GERWANI
GERAKAN
WANITA INDONESIA
Oleh: Donald Hindley
Usaha-usaha
untuk mengorganisir perempuan serta menghasilkan kader-kader dan aktifis
memerlukan usaha yang penuh kesabaran dan metode tersendiri. Mayoritas
perempuan Indonesia yang miskin, dan mempunyai lebih sedikit pengalaman
ketimbang pria dalam hal organisasi, ditambah kenyataan bahwa mayoritas
perempuan buta huruf dan terikat secara tradisional, terutama dalam usaha
pembauran. Sebagai pimpinan, Aidit sadar akan pentingnya usaha untuk menarik dan
mengorganisir perempuan, karena bukan hanya separuh dari para pemilih adalah
perempuan, tapi karena mereka juga memegang peranan penting dalam sector
ekonomi. Sebagian besar pekerja pada sector industri adalah perempuan yang juga
mempunyai andil besar dalam lapangan pertanian sebagai tani pengolah tanah.
Dalam usaha untuk menarik dan mengorganisir perempuan, terutama dari kelas
bawah, PKI menggunakan organisasi massa perempuannya seperti Gerwani, Sobsi dan
BTI. Usaha yang dilakukannya berjalan cukup sukses dan berkembang dengan pesat,
sehingga dalam beberapa tahun perempuan telah menempati posisi kader dan
aktifis dalam partai.
Manifesto Pemilu PKI yang disahkan pada bulan
Maret 1954 menyatakan bahwa ‘untuk semua perempuan, memilih PKI berarti
emansipasi dan jaminan akan persamaan hak’[1],
Dalam sebuah artikel di Harian Rakjat, sesaat sebelum pemilihan Dewan pada
bulan Desember 1955, dijelaskan secara panjang lebar apa yang dimaksud dengan
persamaan hak[2].
PKI akan menjamin persamaan hak (perempuan) dalam empat hal, yaitu pertama,
dalam perkawinan akan diberikan kebebasan pada kedua jenis kelamin untuk
memilih pasangan, persamaan dalam perceraian dan warisan, suami dan istri
dilibatkan dalam usaha pembinaan 0anak dan memiliki (mengasuh) anak secara
bersama-sama; kedua, dalam sector ekonomi setiap perempuan yang terlibat dalam
proses produksi ditempatkan dalam posisi yang sederajat dengan laki-laki;
ketiga, dalam perburuhan tidak akan dibenarkan diskriminasi atas perempuan,
setiap pekerjaanyang sama akan diberlakukan upah yang sama; keempat, dalam
pertanian perempuan akan mendapat bagian yang sama bila sebidang tanah
dibagi-bagi. Usaha khusus juga dilakukan untuk menarik minat perempuan, seperti
yang tampak dalam usaha mendistribusikan tekstil dan makanan dengan harga
murah, penyediaan fasilitas pendidikan untuk anak-anak dan sebagainya.
Metode yang dijalankan PKI
tersebut merupakan usaha untuk menarik minat perempuan dari segala lapisan
sosial. Sebuah artikel yang ditulis oleh Setiati Surasto (salah seorang
pimpinan perempuan PKI) memperlihatkan bahwa metode tersebut dilakukan untuk
tiga jenis kelompok sosial: perempuan dari kelas pekerja dan pertanian,
kelompok menengah dan kelompok atas[3].
Anggota partai akan memberikan pertolongan pada para perempuan buruh dan tani,
demikian tulisnya. Kesulitan-kesulitan dalam kehidupan secara personal akan
mendapat dukungan dari partai yang kemudianakan didatangi. Tapi karena secara
umum mereka masih buta huruf, mempunyai anak banyak dan tidak mantap dalam ekonomi,
menyebabkan kesulitan untuk menyertakan perempuan-perempuan miskin dalam
pertemuan, apalagi bila pertemuan tidak diadakan dekat rumah mereka. Tapi
meskipun demikian tetap ada usaha-usaha pendekatan oleh para kader jika
dibutuhkan atau hadir dalam pertemuan-pertemuan kecil dari perempuan yang
tinggal berdekatan. Kemudian usaha-usaha ini dilanjutkan dengan pembahasan
masalah keseharian, menjelaskan keputusan-keputusan politik diantara mereka dan
kemudian secara bertahap mereka disiapkan untuk berpartisipasi dalam
pertemuan-pertemuan serta kursus-kursus rutin dari partai.
Kelompok (perempuan)
menengah yang meliputi pedagang, petani menengah, istri para pegawai menengah
dan para pelajar dibutuhkan waktu yang panjang dalam usaha menarik mereka. Para
perempuan tersebut khawatir jika bergabung dengan partai, (seperti yang ditulis
Setiati) akan kehilangan posisi social mereka atau karena mereka telah termakan
oleh propaganda yang reaksioner. PKI membantu mereka dalam menyelesaikan
masalah-masalah keseharian, misalnya dengan memberi penjelasan tentang hak-hak
mereka dan menjelaskan beberapa persoalan di sekitar pajak dan dana
pengeluaran.
Beberapa kerjasama dengan
partai dilakukan terhadap para intelektual perempuan terkemuka dan dari
golongan pejabat tinggi dengan cara mempengaruhi para suami secara tidak
langsung. Perempuan dari kelompok ini, menurut Setiati ‘memerlukan perhatian
khusus’. Kelompok ini sangat sulit dilibatkan dalam partai dan usaha-usaha yang
terbuka kadang justru mendapat hasil yang sebaliknya, ‘mereka takut dengan kata
komunis’ serta kehilangan muka dan posisi suami mereka. Usaha keras yang dapat
dilakukan partai adalah mengundang mereka dalam setiap kesempatan dengan gelar
tamu kehormatan, dan menjelaskan posisi partai secara ilmiah dan terbuka.
Dengan cara ini PKI dapat menarik simpati.
‘Jika
mereka siap membantu (bahwa posisi PKI adalah benar) mereka akan yakin dan
mendukung kita (partai). Dan jika mereka siap membantu, mereka akan memberi
dukungan moral dan material untuk perjuangan, walaupun secara umum mereka tidak
mengharapkan dapat memberi secara terbuka. Kita (partai) harus mengerti dan
tidak berharap melebihi apa yang dapat mereka berikan’.
Setiati menekankan bahwa
kelompok menengah dan atas dapat memberikan bantuan finansial bagi partai, dan
disebut dengan sumbangan berkala (reguler). Ini semakin merapatkan hubungan
mereka dengan partai, sebagai usaha memberi perasaan turut berpartisipasi dalam
perjuangan partai.
PKI mengadakan konferensi
nasional perempuan I dari tanggal 25 – 30 Mei 1958. Persoalan-persoalan yang
muncul diantara beberapa anggota menjadi topik diskusi[4].
Aidit mengatakan ‘Rintangan terbesar bagi partai dalam bekerja diantara kelas
pekerja adalah adanya kepercayaan dominan bahwa kondisi yang buruk sekarang ini
adalah takdir yang tidak dapat diubah’[5].
Lebih lanjut dia menyatakan, partai harus berupaya membantu mereka untuk
memahami bahwa kondisi yang buruk merupakan ciptaan manusia dan melalui
organisasi, situasi yang lebih baik akan tercipta. Sudisman menghimbau partai
untuk memberi perhatian yang lebih besar pada salah satu problem ekonomi
mendasar yang dihadapi perempuan[6].
Suharti lalu memperkenalkan beberapa metode yang telah erbukti berhasil untuk
menarik anggota-anggota pertemuan yang baru, dengan cara: ceramah-ceramah lebih
diutamakan diberikan oleh kader perempuan; persamaan hak-hak perempuan dalam
perkawinan dan masalah anak; kelompok-kelompok anjangsana[7]
membantu ibu-ibu rumahtangga pada masalah tertimpa kemalangan (kematian, sakit)
atau pada saat-saat sibuk (kelahiran, perkawinan, dll); memberi penjelasan dan
peringatan keras kepada anggota partai yang melanggar kode moral Partai
Komunis; melindungi kepentingan keseharian massa perempuan[8].
Cara paling berhasil untuk meningkatkan keanggotaan adalah dengan mendekati laki-laki
(suami) untuk membawa istrinya dalam pertemuan, dan kemudian meningkatkan
kesadaran politik mereka, sampai pada tahap mereka setuju untuk bekerjasama
dengan partai.
Dengan upaya-upayanya
sendiri secara langsung, PKI berhasil membawa perempuan ke dalam
lingkarannya-tapi ternyata masih sulit untuk memperkirakan proporsi macam apa
yang dapat menarik massa (perempuan). Pada saat Konggres Nasional PKI VII,
April 1962, ketua Aidit tetap belum puas dengan cara kerja Partai untuk menarik
anggota-anggota perempuan[9].
Meskipun keanggotaan perempuan telah meningkat dan presentasinya terus
melonjak. Di masa yang akan datang Aidit mengatakan ‘situasi ini harus
diperbaiki, tambahan pekerja perempuan harus meningkat dalam partai’.
Barisan
terdepan organisasi massa perempuan Komunis, berawal secara tidak mengejutkan
pada bulan Juni 1950, ketika Gerwis (Gerakan Wanita Sedar) yang dibentuk
sebagai penyatuan dari 6 organisasi lokal perempuan yang bertebaran di Pulau
Jawa. Total anggotanya hanya sekitar 500 orang[10].
Selama 18 bulan pertama, hanya sedikit program yang
dijalankan oleh Gerwis, hal ini karena pimpinan Gerwis melarang dengan
menyebutnya sebagai ‘kesadaran perempuan yang sangat politis’[11].
Para pimpinan 99% berasal dari kelas borjuasi[12].
Masalah-masalah yang diangkat Gerwis, tampaknya seperti berusaha untuk
meningkatkan kondisi perempuan-perempuan miskin[13].
Tapi rencana untuk terjun diantara massa tersebut tidak diikuti denan upaya
yang nyata untuk turun ke bawah dan mengorganisir mereka[14].
Aktivitas yang dijalankan terpusat pada dukungan pada perjuangan politik PKI.
Akibatnya tujuh orang pimpinan ditangkap dalam operasi pembersihan massa 1951.
Pada bulan Desember 1951, ketika Konggres I diadakan, keanggotaannya telah
bertambah menjadi 6000 orang[15].
Pada Konggres I disimpulkan bahwa ‘setelah
melakukan otokritik kedalam organisasi jelaslah bahwa pada masa-masa sebelumnya
terlalu banyak perhatian diberikan pada aksi keluar dan tidak memperkuat Gerwis
ke dalam ‘yaitu terlibat dan menaruh perhatian secara langsung dalam kehidupan
sehari-hari perempuan’[16].
Beberapa orang pimpinan dan kader mengkritik cara kerja sektarian organisasi,
dan terciptanya permusuhan oleh Gerwis akibat dari cara kerja yang kurang
ramah, apalagi terhadap orang-orang di luar Gerwis. Meskipun begitu konggres
masih melibatkan diri dengan persoalan politik dan sedikit memperhatikan massa
perempuan, seperti tampak pada dukungan terhadap kasus Irian Barat, pencarian
dana untuk perundingan, politik luar negri yang bebas dan melakukan kerjasama
dengan International Federation of Democratic Women (Federasi Internasional
Perempuan Demokratik).
Meskipun kritik terhadap organisasi sendiri
terjadi dalam Konggres I tahun 1951, para pimpinan Gerwis terlalu lamban dalam
memberi reaksi untuk memenangkan dukungan massa dengan melakukan studi dan
penelitian (peninjauan) terhadap problem dan minat keseharian massa perempuan.
Akar dari keengganan mereka ini kemungkinan bersumber dari latar belakang
sosial mereka. Para pimpinan Gerwis kebanyakan berasal dari kelas menengah, dan
kelas menengah Indonesia secara umum menampakkan keengganan untuk berada di
sekitar ‘lower order’ (sic, mungkin maksudnya ‘lower class’-STK2) dan
mengorganisir mereka. Pada bulan Juni 1953 organisasi ini mengklaim anggotanya
berjumlah sekitar 40.000[17].
Tapi sebuah permulaan untuk bekerja di sekitar massa mulai menunjukkan
indikasi, berdasarkan laporan kegiatan Gerwis di Jawa Timur[18].
Diantara 7.016 anggotanya di Jawa Timur, telah berhasil didirikan 8 taman
kanak-kanak (TK), 52 kursus peberantasan buta huruf, 29 kursus kerajinan
tangan, diperbantukan pada 54 tempat dan mengadakan 17 kursus kader.
Konggres II Gerwis diadakan pada bulan Maret
1954. Keanggotaan telah berkembang menjadi 80.000, dengan jumlah cabang
mencapai 203[19].
Tiga delegasi asing juga hadir, termasuk Monika Felton dari Federasi
Internasional Perempuan Demokratik. Mereka duduk sebagai anggota kehormatan
dari Presidium Konggres. Umi Sardjono, ketua yang baru mengumumkan, bahwa dalam
waktu dekat konggres Gerwis akan membuang ‘karakteristik sektariannya’. Dan
sebagai acara simbolis penghapusan sifat sektarian, nama Gerwis diubah menjadi
Gerwani. Sebagai konsekuensinya sebuah aturan baru dibentuk yang membuka
keanggotaannya bagi seluruh perempuan Indonesia usia 16 tahun ke atas ‘terlepas
dari politik, agama dan kelompok etnik’. Keputusan ini disetujui dan menjadi
aturan dan program Gerwani[20].
Konggres ke II memutuskan untuk meningkatkan
anggotanya menjadi 1,5 sampai 2 juta, mulai saat diputuskan sampai konggres
berikutnya, meskipun target ini mendapat kritik sebagai sesuatu yang ‘tidak
obyektif’[21].
Ternyata keanggotaan terus meningkat. Sebelum September 1954 keanggotaan
diklaim telah berjumlah 400.000 dan menjadi 500.000 pada saat pemilihan umum
pada bulan Desember 1955[22].
Dalam bulan Juli 1956, ketika keanggotaannya dilaporkan telah menjadi 565.147,
di pulau Jawa Gerwani mempunyai cabang di tiap kabupaten dan kota-kota besar,
40% dari jumlah seluruh kecamatan dan sekitar 5000 sub cabang pada rukun
tetangga di kota dan pedesaan; di luar Jawa sedang dipersiapkan cabang-cabang
di seluruh Sumatra, Kalimantan Barat dan Selatan, dan Sulawesi Utara dan
Selatan, sementara lapisan organisasi yang lebih kecil sedang dibentuk di Nusa
Tenggara Barat dan Maluku[23].
Pada saat konggres III Gerwani pada bulan Desember 1957 anggotanya berjumlah
671.342 orang[24].
Masa antara konggres II dan III, melibatkan
Gerwani dalam masalah politik, ekonomi dan sosial. Selama pemilu 1955, 23.000
anggota Gerwani di Jawa bekerja pada komite Pemilu yang dibentuk pemerintah
untuk menjamin kelancaran pemungutan suara; 23 anggota disumbangkan dari daftar
PKI, dan seorang untuk Partai Nasionalis yang kecil, yaitu PRI. Lima anggota
terpilih dalam parlemen, sebagai jatah PKI untuk Dewan Pemilih (Constituent
Assembly). Dalam pemilu lokal di tahun
1957, 59 anggota dipilih dalam dewan lokal[25],
hampir semuanya berasal dari PKI. Dukungan kuat diberikan pada gerakan
perdamaian, terutama dalam pengumpulan tandatangan bagi Vienna Peace Appeal,
dan dukungan Gerwani juga diberikan pada semua pendirian politik PKI dalam
beberapa peristiwa[26].
Pendidikan dalam skala yang lumayan besar
dimulai dalam Gerwani setelah Konggres II. Untuk keanggotaan biasa, kampanye
anti buta huruf dimulai pada tahun 1955, dan dalam waktu setahun telah diklaim
bahwa 30% dari anggotanya telah melek huruf, meskipun tidak mereka semua dapat
menulis[27].
Kursus-kursus kader dipusatkan pada masalah organisasi dan administrasi, tapi
di penghujung tahun 1957 coba diciptakan pendidikan kader yang sistematis
dengan sekolah dan kursus-kursus pada seluruh lapisan organisasi dan
penyeragaman diktat-diktat pegangan pada empat subyek mendasar: sejarah
pergerakan nasional, sejarah gerakan perempuan nasional dan internasional,
masalah-masalah dalam organisasi Gerwani dan perkembangannya serta instruksi-instruksi
dari Federasi Internasional Perempuan
Demokratik-dalam hak-hak wanita dan anak serta perdamaian[28].
Dari bulan Oktober 1950 sampai akhir 1952, Gerwis memulai terbitan berkala
Wanita Indonesia (Indonesian Women), tapi setelah tampil secara ireguler,
publikasinya terhenti pada pertengahan tahun 1956. Untuk menggantikannya
diterbitkan Berita Gerwani, (Gerwani News) edisi perdana yang dicurahkan
secara khusus pada berita-berita organisasi dan dirancang untuk memberikan
masukan pada kader dalam menjalankan tugasnya. Pada awal 1960 sirkulasinya
sekitar 2000 eksemplar[29].
Diantara Konggres II dan III, Gerwani dari
pusat dan daerah, ambil bagian secara aktif dalam aksi mempertahankan hak-hak
wanita dan anak, ‘yang merupakan tujuan mendasar dari organisasi perempuan’[30].
Dalam lapangan ini Gerwani juga membicarakan mengenai kampanye selama pemilu
1955 untuk memperlihatkan tekanan pada undang-undang perkawinan yang lebih
demokratik, memperdebatkannya melalui anggota-anggota parlemen, bahwa biaya
legal dari penyatuan partner yang terpisah harus dirombak, berpartisipasi dalam
komite yang dibentuk oleh kementrian urusan agama untuk memecahkan masalah
perkawinan, memberikan hukuman berat atas kasus perkosaan dan penculikan
perempuan, dan di sub cabang dilakukan aksi-aksi dalam skala kecil yang
menguntungkan para anggota[31].
Dalam memperjuangkan kepentingan perempuan kelas pekerja dan tani. Gerwani
mendapat bantuan dari SOBSI dan BTI. Aktifitas sosio-ekonomi lainnya adalah
pembentukan kursus-kursus latihan bagi dukun beranak (midwives), dan
pembentukan 179 Taman Kanak-kanak dan 3 Sekolah Dasar.
Pada saat konggres III yang diadakan dari
tanggal 22-27 Desember 1957, Gerwani mengklaim anggotanya telah berjumlah
671.342, yang tersebar secara geografis, sebagai berikut; 613.262 anggota di
Pulau Jawa; 59.740 anggota di Sumatra; 2.680 di Sulawesi; 2.260 di
Nusatenggara; 1.900 di Maluku dan 1.500 di Kalimantan[32].
Di pulau Jawa terdapat cabang pada setiap kabupaten dan kota, pembentukan
organisasi di 75% dari jumlah kecamatan yang ada dan sub cabang yang meliputi
40% dari desa yang ada. Beberapa cabang dibentuk di tempat pekerjaan, tapi
mereka semua dianggap tidak bergabung dengan Gerwani, ketika SOBSI membentuk
departemen khusus perempuan.
Dari bulan Desember 1957 sampai Desember
1960, Gerwani menerapkan rencana operasi tiga tahun yang mana diharapkan dapat
membentuk sebuah sistem pendidikan kader. Kebanyakan kursus-kursus kader
dibentuk berdasarkan lapisan yang berbeda, tapi nomor (anggota) dan
keikutsertaan mereka tidak akan dibocorkan keluar. Sampai awal tahun 1960
anggota kader yang bekerja secara penuh masih sedikit: tiga orang di setiap
pusat dan rata-rata satu orang di setiap cabang (dalam bulan Desember 1957
terdapat 183 cabang). Sebuah tenaga yang siap pakai dari para pekerja lepas
tersedia, entah dari kader perempuan dalam PKI atau organisasi massa lainnya,
dan dari anggota Gerwani di parlemen dan dewan representatif di tingkat lokal.
Laporan Dewan Nasional terhadap Konggres III mengkritik dengan apa yang disebut
sebagai kelewat banyak memperhatikan persoalan-persoalan politik dan sedikit
bahkan tak ada perhatian terhadap massa perempuan Indonesia.
Sampai saat ini pengalaman
telah membuktikan bahwa aksi yang condong pada persoalan-persoalan politik
tanpa diimbangi oleh aksi sosio-ekonomi, sehingga massa perempuan tidak dapat
merasakan secara langsung kepentingan mereka. Ini bukan berarti aksi-aksi
politik menjadi tidak penting, tapi kita harus menekankan peningkatan jumlah
tindakan terhadap hak-hak perempuan dan anak sebagai aksi sosio-ekonomi, aksi
yang secara langsung menaruh perhatian pada kehidupan massa perempuan, misalnya
masalah perbaikan kampung, masalah air, dan juga masalah beras, dst[33].
Laporan Dewan Nasional kepada Konggres
menyatakan bahwa ‘untuk memperluas keanggotaan, setiap aksi harus dilandasi
pada kepentingan massa perempuan secara langsung, dan dibicarakan di antara
perempuan, lalu dicetuskan sekaligus didukung oleh mereka’. Sebuah penuntun
dikeluarkan untuk sebuah aksi: tujuan aksi harus jelas agar mendapat sambutan
dan dukungan luas dari masyarakat, dan aksi harus dilakukan pada waktu yang
tepat dengan batas-batas yang jelas.
Konggres III membahas secara komprehensif 27
poin program yang bertujuan merangkul persoalan-persoalan di sekitar hukum
perkawinan, undang-undang kerja, persamaan hak, wajib belajar, persamaan
pelayanan kesehatan dan kontrol harga atas barang-barang pokok[34].
Dengan program ini Gerwani berharap dapat perhatian dari segala lapisan
perempuan Indonesia dari kelas pekerja dan tani perempuan sampai kelas menengah
yang melek huruf.
Pada awal tahun 1960, ketika keanggotaan
Gerwani diklaim berjumlah sekitar 700.000, Gerwani melibatkan diri dalam
cara-cara kerja praktis untuk menarik dan memperkokoh para anggota[35]
.
1. Aktifitas yang paling
popular adalah arisan dimana semua anggota kelompok memberikan sumbangan tiap
minggu dan setiap anggota secara bergiliran akan menerima jumlah keseluruhan.
2. Kelompok bantuan secara
berkala dibentuk pada saat-saat dibutuhkan seperti kematian, kelahiran,
perkawinan, sakit dan kehamilan.
3. Pembentukan kelompok kredit
dalam skala kecil.
4. Didirikan 326 TK dan 3 SD.
Kursus dan latihan diberikan pada setiap staf pengajar. Beberapa TK dilengkapi
dengan baik dan mempunyai guru yang terlatih, tapi mayoritas masih bergiliran.[36]
5. Pada pertengahan tahun 1959,
Dewan Nasional memutuskan bahwa setiap cabang harus mempunyai paling sedikit
lima atau enam orang yang mengurusi sebuah koperasi. Kursus-kursus kader
koperasi diberikan oleh para petugas dari Departemen Koperasi. Pada awal 1960 beberapa
koperasi konsumer sudah disiapkan.
6. Kursus-kursus pemberantasan
buta huruf masih merupakan aktifitas penting di Jawa Timur dan Tengah. Beberapa
cabang menyelenggarakan kursus untuk masyarakat umum, terkadang atas nama
organisasi atau bisa juga bekerja sama dengan pemerintah[37].
7. Perempuan dilibatkan dalam
masalah-masalah perkawinan. Kader-kader Gerwani berpartisipasi dalam wujud
semi-petugas untuk menyelesaikan masalah suami istri dan terkadang melindungi
anggota dalam kasus-kasus perceraian.
8. Kerajinan tangan juga
diberikan; di kota diberikan kerajinan membuat bantal, pakaian dan memasak.
9. Gerwani mengadakan kampanye
luas terhadap kenaikan harga beberapa barang-barang kebutuhan pokok seperti
beras, tekstil, gula dan minyak goreng.
10. Beberapa kegiatan budaya juga
diselenggarakan termasuk paduan suara dan kelompok drama, tapi kegiatan ini
tidak berkembang luas.
11. Gerwani memberi bantuan
terhadap organisasi massa lainnya dan pada PKI dalam upaya mereka mendapatkan
masukan atas aktivitas lain dalam masyarakat.
12. Gerwani bekerjasama dengan
organisasi perempuan lainnya dalam merayakan hari Kartini[38]
dan hari ibu, dan di beberapa kota besar merayakan peringatan hari perempuan
internasional.
Anggota-anggota inti berjumpa sebulan sekali
dan terkadang seminggu sekali.
Keanggotaan Gerwani meningkat secara tajam
dari 700.000 di tahun 1960 mencapai 1.120.594 pada bulan Desember 1961 dan
menjadi 1,5 juta pada bulan Januari 1963[39].
Peningkatan jumlah anggota ini, mungkin merupakan hasil dari semakin besarnya
perhatian terhadap perempuan tani yang diperlihatkan melalui seminar Gerwani
pada bulan Januari 1961[40].
Pada bulan Oktober 1961, ketika keanggotaannya telah mencapai jumlah 900.000
orang, Gerwani memiliki kantor cabang di semua propinsi; 225 kabupaten dan kota
administratif; 70 % dari seluruh kecamatan yang ada, dan sub cabang pada 40%
desa yang ada[41].
Kelihatannya bahwa daya tarik utama dari
Gerwani baik di daerah pedesaan maupun kota adalah kerja sosialnya, organisasi
berupa kelompok arisan, kelompok kredit skala kecil, saling menolong, kursus
pemberantasan buta huruf, taman kanak-kanak, dan konsultasi masalah perkawinan.
Pendidikan politik jarang diberikan secara langsung kepada anggota-anggota
biasa, tapi Gerwani mengajarkan kepada mereka bahwa kondisi yang buruk dapat
diatasi dengan organisasi, dan PKI adalah satu-satunya partai politik yang
membela kepentingan mereka. Sumbangan Gerwani yang sangat berharga untuk PKI
adalah kemampuannya dalam membangkitkan massa perempuan untuk persoalan
politik, memobilisasi pemilih, menambah dukungan untuk garis politik PKI,
membantu organisasi massa yang lain, dan menyediakan serta mendidik kader dan
anggota Partai dari kalangan perempuan.
Bagian ini tidak membicarakan kegiatan
serikat-serikat buruh Komunis secara umum, melainkan memberi perhatian khusus
pada anggota-anggota perempuannya.
Walaupun jumlah buruh perempuan cukup tinggi
di Indonesia[42],
SOBSI dan serikat-serikat buruh yang bernaung dibawahnya tidak memberikan
perhatian khusus sampai pada awal tahun 1956, setahun setelah PKI mulai mengamati
alat-alat untuk menarik perhatian serta mengorganisir perempuan dalam jumlah
yang lebih besar. Pada tanggal 25 Februari 1956, Dewan Nasional SOBSI
mengeluarkan resolusi tentang buruh perempuan dan memasukkan
keputusan-keputusan berikut:
1. Menuntut persamaan hak
antara buruh perempuan dan laki-laki di tempat kerja, termasuk pembayaran upah
dan penentuan upah minimum
2. Menuntut pelaksanaan hukum
perburuhan no. 1 tahun 1951, dengan perhatian khusus pada hak buruh perempuan;
3. Menentang diskriminasi
terhadap perempuan yang dilakukan oleh sejumlah pegawai pemerintahan,
perusahaan, (services) yang reaksioner;
4. Memperjuangkan hak-hak
khusus untuk perempuan seperti kehamilan, melahirkan dan kondisi kerja[43].
Resolusi ini juga memutuskan pembentukan
kelompok-kelompok khusus perempuan dalam serikat buruh yang membicarakan
tuntutan khusus kaum perempuan dan mengorganisir perjuangan untuk pelaksanaan
dibawah kepemimpinan serikat buruh.
Sebagai petunjuk adanya keinginan untuk
melibatkan perempuan didalam kegiatan organisasi, Dewan Nasional pada bulan
Februari 1956 meningkatkan jumlah anggota perempuannya dari satu menjadi lima.
Pada bulan September 1957, ada 49 kader perempuan didalam komite kepemimpinan
SOBSI serta serikat-serikat buruhnya, baik di tingkat regional maupun pusat,
dan ‘jumlah kader perempuan yang memimpin atau berpartisipasi dalam
kepemimpinan organisasi dasar meningkat dengan cepat’[44].
Pada bulan itu pula konferensi nasional SOBSI memutuskan bahwa serikt buruh
yang memiliki banyak anggota perempuan, harus membentuk departemen perempuan,
pembentukan kelompok-kelompok perempuan di tempat kerja harus diselesaikan pada
akhir tahun 1958, kader harus ditunjuk dalam komite-komite pusat dan regional
SOBSI untuk menangani urusan perempuan, dan buruh perempuan harus dipromosikan
didalam badan-badan kepemimpinan[45].
Selama tahun 1956 dan 1957, beberapa serikat
buruh mulai mengadakan konferensi khusus untuk menangani masalah buruh
perempuan; pada tahun 1957 beberapa cabang SOBSI telah mengadakan kursus-kursus
untuk mengorganisir kader-kader khusus perempuan; pada bulan Februari 1958
SOBSI menyelenggarakan seminar nasional masalah perempuan, agenda
pembicaraannya mengenai metode-metode pengorganisiran buruh perempuan,
masalah-masalah sosial ekonomi yang dihadapi buruh perempuan, dan hak-hak
perempuan[46].
Sekretariat Dewan Nasional membalikkan keputusannya untuk mengorganisir
kelompok-kelompok khusus perempuan, tapi kepentingan-kepentingan khusus dari
buruh perempuan dipromosikan oleh bagian-bagian khusus serikat buruh dan kader-kader
urusan perempuan, serta dalam pertemuan-pertemuan khusus[47].
Pada akhir tahun 1958 hanya sedikit perempuan
yang terlibat dalam kepemimpinan pusat SOBSI: ada empat perempuan dari 39
anggota Dewan Pusat serikat buruh perempuan, dimana 45% diantara buruhnya
adalah perempuan, 9 dari 29 di dalam serikat buruh rokok, yang 6% buruhnya
adalah perempuan, 3 dari 21 didalam serikat buruh tekstil, yang juga 65% dari
buruhnya adalah perempuan[48].
Tapi kaum perempuan dengan ‘cepat’ menduduki tempat-tempat dalam kepemimpinan
organisasi-organisasi dasar. Hanya sedikit angka statistik yang tersedia
mengenai peningkatan jumlah kader perempuan didalam SOBSI dan serikat-serikat
buruhnya[49];
walau angka-angka itu serta angka-angka dari akhir tahun 1958 menunjukkan
proporsi yang kecil jika dibandingkan dengan jumlah buruh perempuan secara
keseluruhan, semuanya memperlihatkan keberhasilan SOBSI beserta serikat-serikat
buruhnya dalam mengembangkan kepentingan dan kemampuan kaum perempuan di bidang
organisasi, di sebuah negara dimana-paling tidak di kelas yang lebih
rendah-perempuan tidak memiliki pengalaman untuk menjalankan organisasi,
khususnya pada organisasi yang juga memiliki anggota laki-laki. Perhatian lebih
lanjut dari pemimpin-pemimpin SOBSI mengenai masalah dan peranan buruh
perempuan ditunjukkan melalui sebuah diskusi pada seminar nasional mengenai
buruh perempuan yang diadakan pada bulan Mei 1961[50].
Singkatnya, karena jumlah buruh perempuan
cukup besar dalam sekian banyak bidang pekerjaan, sebagian besar tertarik SOBSI
dengan dasar kepentingan bersama sebagai seorang buruh. Pada bulan Februari
1956, bagaimanapun juga, pemimpin-pemimpin SOBSI secara khusus berusaha menarik
buruh-buruh perempuan dan menguatkan ikatan mereka dengan serikat-serikat buruh
melalui seruan tentang kepentingan yang spesifik sebagai buruh perempuan dan
melalui pembentukan aktifis serta kader-kader perempuan. Peningkatan jumlah
kader perempuan didalam serikat buruh berjalan lambat namun pasti, dan segera
memperlihatkan keberhasilan usaha-usaha itu.
Kegiatan BTI
Sebuah
artikel yang berjudul ‘Meningkatkan jumlah anggota di antara tani perempuan,’
yang diterbitkan dalam Harian Rakjat pada tanggal 15 Juni 1955 memperlihatkan
bagaimana BTI (organisasi tani di bawah pimpinan PKI) berusaha membuat tani
perempuan memiliki pengetahuan politik lalu merekrut mereka sebagai anggota BTI
lalu Gerwani. Penulisnya[51],
Kartinah, menyatakan bahwa tani perempuan masih terbelakang, pemalu, rendah
hati dan tidak dapat terlibat dalam organisasi hanya dengan menyampaikan undangan
pada mereka untuk datang. Kesabaran sangat diperlukan, dan, pada berbagai
kasus, bantuan suami, ayah atau tetangga juga penting. Para laki-laki
diharapkan dapat memberi keterangan tentang tujuan-tujuan BTI, mengajak
penduduk perempuan hadir pada pertemuan, dan meyakinkan bahwa mereka
ditampilkan dalam diskusi mengenai situasi desa mereka sendiri.
Dengan
cara ini, menurut Kartinah, kaum perempuan akan tahu bahwa perempuan lainnya
juga menghadapi persoalan yang sama, ‘dan penderitaan mereka sama saja.’ Dengan
demikian mereka akan melihat gunanya bergabung bersama penduduk laki-laki di
dalam perjuangan kaum tani, dan mereka akan melihat pentingnya organisasi untuk
memecahkan persoalan. Saat itu BTI dan Gerwani akan menarik mereka dalam
organisasi. Perhatian khusus diberikan agar menimbulkan rasa tanggungjawab dan
keterlibatan melalui pelaksanaan tugas-tugas ringan, seperti menyediakan
makanan untuk pertemuan, memberikan bantuan pada saat ada yang memerlukan dan
kerja sosial lainnya. Pelajaran juga diberikan untuk memberantas buta huruf dan
mengajarkan masalah kesehatan, menjahit dan sebagainya. Singkatnya, tulis
Kartinah, tani perempuan ‘harus diberikan tanggungjawab, walaupun kecil, karena
dengan pemberian tanggungjawab seperti itu, mereka akan merasa ‘bangga’ bahwa
mereka sudah membantu kerja organisasi dan untuk keperluan itu tidak banyak
mengeluarkan tenaga.
Artikel
Kartinah ini menggambarkan tiga karakteristik PKI dalam mengorganisir massa:
pertama, perhatian dan kesabaran dalam menumbuhkan kesadaran serta membawa
mereka masuk ke dalam organisasi; kedua, kenyataan saling membantu diantara
organisasi komunis-dalam konteks ini BTI membantu pendirian dan perkembangan
Gerwani, dan Gerwani membantu BTI dalam perjuangan untuk meningkatkan taraf
hidup kaum tani; lalu, ketiga, artikel itu dengan jelas memperlihatkan bahwa
kegiatan organisasi massa seperti itu pada akhirnya menuju pada keanggotaan
partai.
STK2 1991 (Seri Terjemahan Kita-kita)[52]
[1] PKI,
Manifes Pemilihan Umum PKI (Djakarta, 1954), hlm. 19
[2] Harian
Rakjat, 14 Desember 1955
[3] Setiati
Surasto, ‘Memperluas keanggotaan Partai di kalangan wanita’, Kehidupan Partai,
Februari 1957, hlm. 19-21
[4] Laporan
lengkap dapat ditemui dalam Bintang Merah, Juni 1958, hlm. 241-285
[5] D. N.
Aidit, ‘ Wanita Komunis Pejuang Untuk Masyarakat Baru’, Bintang Merah.
Juni 1958, hlm. 247
[6]
Sudisman, ‘Dengan Ketabahan Jang Besar Mendidik dan Mempromosi Kader-kader
Wanita’, Bintang Merah, Juni 1958. hlm 250.
[7] Kelompok
Andjangsono, kelompok kecil dari anggota organisasi yang mengundang para
tetangga untuk beramah tamah dan ngobrol. Kelompok ini dimanfaatkan oleh PKI
dan organisasi massanya terutama pada saat-saat menjelang Pemilu.
[8] Suharti,
‘ Menghidupkan Grup Wanita dan Meluaskan Keanggotaan Partai di Kalangan Wanita’,
Bintang Merah. Juni 1958, hlm 256.
[9] D. N.
Aidit, Untuk Demokrasi, Persatuan dan Mobilisasi, Jakarta 1952,
hlm 95-97.
[10]
Gerwani, Peraturan Dasar Gerwani: For A Lasting Peace for People’s Democracy
(FALP), 9 Maret 1956. hlm 4
[11]
Wawancara dengan Umi Sardjono, Ketua Gerwani sejak Maret 1954
[12] Umi
Sardjono, ’Preadvices Tentang Organisasi. Wanita Sedar, 15 Februari 1951. Dalam
laporan ini Umi menyatakan meskipun buruh dan tani tertindas, tetap harus
dipimpin oleh organisasi. Kenyataan di Indonesia menunjukkan bahwa kesadaran
mereka masih rendah. Para buruh dan tani yang tertindas tidak sadar bahwa
mereka harus mengikuti pimpinan revolusi. Dalam sebuah situasi dimana 99%
pimpinan Gerwis terdiri dari borjuis, ‘sebab mereka tidak begitu saja setuju
dengan teori kita dan belajar mengatur perjuangan menuju kemenangan’.
[13] Sebagai
contoh, lihat gambaran kecenderungan pekerja wanita oleh Konggres I Gerwis pada
bulan Februari 1951. (Wanita Sedar, 15 Maret 1951). Dalam Konggres I ini
dirumuskan rencana undang-undang perkawinan yang demokratis yang menjamin
persamaan hak dan kepentingan bagi kedua jenis sex, melindungi perempuan dan
anak dalam beberapa kasus perceraian, menentukan batas usia untuk menikah; 17
untuk perempuan dan 20 untuk laki-laki dan yang paling prinsipil adalah jaminan
terhadap poligami.
[14]
Konggres I Gerwis, bulan Februari 1954, memberikan gambaran detail tentang
program di pedesaan (ibid, Maret 1951, hlm 16).
[15] Harian
Rakjat, 5 Juni 1957
[16] Wanita
Sedar, Januari 1952, hlm 3
[17] Harian
Rakjat, 9 Juni 1953.
[18] Zaman
Baru, 28 Februari 1953, hlm 29
[19] Harian
Rakjat, 26 Maret 1954
[20]
Gerwani, op.cit, hlm 11
[21]
Pimpinan Gerwani mengklaim pada bulan Desember 1957, bahwa target tersebut
adalah tidak realistic, sebab lebih setahun dari konggres II, seluruh
organisasi sibuk mengubah struktur organisasi dengan konstitusi yang baru:
sebab Gerwani tidak mempunyai kader yang mencukupi untuk memenuhi target
tersebut di masyarakat dimana wanita tidak bisa lepas dari adat untuk ikut
serta dalam organisasi dan juga karena dalam memutuskan target utama tidak ada
perhatian yang diberikan oleh ‘daerah-daerah sulit’, seperti pegunungan, dan
daerah yang terisolasi, terutama di luar pulau Jawa. Lihat Gerwani, Lebih Giat
Meluaskan Gerakan Untuk Terlaksananya Piagam Hak-hak Wanita Indonesia, Jakarta
1959, hlm 69.
[22] Harian
Rakjat, 13 Juni 1955 dan 21 Januari 1956
[23]
Gerwani, Meluaskan Aksi-aksi untuk Memperkuat Tuntutan Hak-hak Wanita,
anak-anak dan Perdamaian Jakarta, 1956, hlm 26-27
[24]
Gerwani, Lebih Giat, hlm 68
[25] Review
of Indonesia, Januari 1958, hlm 27-28
[26]
misalnya saja sokongan Gerwani atas pemerintahan Ali Sastroamidjoydjo, oposisi
terhadap pemerintahan Burhanudin Harahap. Sokongan terhadap Soekarno pada
konsep sebuah partai pemerintahan bersama dan sokongan pada presiden dalam
upaya membentuk formatur kabinet pada bulan April 1957.
[27]
Gerwani, Lebih Giat, hlm 73
[28] ibid,
hlm 74-76
[29]
Wawancara dengan Umi Sardjono
[30]
Gerwani, Lebih Giat, hlm 51
[31] Secara
umum perempuan Indonesia sangat tidak terjamin dalam perkawinan, sebab suaminya
dapat dengan mudah membatalkan perkawinan. Menurut data statistik dari
Departemen Agama, dari tahun 1954 sampai 1958, perceraian dalam komunitas
muslim sekitar 50-52% dari jumlah keseluruhan dibandingkan dengan angka
perkawinan baru dan rujuknya pasangan. (Statistical Pocket Book of Indonesia,
1960. Biro Pusat Statistik, Jakarta, hlm 18). Jaminan yang diminta adalah
perkawinan yang lebih demokratis dan bantuan dana pada sang istri, untuk
melindunginya dari perceraian.
[32]
Gerwani, Lebih Giat, hlm 68-71. Sumber memperlihatkan adanya kesalahan jumlah
total sekitar 10.000
[33] ibid,
hlm 70
[34] Program
diperlihatkan secara utuh dalam ibid hlm 125-127
[35]
Informasi didapat dari hasil wawancara dengan Umi Sardjono dan dengan pimpinan
Gerwani di Jawa Timur dan Yogyakarta
[36] Dalam
bulan Januari 1963 terdapat 905 TK dan 6 SD, Harian Rakjat, Januari 1963
[37]
Konggres IV Gerwani pada tahun 1961 menyatakan bahwa pada saat itu sudah
terdapat 46.785 siswa dan 1.016 orang guru dalam kursus pemberantasan buta
huruf yang diselenggarakan Gerwani, Harian Rakjat 14 Desember 1961.
[38] Kartini
adalah Pahlawan Wanita yang mencoba memberikan pendidikan pada perempuan
[39] Harian
Rakjat 14 Desember 1961 dan 11 Januari 1963
[40] Untuk
pidato, dokumen dan keputusan dari seminar ini lihat, Gerwani, Seminar Nasional
Wanita Tani, Jakarta 1962
[41] Harian
Rakjat 26 Oktober 1961
[42] Sebuah
survei pada perusahaan menengah dan besar di tahun 1955 ditemukan bahwa 35%
dari 450.000 buruh adalah perempuan, (report to the Government of Indonesia on
social security. International Laboir Office. Genewa 1958, hlm 17-18). Dari
1.452.000 buruh yang ada di tahun 1956, 25.000 diantaranya adalah buruh
perempuan, (Njono, ‘Women Workers of Indonesia’. World Trade Union Movement,
Maret 1956, hlm 9). Menurut laporan PKI dalam bulan Mei 1958, perempuan
menyumbangkan 45% tenaganya, 65% di pabrik tekstil, 60% di industri cahaya, 65%
di pabrik rokok dan masih banyak lagi yang bekerja pada industri dan pelayanan
milik pemerintah. (Sundari,’Memperbesar Aktivitet Gerakan Wanita Untuk
Memenangkan Partai Dalam Pemilihan Umum Parlemen kedua, Bintang Merah
Juni 1958, hlm 263)
[43] Bendera
Buruh (BB) 17 Maret 1956, hlm 3
[44] SOBSI,
Dokumen-dokumen Konferensi Nasional SOBSI 1957, Jakarta 1958
[45] SOBSI,
Plan Organisasi 1958 Jakarta 1957, hlm 5-6
[46] BB 15
Oktober 1957 hlm 6, 30 Januari 1958 hlm 1-3
[47] Moh.
Munir, Pedoman Penjelesaian Plan 1958, Jakarta. 1959 hlm 15-16
[48] ibid
hlm 17
[49]
Sarbupri menyatakan bahwa di organisasinya terdapat 681 orang aktivis perempuan
diantara 350.000-400.000 anggota. (BB 25 Agustus 1959, hlm 3). Dalam bulan Mei
1960 menurut seorang pimpinan SOBSI di Jawa Timur 5% dari kader adalah
perempuan, tapi merupakan 30% anggota di tingkat propinsi
[50] Lihat
SOBSI, Peranan Buruh Wanita Dalam Pembangunan, Jakarta 1961
[51]
Kartinah,’Memperluas Keanggotaan Di Kalangan Wanita Tani’. Harian Rakjat, 15
Juni 1955.
[52] Tulisan
ini merupakan Bab XVII, ‘Women’. Dalam Donald Hindley, The Communist Party of
Indonesia 1951-1963, University of California Press, Barceley dan Los Angeles,
1966, hlm 200-211.
GERAKAN
WANITA INDONESIA
Oleh: Donald Hindley
Usaha-usaha
untuk mengorganisir perempuan serta menghasilkan kader-kader dan aktifis
memerlukan usaha yang penuh kesabaran dan metode tersendiri. Mayoritas
perempuan Indonesia yang miskin, dan mempunyai lebih sedikit pengalaman
ketimbang pria dalam hal organisasi, ditambah kenyataan bahwa mayoritas
perempuan buta huruf dan terikat secara tradisional, terutama dalam usaha
pembauran. Sebagai pimpinan, Aidit sadar akan pentingnya usaha untuk menarik dan
mengorganisir perempuan, karena bukan hanya separuh dari para pemilih adalah
perempuan, tapi karena mereka juga memegang peranan penting dalam sector
ekonomi. Sebagian besar pekerja pada sector industri adalah perempuan yang juga
mempunyai andil besar dalam lapangan pertanian sebagai tani pengolah tanah.
Dalam usaha untuk menarik dan mengorganisir perempuan, terutama dari kelas
bawah, PKI menggunakan organisasi massa perempuannya seperti Gerwani, Sobsi dan
BTI. Usaha yang dilakukannya berjalan cukup sukses dan berkembang dengan pesat,
sehingga dalam beberapa tahun perempuan telah menempati posisi kader dan
aktifis dalam partai.
- Cara Kerja Partai
Manifesto Pemilu PKI yang disahkan pada bulan
Maret 1954 menyatakan bahwa ‘untuk semua perempuan, memilih PKI berarti
emansipasi dan jaminan akan persamaan hak’[1],
Dalam sebuah artikel di Harian Rakjat, sesaat sebelum pemilihan Dewan pada
bulan Desember 1955, dijelaskan secara panjang lebar apa yang dimaksud dengan
persamaan hak[2].
PKI akan menjamin persamaan hak (perempuan) dalam empat hal, yaitu pertama,
dalam perkawinan akan diberikan kebebasan pada kedua jenis kelamin untuk
memilih pasangan, persamaan dalam perceraian dan warisan, suami dan istri
dilibatkan dalam usaha pembinaan 0anak dan memiliki (mengasuh) anak secara
bersama-sama; kedua, dalam sector ekonomi setiap perempuan yang terlibat dalam
proses produksi ditempatkan dalam posisi yang sederajat dengan laki-laki;
ketiga, dalam perburuhan tidak akan dibenarkan diskriminasi atas perempuan,
setiap pekerjaanyang sama akan diberlakukan upah yang sama; keempat, dalam
pertanian perempuan akan mendapat bagian yang sama bila sebidang tanah
dibagi-bagi. Usaha khusus juga dilakukan untuk menarik minat perempuan, seperti
yang tampak dalam usaha mendistribusikan tekstil dan makanan dengan harga
murah, penyediaan fasilitas pendidikan untuk anak-anak dan sebagainya.
Metode yang dijalankan PKI
tersebut merupakan usaha untuk menarik minat perempuan dari segala lapisan
sosial. Sebuah artikel yang ditulis oleh Setiati Surasto (salah seorang
pimpinan perempuan PKI) memperlihatkan bahwa metode tersebut dilakukan untuk
tiga jenis kelompok sosial: perempuan dari kelas pekerja dan pertanian,
kelompok menengah dan kelompok atas[3].
Anggota partai akan memberikan pertolongan pada para perempuan buruh dan tani,
demikian tulisnya. Kesulitan-kesulitan dalam kehidupan secara personal akan
mendapat dukungan dari partai yang kemudianakan didatangi. Tapi karena secara
umum mereka masih buta huruf, mempunyai anak banyak dan tidak mantap dalam ekonomi,
menyebabkan kesulitan untuk menyertakan perempuan-perempuan miskin dalam
pertemuan, apalagi bila pertemuan tidak diadakan dekat rumah mereka. Tapi
meskipun demikian tetap ada usaha-usaha pendekatan oleh para kader jika
dibutuhkan atau hadir dalam pertemuan-pertemuan kecil dari perempuan yang
tinggal berdekatan. Kemudian usaha-usaha ini dilanjutkan dengan pembahasan
masalah keseharian, menjelaskan keputusan-keputusan politik diantara mereka dan
kemudian secara bertahap mereka disiapkan untuk berpartisipasi dalam
pertemuan-pertemuan serta kursus-kursus rutin dari partai.
Kelompok (perempuan)
menengah yang meliputi pedagang, petani menengah, istri para pegawai menengah
dan para pelajar dibutuhkan waktu yang panjang dalam usaha menarik mereka. Para
perempuan tersebut khawatir jika bergabung dengan partai, (seperti yang ditulis
Setiati) akan kehilangan posisi social mereka atau karena mereka telah termakan
oleh propaganda yang reaksioner. PKI membantu mereka dalam menyelesaikan
masalah-masalah keseharian, misalnya dengan memberi penjelasan tentang hak-hak
mereka dan menjelaskan beberapa persoalan di sekitar pajak dan dana
pengeluaran.
Beberapa kerjasama dengan
partai dilakukan terhadap para intelektual perempuan terkemuka dan dari
golongan pejabat tinggi dengan cara mempengaruhi para suami secara tidak
langsung. Perempuan dari kelompok ini, menurut Setiati ‘memerlukan perhatian
khusus’. Kelompok ini sangat sulit dilibatkan dalam partai dan usaha-usaha yang
terbuka kadang justru mendapat hasil yang sebaliknya, ‘mereka takut dengan kata
komunis’ serta kehilangan muka dan posisi suami mereka. Usaha keras yang dapat
dilakukan partai adalah mengundang mereka dalam setiap kesempatan dengan gelar
tamu kehormatan, dan menjelaskan posisi partai secara ilmiah dan terbuka.
Dengan cara ini PKI dapat menarik simpati.
‘Jika
mereka siap membantu (bahwa posisi PKI adalah benar) mereka akan yakin dan
mendukung kita (partai). Dan jika mereka siap membantu, mereka akan memberi
dukungan moral dan material untuk perjuangan, walaupun secara umum mereka tidak
mengharapkan dapat memberi secara terbuka. Kita (partai) harus mengerti dan
tidak berharap melebihi apa yang dapat mereka berikan’.
Setiati menekankan bahwa
kelompok menengah dan atas dapat memberikan bantuan finansial bagi partai, dan
disebut dengan sumbangan berkala (reguler). Ini semakin merapatkan hubungan
mereka dengan partai, sebagai usaha memberi perasaan turut berpartisipasi dalam
perjuangan partai.
PKI mengadakan konferensi
nasional perempuan I dari tanggal 25 – 30 Mei 1958. Persoalan-persoalan yang
muncul diantara beberapa anggota menjadi topik diskusi[4].
Aidit mengatakan ‘Rintangan terbesar bagi partai dalam bekerja diantara kelas
pekerja adalah adanya kepercayaan dominan bahwa kondisi yang buruk sekarang ini
adalah takdir yang tidak dapat diubah’[5].
Lebih lanjut dia menyatakan, partai harus berupaya membantu mereka untuk
memahami bahwa kondisi yang buruk merupakan ciptaan manusia dan melalui
organisasi, situasi yang lebih baik akan tercipta. Sudisman menghimbau partai
untuk memberi perhatian yang lebih besar pada salah satu problem ekonomi
mendasar yang dihadapi perempuan[6].
Suharti lalu memperkenalkan beberapa metode yang telah erbukti berhasil untuk
menarik anggota-anggota pertemuan yang baru, dengan cara: ceramah-ceramah lebih
diutamakan diberikan oleh kader perempuan; persamaan hak-hak perempuan dalam
perkawinan dan masalah anak; kelompok-kelompok anjangsana[7]
membantu ibu-ibu rumahtangga pada masalah tertimpa kemalangan (kematian, sakit)
atau pada saat-saat sibuk (kelahiran, perkawinan, dll); memberi penjelasan dan
peringatan keras kepada anggota partai yang melanggar kode moral Partai
Komunis; melindungi kepentingan keseharian massa perempuan[8].
Cara paling berhasil untuk meningkatkan keanggotaan adalah dengan mendekati laki-laki
(suami) untuk membawa istrinya dalam pertemuan, dan kemudian meningkatkan
kesadaran politik mereka, sampai pada tahap mereka setuju untuk bekerjasama
dengan partai.
Dengan upaya-upayanya
sendiri secara langsung, PKI berhasil membawa perempuan ke dalam
lingkarannya-tapi ternyata masih sulit untuk memperkirakan proporsi macam apa
yang dapat menarik massa (perempuan). Pada saat Konggres Nasional PKI VII,
April 1962, ketua Aidit tetap belum puas dengan cara kerja Partai untuk menarik
anggota-anggota perempuan[9].
Meskipun keanggotaan perempuan telah meningkat dan presentasinya terus
melonjak. Di masa yang akan datang Aidit mengatakan ‘situasi ini harus
diperbaiki, tambahan pekerja perempuan harus meningkat dalam partai’.
- Gerwani
Barisan
terdepan organisasi massa perempuan Komunis, berawal secara tidak mengejutkan
pada bulan Juni 1950, ketika Gerwis (Gerakan Wanita Sedar) yang dibentuk
sebagai penyatuan dari 6 organisasi lokal perempuan yang bertebaran di Pulau
Jawa. Total anggotanya hanya sekitar 500 orang[10].
Selama 18 bulan pertama, hanya sedikit program yang
dijalankan oleh Gerwis, hal ini karena pimpinan Gerwis melarang dengan
menyebutnya sebagai ‘kesadaran perempuan yang sangat politis’[11].
Para pimpinan 99% berasal dari kelas borjuasi[12].
Masalah-masalah yang diangkat Gerwis, tampaknya seperti berusaha untuk
meningkatkan kondisi perempuan-perempuan miskin[13].
Tapi rencana untuk terjun diantara massa tersebut tidak diikuti denan upaya
yang nyata untuk turun ke bawah dan mengorganisir mereka[14].
Aktivitas yang dijalankan terpusat pada dukungan pada perjuangan politik PKI.
Akibatnya tujuh orang pimpinan ditangkap dalam operasi pembersihan massa 1951.
Pada bulan Desember 1951, ketika Konggres I diadakan, keanggotaannya telah
bertambah menjadi 6000 orang[15].
Pada Konggres I disimpulkan bahwa ‘setelah
melakukan otokritik kedalam organisasi jelaslah bahwa pada masa-masa sebelumnya
terlalu banyak perhatian diberikan pada aksi keluar dan tidak memperkuat Gerwis
ke dalam ‘yaitu terlibat dan menaruh perhatian secara langsung dalam kehidupan
sehari-hari perempuan’[16].
Beberapa orang pimpinan dan kader mengkritik cara kerja sektarian organisasi,
dan terciptanya permusuhan oleh Gerwis akibat dari cara kerja yang kurang
ramah, apalagi terhadap orang-orang di luar Gerwis. Meskipun begitu konggres
masih melibatkan diri dengan persoalan politik dan sedikit memperhatikan massa
perempuan, seperti tampak pada dukungan terhadap kasus Irian Barat, pencarian
dana untuk perundingan, politik luar negri yang bebas dan melakukan kerjasama
dengan International Federation of Democratic Women (Federasi Internasional
Perempuan Demokratik).
Meskipun kritik terhadap organisasi sendiri
terjadi dalam Konggres I tahun 1951, para pimpinan Gerwis terlalu lamban dalam
memberi reaksi untuk memenangkan dukungan massa dengan melakukan studi dan
penelitian (peninjauan) terhadap problem dan minat keseharian massa perempuan.
Akar dari keengganan mereka ini kemungkinan bersumber dari latar belakang
sosial mereka. Para pimpinan Gerwis kebanyakan berasal dari kelas menengah, dan
kelas menengah Indonesia secara umum menampakkan keengganan untuk berada di
sekitar ‘lower order’ (sic, mungkin maksudnya ‘lower class’-STK2) dan
mengorganisir mereka. Pada bulan Juni 1953 organisasi ini mengklaim anggotanya
berjumlah sekitar 40.000[17].
Tapi sebuah permulaan untuk bekerja di sekitar massa mulai menunjukkan
indikasi, berdasarkan laporan kegiatan Gerwis di Jawa Timur[18].
Diantara 7.016 anggotanya di Jawa Timur, telah berhasil didirikan 8 taman
kanak-kanak (TK), 52 kursus peberantasan buta huruf, 29 kursus kerajinan
tangan, diperbantukan pada 54 tempat dan mengadakan 17 kursus kader.
Konggres II Gerwis diadakan pada bulan Maret
1954. Keanggotaan telah berkembang menjadi 80.000, dengan jumlah cabang
mencapai 203[19].
Tiga delegasi asing juga hadir, termasuk Monika Felton dari Federasi
Internasional Perempuan Demokratik. Mereka duduk sebagai anggota kehormatan
dari Presidium Konggres. Umi Sardjono, ketua yang baru mengumumkan, bahwa dalam
waktu dekat konggres Gerwis akan membuang ‘karakteristik sektariannya’. Dan
sebagai acara simbolis penghapusan sifat sektarian, nama Gerwis diubah menjadi
Gerwani. Sebagai konsekuensinya sebuah aturan baru dibentuk yang membuka
keanggotaannya bagi seluruh perempuan Indonesia usia 16 tahun ke atas ‘terlepas
dari politik, agama dan kelompok etnik’. Keputusan ini disetujui dan menjadi
aturan dan program Gerwani[20].
Konggres ke II memutuskan untuk meningkatkan
anggotanya menjadi 1,5 sampai 2 juta, mulai saat diputuskan sampai konggres
berikutnya, meskipun target ini mendapat kritik sebagai sesuatu yang ‘tidak
obyektif’[21].
Ternyata keanggotaan terus meningkat. Sebelum September 1954 keanggotaan
diklaim telah berjumlah 400.000 dan menjadi 500.000 pada saat pemilihan umum
pada bulan Desember 1955[22].
Dalam bulan Juli 1956, ketika keanggotaannya dilaporkan telah menjadi 565.147,
di pulau Jawa Gerwani mempunyai cabang di tiap kabupaten dan kota-kota besar,
40% dari jumlah seluruh kecamatan dan sekitar 5000 sub cabang pada rukun
tetangga di kota dan pedesaan; di luar Jawa sedang dipersiapkan cabang-cabang
di seluruh Sumatra, Kalimantan Barat dan Selatan, dan Sulawesi Utara dan
Selatan, sementara lapisan organisasi yang lebih kecil sedang dibentuk di Nusa
Tenggara Barat dan Maluku[23].
Pada saat konggres III Gerwani pada bulan Desember 1957 anggotanya berjumlah
671.342 orang[24].
Masa antara konggres II dan III, melibatkan
Gerwani dalam masalah politik, ekonomi dan sosial. Selama pemilu 1955, 23.000
anggota Gerwani di Jawa bekerja pada komite Pemilu yang dibentuk pemerintah
untuk menjamin kelancaran pemungutan suara; 23 anggota disumbangkan dari daftar
PKI, dan seorang untuk Partai Nasionalis yang kecil, yaitu PRI. Lima anggota
terpilih dalam parlemen, sebagai jatah PKI untuk Dewan Pemilih (Constituent
Assembly). Dalam pemilu lokal di tahun
1957, 59 anggota dipilih dalam dewan lokal[25],
hampir semuanya berasal dari PKI. Dukungan kuat diberikan pada gerakan
perdamaian, terutama dalam pengumpulan tandatangan bagi Vienna Peace Appeal,
dan dukungan Gerwani juga diberikan pada semua pendirian politik PKI dalam
beberapa peristiwa[26].
Pendidikan dalam skala yang lumayan besar
dimulai dalam Gerwani setelah Konggres II. Untuk keanggotaan biasa, kampanye
anti buta huruf dimulai pada tahun 1955, dan dalam waktu setahun telah diklaim
bahwa 30% dari anggotanya telah melek huruf, meskipun tidak mereka semua dapat
menulis[27].
Kursus-kursus kader dipusatkan pada masalah organisasi dan administrasi, tapi
di penghujung tahun 1957 coba diciptakan pendidikan kader yang sistematis
dengan sekolah dan kursus-kursus pada seluruh lapisan organisasi dan
penyeragaman diktat-diktat pegangan pada empat subyek mendasar: sejarah
pergerakan nasional, sejarah gerakan perempuan nasional dan internasional,
masalah-masalah dalam organisasi Gerwani dan perkembangannya serta instruksi-instruksi
dari Federasi Internasional Perempuan
Demokratik-dalam hak-hak wanita dan anak serta perdamaian[28].
Dari bulan Oktober 1950 sampai akhir 1952, Gerwis memulai terbitan berkala
Wanita Indonesia (Indonesian Women), tapi setelah tampil secara ireguler,
publikasinya terhenti pada pertengahan tahun 1956. Untuk menggantikannya
diterbitkan Berita Gerwani, (Gerwani News) edisi perdana yang dicurahkan
secara khusus pada berita-berita organisasi dan dirancang untuk memberikan
masukan pada kader dalam menjalankan tugasnya. Pada awal 1960 sirkulasinya
sekitar 2000 eksemplar[29].
Diantara Konggres II dan III, Gerwani dari
pusat dan daerah, ambil bagian secara aktif dalam aksi mempertahankan hak-hak
wanita dan anak, ‘yang merupakan tujuan mendasar dari organisasi perempuan’[30].
Dalam lapangan ini Gerwani juga membicarakan mengenai kampanye selama pemilu
1955 untuk memperlihatkan tekanan pada undang-undang perkawinan yang lebih
demokratik, memperdebatkannya melalui anggota-anggota parlemen, bahwa biaya
legal dari penyatuan partner yang terpisah harus dirombak, berpartisipasi dalam
komite yang dibentuk oleh kementrian urusan agama untuk memecahkan masalah
perkawinan, memberikan hukuman berat atas kasus perkosaan dan penculikan
perempuan, dan di sub cabang dilakukan aksi-aksi dalam skala kecil yang
menguntungkan para anggota[31].
Dalam memperjuangkan kepentingan perempuan kelas pekerja dan tani. Gerwani
mendapat bantuan dari SOBSI dan BTI. Aktifitas sosio-ekonomi lainnya adalah
pembentukan kursus-kursus latihan bagi dukun beranak (midwives), dan
pembentukan 179 Taman Kanak-kanak dan 3 Sekolah Dasar.
Pada saat konggres III yang diadakan dari
tanggal 22-27 Desember 1957, Gerwani mengklaim anggotanya telah berjumlah
671.342, yang tersebar secara geografis, sebagai berikut; 613.262 anggota di
Pulau Jawa; 59.740 anggota di Sumatra; 2.680 di Sulawesi; 2.260 di
Nusatenggara; 1.900 di Maluku dan 1.500 di Kalimantan[32].
Di pulau Jawa terdapat cabang pada setiap kabupaten dan kota, pembentukan
organisasi di 75% dari jumlah kecamatan yang ada dan sub cabang yang meliputi
40% dari desa yang ada. Beberapa cabang dibentuk di tempat pekerjaan, tapi
mereka semua dianggap tidak bergabung dengan Gerwani, ketika SOBSI membentuk
departemen khusus perempuan.
Dari bulan Desember 1957 sampai Desember
1960, Gerwani menerapkan rencana operasi tiga tahun yang mana diharapkan dapat
membentuk sebuah sistem pendidikan kader. Kebanyakan kursus-kursus kader
dibentuk berdasarkan lapisan yang berbeda, tapi nomor (anggota) dan
keikutsertaan mereka tidak akan dibocorkan keluar. Sampai awal tahun 1960
anggota kader yang bekerja secara penuh masih sedikit: tiga orang di setiap
pusat dan rata-rata satu orang di setiap cabang (dalam bulan Desember 1957
terdapat 183 cabang). Sebuah tenaga yang siap pakai dari para pekerja lepas
tersedia, entah dari kader perempuan dalam PKI atau organisasi massa lainnya,
dan dari anggota Gerwani di parlemen dan dewan representatif di tingkat lokal.
Laporan Dewan Nasional terhadap Konggres III mengkritik dengan apa yang disebut
sebagai kelewat banyak memperhatikan persoalan-persoalan politik dan sedikit
bahkan tak ada perhatian terhadap massa perempuan Indonesia.
Sampai saat ini pengalaman
telah membuktikan bahwa aksi yang condong pada persoalan-persoalan politik
tanpa diimbangi oleh aksi sosio-ekonomi, sehingga massa perempuan tidak dapat
merasakan secara langsung kepentingan mereka. Ini bukan berarti aksi-aksi
politik menjadi tidak penting, tapi kita harus menekankan peningkatan jumlah
tindakan terhadap hak-hak perempuan dan anak sebagai aksi sosio-ekonomi, aksi
yang secara langsung menaruh perhatian pada kehidupan massa perempuan, misalnya
masalah perbaikan kampung, masalah air, dan juga masalah beras, dst[33].
Laporan Dewan Nasional kepada Konggres
menyatakan bahwa ‘untuk memperluas keanggotaan, setiap aksi harus dilandasi
pada kepentingan massa perempuan secara langsung, dan dibicarakan di antara
perempuan, lalu dicetuskan sekaligus didukung oleh mereka’. Sebuah penuntun
dikeluarkan untuk sebuah aksi: tujuan aksi harus jelas agar mendapat sambutan
dan dukungan luas dari masyarakat, dan aksi harus dilakukan pada waktu yang
tepat dengan batas-batas yang jelas.
Konggres III membahas secara komprehensif 27
poin program yang bertujuan merangkul persoalan-persoalan di sekitar hukum
perkawinan, undang-undang kerja, persamaan hak, wajib belajar, persamaan
pelayanan kesehatan dan kontrol harga atas barang-barang pokok[34].
Dengan program ini Gerwani berharap dapat perhatian dari segala lapisan
perempuan Indonesia dari kelas pekerja dan tani perempuan sampai kelas menengah
yang melek huruf.
Pada awal tahun 1960, ketika keanggotaan
Gerwani diklaim berjumlah sekitar 700.000, Gerwani melibatkan diri dalam
cara-cara kerja praktis untuk menarik dan memperkokoh para anggota[35]
.
1. Aktifitas yang paling
popular adalah arisan dimana semua anggota kelompok memberikan sumbangan tiap
minggu dan setiap anggota secara bergiliran akan menerima jumlah keseluruhan.
2. Kelompok bantuan secara
berkala dibentuk pada saat-saat dibutuhkan seperti kematian, kelahiran,
perkawinan, sakit dan kehamilan.
3. Pembentukan kelompok kredit
dalam skala kecil.
4. Didirikan 326 TK dan 3 SD.
Kursus dan latihan diberikan pada setiap staf pengajar. Beberapa TK dilengkapi
dengan baik dan mempunyai guru yang terlatih, tapi mayoritas masih bergiliran.[36]
5. Pada pertengahan tahun 1959,
Dewan Nasional memutuskan bahwa setiap cabang harus mempunyai paling sedikit
lima atau enam orang yang mengurusi sebuah koperasi. Kursus-kursus kader
koperasi diberikan oleh para petugas dari Departemen Koperasi. Pada awal 1960 beberapa
koperasi konsumer sudah disiapkan.
6. Kursus-kursus pemberantasan
buta huruf masih merupakan aktifitas penting di Jawa Timur dan Tengah. Beberapa
cabang menyelenggarakan kursus untuk masyarakat umum, terkadang atas nama
organisasi atau bisa juga bekerja sama dengan pemerintah[37].
7. Perempuan dilibatkan dalam
masalah-masalah perkawinan. Kader-kader Gerwani berpartisipasi dalam wujud
semi-petugas untuk menyelesaikan masalah suami istri dan terkadang melindungi
anggota dalam kasus-kasus perceraian.
8. Kerajinan tangan juga
diberikan; di kota diberikan kerajinan membuat bantal, pakaian dan memasak.
9. Gerwani mengadakan kampanye
luas terhadap kenaikan harga beberapa barang-barang kebutuhan pokok seperti
beras, tekstil, gula dan minyak goreng.
10. Beberapa kegiatan budaya juga
diselenggarakan termasuk paduan suara dan kelompok drama, tapi kegiatan ini
tidak berkembang luas.
11. Gerwani memberi bantuan
terhadap organisasi massa lainnya dan pada PKI dalam upaya mereka mendapatkan
masukan atas aktivitas lain dalam masyarakat.
12. Gerwani bekerjasama dengan
organisasi perempuan lainnya dalam merayakan hari Kartini[38]
dan hari ibu, dan di beberapa kota besar merayakan peringatan hari perempuan
internasional.
Anggota-anggota inti berjumpa sebulan sekali
dan terkadang seminggu sekali.
Keanggotaan Gerwani meningkat secara tajam
dari 700.000 di tahun 1960 mencapai 1.120.594 pada bulan Desember 1961 dan
menjadi 1,5 juta pada bulan Januari 1963[39].
Peningkatan jumlah anggota ini, mungkin merupakan hasil dari semakin besarnya
perhatian terhadap perempuan tani yang diperlihatkan melalui seminar Gerwani
pada bulan Januari 1961[40].
Pada bulan Oktober 1961, ketika keanggotaannya telah mencapai jumlah 900.000
orang, Gerwani memiliki kantor cabang di semua propinsi; 225 kabupaten dan kota
administratif; 70 % dari seluruh kecamatan yang ada, dan sub cabang pada 40%
desa yang ada[41].
Kelihatannya bahwa daya tarik utama dari
Gerwani baik di daerah pedesaan maupun kota adalah kerja sosialnya, organisasi
berupa kelompok arisan, kelompok kredit skala kecil, saling menolong, kursus
pemberantasan buta huruf, taman kanak-kanak, dan konsultasi masalah perkawinan.
Pendidikan politik jarang diberikan secara langsung kepada anggota-anggota
biasa, tapi Gerwani mengajarkan kepada mereka bahwa kondisi yang buruk dapat
diatasi dengan organisasi, dan PKI adalah satu-satunya partai politik yang
membela kepentingan mereka. Sumbangan Gerwani yang sangat berharga untuk PKI
adalah kemampuannya dalam membangkitkan massa perempuan untuk persoalan
politik, memobilisasi pemilih, menambah dukungan untuk garis politik PKI,
membantu organisasi massa yang lain, dan menyediakan serta mendidik kader dan
anggota Partai dari kalangan perempuan.
Bagian ini tidak membicarakan kegiatan
serikat-serikat buruh Komunis secara umum, melainkan memberi perhatian khusus
pada anggota-anggota perempuannya.
Walaupun jumlah buruh perempuan cukup tinggi
di Indonesia[42],
SOBSI dan serikat-serikat buruh yang bernaung dibawahnya tidak memberikan
perhatian khusus sampai pada awal tahun 1956, setahun setelah PKI mulai mengamati
alat-alat untuk menarik perhatian serta mengorganisir perempuan dalam jumlah
yang lebih besar. Pada tanggal 25 Februari 1956, Dewan Nasional SOBSI
mengeluarkan resolusi tentang buruh perempuan dan memasukkan
keputusan-keputusan berikut:
1. Menuntut persamaan hak
antara buruh perempuan dan laki-laki di tempat kerja, termasuk pembayaran upah
dan penentuan upah minimum
2. Menuntut pelaksanaan hukum
perburuhan no. 1 tahun 1951, dengan perhatian khusus pada hak buruh perempuan;
3. Menentang diskriminasi
terhadap perempuan yang dilakukan oleh sejumlah pegawai pemerintahan,
perusahaan, (services) yang reaksioner;
4. Memperjuangkan hak-hak
khusus untuk perempuan seperti kehamilan, melahirkan dan kondisi kerja[43].
Resolusi ini juga memutuskan pembentukan
kelompok-kelompok khusus perempuan dalam serikat buruh yang membicarakan
tuntutan khusus kaum perempuan dan mengorganisir perjuangan untuk pelaksanaan
dibawah kepemimpinan serikat buruh.
Sebagai petunjuk adanya keinginan untuk
melibatkan perempuan didalam kegiatan organisasi, Dewan Nasional pada bulan
Februari 1956 meningkatkan jumlah anggota perempuannya dari satu menjadi lima.
Pada bulan September 1957, ada 49 kader perempuan didalam komite kepemimpinan
SOBSI serta serikat-serikat buruhnya, baik di tingkat regional maupun pusat,
dan ‘jumlah kader perempuan yang memimpin atau berpartisipasi dalam
kepemimpinan organisasi dasar meningkat dengan cepat’[44].
Pada bulan itu pula konferensi nasional SOBSI memutuskan bahwa serikt buruh
yang memiliki banyak anggota perempuan, harus membentuk departemen perempuan,
pembentukan kelompok-kelompok perempuan di tempat kerja harus diselesaikan pada
akhir tahun 1958, kader harus ditunjuk dalam komite-komite pusat dan regional
SOBSI untuk menangani urusan perempuan, dan buruh perempuan harus dipromosikan
didalam badan-badan kepemimpinan[45].
Selama tahun 1956 dan 1957, beberapa serikat
buruh mulai mengadakan konferensi khusus untuk menangani masalah buruh
perempuan; pada tahun 1957 beberapa cabang SOBSI telah mengadakan kursus-kursus
untuk mengorganisir kader-kader khusus perempuan; pada bulan Februari 1958
SOBSI menyelenggarakan seminar nasional masalah perempuan, agenda
pembicaraannya mengenai metode-metode pengorganisiran buruh perempuan,
masalah-masalah sosial ekonomi yang dihadapi buruh perempuan, dan hak-hak
perempuan[46].
Sekretariat Dewan Nasional membalikkan keputusannya untuk mengorganisir
kelompok-kelompok khusus perempuan, tapi kepentingan-kepentingan khusus dari
buruh perempuan dipromosikan oleh bagian-bagian khusus serikat buruh dan kader-kader
urusan perempuan, serta dalam pertemuan-pertemuan khusus[47].
Pada akhir tahun 1958 hanya sedikit perempuan
yang terlibat dalam kepemimpinan pusat SOBSI: ada empat perempuan dari 39
anggota Dewan Pusat serikat buruh perempuan, dimana 45% diantara buruhnya
adalah perempuan, 9 dari 29 di dalam serikat buruh rokok, yang 6% buruhnya
adalah perempuan, 3 dari 21 didalam serikat buruh tekstil, yang juga 65% dari
buruhnya adalah perempuan[48].
Tapi kaum perempuan dengan ‘cepat’ menduduki tempat-tempat dalam kepemimpinan
organisasi-organisasi dasar. Hanya sedikit angka statistik yang tersedia
mengenai peningkatan jumlah kader perempuan didalam SOBSI dan serikat-serikat
buruhnya[49];
walau angka-angka itu serta angka-angka dari akhir tahun 1958 menunjukkan
proporsi yang kecil jika dibandingkan dengan jumlah buruh perempuan secara
keseluruhan, semuanya memperlihatkan keberhasilan SOBSI beserta serikat-serikat
buruhnya dalam mengembangkan kepentingan dan kemampuan kaum perempuan di bidang
organisasi, di sebuah negara dimana-paling tidak di kelas yang lebih
rendah-perempuan tidak memiliki pengalaman untuk menjalankan organisasi,
khususnya pada organisasi yang juga memiliki anggota laki-laki. Perhatian lebih
lanjut dari pemimpin-pemimpin SOBSI mengenai masalah dan peranan buruh
perempuan ditunjukkan melalui sebuah diskusi pada seminar nasional mengenai
buruh perempuan yang diadakan pada bulan Mei 1961[50].
Singkatnya, karena jumlah buruh perempuan
cukup besar dalam sekian banyak bidang pekerjaan, sebagian besar tertarik SOBSI
dengan dasar kepentingan bersama sebagai seorang buruh. Pada bulan Februari
1956, bagaimanapun juga, pemimpin-pemimpin SOBSI secara khusus berusaha menarik
buruh-buruh perempuan dan menguatkan ikatan mereka dengan serikat-serikat buruh
melalui seruan tentang kepentingan yang spesifik sebagai buruh perempuan dan
melalui pembentukan aktifis serta kader-kader perempuan. Peningkatan jumlah
kader perempuan didalam serikat buruh berjalan lambat namun pasti, dan segera
memperlihatkan keberhasilan usaha-usaha itu.
Kegiatan BTI
Sebuah
artikel yang berjudul ‘Meningkatkan jumlah anggota di antara tani perempuan,’
yang diterbitkan dalam Harian Rakjat pada tanggal 15 Juni 1955 memperlihatkan
bagaimana BTI (organisasi tani di bawah pimpinan PKI) berusaha membuat tani
perempuan memiliki pengetahuan politik lalu merekrut mereka sebagai anggota BTI
lalu Gerwani. Penulisnya[51],
Kartinah, menyatakan bahwa tani perempuan masih terbelakang, pemalu, rendah
hati dan tidak dapat terlibat dalam organisasi hanya dengan menyampaikan undangan
pada mereka untuk datang. Kesabaran sangat diperlukan, dan, pada berbagai
kasus, bantuan suami, ayah atau tetangga juga penting. Para laki-laki
diharapkan dapat memberi keterangan tentang tujuan-tujuan BTI, mengajak
penduduk perempuan hadir pada pertemuan, dan meyakinkan bahwa mereka
ditampilkan dalam diskusi mengenai situasi desa mereka sendiri.
Dengan
cara ini, menurut Kartinah, kaum perempuan akan tahu bahwa perempuan lainnya
juga menghadapi persoalan yang sama, ‘dan penderitaan mereka sama saja.’ Dengan
demikian mereka akan melihat gunanya bergabung bersama penduduk laki-laki di
dalam perjuangan kaum tani, dan mereka akan melihat pentingnya organisasi untuk
memecahkan persoalan. Saat itu BTI dan Gerwani akan menarik mereka dalam
organisasi. Perhatian khusus diberikan agar menimbulkan rasa tanggungjawab dan
keterlibatan melalui pelaksanaan tugas-tugas ringan, seperti menyediakan
makanan untuk pertemuan, memberikan bantuan pada saat ada yang memerlukan dan
kerja sosial lainnya. Pelajaran juga diberikan untuk memberantas buta huruf dan
mengajarkan masalah kesehatan, menjahit dan sebagainya. Singkatnya, tulis
Kartinah, tani perempuan ‘harus diberikan tanggungjawab, walaupun kecil, karena
dengan pemberian tanggungjawab seperti itu, mereka akan merasa ‘bangga’ bahwa
mereka sudah membantu kerja organisasi dan untuk keperluan itu tidak banyak
mengeluarkan tenaga.
Artikel
Kartinah ini menggambarkan tiga karakteristik PKI dalam mengorganisir massa:
pertama, perhatian dan kesabaran dalam menumbuhkan kesadaran serta membawa
mereka masuk ke dalam organisasi; kedua, kenyataan saling membantu diantara
organisasi komunis-dalam konteks ini BTI membantu pendirian dan perkembangan
Gerwani, dan Gerwani membantu BTI dalam perjuangan untuk meningkatkan taraf
hidup kaum tani; lalu, ketiga, artikel itu dengan jelas memperlihatkan bahwa
kegiatan organisasi massa seperti itu pada akhirnya menuju pada keanggotaan
partai.
STK2 1991 (Seri Terjemahan Kita-kita)[52]
[1] PKI,
Manifes Pemilihan Umum PKI (Djakarta, 1954), hlm. 19
[2] Harian
Rakjat, 14 Desember 1955
[3] Setiati
Surasto, ‘Memperluas keanggotaan Partai di kalangan wanita’, Kehidupan Partai,
Februari 1957, hlm. 19-21
[4] Laporan
lengkap dapat ditemui dalam Bintang Merah, Juni 1958, hlm. 241-285
[5] D. N.
Aidit, ‘ Wanita Komunis Pejuang Untuk Masyarakat Baru’, Bintang Merah.
Juni 1958, hlm. 247
[6]
Sudisman, ‘Dengan Ketabahan Jang Besar Mendidik dan Mempromosi Kader-kader
Wanita’, Bintang Merah, Juni 1958. hlm 250.
[7] Kelompok
Andjangsono, kelompok kecil dari anggota organisasi yang mengundang para
tetangga untuk beramah tamah dan ngobrol. Kelompok ini dimanfaatkan oleh PKI
dan organisasi massanya terutama pada saat-saat menjelang Pemilu.
[8] Suharti,
‘ Menghidupkan Grup Wanita dan Meluaskan Keanggotaan Partai di Kalangan Wanita’,
Bintang Merah. Juni 1958, hlm 256.
[9] D. N.
Aidit, Untuk Demokrasi, Persatuan dan Mobilisasi, Jakarta 1952,
hlm 95-97.
[10]
Gerwani, Peraturan Dasar Gerwani: For A Lasting Peace for People’s Democracy
(FALP), 9 Maret 1956. hlm 4
[11]
Wawancara dengan Umi Sardjono, Ketua Gerwani sejak Maret 1954
[12] Umi
Sardjono, ’Preadvices Tentang Organisasi. Wanita Sedar, 15 Februari 1951. Dalam
laporan ini Umi menyatakan meskipun buruh dan tani tertindas, tetap harus
dipimpin oleh organisasi. Kenyataan di Indonesia menunjukkan bahwa kesadaran
mereka masih rendah. Para buruh dan tani yang tertindas tidak sadar bahwa
mereka harus mengikuti pimpinan revolusi. Dalam sebuah situasi dimana 99%
pimpinan Gerwis terdiri dari borjuis, ‘sebab mereka tidak begitu saja setuju
dengan teori kita dan belajar mengatur perjuangan menuju kemenangan’.
[13] Sebagai
contoh, lihat gambaran kecenderungan pekerja wanita oleh Konggres I Gerwis pada
bulan Februari 1951. (Wanita Sedar, 15 Maret 1951). Dalam Konggres I ini
dirumuskan rencana undang-undang perkawinan yang demokratis yang menjamin
persamaan hak dan kepentingan bagi kedua jenis sex, melindungi perempuan dan
anak dalam beberapa kasus perceraian, menentukan batas usia untuk menikah; 17
untuk perempuan dan 20 untuk laki-laki dan yang paling prinsipil adalah jaminan
terhadap poligami.
[14]
Konggres I Gerwis, bulan Februari 1954, memberikan gambaran detail tentang
program di pedesaan (ibid, Maret 1951, hlm 16).
[15] Harian
Rakjat, 5 Juni 1957
[16] Wanita
Sedar, Januari 1952, hlm 3
[17] Harian
Rakjat, 9 Juni 1953.
[18] Zaman
Baru, 28 Februari 1953, hlm 29
[19] Harian
Rakjat, 26 Maret 1954
[20]
Gerwani, op.cit, hlm 11
[21]
Pimpinan Gerwani mengklaim pada bulan Desember 1957, bahwa target tersebut
adalah tidak realistic, sebab lebih setahun dari konggres II, seluruh
organisasi sibuk mengubah struktur organisasi dengan konstitusi yang baru:
sebab Gerwani tidak mempunyai kader yang mencukupi untuk memenuhi target
tersebut di masyarakat dimana wanita tidak bisa lepas dari adat untuk ikut
serta dalam organisasi dan juga karena dalam memutuskan target utama tidak ada
perhatian yang diberikan oleh ‘daerah-daerah sulit’, seperti pegunungan, dan
daerah yang terisolasi, terutama di luar pulau Jawa. Lihat Gerwani, Lebih Giat
Meluaskan Gerakan Untuk Terlaksananya Piagam Hak-hak Wanita Indonesia, Jakarta
1959, hlm 69.
[22] Harian
Rakjat, 13 Juni 1955 dan 21 Januari 1956
[23]
Gerwani, Meluaskan Aksi-aksi untuk Memperkuat Tuntutan Hak-hak Wanita,
anak-anak dan Perdamaian Jakarta, 1956, hlm 26-27
[24]
Gerwani, Lebih Giat, hlm 68
[25] Review
of Indonesia, Januari 1958, hlm 27-28
[26]
misalnya saja sokongan Gerwani atas pemerintahan Ali Sastroamidjoydjo, oposisi
terhadap pemerintahan Burhanudin Harahap. Sokongan terhadap Soekarno pada
konsep sebuah partai pemerintahan bersama dan sokongan pada presiden dalam
upaya membentuk formatur kabinet pada bulan April 1957.
[27]
Gerwani, Lebih Giat, hlm 73
[28] ibid,
hlm 74-76
[29]
Wawancara dengan Umi Sardjono
[30]
Gerwani, Lebih Giat, hlm 51
[31] Secara
umum perempuan Indonesia sangat tidak terjamin dalam perkawinan, sebab suaminya
dapat dengan mudah membatalkan perkawinan. Menurut data statistik dari
Departemen Agama, dari tahun 1954 sampai 1958, perceraian dalam komunitas
muslim sekitar 50-52% dari jumlah keseluruhan dibandingkan dengan angka
perkawinan baru dan rujuknya pasangan. (Statistical Pocket Book of Indonesia,
1960. Biro Pusat Statistik, Jakarta, hlm 18). Jaminan yang diminta adalah
perkawinan yang lebih demokratis dan bantuan dana pada sang istri, untuk
melindunginya dari perceraian.
[32]
Gerwani, Lebih Giat, hlm 68-71. Sumber memperlihatkan adanya kesalahan jumlah
total sekitar 10.000
[33] ibid,
hlm 70
[34] Program
diperlihatkan secara utuh dalam ibid hlm 125-127
[35]
Informasi didapat dari hasil wawancara dengan Umi Sardjono dan dengan pimpinan
Gerwani di Jawa Timur dan Yogyakarta
[36] Dalam
bulan Januari 1963 terdapat 905 TK dan 6 SD, Harian Rakjat, Januari 1963
[37]
Konggres IV Gerwani pada tahun 1961 menyatakan bahwa pada saat itu sudah
terdapat 46.785 siswa dan 1.016 orang guru dalam kursus pemberantasan buta
huruf yang diselenggarakan Gerwani, Harian Rakjat 14 Desember 1961.
[38] Kartini
adalah Pahlawan Wanita yang mencoba memberikan pendidikan pada perempuan
[39] Harian
Rakjat 14 Desember 1961 dan 11 Januari 1963
[40] Untuk
pidato, dokumen dan keputusan dari seminar ini lihat, Gerwani, Seminar Nasional
Wanita Tani, Jakarta 1962
[41] Harian
Rakjat 26 Oktober 1961
[42] Sebuah
survei pada perusahaan menengah dan besar di tahun 1955 ditemukan bahwa 35%
dari 450.000 buruh adalah perempuan, (report to the Government of Indonesia on
social security. International Laboir Office. Genewa 1958, hlm 17-18). Dari
1.452.000 buruh yang ada di tahun 1956, 25.000 diantaranya adalah buruh
perempuan, (Njono, ‘Women Workers of Indonesia’. World Trade Union Movement,
Maret 1956, hlm 9). Menurut laporan PKI dalam bulan Mei 1958, perempuan
menyumbangkan 45% tenaganya, 65% di pabrik tekstil, 60% di industri cahaya, 65%
di pabrik rokok dan masih banyak lagi yang bekerja pada industri dan pelayanan
milik pemerintah. (Sundari,’Memperbesar Aktivitet Gerakan Wanita Untuk
Memenangkan Partai Dalam Pemilihan Umum Parlemen kedua, Bintang Merah
Juni 1958, hlm 263)
[43] Bendera
Buruh (BB) 17 Maret 1956, hlm 3
[44] SOBSI,
Dokumen-dokumen Konferensi Nasional SOBSI 1957, Jakarta 1958
[45] SOBSI,
Plan Organisasi 1958 Jakarta 1957, hlm 5-6
[46] BB 15
Oktober 1957 hlm 6, 30 Januari 1958 hlm 1-3
[47] Moh.
Munir, Pedoman Penjelesaian Plan 1958, Jakarta. 1959 hlm 15-16
[48] ibid
hlm 17
[49]
Sarbupri menyatakan bahwa di organisasinya terdapat 681 orang aktivis perempuan
diantara 350.000-400.000 anggota. (BB 25 Agustus 1959, hlm 3). Dalam bulan Mei
1960 menurut seorang pimpinan SOBSI di Jawa Timur 5% dari kader adalah
perempuan, tapi merupakan 30% anggota di tingkat propinsi
[50] Lihat
SOBSI, Peranan Buruh Wanita Dalam Pembangunan, Jakarta 1961
[51]
Kartinah,’Memperluas Keanggotaan Di Kalangan Wanita Tani’. Harian Rakjat, 15
Juni 1955.
[52] Tulisan
ini merupakan Bab XVII, ‘Women’. Dalam Donald Hindley, The Communist Party of
Indonesia 1951-1963, University of California Press, Barceley dan Los Angeles,
1966, hlm 200-211.
Tue Aug 01, 2023 9:56 pm by wisatasemarang
» Portable STATA 18 Crack Full Version
Thu May 11, 2023 5:24 pm by wisatasemarang
» NVivo 12 Crack Full version
Mon Jan 30, 2023 11:16 am by wisatasemarang
» Tutorial Difference In difference (DID (Diff-in-Diff) With Eviews 13
Thu Nov 03, 2022 6:24 am by wisatasemarang
» Online Workshop Smart PLS Minggu, 01 Oktober 2022
Sat Sep 17, 2022 11:35 am by wisatasemarang
» kumpulan ebook tentang robot
Fri Jan 02, 2015 10:04 pm by kyuru
» MANTRA PELET
Wed May 16, 2012 3:31 am by orlandojack
» book love of spell
Sat Mar 24, 2012 8:08 pm by rifqi as
» attraction Formula
Sat Mar 24, 2012 7:09 pm by rifqi as