Aqidah dan Keimanan
(Bagian.2 dari 3)
Makna unsur yang ketiga --"Hendaklah kamu tidak
mencari hakim kepada selain Allah" -- adalah menolak ketundukan kepada
setiap hukum selain hukum Allah, setiap perintah selain perintah dari Allah,
setiap sistem selain sistem yang ditetapkan Allah, setiap undang-undang selain
syari'at Allah dan setiap aturan, tradisi, adat istiadat, manhaj, fikrah dan
nilai yang tidak diizinkan oleh Allah. Maka barangsiapa yang menerima sedikit
dari semua itu baik sebagai hakim atau yang dihukumi, tanpa izin dari Allah
berarti dia telah mernbatalkan salah satu unsur yang asasi dari unsur-unsur
tauhid, karena ia telah mencari hakim selain Allah, padahal hukum dan tasyri'
itu termasuk hak Allah saja. Allah SWT berfirman : "Keputusan (hukum) itu
hanyalah kepunyaan Allah. Dia telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah
selain Dia. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak
mengetahui." (Yusuf: 40).
Unsur ini sebenamya merupakan konsekuensi tauhid
rububbiyah dan uluhiyah Allah, karena sesungguhnya orang yang menjadikan
seseorang dari hamba Allah sebagai pembuat hukum dan yang menentukan, ia
memerintahkan dan melarang sesuai dengan kemauannya, menghalalkan dan
mengharamkan semaunya serta memberikannya hak ketaatan dalam hal itu, meskipun
ia menghalalkan yang haram, seperti zina, riba, khamr, dan judi, kemudian juga
mengharamkan yang halal seperti thalaq (mencerai) dan berpoligami. Dan juga
menggugurkan kewajiban-kewajiban, seperti khilafah, jihad, zakat, amar ma'ruf
dan nahi munkar, dan menegakkan ketentuan-ketentuan Allah dan yang lainnya.
Barangsiapa yang menjadikan orang seperti ini sebagai hakim dan syari' (pembuat
undang-undang) maka sebenarnya dia telah menjadikannya sebagai tuhan yang
ditaati segala perintahnya dan dipatuhi segala peraturannya. Inilah yang
dijelaskan di dalam Al Qur'an dan diuraikan oleh Sunnah Nabi. Al Qur'an
menggambarkan perilaku Ahlul Kitab sebagai berikut : "Mereka menjadikan
orang-orang alimnya, dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah, dan (juga
mereka mempertuhankan) Al Masih putera Maryam; padahal mereka hanya disuruh
menyembah Tuhan Yang Maha Esa; tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain
Dia. Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan." (At-Taubah: 31).
Bagaimana bisa mereka itu dikatakan telah menjadikan
orang-orang alim dan rahib mereka sebagai tuhan-tuhan, padahal tidak bersujud
kepada mereka dan tidak menyembah mereka sebagaimana penyembahan terhadap
berhala?
Pertanyaan ini dijawab oleh Rasulullah SAW dalam
hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Tirmidzi dan Ibnu Jarir yaitu tentang
kisah Islamnya 'Ady bin Hatim Ath-Thaa'i yang sebelumnya beragama Nasrani
kemudian datang ke Madinah dan orang-orang membicarakan tentang kedatangannya.
Maka ia mendatangi Rasulullah SAW, sedang di lehernya terdapat salib dari
perak. Ketika itu Rasulullah SAW membacakan ayat: "Ittakhadzuu Ahbaarahum
wa ruhbaanaham arbaaban min duunillaah." 'Ady berkata: "Sesungguhnya
mereka tidak menyembah rahib-rahib itu!" Maka Nabi SAW bersabda: "Ya,
mereka itu telah mengharamkan atas pengikut-pengikutnya yang halal dan
menghalalkan kepada mereka yang haram, sehingga para pengikut itu mengikuti
mereka, maka itulah ibadah mereka terhadap para rahib." (HR. Tirmidzi).
Ibnu Katsir berkata: "Demikianlah Hudzaifah bin
Yaman dan Ibnu Abbas mengatakan penafsiran ayat tersebut, karena mereka telah
mengikuti para rahib itu dalam hal yang para rahib itu telah halalkan dan
haramkan."
As-Su'dy mengatakan: "Mereka telah memperturuti
para ulama mereka, pada saat yang sama mereka membuang kitab Allah di belakang
punggung mereka, untuk itu Allah SWT berfirman: "Dan mereka tidak
diperintahkan kecuali untuk beribadah kepada Tuhan Yang Esa." Yaitu tuhan
yang apabila mengharamkan sesuatu maka itu menjadi haram, dan apa saja yang
telah Dia halalkan maka menjadi halal, apa yang telah ditetapkan dalam syari'at
maka harus diikuti dan apa yang telah diputuskan maka harus dilaksanakan, tiada
ilah (Tuhan) selain Dia, Maha Suci Allah dari apa-apa yang mereka
sekutukan."
Inilah kesimpulan makna kalimat yang pertama dari
kedua kalimat syahadah, yakni kalimat "Laa ilaaha illallaah" yang
konsekuensinya adalah: tidak mencari Rabb selain Allah, tidak menjadikan selain
Allah sebagai wali (penolong) dan tidak menjadikan selain Allah sebagai hakim,
sebagaimana diucapkan/dikatakan oleh Al Qur'an dalam ayat-ayatnya yang sharih
dan yang muhkamat.
Adapun kalimah yang kedua dari kalimat syahadah yang
berfungsi sebagai syarat sahnya seseorang masuk Islam adalah "Muhammadan
Rasulullah." Karena sesungguhnya mengakui keesaan Allah Ta'ala sebagai
Ilah dan Rabb itu tidak cukup apabila tidak disertai pengakuan yang kedua,
yaitu bahwa Muhammad adalah utusan Allah.
Sesungguhnya hikmah (kebijaksanaan) Allah telah
menghendaki, di mana Allah tidak membiarkan manusia ada tanpa makna, dan tidak
membiarkan mereka tanpa arti. Untuk itu Allah mengutus kepada mereka dalam
setiap kurun waktu para penyampai risalah yang berfungsi memberikan petunjuk,
membimbing dan mengarahkan kepada mereka untuk memperoleh ridha-Nya dan
menghindarkan mereka dari murka-Nya, itulah mereka para Rasul. Allah SWT
berfirman : "(Mereka Kami utus) selaku rasul-rasul pembawa berita gembira
dan pemberi peringatan agar tidak ada alasan bagi manasia membantah Allah
sesudah diutusnnya rasul-rasul itu. Dan adalah Allah Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana." (An-Nisaa': 165).
Sebagaimana juga bahwa tugas para Rasul itu adalah
membuat kaidah-kaidah, nilai-nilai dan standar yang mengatur kehidupan dalam
masyarakat serta memberi petunjuk ke arah yang benar. Manusia bisa menjadikan
itu sebagai pedoman apabila mereka berselisih, dan bisa kembali kepadanya
apabila terjadi saling bermusuhan, sehingga mereka memperoleh kebenaran,
keadilan, kebaikan, dan kemuliaan, jauh dari kebathilan, kezhaliman, keburukan dan
kerusakan. Allah swt berfirman : "Sesungguhzya Kami telah mengutus rasul-
rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan
bersama mereka Al Kitab dan neraca (keadilan) agar manusia dapat melaksanakan
keadilan." (Al Hadid: 25).
Inilah sesuatu yang diturunkan oleh Allah SWT kepada
rasul-Nya berupa Al Kitab yang terangkai di dalamnya nash-nash wahyu ilahi yang
terpelihara. Dan "Al Mizan" (timbangan) yang itu merupakan standar
nilai-nilai Rabbani yang ditunjukkan oleh para Nabi berupa percontohan ideal
dan keutamaan manusiawi yang berjalan di bawah pancaran Kitabullah.
Kalau bukan karena keberadaan (tanpa) mereka, para
rasul, niscaya manusia akan tersesat dari jalannya untuk memahami hakikat
uluhiyah dan jalan menuju ridha-Nya. Dalam hal pelaksanaan kewajiban mereka
terhadap Allah, tentu mereka akan membuat cara sendiri-sendiri dengan metode
yang berbeda-beda. Sesungguhnya Allah tidak menurunkan hukumnya untuk
memecah-belah melainkan untuk mempersatukan, tidak untuk merobohkan akan tetapi
untuk membangun, dan tidak dalam rangka menyesatkan tetapi memberi petunjuk.
Utusan yang terakhir adalah Muhammad SAW dialah yang
menyampaikan perintah, hukum dan syari'at Allah. Melalui dia kita mengetahui
apa-apa yang diinginkan oleh Allah dari kita dan apa-apa yang diridhai oleh
Allah atas kita, apa-apa yang diperintahkan oleh Allah kepada kita dan apa-apa
yang dilarang-Nya. Melalui Nabi kita mengenal Rabb kita, kita mengetahui dari
mana asal kita dan hendak kemana kita menuju, kita mengetahui jalan hidup kita,
mengenal halal dan haram dan mengetahui kewajiban-kewajiban. Kalau bukan karena
Nabi SAW, maka kita akan hidup dalam kegelapan tanpa mengenal tujuan dan tidak
tahu jalan, Allah SWT berfirman : "Sesungguhnya telah datang kepadamu Rasul
Kami, menjelaskan kepadamu banyak dari isi Al Kitab yang kamu sembunyikan, dan
banyak (pula yang) dibiarkannya. Sesungguhnya telah datang kepadamu cahaya dan
Allah, dan kitab yang menerangkannya. Dengan kitab itulah Allah menunjuki
orang-orang yang mengikuti keridhaan-Nya ke jalan keselamatan, dan (dengan
kitab itu) Allah mengeluarkan orang-orang itu dari gelap gulita kepada cahaya
yang terang benderang dengan seizin-Nya, dan menunjuki mereka ke jalan yang
lurus." (Al Maaidah: 15-16).
Melalui Rasulullah SAW kita mengetahui bahwa di
balik kehidupan ini masih ada kehidupan lainnya, di mana akan dimintai
pertanggungjawaban setiap jiwa manusia terhadap apa yang ia perbuat, dan akan
dibalas apa yang ia kerjakan. Maka orang-orang yang berbuat buruk, akan dibalas
sesuai dengan amalnya, dan orang-orang yang berbuat kebajikan akan dibalas
dengan kebaikan pula.
Melalui Rasulullah SAW kita mengetahui bahwa
sesungguhnya di balik apa yang kita lakukan itu ada hisab (perhitungan) dan
mizan (timbangan amal), ada pahala dan siksa, serta surga dan neraka. Allah SWT
berfirman : "Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrah pun
(atom), niscaya dia akan melihat (balasan)nya. Dan barangsiapa yang mengerjakan
kejahatan seberat dzarrah pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya
pula." (Az-Zalzalah: 7-.
Melalui Nabi SAW kita mengetahui prinsip-prinsip
kebenaran dan kaidah-kaidah keadilan serta nilai-nilai kebaikan dalam syari'at
(suatu aturan hidup) yang tidak menyesatkan dan tidak melalaikan. Syari'at yang
dibuat oleh Dzat yang mengetahui rahasia, Dzat yang tidak ada yang mampu
bersembunyi dari-Nya, Dzat yang mengetahui siapa yang merusak dan siapa pula
yang memperbaiki. Allah SWT berfirman : "Apakah Allah yang menciptakan itu
tidak mengetahui (yang kamu lahirkan dan rahasiakan); dan Dia Maha Halus lagi
Maha Mengetahui." (Al Mulk: 14).
Untuk itulah maka kalimat "Muhammadan
Rasulullah" adalah penyempurna dari kalimat "Laaa ilaaha
illallaah" yang artinya tiada yang berhak disembah selain Allah, sedangkan
arti berikutnya adalah, tidak sah untuk menyembah Allah kecuali dengan syari'at
dan wahyu yang disampaikan oleh Allah melalui lisan Rasul-Nya.
Tidak heran apabila ketaatan kita kepada Rasulullah
SAW itu merupakan bagian dari ketaatan kita kepada Allah, sebagaimana firman Allah
SWT : "Barangsiapa taat kepada Rasul maka taat kepada Allah."
(An-Nisaa':80).
Dan ittiba' kita kepada Rasul termasuk salah satu
tanda kecintaan kita kepada Allah SWT : "Katakanlah: 'Jika kamu
(benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan
mengampuni dosa-dosamu.' Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (Ali
'Imran: 3).
Ridha terhadap hukum-Nya dan syari'at-Nya merupakan
salah satu bagian yang tidak bisa dipisahkan dari keimanan kepada Allah Tidak
termasuk golongan orang-orang yang beriman orang yang menolak hukum atau
perintah yang telah ditetapkan oleh Rasulullah SAW sebagai penjelasan terhadap
Al Qur'an, karena Allah SWT telah mengutusnya untuk menjelaskan kepada manusia
apa (kitab) yang diturunkan kepada mereka. Ini merupakan sesuatu yang sangat
jelas dalam Al Qur'an Al Karim. Tidak dikatakan beriman orang yang berhukum
kepada selain dari Rasulullah SAW atau orang yang menolak hukumnya atau
ragu-ragu terhadap hukum itu. Allah SWT berfirman : "Dan tidaklah patut
bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila
Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, ada bagi mereka pilihan
(yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan
Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata." (Al Ahzab:
36).
Allah SWT juga menjelaskan dan menolak keimanan
orang-orang munafik, sebagaimana dalam firman-Nya : "Dan mereka berkata:
'Kami telah beriman kepada Allah dan Rasul, dan kami mentaati (keduanya).'
Kemudian sebagian dari mereka berpaling sesudah itu, sekali-kali mereka itu
bukanlah orang-orang yang beriman. Dan apabila mereka dipanggil kepada Allah
dan rasul-Nya, agar rasul menghukum (mengadili) di antara mereka, tiba-tiba
sebagian dari mereka menolak untuk datang. Tetapi jika keputusan itu untuk
(kemaslahatan) mereka, mereka datang kepada Rasul dengan patuh. Apakah
(ketidakdatangan mereka itu karena) dalam hati mereka ada penyakit, atau
(karena) mereka ragu-ragu ataukah (karena) takut kalau-kalau Allah dan rasul-Nya
berlaku zhalim kepada mereka? Sebenarnya mereka itulah orang-orang yang zhalim.
Sesungguhnya jawaban orang-orang mukmin, bila mereka dipanggil kepada Allah dan
rasul-Nya agar rasul menghukum (mengadili) di antara mereka ialah ucapan: 'Kami
mendengar, dan kami patuh.' Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung."
(An-Nuur: 51).
Allah SWT juga menjelaskan tentang orang yang
ragu-ragu dalam menerima keputusan Rasulullah SAW dan rela untuk menerima
keputusan manusia lainnya, konon mereka adalah orang-orang Yahudi :
"Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah
beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu? Mereka hendak berhakim kepada
thaghut, padahal mereka telah diperintah mengingkari thaghut itu. Dan syetan
berrnaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya. Apabila
dikatakan kepada mereka: "Marilah kamu (tunduk) kepada hukum yang Allah
telah turunkan dan kepada hukum rasul," niscaya kamu lihat orang-orang
munafik menghalangi (manusia) dengan sekuat-kuatnya dari (mendekati) kamu. Maka
bagairnanakah halnya apabila mereka (orang-orang munafik) ditimpa sesuatu
musibah disebabkan perbuatan tangan mereka sendiri, kemudian mereka datang
kepadamu sambil bersumpah ."Demi Allah, kami sekali-kali tidak menghendaki
selain penyelesaian yang baik dan perdamaian yang sempurna. Mereka itu adalah
orang-orang yang Allah mengetahui apa yang di dalam hati mereka. Karena itu
berpalinglah kamu dari mereka, dan berilah mereka pelajaran, dan katakanlah
kepada mereka perkataan yang berbekas pada jiwa mereka. Dan Kami tidak mengurus
seorang rasul, melainkan untuk ditaati dengan seizin Allah. Sesungguhnya
jikalau mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun
kepada Allah, dan Rasulpun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka
rnendapati Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang. Maka demi Tuhanmu,
mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim
dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan
dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima
dengan sepenuhnya." (An-Nisaa': 60-65).
Inilah sikap orang-orang yang beriman terhadap
Rasulullah SAW, hukum dan syari'atnya, sungguh mereka tidak merasa ragu-ragu
sedikit pun dalam menerima hukum atau menolaknya. Dengan kata lain mereka tidak
memilih alternatif lainnya dan mereka tidak meninggalkan ketundukan dan
ketaatan, sebagaimana itu dilakukan oleh orang-orang munafik, bahkan prinsip
dan semboyan mereka adalah "Sami'naa wa Atha'naa."
Sikap tersebut berbeda dengan sikap orang-orang
munafik yang rela terhadap hukum selain hukum Allah dan Rasul-Nya. Dan segala
sesuatu yang diikuti selain Allah dan Rasul-Nya disebut "Thaghut,"
oleh karena itu Allah SWT berfirman: "Yurriduuna an yatahaakamuu ila
thaaghuut" itu membuktikan bahwa dalam kehidupan ini hanya ada dua hukum,
yaitu hukum Allah dan hukum thaghut' tidak ada hukum yang ketiga.
Al Qur'an telah menggambarkan kepada kita tentang
sifat-sifat orangorang munafik dan sikap mereka terhadap hukum Allah dan
Rasul-Nya, sebagaimana dalam firman Allah SWT : "Apabila dikatakan kepada
mereka: "Marilah kamu (tunduk) kepada hukum yang Allah telah turunkan dan
kepada hukum Rasul," niscaya kamu .lihat orang-orang munafik menghalangi
(manusia) dengan sekuat-kuatnya dari (mendekati) kamu." (An-Nisaa': 61).
Al Qur'an juga meniadakan keimanan dari orang yang
tidak mau berhakim kepada Rasulullah SAW ketika hidupnya, dan tidak mau
berhukum pada Sunnahnya setelah beliau wafat. Kalaupun sudah demikian, itu
masih belum cukup. Disyaratkan agar mereka ridha dan menyerah terhadap hukum
tersebut. Inilah tabi'at keimanan dan inilah buahnya : "Kemudian mereka
tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang Kami berikan,
dan mereka menerima dengan sepenuhnya." (An-Nisaa': 65).
(Bersambung)
(Bagian.2 dari 3)
Makna unsur yang ketiga --"Hendaklah kamu tidak
mencari hakim kepada selain Allah" -- adalah menolak ketundukan kepada
setiap hukum selain hukum Allah, setiap perintah selain perintah dari Allah,
setiap sistem selain sistem yang ditetapkan Allah, setiap undang-undang selain
syari'at Allah dan setiap aturan, tradisi, adat istiadat, manhaj, fikrah dan
nilai yang tidak diizinkan oleh Allah. Maka barangsiapa yang menerima sedikit
dari semua itu baik sebagai hakim atau yang dihukumi, tanpa izin dari Allah
berarti dia telah mernbatalkan salah satu unsur yang asasi dari unsur-unsur
tauhid, karena ia telah mencari hakim selain Allah, padahal hukum dan tasyri'
itu termasuk hak Allah saja. Allah SWT berfirman : "Keputusan (hukum) itu
hanyalah kepunyaan Allah. Dia telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah
selain Dia. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak
mengetahui." (Yusuf: 40).
Unsur ini sebenamya merupakan konsekuensi tauhid
rububbiyah dan uluhiyah Allah, karena sesungguhnya orang yang menjadikan
seseorang dari hamba Allah sebagai pembuat hukum dan yang menentukan, ia
memerintahkan dan melarang sesuai dengan kemauannya, menghalalkan dan
mengharamkan semaunya serta memberikannya hak ketaatan dalam hal itu, meskipun
ia menghalalkan yang haram, seperti zina, riba, khamr, dan judi, kemudian juga
mengharamkan yang halal seperti thalaq (mencerai) dan berpoligami. Dan juga
menggugurkan kewajiban-kewajiban, seperti khilafah, jihad, zakat, amar ma'ruf
dan nahi munkar, dan menegakkan ketentuan-ketentuan Allah dan yang lainnya.
Barangsiapa yang menjadikan orang seperti ini sebagai hakim dan syari' (pembuat
undang-undang) maka sebenarnya dia telah menjadikannya sebagai tuhan yang
ditaati segala perintahnya dan dipatuhi segala peraturannya. Inilah yang
dijelaskan di dalam Al Qur'an dan diuraikan oleh Sunnah Nabi. Al Qur'an
menggambarkan perilaku Ahlul Kitab sebagai berikut : "Mereka menjadikan
orang-orang alimnya, dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah, dan (juga
mereka mempertuhankan) Al Masih putera Maryam; padahal mereka hanya disuruh
menyembah Tuhan Yang Maha Esa; tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain
Dia. Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan." (At-Taubah: 31).
Bagaimana bisa mereka itu dikatakan telah menjadikan
orang-orang alim dan rahib mereka sebagai tuhan-tuhan, padahal tidak bersujud
kepada mereka dan tidak menyembah mereka sebagaimana penyembahan terhadap
berhala?
Pertanyaan ini dijawab oleh Rasulullah SAW dalam
hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Tirmidzi dan Ibnu Jarir yaitu tentang
kisah Islamnya 'Ady bin Hatim Ath-Thaa'i yang sebelumnya beragama Nasrani
kemudian datang ke Madinah dan orang-orang membicarakan tentang kedatangannya.
Maka ia mendatangi Rasulullah SAW, sedang di lehernya terdapat salib dari
perak. Ketika itu Rasulullah SAW membacakan ayat: "Ittakhadzuu Ahbaarahum
wa ruhbaanaham arbaaban min duunillaah." 'Ady berkata: "Sesungguhnya
mereka tidak menyembah rahib-rahib itu!" Maka Nabi SAW bersabda: "Ya,
mereka itu telah mengharamkan atas pengikut-pengikutnya yang halal dan
menghalalkan kepada mereka yang haram, sehingga para pengikut itu mengikuti
mereka, maka itulah ibadah mereka terhadap para rahib." (HR. Tirmidzi).
Ibnu Katsir berkata: "Demikianlah Hudzaifah bin
Yaman dan Ibnu Abbas mengatakan penafsiran ayat tersebut, karena mereka telah
mengikuti para rahib itu dalam hal yang para rahib itu telah halalkan dan
haramkan."
As-Su'dy mengatakan: "Mereka telah memperturuti
para ulama mereka, pada saat yang sama mereka membuang kitab Allah di belakang
punggung mereka, untuk itu Allah SWT berfirman: "Dan mereka tidak
diperintahkan kecuali untuk beribadah kepada Tuhan Yang Esa." Yaitu tuhan
yang apabila mengharamkan sesuatu maka itu menjadi haram, dan apa saja yang
telah Dia halalkan maka menjadi halal, apa yang telah ditetapkan dalam syari'at
maka harus diikuti dan apa yang telah diputuskan maka harus dilaksanakan, tiada
ilah (Tuhan) selain Dia, Maha Suci Allah dari apa-apa yang mereka
sekutukan."
Inilah kesimpulan makna kalimat yang pertama dari
kedua kalimat syahadah, yakni kalimat "Laa ilaaha illallaah" yang
konsekuensinya adalah: tidak mencari Rabb selain Allah, tidak menjadikan selain
Allah sebagai wali (penolong) dan tidak menjadikan selain Allah sebagai hakim,
sebagaimana diucapkan/dikatakan oleh Al Qur'an dalam ayat-ayatnya yang sharih
dan yang muhkamat.
Adapun kalimah yang kedua dari kalimat syahadah yang
berfungsi sebagai syarat sahnya seseorang masuk Islam adalah "Muhammadan
Rasulullah." Karena sesungguhnya mengakui keesaan Allah Ta'ala sebagai
Ilah dan Rabb itu tidak cukup apabila tidak disertai pengakuan yang kedua,
yaitu bahwa Muhammad adalah utusan Allah.
Sesungguhnya hikmah (kebijaksanaan) Allah telah
menghendaki, di mana Allah tidak membiarkan manusia ada tanpa makna, dan tidak
membiarkan mereka tanpa arti. Untuk itu Allah mengutus kepada mereka dalam
setiap kurun waktu para penyampai risalah yang berfungsi memberikan petunjuk,
membimbing dan mengarahkan kepada mereka untuk memperoleh ridha-Nya dan
menghindarkan mereka dari murka-Nya, itulah mereka para Rasul. Allah SWT
berfirman : "(Mereka Kami utus) selaku rasul-rasul pembawa berita gembira
dan pemberi peringatan agar tidak ada alasan bagi manasia membantah Allah
sesudah diutusnnya rasul-rasul itu. Dan adalah Allah Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana." (An-Nisaa': 165).
Sebagaimana juga bahwa tugas para Rasul itu adalah
membuat kaidah-kaidah, nilai-nilai dan standar yang mengatur kehidupan dalam
masyarakat serta memberi petunjuk ke arah yang benar. Manusia bisa menjadikan
itu sebagai pedoman apabila mereka berselisih, dan bisa kembali kepadanya
apabila terjadi saling bermusuhan, sehingga mereka memperoleh kebenaran,
keadilan, kebaikan, dan kemuliaan, jauh dari kebathilan, kezhaliman, keburukan dan
kerusakan. Allah swt berfirman : "Sesungguhzya Kami telah mengutus rasul-
rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan
bersama mereka Al Kitab dan neraca (keadilan) agar manusia dapat melaksanakan
keadilan." (Al Hadid: 25).
Inilah sesuatu yang diturunkan oleh Allah SWT kepada
rasul-Nya berupa Al Kitab yang terangkai di dalamnya nash-nash wahyu ilahi yang
terpelihara. Dan "Al Mizan" (timbangan) yang itu merupakan standar
nilai-nilai Rabbani yang ditunjukkan oleh para Nabi berupa percontohan ideal
dan keutamaan manusiawi yang berjalan di bawah pancaran Kitabullah.
Kalau bukan karena keberadaan (tanpa) mereka, para
rasul, niscaya manusia akan tersesat dari jalannya untuk memahami hakikat
uluhiyah dan jalan menuju ridha-Nya. Dalam hal pelaksanaan kewajiban mereka
terhadap Allah, tentu mereka akan membuat cara sendiri-sendiri dengan metode
yang berbeda-beda. Sesungguhnya Allah tidak menurunkan hukumnya untuk
memecah-belah melainkan untuk mempersatukan, tidak untuk merobohkan akan tetapi
untuk membangun, dan tidak dalam rangka menyesatkan tetapi memberi petunjuk.
Utusan yang terakhir adalah Muhammad SAW dialah yang
menyampaikan perintah, hukum dan syari'at Allah. Melalui dia kita mengetahui
apa-apa yang diinginkan oleh Allah dari kita dan apa-apa yang diridhai oleh
Allah atas kita, apa-apa yang diperintahkan oleh Allah kepada kita dan apa-apa
yang dilarang-Nya. Melalui Nabi kita mengenal Rabb kita, kita mengetahui dari
mana asal kita dan hendak kemana kita menuju, kita mengetahui jalan hidup kita,
mengenal halal dan haram dan mengetahui kewajiban-kewajiban. Kalau bukan karena
Nabi SAW, maka kita akan hidup dalam kegelapan tanpa mengenal tujuan dan tidak
tahu jalan, Allah SWT berfirman : "Sesungguhnya telah datang kepadamu Rasul
Kami, menjelaskan kepadamu banyak dari isi Al Kitab yang kamu sembunyikan, dan
banyak (pula yang) dibiarkannya. Sesungguhnya telah datang kepadamu cahaya dan
Allah, dan kitab yang menerangkannya. Dengan kitab itulah Allah menunjuki
orang-orang yang mengikuti keridhaan-Nya ke jalan keselamatan, dan (dengan
kitab itu) Allah mengeluarkan orang-orang itu dari gelap gulita kepada cahaya
yang terang benderang dengan seizin-Nya, dan menunjuki mereka ke jalan yang
lurus." (Al Maaidah: 15-16).
Melalui Rasulullah SAW kita mengetahui bahwa di
balik kehidupan ini masih ada kehidupan lainnya, di mana akan dimintai
pertanggungjawaban setiap jiwa manusia terhadap apa yang ia perbuat, dan akan
dibalas apa yang ia kerjakan. Maka orang-orang yang berbuat buruk, akan dibalas
sesuai dengan amalnya, dan orang-orang yang berbuat kebajikan akan dibalas
dengan kebaikan pula.
Melalui Rasulullah SAW kita mengetahui bahwa
sesungguhnya di balik apa yang kita lakukan itu ada hisab (perhitungan) dan
mizan (timbangan amal), ada pahala dan siksa, serta surga dan neraka. Allah SWT
berfirman : "Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrah pun
(atom), niscaya dia akan melihat (balasan)nya. Dan barangsiapa yang mengerjakan
kejahatan seberat dzarrah pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya
pula." (Az-Zalzalah: 7-.
Melalui Nabi SAW kita mengetahui prinsip-prinsip
kebenaran dan kaidah-kaidah keadilan serta nilai-nilai kebaikan dalam syari'at
(suatu aturan hidup) yang tidak menyesatkan dan tidak melalaikan. Syari'at yang
dibuat oleh Dzat yang mengetahui rahasia, Dzat yang tidak ada yang mampu
bersembunyi dari-Nya, Dzat yang mengetahui siapa yang merusak dan siapa pula
yang memperbaiki. Allah SWT berfirman : "Apakah Allah yang menciptakan itu
tidak mengetahui (yang kamu lahirkan dan rahasiakan); dan Dia Maha Halus lagi
Maha Mengetahui." (Al Mulk: 14).
Untuk itulah maka kalimat "Muhammadan
Rasulullah" adalah penyempurna dari kalimat "Laaa ilaaha
illallaah" yang artinya tiada yang berhak disembah selain Allah, sedangkan
arti berikutnya adalah, tidak sah untuk menyembah Allah kecuali dengan syari'at
dan wahyu yang disampaikan oleh Allah melalui lisan Rasul-Nya.
Tidak heran apabila ketaatan kita kepada Rasulullah
SAW itu merupakan bagian dari ketaatan kita kepada Allah, sebagaimana firman Allah
SWT : "Barangsiapa taat kepada Rasul maka taat kepada Allah."
(An-Nisaa':80).
Dan ittiba' kita kepada Rasul termasuk salah satu
tanda kecintaan kita kepada Allah SWT : "Katakanlah: 'Jika kamu
(benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan
mengampuni dosa-dosamu.' Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (Ali
'Imran: 3).
Ridha terhadap hukum-Nya dan syari'at-Nya merupakan
salah satu bagian yang tidak bisa dipisahkan dari keimanan kepada Allah Tidak
termasuk golongan orang-orang yang beriman orang yang menolak hukum atau
perintah yang telah ditetapkan oleh Rasulullah SAW sebagai penjelasan terhadap
Al Qur'an, karena Allah SWT telah mengutusnya untuk menjelaskan kepada manusia
apa (kitab) yang diturunkan kepada mereka. Ini merupakan sesuatu yang sangat
jelas dalam Al Qur'an Al Karim. Tidak dikatakan beriman orang yang berhukum
kepada selain dari Rasulullah SAW atau orang yang menolak hukumnya atau
ragu-ragu terhadap hukum itu. Allah SWT berfirman : "Dan tidaklah patut
bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila
Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, ada bagi mereka pilihan
(yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan
Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata." (Al Ahzab:
36).
Allah SWT juga menjelaskan dan menolak keimanan
orang-orang munafik, sebagaimana dalam firman-Nya : "Dan mereka berkata:
'Kami telah beriman kepada Allah dan Rasul, dan kami mentaati (keduanya).'
Kemudian sebagian dari mereka berpaling sesudah itu, sekali-kali mereka itu
bukanlah orang-orang yang beriman. Dan apabila mereka dipanggil kepada Allah
dan rasul-Nya, agar rasul menghukum (mengadili) di antara mereka, tiba-tiba
sebagian dari mereka menolak untuk datang. Tetapi jika keputusan itu untuk
(kemaslahatan) mereka, mereka datang kepada Rasul dengan patuh. Apakah
(ketidakdatangan mereka itu karena) dalam hati mereka ada penyakit, atau
(karena) mereka ragu-ragu ataukah (karena) takut kalau-kalau Allah dan rasul-Nya
berlaku zhalim kepada mereka? Sebenarnya mereka itulah orang-orang yang zhalim.
Sesungguhnya jawaban orang-orang mukmin, bila mereka dipanggil kepada Allah dan
rasul-Nya agar rasul menghukum (mengadili) di antara mereka ialah ucapan: 'Kami
mendengar, dan kami patuh.' Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung."
(An-Nuur: 51).
Allah SWT juga menjelaskan tentang orang yang
ragu-ragu dalam menerima keputusan Rasulullah SAW dan rela untuk menerima
keputusan manusia lainnya, konon mereka adalah orang-orang Yahudi :
"Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah
beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu? Mereka hendak berhakim kepada
thaghut, padahal mereka telah diperintah mengingkari thaghut itu. Dan syetan
berrnaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya. Apabila
dikatakan kepada mereka: "Marilah kamu (tunduk) kepada hukum yang Allah
telah turunkan dan kepada hukum rasul," niscaya kamu lihat orang-orang
munafik menghalangi (manusia) dengan sekuat-kuatnya dari (mendekati) kamu. Maka
bagairnanakah halnya apabila mereka (orang-orang munafik) ditimpa sesuatu
musibah disebabkan perbuatan tangan mereka sendiri, kemudian mereka datang
kepadamu sambil bersumpah ."Demi Allah, kami sekali-kali tidak menghendaki
selain penyelesaian yang baik dan perdamaian yang sempurna. Mereka itu adalah
orang-orang yang Allah mengetahui apa yang di dalam hati mereka. Karena itu
berpalinglah kamu dari mereka, dan berilah mereka pelajaran, dan katakanlah
kepada mereka perkataan yang berbekas pada jiwa mereka. Dan Kami tidak mengurus
seorang rasul, melainkan untuk ditaati dengan seizin Allah. Sesungguhnya
jikalau mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun
kepada Allah, dan Rasulpun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka
rnendapati Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang. Maka demi Tuhanmu,
mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim
dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan
dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima
dengan sepenuhnya." (An-Nisaa': 60-65).
Inilah sikap orang-orang yang beriman terhadap
Rasulullah SAW, hukum dan syari'atnya, sungguh mereka tidak merasa ragu-ragu
sedikit pun dalam menerima hukum atau menolaknya. Dengan kata lain mereka tidak
memilih alternatif lainnya dan mereka tidak meninggalkan ketundukan dan
ketaatan, sebagaimana itu dilakukan oleh orang-orang munafik, bahkan prinsip
dan semboyan mereka adalah "Sami'naa wa Atha'naa."
Sikap tersebut berbeda dengan sikap orang-orang
munafik yang rela terhadap hukum selain hukum Allah dan Rasul-Nya. Dan segala
sesuatu yang diikuti selain Allah dan Rasul-Nya disebut "Thaghut,"
oleh karena itu Allah SWT berfirman: "Yurriduuna an yatahaakamuu ila
thaaghuut" itu membuktikan bahwa dalam kehidupan ini hanya ada dua hukum,
yaitu hukum Allah dan hukum thaghut' tidak ada hukum yang ketiga.
Al Qur'an telah menggambarkan kepada kita tentang
sifat-sifat orangorang munafik dan sikap mereka terhadap hukum Allah dan
Rasul-Nya, sebagaimana dalam firman Allah SWT : "Apabila dikatakan kepada
mereka: "Marilah kamu (tunduk) kepada hukum yang Allah telah turunkan dan
kepada hukum Rasul," niscaya kamu .lihat orang-orang munafik menghalangi
(manusia) dengan sekuat-kuatnya dari (mendekati) kamu." (An-Nisaa': 61).
Al Qur'an juga meniadakan keimanan dari orang yang
tidak mau berhakim kepada Rasulullah SAW ketika hidupnya, dan tidak mau
berhukum pada Sunnahnya setelah beliau wafat. Kalaupun sudah demikian, itu
masih belum cukup. Disyaratkan agar mereka ridha dan menyerah terhadap hukum
tersebut. Inilah tabi'at keimanan dan inilah buahnya : "Kemudian mereka
tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang Kami berikan,
dan mereka menerima dengan sepenuhnya." (An-Nisaa': 65).
(Bersambung)
Tue Aug 01, 2023 9:56 pm by wisatasemarang
» Portable STATA 18 Crack Full Version
Thu May 11, 2023 5:24 pm by wisatasemarang
» NVivo 12 Crack Full version
Mon Jan 30, 2023 11:16 am by wisatasemarang
» Tutorial Difference In difference (DID (Diff-in-Diff) With Eviews 13
Thu Nov 03, 2022 6:24 am by wisatasemarang
» Online Workshop Smart PLS Minggu, 01 Oktober 2022
Sat Sep 17, 2022 11:35 am by wisatasemarang
» kumpulan ebook tentang robot
Fri Jan 02, 2015 10:04 pm by kyuru
» MANTRA PELET
Wed May 16, 2012 3:31 am by orlandojack
» book love of spell
Sat Mar 24, 2012 8:08 pm by rifqi as
» attraction Formula
Sat Mar 24, 2012 7:09 pm by rifqi as