Teknik Pengolahan Data
Menjadi
pembicara pada Latihan Ketrampilan Penerbitan Kampus Mahasiswa (LKPKM)
se-Indonesia bukan yang pertamakali buat saya. Pada LKPKM tingkat dasar di UGM
Yogyakarta saya sudah menjadi pembicara. Namun, saya tak tahu pasti, apakah
pesertanya sama, atau sebagian sama. Atau adakah yang di Denpasar sekarang ini
(tingkat pembina) adalah kelanjutan dari Yogya (tingkat dasar) dan Padang
(untuk tingkat lanjutan).
Tentang
materi yang saya bawakan ini, Teknik Pengolahan Data, memang baru pertama kali
untuk pers kampus. Sebelumnya saya berbicara materi yang lain. Walau begitu,
saya sempat membaca makalah tentang Teknih Pengolahan Data pada tingkat-tingkat
sebelumnya. Saya melihat di sana masih bergulat pada persoalan teori dan tidak
menukik pada permasalahannya. Mudah-mudahan kali ini saya sempat memberikan
yang tidak sekadar teori, tetapi juga contoh-contoh sehingga bisa dipraktekkan.
Saya pikir, pada tingkat pembina ini persoalan yang langsung pada permasalahan
akan makin diperlukan.
Mengumpulkan
Data
Sebelum mengolah data, tentu harus diketahui dulu bagaimana teknik mengumpulkan
data. Ada tiga hal penting tentang cara mengumpulkan data untuk kepentingan
penerbitan pers atau tugas-tugas jurnalistik. Yakni: reportase, wawancara dan
riset kepustakaan. Saya tak ingin menjelaskan hal ini berpanjang-panjang,
karena materi ini tentu sudah didapatkan dari orang lain. Misalnya bagaimana
teknik reportase ke lapangan, bagaimana melakukan investigasi, dan sebagainya.
Wawancara juga demikian ada teknik-teknik khusus yang harus dilakukan
seseorang. Sejak mempersiapkan materi wawancara, mengetahui lebih banyak yang
akan diwawancarai, melemparkan pertanyaan pemancing, bagaimana bertanya supaya
yang diwawancarai tidak merasa diinterograsi, dan sebagainya. Semua ini tentu
sudah diperoleh.
Adapun
tentang riset kepustakaan, ini memang tidak memerlukan teknik khusus. Dan
saudara-saudara yang selama ini sudah duduk di bangku universitas tentu tak
asing dengan soal ini. Dalam membuat paper, makalah, dan nantinya skripsi,
hal-hal seperti ini sudah pasti dilakukan. Dan itu sama saja untuk kepentingan
jurnalistik.
Bagaimana
kita membongkar-bongkar buku untuk mencari data yang akan menunjang tulisan
kita. Atau memilah-milah klipping koran, atau menyimak brosur-brosur. Semua ini
tak kalah pentingnya dengan pekerjaan wawancara atau reportase. Di
penerbitan-penerbitan besar seperti TEMPO, Kompas dan lain-lainnya, tenaga
seperti ini yang dinamai periset statusnya sama dengan wartawan. Karena mereka
harus punya kejelian yang sama dengan wartawan. Bahkan mungkin lebih karena
mereka umumnya lebih banyak membaca buku dan mengingat peristiwa-peristiwa --
walau itu tak mutlak karena sekarang pendataan klipping, file, brosur, indeks
atau katalog buku sudah didukung peralatan komputer yang canggih.
Setelah
Data Terkumpul
Nah, setelah semua data terkumpul, sebenarnya sudah dimulai teknik mengolahnya.
Tapi, bagaimana mengolahnya jika data itu sedemikian banyak? Sering penulis
pemula merasa bingung bagaimana memperlakukan data. Wartawan muda suka
mengeluh: ''Aduh, banyak sekali bahannya, bagaimana menulisnya, ya,
bingung.''Jangan bingung. Periksa dulu rencana awal (kalau Anda reporter
biasanya ada lembar penugasan). Pada perencanaan awal itu tentu sudah
ditentukan, data yang Anda cari itu untuk rubrik apa, fokus ceritanya apa, lalu
angle (sudut pandangnya) ke mana. Lalu cocokkan dengan data yang Anda
peroleh. Apakah sudah terkumpulkan semuanya? Kalau belum, cari yang kurang.
Kalau pas, siap-siaplah ditulis. Sering yang terjadi adalah kelebihan data.
Belanjaan terlalu banyak, istilah di pers. Sepanjang ''belanjaan yang banyak''
itu tidak mengubah fokus dan angle bukanlah persoalan. Tetapi sering
''belanjaan'' yang dibawa melenceng dari perenca naan awal. Apa yang terjadi di
lapangan tidak cocok seperti yang diperkirakan di kantor. Apa yang dihasilkan
dari reportase dan wawancara tidak tepat seperti yang direncanakan sebelumnya.
Maka, yang terlebih dahulu ditentukan sebelum data diolah adalah apakah sudut
pandang dan fokus diubah, dan dengan perubahan itu tetapkah tulisan itu
menarik? Kalau ya, lakukan perubahan dulu. Artinya, data yang terkumpul itu
mengubah perencanaan awal, dan buatlah rencana tulisan yang baru sesuai dengan
data yang ada. Kalau itu juga mengubah rubrik, tidak apa-apa, sepanjang
memenuhi kriteria rubrik. Di TEMPO misalnya, sering dalam perencanaan awal
untuk rubrik Kriminalitas tiba-tiba data yang ada melenceng. Karena menarik
lalu diubah jadi rubrik Hukum, atau Nasional. (Setiap rubrik tentu memiliki
kriteria-kriteria tertentu yang berbeda, dan ini adalah kesepakatan pengelola
redaksi penerbitan itu).Tetapi, kalau data yang terkumpul itu melenceng dan
tidak memenuhi standar untuk rubik apapun, juga tidak mempunya sudut pandang
baru dan fokus yang bagus, maka itu berarti gagal. Simpan saja data itu untuk
lain kali, tak ada gunanya dipaksakan.
Mengolah
Data
Setelah ditentukan angle baru atau data itu memang pas dengan
perencanaan, langkah selanjutnya adalah menyiangi data. Mana yang relevan untuk
tulisan yang akan digarap dan mana yang tidak. Jangan segan-segan membuang data
yang tidak perlu, walau tadinya dicari dengan penuh gesit dan susah payah.Dalam
proses menyiangi ini akan terlihat apakah reportase dilengkapi dengan wawancara
khusus yang merupakan bagian tersendiri, atau wawancara itu dimasukkan dalam
bagian reportase, artinya menyatu dengan tulisan induk. Juga terlihat, apakah
tulisan itu perlu didukung oleh grafik atau tabel untuk lebih menjelaskan pada
pembaca. Ini mempengaruhi cara Anda menulis berita itu. Dalam menulis (saya tak
menguraikan teknik menulis berita karena itu sudah ada bagiannya) sekali lagi
harus diingat: jangan segan-segan membuang data yang tidak perlu. Juga harus
diingat, trend penulisan sekarang ini -- baik untuk berita maupun feature --
teknik penyajiannya sedemikian rupa sehingga orang membacanya dengan enteng dan
tidak susah. Alurnya terpelihara. Orang sekarang ini semakin sibuk dan
informasi sedemikian banyaknya, sehingga dalam mencari informasi itu orang tak
mau memikirkan hal-hal yang tak perlu. Karena itu, dalam sebuah berita pasti
ada ''pelaku utama'' dan ''pemain figuran''. Jangan sekali-sekali memberi porsi
yang besar kepada ''pemain figuran'' sehingga menenggelamkan ''pemain utama''.
Misal:
Ada sekelompok petani melakukan protes karena tanahnya digusur. Pemimpin
kelompok itu dan aktifis-aktifis lainnya adalah pelaku utama. Sedang figurannya
adalah puluhan petani yang lain. Kita tak perlu harus menyebut seluruh petani
yang protes, cukup pemimpinnya saja, atau pendampingnya yang vokal saja.
Sedangkan puluhan lainnya cukup disebut jumlahnya, asalnya. Tidak perlu
deskripsi lengkap: nama-nama mereka, usianya, deskripsi tubuhnya dan
sebagainya. Tapi pemimpinnya perlu: usianya, pendidikannya, caranya bicara dan
sebagainya.Ini juga termasuk pelaku yang lebih penting. Sebagai contoh, delapan
anggota kongres AS berkunjung ke Indonesia. Karena mereka dari satu partai yang
sama dan delegasi ini merupakan satu kesatuan, maka yang disebut cukup
pemimpinnya saja. Apalagi yang lain tidak ngomong. Untuk apa menyebutkan
data-data yang lain, selain susah mengeja namanya, apa relevansinya untuk
pembaca kebanyakan?Pergunakan data sesuai dengan kebutuhan berita itu. Misalnya
soal-soal detail. Tak semua detail itu penting. Misalnya menyebutkan jarak
terbunuhnya perampok di tangan polisi. Apa gunanya menulis berita begini:
''Perampok itu ditembak polisi pada jarak 5, 74 meter.'' Pembaca malah bisa
keliru kalau membacanya cepat-cepat, lima meter atau tujuh meter atau empat
meter. Sebut saja angka bulat, misalnya, kurang dari enam meter atau sekitar
enam meter -- walau Anda betul-betul mengukurnya secara tepat dengan sangat
susah.Tetapi untuk hal tertentu, detail penting. Misalnya, pertandingan
sepakbola. ''Gol terjadi pada menit ke 43''. Ini tak bisa disebut sekitar menit
ke 45, karena menit 45 sudah setengah main. Menit ke 43 sangat penting artinya
dibandingkan menit ke 30, misalnya. Atau tulisan begini: ''Pelari itu mencapai
finish dengan waktu 10.51 detik.'' Ini penting sekali bagi pembaca. Mereka akan
marah kalau detail itu ternyata salah. Apakah pembaca bingung melihat
angka-angka ini? Tidak, karena sebelum mereka membaca berita itu, mereka sudah
punya persiapan rubrik apa yang dibacanya. Kalau rubrik itu Nasional (di
majalah) atau berita utama di koran tertulis seperti ini: ''Selesai
berdemonstrasi menentang SDSB, Polan pulang ke rumahnya. Baru 15 menit, 12
detik, 6 second ia di rumah, polisi dengan kekuatan 12 orang datang
menciduknya. Nama-nama polisi itu Erwin Siregar usia 26 tahun pangkat Serka,
Ida Bagus Rai usia 35 tahun pangkat Letda, Muhamad Jarnawi usia 28 tahun
pangkat serma asal Purwodadi.....'' Ya, capek membaca kan? Untuk apa? Pelaku
utamanya Polan, yang lain figuran semua. Figuran terpenting di sini hanya
komandan polisi yang menangkapnya. Bahan-bahan seperti itu yang Anda dapatkan
dari laporan polisi (biasanya keterangan pers) tidak usah dipakai semua.
Sebar
Data, Kalau Penting
Ada kalanya data itu penting semua. Apalagi ini menyangkut deskripsi seorang
tokoh yang mau ditonjolkan, misalnya. Kalau itu memang diperlukan, jangan
memperlakukan data itu semaunya, ditumpahkan dalam satu kalimat. Akan lebih
baik kalau data itu disebar dalam beberapa kalimat. Jangan dijubelkan.Contoh.
Ada seorang pelukis lumpuh bernama Ketut Rinuh. Ia menda pat penghargaan pemerintah
karena karyanya sangat bagus, tak kalah hebat dengan pelukis yang normal. Anda
sudah melakukan reportase di rumah Ketut Rinuh dan sudah mendapatkan data-data
yang banyak sekali. Lalu Anda menulis beritanya begini: ''Ketut Rinuh, pelukis
lumpuh sejak kecil dari Desa Kesiman, umurnya 50 tahun, anaknya sembilan,
istrinya guru TK, dan ia sudah berhasil menyekolahkan anaknya sampai menjadi
insinyur, mendapat penghargaan dari pemerintah karena karyanya dinilai sangat
bagus, melebihi karya-karya pelukis normal lainnya.''
Kalimat
saya ini sebenarnya sudah bagus karena meletakkan koma dengan benar. Kalau
meletakkan koma ceroboh dan sama sekali diabaikan, pembaca bisa bingung.
Jangan-jangan yang dimaksudkan ''ia'' itu istri Rinuh, jangan-jangan yang
dimaksudkan mendapat penghargaan itu anaknya yang insinyur.Tapi,
sebagus-bagusnya kalimat seperti yang saya buat tentu tetap capek membacanya.
Dan itu bukan bahasa jurnalistik, apalagi jurnalistik model sekarang ini yang
sering disebut sebagai jurna listik baru. Anda haru memecah-mecah data yang
mendukung Ketut Rinuh itu. Misalnya:Pada kalimat pertama Anda cukup tulis: Ketut
Rinuh, 50 tahun, mendapat penghargaan dari pemerintah. Kemudian dilanjutkan
dengan kapan penghargaan itu diberikan, dalam rangka apa, siapa yang
memberikan. Lantas, tentang siapa Ketut Rinuh dilanjutkan lagi dengan menulis: Pelukis
lumpuh dari Desa Kesiman itu begitu terharu menerima penghargaan itu.
Kemudian dilukiskan suasana pada saat upacara itu berlangsung. Mungkin, supaya
berita tidak datar, Anda membutuhkan kutipan. Di situpun Anda bisa
mendomplengkan data. Misalnya: ''Saya tak pernah mimpi mendapatkan
penghargaan ini,'' kata Ketut Rinuh, lelaki yang lumpuh sejak kecil itu.
Lalu Anda kembali melakukan reportase. Misalnya Anda menulis: Saat menerima
penghargaan itu Ketut Rinuh tidak didampingi istrinya karena lagi mengajar di
sebuah TK. Namun, ayah sembilan anak ini tampak begitu bahagia.
Out-line
Perlu
Membuat out-line sangat perlu agar menggampangkan Anda mengolah data.
Apalagi kalau berita yang Anda rancang itu berita panjang atau sejenis laporan
utama. Apalagi kalau wartawan yang dilibatkan dalam pemberitaan ini tidak satu
orang, tetapi banyak. Banyak data yang akan masuk, banyak informasi yang
datang. Out line akan membantu karena ia mengatur lalu-lintas informasi,
membagi permasalahan. Dalam menuliskan berita Anda tinggal mengikuti out
line itu.
Misalnya,
Anda mau menulis masalah perpakiran di kota ini. Ada peg baru (kejadian hangat
yang membuat berita itu layak diangkat) yakni: urusan parkir akan ditenderkan
oleh Walikota. Nah, sebagai seorang redaktur yang menangani proyek tulisan ini,
Anda tentu menyebar banyak wartawan. Ada yang mewawancarai tukang parkir, ada
ke wali kota, ada yang mewawancarai pengusaha yang berminat ikut tender, ada
yang ke polisi, ada yang mewawancarai tokoh masyarakat atau orang biasa. Bahan
yang masuk tentu banyak sekali, sementara jatah halaman yang tersedia terbatas.
Maka out line sangat membantu mengatasi masalah ini. Misalnya, Anda
merancang kan begini:
Bagian
pertama tentu saja yang paling aktual (atau peg news) yakni menyangkut rencana
tender parkir. Berapa besar tender, bagaimana minat pengusaha, target
pendapatan kotamadya dari perparkiran, bagaimana perbandingan dengan tahun lalu
ketika parkir tak diborongkan.
Bagian
kedua: menyangkut kebijaksanaan perparkiran. Misalnya disorot masalah hukumnya.
Apakah seluruh wilayah kotamadya itu menjadi taman parkir? Kalau tidak kenapa
di depan apotek ini ada parkir, di depan nasi guling di sebelahnya tidak ada?
Kenapa ada parkir di trotoar, peraturan mana yang membolehkan? Kenapa tukang
parkir saling bersaing, apakah mereka yang menyetor sesuai target? Adakah
kemungkinan penyelewengan, karcis tak dirobek, lalu dipakai berulang-ulang.
Kalau begitu siapa yang rugi, pengusaha atau kotamadya?
Bagian
ketiga: tanggapan dan pendapat masyarakat. Pemakai jalan, polisi, tukang parkir
itu sendiri. Kalau tiga bagian ini masih kurang, mungkin perlu ada wawancara
khusus yang menjadi bagian tersendiri atau tulisan (opini) berupa kolom dari
seorang pakar. Misalnya, mereka menyoroti apa beda parkir dan penitipan motor.
Kalau motor hilang, apakah tukang parkir bisa dituntut. Apakah tukang parkir
itu bertanggung-jawab terhadap keamanan mobil atau motor atau mereka hanya
menyediakan tempat dan untuk itu kita membayar.Nah, kalau _out-line_ itu sudah
jelas, Anda tak akan lari ke mana-mana kalau sudah menulis. Tanpa kejelasan
itu, Anda bisa melebar ke mana-mana. Persoalan A belum selesai, Anda sudah
menulis persoalan C. Kemudian ingat lagi masalah A, ditulis lagi. Tulisan jadi
tak runtut. Akan terjadi pengulangan-pengulangan.Demikian sesuatu yang bisa
saya berikan semoga ada manfaatkan untuk Saudara-saudara.
Menjadi
pembicara pada Latihan Ketrampilan Penerbitan Kampus Mahasiswa (LKPKM)
se-Indonesia bukan yang pertamakali buat saya. Pada LKPKM tingkat dasar di UGM
Yogyakarta saya sudah menjadi pembicara. Namun, saya tak tahu pasti, apakah
pesertanya sama, atau sebagian sama. Atau adakah yang di Denpasar sekarang ini
(tingkat pembina) adalah kelanjutan dari Yogya (tingkat dasar) dan Padang
(untuk tingkat lanjutan).
Tentang
materi yang saya bawakan ini, Teknik Pengolahan Data, memang baru pertama kali
untuk pers kampus. Sebelumnya saya berbicara materi yang lain. Walau begitu,
saya sempat membaca makalah tentang Teknih Pengolahan Data pada tingkat-tingkat
sebelumnya. Saya melihat di sana masih bergulat pada persoalan teori dan tidak
menukik pada permasalahannya. Mudah-mudahan kali ini saya sempat memberikan
yang tidak sekadar teori, tetapi juga contoh-contoh sehingga bisa dipraktekkan.
Saya pikir, pada tingkat pembina ini persoalan yang langsung pada permasalahan
akan makin diperlukan.
Mengumpulkan
Data
Sebelum mengolah data, tentu harus diketahui dulu bagaimana teknik mengumpulkan
data. Ada tiga hal penting tentang cara mengumpulkan data untuk kepentingan
penerbitan pers atau tugas-tugas jurnalistik. Yakni: reportase, wawancara dan
riset kepustakaan. Saya tak ingin menjelaskan hal ini berpanjang-panjang,
karena materi ini tentu sudah didapatkan dari orang lain. Misalnya bagaimana
teknik reportase ke lapangan, bagaimana melakukan investigasi, dan sebagainya.
Wawancara juga demikian ada teknik-teknik khusus yang harus dilakukan
seseorang. Sejak mempersiapkan materi wawancara, mengetahui lebih banyak yang
akan diwawancarai, melemparkan pertanyaan pemancing, bagaimana bertanya supaya
yang diwawancarai tidak merasa diinterograsi, dan sebagainya. Semua ini tentu
sudah diperoleh.
Adapun
tentang riset kepustakaan, ini memang tidak memerlukan teknik khusus. Dan
saudara-saudara yang selama ini sudah duduk di bangku universitas tentu tak
asing dengan soal ini. Dalam membuat paper, makalah, dan nantinya skripsi,
hal-hal seperti ini sudah pasti dilakukan. Dan itu sama saja untuk kepentingan
jurnalistik.
Bagaimana
kita membongkar-bongkar buku untuk mencari data yang akan menunjang tulisan
kita. Atau memilah-milah klipping koran, atau menyimak brosur-brosur. Semua ini
tak kalah pentingnya dengan pekerjaan wawancara atau reportase. Di
penerbitan-penerbitan besar seperti TEMPO, Kompas dan lain-lainnya, tenaga
seperti ini yang dinamai periset statusnya sama dengan wartawan. Karena mereka
harus punya kejelian yang sama dengan wartawan. Bahkan mungkin lebih karena
mereka umumnya lebih banyak membaca buku dan mengingat peristiwa-peristiwa --
walau itu tak mutlak karena sekarang pendataan klipping, file, brosur, indeks
atau katalog buku sudah didukung peralatan komputer yang canggih.
Setelah
Data Terkumpul
Nah, setelah semua data terkumpul, sebenarnya sudah dimulai teknik mengolahnya.
Tapi, bagaimana mengolahnya jika data itu sedemikian banyak? Sering penulis
pemula merasa bingung bagaimana memperlakukan data. Wartawan muda suka
mengeluh: ''Aduh, banyak sekali bahannya, bagaimana menulisnya, ya,
bingung.''Jangan bingung. Periksa dulu rencana awal (kalau Anda reporter
biasanya ada lembar penugasan). Pada perencanaan awal itu tentu sudah
ditentukan, data yang Anda cari itu untuk rubrik apa, fokus ceritanya apa, lalu
angle (sudut pandangnya) ke mana. Lalu cocokkan dengan data yang Anda
peroleh. Apakah sudah terkumpulkan semuanya? Kalau belum, cari yang kurang.
Kalau pas, siap-siaplah ditulis. Sering yang terjadi adalah kelebihan data.
Belanjaan terlalu banyak, istilah di pers. Sepanjang ''belanjaan yang banyak''
itu tidak mengubah fokus dan angle bukanlah persoalan. Tetapi sering
''belanjaan'' yang dibawa melenceng dari perenca naan awal. Apa yang terjadi di
lapangan tidak cocok seperti yang diperkirakan di kantor. Apa yang dihasilkan
dari reportase dan wawancara tidak tepat seperti yang direncanakan sebelumnya.
Maka, yang terlebih dahulu ditentukan sebelum data diolah adalah apakah sudut
pandang dan fokus diubah, dan dengan perubahan itu tetapkah tulisan itu
menarik? Kalau ya, lakukan perubahan dulu. Artinya, data yang terkumpul itu
mengubah perencanaan awal, dan buatlah rencana tulisan yang baru sesuai dengan
data yang ada. Kalau itu juga mengubah rubrik, tidak apa-apa, sepanjang
memenuhi kriteria rubrik. Di TEMPO misalnya, sering dalam perencanaan awal
untuk rubrik Kriminalitas tiba-tiba data yang ada melenceng. Karena menarik
lalu diubah jadi rubrik Hukum, atau Nasional. (Setiap rubrik tentu memiliki
kriteria-kriteria tertentu yang berbeda, dan ini adalah kesepakatan pengelola
redaksi penerbitan itu).Tetapi, kalau data yang terkumpul itu melenceng dan
tidak memenuhi standar untuk rubik apapun, juga tidak mempunya sudut pandang
baru dan fokus yang bagus, maka itu berarti gagal. Simpan saja data itu untuk
lain kali, tak ada gunanya dipaksakan.
Mengolah
Data
Setelah ditentukan angle baru atau data itu memang pas dengan
perencanaan, langkah selanjutnya adalah menyiangi data. Mana yang relevan untuk
tulisan yang akan digarap dan mana yang tidak. Jangan segan-segan membuang data
yang tidak perlu, walau tadinya dicari dengan penuh gesit dan susah payah.Dalam
proses menyiangi ini akan terlihat apakah reportase dilengkapi dengan wawancara
khusus yang merupakan bagian tersendiri, atau wawancara itu dimasukkan dalam
bagian reportase, artinya menyatu dengan tulisan induk. Juga terlihat, apakah
tulisan itu perlu didukung oleh grafik atau tabel untuk lebih menjelaskan pada
pembaca. Ini mempengaruhi cara Anda menulis berita itu. Dalam menulis (saya tak
menguraikan teknik menulis berita karena itu sudah ada bagiannya) sekali lagi
harus diingat: jangan segan-segan membuang data yang tidak perlu. Juga harus
diingat, trend penulisan sekarang ini -- baik untuk berita maupun feature --
teknik penyajiannya sedemikian rupa sehingga orang membacanya dengan enteng dan
tidak susah. Alurnya terpelihara. Orang sekarang ini semakin sibuk dan
informasi sedemikian banyaknya, sehingga dalam mencari informasi itu orang tak
mau memikirkan hal-hal yang tak perlu. Karena itu, dalam sebuah berita pasti
ada ''pelaku utama'' dan ''pemain figuran''. Jangan sekali-sekali memberi porsi
yang besar kepada ''pemain figuran'' sehingga menenggelamkan ''pemain utama''.
Misal:
Ada sekelompok petani melakukan protes karena tanahnya digusur. Pemimpin
kelompok itu dan aktifis-aktifis lainnya adalah pelaku utama. Sedang figurannya
adalah puluhan petani yang lain. Kita tak perlu harus menyebut seluruh petani
yang protes, cukup pemimpinnya saja, atau pendampingnya yang vokal saja.
Sedangkan puluhan lainnya cukup disebut jumlahnya, asalnya. Tidak perlu
deskripsi lengkap: nama-nama mereka, usianya, deskripsi tubuhnya dan
sebagainya. Tapi pemimpinnya perlu: usianya, pendidikannya, caranya bicara dan
sebagainya.Ini juga termasuk pelaku yang lebih penting. Sebagai contoh, delapan
anggota kongres AS berkunjung ke Indonesia. Karena mereka dari satu partai yang
sama dan delegasi ini merupakan satu kesatuan, maka yang disebut cukup
pemimpinnya saja. Apalagi yang lain tidak ngomong. Untuk apa menyebutkan
data-data yang lain, selain susah mengeja namanya, apa relevansinya untuk
pembaca kebanyakan?Pergunakan data sesuai dengan kebutuhan berita itu. Misalnya
soal-soal detail. Tak semua detail itu penting. Misalnya menyebutkan jarak
terbunuhnya perampok di tangan polisi. Apa gunanya menulis berita begini:
''Perampok itu ditembak polisi pada jarak 5, 74 meter.'' Pembaca malah bisa
keliru kalau membacanya cepat-cepat, lima meter atau tujuh meter atau empat
meter. Sebut saja angka bulat, misalnya, kurang dari enam meter atau sekitar
enam meter -- walau Anda betul-betul mengukurnya secara tepat dengan sangat
susah.Tetapi untuk hal tertentu, detail penting. Misalnya, pertandingan
sepakbola. ''Gol terjadi pada menit ke 43''. Ini tak bisa disebut sekitar menit
ke 45, karena menit 45 sudah setengah main. Menit ke 43 sangat penting artinya
dibandingkan menit ke 30, misalnya. Atau tulisan begini: ''Pelari itu mencapai
finish dengan waktu 10.51 detik.'' Ini penting sekali bagi pembaca. Mereka akan
marah kalau detail itu ternyata salah. Apakah pembaca bingung melihat
angka-angka ini? Tidak, karena sebelum mereka membaca berita itu, mereka sudah
punya persiapan rubrik apa yang dibacanya. Kalau rubrik itu Nasional (di
majalah) atau berita utama di koran tertulis seperti ini: ''Selesai
berdemonstrasi menentang SDSB, Polan pulang ke rumahnya. Baru 15 menit, 12
detik, 6 second ia di rumah, polisi dengan kekuatan 12 orang datang
menciduknya. Nama-nama polisi itu Erwin Siregar usia 26 tahun pangkat Serka,
Ida Bagus Rai usia 35 tahun pangkat Letda, Muhamad Jarnawi usia 28 tahun
pangkat serma asal Purwodadi.....'' Ya, capek membaca kan? Untuk apa? Pelaku
utamanya Polan, yang lain figuran semua. Figuran terpenting di sini hanya
komandan polisi yang menangkapnya. Bahan-bahan seperti itu yang Anda dapatkan
dari laporan polisi (biasanya keterangan pers) tidak usah dipakai semua.
Sebar
Data, Kalau Penting
Ada kalanya data itu penting semua. Apalagi ini menyangkut deskripsi seorang
tokoh yang mau ditonjolkan, misalnya. Kalau itu memang diperlukan, jangan
memperlakukan data itu semaunya, ditumpahkan dalam satu kalimat. Akan lebih
baik kalau data itu disebar dalam beberapa kalimat. Jangan dijubelkan.Contoh.
Ada seorang pelukis lumpuh bernama Ketut Rinuh. Ia menda pat penghargaan pemerintah
karena karyanya sangat bagus, tak kalah hebat dengan pelukis yang normal. Anda
sudah melakukan reportase di rumah Ketut Rinuh dan sudah mendapatkan data-data
yang banyak sekali. Lalu Anda menulis beritanya begini: ''Ketut Rinuh, pelukis
lumpuh sejak kecil dari Desa Kesiman, umurnya 50 tahun, anaknya sembilan,
istrinya guru TK, dan ia sudah berhasil menyekolahkan anaknya sampai menjadi
insinyur, mendapat penghargaan dari pemerintah karena karyanya dinilai sangat
bagus, melebihi karya-karya pelukis normal lainnya.''
Kalimat
saya ini sebenarnya sudah bagus karena meletakkan koma dengan benar. Kalau
meletakkan koma ceroboh dan sama sekali diabaikan, pembaca bisa bingung.
Jangan-jangan yang dimaksudkan ''ia'' itu istri Rinuh, jangan-jangan yang
dimaksudkan mendapat penghargaan itu anaknya yang insinyur.Tapi,
sebagus-bagusnya kalimat seperti yang saya buat tentu tetap capek membacanya.
Dan itu bukan bahasa jurnalistik, apalagi jurnalistik model sekarang ini yang
sering disebut sebagai jurna listik baru. Anda haru memecah-mecah data yang
mendukung Ketut Rinuh itu. Misalnya:Pada kalimat pertama Anda cukup tulis: Ketut
Rinuh, 50 tahun, mendapat penghargaan dari pemerintah. Kemudian dilanjutkan
dengan kapan penghargaan itu diberikan, dalam rangka apa, siapa yang
memberikan. Lantas, tentang siapa Ketut Rinuh dilanjutkan lagi dengan menulis: Pelukis
lumpuh dari Desa Kesiman itu begitu terharu menerima penghargaan itu.
Kemudian dilukiskan suasana pada saat upacara itu berlangsung. Mungkin, supaya
berita tidak datar, Anda membutuhkan kutipan. Di situpun Anda bisa
mendomplengkan data. Misalnya: ''Saya tak pernah mimpi mendapatkan
penghargaan ini,'' kata Ketut Rinuh, lelaki yang lumpuh sejak kecil itu.
Lalu Anda kembali melakukan reportase. Misalnya Anda menulis: Saat menerima
penghargaan itu Ketut Rinuh tidak didampingi istrinya karena lagi mengajar di
sebuah TK. Namun, ayah sembilan anak ini tampak begitu bahagia.
Out-line
Perlu
Membuat out-line sangat perlu agar menggampangkan Anda mengolah data.
Apalagi kalau berita yang Anda rancang itu berita panjang atau sejenis laporan
utama. Apalagi kalau wartawan yang dilibatkan dalam pemberitaan ini tidak satu
orang, tetapi banyak. Banyak data yang akan masuk, banyak informasi yang
datang. Out line akan membantu karena ia mengatur lalu-lintas informasi,
membagi permasalahan. Dalam menuliskan berita Anda tinggal mengikuti out
line itu.
Misalnya,
Anda mau menulis masalah perpakiran di kota ini. Ada peg baru (kejadian hangat
yang membuat berita itu layak diangkat) yakni: urusan parkir akan ditenderkan
oleh Walikota. Nah, sebagai seorang redaktur yang menangani proyek tulisan ini,
Anda tentu menyebar banyak wartawan. Ada yang mewawancarai tukang parkir, ada
ke wali kota, ada yang mewawancarai pengusaha yang berminat ikut tender, ada
yang ke polisi, ada yang mewawancarai tokoh masyarakat atau orang biasa. Bahan
yang masuk tentu banyak sekali, sementara jatah halaman yang tersedia terbatas.
Maka out line sangat membantu mengatasi masalah ini. Misalnya, Anda
merancang kan begini:
Bagian
pertama tentu saja yang paling aktual (atau peg news) yakni menyangkut rencana
tender parkir. Berapa besar tender, bagaimana minat pengusaha, target
pendapatan kotamadya dari perparkiran, bagaimana perbandingan dengan tahun lalu
ketika parkir tak diborongkan.
Bagian
kedua: menyangkut kebijaksanaan perparkiran. Misalnya disorot masalah hukumnya.
Apakah seluruh wilayah kotamadya itu menjadi taman parkir? Kalau tidak kenapa
di depan apotek ini ada parkir, di depan nasi guling di sebelahnya tidak ada?
Kenapa ada parkir di trotoar, peraturan mana yang membolehkan? Kenapa tukang
parkir saling bersaing, apakah mereka yang menyetor sesuai target? Adakah
kemungkinan penyelewengan, karcis tak dirobek, lalu dipakai berulang-ulang.
Kalau begitu siapa yang rugi, pengusaha atau kotamadya?
Bagian
ketiga: tanggapan dan pendapat masyarakat. Pemakai jalan, polisi, tukang parkir
itu sendiri. Kalau tiga bagian ini masih kurang, mungkin perlu ada wawancara
khusus yang menjadi bagian tersendiri atau tulisan (opini) berupa kolom dari
seorang pakar. Misalnya, mereka menyoroti apa beda parkir dan penitipan motor.
Kalau motor hilang, apakah tukang parkir bisa dituntut. Apakah tukang parkir
itu bertanggung-jawab terhadap keamanan mobil atau motor atau mereka hanya
menyediakan tempat dan untuk itu kita membayar.Nah, kalau _out-line_ itu sudah
jelas, Anda tak akan lari ke mana-mana kalau sudah menulis. Tanpa kejelasan
itu, Anda bisa melebar ke mana-mana. Persoalan A belum selesai, Anda sudah
menulis persoalan C. Kemudian ingat lagi masalah A, ditulis lagi. Tulisan jadi
tak runtut. Akan terjadi pengulangan-pengulangan.Demikian sesuatu yang bisa
saya berikan semoga ada manfaatkan untuk Saudara-saudara.
Tue Aug 01, 2023 9:56 pm by wisatasemarang
» Portable STATA 18 Crack Full Version
Thu May 11, 2023 5:24 pm by wisatasemarang
» NVivo 12 Crack Full version
Mon Jan 30, 2023 11:16 am by wisatasemarang
» Tutorial Difference In difference (DID (Diff-in-Diff) With Eviews 13
Thu Nov 03, 2022 6:24 am by wisatasemarang
» Online Workshop Smart PLS Minggu, 01 Oktober 2022
Sat Sep 17, 2022 11:35 am by wisatasemarang
» kumpulan ebook tentang robot
Fri Jan 02, 2015 10:04 pm by kyuru
» MANTRA PELET
Wed May 16, 2012 3:31 am by orlandojack
» book love of spell
Sat Mar 24, 2012 8:08 pm by rifqi as
» attraction Formula
Sat Mar 24, 2012 7:09 pm by rifqi as