Bukhari dalam kitab Shahihnya di dua tempat. Kitabul Maghazi bab
    Kitab An-Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam ila Kisra wa Qaisar no. 4425 dan
    Kitabul Fitan no. 7099.

    - Imam Abu Isa At-Tirmidzi dalam Sunannya, Kitabul Fitan no. 2262 dan beliau
    menyatakan: "Hadits ini hasan shahih."

    - Imam An-Nasa`i dalam Sunannya, Kitab Adabil Qudlat bab An-Nahyu 'an
    Isti'malin Nisa fi Hukmi no. 2/305 no. 5403.

    - Al-Hakim dalam Mustadraknya, Kitabul Fitan wal Malahim 4/570 no. 8599 dan
    beliau menyatakan: "Hadits ini sanadnya shahih dan keduanya (Bukhari dan
    Muslim) tidak mengeluarkannya."

    - Imam Al-Baihaqi dalam As-Sunan Al-Kubra, bab La Yuwalli Al-Wali Imra`atan
    wala Fasiqan wala Jahilan Amral Qadla, Kitab Adabul Qadli, 10/201 no. 20362.

    - Imam Al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah, Kitabul Imarah wal Qadla, bab
    Karahiyatu Tauliyatin Nisa 6/60 no. 2486. Kata beliau: "Hadits
    shahih."

    - Al-Khatib At-Tibrizi dalam Misykatul Mashabih, Kitabul Umarah wal Qadla pasal
    pertama 2/1091 no. 3693.

    - Al-Imam As-Suyuthi dalam Jami'us Shaghir, lihat Faidlul Qadir karya Al-Munawi
    5/386 no. 7393 dan beliau (Suyuthi) memberi kode: "Shahih."

    Dari berbagai jalan dari Al-Hasan dari Abi Bakrah radliyallahu 'anhu, beliau
    menceritakan:

    لَقَدْ نَفَعَنِيَ اللهُ بِكَلِمَةٍ سَمِعْتُهَا مِنْ رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه
    وسلم أَيَّامَ الْجَمَلِ بَعْدَ مَا كِدْتُ أَنْ أَلْحَقَ بِأَصْحَابِ الجَمَلِ
    فَأُقَاتِلَ مَعَهُمْ. قَالَ: لَمَّا بَلَغَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم
    أَنَّ أَهْلَ فَارِسٍ قَدْ مَلَّكُوا عَلَيْهِمْ بِنْتَ كِسْرَى. قَالَ: (فَذَكَرَ
    الْحَدِيْثَ).

    "Sungguh Allah telah memberi aku manfaat dengan satu kalimat yang aku
    dengar dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pada hari perang Jamal,
    setelah hampir saja aku bergabung dengan Ashabul Jamal (Aisyah dan orang-orang
    yang bersamanya, pent) dan berperang bersama mereka." Beliau (Abu Bakrah)
    berkata: "Tatkala sampai (khabar) kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa
    sallam bahwa penduduk Persia menobatkan putri Kisra sebagai ratu mereka, beliau
    bersabda: (lalu beliau menyebutkan hadits di atas)."

    Asy-Syaikh Al-Muhaddits Muhammad Nashiruddin Al-Albani berkata dalam kitabnya
    (Irwaul Ghalil 8/109 no. 2456): "Al-Hasan tersebut adalah Al-Bashri. Ia
    mudallis (orang yang suka menyamarkan perawi sebuah hadits, pent) dan dia
    meriwayatkan hadits ini secara mu'an'an (dengan menggunakan lafadh 'an yang
    artinya "dari", pent)[1] pada semua jalan yang tersebut (dalam
    referensi) di atas. Namun hadits ini memiliki jalan lain dari Abi Bakrah yang
    dikeluarkan oleh Imam Ahmad 5/38 & 47 melalui jalan 'Uyainah: Telah
    menceritakan kepadaku dari ayahku dari Abi Bakrah dengan lafadh:

    لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ أَسْنَدُوْا أَمْرَهُمْ اِمْرَأَةً

    "Tidak akan bahagia / jaya suatu kaum yang menyandarkan urusan mereka
    kepada seorang wanita."

    Saya (Al-Albani) berkata: "Sanadnya jayyid (bagus). 'Uyainah adalah putra
    Abdurrahman bin Jausyan. Dia seorang tsiqah (terpercaya), demikian pula
    ayahnya."

    Oleh karena itulah beliau menshahihkan hadits ini dalam Al-Irwa` 8/109 no. 2456
    dan 8/235 no. 2613, Shahihul Jami' no. 5225, Shahih Sunan At-Tirmidzi no. 1847
    dan Shahih Sunan An-Nasa`i no. 4981.

    Sehingga secara ilmu hadits, riwayat hadits ini derajatnya shahih dan dapat
    dijadikan sebagai dalil atau hujjah.

    Adapun pernyataan Prof Dr. Nurcholis Majid dalam makalahnya yang dimuat di
    Harian Jawa Pos terbitan Minggu Pahing 8 November 1998 halaman 1: "Hukum
    agama (Islam) tidak secara tegas mengatur boleh tidaknya wanita menjadi kepala
    negara atau kepala pemerintahan...."

    Dia juga menyatakan: "Memang ada hadits-hadits Rasulullah shallallahu
    'alaihi wa sallam yang menganjurkan jabatan kepala negara atau kepala
    pemerintahan semestinya dijabat oleh pria, meski begitu hadits-hadits tersebut
    lemah." Dan insya Allah yang dia maksud adalah hadits yang sedang kita
    bahas, maka kita katakan:

    Lihatlah pernyataan yang dilontarkan oleh seseorang yang disebut-sebut sebagai
    tokoh "cendekiawan muslim". Ucapan yang dilontarkan di saat
    musuh-musuh rakyat sedang berupaya menghancurkan bangsa Indonesia yang
    mayoritas penduduknya beragama Islam, dengan mendukung seorang wanita sebagai
    kepala negara. Pernyataan di atas tidak keluar dari dua kemungkinan:

    1. Pernyataan tersebut dilontarkan oleh seorang yang jahil (bodoh) yang sama
    sekali tidak mengerti kaidah ilmu hadits dalam masalah tashhih (menshahihkan)
    dan tadl'if (melemahkan) sehingga orang tersebut perlu diajari sampai dia
    mengerti. Dan sungguh naif orang seperti ini disebut cendekiawan / tokoh
    muslim, apalagi ulama.

    2. Pernyataan tersebut dilontarkan oleh shahibul hawa (pengekor hawa nafsu)
    yang mempunyai misi dan tujuan untuk membikin makar terhadap kaum muslimin.
    Maka kita harus memperingatkan umat dari bahaya pemikirannya.

    Kalaulah kita mencermati sepak terjangnya dalam dunia keislaman, dengan
    pemikiran dan pernyataan-pernyataannya yang menyimpang, maka kedua kemungkinan
    di atas ada pada dia, sekalipun yang kedua lebih menonjol. Wallahu musta'an.

    Sangatlah disayangkan pada jaman modern seperti sekarang ini atau yang biasa
    disebut era globalisasi, masih banyak kaum muslimin yang tidak menjadikan
    hadits tersebut di atas sebaga dasar, dalil / hujjah dengan alasan kuno yang
    sudah lama dilontarkan rasionalis sesat yang berkiblat kepada orang kafir dari
    Yunani kuno, yaitu alasan bahwa hadits tersebut adalah ahad (diriwayatkan oleh
    satu orang), seperti pernyataan seorang Wahyuni Widyaningsih, manajer kajian
    pada 'Elsad, Surabaya dalam tulisannya yang berjudul "Presiden Perempuan
    di mata Islam", dimuat di Jawa Pos senin legi 2 November 1998 di halaman
    4. Atau orang-orang yang sepaham dengan dia.

    Pemikiran tersebut menyimpang karena pemkiran seperti ini pada kenyataannya
    menyalahi prinsip Islam itu sendiri. Al-Qur`an dan Al-Hadits dan kesepakatan
    para ulama Islam yang diakui keilmuannya telah menunjukkan bahwa semua hadits
    shahih yang datang dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam baik itu ahad
    ataupun mutawatir wajib diterima, baik yang berbicara masalah aqidah maupun
    hukum-hukum syariat, dan hadits-hadits tersebut dapat dijadikan dasar hukum.
    Apabila ada seseorang yang menyelisihi kesepakatan ini, maka dia telah
    mengadakan perkara baru (membuat bid'ah, ed) dalam masalah agama. Lihat
    penjelasan Imam Asy-Syafi'i tentang masalah ini dalam kitabnya Ar-Risalah
    halaman 401 – 453 dan Al-Muhaddits Muhammad Nashiruddin Al-Albani dalam
    kitabnya Al-Hadits Hujjatun bi Nafsihi fil Aqa'id wal Ahkam halaman 51-72.

    Ada pula beberapa tokoh yang menyatakan bahwa hadits di atas tidak dapat
    dijadikan dasar dengan alasan latar belakang penuturan hadits ini (asbabul
    wurud, ed). Hadits ini diucapkan oleh Rasulullah pada saat mendengar kabar
    bahwa penduduk Persia menobatkan putri Kisra yaitu Buran sebagai kepala negara
    mereka. Melihat latar belakang yang demikian, tampak hadits di atas sangat
    kasuistik dan tradisional sekali (menunjukkan pada konteks tertentu). Demikian
    dinyatakan oleh Dr. Said Aqil Siradj, Katib Am Syuriah PB NU dalam tulisannya
    yang berjudul "Pro dan Kontra Presiden Wanita" yang dimuat di Jawa
    Pos terbitan Sabtu 21 November 1998 dan pernyataan Dr. Alwi Shihab, seorang
    staf pengajar lulusan Universitas Harvard USA, dan juga ketua PKB dalam
    tulisannya yang berjudul "Memperhatikan Prinsip daripada Label".
    Dimuat di Jawa Pos terbitan Selasa 17 November 1998.

    Kita katakan: Sebab penuturan hadits di atas memang seperti yang telah
    dijelaskan. Namun kalau kita lebih mencermati riwayat-riwayat hadits ini dalam
    referensi yang telah kita cantumkan di awal, maka kita akan mendapatkan
    kejelasan bahwa hadits ini tidak kasuistik atau menunjukkan konteks tertentu,
    dalam hal ini adalah penduduk Persia. Buktinya, sabda Rasulullah shallallahu
    'alaihi wa sallam di atas dijadikan dasar oleh Abu Bakrah radliyallahu 'anhu
    untuk tidak bergabung dengan pasukan yang dipimpin oleh Aisyah radliyallahu
    'anha dalam perang Jamal. Bahkan hadits ini dijadikan pedoman untuk menilai
    kedua belah pihak (pasukan Ali bin Abi Thalib dan pasukan Aisyah).

    Al-Hafidh Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam kitabnya Fathul Bari 13/60 setelah
    membawakan hadits di atas menyatakan: "Al-Ismaili menambahkan di akhir hadits
    dari jalan An-Nadlr bin Syumail dari Auf bahwa Abu Bakrah menyatakan:

    فَعَرَفْتُ أَنَّ أَصْحَابَ الْجَمَلِ لَنْ يُفْلِحُوا

    "Maka saya tahu bahwa ashabul jamal (Aisyah dan tentaranya) tidak akan
    jaya / menang." (Lihat Irsyadul Sari 5/49 oleh Al-Qasythalani)

    Pernyataan beliau radliyallahu 'anhu bukan karena ada tendensi politik seperti
    yang dikatakan saudari Wahyuni Widyaningsih, namun murni semata-mata
    menyampaikan sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Kita katakan
    demikian karena beliau salah satu shahabat Rasul, sedangkan para ulama telah
    sepakat bahwa semua shahabat adalah 'udul (adil). Ini juga menunjukkan
    pemahaman beliau terhadap hadits tersebut.

    Pernyataan beliau juga tidak berarti menghina atau meremehkan kemampuan Aisyah
    radliyallahu 'anha. Ibnu Bathal menukilkan dari Al-Muhallab, beliau
    menjelaskan: "Dhahir hadits Abu Bakrah terkesan meremehkan pendapat Aisyah
    dalam perbuatan yang ia lakukan, padahal tidaklah demikian. Karena menurut
    pendapat yang masyhur, Abu Bakrah pada dasarnya sependapat dengan Aisyah, yaitu
    ingin mengadakan perdamaian di kalangan massa dan tidak bermaksud untuk
    berperang. Namun tatkala api perang telah menyala, orang-orang yang bersama
    Aisyah mau tidak mau harus ikut berperang. Abu Bakrah sendiri tidak ruju' dari
    pendapat semula. Hanya saja beliau mendapatkan firasat bahwa mereka akan kalah
    karena mereka dipimpin oleh Aisyah tatkala beliau ingat sabda Rasul tentang
    bangsa Persia..."

    Pernyataan beliau ini justru menunjukkan bahwa faktor penentu utama bagi posisi
    kepala negara adalah gender, bukan semata-mata integritas, kemampuan dan
    dukungan masyarakat. Karena kita semua sepakat bahwa Aisyah memiliki kemampuan
    dan pada waktu itu mendapat dukungan dari sebagian shahabat Rasul. Wallahu
    a'lam.

    Dari sinilah kita kembali kepada kaidah masyhur yang telah disepakati oleh para
    ulama:

    الْعِبْرَةُ بِعُمُوْمِ اللَّفْظِ لاَ بِخُصُوْصِ السَّبَبِ

    "Yang menjadi patokan pengambilan suatu hukum adalah pengertian umum dari
    suatu kata, dan bukan pada konteks atau sebabnya yang spesifik."

    Juga ada kaidah ushul fiqh:

    إِذَا وَقَعَتِ النَّكِرَةُ فِي سِيَاقِ النَّفْيِ أَوْ النَّهْيِ أَوِ الشَّرْطِ
    أَوِ اْلإِسْتِفْهَامِ دَلَّتْ عَلَى الْعُمُوْمِ

    "Apabila isim nakirah terletak setelah teks nafi (peniadaan) atau nahi
    (larangan) atau syarat atau istifham (pertanyaan), maka ia menunjukkan makna
    umum." (Lihat Al-Qawaidul Lisan li Tafsiril Qur`an [masuk bagian Tafsir
    As-Sa`di] 5/472 dan Al-Ushul min 'Ilmil Ushul hal. 23 oleh Syaikh Ibnu
    Utsaimin)

    Lafadh hadits di atas sesuai dengan kaidah tersebut dimana kata qaumun (قوم)
    sebagai isim nakirah jatuh setelah teks nafi yaitu lan yuflih (لن يفلح), maka
    hadits tersebut di atas menunjukkan pengertian umum.



    PENJELASAN HADITS

    Hadits di atas dijadikan dasar para ulama untuk melarang seorang wanita
    memangku jabatan sebagai kepala negara. Berikut ini akan saya nukilkan
    keterangan ulama berbagai madzhab tentang hadits di atas:

    - Ibnu Hazm Adh-Dhahiri dalam kitabnya Al-Fashl 4/110 menyatakan: "Seluruh
    golongan Ahli kiblat (muslimin), tidak ada seorang pun dari mereka yang
    memperbolehkan kepemimpinan seorang wanita." (Lihat Al-Imamatul 'Udhma
    hal. 246).

    - Ibnu Qudamah Al-Maqdisi dalam kitab Al-Mughni 10/92 menjelaskan alasan
    seorang wanita tidak boleh menjadi hakum atau pemimpin: "...karena seorang
    hakim (qadli) harus menghadiri tempat pengadilan dan perkumpulan lelaki dan
    membutuhkan pandangan yang tajam serta kecerdasan akal yang sempurna. Sementara
    wanita adalah makhluk yang kurang akalnya, dangkal pandangan pemikirannya,
    tidak boleh hadir pada perkumpulan kaum lelaki dan tidak diterima persaksiannya
    (dalam pengadilan) sekalipun 1000 (seribu) wanita selama tidak ada laki-laki
    (yang ikut jadi saksi). Allah telah mengingatkan sifat pelupa mereka dalam
    firman-Nya:

    أَنْ تَضِلَّ إِحْدَاهُمَا فَتُذَكِّرَ إِحْدَاهُمَا الأُخْرَى

    "...supaya jika seorang lupa maka seorang lagi mengingatkannya...."
    (Al-Baqarah: 282)

    Seorang wanita tidak layak memangku jabatan kepemimpinan tertinggi dan tidak
    pula mengatur sebuah negara. Oleh karena itu Rasulullah shallallahu 'alaihi wa
    sallam, para khalifahnya dan para ulama yang datang sepeninggal beliau tidak
    pernah mengangkat seorang wanita sebagai hakim atau mengatur sebuah wilayah di
    suatu negara. Menurut berita yang sampai kepada kami, kalaulah boleh, maka
    tidak akan kosong seluruh masa dari kepemimpinan wanita...."

    - Abu Muhammad Al-Husain bin Mas'ud Al-Baghawi dalam kitabnya Syarhus Sunnah
    6/60 menjelaskan: "(Para ulama) sepakat bahwa seorang wanita tidak boleh
    menjadi pemimpin dan hakim (qadli) karena seorang imam (pemimpin) perlu keluar
    untuk mengurusi permasalahan jihad (perang) dan urusan kaum muslimin. Sementara
    seorang hakim harus keluar untuk memutuskan berbagai permasalahan. Sedangkan
    wanita adalah aurat, tidak boleh keluar (dari rumahnya). Wanita sering kali
    tidak mampu mengurusi banyak perkara karena kelemahannya dan dikarenakan wanita
    itu kurang (agama dan akalnya). Padahal kepemimpinan dan kehakiman itu adalah
    jabatan yang sempurna , tidak boleh dijabat kecuali oleh kaum lelaki yang
    sempurna...."

    - Abu Bakar Ibnul 'Arabi Al-Maliki dalam kitabnya Aridlatul Ahwadzi juz 9/119
    setelah membawakan hadits ini menjelaskan: "Hadits ini menunjukkan bahwa
    kepemimpinan itu adalah hak lelaki. Tidak ada celah bagi wanita dalam masalah
    ini menurut kesepakatan (ulama, pent)."

    - Muhammad Abdurra`uf Al-Munawi dalam kitabnya Faidlul Qadir 5/386 setelah
    menyebutkan hadits ini menyatakan: "...yang demikian itu karena kekurangan
    yang ada pada seorang (wanita) dan kelemahan pandangannya (rasionya), juga
    karena seorang pemimpin dituntut untuk keluar mengurusi problem rakyat.
    Sedangkan seorang wanit adalah aurat yang tidak mungkin keluar melakukan tugas
    seperti itu. Maka ia tidak sah menjadi seorang pemimpin dan hakim."

    - At-Thibi menjelaskan: "Hadits ini menyandarkan ketidakbahagiaan,
    ketidakjayaan bangsa Persia secara ta`kid (penekanan) dan pada hadits ini ada
    isyarat bahwa kejayaan milik bangsa Arab, sehingga berita ini merupakan
    mu'jizat."

    - Imam As-Shan'ani dalam Subulus Salam Kitabul Qadla 4/229 menjelaskan hadits
    ini: "Di dalam hadits ini ada dalil yang menunjukkan tidak bolehnya
    seorang wanita memimpin sesuatu pun dari hukum-hukum yang bersifat umum di
    kalangan muslimin...." Beliau juga menegaskan: "Hadits ini
    mengabarkan tentang ketidakjayaan suatu kaum yang mengangkat wanita sebagai
    pemimpin. Sedangkan kita dilarang melakukan sesuatu yang mengakibatkan
    ketidakjayaan / ketidakbahagiaan pada diri kita dan diperintahkan untuk
    berupaya mengerjakan sesuatu yang membawa kepada kebahagiaan dan kejayaan."

    - Imam Asy-Syaukani dalam kitabnya Nailul Authar juz 8/272 bab Al-Mu`min
    Wilayatil Mar`ati was Shabiyi wa Man La Yuhsinul Qadla menerangkan: "Pada
    hadits ini terdapat dalil yang menunjukkan bahwa seorang wanita bukanlah orang
    yang pantas dan berhak menjadi pemimpin. Bahkan tidak halal bagi suatu kaum
    mengangkat seorang wanita sebagai pemimpin. Sedangkan menjauhkan diri dari
    perkara yang membawa kepada ketidakbahagiaan adalah wajib."

    - Dalam kitabnya yang lain yaitu As-Sailul Jarar 4/505 ketika berbicara tentang
    syarat seorang pemimpin harus pria, beliau menjabarkan: "...Alasannya
    adalah karena kaum wanita adalah orang yang kurang akal[2] dan agamanya
    sebagaimana yang disabdakan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Orang
    yang seperti itu keadaannya, tentu saja sangat tidak pantas mengurusi problem
    umat. Oleh sebab itulah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda dalam
    sebuah hadits yang shahih:

    لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ وَلَّوْا أَمْرَهُمْ اِمْرَأَةً

    "Tidak akan jaya suatu kaum yang dipimpin oleh seorang wanita."

    - Al-'Allamah Muhammad Amin Asy-Syinqithi dalam Adlwaul Bayan 1/52 menjelaskan:
    "Termasuk syarat kepala negara adalah dia seorang pria. Tidak ada ikhtilaf
    dalam masalah ini di kalangan para ulama. Dalilnya adalah hadits yang terdapat
    dalam Shahih Bukhari dan yang lainnya dari hadits Abi Bakrah bahwa Nabi
    shallallahu 'alaihi wa sallam tatkala sampai pada beliau kabar bahwa penduduk
    Persia menobatkan putri Kisra sebagai ratu (kepala negara), beliau bersabda:
    (hadits di atas)."

    - Shafiyur Rahman Al-Mubarak Furi dalam Ithaful Kiram hal. 417-418 menerangkan:
    "Hadits ini umum mencakup semua kepemimpinan dalam suatu pemerintahan
    sampai jabatan terkecil sekalipun, walaupun hadits ini disabdakan oleh
    Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam tatkala sampai berita bahwa penduduk
    Persia mengangkat putri Kisra sebagai pemimpin (kepala negara) mereka..."

    - Abdullah bin Abdurrahman Al-Bassam dalam Taudlihul Ahkam 6/142 juga
    menjelaskan: "Hadits ini secara tegas menyatakan tidak sahnya kepemimpinan
    seorang wanita, dan suatu masyarakat atau bangsa yang mengangkat seorang wanita
    sebagai pemimpin tidak akan bahagia, baik dalam urusan duniawi maupun urusan
    ukhrawi. Ini adalah pendapat jumhur ulama, di antaranya adalah tiga imam
    madzhab di kalangan Ahlus Sunnah wal Jamaah yaitu Malik, Asy-Syafi'i dan
    Ahmad."

    - Sementara Abu Hanifah berpendapat boleh mengangkat wanita sebagai pemimpin
    dalam masalah hukum kecuali hukum-hukum had. Namun pendapat ini bertentangan
    dengan nash dalil dan fitrah Rabbani.... "Sekalipun dia (wanita) memiliki
    kekuatan dan mendapat dukungan masyarakat, tetap mereka tidak akan bahagia /
    jaya dalam urusan duniawi maupun urusan agama. Wallahul musta'an." (Lihat
    kembali ucapan ulama tentang Abu Hanifah pada edisi 29 majalah Salafy)

    Demikian penjelasan para ulama jaman dahulu maupun sekarang tentang hadits ini
    atau permasalahan yang dibahas dalam hadits ini. Semuanya menjelaskan tidak
    bolehnya wanita menjadi pemimpin. Hujjah mereka kita susun sebagai berikut:

    1. Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala yang tersebut dalam surat An-Nisa 34:

    الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى
    بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ

    "Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita. Oleh karena Allah
    telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita).
    Dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta
    mereka...." (An-Nisa: 34)

    Silakan lihat pembahasan ini dalam rubrik Tafsir edisi kali ini.

    2. Sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam yang sedang kita bahas kali
    ini berikut penjelasan ulama tentangnya.

    3. Ijma', Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, para khalifah beliau dan
    generasi setelah mereka sampai sekarang ini tidak pernah mengangkat wanita
    sebagai pemimpin. Ini menunjukkan adanya kesepakatan di kalangan mereka
    (ijma'). Ijma' (kesepakatan ulama) merupakan argumentasi yang signifikan karena
    Allah tidak akan mengumpulkan umat ini di atas kesalahan.

    Kalau ada yang mengatakan bahwa kaum wanita pada waktu itu tidak ada yang
    menjabat sebagai pemimpin karena kondisi sosial dan kedudukan wanita yang
    sangat terpuruk seperti pernyataan Dr. Alwi Shihab dalam tulisan beliau yang
    berjudul "Memperhatikan Prinsip daripada Label" yang dimuat di Jawa
    Pos Selasa 17 November 1998, maka kita dapatkan:

    1. Kita semua sepakat bahwa syariat yang Allah tetapkan melalui lisan Rasul-Nya
    shallallahu 'alaihi wa sallam telah sempurna. Dijelaskan Rasul melalui sunahnya
    dan telah dipraktekkan beliau bersama para shahabatnya radliyallahu 'anhum.

    Apa yang dikerjakan Rasul dan para shahabatnya adalah yang terbaik dan membawa
    kebaikan dunia dan akhirat dan karena itu kita juga ikut mengerjakannya. Apa
    yang ditinggalkan Rasul dan para shahabatnya (padahal beliau mampu dan mungkin
    mengerjakannya) adalah jelek, tidak membawa kebaikan kebahagiaan dunia dan
    akhirat. Dan kita pun harus pula meninggalkannya.

    Apabila Rasul memberitahukan tentang suatu perbuatan / amalan yang membawa
    kepada kebahagiaan dan kejayaan, maka kita harus meyakini kebenaran berita
    tersebut dan kita berupaya melaksanakan amalan tersebut.

    Dan apabila Rasul memberitahukan tentang suatu amalan yang membawa kepada
    ketidakbahagiaan atau ketidakjayaan, maka kita harus membenarkannya dan kita
    diperintah untuk menjauhi / meninggalkan hal tersebut. Allah Subhanahu wa
    Ta'ala berfirman:

    وَمَا ءَاتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا

    "Apa saja yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah dia dan apa yang
    dilarangnya bagimu maka tinggalkannya...." (Al-Hasyr: 7)

    2. Kita semua meyakini bahwa syariat Allah adalah adil, sesuai dengan fitrah
    dan dapat diterapkan di setiap tempat dan masa. Apa yang Allah dan Rasul-Nya
    tetapkan, itulah yang terbaik bagi umat ini dan apa yang Allah dan Rasul-Nya
    larang, itulah yang akan membawa kesengsaraan dan kebinasaan umat ini.
    Ketetapan ini berlaku bagi semua manusia, baik laki-laki maupun wanita, bangsa
    Arab maupun non-Arab.

    3. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dalam sebuah sabdanya yang masyhur
    telah memberitakan:

    خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِي ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُم ثُمَّ الَّذِيْنَ
    يَلُوْنَهُم...

    "Sebaik-baik manusia adalah generasiku (shahabat) kemudian yang setelah
    mereka (tabi'in), kemudian yang setelah mereka (tabi'ut tabi'in)...."
    (Muttafaqun 'alaihi, lihat Al-Misykah no. 3767)

    Kondisi sosial suatu masyarakat tidak bisa dinilai dengan materi semata, karena
    kita melihat kenyataan adanya suatu negeri yang baik dari segi materi namun
    rusak dari segi moral dan keagamaannya sehingga tindak kriminal dan berbagai problem
    masyarakat menjamur di negeri tersebut. Kebahagiaan dan kejayaan negeri itupun
    bersifat semu.

    Maka sebaik-baik kondisi sosial suatu masyarakat yang pernah ada di dunia ini
    adalah generasi Nabi beserta para shahabatnya, tabi'in dan tabi'ut tabi'in.

    4. Sejarah membuktikan, pada jaman jahiliyah sebelum diutusnya Rasulullah
    shallallahu 'alaihi wa sallam, derajat, harkat, dan martabat kaum wanita
    diinjak-injak. Mereka dihinakan dan dilecehkan. Hak-hak mereka tidak dipenuhi.
    Bayi wanita dikubur hidup-hidup dan mereka hanya dijadikan sebagai pemuas hawa
    nafsu birahi kaum lelaki. Namun setelah diutusnya Rasulullah shallallahu
    'alaihi wa sallam, dengan syariatnya Allah Subhanahu wa Ta'ala, mengangkat
    derajat kaum wanita, hak-hak mereka dipenuhi, kehormatan mereka dilindungi dan
    Allah Ta'ala memberikan kepada mereka suatu jabatan mulia sesuai dengan fitrah
    kewanitaan mereka dan yang membesarkan mereka hingga menjadi generasi Rabbani.

    Apabila kaum wanita diberi suatu jabatan yang tidak sesuai dengan fitrah kewanitaannya,
    bahkan jabatan itu akan membuat mereka kembali kepada jaman jahiliyah, maka
    berarti hak-hak mereka terinjak-injak, tak terpenuhi dan menentang misi Islam
    itu sendiri.

    Maka pernyataan yang dilontarkan oleh Dr. Alwi Shihab di atas justru mewakili
    misi orang-orang kafir yang berupaya merusak kehidupan dunia ini dengan
    mengembalikan kaum wanita seperti jaman jahiliyah dahulu, dipoles dengan nama
    emansipasi wanita, kebebasan berpikir (tidak jumud) dan berbagai label lainnya.

    Pernyataan di atas justru menunjukkan kejumudan cara berpikir Dr. Alwi Shihab
    yang notabene meniru pemikiran picik rasionalis sesat baik dahulu maupun
    sekarang. Wallahul musta'an.

    4. Kaum wanita adalah aurat, mereka diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya
    untuk tinggal di rumah demi menjaga kehormatan dan haknya. Mereka tidak boleh
    keluar rumah ke tempat perkumpulan lelaki kecuali karena terpaksa dan harus
    dengan mahram. Allah Ta'ala memerintahkan dengan firman-Nya:

    وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلاَ تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الأُولَى

    "Dan hendaklah kaum (istri-istri Nabi) tetap di rumahmu dan janganlah kamu
    berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliyah yang dahulu...."
    (Al-Ahzab: 33)

    5. Kaum wanita adalah makhluk yang kurang dari segi akal dan agamanya, sebagaimana
    sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam:

    مَا رَأَيْتُ مِنْ نَاقِصَاتِ عَقْلٍ وَدِيْنٍ أَذْهَبَ لِلُبِّ الرِّجَالِ
    الْحَازِمِ مِنْ إِحْدَاكُنَّ، قُلْنَ: وَمَا نُقْصَانُ دِيْنِنَا وَعَقْلِنَا يَا
    رَسُولُ اللهِ؟ قَالَ: أَلَيْسَ شَهَادَةُ الْمَرْأَةِ مِثْلُ نِصْفَ شَهَادَةِ
    الرَّجُلِ؟ قُلْنَ: بَلَى، قَالَ: فَذَلِكَ نُقْصَانُ عَقْلِهَا، أَلَيْسَ إِذَا
    حَاضَتْ لَمْ تُصَلِّ وَلَمْ تَصُم؟ قُلْنَ: بَلَى، قَالَ: فَذَلِكَ مِنْ
    نُقْصَانِ دِيْنِهَا ﴿رواه البخاري ٣٠٤ ومسلم ٧٩﴾

    "Aku tidak pernah melihat orang yang kurang akal dan agamanya yang mampu
    meluluhkan hati seorang laki-laki yang tegas kecuali kalian (kaum
    wanita)." Mereka (para shahabat wanita) bertanya: "Apa yang
    menyebabkan kurangnya agama dan akal kami, wahai Rasulullah?" Beliau
    menjawab: "Bukankah persaksian wanita seperti setengah persaksian seorang
    lelaki?" Mereka menjawab: "Ya." Beliau menjawab: "Maka
    itulah yang dimaksud kurang akalnya. Bukankah apabila wanita haid, ia tidak
    shalat dan tidak puasa?" Mereka menjawab: "Ya." Beliau bersabda:
    "Itulah yang dimaksud kurang agamanya." (HSR. Bukhari 364 dan Muslim
    79)

    6. Syarat utama yang menentukan posisi jabatan kepala negara adalah gender dan
    para ulama telah sepakat dalam hal ini (yaitu laki-laki), bukan semata-mata
    kemampuannya, kesediannya ataupun dukungan masyarakatnya.



    Syubhat dan Bantahannya

    Muhammad Al-Ghazali dalam kitabnya As-Sunnah An-Nabawiyyah baina Ahlil Fiqhi
    wal Hadits hal. 48-50 (telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan
    judul Studi Kritis terhadap Hadits menyatakan bahwa hadits di atas tidak
    dimaksudkan sebagai prinsip Islam yang mewajibkan pria menjadi kepala negara
    karena akan bertentangan dengan kandungan Al-Qur`an di surat An-Naml yang
    memuji kebijakan dan kearifan kerajaan Saba` (Ratu Sheba yang bernama Balqis).
    Dengan demikian, hadits di atas tidak dapat dijadikan sumber hukum. Pernyataan
    ini juga dinukil dan dilontarkan oleh Dr. Alwi Shihab dalam tulisannya yang
    dimuat di Jawa Pos Selasa 17 November 1998.

    Jawaban dari syubhat di atas sebagai berikut:

    1. Kita mempunyai prinsip bahwa Kalamullah (Al-Qur`an) selamanya tidak
    bertentangan satu sama lain. Demikian pula kita meyakini bahwa sabda Rasulullah
    shallallahu 'alaihi wa sallam yang shahih, tidak akan bertentangan dengan
    Kalamullah, bahkan sebagai penjelas dan penerangnya. Allah Ta'ala berfirman:

    أَفَلاَ يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْءَانَ وَلَوْ كَانَ مِنْ عِنْدِ غَيْرِ اللَّهِ
    لَوَجَدُوا فِيهِ اخْتِلاَفًا كَثِيرًا

    "Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al-Qur`an? Kalau kiranya Al-Qur`an
    itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di
    dalamnya." (An-Nisa: 82)

    Bila kita mendapati adanya pertentangan dalam Al-Qur`an, maka kita harus
    membawa masing-masing ayat kepada makna yang sesuai dengannya (dikompromikan)
    dan kita tidak boleh membuang atau menolak sebagian ayat dan menerima sebagian
    yang lain, karena perbuatan tersebut adalah akhlak musyrikin. Allah berfirman:

    الَّذِينَ جَعَلُوا الْقُرْءَانَ عِضِينَ

    "(Yaitu) orang-orang yang telah menjadikan Al-Qur`an itu terbagi-bagi
    (yakni menerima sebagian dan menolak sebagian yang lain)." (Al-Hijr: 91)

    2. Imam Al-Alusi dalam kitabnya Ruhul Ma'ani 10/185 menjelaskan firman Allah
    dalam surat An-Naml 23:

    إِنِّي وَجَدْتُ امْرَأَةً تَمْلِكُهُمْ وَأُوتِيَتْ مِنْ كُلِّ شَيْءٍ وَلَهَا
    عَرْشٌ عَظِيمٌ

    "Sesungguhnya aku menjumpai seorang wanita yang memerintahkan mereka, dan
    dia dianugerahi segala sesuatu serta mempunyai singgasana yang besar."

    Beliau menyatakan: "Ayat ini tidak menunjukkan kebolehan seorang wanita
    sebagai ratu (pemimpin negara) dan tidak diperbolehkan berhujjah dengan
    perbuatan kaum kafir dalam permasalahan (kepemimpinan) ini. Dalam Shahih
    Bukhari dari Ibnu Abbas[3] bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam tatkala
    menerima berita bahwa penduduk Persia mengangkat putri Kisra sebagai ratu,
    beliau bersabda: (hadits tersebut di atas)."

    Imam Al-Baghawi dalam Tafsirnya Ma'alimut Tanzil 3/414 juga menjelaskan ayat di
    atas dengan membawakan riwayat hadits tersebut.

    Bahkan kalaupun terjadi pada masa itu orang-orang dijajah/diperintah seorang
    wanita maka itu adalah syariat orang sebelum kita contoh seperti ini misalnya;
    sujudnya keluarga Yusuf kepada nabi Yusuf 'alaihissalam. Dengan penjelasan para
    ulama yang telah tersebut di atas dan terbantahnya berbagai syubhat sekitar
    masalah ini, maka jelas bagi kita bahwa kaum wanita tidak boleh menjadi kepala
    negara. Inilah prinsip Islam yang harus diyakini para pemeluknya.

    Dan kita menasehatkan kepada kaum muslimin dan muslimat agar mereka mengetahui
    (mengilmui) prinsip agama mereka supaya dengan mantap memeluk dan meyakininya
    dan jangan sampai mereka terombang-ambing oleh "teriakan" orang-orang
    yang berupaya mati-matian membikin makar untuk menghancurkan kehidupan bangsa
    dan negara mereka, sekalipun dipoles dengan label "reformasi" dan
    "perjuangan demokrasi".

    Mudah-mudahan Allah Ta'ala menyelamatkan bangsa dan masyarakat kita dari
    kehancuran dan kebinasaan dan mudah-mudahan Allah Ta'ala mengokohkan hati, iman
    dan takwa kita supaya kita tetap di atas al-haq (kebenaran) di dalam mensikapi
    kondisi yang terjadi di negara kita.

    Ya Allah, perbaikilah keadaan pemerintah kami. Berilah taufiq dan hidayah
    kepada mereka. Anugerahkan kepada mereka kesehatan dan keadilan dalam memimpin
    kami dan jadikanlah teman akrab mereka orang-orang yang shalih yang Engkau ridlai.
    Amin ya mujibas sailin.



    DAFTAR REFERENSI

    1. Adlwaul Bayan, Muhammad Amin Asy-Syanqithi, cet. Darul Kutub Al-Ilmiyyah,
    takhrij Muhammad Abdul Aziz al-Khalidi.

    2. Al-Imamatul 'Udhma, Abdullah bin Umar Ad-Dumaiji, cet. Dar Thayyibah.

    3. Al-Mughni, Ibnu Qudamah Al-Maqdisi, cet. Darul Fikr.

    4. Al-Mustadrak, Al-Hakim An-Naisaburi, cet. Darul Kutub Al-Ilmiyah, Dirasah wa
    tahqiq Musthafa Abdul Qadir 'Atha.

    5. Aridlatul Ahwadzi, Abu Bakar Ibnul Arabi Al-Maliki, cet. Dar Ihyaut Turats.

    6. Al-Qur`anul Karim.

    7. As-Sailul Jarar, Imam Asy-Syaukani, cet. Darul Kutub Al-Ilmiyyah, tahqiq
    Mahmud Ibrahim Zayid.

    8. As-Sunanul Kubra, Imam Al-Baihaqi, cet. Darul Kutub Ilmiyyah, tahqiq
    Muhammad Abdul Qadir 'Atha.

    9. Fathul Bari, Al-Hafidh Ibnu Hajar Al-Asqalani, cet. Dar Ad-Dayyan At-Turats.

    10. Faidlul Qadir, Al-'Allamah Muhammad Abdur Rauf Al-Munawi, cet. Darul Kutub
    Al-Ilmiyyah, tashshih Ahmad Abdus Salam.

    11. Irwaul Ghalil, Muhammad Nashiruddin Al-Albani, cet. Al-Maktab Al-Islami.

    12. Irsyadus Sari, Al-Qasthalani, cet. Darul Kutub Al-Ilmiyyah, tashshih
    Muhammad Abdul Aziz Al-Khalidi.

    13. Ithaful Kiram, Shafiyur Rahman Al-Mubarak Furi, cet. Darul Faiha dan Dar
    As-Salam.

    14. Nailul Authar, Asy-Syaukani, cet. Darul Kutub Al-Ilmiyyah, tashshih
    Muhammad Salim Hasyim.

    15. Ma'alimut Tanzil, Al-Baghawi, cet. Darul Ma'rifah, tahqiq Khalid
    Abdurrahman Al-'Ukk dan Marwan Suwar.

    16. Misykatul Mashabih, Al-Khatib At-Tibrizi, cet. Al-Maktab Al-Islami, tahqiq
    Muhammad Nashiruddin Al-Albani.

    17. Ruhul Ma'ani, Mahmud Al-Alusi, cet. Darul Kutub Al-Ilmiyyah, tashshih Ali
    Abdul Bari Athiyah.

    18. Shahih Jamius Shaghir, Al-Albani, cet. Maktab Al-Islami.

    19. Shahih Sunan At-Tirmidzi, Al-Albani, cet. Maktab Al-Islami.

    20. Shahih Sunan An-Nasa`i, Al-Albani, cet. Maktab Al-Islami.

    21. Subulus Salam, Ash-Shan'ani, cet. Darul Fikr, tahqiq Muhammad Abdul Qadir
    'Atha`.

    22. Syarhus Sunnah, Al-Baghawi, cet. Maktabah At-Tijariyah, tahqiq Said
    Al-Lahham.

    23. Taisirul Karimir Rahman, Nashir As-Sa'di, cet. Darul Fikr, muraja'ah 'Alaus
    Said.

    24. Taudlihul Ahkam, Abdullah Al-Bassam.



    ------------------------------------------------------
    [1] Orang yang suka menyamarkan perawi hadits, tidak diterima haditsnya kecuali
    dia mengatakan dengan jelas bahwa dia mendengar sendiri secara langsung dari
    perawinya, misalnya dengan lafadh: "Berkata kepadaku", "aku
    mendengar darinya", atau "dia mengabarkan kepadaku". Adapun jika
    dia mengatakan dengan tidak jelas seperti: "dari fulan", belum tentu
    ia mendengar darinya secara langsung. Bisa jadi melalui perawi yang ia
    sembunyikan karena dia seorang mudallis. Ed.

    [2] Lemah dalam menganalisa suatu persoalan.

    [3] Yang terdapat dalam Shahih Bukhari bukan dari Ibnu Abbas radliyallahu
    'anhu, namun dari Abi Bakrah radliyallahu 'anhu. Mudah-mudahan Allah mengampuni
    kesalahan beliau (Al-Alusi) rahimahullah. (pent).

    (Sumber: Majalah Salafy rubrik Hadits edisi XXX/1420 H/1999 M, judul asli
    Menolak Kepemimpinan Wanita. Penulis ustadz Muhammad Afifuddin. Dikutip dari
    http://salafy.iwebland.com/baca.php?id=24).


    Cetak

      Waktu sekarang Thu May 09, 2024 1:03 pm