Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

ingin bergabung dengan elrakyat.tk klik pendaftaran. jika anda sudah pernah mendaftar silakan login. jangan lupa ajak kawan-kawanmu ke mari , dan jadilah top poster di forum kita

Join the forum, it's quick and easy

Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

ingin bergabung dengan elrakyat.tk klik pendaftaran. jika anda sudah pernah mendaftar silakan login. jangan lupa ajak kawan-kawanmu ke mari , dan jadilah top poster di forum kita

Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

Would you like to react to this message? Create an account in a few clicks or log in to continue.
Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

salah satu forum terbesar tempat kita bernostalgia

Login

Lupa password?

Our traffic

info rakyat

Sun Oct 31, 2010 9:05 pm by admin

---------------
PEMBERITAHUAN....

SF ZONA RELIGI SEKARANG KAMI PINDAH KE [You must be registered and logged in to see this link.] ANDA BISA BERPARTISIPASI DAN MENJADI MODERATOR SESUAI PERMINTAAN ANDA DENGAN REQUEST VIA SMS NO ADMIN 081945520865


Sekilas Info

Sun Jun 27, 2010 2:44 pm by admin

kabar gembira, forum lentera-rakyat mulai hari ini juga bisa diakses melalui [You must be registered and logged in to see this link.]


    pers indonesia dan imperialisme media

    admin
    admin
    Admin
    Admin


    Zodiac : Virgo Jumlah posting : 688
    Join date : 19.03.10
    Age : 37
    Lokasi : Malang-Indonesia

    pers indonesia dan imperialisme media Empty pers indonesia dan imperialisme media

    Post by admin Fri Jun 18, 2010 3:23 pm

    Pers Indonesia dan Imperialisme
    Media


    Oleh IDI SUBANDY
    IBRAHIM








    TATKALA
    angin reformasi berhembus dengan kencang, koridor demokrasi pun perlahan tetapi
    pasti mulai terkuak. Ruang publik yang sebelumnya penuh dengan jaring laba-laba
    kekuasaan yang setiap saat bisa membelenggu kebebasan pers, tiba-tiba sirna dan
    mengubah wajah pers Indonesia. Suara-suara alternatif yang sekian lama
    mengendap di balik bilik kebisuan publik tiba-tiba menyeruak, seperti burung
    yang lepas dari sangkarnya, terbang ke sana kemari.


    Dalam
    suatu kesempatan ilmuwan komunikasi dari Bandung, K.H. Jalaluddin Rakhmat
    dengan bagus pernah melukiskan bagaimana wajah pers Indonesia pasca-Soeharto.
    Menurut Kang Jalal, seperti kuda lepas dari kandangnya, pers Indonesia kini
    meloncat-loncat, berlari tanpa arah dan mendengus-dengus ke mana saja.


    Kalau
    kita coba lukiskan perkembangan pers Indonesia akhir-akhir ini, paling tidak
    ada beberapa hal penting yang menunjukkan perubahan wajah pers pasca-Soeharto.


    Pertama,
    deregulasi media yang dilakukan rezim pasca-Soeharto, seperti ditandai dengan
    dipermudahnya memperoleh izin dan dicabutnya sistem SIUPP telah menyebabkan
    maraknya penerbitan pers. Sayangnya peningkatan kuantitas media, belum dengan
    sendirinya disertai oleh perbaikan kualitas jurnalismenya.


    Dalam
    dunia media cetak, kini mulai muncul tanda-tanda ada di antara media yang hanya
    menjual gosip alias desas desus dengan warna pemberitaan yang kental
    keberpihakan atau penyudutan kepada suatu tokoh/golongan/partai tertentu.


    Sementara
    media yang cenderung partisan terus melakukan "sensasionalisme
    bahasa" seperti tampak lewat pemilihan judul (headlines) yang bombastis atau desain cover
    yang norak, majalah dan tabloid hiburan justru melakukan "vulgarisasi"
    dan "erotisasi" informasi seks.


    Menyambut
    semakin banyaknya stasiun TV akhir-akhir ini kita layak prihatin dengan
    persoalan kualitas budaya TV kita. Karena tayangan TV tampaknya masih terjebak
    dengan logika keseragaman (homogenitas) mata acara. Kalau suatu stasiun
    dianggap berhasil menayangkan kuis, dangdut, telenovela Amerika Latin, serial
    romantika India atau serial laga Mandarin, dan adu jotos di tengah malam buta,
    maka stasiun yang lain pun bisa dipastikan akan mengikuti kemudian.


    Begitupun
    dengan sistem bintang di layar kaca. Kita akan melihat logika keseragaman ini.
    Acara-acara baik kuis, sinetron, atau pun drama komedi hanya berputar di
    sekitar artis yang itu-itu saja. Yang lebih menggelikan lagi, untuk acara kuis
    justru hanya sekadar gonta-ganti peran beberapa artis saja. Pada suatu acara,
    seorang artis yang kebetulan lagi laris menjadi pembawa acara, pada acara lain,
    dia sebagai pesertanya.


    Kedua,
    Maraknya apa yang disebut sebagai "media baru" (new media) di
    kalangan masyarakat kita akhir-akhir ini. Untuk menyebut di antaranya adalah
    Internet dan teknologi multimedia yang semakin canggih. Akses Internet membawa
    budaya baru dalam pemanfaatan waktu luang (leisure time). Dengan Internet,
    batas-batas ruang dan waktu telah hancur. Anak-anak begitu mudah mengakses
    jenis informasi apapun yang mereka inginkan. Baik yang bisa kita kategorikan
    informasi yang positif maupun yang negatif. Semakin banyak mereka menghabiskan
    waktu di depan komputer, semakin berkurang waktu mereka untuk melakukan
    aktivitas lain. Ketiga, Menguatnya fenomena apa yang dikenal sebagai tesis
    "imperialisme media".


    Fenomena
    ini disebabkan globalisasi media transnasional dan invasi produk hiburan impor
    yang menguasai pasar media dalam negeri. Selain dominasi film-film Hollywood
    yang biasanya sarat seks dan kekerasan, akhir-akhir ini serial telenovela
    Amerika Latin dan serial laga Mandarin serta serial romantika India tampaknya
    masih mendominasi tayangan acara stasiun TV di Tanah Air. Untuk jenis sinetron
    atau film, misalnya, kini lebih dari 60% masih diisi oleh produk impor.
    Kalaupun kita melihat produk lokal, yang kita saksikan adalah wajah yang tidak
    jauh dengan gaya kemasan produk impor ini.


    Akhir-akhir
    ini, fenomena "imperialisme media" juga bisa kita lihat dari kian
    mengguritanya media yang dikuasai oleh perusahaan-perusahaan multinasional.
    Sebutlah salah satu contoh saja, "Cosmopolitan". Media jenis ini
    jelas menawarkan gaya hidup bagi wanita kelas menengah ke atas. Tidak hanya
    dari segi daya beli atau gaya hidupnya, tapi juga selera budayanya. Ia jelas
    menawarkan nilai tertentu bagi wanita muda. Dari rubrik dan selera budaya yang
    ditawarkannya, kita bisa memastikan corak kelas menengah macam apa yang
    membacanya. Membaca iklan spanduknya saja sudah cukup serem bagi ukuran
    rata-rata budaya kita. Ia menawarkan tip-tip panas dengan sensasi foto dan
    vulgarisasi bahasa yang menjanjikan kepuasan seks bagi pasangan dalam bercumbu,
    bercinta atau berhubungan badan. Tapi, jangan lupa, majalah dan tabloid dalam
    negeri pun sudah banyak yang melampaui ideologi selera seks yang ditawarkan "Cosmopolitan".



    Narkotisasi
    dan Masyarakat Jenuh MediaPara ahli menyebut budaya dan masyarakat mutakhir
    sebagai masyarakat yang jenuh dengan media (media saturated society).
    Masyarakat mutakhir adalah masyarakat yang dilimpahi dengan informasi berupa
    gambar, teks, bunyi, dan pesan-pesan visual. Masyarakat mutakhir adalah
    masyarakat yang dibanjiri informasi dan pesan-pesan komersial.


    Masyarakat
    yang jenuh media ternyata juga telah menyebabkan narkotisasi media bagi
    masyarakat. "Narkotisasi"
    (narcotization) adalah sebuah istilah yang digunakan untuk menggambarkan
    efek negatif atau efek menyimpang (dysfunction) dari media massa. Istilah ini
    sebenarnya berasal dari Paul F. Lazarsfeld dan Robert K. Merton. Dalam eseinya,
    "Mass Communication, Popular Taste and Organized Social Action" (1948), mereka menggunakan istilah
    "Narcotizing Dysfunction" untuk menyebut konsekuensi sosial dari
    media massa yang sering diabaikan. Media massa mereka pandang sebagai penyebab
    apatisme politik dan kelesuan massa. Media massa dipandang telah menyebabkan
    berkurangnya aktivitas dan keadaan "pingsan" (stupor) yang dialami
    khalayak. Seperti Lazarsfeld dan Merton yang melihat bahwa meningkatnya
    proporsi penggunaan waktu yang dicurahkan oleh orang Amerika saat itu terhadap
    media, alih-alih akan memberdayakan mereka, malah banjir informasi itu telah
    membius mereka ke dalam apatisme massa.


    Media
    massa dianggap sangat efektif untuk membuat orang kecanduan, karena media massa
    telah menjadi "narkotika sosial yang paling efisien dan paling bisa diterima".
    Informasi media pun mempunyai efek tak ubahnya seperti efek obat bius atau
    narkotika. Dengan media, orang merasa akan semakin banyak memiliki informasi
    tentang dunia dan peristiwa di sekitar mereka, tetapi pengetahuan itu
    sebenarnya hanyalah permukaan. Dengan informasi yang melimpah, orang
    seakan-akan bisa menjadi serbatahu segala hal, tapi sebenarnya mereka hanya
    dapat pengetahuan yang dangkal dan terpenggal-penggal. Orang mengonsumsi
    sebanyak-banyaknya informasi apapun bukan karena butuh, tapi karena memang
    itulah yang terus menerus disuguhkan kepada mereka.


    Akhirnya,
    orang-orang menjadi kurang tercerahkan dan berkurang pula minatnya untuk
    terlibat dengan hal-hal yang bersifat aktual. Atau, dalam kata-kata Lazarsfeld
    dan Merton, "increasing dosages of mass communications may be
    inadvertently transforming the energies of men from active participation into
    passive knowledge." (Meningkatnya dosis komunikasi masa dengan kurang
    hati-hati bisa saja mengubah energi manusia dari partisipasi aktif menjadi pengetahuan
    pasif).


    Masyarakat
    yang jenuh media ternyata juga adalah masyarakat yang setiap hari dihibur
    dengan bujuk rayu iklan. Dalam hidup sehari-hari, nyaris mustahil kita terbebas
    dari kepungan iklan. Pesan-pesan komersial setiap saat menyapa, membujuk,
    menggoda, dan bahkan memaksa kita untuk tergiur dengan janji-janji dan
    mimpi-mimpi dalam masyarakat komoditas. Setiap hari TV membawa ratusan bahkan
    ribuan iklan ke dalam rumah tangga kita. Coba bandingkan apa yang kini tengah
    kita alami dengan data di AS yang memperlihatkan bahwa saat seseorang
    menyelesaikan sekolah lanjutan, ia telah menghabiskan waktu sekitar 11.000 jam
    di sekolah, 15.000 jam di depan TV, 10.500 jam mendengar musik pop, dan saat
    itu ia telah diterpa oleh jutaan iklan.


    Menurut
    American Medical Association, nonton TV merupakan aktivitas nomor satu setelah
    pulang sekolah bagi anak-anak usia sekolah. Mereka akan menyaksikan 14.000
    referensi yang berhubungan dengan seks, 20.000 pesan-pesan komersial setiap
    tahun, dan menyaksikan lebih dari 200.000 tindakan kekerasan sebelum usia 18
    tahun.


    Lebih
    dari itu, iklan tidak hanya menjual barang, tetapi juga menawarkan nilai, yakni
    nilai masyarakat konsumer. Nilai dan gaya hidup yang ditanamkannya adalah agar
    kita selalu menyukai kebaruan. Kita dipaksa untuk mengganti apa saja yang kita
    pakai/miliki dengan sesuatu yang baru. Sehingga kita tidak pernah bosan
    berbelanja dan terus mengonsumsi. Iklan menawarkan gaya hidup hedonis dan
    ideologi materialisme yang memuja penampilan dan pemilikan benda-benda. Jadilah
    kita terpenjara dalam budaya konsumtif.


    Selain
    itu, dalam masyarakat yang jenuh media ini kita merasakan kian longgarnya
    kriteria nilai dan norma yang dipegang teguh dalam masyarakat. Kini semakin
    banyak saja media (majalah dan tabloid) pop yang mengumbar informasi (gambar dan teks) seronok, yang
    mengeksploitasi sikap suka pamer tubuh sebagian artis atau calon artis dan
    bintang iklan yang memang dengan berbagai cara terus memburu popularitas di
    pentas kebudayaan pop. Tampaknya apapun akan mereka lakukan asal tetap laris di
    pasar pemberitaan media.


    Sementara
    menyaksikan tayangan beberapa sinetron dan iklan di beberapa stasiun TV swasta
    akhir-akhir ini sudah tampak kian berani dan terang-terangannya mereka
    mempertontonkan adegan ciuman di layar kaca. Penanaman nilai dan budaya
    serba-boleh (permisif) seperti ini
    begitu halus dan menawan serta dibungkus dengan cantik lewat trik iklan atau
    intrik dalam sinetron. Karena ditayangkan secara berulang-ulang teranglah akan
    berakibat bagi perilaku dan gaya hidup anak muda. Baik cara berpakaian maupun
    bergaul jelas kini kian longgar di sebagian anak muda, termasuk di kalangan
    mahasiswa.


    Kalau
    menyimak tema-tema sinetron akhir-akhir ini, ada kecenderungan kuat mulai
    berkembangnya ideologi kelas menengah yang hanya menjual mimpi dan budaya
    penyelesaian gampangan (budaya instan)
    atas persoalan kompleks dalam dunia rumah tangga. Misalnya, dalam beberapa
    sinetron tampak ditanamkannya nilai yang secara halus mulai membenarkan hubungan
    yang longgar antara suami istri. Tema-tema diseputar perselingkuhan dan
    penghianatan terhadap kesetiaan pasangan yang kini mulai menjadi isu trendi di
    kalangan kelas menengah kota adalah nilai baru yang ikut ditanamkan secara
    gampangan oleh para pembuat sinetron.


    Memang
    ada juga sinetron-sinetron yang bertema religius, dengan memperlihatkan
    figur-figur serba berkerudung dan suka sembahyang, tapi tetap tanpa
    meninggalkan kebiasaan suka diskotek dan hura-huranya. Sayangnya tema-tema ini
    belum menyentuh substansi, masih terjebak dalam formalisme agama atau masih
    menunjukkan kesalehan simbolik.


    Membentuk
    Masyarakat Melek MediaBagaimanakah kita menghadapi efek jangka panjang dari
    narkotisasi media yang menyebabkan masyarakat terus terbius dengan pesan-pesan
    media? Jawabannya, tak lain jalan satu-satunya yang harus mulai ditempuh adalah
    menggalakkan apa yang dikenal sebagai Program "Media Literacy" atau
    Pendidikan Melek Media. Pendidikan Melek Media mempunyai arti penting, karena
    ia meletakkan titik berat perhatian kepada upaya pemberdayaan khalayak media.


    Memang
    selama ini masyarakat sudah mempercayakannya kepada lembaga seperti Media Watch
    atau Ombudsman untuk mewakili khalayak sebagai lembaga pemantau atau pengawas
    kinerja media. Akan tetapi, pertanyaan yang muncul kemudian; Apakah lembaga
    seperti ini bisa sepenuhnya netral? Apakah lembaga ini juga mandiri secara
    finansial dan terbebas dari vested interest?


    Bagaimana
    pula kalau lembaga pemantau itu berada di bawah payung sebuah media atau ia
    didirikan oleh orang pers? Apakah mereka akan bersikap kritis dan terbuka kalau
    sudah menyangkut kepentingan media mereka sendiri? Seberapa jauh kepentingan
    khalayak media akan diperjuangkannya? Lantas, apakah lembaga ini benar-benar
    akan tulus dalam memberdayakan mayoritas pembaca/pemirsa? Singkat kata, kemungkinan
    sebuah lembaga sehebat Media Watch atau Ombudsman untuk tidak netral jelas bisa
    saja terjadi. Inilah yang membedakannya dengan program Media Literacy.


    Pendidikan
    Melek Media mengembalikan titik berat upaya pemberdayaan sepenuhnya pada diri
    si khalayak media (pembaca, pendengar, dan pemirsa). Orang-orang yang Melek
    Media (Media Literate People) jelas akan senantiasa jeli dan kritis terhadap
    media, terutama manakala kepercayaan terhadap lembaga-lembaga pemantau atau
    pengawas yang diragukan kenetralan dan independensinya sudah mulai merosot.


    Sebagai
    sebuah istilah "Media Literacy" jelas tergolong masih bayi di
    Indonesia. Untuk tidak mengatakan belum cukup dikenal luas di kalangan praktisi
    dan teoretisi media dan komunikasi di Tanah Air. Sejauh pengamatan saya, sampai
    saat tulisan ini dirampungkan, belum satu pun tulisan yang dihasilkan baik
    berupa buku, jurnal, atau artikel di media massa yang membahas topik Media
    Literacy. Selain memang literaturnya masih langka dalam studi media dan
    komunikasi di Tanah Air, juga tampaknya orang masih lebih terpesona dengan
    lembaga seperti Media Watch atau Ombudsman.


    Sesungguhnya
    istilah "Media Literacy" memang masih tergolong baru bahkan untuk
    negara maju seperti Jepang dan AS. Kini para teoretisi dan praktisi Media Literacy
    di AS juga mengakui dan menyesali keterlambatan mereka dalam merespons dampak
    media yang begitu luar biasa terhadap anak muda di AS. Sementara di Jepang,
    baru pada 1990-an akhir, pentingnya program Media Literacy mulai dibicarakan
    secara serius.


    Namun,
    di Kanada, Australia, dan Inggris yang bisa dikatakan sebagai pelopor Media
    Literacy, gerakan ini sudah cukup memasyarakat sejak sekitar 1980-an. Di
    Kanada, misalnya, ia digunakan untuk memberikan pandangan kritis terhadap
    dampak media Amerika. Ia digunakan sebagai bagian dari gerakan menentang
    imperialisme budaya Amerika yang disebarkan lewat media seperti CNN dan
    industri film Hollywood. Di Inggris, Pendidikan Media (Media Education) sudah
    diajarkan sejak tingkat SMP dan pendidikan Media Literacy sudah begitu
    terprogram dengan baik, sehingga sudah menjadi semacam gerakan budaya.


    Mengapa
    pendidikan Melek Media amat penting kita sosialisasikan di kalangan masyarakat
    Indonesia? Jawabannya jelas, karena dengan begitu banyaknya media, kini
    masyarakat telah dilimpahi beraneka informasi. Informasi yang bagai banjir itu
    membuat kapasitas untuk berrefleksi dan berimajinasi kian menumpul. Kini
    semakin sulit membedakan mana informasi yang penting dan sampah atau bahkan
    mana yang benar dan menyesatkan juga sudah sama-sama dikemas dengan cantik.
    Karena itu, Jean Baudrillard sudah mengingatkan dalam eseinya, "The
    Implosion of Meaning in the Media" (1983): "Kita berada dalam sebuah
    alam semesta yang begitu banyak informasi, tetapi begitu hampa makna."


    Program
    Media Literacy dimaksudkan mendidik khalayak supaya senantiasa bersikap kritis
    terhadap informasi apapun yang ia terima dari media. Media Literacy juga
    menanamkan pentingnya kebiasaan untuk bersikap selektif atas setiap mata acara
    yang akan ditonton atau setiap berita yang akan dibaca. Sebab orang-orang yang
    kurang terdidik dalam memahami medialah yang lebih rentan bagi bentuk-bentuk
    manipulasi yang halus. Karena itu, ada yang memandang Media Literacy sebagai
    suatu keahlian (skill) atau kesanggupan (ability). Seperti dari Aspen
    Institute's National Leadership Conference on Media Literacy (1992), sebuah
    yayasan yang didedikasikan untuk memperbaiki kehidupan sosial dan budaya warga
    AS, yang memandang Media Literacy sebagai "Kesanggupan seorang warga
    negara untuk mengakses, menganalisis, dan memproduksi informasi untuk
    tujuan-tujuan tertentu."


    Dalam
    konteks yang lebih praktis, Art Silverblatt, ilmuwan media yang cukup
    terkemuka, dalam bukunya Media Literacy: Keys to Interpreting Media Messages
    (1999), mengidentifikasi paling tidak lima unsur yang fundamental dalam
    Pendidikan Media Literacy. Yakni, kesadaran terhadap dampak media; Pemahaman
    terhadap proses komunikasi massa; Strategi untuk menganalisis dan mendiskusikan
    pesan-pesan media; Pemahaman terhadap isi media sebagai teks yang menyajikan
    pandangan bagi kehidupan dan budaya kita; dan Kesanggupan untuk menikmati,
    memahami, dan mengapresiasi isi media.


    Selain
    itu, ada juga yang menganggap bahwa program Media Literacy sebagai perjuangan
    untuk meraih kekuasaan (struggle for power). Di sini pendidikan Melek Media
    memiliki agenda yang jelas untuk melakukan perlawanan terhadap hidden agenda
    atau agenda terselubung yang ada di balik media. Media Literacy diyakini
    sebagai jalan menuju ke arah pembebasan masyarakat dari manipulasi pikiran atau
    propaganda media. "Media literacy harus membantu orang-orang membangun
    kesadaran dan pemahaman yang diperlukan untuk membuat keputusan-keputusan yang
    bebas dari pengaruh luar. Pendidikan ini adalah keharusan, jika kita ingin
    memiliki sebuah masyarakat demokrasi yang sejati," demikian ujar Chris
    Rosequist dalam "How Media Literacy can Make You Millions!" (1995).
    Walhasil, Pendidikan Media atau Media Literacy sudah seyogianya masuk kurikulum
    pendidikan nasional, menjadi mata ajar di tingkat menengah hingga perguruan
    tinggi. Kampanye Media Literacy juga harus mulai kita sosialisasikan di rumah,
    di sekolah, di tempat ibadah, dan di lembaga-lembaga sosial umumnya.


    Inilah
    sebenarnya muara dari Pendidikan Media Literacy: Pemberdayaan khalayak berarti
    pula pemberdayaan media! ***


    Penulis adalah pengamat dan peneliti media dan
    kebudayaan pop; Redaktur "Jurnal Komunikasi", diterbitkan ISKI
    (Ikatan Sarjana Komunikasi Indonesia).

      Waktu sekarang Sat Nov 23, 2024 4:07 am