Pengantar Mushthalah Hadits
PENDAHULUAN
1. Pada awalnya Rasulullah saw melarang para sahabat menuliskan
hadits, karena dikhawatirkan akan bercampur-baur penulisannya dengan
Al-Qur'an.
2. Perintah untuk menuliskan hadits yang pertama kali adalah oleh
khalifah Umar bin Abdul Aziz. Beliau menulis surat kepada
gubernurnya di Madinah yaitu Abu bakar bin Muhammad bin Amr Hazm Al-
Alshari untuk membukukan hadits.
3. Ulama yang pertama kali mengumpulkan hadits adalah Ar-Rabi Bin
Shabi dan Said bin Abi Arabah, akan tetapi pengumpulan hadits
tersebut masih acak (tercampur antara yang shahih dengan, dha'if,
dan perkataan para sahabat.
4. Pada kurun ke-2 imam Malik menulis kitab Al-Muwatha di
Madinah, di Makkah Hadits dikumpulkan oleh Abu Muhammad Abdul Malik
Bin Ibnu Juraiz, di Syam oleh imam Al-Auza i, di Kuffah oleh Sufyan
At-Tsauri, di Bashrah oleh Hammad Bin Salamah.
5. Pada awal abad ke-3 hijriyah mulai dikarang kitab-kitab
musnad, seperti musnad Na'im ibnu hammad.
6. Pada pertengahan abad ke-3 hijriyah mulai dikarang kitab
shahih Bukhari dan Muslim.
PEMBAHASAN
Ilmu Hadits:
ilmu yang membahas kaidah-kaidah untuk mengetahui kedudukan sanad
dan matan, apakah diterima atau ditolak.
Hadits:
Apa-apa yang disandarkan kepada Rasulullah saw, berupa perkataan,
perbuatan, persetujuan, dan sifat (lahiriyah dan batiniyah).
Sanad:
Mata rantai perawi yang menghubungkannya ke matan.
Matan:
Perkataan-perkataan yang dinukil sampai ke akhir sanad.
PEMBAGIAN HADITS
Dilihat dari konsekuensi hukumnya:
1. Hadits Maqbul (diterima): terdiri dari Hadits shahih dan Hadits Hasan
2. Hadits Mardud (ditolak): yaitu Hadits dha'if
Penjelasan:
HADITS SHAHIH:
Yaitu Hadits yang memenuhi 5 syarat berikut ini:
1. Sanadnya bersambung (telah mendengar/bertemu antara para perawi).
2. Melalui penukilan dari perawi-perawi yang adil.Perawi yang
adil adalah perawi yang muslim, baligh (dapat memahami perkataan dan
menjawab pertanyaan), berakal, terhindar dari sebab-sebab kefasikan
dan rusaknya kehormatan (contoh-contoh kefasikan dan rusaknya
kehormatan adalah seperti melakukan kemaksiatan dan bid'ah, termasuk
diantaranya merokok, mencukur jenggot, dan bermain musik).
3. Tsiqah (yaitu hapalannya kuat).
4. Tidak ada syadz. Syadz adalah seorang perawi yang tsiqah
menyelisihi perawi yang lebih tsiqah darinya.
5. Tidak ada illat atau kecacatan dalam Hadits
Hukum Hadits shahih: dapat diamalkan dan dijadikan hujjah.
HADITS HASAN:
Yaitu Hadits yang apabila perawi-perawinya yang hanya sampai pada
tingkatan shaduq (tingkatannya berada di bawah tsiqah).
Shaduq: tingkat kesalahannya 50: 50 atau di bawah 60% tingkat ke
tsiqahannya. Shaduq bisa terjadi pada seorang perawi atau
keseluruhan perawi pada rantai sanad.
Para ulama dahulu meneliti tingkat ketsiqahan seorang perawi adalah
dengan memberikan ujian, yaitu disuruh membawakan 100 hadits berikut
sanad-sanadnya. Jika sang perawi mampu menyebutkan lebih dari 60
hadits (60%) dengan benar maka sang perawi dianggap tsiqah.
Hukum Hadits Hasan: dapat diamalkan dan dijadikan hujjah.
HADITS HASAN SHAHIH
Penyebutan istilah Hadits hasan shahih sering disebutkan oleh imam
Tirmidzi. Hadits hasan shahih dapat dimaknai dengan 2 pengertian:
* Imam Tirmidzi mengatakannya karena Hadits tersebut memiliki 2
rantai sanad/lebih. Sebagian sanad hasan dan sebagian lainnya
shahih, maka jadilah dia Hadits hasan shahih.
* Jika hanya ada 1 sanad, Hadits tersebut hasan menurut sebagian
ulama dan shahih oleh ulama yang lainnya.
HADITS MUTTAFAQQUN `ALAIHI
Yaitu Hadits yang sepakat dikeluarkan oleh imam Bukhari dan imam
Muslim pada kitab shahih mereka masing-masing.
TINGKATAN HADITS SHAHIH
* Hadits muttafaqqun `alaihi
* Hadits shahih yang dikeluarkan oleh imam Bukhari saja
* Hadits shahih yang dikeluarkan oleh imam Muslim saja
* Hadits yang sesuai dengan syarat Bukhari dan Muslim, serta
tidak dicantumkan pada kitab-kitab shahih mereka.
* Hadits yang sesuai dengan syarat Bukhari
* Hadits yang sesuai dengan syarat Muslim
* Hadits yang tidak sesuai dengan syarat Bukhari dan Muslim
Syarat Bukhari dan Muslim: perawi-perawi yang dipakai adalah perawi-
perawi Bukhari dan Muslim dalam shahih mereka.
HADITS DHA'IF
Hadits yang tidak memenuhi salah satu/lebih syarat Hadits shahih dan Hasan.
Hukum Hadits dha'if: tidak dapat diamalkan dan tidak boleh
meriwayatkan Hadits dha'if kecuali dengan menyebutkan kedudukan
Hadits tersebut. Hadits dha'if berbeda dengan hadits palsu atau
hadits maudhu`. Hadits dha'if itu masih punya sanad kepada
Rasulullah SAW, namun di beberapa rawi ada dha`f atau kelemahan.
Kelemahan ini tidak terkait dengan pemalsuan hadits, tetapi lebih
kepada sifat yang dimiliki seorang rawi dalam masalah dhabit atau al-
`adalah. Mungkin sudah sering lupa atau ada akhlaqnya yang kurang
etis di tengah masyarakatnya. Sama sekali tidak ada kaitan dengan
upaya memalsukan atau mengarang hadits.
Yang harus dibuang jauh-jauh adalah hadits maudhu`, hadits mungkar
atau matruk. Dimana hadits itu sama sekali memang tidak punya sanad
sama sekali kepada Rasulullah saw. Walau yang paling lemah
sekalipun. Inilah yang harus dibuang jauh-jauh. Sedangkan kalau baru
dha`if, tentu masih ada jalur sanadnya meski tidak kuat. Maka
istilah yang digunakan adalah dha`if atau lemah. Meski lemah tapi
masih ada jalur sanadnya.
Karena itulah para ulama berbeda pendapat tentang penggunaan hadits
dha`if, dimana sebagian membolehkan untuk fadha`ilul a`mal. Dan
sebagian lagi memang tidak menerimanya. Namun menurut iman An-Nawawi
dalam mukaddimahnya, bolehnya menggunakan hadits-hadits dha'if dalam
fadailul a'mal sudah merupakan kesepakatan para ulama.
Untuk tahap lanjut tentang ilmu hadits, silakan merujuk pada
kitab "Mushthalahul Hadits"
Buat kita orang-orang yang awam dengan ulumul hadits, tentu untuk
mengetahui derajat suatu hadits bisa dengan bertanya kepada para
ulama ahli hadits. Sebab merekalah yang punya kemampuan dan
kapasitas dalam melakukan penelusuran sanad dan perawi suatu hadits
serta menentukan derajatnya.
Setiap hadits itu harus ada alur sanadnya dari perawi terakhir
hingga kepada Rasulullah SAW. Para perawi hadits itu menerima hadits
secara berjenjang, dari perawi di atasnya yang pertama sampai kepada
yang perawi yang ke sekian hingga kepada Rasulullah SAW.
Seorang ahli hadits akan melakukan penelusuran jalur periwayatan
setiap hadits ini satu per satu, termasuk riwayat hidup para perawi
itu pada semua level / tabaqathnya. Kalau ada cacat pada dirinya,
baik dari sisi dhabit (hafalan) maupun `adalah-nya (sifat
kepribadiannya), maka akan berpengaruh besar kepada nilai derajat
hadits yang diriwayatkannya.
Sebuah hadits yang selamat dari semua cacat pada semua jalur
perawinya hingga ke Rasulullah SAW, dimana semua perawi itu lolos
verifikasi dan dinyatakan sebagai perawi yang tisqah, maka hadits
itu dikatakan sehat, atau istilah populernya shahih. Sedikit derajat
di bawahnya disebut hadits hasan atau baik. Namun bila ada diantara
perawinya yang punya cacat atau kelemahan, maka hadits yang sampai
kepada kita melalui jalurnya akan dikatakan lemah atau dha`if.
Para ulama mengatakan bila sebuah hadits lemah dari sisi
periwayatannya namun masih tersambung kepada Rasulullah SAW, masih
bisa dijadikan dalil untuk bidang fadhailul a`mal, atau keutamaan
amal ibadah.
Sedangkan bila sebuah hadits terputus periwayatannya dan tidak
sampai jalurnya kepada Rasulullah SAW, maka hadits ini dikatakan
putus atau munqathi`. Dan bisa saja hadits yang semacam ini memang
sama sekali bukan dari Rasulullah SAW, sehingga bisa dikatakan
hadits palsu atau maudhu`. Jenis hadits yang seperti ini sama sekali
tidak boleh dijadikan dasar hukum dalam Islam.
Untuk mengetahui apakah sebuah hadits itu termasuk shahih atau
tidak, bisa dilihat dalam kitab susunan Imam Al-Bukhari yaitu shahih
Bukhari atau Imam Muslim yaitu shahih muslim. Untuk hadits-hadits
dha'if juga bisa dilihat pada kitab-kitab khusus yang disusun untuk
membuat daftar hadits dha'if.
Di masa sekarang ini, para ulama yang berkonsentrasi di bidang
hadits banyak yang menuliskannya, seperti karya-karya Syaikh
Nashiruddin Al-Albani. Di antaranya kitab Silsilah Al-Ahadits Ash-
Shahihah yang berjumlah 11 jilid.
Oleh: Tim dakwatuna.com
http://www.dakwatuna.com/index.php/sunnah-nabawiyah/mushthalah-hadits/2006/pengetahuan-dasar-ilmu-hadits/
PENDAHULUAN
1. Pada awalnya Rasulullah saw melarang para sahabat menuliskan
hadits, karena dikhawatirkan akan bercampur-baur penulisannya dengan
Al-Qur'an.
2. Perintah untuk menuliskan hadits yang pertama kali adalah oleh
khalifah Umar bin Abdul Aziz. Beliau menulis surat kepada
gubernurnya di Madinah yaitu Abu bakar bin Muhammad bin Amr Hazm Al-
Alshari untuk membukukan hadits.
3. Ulama yang pertama kali mengumpulkan hadits adalah Ar-Rabi Bin
Shabi dan Said bin Abi Arabah, akan tetapi pengumpulan hadits
tersebut masih acak (tercampur antara yang shahih dengan, dha'if,
dan perkataan para sahabat.
4. Pada kurun ke-2 imam Malik menulis kitab Al-Muwatha di
Madinah, di Makkah Hadits dikumpulkan oleh Abu Muhammad Abdul Malik
Bin Ibnu Juraiz, di Syam oleh imam Al-Auza i, di Kuffah oleh Sufyan
At-Tsauri, di Bashrah oleh Hammad Bin Salamah.
5. Pada awal abad ke-3 hijriyah mulai dikarang kitab-kitab
musnad, seperti musnad Na'im ibnu hammad.
6. Pada pertengahan abad ke-3 hijriyah mulai dikarang kitab
shahih Bukhari dan Muslim.
PEMBAHASAN
Ilmu Hadits:
ilmu yang membahas kaidah-kaidah untuk mengetahui kedudukan sanad
dan matan, apakah diterima atau ditolak.
Hadits:
Apa-apa yang disandarkan kepada Rasulullah saw, berupa perkataan,
perbuatan, persetujuan, dan sifat (lahiriyah dan batiniyah).
Sanad:
Mata rantai perawi yang menghubungkannya ke matan.
Matan:
Perkataan-perkataan yang dinukil sampai ke akhir sanad.
PEMBAGIAN HADITS
Dilihat dari konsekuensi hukumnya:
1. Hadits Maqbul (diterima): terdiri dari Hadits shahih dan Hadits Hasan
2. Hadits Mardud (ditolak): yaitu Hadits dha'if
Penjelasan:
HADITS SHAHIH:
Yaitu Hadits yang memenuhi 5 syarat berikut ini:
1. Sanadnya bersambung (telah mendengar/bertemu antara para perawi).
2. Melalui penukilan dari perawi-perawi yang adil.Perawi yang
adil adalah perawi yang muslim, baligh (dapat memahami perkataan dan
menjawab pertanyaan), berakal, terhindar dari sebab-sebab kefasikan
dan rusaknya kehormatan (contoh-contoh kefasikan dan rusaknya
kehormatan adalah seperti melakukan kemaksiatan dan bid'ah, termasuk
diantaranya merokok, mencukur jenggot, dan bermain musik).
3. Tsiqah (yaitu hapalannya kuat).
4. Tidak ada syadz. Syadz adalah seorang perawi yang tsiqah
menyelisihi perawi yang lebih tsiqah darinya.
5. Tidak ada illat atau kecacatan dalam Hadits
Hukum Hadits shahih: dapat diamalkan dan dijadikan hujjah.
HADITS HASAN:
Yaitu Hadits yang apabila perawi-perawinya yang hanya sampai pada
tingkatan shaduq (tingkatannya berada di bawah tsiqah).
Shaduq: tingkat kesalahannya 50: 50 atau di bawah 60% tingkat ke
tsiqahannya. Shaduq bisa terjadi pada seorang perawi atau
keseluruhan perawi pada rantai sanad.
Para ulama dahulu meneliti tingkat ketsiqahan seorang perawi adalah
dengan memberikan ujian, yaitu disuruh membawakan 100 hadits berikut
sanad-sanadnya. Jika sang perawi mampu menyebutkan lebih dari 60
hadits (60%) dengan benar maka sang perawi dianggap tsiqah.
Hukum Hadits Hasan: dapat diamalkan dan dijadikan hujjah.
HADITS HASAN SHAHIH
Penyebutan istilah Hadits hasan shahih sering disebutkan oleh imam
Tirmidzi. Hadits hasan shahih dapat dimaknai dengan 2 pengertian:
* Imam Tirmidzi mengatakannya karena Hadits tersebut memiliki 2
rantai sanad/lebih. Sebagian sanad hasan dan sebagian lainnya
shahih, maka jadilah dia Hadits hasan shahih.
* Jika hanya ada 1 sanad, Hadits tersebut hasan menurut sebagian
ulama dan shahih oleh ulama yang lainnya.
HADITS MUTTAFAQQUN `ALAIHI
Yaitu Hadits yang sepakat dikeluarkan oleh imam Bukhari dan imam
Muslim pada kitab shahih mereka masing-masing.
TINGKATAN HADITS SHAHIH
* Hadits muttafaqqun `alaihi
* Hadits shahih yang dikeluarkan oleh imam Bukhari saja
* Hadits shahih yang dikeluarkan oleh imam Muslim saja
* Hadits yang sesuai dengan syarat Bukhari dan Muslim, serta
tidak dicantumkan pada kitab-kitab shahih mereka.
* Hadits yang sesuai dengan syarat Bukhari
* Hadits yang sesuai dengan syarat Muslim
* Hadits yang tidak sesuai dengan syarat Bukhari dan Muslim
Syarat Bukhari dan Muslim: perawi-perawi yang dipakai adalah perawi-
perawi Bukhari dan Muslim dalam shahih mereka.
HADITS DHA'IF
Hadits yang tidak memenuhi salah satu/lebih syarat Hadits shahih dan Hasan.
Hukum Hadits dha'if: tidak dapat diamalkan dan tidak boleh
meriwayatkan Hadits dha'if kecuali dengan menyebutkan kedudukan
Hadits tersebut. Hadits dha'if berbeda dengan hadits palsu atau
hadits maudhu`. Hadits dha'if itu masih punya sanad kepada
Rasulullah SAW, namun di beberapa rawi ada dha`f atau kelemahan.
Kelemahan ini tidak terkait dengan pemalsuan hadits, tetapi lebih
kepada sifat yang dimiliki seorang rawi dalam masalah dhabit atau al-
`adalah. Mungkin sudah sering lupa atau ada akhlaqnya yang kurang
etis di tengah masyarakatnya. Sama sekali tidak ada kaitan dengan
upaya memalsukan atau mengarang hadits.
Yang harus dibuang jauh-jauh adalah hadits maudhu`, hadits mungkar
atau matruk. Dimana hadits itu sama sekali memang tidak punya sanad
sama sekali kepada Rasulullah saw. Walau yang paling lemah
sekalipun. Inilah yang harus dibuang jauh-jauh. Sedangkan kalau baru
dha`if, tentu masih ada jalur sanadnya meski tidak kuat. Maka
istilah yang digunakan adalah dha`if atau lemah. Meski lemah tapi
masih ada jalur sanadnya.
Karena itulah para ulama berbeda pendapat tentang penggunaan hadits
dha`if, dimana sebagian membolehkan untuk fadha`ilul a`mal. Dan
sebagian lagi memang tidak menerimanya. Namun menurut iman An-Nawawi
dalam mukaddimahnya, bolehnya menggunakan hadits-hadits dha'if dalam
fadailul a'mal sudah merupakan kesepakatan para ulama.
Untuk tahap lanjut tentang ilmu hadits, silakan merujuk pada
kitab "Mushthalahul Hadits"
Buat kita orang-orang yang awam dengan ulumul hadits, tentu untuk
mengetahui derajat suatu hadits bisa dengan bertanya kepada para
ulama ahli hadits. Sebab merekalah yang punya kemampuan dan
kapasitas dalam melakukan penelusuran sanad dan perawi suatu hadits
serta menentukan derajatnya.
Setiap hadits itu harus ada alur sanadnya dari perawi terakhir
hingga kepada Rasulullah SAW. Para perawi hadits itu menerima hadits
secara berjenjang, dari perawi di atasnya yang pertama sampai kepada
yang perawi yang ke sekian hingga kepada Rasulullah SAW.
Seorang ahli hadits akan melakukan penelusuran jalur periwayatan
setiap hadits ini satu per satu, termasuk riwayat hidup para perawi
itu pada semua level / tabaqathnya. Kalau ada cacat pada dirinya,
baik dari sisi dhabit (hafalan) maupun `adalah-nya (sifat
kepribadiannya), maka akan berpengaruh besar kepada nilai derajat
hadits yang diriwayatkannya.
Sebuah hadits yang selamat dari semua cacat pada semua jalur
perawinya hingga ke Rasulullah SAW, dimana semua perawi itu lolos
verifikasi dan dinyatakan sebagai perawi yang tisqah, maka hadits
itu dikatakan sehat, atau istilah populernya shahih. Sedikit derajat
di bawahnya disebut hadits hasan atau baik. Namun bila ada diantara
perawinya yang punya cacat atau kelemahan, maka hadits yang sampai
kepada kita melalui jalurnya akan dikatakan lemah atau dha`if.
Para ulama mengatakan bila sebuah hadits lemah dari sisi
periwayatannya namun masih tersambung kepada Rasulullah SAW, masih
bisa dijadikan dalil untuk bidang fadhailul a`mal, atau keutamaan
amal ibadah.
Sedangkan bila sebuah hadits terputus periwayatannya dan tidak
sampai jalurnya kepada Rasulullah SAW, maka hadits ini dikatakan
putus atau munqathi`. Dan bisa saja hadits yang semacam ini memang
sama sekali bukan dari Rasulullah SAW, sehingga bisa dikatakan
hadits palsu atau maudhu`. Jenis hadits yang seperti ini sama sekali
tidak boleh dijadikan dasar hukum dalam Islam.
Untuk mengetahui apakah sebuah hadits itu termasuk shahih atau
tidak, bisa dilihat dalam kitab susunan Imam Al-Bukhari yaitu shahih
Bukhari atau Imam Muslim yaitu shahih muslim. Untuk hadits-hadits
dha'if juga bisa dilihat pada kitab-kitab khusus yang disusun untuk
membuat daftar hadits dha'if.
Di masa sekarang ini, para ulama yang berkonsentrasi di bidang
hadits banyak yang menuliskannya, seperti karya-karya Syaikh
Nashiruddin Al-Albani. Di antaranya kitab Silsilah Al-Ahadits Ash-
Shahihah yang berjumlah 11 jilid.
Oleh: Tim dakwatuna.com
http://www.dakwatuna.com/index.php/sunnah-nabawiyah/mushthalah-hadits/2006/pengetahuan-dasar-ilmu-hadits/
Tue Aug 01, 2023 9:56 pm by wisatasemarang
» Portable STATA 18 Crack Full Version
Thu May 11, 2023 5:24 pm by wisatasemarang
» NVivo 12 Crack Full version
Mon Jan 30, 2023 11:16 am by wisatasemarang
» Tutorial Difference In difference (DID (Diff-in-Diff) With Eviews 13
Thu Nov 03, 2022 6:24 am by wisatasemarang
» Online Workshop Smart PLS Minggu, 01 Oktober 2022
Sat Sep 17, 2022 11:35 am by wisatasemarang
» kumpulan ebook tentang robot
Fri Jan 02, 2015 10:04 pm by kyuru
» MANTRA PELET
Wed May 16, 2012 3:31 am by orlandojack
» book love of spell
Sat Mar 24, 2012 8:08 pm by rifqi as
» attraction Formula
Sat Mar 24, 2012 7:09 pm by rifqi as