Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

ingin bergabung dengan elrakyat.tk klik pendaftaran. jika anda sudah pernah mendaftar silakan login. jangan lupa ajak kawan-kawanmu ke mari , dan jadilah top poster di forum kita

Join the forum, it's quick and easy

Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

ingin bergabung dengan elrakyat.tk klik pendaftaran. jika anda sudah pernah mendaftar silakan login. jangan lupa ajak kawan-kawanmu ke mari , dan jadilah top poster di forum kita

Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

Would you like to react to this message? Create an account in a few clicks or log in to continue.
Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

salah satu forum terbesar tempat kita bernostalgia

Login

Lupa password?

Our traffic

info rakyat

Sun Oct 31, 2010 9:05 pm by admin

---------------
PEMBERITAHUAN....

SF ZONA RELIGI SEKARANG KAMI PINDAH KE [You must be registered and logged in to see this link.] ANDA BISA BERPARTISIPASI DAN MENJADI MODERATOR SESUAI PERMINTAAN ANDA DENGAN REQUEST VIA SMS NO ADMIN 081945520865


Sekilas Info

Sun Jun 27, 2010 2:44 pm by admin

kabar gembira, forum lentera-rakyat mulai hari ini juga bisa diakses melalui [You must be registered and logged in to see this link.]


    akidah dan keimanan

    kutubuku
    kutubuku
    Mega Ultimate Member


    Zodiac : Virgo Jumlah posting : 297
    Join date : 18.06.10
    Age : 36
    Lokasi : rahasia

    akidah dan keimanan Empty akidah dan keimanan

    Post by kutubuku Thu Jun 24, 2010 6:05 pm

    Aqidah dan Keimanan




    (Bagian.2 dari 3)





    Makna unsur yang ketiga --"Hendaklah kamu tidak
    mencari hakim kepada selain Allah" -- adalah menolak ketundukan kepada
    setiap hukum selain hukum Allah, setiap perintah selain perintah dari Allah,
    setiap sistem selain sistem yang ditetapkan Allah, setiap undang-undang selain
    syari'at Allah dan setiap aturan, tradisi, adat istiadat, manhaj, fikrah dan
    nilai yang tidak diizinkan oleh Allah. Maka barangsiapa yang menerima sedikit
    dari semua itu baik sebagai hakim atau yang dihukumi, tanpa izin dari Allah
    berarti dia telah mernbatalkan salah satu unsur yang asasi dari unsur-unsur
    tauhid, karena ia telah mencari hakim selain Allah, padahal hukum dan tasyri'
    itu termasuk hak Allah saja. Allah SWT berfirman : "Keputusan (hukum) itu
    hanyalah kepunyaan Allah. Dia telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah
    selain Dia. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak
    mengetahui." (Yusuf: 40).





    Unsur ini sebenamya merupakan konsekuensi tauhid
    rububbiyah dan uluhiyah Allah, karena sesungguhnya orang yang menjadikan
    seseorang dari hamba Allah sebagai pembuat hukum dan yang menentukan, ia
    memerintahkan dan melarang sesuai dengan kemauannya, menghalalkan dan
    mengharamkan semaunya serta memberikannya hak ketaatan dalam hal itu, meskipun
    ia menghalalkan yang haram, seperti zina, riba, khamr, dan judi, kemudian juga
    mengharamkan yang halal seperti thalaq (mencerai) dan berpoligami. Dan juga
    menggugurkan kewajiban-kewajiban, seperti khilafah, jihad, zakat, amar ma'ruf
    dan nahi munkar, dan menegakkan ketentuan-ketentuan Allah dan yang lainnya.
    Barangsiapa yang menjadikan orang seperti ini sebagai hakim dan syari' (pembuat
    undang-undang) maka sebenarnya dia telah menjadikannya sebagai tuhan yang
    ditaati segala perintahnya dan dipatuhi segala peraturannya. Inilah yang
    dijelaskan di dalam Al Qur'an dan diuraikan oleh Sunnah Nabi. Al Qur'an
    menggambarkan perilaku Ahlul Kitab sebagai berikut : "Mereka menjadikan
    orang-orang alimnya, dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah, dan (juga
    mereka mempertuhankan) Al Masih putera Maryam; padahal mereka hanya disuruh
    menyembah Tuhan Yang Maha Esa; tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain
    Dia. Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan." (At-Taubah: 31).





    Bagaimana bisa mereka itu dikatakan telah menjadikan
    orang-orang alim dan rahib mereka sebagai tuhan-tuhan, padahal tidak bersujud
    kepada mereka dan tidak menyembah mereka sebagaimana penyembahan terhadap
    berhala?





    Pertanyaan ini dijawab oleh Rasulullah SAW dalam
    hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Tirmidzi dan Ibnu Jarir yaitu tentang
    kisah Islamnya 'Ady bin Hatim Ath-Thaa'i yang sebelumnya beragama Nasrani
    kemudian datang ke Madinah dan orang-orang membicarakan tentang kedatangannya.
    Maka ia mendatangi Rasulullah SAW, sedang di lehernya terdapat salib dari
    perak. Ketika itu Rasulullah SAW membacakan ayat: "Ittakhadzuu Ahbaarahum
    wa ruhbaanaham arbaaban min duunillaah." 'Ady berkata: "Sesungguhnya
    mereka tidak menyembah rahib-rahib itu!" Maka Nabi SAW bersabda: "Ya,
    mereka itu telah mengharamkan atas pengikut-pengikutnya yang halal dan
    menghalalkan kepada mereka yang haram, sehingga para pengikut itu mengikuti
    mereka, maka itulah ibadah mereka terhadap para rahib." (HR. Tirmidzi).





    Ibnu Katsir berkata: "Demikianlah Hudzaifah bin
    Yaman dan Ibnu Abbas mengatakan penafsiran ayat tersebut, karena mereka telah
    mengikuti para rahib itu dalam hal yang para rahib itu telah halalkan dan
    haramkan."





    As-Su'dy mengatakan: "Mereka telah memperturuti
    para ulama mereka, pada saat yang sama mereka membuang kitab Allah di belakang
    punggung mereka, untuk itu Allah SWT berfirman: "Dan mereka tidak
    diperintahkan kecuali untuk beribadah kepada Tuhan Yang Esa." Yaitu tuhan
    yang apabila mengharamkan sesuatu maka itu menjadi haram, dan apa saja yang
    telah Dia halalkan maka menjadi halal, apa yang telah ditetapkan dalam syari'at
    maka harus diikuti dan apa yang telah diputuskan maka harus dilaksanakan, tiada
    ilah (Tuhan) selain Dia, Maha Suci Allah dari apa-apa yang mereka
    sekutukan."





    Inilah kesimpulan makna kalimat yang pertama dari
    kedua kalimat syahadah, yakni kalimat "Laa ilaaha illallaah" yang
    konsekuensinya adalah: tidak mencari Rabb selain Allah, tidak menjadikan selain
    Allah sebagai wali (penolong) dan tidak menjadikan selain Allah sebagai hakim,
    sebagaimana diucapkan/dikatakan oleh Al Qur'an dalam ayat-ayatnya yang sharih
    dan yang muhkamat.





    Adapun kalimah yang kedua dari kalimat syahadah yang
    berfungsi sebagai syarat sahnya seseorang masuk Islam adalah "Muhammadan
    Rasulullah." Karena sesungguhnya mengakui keesaan Allah Ta'ala sebagai
    Ilah dan Rabb itu tidak cukup apabila tidak disertai pengakuan yang kedua,
    yaitu bahwa Muhammad adalah utusan Allah.





    Sesungguhnya hikmah (kebijaksanaan) Allah telah
    menghendaki, di mana Allah tidak membiarkan manusia ada tanpa makna, dan tidak
    membiarkan mereka tanpa arti. Untuk itu Allah mengutus kepada mereka dalam
    setiap kurun waktu para penyampai risalah yang berfungsi memberikan petunjuk,
    membimbing dan mengarahkan kepada mereka untuk memperoleh ridha-Nya dan
    menghindarkan mereka dari murka-Nya, itulah mereka para Rasul. Allah SWT
    berfirman : "(Mereka Kami utus) selaku rasul-rasul pembawa berita gembira
    dan pemberi peringatan agar tidak ada alasan bagi manasia membantah Allah
    sesudah diutusnnya rasul-rasul itu. Dan adalah Allah Maha Perkasa lagi Maha
    Bijaksana." (An-Nisaa': 165).





    Sebagaimana juga bahwa tugas para Rasul itu adalah
    membuat kaidah-kaidah, nilai-nilai dan standar yang mengatur kehidupan dalam
    masyarakat serta memberi petunjuk ke arah yang benar. Manusia bisa menjadikan
    itu sebagai pedoman apabila mereka berselisih, dan bisa kembali kepadanya
    apabila terjadi saling bermusuhan, sehingga mereka memperoleh kebenaran,
    keadilan, kebaikan, dan kemuliaan, jauh dari kebathilan, kezhaliman, keburukan dan
    kerusakan. Allah swt berfirman : "Sesungguhzya Kami telah mengutus rasul-
    rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan
    bersama mereka Al Kitab dan neraca (keadilan) agar manusia dapat melaksanakan
    keadilan." (Al Hadid: 25).





    Inilah sesuatu yang diturunkan oleh Allah SWT kepada
    rasul-Nya berupa Al Kitab yang terangkai di dalamnya nash-nash wahyu ilahi yang
    terpelihara. Dan "Al Mizan" (timbangan) yang itu merupakan standar
    nilai-nilai Rabbani yang ditunjukkan oleh para Nabi berupa percontohan ideal
    dan keutamaan manusiawi yang berjalan di bawah pancaran Kitabullah.





    Kalau bukan karena keberadaan (tanpa) mereka, para
    rasul, niscaya manusia akan tersesat dari jalannya untuk memahami hakikat
    uluhiyah dan jalan menuju ridha-Nya. Dalam hal pelaksanaan kewajiban mereka
    terhadap Allah, tentu mereka akan membuat cara sendiri-sendiri dengan metode
    yang berbeda-beda. Sesungguhnya Allah tidak menurunkan hukumnya untuk
    memecah-belah melainkan untuk mempersatukan, tidak untuk merobohkan akan tetapi
    untuk membangun, dan tidak dalam rangka menyesatkan tetapi memberi petunjuk.





    Utusan yang terakhir adalah Muhammad SAW dialah yang
    menyampaikan perintah, hukum dan syari'at Allah. Melalui dia kita mengetahui
    apa-apa yang diinginkan oleh Allah dari kita dan apa-apa yang diridhai oleh
    Allah atas kita, apa-apa yang diperintahkan oleh Allah kepada kita dan apa-apa
    yang dilarang-Nya. Melalui Nabi kita mengenal Rabb kita, kita mengetahui dari
    mana asal kita dan hendak kemana kita menuju, kita mengetahui jalan hidup kita,
    mengenal halal dan haram dan mengetahui kewajiban-kewajiban. Kalau bukan karena
    Nabi SAW, maka kita akan hidup dalam kegelapan tanpa mengenal tujuan dan tidak
    tahu jalan, Allah SWT berfirman : "Sesungguhnya telah datang kepadamu Rasul
    Kami, menjelaskan kepadamu banyak dari isi Al Kitab yang kamu sembunyikan, dan
    banyak (pula yang) dibiarkannya. Sesungguhnya telah datang kepadamu cahaya dan
    Allah, dan kitab yang menerangkannya. Dengan kitab itulah Allah menunjuki
    orang-orang yang mengikuti keridhaan-Nya ke jalan keselamatan, dan (dengan
    kitab itu) Allah mengeluarkan orang-orang itu dari gelap gulita kepada cahaya
    yang terang benderang dengan seizin-Nya, dan menunjuki mereka ke jalan yang
    lurus." (Al Maaidah: 15-16).





    Melalui Rasulullah SAW kita mengetahui bahwa di
    balik kehidupan ini masih ada kehidupan lainnya, di mana akan dimintai
    pertanggungjawaban setiap jiwa manusia terhadap apa yang ia perbuat, dan akan
    dibalas apa yang ia kerjakan. Maka orang-orang yang berbuat buruk, akan dibalas
    sesuai dengan amalnya, dan orang-orang yang berbuat kebajikan akan dibalas
    dengan kebaikan pula.





    Melalui Rasulullah SAW kita mengetahui bahwa
    sesungguhnya di balik apa yang kita lakukan itu ada hisab (perhitungan) dan
    mizan (timbangan amal), ada pahala dan siksa, serta surga dan neraka. Allah SWT
    berfirman : "Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrah pun
    (atom), niscaya dia akan melihat (balasan)nya. Dan barangsiapa yang mengerjakan
    kejahatan seberat dzarrah pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya
    pula." (Az-Zalzalah: 7-Cool.





    Melalui Nabi SAW kita mengetahui prinsip-prinsip
    kebenaran dan kaidah-kaidah keadilan serta nilai-nilai kebaikan dalam syari'at
    (suatu aturan hidup) yang tidak menyesatkan dan tidak melalaikan. Syari'at yang
    dibuat oleh Dzat yang mengetahui rahasia, Dzat yang tidak ada yang mampu
    bersembunyi dari-Nya, Dzat yang mengetahui siapa yang merusak dan siapa pula
    yang memperbaiki. Allah SWT berfirman : "Apakah Allah yang menciptakan itu
    tidak mengetahui (yang kamu lahirkan dan rahasiakan); dan Dia Maha Halus lagi
    Maha Mengetahui." (Al Mulk: 14).





    Untuk itulah maka kalimat "Muhammadan
    Rasulullah" adalah penyempurna dari kalimat "Laaa ilaaha
    illallaah" yang artinya tiada yang berhak disembah selain Allah, sedangkan
    arti berikutnya adalah, tidak sah untuk menyembah Allah kecuali dengan syari'at
    dan wahyu yang disampaikan oleh Allah melalui lisan Rasul-Nya.





    Tidak heran apabila ketaatan kita kepada Rasulullah
    SAW itu merupakan bagian dari ketaatan kita kepada Allah, sebagaimana firman Allah
    SWT : "Barangsiapa taat kepada Rasul maka taat kepada Allah."
    (An-Nisaa':80).





    Dan ittiba' kita kepada Rasul termasuk salah satu
    tanda kecintaan kita kepada Allah SWT : "Katakanlah: 'Jika kamu
    (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan
    mengampuni dosa-dosamu.' Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (Ali
    'Imran: 3).





    Ridha terhadap hukum-Nya dan syari'at-Nya merupakan
    salah satu bagian yang tidak bisa dipisahkan dari keimanan kepada Allah Tidak
    termasuk golongan orang-orang yang beriman orang yang menolak hukum atau
    perintah yang telah ditetapkan oleh Rasulullah SAW sebagai penjelasan terhadap
    Al Qur'an, karena Allah SWT telah mengutusnya untuk menjelaskan kepada manusia
    apa (kitab) yang diturunkan kepada mereka. Ini merupakan sesuatu yang sangat
    jelas dalam Al Qur'an Al Karim. Tidak dikatakan beriman orang yang berhukum
    kepada selain dari Rasulullah SAW atau orang yang menolak hukumnya atau
    ragu-ragu terhadap hukum itu. Allah SWT berfirman : "Dan tidaklah patut
    bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila
    Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, ada bagi mereka pilihan
    (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan
    Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata." (Al Ahzab:
    36).





    Allah SWT juga menjelaskan dan menolak keimanan
    orang-orang munafik, sebagaimana dalam firman-Nya : "Dan mereka berkata:
    'Kami telah beriman kepada Allah dan Rasul, dan kami mentaati (keduanya).'
    Kemudian sebagian dari mereka berpaling sesudah itu, sekali-kali mereka itu
    bukanlah orang-orang yang beriman. Dan apabila mereka dipanggil kepada Allah
    dan rasul-Nya, agar rasul menghukum (mengadili) di antara mereka, tiba-tiba
    sebagian dari mereka menolak untuk datang. Tetapi jika keputusan itu untuk
    (kemaslahatan) mereka, mereka datang kepada Rasul dengan patuh. Apakah
    (ketidakdatangan mereka itu karena) dalam hati mereka ada penyakit, atau
    (karena) mereka ragu-ragu ataukah (karena) takut kalau-kalau Allah dan rasul-Nya
    berlaku zhalim kepada mereka? Sebenarnya mereka itulah orang-orang yang zhalim.
    Sesungguhnya jawaban orang-orang mukmin, bila mereka dipanggil kepada Allah dan
    rasul-Nya agar rasul menghukum (mengadili) di antara mereka ialah ucapan: 'Kami
    mendengar, dan kami patuh.' Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung."
    (An-Nuur: 51).





    Allah SWT juga menjelaskan tentang orang yang
    ragu-ragu dalam menerima keputusan Rasulullah SAW dan rela untuk menerima
    keputusan manusia lainnya, konon mereka adalah orang-orang Yahudi :
    "Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah
    beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu? Mereka hendak berhakim kepada
    thaghut, padahal mereka telah diperintah mengingkari thaghut itu. Dan syetan
    berrnaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya. Apabila
    dikatakan kepada mereka: "Marilah kamu (tunduk) kepada hukum yang Allah
    telah turunkan dan kepada hukum rasul," niscaya kamu lihat orang-orang
    munafik menghalangi (manusia) dengan sekuat-kuatnya dari (mendekati) kamu. Maka
    bagairnanakah halnya apabila mereka (orang-orang munafik) ditimpa sesuatu
    musibah disebabkan perbuatan tangan mereka sendiri, kemudian mereka datang
    kepadamu sambil bersumpah ."Demi Allah, kami sekali-kali tidak menghendaki
    selain penyelesaian yang baik dan perdamaian yang sempurna. Mereka itu adalah
    orang-orang yang Allah mengetahui apa yang di dalam hati mereka. Karena itu
    berpalinglah kamu dari mereka, dan berilah mereka pelajaran, dan katakanlah
    kepada mereka perkataan yang berbekas pada jiwa mereka. Dan Kami tidak mengurus
    seorang rasul, melainkan untuk ditaati dengan seizin Allah. Sesungguhnya
    jikalau mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun
    kepada Allah, dan Rasulpun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka
    rnendapati Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang. Maka demi Tuhanmu,
    mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim
    dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan
    dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima
    dengan sepenuhnya." (An-Nisaa': 60-65).





    Inilah sikap orang-orang yang beriman terhadap
    Rasulullah SAW, hukum dan syari'atnya, sungguh mereka tidak merasa ragu-ragu
    sedikit pun dalam menerima hukum atau menolaknya. Dengan kata lain mereka tidak
    memilih alternatif lainnya dan mereka tidak meninggalkan ketundukan dan
    ketaatan, sebagaimana itu dilakukan oleh orang-orang munafik, bahkan prinsip
    dan semboyan mereka adalah "Sami'naa wa Atha'naa."





    Sikap tersebut berbeda dengan sikap orang-orang
    munafik yang rela terhadap hukum selain hukum Allah dan Rasul-Nya. Dan segala
    sesuatu yang diikuti selain Allah dan Rasul-Nya disebut "Thaghut,"
    oleh karena itu Allah SWT berfirman: "Yurriduuna an yatahaakamuu ila
    thaaghuut" itu membuktikan bahwa dalam kehidupan ini hanya ada dua hukum,
    yaitu hukum Allah dan hukum thaghut' tidak ada hukum yang ketiga.





    Al Qur'an telah menggambarkan kepada kita tentang
    sifat-sifat orangorang munafik dan sikap mereka terhadap hukum Allah dan
    Rasul-Nya, sebagaimana dalam firman Allah SWT : "Apabila dikatakan kepada
    mereka: "Marilah kamu (tunduk) kepada hukum yang Allah telah turunkan dan
    kepada hukum Rasul," niscaya kamu .lihat orang-orang munafik menghalangi
    (manusia) dengan sekuat-kuatnya dari (mendekati) kamu." (An-Nisaa': 61).





    Al Qur'an juga meniadakan keimanan dari orang yang
    tidak mau berhakim kepada Rasulullah SAW ketika hidupnya, dan tidak mau
    berhukum pada Sunnahnya setelah beliau wafat. Kalaupun sudah demikian, itu
    masih belum cukup. Disyaratkan agar mereka ridha dan menyerah terhadap hukum
    tersebut. Inilah tabi'at keimanan dan inilah buahnya : "Kemudian mereka
    tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang Kami berikan,
    dan mereka menerima dengan sepenuhnya." (An-Nisaa': 65).





    (Bersambung)
    kutubuku
    kutubuku
    Mega Ultimate Member


    Zodiac : Virgo Jumlah posting : 297
    Join date : 18.06.10
    Age : 36
    Lokasi : rahasia

    akidah dan keimanan Empty Re: akidah dan keimanan

    Post by kutubuku Thu Jun 24, 2010 6:12 pm

    Aqidah dan Keimanan (2)




    muht_adhi writes:





    Unsur ini sebenamya merupakan konsekuensi tauhid
    rububbiyah dan uluhiyah Allah, karena sesungguhnya orang yang menjadikan
    seseorang dari hamba Allah sebagai pembuat hukum dan yang menentukan, ia
    memerintahkan dan melarang sesuai dengan kemauannya, menghalalkan dan
    mengharamkan semaunya serta memberikannya hak ketaatan dalam hal itu, meskipun
    ia menghalalkan yang haram, seperti zina, riba, khamr, dan judi, kemudian juga
    mengharamkan yang halal seperti thalaq (mencerai) dan berpoligami. Dan juga
    menggugurkan kewajiban-kewajiban, seperti khilafah, jihad, zakat, amar ma'ruf
    dan nahi munkar, dan menegakkan ketentuan-ketentuan Allah dan yang lainnya.
    Barangsiapa yang menjadikan orang seperti ini sebagai hakim dan syari' (pembuat
    undang-undang) maka sebenarnya dia telah menjadikannya sebagai tuhan yang
    ditaati segala perintahnya dan dipatuhi segala peraturannya. Inilah yang
    dijelaskan di dalam Al Qur'an dan diuraikan oleh Sunnah Nabi. Al Qur'an
    menggambarkan perilaku Ahlul Kitab sebagai berikut : "Mereka menjadikan orang-orang alimnya,
    dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah, dan (juga mereka
    mempertuhankan) Al Masih putera Maryam; padahal mereka hanya disuruh menyembah
    Tuhan Yang Maha Esa; tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha
    Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan."
    (At-Taubah: 31).






    Bagaimana bisa mereka itu dikatakan telah menjadikan
    orang-orang alim dan rahib mereka sebagai tuhan-tuhan, padahal tidak bersujud
    kepada mereka dan tidak menyembah mereka sebagaimana penyembahan terhadap
    berhala?





    Pertanyaan ini dijawab oleh Rasulullah SAW dalam
    hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Tirmidzi dan Ibnu Jarir yaitu tentang
    kisah Islamnya 'Ady bin Hatim Ath-Thaa'i yang sebelumnya beragama Nasrani
    kemudian datang ke Madinah dan orang-orang membicarakan tentang kedatangannya.
    Maka ia mendatangi Rasulullah SAW, sedang di lehernya terdapat salib dari
    perak. Ketika itu Rasulullah SAW membacakan ayat: "Ittakhadzuu Ahbaarahum wa ruhbaanaham
    arbaaban min duunillaah."
    'Ady berkata: "Sesungguhnya
    mereka tidak menyembah rahib-rahib itu!" Maka Nabi SAW bersabda: "Ya, mereka
    itu telah mengharamkan atas pengikut-pengikutnya yang halal dan menghalalkan
    kepada mereka yang haram, sehingga para pengikut itu mengikuti mereka, maka
    itulah ibadah mereka terhadap para rahib."
    (HR. Tirmidzi).





    Ibnu Katsir berkata: "Demikianlah Hudzaifah bin
    Yaman dan Ibnu Abbas mengatakan penafsiran ayat tersebut, karena mereka telah
    mengikuti para rahib itu dalam hal yang para rahib itu telah halalkan dan
    haramkan."





    As-Su'dy mengatakan: "Mereka telah memperturuti
    para ulama mereka, pada saat yang sama mereka membuang kitab Allah di belakang
    punggung mereka, untuk itu Allah SWT berfirman: "Dan mereka tidak diperintahkan kecuali
    untuk beribadah kepada Tuhan Yang Esa." Yaitu tuhan yang apabila
    mengharamkan sesuatu maka itu menjadi haram, dan apa saja yang telah Dia
    halalkan maka menjadi halal, apa yang telah ditetapkan dalam syari'at maka
    harus diikuti dan apa yang telah diputuskan maka harus dilaksanakan, tiada ilah
    (Tuhan) selain Dia, Maha Suci Allah dari apa-apa yang mereka sekutukan."






    Inilah kesimpulan makna kalimat yang pertama dari
    kedua kalimat syahadah, yakni kalimat "Laa ilaaha illallaah" yang
    konsekuensinya adalah: tidak mencari Rabb selain Allah, tidak menjadikan selain
    Allah sebagai wali (penolong) dan tidak menjadikan selain Allah sebagai hakim,
    sebagaimana diucapkan/dikatakan oleh Al Qur'an dalam ayat-ayatnya yang sharih
    dan yang muhkamat.





    Adapun kalimah yang kedua dari kalimat syahadah yang
    berfungsi sebagai syarat sahnya seseorang masuk Islam adalah "Muhammadan
    Rasulullah."
    Karena sesungguhnya mengakui keesaan Allah Ta'ala
    sebagai Ilah dan Rabb itu tidak cukup apabila tidak disertai pengakuan yang
    kedua, yaitu bahwa Muhammad adalah utusan Allah.





    Sesungguhnya hikmah (kebijaksanaan) Allah telah
    menghendaki, di mana Allah tidak membiarkan manusia ada tanpa makna, dan tidak
    membiarkan mereka tanpa arti. Untuk itu Allah mengutus kepada mereka dalam
    setiap kurun waktu para penyampai risalah yang berfungsi memberikan petunjuk,
    membimbing dan mengarahkan kepada mereka untuk memperoleh ridha-Nya dan
    menghindarkan mereka dari murka-Nya, itulah mereka para Rasul. Allah SWT
    berfirman : "(Mereka
    Kami utus) selaku rasul-rasul pembawa berita gembira dan pemberi peringatan
    agar tidak ada alasan bagi manasia membantah Allah sesudah diutusnnya
    rasul-rasul itu. Dan adalah Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana."

    (An-Nisaa': 165).





    Sebagaimana juga bahwa tugas para Rasul itu adalah
    membuat kaidah-kaidah, nilai-nilai dan standar yang mengatur kehidupan dalam
    masyarakat serta memberi petunjuk ke arah yang benar. Manusia bisa menjadikan
    itu sebagai pedoman apabila mereka berselisih, dan bisa kembali kepadanya
    apabila terjadi saling bermusuhan, sehingga mereka memperoleh kebenaran,
    keadilan, kebaikan, dan kemuliaan, jauh dari kebathilan, kezhaliman, keburukan
    dan kerusakan. Allah swt berfirman : "Sesungguhzya Kami telah mengutus rasul- rasul Kami
    dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Al
    Kitab dan neraca (keadilan) agar manusia dapat melaksanakan keadilan."

    (Al Hadid: 25).





    Inilah sesuatu yang diturunkan oleh Allah SWT kepada
    rasul-Nya berupa Al Kitab yang terangkai di dalamnya nash-nash wahyu ilahi yang
    terpelihara. Dan "Al Mizan" (timbangan) yang itu merupakan standar
    nilai-nilai Rabbani yang ditunjukkan oleh para Nabi berupa percontohan ideal
    dan keutamaan manusiawi yang berjalan di bawah pancaran Kitabullah.





    Kalau bukan karena keberadaan (tanpa) mereka, para
    rasul, niscaya manusia akan tersesat dari jalannya untuk memahami hakikat
    uluhiyah dan jalan menuju ridha-Nya. Dalam hal pelaksanaan kewajiban mereka
    terhadap Allah, tentu mereka akan membuat cara sendiri-sendiri dengan metode
    yang berbeda-beda. Sesungguhnya Allah tidak menurunkan hukumnya untuk
    memecah-belah melainkan untuk mempersatukan, tidak untuk merobohkan akan tetapi
    untuk membangun, dan tidak dalam rangka menyesatkan tetapi memberi petunjuk.





    Utusan yang terakhir adalah Muhammad SAW dialah yang
    menyampaikan perintah, hukum dan syari'at Allah. Melalui dia kita mengetahui
    apa-apa yang diinginkan oleh Allah dari kita dan apa-apa yang diridhai oleh
    Allah atas kita, apa-apa yang diperintahkan oleh Allah kepada kita dan apa-apa
    yang dilarang-Nya. Melalui Nabi kita mengenal Rabb kita, kita mengetahui dari
    mana asal kita dan hendak kemana kita menuju, kita mengetahui jalan hidup kita,
    mengenal halal dan haram dan mengetahui kewajiban-kewajiban. Kalau bukan karena
    Nabi SAW, maka kita akan hidup dalam kegelapan tanpa mengenal tujuan dan tidak
    tahu jalan, Allah SWT berfirman : "Sesungguhnya telah datang kepadamu Rasul Kami,
    menjelaskan kepadamu banyak dari isi Al Kitab yang kamu sembunyikan, dan banyak
    (pula yang) dibiarkannya. Sesungguhnya telah datang kepadamu cahaya dan Allah,
    dan kitab yang menerangkannya. Dengan kitab itulah Allah menunjuki orang-orang
    yang mengikuti keridhaan-Nya ke jalan keselamatan, dan (dengan kitab itu) Allah
    mengeluarkan orang-orang itu dari gelap gulita kepada cahaya yang terang
    benderang dengan seizin-Nya, dan menunjuki mereka ke jalan yang lurus."
    (Al
    Maaidah: 15-16).





    Melalui Rasulullah SAW kita mengetahui bahwa di
    balik kehidupan ini masih ada kehidupan lainnya, di mana akan dimintai
    pertanggungjawaban setiap jiwa manusia terhadap apa yang ia perbuat, dan akan
    dibalas apa yang ia kerjakan. Maka orang-orang yang berbuat buruk, akan dibalas
    sesuai dengan amalnya, dan orang-orang yang berbuat kebajikan akan dibalas
    dengan kebaikan pula.





    Melalui Rasulullah SAW kita mengetahui bahwa
    sesungguhnya di balik apa yang kita lakukan itu ada hisab (perhitungan) dan
    mizan (timbangan amal), ada pahala dan siksa, serta surga dan neraka. Allah SWT
    berfirman : "Barangsiapa
    yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrah pun (atom), niscaya dia akan melihat
    (balasan)nya. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan seberat dzarrah pun,
    niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula."
    (Az-Zalzalah:
    7-Cool.





    Melalui Nabi SAW kita mengetahui prinsip-prinsip
    kebenaran dan kaidah-kaidah keadilan serta nilai-nilai kebaikan dalam syari'at
    (suatu aturan hidup) yang tidak menyesatkan dan tidak melalaikan. Syari'at yang
    dibuat oleh Dzat yang mengetahui rahasia, Dzat yang tidak ada yang mampu
    bersembunyi dari-Nya, Dzat yang mengetahui siapa yang merusak dan siapa pula
    yang memperbaiki. Allah SWT berfirman : "Apakah Allah yang menciptakan itu tidak mengetahui
    (yang kamu lahirkan dan rahasiakan); dan Dia Maha Halus lagi Maha
    Mengetahui."
    (Al Mulk: 14).





    Untuk itulah maka kalimat "Muhammadan Rasulullah"
    adalah penyempurna dari kalimat "Laaa ilaaha illallaah" yang artinya
    tiada yang berhak disembah selain Allah, sedangkan arti berikutnya adalah,
    tidak sah untuk menyembah Allah kecuali dengan syari'at dan wahyu yang
    disampaikan oleh Allah melalui lisan Rasul-Nya.





    Tidak heran apabila ketaatan kita kepada Rasulullah
    SAW itu merupakan bagian dari ketaatan kita kepada Allah, sebagaimana firman
    Allah SWT : "Barangsiapa
    taat kepada Rasul maka taat kepada Allah."
    (An-Nisaa':80).





    Dan ittiba' kita kepada Rasul termasuk salah satu
    tanda kecintaan kita kepada Allah SWT : "Katakanlah: 'Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah,
    ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.' Allah Maha
    Pengampun lagi Maha Penyayang."
    (Ali 'Imran: 3).





    Ridha terhadap hukum-Nya dan syari'at-Nya merupakan
    salah satu bagian yang tidak bisa dipisahkan dari keimanan kepada Allah Tidak
    termasuk golongan orang-orang yang beriman orang yang menolak hukum atau
    perintah yang telah ditetapkan oleh Rasulullah SAW sebagai penjelasan terhadap
    Al Qur'an, karena Allah SWT telah mengutusnya untuk menjelaskan kepada manusia
    apa (kitab) yang diturunkan kepada mereka. Ini merupakan sesuatu yang sangat
    jelas dalam Al Qur'an Al Karim. Tidak dikatakan beriman orang yang berhukum
    kepada selain dari Rasulullah SAW atau orang yang menolak hukumnya atau
    ragu-ragu terhadap hukum itu. Allah SWT berfirman : "Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang
    mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya
    telah menetapkan suatu ketetapan, ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang
    urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah
    dia telah sesat, sesat yang nyata."
    (Al Ahzab: 36).





    Allah SWT juga menjelaskan dan menolak keimanan
    orang-orang munafik, sebagaimana dalam firman-Nya : "Dan mereka berkata: 'Kami telah
    beriman kepada Allah dan Rasul, dan kami mentaati (keduanya).' Kemudian
    sebagian dari mereka berpaling sesudah itu, sekali-kali mereka itu bukanlah
    orang-orang yang beriman. Dan apabila mereka dipanggil kepada Allah dan
    rasul-Nya, agar rasul menghukum (mengadili) di antara mereka, tiba-tiba
    sebagian dari mereka menolak untuk datang. Tetapi jika keputusan itu untuk
    (kemaslahatan) mereka, mereka datang kepada Rasul dengan patuh. Apakah
    (ketidakdatangan mereka itu karena) dalam hati mereka ada penyakit, atau
    (karena) mereka ragu-ragu ataukah (karena) takut kalau-kalau Allah dan
    rasul-Nya berlaku zhalim kepada mereka? Sebenarnya mereka itulah orang-orang
    yang zhalim. Sesungguhnya jawaban orang-orang mukmin, bila mereka dipanggil
    kepada Allah dan rasul-Nya agar rasul menghukum (mengadili) di antara mereka
    ialah ucapan: 'Kami mendengar, dan kami patuh.' Dan mereka itulah orang-orang
    yang beruntung
    ." (An-Nuur: 51).





    (Bersambung)
    kutubuku
    kutubuku
    Mega Ultimate Member


    Zodiac : Virgo Jumlah posting : 297
    Join date : 18.06.10
    Age : 36
    Lokasi : rahasia

    akidah dan keimanan Empty Re: akidah dan keimanan

    Post by kutubuku Thu Jun 24, 2010 6:13 pm

    Aqidah dan Keimanan (3)




    muht_adhi writes:





    Allah SWT juga menjelaskan tentang orang yang
    ragu-ragu dalam menerima keputusan Rasulullah SAW dan rela untuk menerima
    keputusan manusia lainnya, konon mereka adalah orang-orang Yahudi : "Apakah
    kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada
    apa yang diturunkan kepadamu? Mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal
    mereka telah diperintah mengingkari thaghut itu. Dan syetan berrnaksud
    menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya. Apabila dikatakan
    kepada mereka: "Marilah kamu (tunduk) kepada hukum yang Allah telah
    turunkan dan kepada hukum rasul," niscaya kamu lihat orang-orang munafik
    menghalangi (manusia) dengan sekuat-kuatnya dari (mendekati) kamu. Maka
    bagairnanakah halnya apabila mereka (orang-orang munafik) ditimpa sesuatu
    musibah disebabkan perbuatan tangan mereka sendiri, kemudian mereka datang
    kepadamu sambil bersumpah ."Demi Allah, kami sekali-kali tidak menghendaki
    selain penyelesaian yang baik dan perdamaian yang sempurna. Mereka itu adalah
    orang-orang yang Allah mengetahui apa yang di dalam hati mereka. Karena itu
    berpalinglah kamu dari mereka, dan berilah mereka pelajaran, dan katakanlah
    kepada mereka perkataan yang berbekas pada jiwa mereka. Dan Kami tidak mengurus
    seorang rasul, melainkan untuk ditaati dengan seizin Allah. Sesungguhnya
    jikalau mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun
    kepada Allah, dan Rasulpun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka
    rnendapati Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang. Maka demi Tuhanmu,
    mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim
    dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan
    dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima
    dengan sepenuhnya." (An-Nisaa': 60-65).





    Inilah sikap orang-orang yang beriman terhadap
    Rasulullah SAW, hukum dan syari'atnya, sungguh mereka tidak merasa ragu-ragu
    sedikit pun dalam menerima hukum atau menolaknya. Dengan kata lain mereka tidak
    memilih alternatif lainnya dan mereka tidak meninggalkan ketundukan dan
    ketaatan, sebagaimana itu dilakukan oleh orang-orang munafik, bahkan prinsip
    dan semboyan mereka adalah "Sami'naa wa Atha'naa."





    Sikap tersebut berbeda dengan sikap orang-orang
    munafik yang rela terhadap hukum selain hukum Allah dan Rasul-Nya. Dan segala
    sesuatu yang diikuti selain Allah dan Rasul-Nya disebut "Thaghut,"
    oleh karena itu Allah SWT berfirman: "Yurriduuna an yatahaakamuu ila thaaghuut"
    itu membuktikan bahwa dalam kehidupan ini hanya ada dua hukum, yaitu hukum
    Allah dan hukum thaghut' tidak ada hukum yang ketiga.





    Al Qur'an telah menggambarkan kepada kita tentang
    sifat-sifat orangorang munafik dan sikap mereka terhadap hukum Allah dan
    Rasul-Nya, sebagaimana dalam firman Allah SWT : "Apabila dikatakan kepada mereka:
    "Marilah kamu (tunduk) kepada hukum yang Allah telah turunkan dan kepada
    hukum Rasul," niscaya kamu .lihat orang-orang munafik menghalangi
    (manusia) dengan sekuat-kuatnya dari (mendekati) kamu."

    (An-Nisaa': 61).





    Al Qur'an juga meniadakan keimanan dari orang yang
    tidak mau berhakim kepada Rasulullah SAW ketika hidupnya, dan tidak mau
    berhukum pada Sunnahnya setelah beliau wafat. Kalaupun sudah demikian, itu
    masih belum cukup. Disyaratkan agar mereka ridha dan menyerah terhadap hukum
    tersebut. Inilah tabi'at keimanan dan inilah buahnya : "Kemudian mereka tidak merasa keberatan
    dalam hati mereka terhadap putusan yang Kami berikan, dan mereka menerima
    dengan sepenuhnya."
    (An-Nisaa': 65).





    Barangsiapa berpaling dari semua seruan ini dan
    menutup kedua telinganya dari ayat-ayat tersebut, malah sebaliknya menerima
    aturan-aturan, perundang-undangan, sistem dan tradisi dari selain jalan
    Rasulullah SAW serta ridha diatur oleh para filosof, baik dari timur atau
    barat, ulama atau umara atau apa pun namanya, berarti ia telah menentang Allah
    SWT terhadap apa yang Ia syari'atkan, dan telah mengumumkan permusuhan dengan
    Allah dan Rasul-Nya, dan telah keluar dari agama seperti terlepasnya anak panah
    dari busurnya. Sebagaimana firman Allah SWT : "Barangsiapa yang tidak berhukum pada apa
    yang diturunkan Allah maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir."

    (Al Maaidah: 44).


    "Barangsiapa
    tidak berhutum pada apa yang diturunkan oleh Allah, maka mereka itu adalah orang-orang
    yang zhalim."
    (Al Maidah: 45).


    "Barangsiapa
    tidak berhukum pada apa yang diturunkan Allah, rnaka mereka itu adalah
    orang-orang yang fasik."
    (Al Maadiah: 47).





    Penggunaan kata-kata tersebut (Kaafiruun,
    zhaalimuun, dan Faasiquun) di dalam Al Qur'an Al Karim menunjukkan bahwa
    maknanya berdekatan. Allah SWT berfirman : "Dan orang-orang kafir mereka itulah orang-orang yang
    zhalim."
    (Al Baqarah: 254).


    "Barangsiapa
    yang kufur setelah demikian itu maka mereka adalah orangorang yang fasik."
    (An-Nuur: 55).


    "Tidak
    ada yang menentang ayat-ayat Kami kecuali orang-orang yang kafir."
    (Al Ankabut: 47)





    Oleh karena itu A1 Qur'an menjadikan kefasikan itu
    sebagai perlawanan terhadap keimanan, sebagaimana dalam firman Allah SWT : "Seburuk-buruk
    nama (sebutan) adalah kefasikan setelah beriman."
    (Al Hujuraat:
    11).


    "Apakah
    orang mukmin itu sama dengan orang yang fasik, mereka tidaklah sama."
    (As-Sajadah: 18).





    Al Qur'an juga menceritakan tentang Iblis ketika
    menolak perintah Allah untuk bersujud kepada Adam, sebagaimana firman Allah SWT
    : "Ia
    membangkang dan sombong, dan ia tergolong orang-orang yang kafir."
    (Al
    Baqarah: 34).


    "Dia
    (iblis) adalah (berasal) dari jin, kemudian ia fasik dan perintah
    Rabb-Nya."
    (Al Kahfi: 50).





    Maka orang yang tidak berhukum pada apa yang
    diturunkan oleh Allah berarti dia kafir, zhalim atau fasik atau mengumpulkan
    sifat-sifat ini kesemuanya. Terutama apabila ia meyakini bahwa apa yang
    diturunkan oleh Allah itu mengakibatkan jumud (beku), terbelakang dan menjadi
    mundur, sedangkan hukum yang dibuat oleh manusia itulah yang membawa
    perkembangan, kemajuan, perbaikan sosial dan peningkatan tarap hidup.





    Termasuk penyimpangan terhadap ayat-ayat Allah dan
    pelecehan yang nyata terhadap konsepsi pemikiran manusia jika ada yang
    mengatakan, "Bahwa sesungguhnya ayat-ayat ini diturunkan kepada Ahlul
    Kitab dari kalangan Yahudi dan Nasrani." Dan orang yang berkata ini lupa
    atau pura-pura lupa bahwa ayat-ayat muhkamat ini, meskipun diturunkan kepada
    kaum tertentu, tetapi kalimat-kalimatnya bersifat umum, di mana hukumnya
    meliputi seluruh manusia yang tidak berhukum pada hukum Allah SWT. Merupakan
    kaidah yang ditetapkan oleh para mufassirin, bahwa"Ibrah diambil dari
    umumnya lafadz, bukan sebab yang khusus." Dan mustahil jika Allah mencela
    Ahlul Kitab yang pertama dengan kezhaliman, kekufuran dan kefasikan karena
    mereka telah menolak membuang hukum Allah di belakang mereka dan tidak mau
    berhukum pada hukum Allah, lantas memperbolehkan kepada kaum Muslimin saat ini.
    Atau juga kepada Ahlul Kitab yang lainnya untuk menjadikan Kitab Allah menjadi
    terbengkalai (terabaikan, sementara sebagian yang lain telah menjadikannya
    sebagai minhaj (sistem) dan dustur (undang-undang) hidup mereka.





    Apa faedahnya menyebutkan ayat-ayat itu dalam
    kaitannya dengan Ahlul Kitab kalau bukan memberi peringatan kepada kaum
    Muslimin agar jangan berbuat seperti mereka dan berhukum kepada selain hukum
    Allah, sehingga mereka dicela seperti Ahlul Kitab dan sehingga mereka ditimpa
    oleh adzab Allah dan murka-Nya. Allah SWT berfirman : "Barangsiapa ditimpa oleh kemurkaan-Ku,
    maka sesungguhnya binasalah ia."
    (Thaha: 81).





    Mengapa Allah SWT menurunkan kepada manusia kitab
    dan mengutus kepada mereka seorang Rasul, jika mereka kemudian membiarkan kitab
    itu dan menentang Rasul? Allah SWT berfirman : "Sesungguhnya Kami telah menurunkan
    kepadamu Al Kitab dengan haq (benar), agar supaya kamu mengadili antara manusia
    dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu."
    (An-Nisaa':
    105).





    "Dan
    Kami tidak mengutus seorang rasul, melainkan untuk ditaati dengan seizin
    Allah."

    (An-Nisaa': 64).





    Oleh karena itu Allah SWT menjelaskan kepada
    Rasul-Nya setelah menyebutkan ayat-ayat di atas sebagai berikut : "Dan Kami
    telah turunkan kepadamuAl Qur'an dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang
    sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian
    terhadap kitab-kitab yang lain itu; maka putusilah perkara mereka menurut apa
    yangAllah turunkan, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan
    meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu."
    (Al
    Maaidah: 48).





    Kemudian Allah berfirman pada ayat-ayat berikutnya
    sebagai berikut : "Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa
    yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan
    berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dan
    sebagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. Jika mereka berpaling (dan
    hukum yang telah diturunkan Allah), maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah
    menghendaki akan menimpakan musibah kepada mereka disebabkan sebagian dosa-dosa
    mereka. Dan sesungguhnnya kebanyakan munusia adalah orang-orang yang fasik.
    Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih
    baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?"
    (A1
    Maaidah: 49-50).





    Dengan demikian maka dalam hidup ini hanya ada dua
    hukum, dan tidak ada ketiganya, yaitu hukum Islam atau hukum jahiliyah, hukum
    Allah atau hukum Thaghut. Maka hendaklah seseorang itu memilih untuk dirinya,
    dan hendaklah setiap kaum memilih untuk diri mereka' hukum Allah (hukum Islam)
    atau hukum Thaghut (hukum jahiliyah) dan tidak ada tengah-tengah dari keduanya.






    Adapun orang-orang yang beriman maka tidak ada
    alternatif bagi mereka, mereka selalu siap bersama hukum Allah dan Rasul-Nya,
    mereka selalu siap bersama Islam' mereka senantiasa dalam peperangan dengan
    Thaghut dan hukum jahiliyah. Sesungguhnya syi'ar (semboyan) mereka apabila
    diseru kepada Allah dan Rasul-Nya, mereka selalu mengatakan: "Sami'na wa
    'atha'naa."





    Sedangkan orang-orang yang kafir, mereka itu
    selamanya berada di jalan Thaghut, mereka selamanya dalam keadaan ragu, mereka
    berada dalam kubangan jahiliyah. Allah SWT berfirman : "Dan orang-orang yang kafir, wali-wali
    (penolong-penolong) mereka adalah Thaghut, mengelaarkan mereka dan cahaya
    menuju kegelapan-kegelapan, mereka itulah penghuni neraka, mereka di dalamnya
    kekal selama-lamanya."
    (Al Baqarah: 257).





    Di sini ada dua catatan penting' yaitu sebagai
    berikut :


    Pertama: Bahwa sesungguhnya berhukum pada apa yang
    diturunkan Allah itu merupakan suatu kewajiban yang pasti, tidak ada seorang
    Muslim pun yang menentang, ungkapan itu sama dengan istilah yang berkembang
    saat ini "Hakimiyah adalah kepunyaan Allah." Yang berarti Allah-lah
    yang mempunyai hak (wewenang) secara mutlak untuk membuat suatu aturan hidup,
    berhak memerintah dan melarang, menghalalkan dan mengharamkan, yang berhak
    menentukan dan memberikan beban terhadap seluruh makhluk-Nya.





    Sebagian orang salah memahami bahwa prinsip ini
    katanya berasal dari penemuan Al Maududi di Pakistan atau Sayyid Quthub di
    Mesir, padahal kenyataannya pemikiran (konsep) ini diambil dari ilmu"Ushul
    Fiqih Islami," dan ulama ushul memuat pembahasan ini dalam
    bab"Hukum" yang masuk dalam muqaddimah ilmu ushul, dan di dalam tema
    tentang"Al Hakim." Siapakah dia, mereka semuanya bersepakat
    bahwa"Al Hakim" (yang menjadi penentu hukum) adalah Allah, artinya
    Dia-lah yang memiliki kebenaran mutlak dalam mengatur makhluk-Nya, sampai
    golongan Mu'tazilah pun tidak mengingkari hal itu, sebagaimana dijelaskan oleh
    pensyarah kitab"Musallamus Tsubuut," salah satu kitab ushul yang
    terkenal.


    Dalil-dalil atas ketetapan prinsip ini baik dari Al
    Qur'an maupun Sunnah jelas dan nyata yang sebagiannya telah kami sebutkan dalam
    menjelaskan kewajiban berhukum pada apa yang diturunkan oleh Allah.





    Kedua: Bahwa sesungguhnya berhukum pada apa yang
    diturunkan Allah SWT itu tidak akan menghilangkan peran manusia, karena manusia
    itulah yang memahami nash-nash yang ditujukan kepadanya dan meng-istimbath
    (menyimpulkan hukum) dari nash-nash itu' kemudian memenuhi yang kosong dalam
    hal-hal yang tidak ada nashnya, yang kami katakan dengan istilah"Min
    Thaqatul 'Afwi" (sisi-sisi yang dimaafkan). Dan ini sangat luas di mana
    syari' (Allah SWT) sengaja tidak membahasnya sebagai rahmat (kasih sayang)
    Allah kepada kita, bukan karena lupa. Di sinilah akal seorang Muslim itu bisa
    mencapai dan berijtihad dalam pancaran nash-nash dan kaidah-kaidah ushul.
    [Arek_60111]" "KotaSantri.com :
    kutubuku
    kutubuku
    Mega Ultimate Member


    Zodiac : Virgo Jumlah posting : 297
    Join date : 18.06.10
    Age : 36
    Lokasi : rahasia

    akidah dan keimanan Empty Re: akidah dan keimanan

    Post by kutubuku Thu Jun 24, 2010 6:18 pm

    Aqidah dan Keimanan




    (Bagian.1 dari 3)





    muht_adhi
    writes: "KotaSantri.com : "Ampunilah kami wahai Tuhan kami dan kepada
    Engkaulah tempat kembali."


    Sesungguhnya asas pertama kali yang tegak diatasnya
    masyarakat Islam adalah aqidah, itulah aqidah Islam. Maka tugas masyarakat yang
    pertama adalah memelihara aqidah, menjaga dan memperkuat serta memancarkan
    sinarnya ke seluruh penjuru dunia.





    Aqidah Islam ada pada keimanan kita kepada Allah,
    malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para rasul-Nya, dan hari kemudian, sebagaimana
    firman Allah SWT: "Rasul telah beriman kepada Al Qur'an yang diturunkan
    kepadanya dari Rabb-nya, demikian pula orang-orang yang beriman. Semuanya
    beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kõtab-kitab-Nya dan
    rasul-rasul-Nya. (Mereka mengatakan:) "Kami tidak membeda-bedakan antara
    seseorang pun (dengan yang lain) dari rasul-rasul-Nya, " dan mereka
    mengatakan: "Kami dengar dan kami taat," (Mereka berdo'a:)
    "Ampunilah kami wahai Tuhan kami dan kepada Engkaulah tempat kembali."
    (Al Baqarah: 285).





    Aqidah Islam itu membangun bukan merusak,
    mempersatukan bukan memecah belah, karena aqidah ini tegak di atas warisan
    ilahiyah seluruhnya. Dan di atas keimanan kepada para utusan Allah seluruhnya
    "Laa Nufarriqu Baina Ahadin Min Rusulihi."





    Aqidah tersebut diringkas dan dimampatkan dalam
    syahadatain (dua kalimat syahadat) yaitu: "Syahaadatu an laa ilaaha
    illallaah wa anna Muhammadan Rasuulullaah." Aqidah inilah yang
    mempengaruhi pandangan kaum Muslimin terhadap alam semesta dan penciptannya,
    terhadap alam metafisika, kehidupan ini dan kehidupan setelahnya, terhadap alam
    yang terlihat dan yang tidak terlihat, terhadap makhluq dan khaliq, dunia dan
    akhirat, dan terhadap alam yang nampak dan alam gaib (yang tidak kelihatan).


    Alam ini dengan bumi dan langitnya, benda-benda mati
    dan tumbuh-tumbuhannya, hewan dan manusianya, jin dan malaikatnya ...,
    kesemuanya tidak diciptakan tanpa makna, dan tidak diciptakan dengan
    sendirinya. Harus ada yang menciptakan, yakni Dia yang Maha Mengetahui, Maha
    Kuasa, Maha Mulia dan Maha Bijaksana. Dia yang telah menciptakan alam ini
    dengan sempurna, dan telah menentukan segala sesuatu di dalamnya dengan
    ketentuan yang pasti. Maka setiap benda yang terkecil sekali pun itu ada
    standarnya, dan setiap gerakan pasti ada ukuran dan perhitungannya. Pencipta
    itu adalah Allah SWT yang setiap kata, bahkan setiap huruf dalam alam ini
    membuktikan atas kehendak, kekuasaan, ilmu dan kebijaksanaan-Nya. Allah SWT
    berfirman : "Langit yang tujuh, bumi dan semua yang ada di dalamnya
    bertasbih kepada Allah. Dan tak ada suatupun melainkan bertasbih dengan
    memuji-Nya, tetapi kamu sekalian tidak mengerti tasbih mereka. Sesungguhnya Dia
    adalah Maha Penyantun lagi Maha Pengampun." (Al Isra': 44).





    Pencipta Yang Maha Agung itulah Rabbnya langit dan
    bumi, Rabbnya alam semesta dan Rabbnya segala sesuatu, Dia Satu dan Esa, tidak
    ada sekutu bagi-Nya, baik dalam dzat, sifat atau perbuatan-Nya. Hanya Dialah
    yang qadim dan azali, hanya Dialah yang tegak selama-lamanya, hanya Dialah yang
    menciptakan, yang menyempurnakan dan yang memberi rupa (bentuk). Hanya Dialah
    yang memiliki asmaul husna dan sifaatul 'ula, tidak ada sekutu dan tidak ada
    perlawanan bagi-Nya, tidak ada anak dan tidak ada bapak bagi-Nya, tidak ada
    yang mirip atau yang menyamaiNya. Allah swt berfirman : "Katakanlah:
    "Dia-lah Allah, Yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang bergantung
    kepada-Nya segala sesuatu. Dia tiada beranak dan tiada diperanakkan, dan tidak
    ada seorang pun yang setara dengan Dia." (Al Ikhlas: 1-4).


    "Dia-lah yang Awal dan Yang Akhir, Yang Zhahir
    dan Yang Bathin dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu." (Al Hadid: 3)


    "Tak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia
    (Allah), dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat." (Asy-Syura:
    11).





    Segala sesuatu yang ada di jagad raya ini, baik yang
    atas dan yang bawah, yang diam dan yang bisa berbicara membuktikan adanya akal
    yang satu, Dia-lah yang mengatur segalanya. Membuktikan pula adanya tangan yang
    satu, Dialah yang mengatur penjuru alam dan mengarahkannya. Jika tidak
    demikian, maka akan rusaklah alam semesta ini, lepas kendalinya, goncang
    standarnya dan runtuh bangunannya sebagai akibat dari banyaknya akal yang
    mengatur dan banyaknya tangan yang menggerakkan. Maha Benar Allah dengan
    firman-Nya: "Sekiranya ada di langit dan di bumi tuhan-tuhan selain Allah,
    tentulah keduanya itu telah rusak binasa. Maka Maha Suci Allah yang mempunyai
    'Arsy daripada apa yang mereka sifatkan." (Al Anbiya': 22).


    "Allah sekali-kali tidak mempunyai anak, dan
    sekali-kali tidak ada tuhan (yang lain) beserta-Nya, kalau ada tuhan
    beserta-Nya, masing-masing tuhan itu akan membawa makhluk yang diciptakannya,
    dan sebagian dari tuhan-tuhan itu akan mengalahkan sebagian yang lain. Maha
    Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan." (Al Mukminun: 91).


    "Katakanlah: "Jika ada tuhan-tuhan di
    samping-Nya, sebagaimana yang mereka katakan, niscaya tuhan-tuhan itu mencari
    jalan kepada Tuhan yang mempunyai 'Arsy. Maha Suci dan Maha Tinggi Dia dari apa
    yang mereka katakan dengan ketinggian yang sebesar-besarnya." (Al Isra':
    42-43).





    Suatu hakikat yang tidak diragukan lagi bahwa
    sesungguhnya seluruh makhluq yang ada di langit dan yang di bumi semuanya
    kepunyaan Allah, dan segala sesuatu yang ada di langit dan di bumi semuanya
    milik Allah. Maka tidak ada seorang pun atau sesuatu pun dari yang berakal
    maupun yang tidak berakal menyamai Allah dan tidak pula Dia mempunyai putra.
    Sebagaimana yang dikatakan oleh penyembah berhala dan yang serupa dengan
    mereka, Al Qur'an menggambarkan sebagai berikut : "Mereka (orang-orang
    kafir) berkata: "Allah mempunyai anak." Maha Suci Allah, bahkan apa
    yang ada di langit dan di bumi adalah kepunyaan Allah; semua tunduk kepada-Nya.
    Allah Pencipta langit dan bumi, dan bila Dia berkehendak (untuk menciptakan)
    sesuatu, maka (cukuplah) Dia hanya mengatakan kepadanya. "Jadilah!"
    Lalu jadilah ia." (Al Baqarah: 116-11).





    Barangsiapa yang tersesat dari hakekat ini di dunia
    maka niscaya akan terungkap di akhirat kelak, dia akan melihat kenyataan itu
    seakan telanjang. Jelas dan terang seperti terangnya matahari di waktu dhuha.
    Allah swt berfirman : "Tidak ada seorang pun di langit dan di bumi,
    kecuali akan datang kepada Tuhan Yang Maha Pemurah selaku seorang hamba.
    Sesungguhnya Allah telah menentukan jumlah mereka dan menghitung mereka dengan
    hitungan yang teliti. Dan tiap-tiap mereka akan datang kepada Allah pada hari
    kiamat dengan sendiri-sendiri." (Maryam: 93-95).





    Maka tidak heran (bukan suatu hal yang aneh) setelah
    itu semua, jika Allah Sang Pencipta Yang Agung, Tuhan yang Maha Tinggi, hanya
    Dialah yang berhak disembah dan ditaati secara mutlak. Dengan lain perkataan,
    "Dia berhak sangat dipatuhi dan sangat dicintai, dan makna yang terkandung
    dalam ketundukan dan cinta yang sangat, itulah yang kita namakan
    "Ibadah".





    Inilah makna "Laa ilaaha illallaah,"
    artinya tidak ada yang berhak untuk disembah selain Allah atau tidak sesuatu
    pun berhak untuk menerima ketundukan dan cinta selain Allah. Hanya Dia-lah yang
    pantas untuk tunduk semua makhluk terhadap perintah-Nya, sujud di hadapan-Nya
    dan bertasbih dengan memuji-Nya serta mau menerima hukum-Nya.





    Hanya Dia yang pantas untuk dicintai dengan segala
    makna cinta, Dia-lah yang mutlak kesempurnaan-Nya dan sesuatu yang sempurna itu
    pantas untuk dicintai. Dia-lah sumber segala keindahan, dan segala keindahan
    yang ada dalam kehidupan ini diambil dari pada-Nya, dan keindahan itu wajar
    kalau dicintai dan dicintai pula pemiliknya. Dia-lah yang memberi seluruh
    kenikmatan dan sumber segala kebaikan. Allah SWT berfirman : "Dan apa saya
    nikmat yang ada padamu, maka dari Allah-lah (datangnya), dan bila kamu ditimpa
    oleh kemudharatan, maka hanya kepada-Nya-lah kamu meminta pertolongan."
    (An-Nahl: 53).





    Oleh karena itu kebaikan akan selamanya disenangi
    dan nikmat akan selamanya dicintai dan dicintai pula pemiliknya.





    Makna "Laa ilaaha illallaah" adalah
    membuang ketundukan dan penghambaan kepada kekuasaan selain kekuasaan Allah dan
    hukum selain hukum-Nya dan perintah selain perintah-Nya. Ia juga berarti
    menolak segala bentuk loyalitas selain loyalitas kepada-Nya dan menolak segala
    bentuk cinta selain cinta kepada-Nya dan cinta karena-Nya.





    Untuk memperjelas makna tersebut, maka kami katakan
    bahwa sesungguhnya unsur (komponen) tauhid sebagaimana dijelaskan oleh Al
    Qur'an ada tiga yaitu dalam surat Al An'am --surat yang memperhatikan ushulut-tauhid
    (prinsip-prinsip ketauhidan)-- sebagai berikut :





    Pertama, hendaknya kamu tidak mencari Rabb (Tuhan)
    kepada selain Allah. Allah berfirman : "Katakanlah: "Apakah aku akan
    mencari Tuhan selain Allah, padahal. Dia adalah Tuhan bagi segala sesuatu ..."
    (Al An'am: 164)





    Kedua, hendaknya kamu tidak mencari wali (penolong)
    kepada selain Allah. Allah berfirman : "Katakanlah: "Apakah akan aku
    jadikan pelindung selain dari Allah yang menjadikan langit dan bumi, padahal
    Dia memberi makan dan tidak diberi makan ...." (Al An'am: 14)





    Ketiga, hendaknya kamu tidak mencari hakim selain
    daripada Allah. Allah berfirman : "Maka patutkah aku mencari hakim selain
    daripada Allah, padahal Dialah yang telah menurunkan kitab (Al Qur'an) kepadamu
    dengan terperinci?" (Al An'am: 114).





    Makna unsur yang pertama --"Hendaklah kamu
    tidak mencari Rabb (Tuhan) kepada selain Allah"-- adalah menolak seluruh
    tuhan-tuhan palsu yang disembah oleh manusia, baik di zaman dahulu atau
    sekarang ini, baik di timur atau di barat, baik dari batu, pohon-pohonan, perak
    dan emas, ataupun mata hari dan bulan atau dari golongan jin dan manusia. Ia
    juga berarti menolak seluruh tuhan-tuhan selain Allah sekaligus mengumumkan
    revolusi untuk melawan orang-orang di bumi yang mengaku tuhan dan bersikap sombong
    tanpa dasar yang benar, yaitu mereka yang ingin memperbudak hamba-hamba Allah.





    "Laa ilaaha illallaah" adalah deklarasi
    untuk membebaskan manusia dari segala bentuk ketundukan dan penghambaan kepada
    selain Allah, sebagai penciptannya. Maka tidak boleh bersujud, tunduk dan
    khusyu' kecuali kepada Allah Pencipta langit dan bumi.





    Oleh karena itu Nabi SAW mengakhiri surat-surat yang
    beliau kirimkan kepada para raja dan penguasa serta para kaisar dari kaum
    nasrani ayat berikut ini : "Katakanlah: "Hai ahli Kitab, marilah
    (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara
    kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita
    persekutukan Dia dengan sesuatu pun dan tidak (pula) sebagian kita menyadikan
    sebagian yang lain sebagai tuhan selain Allah. Jika mereka berpaling maka
    katakanlah kepada mereka: "Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang
    berserah diri (kepada Allah)." (Ali 'Imran: 64).





    Kata-kata "Rabbunallah" adalah berfungsi
    sebagai pengumuman tentang pembangkangan dan penolakan terhadap segala
    kediktatoran di bumi ini.





    Karena itulah Nabi Musa AS menghadapi ancaman
    pembunuhan, dan pada saat itu ada seorang laki-laki beriman dari keluarga
    Fir'aun yang membela, seraya berkata, sebagaimana dikisahkan oleh Al Quran :
    "Dan seorang laki-laki yang beriman di antara pengikut-pengikut Fir'aun
    yang menyembunyikan imannya berkata: "Apakah kamu akan membunuh seorang
    laki-laki karena dia menyatakan: "Tuhanku ialah Allah." padahal dia
    telah datang kepadamu dengan membawa keterangan-keterangan dari Tuhanmu
    ..." (Al Mukmin (Ghafir): 28).





    Karena itu pula Nabi kita Muhammad SAW dan para
    sahabatnya juga menghadapi tekanan, siksa dan pengusiran dari tanah air dan
    perampasan harta, sebagaimana disebutkan oleh Al Qur'an : "(Yaitu)
    orang-orang yang telah diusir dari kampung halaman mereka tanpa alasan yang
    benar, kecuali karena mereka berkata: "Tuhan kami hanyalah Allah"
    ...." (Al Hajj: 40).





    Makna unsur yang kedua "Hendaklah kamu tidak
    menjadikan selain Allah sebagai wali (pendukung)" adalah menolak (tidak
    memberikan) wala' atau loyalitasnya kepada selain Allah dan golongannya, karena
    bukanlah tauhid itu suatu pengakuan bahwa Tuhannya adalah Allah, tetapi pada
    saat yang sama dia memberikan wala', kecintaan dan dukungannya kepada selain
    Allah, bahkan kepada musuh-musuh-Nya. Allah swt berfirman : "Janganlah
    orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan
    orang-orang mukmin. Barangsiapa berbuat demikian, niscsya lepaslah ia dari
    pertolongan Allah ..." (Ali 'Imran: 28).





    Sesungguhnya hakikat tauhid bagi orang yang beriman
    bahwa sesungguhnya Tuhannya adalah Allah. Hendaknya ia memurnikan ketaatan
    kepada-Nya dan kepada orang-orang yang beriman kepada-Nya. Sebagaimana
    disebutkan dalam firman-Nya : "Sesungguhnya penolong kamu hanyalah Allah,
    Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan
    zakat seraya mereka tunduk (kepada Allah). Dan barangsiapa mengambil Allah,
    Rasul-Nya dan orang- orang yang beriman menjadi penolongnya, maka sesungguhnya
    pengikut (agama) Allah itulah yang pasti menang" (Al Maidah, 55-56).





    Dari sinilah Al Qur'an menyatakan pengingkaran
    terhadap orang-orang musyrik bahwa mereka itu telah membagi-bagi hati mereka
    antara Allah SWT dengan tuhan-tuhan lain yang mereka sembah yaitu dari
    berhala-berhala dan patung-patung. Mereka telah memberikan kecintaan dan wala'
    mereka kepada tuhan-tuhan itu sebagaimana mereka memberikannya kepada Allah.
    Allah SWT berfirman : "Dan sebagian manusia ada orang-orang yang menyembah
    tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka
    mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman sangat cinta kepada Allah
    ..." (Al Baqarah: 165).





    Sesungguhnya Allah SWT tidak menerima syarikah
    (persekutuan) dalam hati para hamba-Nya yang beriman, maka tidak boleh sebagian
    hati kita, kita berikan kepada Allah, kemudian sebagian yang lain lagi untuk
    Thaghut. Tidak boleh kita memberikan sebagian wala'nya kepada Al Khaliq
    (pencipta) dan sebagiannya lagi kepada makhluk. Sesungguhnya seluruh wala' dan
    seluruh tumpuan hati hendaknya wajib diberikannya kepada Allah, yang memiliki
    seluruh makhluk-Nya dan seluruh perkara yang ada. Inilah perbedaan antara
    mukmin dan musyrik. Orang mukmin itu menyerahkan (dirinya) kepada Allah,
    memurnikan 'ubudiyahnya kepada Allah, sedangkan orang musyrik itu memilah-milah
    antara Allah dan selain Allah. Allah SWT berfirman : "Allah membuat
    perumpamaan (yaitu) seorang laki-laki (budak) yang dimiliki oleh beberapa orang
    yang berserikat yang dalam perselisihan dan seorang budak yang menjadi milik
    penuh dari seorang laki-laki (saja); Adakah kedua budak itu sama halnya? Segala
    puji bagi Allah, tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui." (Az-Zumar:
    29).





    (Bersambung)
    kutubuku
    kutubuku
    Mega Ultimate Member


    Zodiac : Virgo Jumlah posting : 297
    Join date : 18.06.10
    Age : 36
    Lokasi : rahasia

    akidah dan keimanan Empty Re: akidah dan keimanan

    Post by kutubuku Thu Jun 24, 2010 6:18 pm

    Aqidah dan Keimanan




    (Bagian.3 dari 3)





    Barangsiapa berpaling dari semua seruan ini dan
    menutup kedua telinganya dari ayat-ayat tersebut, malah sebaliknya menerima
    aturan-aturan, perundang-undangan, sistem dan tradisi dari selain jalan
    Rasulullah SAW serta ridha diatur oleh para filosof, baik dari timur atau
    barat, ulama atau umara atau apa pun namanya, berarti ia telah menentang Allah
    SWT terhadap apa yang Ia syari'atkan, dan telah mengumumkan permusuhan dengan
    Allah dan Rasul-Nya, dan telah keluar dari agama seperti terlepasnya anak panah
    dari busurnya. Sebagaimana firman Allah SWT : "Barangsiapa yang tidak
    berhukum pada apa yang diturunkan Allah maka mereka itu adalah orang-orang yang
    kafir." (Al Maaidah: 44).


    "Barangsiapa tidak berhutum pada apa yang diturunkan
    oleh Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zhalim." (Al Maidah:
    45).


    "Barangsiapa tidak berhukum pada apa yang
    diturunkan Allah, rnaka mereka itu adalah orang-orang yang fasik." (Al
    Maadiah: 47).





    Penggunaan kata-kata tersebut (Kaafiruun,
    zhaalimuun, dan Faasiquun) di dalam Al Qur'an Al Karim menunjukkan bahwa
    maknanya berdekatan. Allah SWT berfirman : "Dan orang-orang kafir mereka
    itulah orang-orang yang zhalim." (Al Baqarah: 254).


    "Barangsiapa yang kufur setelah demikian itu
    maka mereka adalah orangorang yang fasik." (An-Nuur: 55).


    "Tidak ada yang menentang ayat-ayat Kami
    kecuali orang-orang yang kafir." (Al Ankabut: 47)





    Oleh karena itu A1 Qur'an menjadikan kefasikan itu
    sebagai perlawanan terhadap keimanan, sebagaimana dalam firman Allah SWT :
    "Seburuk-buruk nama (sebutan) adalah kefasikan setelah beriman." (Al
    Hujuraat: 11).


    "Apakah orang mukmin itu sama dengan orang yang
    fasik, mereka tidaklah sama." (As-Sajadah: 18).





    Al Qur'an juga menceritakan tentang Iblis ketika
    menolak perintah Allah untuk bersujud kepada Adam, sebagaimana firman Allah SWT
    : "Ia membangkang dan sombong, dan ia tergolong orang-orang yang
    kafir." (Al Baqarah: 34).


    "Dia (iblis) adalah (berasal) dari jin,
    kemudian ia fasik dan perintah Rabb-Nya." (Al Kahfi: 50).





    Maka orang yang tidak berhukum pada apa yang
    diturunkan oleh Allah berarti dia kafir, zhalim atau fasik atau mengumpulkan
    sifat-sifat ini kesemuanya. Terutama apabila ia meyakini bahwa apa yang
    diturunkan oleh Allah itu mengakibatkan jumud (beku), terbelakang dan menjadi
    mundur, sedangkan hukum yang dibuat oleh manusia itulah yang membawa
    perkembangan, kemajuan, perbaikan sosial dan peningkatan tarap hidup.





    Termasuk penyimpangan terhadap ayat-ayat Allah dan
    pelecehan yang nyata terhadap konsepsi pemikiran manusia jika ada yang
    mengatakan, "Bahwa sesungguhnya ayat-ayat ini diturunkan kepada Ahlul
    Kitab dari kalangan Yahudi dan Nasrani." Dan orang yang berkata ini lupa
    atau pura-pura lupa bahwa ayat-ayat muhkamat ini, meskipun diturunkan kepada
    kaum tertentu, tetapi kalimat-kalimatnya bersifat umum, di mana hukumnya
    meliputi seluruh manusia yang tidak berhukum pada hukum Allah SWT. Merupakan
    kaidah yang ditetapkan oleh para mufassirin, bahwa"Ibrah diambil dari
    umumnya lafadz, bukan sebab yang khusus." Dan mustahil jika Allah mencela
    Ahlul Kitab yang pertama dengan kezhaliman, kekufuran dan kefasikan karena
    mereka telah menolak membuang hukum Allah di belakang mereka dan tidak mau
    berhukum pada hukum Allah, lantas memperbolehkan kepada kaum Muslimin saat ini.
    Atau juga kepada Ahlul Kitab yang lainnya untuk menjadikan Kitab Allah menjadi
    terbengkalai (terabaikan, sementara sebagian yang lain telah menjadikannya
    sebagai minhaj (sistem) dan dustur (undang-undang) hidup mereka.





    Apa faedahnya menyebutkan ayat-ayat itu dalam
    kaitannya dengan Ahlul Kitab kalau bukan memberi peringatan kepada kaum
    Muslimin agar jangan berbuat seperti mereka dan berhukum kepada selain hukum
    Allah, sehingga mereka dicela seperti Ahlul Kitab dan sehingga mereka ditimpa
    oleh adzab Allah dan murka-Nya. Allah SWT berfirman : "Barangsiapa ditimpa
    oleh kemurkaan-Ku, maka sesungguhnya binasalah ia." (Thaha: 81).





    Mengapa Allah SWT menurunkan kepada manusia kitab
    dan mengutus kepada mereka seorang Rasul, jika mereka kemudian membiarkan kitab
    itu dan menentang Rasul? Allah SWT berfirman : "Sesungguhnya Kami telah
    menurunkan kepadamu Al Kitab dengan haq (benar), agar supaya kamu mengadili
    antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu." (An-Nisaa':
    105).


    "Dan Kami tidak mengutus seorang rasul,
    melainkan untuk ditaati dengan seizin Allah." (An-Nisaa': 64).





    Oleh karena itu Allah SWT menjelaskan kepada
    Rasul-Nya setelah menyebutkan ayat-ayat di atas sebagai berikut : "Dan
    Kami telah turunkan kepadamuAl Qur'an dengan membawa kebenaran, membenarkan apa
    yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian
    terhadap kitab-kitab yang lain itu; maka putusilah perkara mereka menurut apa
    yangAllah turunkan, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan
    kebenaran yang telah datang kepadamu." (Al Maaidah: 48).





    Kemudian Allah berfirman pada ayat-ayat berikutnya
    sebagai berikut : "Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka
    menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu
    mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak
    memalingkan kamu dan sebagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. Jika
    mereka berpaling (dan hukum yang telah diturunkan Allah), maka ketahuilah bahwa
    sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan musibah kepada mereka disebabkan
    sebagian dosa-dosa mereka. Dan sesungguhnnya kebanyakan munusia adalah
    orang-orang yang fasik. Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki, dan
    (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang
    yakin?" (A1 Maaidah: 49-50).





    Dengan demikian maka dalam hidup ini hanya ada dua
    hukum, dan tidak ada ketiganya, yaitu hukum Islam atau hukum jahiliyah, hukum
    Allah atau hukum Thaghut. Maka hendaklah seseorang itu memilih untuk dirinya,
    dan hendaklah setiap kaum memilih untuk diri mereka' hukum Allah (hukum Islam)
    atau hukum Thaghut (hukum jahiliyah) dan tidak ada tengah-tengah dari keduanya.






    Adapun orang-orang yang beriman maka tidak ada
    alternatif bagi mereka, mereka selalu siap bersama hukum Allah dan Rasul-Nya,
    mereka selalu siap bersama Islam' mereka senantiasa dalam peperangan dengan
    Thaghut dan hukum jahiliyah. Sesungguhnya syi'ar (semboyan) mereka apabila
    diseru kepada Allah dan Rasul-Nya, mereka selalu mengatakan: "Sami'na wa
    'atha'naa."





    Sedangkan orang-orang yang kafir, mereka itu
    selamanya berada di jalan Thaghut, mereka selamanya dalam keadaan ragu, mereka
    berada dalam kubangan jahiliyah. Allah SWT berfirman : "Dan orang-orang
    yang kafir, wali-wali (penolong-penolong) mereka adalah Thaghut, mengelaarkan
    mereka dan cahaya menuju kegelapan-kegelapan, mereka itulah penghuni neraka,
    mereka di dalamnya kekal selama-lamanya." (Al Baqarah: 257).





    Di sini ada dua catatan penting' yaitu sebagai
    berikut :


    Pertama: Bahwa sesungguhnya berhukum pada apa yang
    diturunkan Allah itu merupakan suatu kewajiban yang pasti, tidak ada seorang
    Muslim pun yang menentang, ungkapan itu sama dengan istilah yang berkembang
    saat ini "Hakimiyah adalah kepunyaan Allah." Yang berarti Allah-lah yang
    mempunyai hak (wewenang) secara mutlak untuk membuat suatu aturan hidup, berhak
    memerintah dan melarang, menghalalkan dan mengharamkan, yang berhak menentukan
    dan memberikan beban terhadap seluruh makhluk-Nya.





    Sebagian orang salah memahami bahwa prinsip ini
    katanya berasal dari penemuan Al Maududi di Pakistan atau Sayyid Quthub di
    Mesir, padahal kenyataannya pemikiran (konsep) ini diambil dari ilmu"Ushul
    Fiqih Islami," dan ulama ushul memuat pembahasan ini dalam
    bab"Hukum" yang masuk dalam muqaddimah ilmu ushul, dan di dalam tema
    tentang"Al Hakim." Siapakah dia, mereka semuanya bersepakat
    bahwa"Al Hakim" (yang menjadi penentu hukum) adalah Allah, artinya
    Dia-lah yang memiliki kebenaran mutlak dalam mengatur makhluk-Nya, sampai golongan
    Mu'tazilah pun tidak mengingkari hal itu, sebagaimana dijelaskan oleh pensyarah
    kitab"Musallamus Tsubuut," salah satu kitab ushul yang terkenal.





    Dalil-dalil atas ketetapan prinsip ini baik dari Al
    Qur'an maupun Sunnah jelas dan nyata yang sebagiannya telah kami sebutkan dalam
    menjelaskan kewajiban berhukum pada apa yang diturunkan oleh Allah.





    Kedua: Bahwa sesungguhnya berhukum pada apa yang
    diturunkan Allah SWT itu tidak akan menghilangkan peran manusia, karena manusia
    itulah yang memahami nash-nash yang ditujukan kepadanya dan meng-istimbath
    (menyimpulkan hukum) dari nash-nash itu' kemudian memenuhi yang kosong dalam
    hal-hal yang tidak ada nashnya, yang kami katakan dengan istilah"Min
    Thaqatul 'Afwi" (sisi-sisi yang dimaafkan). Dan ini sangat luas di mana syari'
    (Allah SWT) sengaja tidak membahasnya sebagai rahmat (kasih sayang) Allah
    kepada kita, bukan karena lupa. Di sinilah akal seorang Muslim itu bisa
    mencapai dan berijtihad dalam pancaran nash-nash dan kaidah-kaidah ushul.
    [Arek_60111]"

    Sponsored content


    akidah dan keimanan Empty Re: akidah dan keimanan

    Post by Sponsored content


      Waktu sekarang Wed May 08, 2024 8:18 pm