Pers Indonesia dan Imperialisme
Media
Oleh IDI SUBANDY
IBRAHIM
TATKALA
angin reformasi berhembus dengan kencang, koridor demokrasi pun perlahan tetapi
pasti mulai terkuak. Ruang publik yang sebelumnya penuh dengan jaring laba-laba
kekuasaan yang setiap saat bisa membelenggu kebebasan pers, tiba-tiba sirna dan
mengubah wajah pers Indonesia. Suara-suara alternatif yang sekian lama
mengendap di balik bilik kebisuan publik tiba-tiba menyeruak, seperti burung
yang lepas dari sangkarnya, terbang ke sana kemari.
Dalam
suatu kesempatan ilmuwan komunikasi dari Bandung, K.H. Jalaluddin Rakhmat
dengan bagus pernah melukiskan bagaimana wajah pers Indonesia pasca-Soeharto.
Menurut Kang Jalal, seperti kuda lepas dari kandangnya, pers Indonesia kini
meloncat-loncat, berlari tanpa arah dan mendengus-dengus ke mana saja.
Kalau
kita coba lukiskan perkembangan pers Indonesia akhir-akhir ini, paling tidak
ada beberapa hal penting yang menunjukkan perubahan wajah pers pasca-Soeharto.
Pertama,
deregulasi media yang dilakukan rezim pasca-Soeharto, seperti ditandai dengan
dipermudahnya memperoleh izin dan dicabutnya sistem SIUPP telah menyebabkan
maraknya penerbitan pers. Sayangnya peningkatan kuantitas media, belum dengan
sendirinya disertai oleh perbaikan kualitas jurnalismenya.
Dalam
dunia media cetak, kini mulai muncul tanda-tanda ada di antara media yang hanya
menjual gosip alias desas desus dengan warna pemberitaan yang kental
keberpihakan atau penyudutan kepada suatu tokoh/golongan/partai tertentu.
Sementara
media yang cenderung partisan terus melakukan "sensasionalisme
bahasa" seperti tampak lewat pemilihan judul (headlines) yang bombastis atau desain cover
yang norak, majalah dan tabloid hiburan justru melakukan "vulgarisasi"
dan "erotisasi" informasi seks.
Menyambut
semakin banyaknya stasiun TV akhir-akhir ini kita layak prihatin dengan
persoalan kualitas budaya TV kita. Karena tayangan TV tampaknya masih terjebak
dengan logika keseragaman (homogenitas) mata acara. Kalau suatu stasiun
dianggap berhasil menayangkan kuis, dangdut, telenovela Amerika Latin, serial
romantika India atau serial laga Mandarin, dan adu jotos di tengah malam buta,
maka stasiun yang lain pun bisa dipastikan akan mengikuti kemudian.
Begitupun
dengan sistem bintang di layar kaca. Kita akan melihat logika keseragaman ini.
Acara-acara baik kuis, sinetron, atau pun drama komedi hanya berputar di
sekitar artis yang itu-itu saja. Yang lebih menggelikan lagi, untuk acara kuis
justru hanya sekadar gonta-ganti peran beberapa artis saja. Pada suatu acara,
seorang artis yang kebetulan lagi laris menjadi pembawa acara, pada acara lain,
dia sebagai pesertanya.
Kedua,
Maraknya apa yang disebut sebagai "media baru" (new media) di
kalangan masyarakat kita akhir-akhir ini. Untuk menyebut di antaranya adalah
Internet dan teknologi multimedia yang semakin canggih. Akses Internet membawa
budaya baru dalam pemanfaatan waktu luang (leisure time). Dengan Internet,
batas-batas ruang dan waktu telah hancur. Anak-anak begitu mudah mengakses
jenis informasi apapun yang mereka inginkan. Baik yang bisa kita kategorikan
informasi yang positif maupun yang negatif. Semakin banyak mereka menghabiskan
waktu di depan komputer, semakin berkurang waktu mereka untuk melakukan
aktivitas lain. Ketiga, Menguatnya fenomena apa yang dikenal sebagai tesis
"imperialisme media".
Fenomena
ini disebabkan globalisasi media transnasional dan invasi produk hiburan impor
yang menguasai pasar media dalam negeri. Selain dominasi film-film Hollywood
yang biasanya sarat seks dan kekerasan, akhir-akhir ini serial telenovela
Amerika Latin dan serial laga Mandarin serta serial romantika India tampaknya
masih mendominasi tayangan acara stasiun TV di Tanah Air. Untuk jenis sinetron
atau film, misalnya, kini lebih dari 60% masih diisi oleh produk impor.
Kalaupun kita melihat produk lokal, yang kita saksikan adalah wajah yang tidak
jauh dengan gaya kemasan produk impor ini.
Akhir-akhir
ini, fenomena "imperialisme media" juga bisa kita lihat dari kian
mengguritanya media yang dikuasai oleh perusahaan-perusahaan multinasional.
Sebutlah salah satu contoh saja, "Cosmopolitan". Media jenis ini
jelas menawarkan gaya hidup bagi wanita kelas menengah ke atas. Tidak hanya
dari segi daya beli atau gaya hidupnya, tapi juga selera budayanya. Ia jelas
menawarkan nilai tertentu bagi wanita muda. Dari rubrik dan selera budaya yang
ditawarkannya, kita bisa memastikan corak kelas menengah macam apa yang
membacanya. Membaca iklan spanduknya saja sudah cukup serem bagi ukuran
rata-rata budaya kita. Ia menawarkan tip-tip panas dengan sensasi foto dan
vulgarisasi bahasa yang menjanjikan kepuasan seks bagi pasangan dalam bercumbu,
bercinta atau berhubungan badan. Tapi, jangan lupa, majalah dan tabloid dalam
negeri pun sudah banyak yang melampaui ideologi selera seks yang ditawarkan "Cosmopolitan".
Narkotisasi
dan Masyarakat Jenuh MediaPara ahli menyebut budaya dan masyarakat mutakhir
sebagai masyarakat yang jenuh dengan media (media saturated society).
Masyarakat mutakhir adalah masyarakat yang dilimpahi dengan informasi berupa
gambar, teks, bunyi, dan pesan-pesan visual. Masyarakat mutakhir adalah
masyarakat yang dibanjiri informasi dan pesan-pesan komersial.
Masyarakat
yang jenuh media ternyata juga telah menyebabkan narkotisasi media bagi
masyarakat. "Narkotisasi"
(narcotization) adalah sebuah istilah yang digunakan untuk menggambarkan
efek negatif atau efek menyimpang (dysfunction) dari media massa. Istilah ini
sebenarnya berasal dari Paul F. Lazarsfeld dan Robert K. Merton. Dalam eseinya,
"Mass Communication, Popular Taste and Organized Social Action" (1948), mereka menggunakan istilah
"Narcotizing Dysfunction" untuk menyebut konsekuensi sosial dari
media massa yang sering diabaikan. Media massa mereka pandang sebagai penyebab
apatisme politik dan kelesuan massa. Media massa dipandang telah menyebabkan
berkurangnya aktivitas dan keadaan "pingsan" (stupor) yang dialami
khalayak. Seperti Lazarsfeld dan Merton yang melihat bahwa meningkatnya
proporsi penggunaan waktu yang dicurahkan oleh orang Amerika saat itu terhadap
media, alih-alih akan memberdayakan mereka, malah banjir informasi itu telah
membius mereka ke dalam apatisme massa.
Media
massa dianggap sangat efektif untuk membuat orang kecanduan, karena media massa
telah menjadi "narkotika sosial yang paling efisien dan paling bisa diterima".
Informasi media pun mempunyai efek tak ubahnya seperti efek obat bius atau
narkotika. Dengan media, orang merasa akan semakin banyak memiliki informasi
tentang dunia dan peristiwa di sekitar mereka, tetapi pengetahuan itu
sebenarnya hanyalah permukaan. Dengan informasi yang melimpah, orang
seakan-akan bisa menjadi serbatahu segala hal, tapi sebenarnya mereka hanya
dapat pengetahuan yang dangkal dan terpenggal-penggal. Orang mengonsumsi
sebanyak-banyaknya informasi apapun bukan karena butuh, tapi karena memang
itulah yang terus menerus disuguhkan kepada mereka.
Akhirnya,
orang-orang menjadi kurang tercerahkan dan berkurang pula minatnya untuk
terlibat dengan hal-hal yang bersifat aktual. Atau, dalam kata-kata Lazarsfeld
dan Merton, "increasing dosages of mass communications may be
inadvertently transforming the energies of men from active participation into
passive knowledge." (Meningkatnya dosis komunikasi masa dengan kurang
hati-hati bisa saja mengubah energi manusia dari partisipasi aktif menjadi pengetahuan
pasif).
Masyarakat
yang jenuh media ternyata juga adalah masyarakat yang setiap hari dihibur
dengan bujuk rayu iklan. Dalam hidup sehari-hari, nyaris mustahil kita terbebas
dari kepungan iklan. Pesan-pesan komersial setiap saat menyapa, membujuk,
menggoda, dan bahkan memaksa kita untuk tergiur dengan janji-janji dan
mimpi-mimpi dalam masyarakat komoditas. Setiap hari TV membawa ratusan bahkan
ribuan iklan ke dalam rumah tangga kita. Coba bandingkan apa yang kini tengah
kita alami dengan data di AS yang memperlihatkan bahwa saat seseorang
menyelesaikan sekolah lanjutan, ia telah menghabiskan waktu sekitar 11.000 jam
di sekolah, 15.000 jam di depan TV, 10.500 jam mendengar musik pop, dan saat
itu ia telah diterpa oleh jutaan iklan.
Menurut
American Medical Association, nonton TV merupakan aktivitas nomor satu setelah
pulang sekolah bagi anak-anak usia sekolah. Mereka akan menyaksikan 14.000
referensi yang berhubungan dengan seks, 20.000 pesan-pesan komersial setiap
tahun, dan menyaksikan lebih dari 200.000 tindakan kekerasan sebelum usia 18
tahun.
Lebih
dari itu, iklan tidak hanya menjual barang, tetapi juga menawarkan nilai, yakni
nilai masyarakat konsumer. Nilai dan gaya hidup yang ditanamkannya adalah agar
kita selalu menyukai kebaruan. Kita dipaksa untuk mengganti apa saja yang kita
pakai/miliki dengan sesuatu yang baru. Sehingga kita tidak pernah bosan
berbelanja dan terus mengonsumsi. Iklan menawarkan gaya hidup hedonis dan
ideologi materialisme yang memuja penampilan dan pemilikan benda-benda. Jadilah
kita terpenjara dalam budaya konsumtif.
Selain
itu, dalam masyarakat yang jenuh media ini kita merasakan kian longgarnya
kriteria nilai dan norma yang dipegang teguh dalam masyarakat. Kini semakin
banyak saja media (majalah dan tabloid) pop yang mengumbar informasi (gambar dan teks) seronok, yang
mengeksploitasi sikap suka pamer tubuh sebagian artis atau calon artis dan
bintang iklan yang memang dengan berbagai cara terus memburu popularitas di
pentas kebudayaan pop. Tampaknya apapun akan mereka lakukan asal tetap laris di
pasar pemberitaan media.
Sementara
menyaksikan tayangan beberapa sinetron dan iklan di beberapa stasiun TV swasta
akhir-akhir ini sudah tampak kian berani dan terang-terangannya mereka
mempertontonkan adegan ciuman di layar kaca. Penanaman nilai dan budaya
serba-boleh (permisif) seperti ini
begitu halus dan menawan serta dibungkus dengan cantik lewat trik iklan atau
intrik dalam sinetron. Karena ditayangkan secara berulang-ulang teranglah akan
berakibat bagi perilaku dan gaya hidup anak muda. Baik cara berpakaian maupun
bergaul jelas kini kian longgar di sebagian anak muda, termasuk di kalangan
mahasiswa.
Kalau
menyimak tema-tema sinetron akhir-akhir ini, ada kecenderungan kuat mulai
berkembangnya ideologi kelas menengah yang hanya menjual mimpi dan budaya
penyelesaian gampangan (budaya instan)
atas persoalan kompleks dalam dunia rumah tangga. Misalnya, dalam beberapa
sinetron tampak ditanamkannya nilai yang secara halus mulai membenarkan hubungan
yang longgar antara suami istri. Tema-tema diseputar perselingkuhan dan
penghianatan terhadap kesetiaan pasangan yang kini mulai menjadi isu trendi di
kalangan kelas menengah kota adalah nilai baru yang ikut ditanamkan secara
gampangan oleh para pembuat sinetron.
Memang
ada juga sinetron-sinetron yang bertema religius, dengan memperlihatkan
figur-figur serba berkerudung dan suka sembahyang, tapi tetap tanpa
meninggalkan kebiasaan suka diskotek dan hura-huranya. Sayangnya tema-tema ini
belum menyentuh substansi, masih terjebak dalam formalisme agama atau masih
menunjukkan kesalehan simbolik.
Membentuk
Masyarakat Melek MediaBagaimanakah kita menghadapi efek jangka panjang dari
narkotisasi media yang menyebabkan masyarakat terus terbius dengan pesan-pesan
media? Jawabannya, tak lain jalan satu-satunya yang harus mulai ditempuh adalah
menggalakkan apa yang dikenal sebagai Program "Media Literacy" atau
Pendidikan Melek Media. Pendidikan Melek Media mempunyai arti penting, karena
ia meletakkan titik berat perhatian kepada upaya pemberdayaan khalayak media.
Memang
selama ini masyarakat sudah mempercayakannya kepada lembaga seperti Media Watch
atau Ombudsman untuk mewakili khalayak sebagai lembaga pemantau atau pengawas
kinerja media. Akan tetapi, pertanyaan yang muncul kemudian; Apakah lembaga
seperti ini bisa sepenuhnya netral? Apakah lembaga ini juga mandiri secara
finansial dan terbebas dari vested interest?
Bagaimana
pula kalau lembaga pemantau itu berada di bawah payung sebuah media atau ia
didirikan oleh orang pers? Apakah mereka akan bersikap kritis dan terbuka kalau
sudah menyangkut kepentingan media mereka sendiri? Seberapa jauh kepentingan
khalayak media akan diperjuangkannya? Lantas, apakah lembaga ini benar-benar
akan tulus dalam memberdayakan mayoritas pembaca/pemirsa? Singkat kata, kemungkinan
sebuah lembaga sehebat Media Watch atau Ombudsman untuk tidak netral jelas bisa
saja terjadi. Inilah yang membedakannya dengan program Media Literacy.
Pendidikan
Melek Media mengembalikan titik berat upaya pemberdayaan sepenuhnya pada diri
si khalayak media (pembaca, pendengar, dan pemirsa). Orang-orang yang Melek
Media (Media Literate People) jelas akan senantiasa jeli dan kritis terhadap
media, terutama manakala kepercayaan terhadap lembaga-lembaga pemantau atau
pengawas yang diragukan kenetralan dan independensinya sudah mulai merosot.
Sebagai
sebuah istilah "Media Literacy" jelas tergolong masih bayi di
Indonesia. Untuk tidak mengatakan belum cukup dikenal luas di kalangan praktisi
dan teoretisi media dan komunikasi di Tanah Air. Sejauh pengamatan saya, sampai
saat tulisan ini dirampungkan, belum satu pun tulisan yang dihasilkan baik
berupa buku, jurnal, atau artikel di media massa yang membahas topik Media
Literacy. Selain memang literaturnya masih langka dalam studi media dan
komunikasi di Tanah Air, juga tampaknya orang masih lebih terpesona dengan
lembaga seperti Media Watch atau Ombudsman.
Sesungguhnya
istilah "Media Literacy" memang masih tergolong baru bahkan untuk
negara maju seperti Jepang dan AS. Kini para teoretisi dan praktisi Media Literacy
di AS juga mengakui dan menyesali keterlambatan mereka dalam merespons dampak
media yang begitu luar biasa terhadap anak muda di AS. Sementara di Jepang,
baru pada 1990-an akhir, pentingnya program Media Literacy mulai dibicarakan
secara serius.
Namun,
di Kanada, Australia, dan Inggris yang bisa dikatakan sebagai pelopor Media
Literacy, gerakan ini sudah cukup memasyarakat sejak sekitar 1980-an. Di
Kanada, misalnya, ia digunakan untuk memberikan pandangan kritis terhadap
dampak media Amerika. Ia digunakan sebagai bagian dari gerakan menentang
imperialisme budaya Amerika yang disebarkan lewat media seperti CNN dan
industri film Hollywood. Di Inggris, Pendidikan Media (Media Education) sudah
diajarkan sejak tingkat SMP dan pendidikan Media Literacy sudah begitu
terprogram dengan baik, sehingga sudah menjadi semacam gerakan budaya.
Mengapa
pendidikan Melek Media amat penting kita sosialisasikan di kalangan masyarakat
Indonesia? Jawabannya jelas, karena dengan begitu banyaknya media, kini
masyarakat telah dilimpahi beraneka informasi. Informasi yang bagai banjir itu
membuat kapasitas untuk berrefleksi dan berimajinasi kian menumpul. Kini
semakin sulit membedakan mana informasi yang penting dan sampah atau bahkan
mana yang benar dan menyesatkan juga sudah sama-sama dikemas dengan cantik.
Karena itu, Jean Baudrillard sudah mengingatkan dalam eseinya, "The
Implosion of Meaning in the Media" (1983): "Kita berada dalam sebuah
alam semesta yang begitu banyak informasi, tetapi begitu hampa makna."
Program
Media Literacy dimaksudkan mendidik khalayak supaya senantiasa bersikap kritis
terhadap informasi apapun yang ia terima dari media. Media Literacy juga
menanamkan pentingnya kebiasaan untuk bersikap selektif atas setiap mata acara
yang akan ditonton atau setiap berita yang akan dibaca. Sebab orang-orang yang
kurang terdidik dalam memahami medialah yang lebih rentan bagi bentuk-bentuk
manipulasi yang halus. Karena itu, ada yang memandang Media Literacy sebagai
suatu keahlian (skill) atau kesanggupan (ability). Seperti dari Aspen
Institute's National Leadership Conference on Media Literacy (1992), sebuah
yayasan yang didedikasikan untuk memperbaiki kehidupan sosial dan budaya warga
AS, yang memandang Media Literacy sebagai "Kesanggupan seorang warga
negara untuk mengakses, menganalisis, dan memproduksi informasi untuk
tujuan-tujuan tertentu."
Dalam
konteks yang lebih praktis, Art Silverblatt, ilmuwan media yang cukup
terkemuka, dalam bukunya Media Literacy: Keys to Interpreting Media Messages
(1999), mengidentifikasi paling tidak lima unsur yang fundamental dalam
Pendidikan Media Literacy. Yakni, kesadaran terhadap dampak media; Pemahaman
terhadap proses komunikasi massa; Strategi untuk menganalisis dan mendiskusikan
pesan-pesan media; Pemahaman terhadap isi media sebagai teks yang menyajikan
pandangan bagi kehidupan dan budaya kita; dan Kesanggupan untuk menikmati,
memahami, dan mengapresiasi isi media.
Selain
itu, ada juga yang menganggap bahwa program Media Literacy sebagai perjuangan
untuk meraih kekuasaan (struggle for power). Di sini pendidikan Melek Media
memiliki agenda yang jelas untuk melakukan perlawanan terhadap hidden agenda
atau agenda terselubung yang ada di balik media. Media Literacy diyakini
sebagai jalan menuju ke arah pembebasan masyarakat dari manipulasi pikiran atau
propaganda media. "Media literacy harus membantu orang-orang membangun
kesadaran dan pemahaman yang diperlukan untuk membuat keputusan-keputusan yang
bebas dari pengaruh luar. Pendidikan ini adalah keharusan, jika kita ingin
memiliki sebuah masyarakat demokrasi yang sejati," demikian ujar Chris
Rosequist dalam "How Media Literacy can Make You Millions!" (1995).
Walhasil, Pendidikan Media atau Media Literacy sudah seyogianya masuk kurikulum
pendidikan nasional, menjadi mata ajar di tingkat menengah hingga perguruan
tinggi. Kampanye Media Literacy juga harus mulai kita sosialisasikan di rumah,
di sekolah, di tempat ibadah, dan di lembaga-lembaga sosial umumnya.
Inilah
sebenarnya muara dari Pendidikan Media Literacy: Pemberdayaan khalayak berarti
pula pemberdayaan media! ***
Penulis adalah pengamat dan peneliti media dan
kebudayaan pop; Redaktur "Jurnal Komunikasi", diterbitkan ISKI
(Ikatan Sarjana Komunikasi Indonesia).
Media
Oleh IDI SUBANDY
IBRAHIM
TATKALA
angin reformasi berhembus dengan kencang, koridor demokrasi pun perlahan tetapi
pasti mulai terkuak. Ruang publik yang sebelumnya penuh dengan jaring laba-laba
kekuasaan yang setiap saat bisa membelenggu kebebasan pers, tiba-tiba sirna dan
mengubah wajah pers Indonesia. Suara-suara alternatif yang sekian lama
mengendap di balik bilik kebisuan publik tiba-tiba menyeruak, seperti burung
yang lepas dari sangkarnya, terbang ke sana kemari.
Dalam
suatu kesempatan ilmuwan komunikasi dari Bandung, K.H. Jalaluddin Rakhmat
dengan bagus pernah melukiskan bagaimana wajah pers Indonesia pasca-Soeharto.
Menurut Kang Jalal, seperti kuda lepas dari kandangnya, pers Indonesia kini
meloncat-loncat, berlari tanpa arah dan mendengus-dengus ke mana saja.
Kalau
kita coba lukiskan perkembangan pers Indonesia akhir-akhir ini, paling tidak
ada beberapa hal penting yang menunjukkan perubahan wajah pers pasca-Soeharto.
Pertama,
deregulasi media yang dilakukan rezim pasca-Soeharto, seperti ditandai dengan
dipermudahnya memperoleh izin dan dicabutnya sistem SIUPP telah menyebabkan
maraknya penerbitan pers. Sayangnya peningkatan kuantitas media, belum dengan
sendirinya disertai oleh perbaikan kualitas jurnalismenya.
Dalam
dunia media cetak, kini mulai muncul tanda-tanda ada di antara media yang hanya
menjual gosip alias desas desus dengan warna pemberitaan yang kental
keberpihakan atau penyudutan kepada suatu tokoh/golongan/partai tertentu.
Sementara
media yang cenderung partisan terus melakukan "sensasionalisme
bahasa" seperti tampak lewat pemilihan judul (headlines) yang bombastis atau desain cover
yang norak, majalah dan tabloid hiburan justru melakukan "vulgarisasi"
dan "erotisasi" informasi seks.
Menyambut
semakin banyaknya stasiun TV akhir-akhir ini kita layak prihatin dengan
persoalan kualitas budaya TV kita. Karena tayangan TV tampaknya masih terjebak
dengan logika keseragaman (homogenitas) mata acara. Kalau suatu stasiun
dianggap berhasil menayangkan kuis, dangdut, telenovela Amerika Latin, serial
romantika India atau serial laga Mandarin, dan adu jotos di tengah malam buta,
maka stasiun yang lain pun bisa dipastikan akan mengikuti kemudian.
Begitupun
dengan sistem bintang di layar kaca. Kita akan melihat logika keseragaman ini.
Acara-acara baik kuis, sinetron, atau pun drama komedi hanya berputar di
sekitar artis yang itu-itu saja. Yang lebih menggelikan lagi, untuk acara kuis
justru hanya sekadar gonta-ganti peran beberapa artis saja. Pada suatu acara,
seorang artis yang kebetulan lagi laris menjadi pembawa acara, pada acara lain,
dia sebagai pesertanya.
Kedua,
Maraknya apa yang disebut sebagai "media baru" (new media) di
kalangan masyarakat kita akhir-akhir ini. Untuk menyebut di antaranya adalah
Internet dan teknologi multimedia yang semakin canggih. Akses Internet membawa
budaya baru dalam pemanfaatan waktu luang (leisure time). Dengan Internet,
batas-batas ruang dan waktu telah hancur. Anak-anak begitu mudah mengakses
jenis informasi apapun yang mereka inginkan. Baik yang bisa kita kategorikan
informasi yang positif maupun yang negatif. Semakin banyak mereka menghabiskan
waktu di depan komputer, semakin berkurang waktu mereka untuk melakukan
aktivitas lain. Ketiga, Menguatnya fenomena apa yang dikenal sebagai tesis
"imperialisme media".
Fenomena
ini disebabkan globalisasi media transnasional dan invasi produk hiburan impor
yang menguasai pasar media dalam negeri. Selain dominasi film-film Hollywood
yang biasanya sarat seks dan kekerasan, akhir-akhir ini serial telenovela
Amerika Latin dan serial laga Mandarin serta serial romantika India tampaknya
masih mendominasi tayangan acara stasiun TV di Tanah Air. Untuk jenis sinetron
atau film, misalnya, kini lebih dari 60% masih diisi oleh produk impor.
Kalaupun kita melihat produk lokal, yang kita saksikan adalah wajah yang tidak
jauh dengan gaya kemasan produk impor ini.
Akhir-akhir
ini, fenomena "imperialisme media" juga bisa kita lihat dari kian
mengguritanya media yang dikuasai oleh perusahaan-perusahaan multinasional.
Sebutlah salah satu contoh saja, "Cosmopolitan". Media jenis ini
jelas menawarkan gaya hidup bagi wanita kelas menengah ke atas. Tidak hanya
dari segi daya beli atau gaya hidupnya, tapi juga selera budayanya. Ia jelas
menawarkan nilai tertentu bagi wanita muda. Dari rubrik dan selera budaya yang
ditawarkannya, kita bisa memastikan corak kelas menengah macam apa yang
membacanya. Membaca iklan spanduknya saja sudah cukup serem bagi ukuran
rata-rata budaya kita. Ia menawarkan tip-tip panas dengan sensasi foto dan
vulgarisasi bahasa yang menjanjikan kepuasan seks bagi pasangan dalam bercumbu,
bercinta atau berhubungan badan. Tapi, jangan lupa, majalah dan tabloid dalam
negeri pun sudah banyak yang melampaui ideologi selera seks yang ditawarkan "Cosmopolitan".
Narkotisasi
dan Masyarakat Jenuh MediaPara ahli menyebut budaya dan masyarakat mutakhir
sebagai masyarakat yang jenuh dengan media (media saturated society).
Masyarakat mutakhir adalah masyarakat yang dilimpahi dengan informasi berupa
gambar, teks, bunyi, dan pesan-pesan visual. Masyarakat mutakhir adalah
masyarakat yang dibanjiri informasi dan pesan-pesan komersial.
Masyarakat
yang jenuh media ternyata juga telah menyebabkan narkotisasi media bagi
masyarakat. "Narkotisasi"
(narcotization) adalah sebuah istilah yang digunakan untuk menggambarkan
efek negatif atau efek menyimpang (dysfunction) dari media massa. Istilah ini
sebenarnya berasal dari Paul F. Lazarsfeld dan Robert K. Merton. Dalam eseinya,
"Mass Communication, Popular Taste and Organized Social Action" (1948), mereka menggunakan istilah
"Narcotizing Dysfunction" untuk menyebut konsekuensi sosial dari
media massa yang sering diabaikan. Media massa mereka pandang sebagai penyebab
apatisme politik dan kelesuan massa. Media massa dipandang telah menyebabkan
berkurangnya aktivitas dan keadaan "pingsan" (stupor) yang dialami
khalayak. Seperti Lazarsfeld dan Merton yang melihat bahwa meningkatnya
proporsi penggunaan waktu yang dicurahkan oleh orang Amerika saat itu terhadap
media, alih-alih akan memberdayakan mereka, malah banjir informasi itu telah
membius mereka ke dalam apatisme massa.
Media
massa dianggap sangat efektif untuk membuat orang kecanduan, karena media massa
telah menjadi "narkotika sosial yang paling efisien dan paling bisa diterima".
Informasi media pun mempunyai efek tak ubahnya seperti efek obat bius atau
narkotika. Dengan media, orang merasa akan semakin banyak memiliki informasi
tentang dunia dan peristiwa di sekitar mereka, tetapi pengetahuan itu
sebenarnya hanyalah permukaan. Dengan informasi yang melimpah, orang
seakan-akan bisa menjadi serbatahu segala hal, tapi sebenarnya mereka hanya
dapat pengetahuan yang dangkal dan terpenggal-penggal. Orang mengonsumsi
sebanyak-banyaknya informasi apapun bukan karena butuh, tapi karena memang
itulah yang terus menerus disuguhkan kepada mereka.
Akhirnya,
orang-orang menjadi kurang tercerahkan dan berkurang pula minatnya untuk
terlibat dengan hal-hal yang bersifat aktual. Atau, dalam kata-kata Lazarsfeld
dan Merton, "increasing dosages of mass communications may be
inadvertently transforming the energies of men from active participation into
passive knowledge." (Meningkatnya dosis komunikasi masa dengan kurang
hati-hati bisa saja mengubah energi manusia dari partisipasi aktif menjadi pengetahuan
pasif).
Masyarakat
yang jenuh media ternyata juga adalah masyarakat yang setiap hari dihibur
dengan bujuk rayu iklan. Dalam hidup sehari-hari, nyaris mustahil kita terbebas
dari kepungan iklan. Pesan-pesan komersial setiap saat menyapa, membujuk,
menggoda, dan bahkan memaksa kita untuk tergiur dengan janji-janji dan
mimpi-mimpi dalam masyarakat komoditas. Setiap hari TV membawa ratusan bahkan
ribuan iklan ke dalam rumah tangga kita. Coba bandingkan apa yang kini tengah
kita alami dengan data di AS yang memperlihatkan bahwa saat seseorang
menyelesaikan sekolah lanjutan, ia telah menghabiskan waktu sekitar 11.000 jam
di sekolah, 15.000 jam di depan TV, 10.500 jam mendengar musik pop, dan saat
itu ia telah diterpa oleh jutaan iklan.
Menurut
American Medical Association, nonton TV merupakan aktivitas nomor satu setelah
pulang sekolah bagi anak-anak usia sekolah. Mereka akan menyaksikan 14.000
referensi yang berhubungan dengan seks, 20.000 pesan-pesan komersial setiap
tahun, dan menyaksikan lebih dari 200.000 tindakan kekerasan sebelum usia 18
tahun.
Lebih
dari itu, iklan tidak hanya menjual barang, tetapi juga menawarkan nilai, yakni
nilai masyarakat konsumer. Nilai dan gaya hidup yang ditanamkannya adalah agar
kita selalu menyukai kebaruan. Kita dipaksa untuk mengganti apa saja yang kita
pakai/miliki dengan sesuatu yang baru. Sehingga kita tidak pernah bosan
berbelanja dan terus mengonsumsi. Iklan menawarkan gaya hidup hedonis dan
ideologi materialisme yang memuja penampilan dan pemilikan benda-benda. Jadilah
kita terpenjara dalam budaya konsumtif.
Selain
itu, dalam masyarakat yang jenuh media ini kita merasakan kian longgarnya
kriteria nilai dan norma yang dipegang teguh dalam masyarakat. Kini semakin
banyak saja media (majalah dan tabloid) pop yang mengumbar informasi (gambar dan teks) seronok, yang
mengeksploitasi sikap suka pamer tubuh sebagian artis atau calon artis dan
bintang iklan yang memang dengan berbagai cara terus memburu popularitas di
pentas kebudayaan pop. Tampaknya apapun akan mereka lakukan asal tetap laris di
pasar pemberitaan media.
Sementara
menyaksikan tayangan beberapa sinetron dan iklan di beberapa stasiun TV swasta
akhir-akhir ini sudah tampak kian berani dan terang-terangannya mereka
mempertontonkan adegan ciuman di layar kaca. Penanaman nilai dan budaya
serba-boleh (permisif) seperti ini
begitu halus dan menawan serta dibungkus dengan cantik lewat trik iklan atau
intrik dalam sinetron. Karena ditayangkan secara berulang-ulang teranglah akan
berakibat bagi perilaku dan gaya hidup anak muda. Baik cara berpakaian maupun
bergaul jelas kini kian longgar di sebagian anak muda, termasuk di kalangan
mahasiswa.
Kalau
menyimak tema-tema sinetron akhir-akhir ini, ada kecenderungan kuat mulai
berkembangnya ideologi kelas menengah yang hanya menjual mimpi dan budaya
penyelesaian gampangan (budaya instan)
atas persoalan kompleks dalam dunia rumah tangga. Misalnya, dalam beberapa
sinetron tampak ditanamkannya nilai yang secara halus mulai membenarkan hubungan
yang longgar antara suami istri. Tema-tema diseputar perselingkuhan dan
penghianatan terhadap kesetiaan pasangan yang kini mulai menjadi isu trendi di
kalangan kelas menengah kota adalah nilai baru yang ikut ditanamkan secara
gampangan oleh para pembuat sinetron.
Memang
ada juga sinetron-sinetron yang bertema religius, dengan memperlihatkan
figur-figur serba berkerudung dan suka sembahyang, tapi tetap tanpa
meninggalkan kebiasaan suka diskotek dan hura-huranya. Sayangnya tema-tema ini
belum menyentuh substansi, masih terjebak dalam formalisme agama atau masih
menunjukkan kesalehan simbolik.
Membentuk
Masyarakat Melek MediaBagaimanakah kita menghadapi efek jangka panjang dari
narkotisasi media yang menyebabkan masyarakat terus terbius dengan pesan-pesan
media? Jawabannya, tak lain jalan satu-satunya yang harus mulai ditempuh adalah
menggalakkan apa yang dikenal sebagai Program "Media Literacy" atau
Pendidikan Melek Media. Pendidikan Melek Media mempunyai arti penting, karena
ia meletakkan titik berat perhatian kepada upaya pemberdayaan khalayak media.
Memang
selama ini masyarakat sudah mempercayakannya kepada lembaga seperti Media Watch
atau Ombudsman untuk mewakili khalayak sebagai lembaga pemantau atau pengawas
kinerja media. Akan tetapi, pertanyaan yang muncul kemudian; Apakah lembaga
seperti ini bisa sepenuhnya netral? Apakah lembaga ini juga mandiri secara
finansial dan terbebas dari vested interest?
Bagaimana
pula kalau lembaga pemantau itu berada di bawah payung sebuah media atau ia
didirikan oleh orang pers? Apakah mereka akan bersikap kritis dan terbuka kalau
sudah menyangkut kepentingan media mereka sendiri? Seberapa jauh kepentingan
khalayak media akan diperjuangkannya? Lantas, apakah lembaga ini benar-benar
akan tulus dalam memberdayakan mayoritas pembaca/pemirsa? Singkat kata, kemungkinan
sebuah lembaga sehebat Media Watch atau Ombudsman untuk tidak netral jelas bisa
saja terjadi. Inilah yang membedakannya dengan program Media Literacy.
Pendidikan
Melek Media mengembalikan titik berat upaya pemberdayaan sepenuhnya pada diri
si khalayak media (pembaca, pendengar, dan pemirsa). Orang-orang yang Melek
Media (Media Literate People) jelas akan senantiasa jeli dan kritis terhadap
media, terutama manakala kepercayaan terhadap lembaga-lembaga pemantau atau
pengawas yang diragukan kenetralan dan independensinya sudah mulai merosot.
Sebagai
sebuah istilah "Media Literacy" jelas tergolong masih bayi di
Indonesia. Untuk tidak mengatakan belum cukup dikenal luas di kalangan praktisi
dan teoretisi media dan komunikasi di Tanah Air. Sejauh pengamatan saya, sampai
saat tulisan ini dirampungkan, belum satu pun tulisan yang dihasilkan baik
berupa buku, jurnal, atau artikel di media massa yang membahas topik Media
Literacy. Selain memang literaturnya masih langka dalam studi media dan
komunikasi di Tanah Air, juga tampaknya orang masih lebih terpesona dengan
lembaga seperti Media Watch atau Ombudsman.
Sesungguhnya
istilah "Media Literacy" memang masih tergolong baru bahkan untuk
negara maju seperti Jepang dan AS. Kini para teoretisi dan praktisi Media Literacy
di AS juga mengakui dan menyesali keterlambatan mereka dalam merespons dampak
media yang begitu luar biasa terhadap anak muda di AS. Sementara di Jepang,
baru pada 1990-an akhir, pentingnya program Media Literacy mulai dibicarakan
secara serius.
Namun,
di Kanada, Australia, dan Inggris yang bisa dikatakan sebagai pelopor Media
Literacy, gerakan ini sudah cukup memasyarakat sejak sekitar 1980-an. Di
Kanada, misalnya, ia digunakan untuk memberikan pandangan kritis terhadap
dampak media Amerika. Ia digunakan sebagai bagian dari gerakan menentang
imperialisme budaya Amerika yang disebarkan lewat media seperti CNN dan
industri film Hollywood. Di Inggris, Pendidikan Media (Media Education) sudah
diajarkan sejak tingkat SMP dan pendidikan Media Literacy sudah begitu
terprogram dengan baik, sehingga sudah menjadi semacam gerakan budaya.
Mengapa
pendidikan Melek Media amat penting kita sosialisasikan di kalangan masyarakat
Indonesia? Jawabannya jelas, karena dengan begitu banyaknya media, kini
masyarakat telah dilimpahi beraneka informasi. Informasi yang bagai banjir itu
membuat kapasitas untuk berrefleksi dan berimajinasi kian menumpul. Kini
semakin sulit membedakan mana informasi yang penting dan sampah atau bahkan
mana yang benar dan menyesatkan juga sudah sama-sama dikemas dengan cantik.
Karena itu, Jean Baudrillard sudah mengingatkan dalam eseinya, "The
Implosion of Meaning in the Media" (1983): "Kita berada dalam sebuah
alam semesta yang begitu banyak informasi, tetapi begitu hampa makna."
Program
Media Literacy dimaksudkan mendidik khalayak supaya senantiasa bersikap kritis
terhadap informasi apapun yang ia terima dari media. Media Literacy juga
menanamkan pentingnya kebiasaan untuk bersikap selektif atas setiap mata acara
yang akan ditonton atau setiap berita yang akan dibaca. Sebab orang-orang yang
kurang terdidik dalam memahami medialah yang lebih rentan bagi bentuk-bentuk
manipulasi yang halus. Karena itu, ada yang memandang Media Literacy sebagai
suatu keahlian (skill) atau kesanggupan (ability). Seperti dari Aspen
Institute's National Leadership Conference on Media Literacy (1992), sebuah
yayasan yang didedikasikan untuk memperbaiki kehidupan sosial dan budaya warga
AS, yang memandang Media Literacy sebagai "Kesanggupan seorang warga
negara untuk mengakses, menganalisis, dan memproduksi informasi untuk
tujuan-tujuan tertentu."
Dalam
konteks yang lebih praktis, Art Silverblatt, ilmuwan media yang cukup
terkemuka, dalam bukunya Media Literacy: Keys to Interpreting Media Messages
(1999), mengidentifikasi paling tidak lima unsur yang fundamental dalam
Pendidikan Media Literacy. Yakni, kesadaran terhadap dampak media; Pemahaman
terhadap proses komunikasi massa; Strategi untuk menganalisis dan mendiskusikan
pesan-pesan media; Pemahaman terhadap isi media sebagai teks yang menyajikan
pandangan bagi kehidupan dan budaya kita; dan Kesanggupan untuk menikmati,
memahami, dan mengapresiasi isi media.
Selain
itu, ada juga yang menganggap bahwa program Media Literacy sebagai perjuangan
untuk meraih kekuasaan (struggle for power). Di sini pendidikan Melek Media
memiliki agenda yang jelas untuk melakukan perlawanan terhadap hidden agenda
atau agenda terselubung yang ada di balik media. Media Literacy diyakini
sebagai jalan menuju ke arah pembebasan masyarakat dari manipulasi pikiran atau
propaganda media. "Media literacy harus membantu orang-orang membangun
kesadaran dan pemahaman yang diperlukan untuk membuat keputusan-keputusan yang
bebas dari pengaruh luar. Pendidikan ini adalah keharusan, jika kita ingin
memiliki sebuah masyarakat demokrasi yang sejati," demikian ujar Chris
Rosequist dalam "How Media Literacy can Make You Millions!" (1995).
Walhasil, Pendidikan Media atau Media Literacy sudah seyogianya masuk kurikulum
pendidikan nasional, menjadi mata ajar di tingkat menengah hingga perguruan
tinggi. Kampanye Media Literacy juga harus mulai kita sosialisasikan di rumah,
di sekolah, di tempat ibadah, dan di lembaga-lembaga sosial umumnya.
Inilah
sebenarnya muara dari Pendidikan Media Literacy: Pemberdayaan khalayak berarti
pula pemberdayaan media! ***
Penulis adalah pengamat dan peneliti media dan
kebudayaan pop; Redaktur "Jurnal Komunikasi", diterbitkan ISKI
(Ikatan Sarjana Komunikasi Indonesia).
Tue Aug 01, 2023 9:56 pm by wisatasemarang
» Portable STATA 18 Crack Full Version
Thu May 11, 2023 5:24 pm by wisatasemarang
» NVivo 12 Crack Full version
Mon Jan 30, 2023 11:16 am by wisatasemarang
» Tutorial Difference In difference (DID (Diff-in-Diff) With Eviews 13
Thu Nov 03, 2022 6:24 am by wisatasemarang
» Online Workshop Smart PLS Minggu, 01 Oktober 2022
Sat Sep 17, 2022 11:35 am by wisatasemarang
» kumpulan ebook tentang robot
Fri Jan 02, 2015 10:04 pm by kyuru
» MANTRA PELET
Wed May 16, 2012 3:31 am by orlandojack
» book love of spell
Sat Mar 24, 2012 8:08 pm by rifqi as
» attraction Formula
Sat Mar 24, 2012 7:09 pm by rifqi as