Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

ingin bergabung dengan elrakyat.tk klik pendaftaran. jika anda sudah pernah mendaftar silakan login. jangan lupa ajak kawan-kawanmu ke mari , dan jadilah top poster di forum kita

Join the forum, it's quick and easy

Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

ingin bergabung dengan elrakyat.tk klik pendaftaran. jika anda sudah pernah mendaftar silakan login. jangan lupa ajak kawan-kawanmu ke mari , dan jadilah top poster di forum kita

Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

Would you like to react to this message? Create an account in a few clicks or log in to continue.
Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

salah satu forum terbesar tempat kita bernostalgia

Login

Lupa password?

Our traffic

info rakyat

Sun Oct 31, 2010 9:05 pm by admin

---------------
PEMBERITAHUAN....

SF ZONA RELIGI SEKARANG KAMI PINDAH KE [You must be registered and logged in to see this link.] ANDA BISA BERPARTISIPASI DAN MENJADI MODERATOR SESUAI PERMINTAAN ANDA DENGAN REQUEST VIA SMS NO ADMIN 081945520865


Sekilas Info

Sun Jun 27, 2010 2:44 pm by admin

kabar gembira, forum lentera-rakyat mulai hari ini juga bisa diakses melalui [You must be registered and logged in to see this link.]


    seindah cinta ibu

    admin
    admin
    Admin
    Admin


    Zodiac : Virgo Jumlah posting : 688
    Join date : 19.03.10
    Age : 37
    Lokasi : Malang-Indonesia

    seindah cinta ibu Empty seindah cinta ibu

    Post by admin Tue Jun 15, 2010 12:55 pm

    Seindah Cinta Ibu


    Kinan
    Nasanti


    Bila
    aku mencintai Ibu, itu semata-mata karena dari rahimnya yang suci aku terlahir.
    Alasan itu sudah cukup bagiku untuk mencintainya sepenuh jiwa. Jika kemudian
    cintaku berkembang dan terus bermekaran, itu karena Ibu selalu menitipkan
    kasihnya padaku tanpa pernah ada keinginan untuk mengambilnya kembali. Sungguh
    aku merasa mendapat kemuliaan tak terkira berkesempatan menjaga cinta itu agar
    terus bersemi di bilik hati.

    Ibu memang teramat istimewa bagiku. Dia adalah matahari yang tak pernah lelah
    menghangatkan bumi. Dia juga bulan yang selalu setia memantulkan cahaya cinta
    sang matahari dalam pekatnya malam. Bahkan Ibu adalah angin pembawa kesejukan
    bagi nuraniku. Dan adalah Ibu, sosok wanita yang selalu kukagumi sepenuh hati
    karena ketegaran dan ketulusan cintanya.

    “Kamu nggak malu Tres,”
    “Malu kenapa,Bu?”
    “Kamu nggak malu jalan bareng sama Ibu seperti ini?”

    “Bahkan Tresna bangga, Bu,” jawabku sambil membantu Ibu naik ke dalam angkot.
    Lalu aku duduk di sisinya. Aku merasakan tatapan aneh dari orang-orang yang ada
    di dalam angkot kepada Ibu. Tapi aku tidak peduli karena aku tahu, ketulusan
    hati Ibu yang tidak pernah marah sedikit pun kepada orang-orang yang
    memandangnya aneh, sebelah mata, atau bahkan ngomongin terang-terangan. Jadi
    aku pun sama sekali tidak merasa terganggu.

    “Justru Tresna selalu sangat menginginkan kesempatan seperti ini, Bu,
    berjalan-jalan berdua dengan Ibu, memperkenalkan Ibu dengan teman-teman Tresna.
    Hal ini sangat membuat Tresna bahagia,” sambungku kemudian.
    Selalu senyuman yang kemudian mengembang di bibir yang legam dan berkerut itu.
    Dan aku, tidak akan pernah tahan untuk tidak membalasnya dengan ciuman
    terhangat. Hanya saja sayang, sekarang kami di angkot, tentu saja hal itu tidak
    aku lakukan.

    Bukan salah Allah jika Ibu diciptakan dengan kaki yang begitu ringkih, bengkok
    dan teramat kecil. Bukan maksud Allah menjadikan Ibu sebagai bahan tertawaan
    anak-anak kecil karena ia hanya mampu ngesot untuk mencapai suatu tempat.
    Yah, Ibu, karena kecacatannya itu, tidak bisa berjalan secara normal.Bukan juga
    kehendak Ibu bila dalam keadaan seperti ini kami mengalami kehidupan yang
    sulit. Menjadi pembatik di tempat Ibu Sungkowo adalah cara Ibu untuk
    mendapatkan penghasilan untuk membesarkan dan menyekolahkanku. Tidak jarang aku
    juga membantu Ibu membatik, atau ngleraki. Namun sejak aku kuliah di Tata
    Busana IKIP dan bisa menjahit, aku lebih senang menerima jahitan untuk
    meringankan beban biaya kuliahku. Sebenarnya aku tidak begitu berminat kuliah
    karena aku kasihan pada Ibu. Lagipula aku sadar akan kemampuanku yang sedikit
    di bawah rata-rata. Aku tidak punya banyak waktu untuk belajar, apalagi untuk
    ikut bimbingan belajar atau les privat seperti teman-teman yang lainnya. Tidak
    ada uang. Makanya aku cukup nrimo menjadi pembatik seperti Ibu. Tapi Ibu
    memaksa.

    “Ibu ndak pengen melihat kamu tidak punya bekal untuk hidupmu nanti, Nduk. Ibu
    sudah bekerja keras, siang-malam, agar Ibu bisa nabung untuk biaya kuliahmu.
    Ibu harus laksanakan amanah almarhum bapakmu untuk membekalimu ilmu.”
    “Tapi ilmu kan nggak hanya didapat di bangku kuliah saja tho, Bu.”

    “Ibu ngerti. Tapi selagi bisa, berusahalah, Nduk. Ibu ingin agar kerja keras
    Ibu ini bisa panjang manfaatnya, bukan cuma buat kamu saja, tapi juga buat
    masyarakat. Paling tidak nanti Ibu bisa menunjukkan sama Gusti Allah bahwa
    dengan kedua kaki Ibu yang cacat pun Ibu bisa menjaga titipan-Nya dengan baik.
    Ibu yakin bahwa Gusti Allah tidak main-main menitipkan kamu ke Ibu. Ibu bahagia
    banget mendapat kepercayaan ini. bahkan Ibu nggak peduli menjadi bahan
    tertawaan orang-orang sekampung saat hamil kamu. Apalagi ketika hamil dua
    bulan, bapakmu yang selama ini jadi sandaran hidup Ibu dipundut Gusti Allah,
    Ibu semakin dilecehkan masyarakat. Tapi Ibu punya keyakinan, sekalipun tanpa
    bapakmu, Ibu akan bisa menyelesaikan tugas dengan baik. Ibu yakin Gusti Allah
    nggak pernah salah ketika menetapkan keadaan Ibu seperti ini. Gusti Allah ora
    sare, dan akan selalu mengawasi Ibu. Makane Nduk, sekarang Ibu harap kamu ambil
    kesempatan kuliahmu selagi Ibu mampu. Ibu akan terus bantu kamu. Hanya itu yang
    bisa Ibu lakukan buat kamu.”

    Aku menghela napas panjang. Ah, kata-kata bijak yang diucapkan Ibu saat aku
    lulus SMU, tiga tahun yang lalu itulah yang menjadi pemompa semangatku selama
    ini. Dan itu terus akan terekam dalam hatiku sampai kapan pun. Dan dengan niat
    untuk berbakti pada Ibu akhirnya aku ikut UMPTN, dengan pilihan IKIP jurusan
    Tata Busana. Aku tidak mau berspekulasi mengambil jurusan yang terlalu tinggi.
    Aku tahu kemampuanku, juga kemampuan keuangan Ibu. Aku tidak ingin membuat Ibu
    bersedih karena kegagalanku. Aku rela melakukan apa saja untuk Ibu.

    Dulu aku berkelahi dengan teman-temanku karena mereka mengejek dan menghina
    Ibu. Aku bela Ibu habis-habisan, tapi mereka menertawakan Ibu terus-terusan.
    Perih hatiku saat itu. Dan hanya nasihat Ibulah yang bisa menyembuhkan luka
    itu.

    “Kamu nggak perlu marah pada mereka, Tres. Ibu bisa maklum mengapa mereka mentertawakan
    Ibu. Lagipula Ibu juga nggak malu. Justru Ibu bangga diciptakan dalam bentuk
    yang istimewa seperti ini. Setiap saat Ibu bisa tersadarkan akan kebesaran
    Gusti Allah. Kalau Ibu ikhlas menerimanya, maka Gusti Allah pun akan ikhlas
    menerima Ibu nanti. Kalau Ibu tersenyum saat menerima ejekan dan hinaan ini,
    maka Gusti Allah juga akan tersenyum kepada Ibu.”

    Aku terdiam sejenak. Ah… Ibu....
    Lamunanku dibuyarkan oleh tepukan Ibu. “Kita turun sini aja, Tres. Udah
    sampai.”
    Aku turun duluan untuk membantu Ibu turun dari angkot. Jalan setapak menuju ke
    pasar yang kami lalui tidak terlalu ramai.
    “Kita belanja kain sidomukti dan parangrusak pesenan Bu Padmo dan Bu Singgih
    dulu. Setelah itu kita nyari bahan baju.”

    “Bahan baju buat siapa, Bu?”
    “Ya buat kamu. Nanti kamu jahit sendiri, ya. Selama ini kan kamu lebih sering
    menerima pemberian dari Bu Sungkowo daripada dari ibumu sendiri.”

    “Siapa bilang? Pemberian Ibu kepada Tresna nggak bisa dibandingkan dengan
    pemberian orang lain. Bahkan Ibu terlalu banyak memberi dan berkorban buat
    Tresna. Dan itu lebih dari cukup bagi Tresna, Bu.”

    “Tapi kamu mau kan Ibu belikan bahan ini,” tanya Ibu sambil memilih bahan
    chiffon warna dasar biru dengan motif kembang-kembang kecil.
    Aku mengangguk. Setelah belanjanya selesai, aku dan Ibu memutuskan untuk segera
    pulang.
    Masih di bawah tatapan-tatapan aneh, penasaran dan juga kekaguman, aku dan Ibu
    terus berjalan berdua beriringan melewati los-los pasar. Namun tiba-tiba dari
    arah seberang aku mendengar letusan diikuti hiruk-pikuk suara orang-orang
    berteriak.

    “Kebakaran…! Kebakaran…! Lari…!”
    Aku panik menghadapi situasi seperti ini. Orang-orang berlarian, berebutan
    ingin cepat-cepat keluar dari pasar. Aku berpikir bagaimana caranya bisa
    membawa Ibu keluar dari pasar dengan cepat. Akhirnya aku putuskan untuk
    menggendong Ibu. Hanya itu cara yang paling memungkinkan yang bisa aku lakukan.


    “Bu, Tresna akan menggendong Ibu!”
    Dan dalam sekejap Ibu sudah ada di punggungku. Sekuat tenaga aku berlari
    menghindari kobaran api yang semakin membesar. Namun karena membawa beban
    berat, lariku tidak bisa cepat. Aku sangat kelelahan, terhimpit dalam desakan
    massa, aku tidak bisa leluasa bergerak. Tiba-tiba ada seorang laki-laki
    menabrakku dan aku terjerembab bersama Ibu. Aku berusaha berdiri, tapi tidak
    bisa. Kulihat Ibu pingsan terinjak-injak orang. Aku menangis, berteriak minta
    tolong. Namun tak seorang pun peduli. Dan DUARR…! Sebuah ledakan memperbesar
    kebakaran itu. Api menjilat-jilat di depanku. Hawa panasnya menyapu wajahku.
    Sekuat tenaga aku berusaha menggapai tubuh ibu. Namun serta merta ada tangan
    kokoh menyeretku menghindar dari jilatan api. Aku meronta. Yang kumau hanyalah
    Ibu. Aku berteriak-teriak memanggil-manggil Ibu. Tapi aku tidak melihat
    bayangannya lagi. Akhirnya aku hanya bisa menangis. Kupandangi jilatan api yang
    melahap pasar dan isinya. masih banyak orang yang ada di dalam yang tidak
    sempat menyelamatkan diri. Dan salah satunya adalah ibuku… Aku terisak, tersedu
    menyadari hal itu.

    Hampir satu jam, kebakaran itu baru bisa diatasi. Asap masih mengepul di
    sebagian sudut pasar. Jerit tangis dan hiruk-pikuk orang berbaur dengan
    hingar-bingar suara ambulan dan mobil pemadam kebakaran. Pelan aku mulai
    beranjak dari tempat duduk. Kususut air mata yang sedari tadi menganak sungai
    di pipi. Aku melangkah terseok-seok menyeruak di antara kerumunan orang yang
    berusaha mengidentifikasi jenazah sanak saudara mereka. Jejeran tubuh yang
    sudah gosong itu rata-rata sudah sangat sulit dikenali. Aku sebenarnya agak
    ngeri. Begitu cepat tragedi itu terjadi di depanku, melenyapkan pasar, memutus
    keriuhan menjadi jerit tangis, mencabut nyawa-nyawa para pembeli dan penjual
    tanpa ada tawar-menawar lagi.
    Aku amati mereka. Kucari sosok yang berkaki bengkok dan kecil. Aku menahan
    napas, hatiku berdebar-debar dan jantungku terus berpacu.

    Semoga tak kutemukan, batinku. Begitu samapai pada ujung barisan, hatiku
    terlonjak. Ibu tidak termasuk dalam jajaran korban yang gosong itu. Harapan
    untuk bisa menemukan Ibu dalam keadaaan selamat kembali muncul.

    Gontai langkahku kuseret menuju Rumah Sakit Dharma Pertiwi. Kata petugas
    kesehatan, korban yang luka dievakuasi ke sana. Jarak rumah sakit yang hanya
    satu setengah kilometer terasa sangat jauh. Langkahku sebenarnya tersa sangat
    berat.

    Namun aku butuh kepastian tentang orang yang teramat kucintai itu. Orang yang
    selama ini selalu berhasil memompakan semangatnya kepadaku.
    “Korban luka bakar semua sudah dibawa ke bangsal tiga lantai satu, Mbak,”
    begitu terang perawat yang kutemuai di pintu UGD, sesampaiku di rumah sakit.

    “Ada pasien dengan kaki kecil dan bengkok, Suster?”
    “Ada, kebetulan tadi saya yang menanganinya. Lukanya sangat parah. Mari saya
    antar.”
    Aku mengikuti langkah perawat yang masih seumuran denganku itu ke bangsal tiga
    lantai satu. Ternyata di sana sudah penuh dengan orang
    “Di sebelah sana, tempat tidur baris ketiga dari jendela.”

    “Apakah lukanya sangat parah, Suster?” keheranan aku melihat tubuh Ibu yang
    sudah dibalut semua dengan perban putih. Semuanya, kecuali lubang hidung.

    “Yah… memang sanagt parah.”
    ”Tapi… masih bisa hidup kan, Suster...?”
    Perawat itu mengangguk. Tapi kemungkinan dia akan mengalami cacat di wajah dan
    gangguan penglihatan.”

    “Maksud suster… buta?”
    Kembali perawat itu mengangguk. Aku tersedu. Lengkap sudah penderitaanmu, Bu.
    Puaslah mereka yang ingin mentertawakanmu. Ya Allah… beginikah cara-Mu
    menyayangi ibuku…? Seandainya penderitaan ini bisa kuganti, bairlah ya Allah,
    aku yang menanggungnya asal Kau bahagiakan ibuku. Kembali tangisan kepedihan
    mengguncangku. Hatiku teriris, miris dan perih. Aku tidak akan bisa tahan
    melihat penderitaan Ibu.

    Kutunggui Ibu sepanjang hari ini. Kutatap putih perban yang melilit seluruh
    wajah dan tubuhnya. Aku ingin jika nanti Ibu siuman ia tahu bahwa putri
    satu-satunya ada di sisinya. Dalam shalat asharku tadi aku berdoa khusus untuk
    Ibu. Aku minta agar aku diberi kesempatan untuk membahagiakananya. Aku ingin
    Ibu melihatku lulus kuliah, memakai toga dan diwisuda. Tiba-tiba aku melihat
    gerakan lemah pada jemari ibu. Ibu sudah sadar! sorakku dalam hati. Kusentuh
    jemari Ibu pelan. Kubisikkan kalimat-kalimat penyemangat.
    “Ini Tresna, Bu…”

    kembali gerakan lemah jemarinya muncul. Hatiku girang. Berulangkali ucapan
    hamdalah mengalir dari bibirku.

    “Ibu ada di rumah sakit. Ibu kena luka bakar dalam kebakaran di pasar tadi
    pagi. maafkan Tresna yang tidak sempat menyelamatkan Ibu. Semua terjadi begitu
    cepat…”

    Tak ada reaksi. Tapi aku bisa menebak apa yang sedang berkecamuk di hati Ibu.
    Ibu sedang benar-benar sedih. Kulihat perban penutup matanya basah oleh airmata
    ibu. Hatiku yang memang sudah runtuh sejak melihat keadaan Ibu, kini makin
    hancur.

    “Ibu jangan menangis…” kuelus lalu kucium jemarinya.”Ibu, Tresna sudah belajar
    menjadi tegar seperti Ibu. Tresna sudah berusaha untuk tidak menjadi cengeng.
    Tapi Ibu jangan menangis seperti ini. Kalau ibu menangis... Tresna... hik…hik….


    Tangisku benar-benar meledak. Dadaku berguncang menahan kesedihan yang mendera.
    Kutelungkupkan wajahku pada tempat tidur Ibu. Kenangan-kenangan manis saat bersama-sama
    Ibu berkelebat memerihkan hatiku. Betapa ingin aku memeluknya.

    Akhirnya aku hanya bisa menelumgkupkan wajahku di kasur Ibu. Aku takut
    membayangkan hidup seorang diri tanpa bimbingan kasih Ibu. Aku tak peduli walau
    ibuku tidak senormal wanita-wanita lain. Apa pun keadaannya, tak akan ada yang
    sanggup menggantikannya, cintanya, ketulusannya, nasihat-nasihatnya, juga
    senyumnya. Di balik ringkih tubuhnya, ibuku adalah seorang wanita yang kuat.
    Kuat dalam arti yang sebenarnya. Air mata yang tadi kutahan terus berjatuhan
    satu-satu.

    Tiba-tiba sebuah tangan menyentuh bahuku dan sebuah suara memanggil namaku.
    Suara itu… aku sangat mengenalnya. Perlahan kuangkat wajahku, dan kuperhatikan
    tubuh berbalut perban putih di depanku. Masih diam.

    “Tresna, kenapa kamu menangis di situ, Nduk…? Ibu di sini, Cah Ayu...”
    Aku menoleh. Kaget setengah mati. Dis amping kiriku ada sesosok yang sangat
    kukenal. IBU! Benar dia ibuku. Jadi yang kutunggui dan kutangisi sepanjang hari
    ini siapa?
    “Maaf, Mbak, orang yang terbaring itu bukan ibu Mbak. namanya Fitri, usianya 30
    tahun. Dia anak saya,” seorang ibu-ibu setengah baya memahami keterjutanku.
    Seorang perawat yang tadi mengantarkanku pun mengangguk pelan.
    Akhirnya penuh rasa syukur aku menghambur ke pelukan Ibu yang telah hadir di
    sisiku.
    “Bu, Tresna nggak mau ditinggal sendirian. Tresna belum bisa… Tresna terlalu
    sayang pada Ibu…!”

    Aku melanjutkan tangisku yang sudah terlanjur meledak. Ibu menyambutku sambil
    tersenyum. Ya… senyuman khas Ibu. Senyuman yang tidak dimiliki oleh orang
    lain….

      Waktu sekarang Fri Nov 22, 2024 6:28 am