Serial Cita Cinta
Oleh: Arlen Ara Guci &
Faris Jihady Hanifa
Episode1.
Siang Menyapa Margonda
Kawasan Margonda, Depok, Jawa Barat
Kakiku menyisir trotoar dengan wajah bersepuh peluh. Demam ruko-ruko lebih cepat
dari jamur yang sedang ditimpa hujan. Lalu lalang pengguna jalan berpacu tak
kenal ampun. Macet? Tentu saja. Apalagi di tepi jalan ini, berdiri dua kampus
perguruan tinggi ternama. Para mahasiswanya sungguh meruah sampai ke Margonda,
terutama saat jam-jam datang dan pulang kuliah.
Rental & Warnet Bismi-Net
Rutinitasku pagi ini tak jauh berbeda dengan pagi-pagi sebelumnya. Menjelang
mentari sepenggalan naik, aku bergegas mengirimkan naskah-naskah karya via
internet di sebuah warnet. Namanya Bisminet. Selain aku bisa berhemat dengan
cara seperti ini, penjaga warnetnya juga sungguh ramah. Buatku keramahan salah
satu bentuk ikatan-ikatan yang mampu mengatakan, bahwa kita manusia.
Serasa dunia tak selebar daun kelor! Itu minimal rasa hatiku bila berlama di
dunia maya itu. Namun, justru semakin kurenungkan, yang hadir serta merta
adalah bagaimana caranya agar aku bisa keluar secepatnya dari pekerjaan yang
sekarang.
Bila sejak pukul sembilan pagi sampai pukul sembilan malam, aku harus bermanis
ria di depan sekaligus ruang tunggu, ditemani sebuah kursi rotan. Kalau sofa
masih mendingan, plus sebuah meja tulis. Bagian resepsionis cottage yang baru
soft launching! Letaknya nyaris di atas puncak bukit. Entah berapa tingginya
dari permukaan laut. Kawasan Puncak, Jawa Barat. Lengang memagut di antara
gumpalan kabut gunung Pangrango. Itulah hari-hariku. Mana tahan?
Bursa Nurul Fikri, Margonda, Depok.
Seperti biasa, aku langsung menyambangi majalah-majalah terbaru. ANNIDA, UMMI,
SAKSI serta media islam lainnya. Siapa tahu, edisi kali ini di antara
media-media itu, salah satunya akan memuat tulisanku.
Walau aku tahu ini bukan perpustakaan umum, namun aku tetap memaksakan diri
membaca di sini. Bahkan seakan terjadwal. Untunglah sang pemilik, Bursa NF,
seperti mahfum adanya dengan hobiku yang satu itu. Gila baca. Padahal nggak
beli juga!
“Assalamualaikum warahmatullah!” sebuah suara menyapa renyah, disertai sesosok
remaja mendekat ke arahku.
“Walaikum salam!” balasku sekenanya. Mungkin terkesan cuek bebek malahan.
Buktinya, aku tak sedikitkan memalingkan muka ke arah datangnya suara itu. Dan,
aku dengar, sebagai muslim yang baik, jawabanku seharusnya jauh lebih sempurna,
lebih lengkap lagi dari orang yang mengucapkan pertama.
Begitulah, aku terkadang memang kurang cermat memanfaatkan ladang-ladang amal.
“Andri! R. Andri Mahendra!” tangannya diulurkan.
“Pria Takari Utama! Hhmm…anda karyawan sini?” balasku agak beruntun, namun
kering.
“Bukan!” gelengnya sambil melepaskan satu senyuman.
“Subhanallah! Lagi nyari buku apa, akhi?” kali ini pertanyaan dari ia yang
beruntun. Cukup santun dan friendly kesannya.
“Nggak! Cuman baca-baca saja!” imbuhku mulai berpaling lagi. Bahkan acuh tak
acuh.
“Kuliah apa sudah bekerja, akhi?” cecarnya malah lebih mendekat dari semula.
“Dua-duanya. Kuliah sambil kerja!” jawabku datar. Lebih acuh. Lebih cuek.
Ada ke-PeDe-an, overacting menjalari jiwaku.
Aku penulis, teman, kalau kamu tau itu! Bisik hatiku. Ada terselip rasa ujub
disitu. Astaghfirullah!
Kenapa aku jadi cepat berbangga pada diri sendiri begini? Padahal baru satu,
dua, karyaku dimuat oleh beberapa media. Ya, Allah! Aku istighfar lagi berulang
kali di dalam hati.
Tiada bersebab, tekadku untuk tidak obral siapa aku, juga memudar seketika itu.
Seharusnya aku tak perlu mengungkapkan kemampuanku dalam dunia tulis-menulis
begini. Kecuali, bila ia bertanya. Sayang, aku sudah kelepasan!
Bahkan sepertinya hal itu seakan-akan menjadi kebiasaan. Aku yang tak pernah
mampu dan tak punya kekuatan untuk sekedar menyembunyikan identitas. Sedangkan
di negeri ini, bukankah negeri yang dipenuhi oleh para penulis?
“Kamu sendiri?” tantangku hambar.
“Apanya, ya?” balasnya lebih sopan. Lebih santun pula.
“Aktivitasnya!?”
“Masih kuliah, di Sekolah Tinggi Ekonomi Islam!” jawabnya hati-hati memasang
wajah berseri.
Jangan sok alim choy! Lagi-lagi satu bisik hatiku kelepasan. Dibungkus dalam
su’udzan pula! Ini orang berlagak lemah-lembut, sok akrab, sok tenang, sok
tawadhu! Liarlah pikiranku mengambil kesimpulan yang miring terhadap sikapnya.
Ya, Allah, kenapa aku cepat menilai buruk begini? Kenapa sinis memvonis orang?
“Dimana tuh kampusnya?” elakku mengusir perasaan minder diri, karena ia tepat
berdiri di sampingku.
“Daerah Dermaga, Bogor. Disitu kampus untuk tempat matrikulasi. Sedang kampus
perkuliahan sehari-hari, di kawasan Cibubur, Jakarta Timur!”
“Ooo…!” anggukku berpura tertarik. Di hati setengah mencibir.
“Mungkin antum punya adik atau saudara!?” Andri menatapku lamat-lamat.
“Punya, kenapa memangnya?”
Kemudian, Andri mengeluarkan beberapa lembaran brosur, memberikannya kepadaku.
Isi brosur itu memuat profil kampusnya.
Ingin aku katakan, TIDAK PERLU. Namun, sebagai teman baru, aku harus menghargai
pemberiannya itu. Setengah mencengir dibumbui seulas senyum nan masam, aku
masukkan lembaran-lembaran brosur itu ke dalam tas ransel yang menempel di
punggungku.
Seharusnya kamu tak perlu memberikan yang tak aku butuhkan, teman! Kembali
hadir satu bisikan tak bersahabat dalam hatiku. Kenapa akhir-akhir ini aku
menjadi sering berprasangka yang bukan-bukan?
“Sekarang mau kemana, akhi?” Andri masih santai tak jauh sedikitpun dari
posisiku berdiri. Aku amati ada kesungguhan disitu.
“Bogor!” Aku mulai ketus.
“Kebetulan ane juga mau ke Bogor! Mungkin kita bisa bareng sekalian!?”
“Boleh! Tapi, aku mau mampir ke kos-an dulu. Nggak jauh kok dari sini. Daerah
Kapuk, jalan Margonda. Ada barang yang ketinggalan. Abis itu, mampir dulu ke
rumah orangtua angkatku di RTM. Ya, sekadar pamitan,” uraiku menawarkan.
“Bisa!” jawabnya tangkas serta bersemangat.
“Baik, sekarang kita bisa berangkat. Kalau kesorean, kereta dari Jakarta
penuh!”
Andri langsung menuju kasir. Kelihatannya ia membayar sebuah buku bacaan Islam
yang ia gamit dari tadi. Sedang aku bergegas merampungkan bacaan. Memang nggak
niat beli!
“Sudah bayar?”
“Alhamdulillah!”
“Yuk!”
Di atas angkotan kota, M-19.
Selama dalam perjalanan, pikiranku kembali menari-nari. Walau sudah saling
tegur sapa, saling kenal beberapa menit berlalu, tetap saja, sosok Andri aku
sapu rata dengan sosok-sosok yang selalu bergelut di alam pikiranku selama ini.
Pastilah ia sosok laki-laki yang akrab disapa dengan panggilan ikhwan itu,
tentunya lengkap dengan atribut keikhwanannya pula. Pilih salah satu dari tanda
ikhwan itu. Jenggotan, tas model ransel, ujung celana digulung sampai nyaris
setengah di atas betis, doyan pakai gamis, muka yang selalu terkesan basah,
abis dicuci, karena wudhu melulu, megang tasbih atau Al-Quran mini, bicaranya
pelan plus hati-hati sekali. Plus tunduk-menundukkan pandangan kalau diajak
ngomong. Di setiap pembicaraan takkan pernah absen, dan di selang-selingi pakai
istilah-istilah bahasa Arab, yang membuat keningku mengerut untuk kesekian kali
karena tak mengerti. Aktivitasnya pastilah tak jauh-jauh dari Rohis dan Primus
alias Pria Musholla, MABIT (Malam Bina Iman dan Takwa), Aksi damai, yang
merupakan bentuk lain cara berdemonstrasi ala para ikhwan. Kalau bukan ini
sebagian dari tanda-tanda seseorang disebut ikhwan, lalu apalagi?
Ketika sosok asing seperti Andri hadir sebagai teman baruku, dalam hitungan
waktu perkenalan itu mencair, dan berlanjut terus. Hal-hal yang terkesan
pribadi, sampai yang sepatutnya saja diceritakan. Berapa orang jumlah saudara,
jumlah anggota keluarga, kemudian bertukar pandangan tentang masyarakat,
negara. Adu opini tentang perkembangan dunia internasional. Apalagi kalau dunia
islam, duh, Andri memang paling getol.
Aku sampai pegel-pegel dan terbatuk-batuk walau hanya sekedar meng-amin-kan
saja. Kayak tentara siap siaga mau perang ke Palestina saja! Sedikit-sedikit
Andri meneriakkan kata, Allahu Akbar!
Wisma Putih, Kawasan Kapuk.
“Ini kamarku!” ujarku sedikit lebih PeDe, karena ada hal yang hendak kulihatkan
padanya. Yaitu, karya-karyaku yang pernah dimuat oleh beberapa media cetak nasional.
“Hhmmm…subhanallah ya!” ujarnya mengganggukkan kepala. Kagumkah ia? Atau malah
sebaliknya, sebenarnya Andri merespon biasa-biasa saja, tetapi karena ia ingin
sekedar menghormatiku, maka ia pilih cara itu?
“Oh iya, ini nomor telepon kampus ane di Dermaga, Bogor. Siapa tau nanti antum
ada waktu mau ke sana, ane tunggu. Nomor handphone ane perlu juga nggak?” Andri
seperti tak begitu tertarik dengan berbagai bacaan dan buku-buku cerpen serta
novel yang aku tawarkan. Kagetkah ia? Atau malah ia khawatir, kedatangannya
justru mengganggu rencanaku semula?
“Boleh!”
“Masya Allah, ya, tulisan-tulisan antum!” Andri seakan-akan serius. Tapi bagi
diriku, sesungguhnya tak perlu disanjung seperti itu. Buat apa meminta komentar
pada orang yang memang bukan bidangnya? Hal itu aku lakukan hanya untuk memecah
kekakuan bahan pembicaraan.
“Yah…masih penulis pemula sih!”
Andri terus mengamati halaman per halamannya. Apakah ia kagum, atau ia malah
entah menyindir? Aku tak mau tahu. Sebab, apa yang kugapai selama ini bukanlah
dengan cara yang mudah. Jadi, biar dan terserah ia menanggapinya bagaimana.
Tak lebih dari lima belas menit di kos-anku, Wisma putih itu, aku melanjutkan
perjalanan ke rumah Abi dan Ummi, yang serasa telah menjadi orangtua angkatku
sendiri beberapa bulan belakangan ini. Rumahnya terletak di daerah RTM, Kelapa
Dua, Cimanggis, Depok, Jawa Barat.
Griya Tugu Asri.
“Kamu tunggu di sini sebentar!”
Andri, aku tinggalkan di pekarangan depan.
“Assalamualaikum!” Aku sudah berdiri di depan pintu.
“Walaikumsalam! Abi dan Ummi pergi!” terdengar samar suara pembantu. Gadis Jawa
tujuh belas tahun itu menyambutku.
“Kemana?”
“Nggak bilang mau kemana!”
“Andri, sini!” sahutku berseri. Memberi isyarat mengajaknya masuk.
“Ini teman saya, namanya Andri! Masuk, Ndri!” ajakku tanpa diminta atau
dipersilahkan oleh pembantu itu terlebih dahulu.
“Makan, Mas Ari!”
Sip! Ini namanya langkah kanan. Mujur. Datang-datang, nggak ada tuan rumah,
ditawari makan, siapa yang nggak senang? Bisa ngajak teman makan bersama
sekalian.
“Jangan malu-malu! Anggap saja rumah sendiri!” hiburku. Kata-kata itu
kulayangkan ringan tanpa beban pada Andri.
Sebenarnya kata-kata itu layaknya ku tujukan kepada diri sendiri. Memupuk
kepercayaan diri untuk kesekian kali. Karena jarang-jarang aku bertemu dengan
peristiwa langka begini.
Biasanya, setiap kali aku datang ke sini, selalu ada Abi dan Ummi. Akibatnya,
meski sudah ditawarkan aneka makanan dan minuman berulang kali, tetap saja ada
rasa malu terselubung, rasa sungkan menyelungkup di hatiku.
Akibatnya, aneka makanan dan minuman itu cuman dipelototin doang! Apakah hal
semacam ini hanya terjadi pada diriku? Ataukah ada orang lain juga mengalami
hal yang serupa? Kenapa malu makan di rumah majikan bila ada tuan rumahnya?
Sedangkan perut berdendang menanggung lapar yang malah sampai keroncongan!
“Silahkan… nambah!” tawarku terkesan sok akrab.
“O, iya!” Andri tenang sekali.
Duh..rupanya ini orang memang asli kelaparan. Sepotong ayam goreng entah
sengaja disisihkan buat tuan rumah, atau entah buat siapa sebenarnya, telah
dipindahkan Andri semua ke dalam piringnya tanpa ragu.
“He…eh ambil saja!” imbuhku mengusir kekalutan.
“Syukron!” Andri memasang muka puas berbinar.
“Bagaimana? Sekarang kita langsung ke stasiun UI, naik KRL!?” ujarku terburu,
ketika semua yang ada di meja makan, tak ada lagi yang tersisa.
Aku cemas campur khawatir, bila orang tua angkatku itu benar-benar datang, lalu
membuka pintu. Duh…malunya bisa bertingkat-tingkat. Kemana muka akan aku taruh?
Tanpa banyak kata-kata lagi. Aku buru-buru pamit kepada pembantu itu.
“Sampaikan saja salam saya kepada Abi sama Ummi!” suaraku sambil berlalu
menutup pintu.
“Subhanallah ya, akhi!” Mahendra mengelus perutnya, sambil memendarkan
pandangan ke sekeliling komplek Griya Tugu Asri.
Kawasan RTM
“Sudah…sudah aku bayar!”
Entah kenapa aku berubah baik seketika itu. Reflek membayarkan ongkos angkot
untuk Andri, teman baruku. Biasanya aku sangat perhitungan sekali untuk hal-hal
keuangan begini. Sampai-sampai ada yang bilang aku pelit!
“Syukron ya, akhi!”
“Sama-sama!”
Tak sampai lima belas menit dari RTM menuju stasiun.
Pelataran stasiun UI
“Bogor dua, Pak!” Aku merogoh saku lagi.
“Eh…BS, Bayar Sendiri saja ya, Ndri!” celotehku cuek.
“Iya, akhi!”
Tak cukup lima belas menit menunggu. KRL dari Jakarta menuju Bogor datang.
Hup! Aku sigap melompat, saat tubuhku langsung terjepit oleh tubuh-tubuh yang
berpeluh, menyisakan aroma masam! Dan…Andri kelihatannya jauh lebih sigap. Ia
mendapat tempat agak ke pojok, padahal sebelumnya ia menggelantung di pintu
kereta. Nampaknya ia jauh lebih terbiasa naik kereta di bandingkan aku.
Di atas KRL
Antara aku dan Andri kembali ingin benar untuk saling bertukar cerita. Sayang,
himpitan manusia berbaur tak menentu menghalanginya.
Setelah melewati stasiun Bojong Gede, penumpang mulai berkurang. Ada
bangku-bangku penumpang yang kosong.
“Biasanya Mas Ari dapat ide untuk menulis cerita darimana?” Andri memulai
percakapan ketika KRL makin melaju kencang menuju stasiun Bogor.
“Ide? Darimana saja. Pokoknya macam-macam.
Kadang dari melihat tampang orang saja, aku bisa menuliskan untuk dijadikan
bahan cerita!”
“Hhmmm…bisa begitu ya!?” Andri manggut-manggut. Kadang menggeleng. Menyisakan
kerutan di keningnya.
“Cerita yang paling berkesan!?” Andri seakan antusias.
“Semua cerita yang aku buat, berkesan! Apalagi berbau jihad. Biasanya aku harus
pontang-panting memburu bahan untuk cerita itu. Soalnya ceritanya agak unik dan
perlu data-data akurat. Sebab, tak selamanya fiksi islami itu hanya berdasar
imajinasi belaka sang penulis. Tak kalah penting adalah data-data ilmiah,
narasumbernya bila memang dibutuhkan untuk mendukung kekuatan cerita!”
“Subhanallah, ya!” kali ini Andri ku lihat berdecak, terkesan memancarkan
kekaguman. Entah kagum, apa menyindir, aku tak mau tau. Aku tak mau cepat-cepat
lagi bersenang hati, bila ada orang memuji. Yang kadang malah pujian itu bisa
berubah sindiran.
Stasiun Bogor.
Senja menyapa di langit kota Hujan itu, saat kereta sampai di stasiun. Aku dan
Andri bergegas turun.
Usai shalat Magrib kami dirikan dengan berjamaah di musholla stasiun. Aku harus
rela terpaksa menunggu Andri satu jam lebih. Katanya, ia sebenarnya sudah ada
janji dengan salah seorang temannya. Tapi, nggak apa-apa, nanti bisa diatur.
Kilahnya pula. Salah satunya bisa di cancel! Tutupnya.
Menuju Puncak
“Rua…payu…rua payu!” pekik knek naik turun. Berebutan.
Rua payu? Memang ada nama daerah itu di kawasan Puncak? Setelah ku renungkan,
rupanya yang dimaksudkan oleh para knek itu, Cisarua dan Cipayung! Ah…ada-ada
saja ulah mereka itu!
Dari cerita Andri, saat kami sudah di atas angkotan kota, menuju kawasan
Puncak, ia membeberkan, Ibu itu kehilangan anaknya di atas kereta, lalu ia
mencoba memberikan masukan, menghibur, agar sang ibu tabah. Ulah sikapnya itu,
sang ibu seakan mendapatkan tempat, meski sekedar tempat mencurahkan segala apa
yang ia rasa. Andri sok jadi hero!
Serta sederet cerita Andri yang lainnya; tentang bagaimana seharusnya menjadi
sosok pribadi muslim. Bagaimana keprihatinnya terhadap dunia internasional yang
selalu menskreditkan ummat islam, sampai masalah Palestina. Aku hanya
manggut-manggut saja, terkadang mendehem, sekedar membuktikan, sebenarnya aku
memperhatikan apa yang disampaikannya.
Hujan lebat menyambut kedatanganku di Cipayung. Untung, tepat di pertigaan
jalan hendak menuju ke cottage, hujan mereda seketika.
Alhamdulillah! Untuk pertama kali aku merasa Allah sungguh Maha Kuasa atas
segala sesuatunya.
Sebab, bagaimana mungkin, hanya dalam hitungan beberapa detik saja, hujan yang
tumpah begitu derasnya dari langit, mereda seketika. Kun faya kun! Jadilah,
maka jadilah ia, jika Allah berkehendak terhadap sesuatu!
Lembabnya udara malam usai hujan menyambut kedatanganku di cottage. Malam itu
aku dan Andri menikmati dinginnya kawasan Puncak. Usai makan malam, shalat isya
berjamaah, kemudian murojaah, istilah Andri yang segera kuakrabi, kami banyak
tafakur.
Ba’dha Subuh. Di tengah gumpalan kabut Cipayung. Andri mohon pamitan. Ada mata
kuliah yang dimulai jam delapan pagi ini. Aku antarkan ia sampai ke jalan raya
Bogor-Puncak. Jalan setapak di pematang sawah, kami tempuh dengan penuh suka
cita. Aku lebih banyak menceritakan tentang pengalaman-pengalamanku sesama
aktivis semasa kuliah di Yogyakarta dulu. Masa-masa aku beradu argumen dengan
para aktivis kampus yang penuh idealis! Padahal ketika dihadapkan pada realita
yang sebenarnya, terus terang aku banyak kecewa. Antara idealita dan realita,
takkan pernah seirama.
“Kalau ada off dari kerja, insya Allah, aku akan sempatkan kesana!”
“Ane tunggu!”
“Assalamualaikum warahamtullah!”
“Walaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh”
Jabat tangan persahabatan kembali bertaut! Di benakku, siang yang menyapa
Margonda, takkan terlupa.
Oleh: Arlen Ara Guci &
Faris Jihady Hanifa
Episode1.
Siang Menyapa Margonda
Kawasan Margonda, Depok, Jawa Barat
Kakiku menyisir trotoar dengan wajah bersepuh peluh. Demam ruko-ruko lebih cepat
dari jamur yang sedang ditimpa hujan. Lalu lalang pengguna jalan berpacu tak
kenal ampun. Macet? Tentu saja. Apalagi di tepi jalan ini, berdiri dua kampus
perguruan tinggi ternama. Para mahasiswanya sungguh meruah sampai ke Margonda,
terutama saat jam-jam datang dan pulang kuliah.
Rental & Warnet Bismi-Net
Rutinitasku pagi ini tak jauh berbeda dengan pagi-pagi sebelumnya. Menjelang
mentari sepenggalan naik, aku bergegas mengirimkan naskah-naskah karya via
internet di sebuah warnet. Namanya Bisminet. Selain aku bisa berhemat dengan
cara seperti ini, penjaga warnetnya juga sungguh ramah. Buatku keramahan salah
satu bentuk ikatan-ikatan yang mampu mengatakan, bahwa kita manusia.
Serasa dunia tak selebar daun kelor! Itu minimal rasa hatiku bila berlama di
dunia maya itu. Namun, justru semakin kurenungkan, yang hadir serta merta
adalah bagaimana caranya agar aku bisa keluar secepatnya dari pekerjaan yang
sekarang.
Bila sejak pukul sembilan pagi sampai pukul sembilan malam, aku harus bermanis
ria di depan sekaligus ruang tunggu, ditemani sebuah kursi rotan. Kalau sofa
masih mendingan, plus sebuah meja tulis. Bagian resepsionis cottage yang baru
soft launching! Letaknya nyaris di atas puncak bukit. Entah berapa tingginya
dari permukaan laut. Kawasan Puncak, Jawa Barat. Lengang memagut di antara
gumpalan kabut gunung Pangrango. Itulah hari-hariku. Mana tahan?
Bursa Nurul Fikri, Margonda, Depok.
Seperti biasa, aku langsung menyambangi majalah-majalah terbaru. ANNIDA, UMMI,
SAKSI serta media islam lainnya. Siapa tahu, edisi kali ini di antara
media-media itu, salah satunya akan memuat tulisanku.
Walau aku tahu ini bukan perpustakaan umum, namun aku tetap memaksakan diri
membaca di sini. Bahkan seakan terjadwal. Untunglah sang pemilik, Bursa NF,
seperti mahfum adanya dengan hobiku yang satu itu. Gila baca. Padahal nggak
beli juga!
“Assalamualaikum warahmatullah!” sebuah suara menyapa renyah, disertai sesosok
remaja mendekat ke arahku.
“Walaikum salam!” balasku sekenanya. Mungkin terkesan cuek bebek malahan.
Buktinya, aku tak sedikitkan memalingkan muka ke arah datangnya suara itu. Dan,
aku dengar, sebagai muslim yang baik, jawabanku seharusnya jauh lebih sempurna,
lebih lengkap lagi dari orang yang mengucapkan pertama.
Begitulah, aku terkadang memang kurang cermat memanfaatkan ladang-ladang amal.
“Andri! R. Andri Mahendra!” tangannya diulurkan.
“Pria Takari Utama! Hhmm…anda karyawan sini?” balasku agak beruntun, namun
kering.
“Bukan!” gelengnya sambil melepaskan satu senyuman.
“Subhanallah! Lagi nyari buku apa, akhi?” kali ini pertanyaan dari ia yang
beruntun. Cukup santun dan friendly kesannya.
“Nggak! Cuman baca-baca saja!” imbuhku mulai berpaling lagi. Bahkan acuh tak
acuh.
“Kuliah apa sudah bekerja, akhi?” cecarnya malah lebih mendekat dari semula.
“Dua-duanya. Kuliah sambil kerja!” jawabku datar. Lebih acuh. Lebih cuek.
Ada ke-PeDe-an, overacting menjalari jiwaku.
Aku penulis, teman, kalau kamu tau itu! Bisik hatiku. Ada terselip rasa ujub
disitu. Astaghfirullah!
Kenapa aku jadi cepat berbangga pada diri sendiri begini? Padahal baru satu,
dua, karyaku dimuat oleh beberapa media. Ya, Allah! Aku istighfar lagi berulang
kali di dalam hati.
Tiada bersebab, tekadku untuk tidak obral siapa aku, juga memudar seketika itu.
Seharusnya aku tak perlu mengungkapkan kemampuanku dalam dunia tulis-menulis
begini. Kecuali, bila ia bertanya. Sayang, aku sudah kelepasan!
Bahkan sepertinya hal itu seakan-akan menjadi kebiasaan. Aku yang tak pernah
mampu dan tak punya kekuatan untuk sekedar menyembunyikan identitas. Sedangkan
di negeri ini, bukankah negeri yang dipenuhi oleh para penulis?
“Kamu sendiri?” tantangku hambar.
“Apanya, ya?” balasnya lebih sopan. Lebih santun pula.
“Aktivitasnya!?”
“Masih kuliah, di Sekolah Tinggi Ekonomi Islam!” jawabnya hati-hati memasang
wajah berseri.
Jangan sok alim choy! Lagi-lagi satu bisik hatiku kelepasan. Dibungkus dalam
su’udzan pula! Ini orang berlagak lemah-lembut, sok akrab, sok tenang, sok
tawadhu! Liarlah pikiranku mengambil kesimpulan yang miring terhadap sikapnya.
Ya, Allah, kenapa aku cepat menilai buruk begini? Kenapa sinis memvonis orang?
“Dimana tuh kampusnya?” elakku mengusir perasaan minder diri, karena ia tepat
berdiri di sampingku.
“Daerah Dermaga, Bogor. Disitu kampus untuk tempat matrikulasi. Sedang kampus
perkuliahan sehari-hari, di kawasan Cibubur, Jakarta Timur!”
“Ooo…!” anggukku berpura tertarik. Di hati setengah mencibir.
“Mungkin antum punya adik atau saudara!?” Andri menatapku lamat-lamat.
“Punya, kenapa memangnya?”
Kemudian, Andri mengeluarkan beberapa lembaran brosur, memberikannya kepadaku.
Isi brosur itu memuat profil kampusnya.
Ingin aku katakan, TIDAK PERLU. Namun, sebagai teman baru, aku harus menghargai
pemberiannya itu. Setengah mencengir dibumbui seulas senyum nan masam, aku
masukkan lembaran-lembaran brosur itu ke dalam tas ransel yang menempel di
punggungku.
Seharusnya kamu tak perlu memberikan yang tak aku butuhkan, teman! Kembali
hadir satu bisikan tak bersahabat dalam hatiku. Kenapa akhir-akhir ini aku
menjadi sering berprasangka yang bukan-bukan?
“Sekarang mau kemana, akhi?” Andri masih santai tak jauh sedikitpun dari
posisiku berdiri. Aku amati ada kesungguhan disitu.
“Bogor!” Aku mulai ketus.
“Kebetulan ane juga mau ke Bogor! Mungkin kita bisa bareng sekalian!?”
“Boleh! Tapi, aku mau mampir ke kos-an dulu. Nggak jauh kok dari sini. Daerah
Kapuk, jalan Margonda. Ada barang yang ketinggalan. Abis itu, mampir dulu ke
rumah orangtua angkatku di RTM. Ya, sekadar pamitan,” uraiku menawarkan.
“Bisa!” jawabnya tangkas serta bersemangat.
“Baik, sekarang kita bisa berangkat. Kalau kesorean, kereta dari Jakarta
penuh!”
Andri langsung menuju kasir. Kelihatannya ia membayar sebuah buku bacaan Islam
yang ia gamit dari tadi. Sedang aku bergegas merampungkan bacaan. Memang nggak
niat beli!
“Sudah bayar?”
“Alhamdulillah!”
“Yuk!”
Di atas angkotan kota, M-19.
Selama dalam perjalanan, pikiranku kembali menari-nari. Walau sudah saling
tegur sapa, saling kenal beberapa menit berlalu, tetap saja, sosok Andri aku
sapu rata dengan sosok-sosok yang selalu bergelut di alam pikiranku selama ini.
Pastilah ia sosok laki-laki yang akrab disapa dengan panggilan ikhwan itu,
tentunya lengkap dengan atribut keikhwanannya pula. Pilih salah satu dari tanda
ikhwan itu. Jenggotan, tas model ransel, ujung celana digulung sampai nyaris
setengah di atas betis, doyan pakai gamis, muka yang selalu terkesan basah,
abis dicuci, karena wudhu melulu, megang tasbih atau Al-Quran mini, bicaranya
pelan plus hati-hati sekali. Plus tunduk-menundukkan pandangan kalau diajak
ngomong. Di setiap pembicaraan takkan pernah absen, dan di selang-selingi pakai
istilah-istilah bahasa Arab, yang membuat keningku mengerut untuk kesekian kali
karena tak mengerti. Aktivitasnya pastilah tak jauh-jauh dari Rohis dan Primus
alias Pria Musholla, MABIT (Malam Bina Iman dan Takwa), Aksi damai, yang
merupakan bentuk lain cara berdemonstrasi ala para ikhwan. Kalau bukan ini
sebagian dari tanda-tanda seseorang disebut ikhwan, lalu apalagi?
Ketika sosok asing seperti Andri hadir sebagai teman baruku, dalam hitungan
waktu perkenalan itu mencair, dan berlanjut terus. Hal-hal yang terkesan
pribadi, sampai yang sepatutnya saja diceritakan. Berapa orang jumlah saudara,
jumlah anggota keluarga, kemudian bertukar pandangan tentang masyarakat,
negara. Adu opini tentang perkembangan dunia internasional. Apalagi kalau dunia
islam, duh, Andri memang paling getol.
Aku sampai pegel-pegel dan terbatuk-batuk walau hanya sekedar meng-amin-kan
saja. Kayak tentara siap siaga mau perang ke Palestina saja! Sedikit-sedikit
Andri meneriakkan kata, Allahu Akbar!
Wisma Putih, Kawasan Kapuk.
“Ini kamarku!” ujarku sedikit lebih PeDe, karena ada hal yang hendak kulihatkan
padanya. Yaitu, karya-karyaku yang pernah dimuat oleh beberapa media cetak nasional.
“Hhmmm…subhanallah ya!” ujarnya mengganggukkan kepala. Kagumkah ia? Atau malah
sebaliknya, sebenarnya Andri merespon biasa-biasa saja, tetapi karena ia ingin
sekedar menghormatiku, maka ia pilih cara itu?
“Oh iya, ini nomor telepon kampus ane di Dermaga, Bogor. Siapa tau nanti antum
ada waktu mau ke sana, ane tunggu. Nomor handphone ane perlu juga nggak?” Andri
seperti tak begitu tertarik dengan berbagai bacaan dan buku-buku cerpen serta
novel yang aku tawarkan. Kagetkah ia? Atau malah ia khawatir, kedatangannya
justru mengganggu rencanaku semula?
“Boleh!”
“Masya Allah, ya, tulisan-tulisan antum!” Andri seakan-akan serius. Tapi bagi
diriku, sesungguhnya tak perlu disanjung seperti itu. Buat apa meminta komentar
pada orang yang memang bukan bidangnya? Hal itu aku lakukan hanya untuk memecah
kekakuan bahan pembicaraan.
“Yah…masih penulis pemula sih!”
Andri terus mengamati halaman per halamannya. Apakah ia kagum, atau ia malah
entah menyindir? Aku tak mau tahu. Sebab, apa yang kugapai selama ini bukanlah
dengan cara yang mudah. Jadi, biar dan terserah ia menanggapinya bagaimana.
Tak lebih dari lima belas menit di kos-anku, Wisma putih itu, aku melanjutkan
perjalanan ke rumah Abi dan Ummi, yang serasa telah menjadi orangtua angkatku
sendiri beberapa bulan belakangan ini. Rumahnya terletak di daerah RTM, Kelapa
Dua, Cimanggis, Depok, Jawa Barat.
Griya Tugu Asri.
“Kamu tunggu di sini sebentar!”
Andri, aku tinggalkan di pekarangan depan.
“Assalamualaikum!” Aku sudah berdiri di depan pintu.
“Walaikumsalam! Abi dan Ummi pergi!” terdengar samar suara pembantu. Gadis Jawa
tujuh belas tahun itu menyambutku.
“Kemana?”
“Nggak bilang mau kemana!”
“Andri, sini!” sahutku berseri. Memberi isyarat mengajaknya masuk.
“Ini teman saya, namanya Andri! Masuk, Ndri!” ajakku tanpa diminta atau
dipersilahkan oleh pembantu itu terlebih dahulu.
“Makan, Mas Ari!”
Sip! Ini namanya langkah kanan. Mujur. Datang-datang, nggak ada tuan rumah,
ditawari makan, siapa yang nggak senang? Bisa ngajak teman makan bersama
sekalian.
“Jangan malu-malu! Anggap saja rumah sendiri!” hiburku. Kata-kata itu
kulayangkan ringan tanpa beban pada Andri.
Sebenarnya kata-kata itu layaknya ku tujukan kepada diri sendiri. Memupuk
kepercayaan diri untuk kesekian kali. Karena jarang-jarang aku bertemu dengan
peristiwa langka begini.
Biasanya, setiap kali aku datang ke sini, selalu ada Abi dan Ummi. Akibatnya,
meski sudah ditawarkan aneka makanan dan minuman berulang kali, tetap saja ada
rasa malu terselubung, rasa sungkan menyelungkup di hatiku.
Akibatnya, aneka makanan dan minuman itu cuman dipelototin doang! Apakah hal
semacam ini hanya terjadi pada diriku? Ataukah ada orang lain juga mengalami
hal yang serupa? Kenapa malu makan di rumah majikan bila ada tuan rumahnya?
Sedangkan perut berdendang menanggung lapar yang malah sampai keroncongan!
“Silahkan… nambah!” tawarku terkesan sok akrab.
“O, iya!” Andri tenang sekali.
Duh..rupanya ini orang memang asli kelaparan. Sepotong ayam goreng entah
sengaja disisihkan buat tuan rumah, atau entah buat siapa sebenarnya, telah
dipindahkan Andri semua ke dalam piringnya tanpa ragu.
“He…eh ambil saja!” imbuhku mengusir kekalutan.
“Syukron!” Andri memasang muka puas berbinar.
“Bagaimana? Sekarang kita langsung ke stasiun UI, naik KRL!?” ujarku terburu,
ketika semua yang ada di meja makan, tak ada lagi yang tersisa.
Aku cemas campur khawatir, bila orang tua angkatku itu benar-benar datang, lalu
membuka pintu. Duh…malunya bisa bertingkat-tingkat. Kemana muka akan aku taruh?
Tanpa banyak kata-kata lagi. Aku buru-buru pamit kepada pembantu itu.
“Sampaikan saja salam saya kepada Abi sama Ummi!” suaraku sambil berlalu
menutup pintu.
“Subhanallah ya, akhi!” Mahendra mengelus perutnya, sambil memendarkan
pandangan ke sekeliling komplek Griya Tugu Asri.
Kawasan RTM
“Sudah…sudah aku bayar!”
Entah kenapa aku berubah baik seketika itu. Reflek membayarkan ongkos angkot
untuk Andri, teman baruku. Biasanya aku sangat perhitungan sekali untuk hal-hal
keuangan begini. Sampai-sampai ada yang bilang aku pelit!
“Syukron ya, akhi!”
“Sama-sama!”
Tak sampai lima belas menit dari RTM menuju stasiun.
Pelataran stasiun UI
“Bogor dua, Pak!” Aku merogoh saku lagi.
“Eh…BS, Bayar Sendiri saja ya, Ndri!” celotehku cuek.
“Iya, akhi!”
Tak cukup lima belas menit menunggu. KRL dari Jakarta menuju Bogor datang.
Hup! Aku sigap melompat, saat tubuhku langsung terjepit oleh tubuh-tubuh yang
berpeluh, menyisakan aroma masam! Dan…Andri kelihatannya jauh lebih sigap. Ia
mendapat tempat agak ke pojok, padahal sebelumnya ia menggelantung di pintu
kereta. Nampaknya ia jauh lebih terbiasa naik kereta di bandingkan aku.
Di atas KRL
Antara aku dan Andri kembali ingin benar untuk saling bertukar cerita. Sayang,
himpitan manusia berbaur tak menentu menghalanginya.
Setelah melewati stasiun Bojong Gede, penumpang mulai berkurang. Ada
bangku-bangku penumpang yang kosong.
“Biasanya Mas Ari dapat ide untuk menulis cerita darimana?” Andri memulai
percakapan ketika KRL makin melaju kencang menuju stasiun Bogor.
“Ide? Darimana saja. Pokoknya macam-macam.
Kadang dari melihat tampang orang saja, aku bisa menuliskan untuk dijadikan
bahan cerita!”
“Hhmmm…bisa begitu ya!?” Andri manggut-manggut. Kadang menggeleng. Menyisakan
kerutan di keningnya.
“Cerita yang paling berkesan!?” Andri seakan antusias.
“Semua cerita yang aku buat, berkesan! Apalagi berbau jihad. Biasanya aku harus
pontang-panting memburu bahan untuk cerita itu. Soalnya ceritanya agak unik dan
perlu data-data akurat. Sebab, tak selamanya fiksi islami itu hanya berdasar
imajinasi belaka sang penulis. Tak kalah penting adalah data-data ilmiah,
narasumbernya bila memang dibutuhkan untuk mendukung kekuatan cerita!”
“Subhanallah, ya!” kali ini Andri ku lihat berdecak, terkesan memancarkan
kekaguman. Entah kagum, apa menyindir, aku tak mau tau. Aku tak mau cepat-cepat
lagi bersenang hati, bila ada orang memuji. Yang kadang malah pujian itu bisa
berubah sindiran.
Stasiun Bogor.
Senja menyapa di langit kota Hujan itu, saat kereta sampai di stasiun. Aku dan
Andri bergegas turun.
Usai shalat Magrib kami dirikan dengan berjamaah di musholla stasiun. Aku harus
rela terpaksa menunggu Andri satu jam lebih. Katanya, ia sebenarnya sudah ada
janji dengan salah seorang temannya. Tapi, nggak apa-apa, nanti bisa diatur.
Kilahnya pula. Salah satunya bisa di cancel! Tutupnya.
Menuju Puncak
“Rua…payu…rua payu!” pekik knek naik turun. Berebutan.
Rua payu? Memang ada nama daerah itu di kawasan Puncak? Setelah ku renungkan,
rupanya yang dimaksudkan oleh para knek itu, Cisarua dan Cipayung! Ah…ada-ada
saja ulah mereka itu!
Dari cerita Andri, saat kami sudah di atas angkotan kota, menuju kawasan
Puncak, ia membeberkan, Ibu itu kehilangan anaknya di atas kereta, lalu ia
mencoba memberikan masukan, menghibur, agar sang ibu tabah. Ulah sikapnya itu,
sang ibu seakan mendapatkan tempat, meski sekedar tempat mencurahkan segala apa
yang ia rasa. Andri sok jadi hero!
Serta sederet cerita Andri yang lainnya; tentang bagaimana seharusnya menjadi
sosok pribadi muslim. Bagaimana keprihatinnya terhadap dunia internasional yang
selalu menskreditkan ummat islam, sampai masalah Palestina. Aku hanya
manggut-manggut saja, terkadang mendehem, sekedar membuktikan, sebenarnya aku
memperhatikan apa yang disampaikannya.
Hujan lebat menyambut kedatanganku di Cipayung. Untung, tepat di pertigaan
jalan hendak menuju ke cottage, hujan mereda seketika.
Alhamdulillah! Untuk pertama kali aku merasa Allah sungguh Maha Kuasa atas
segala sesuatunya.
Sebab, bagaimana mungkin, hanya dalam hitungan beberapa detik saja, hujan yang
tumpah begitu derasnya dari langit, mereda seketika. Kun faya kun! Jadilah,
maka jadilah ia, jika Allah berkehendak terhadap sesuatu!
Lembabnya udara malam usai hujan menyambut kedatanganku di cottage. Malam itu
aku dan Andri menikmati dinginnya kawasan Puncak. Usai makan malam, shalat isya
berjamaah, kemudian murojaah, istilah Andri yang segera kuakrabi, kami banyak
tafakur.
Ba’dha Subuh. Di tengah gumpalan kabut Cipayung. Andri mohon pamitan. Ada mata
kuliah yang dimulai jam delapan pagi ini. Aku antarkan ia sampai ke jalan raya
Bogor-Puncak. Jalan setapak di pematang sawah, kami tempuh dengan penuh suka
cita. Aku lebih banyak menceritakan tentang pengalaman-pengalamanku sesama
aktivis semasa kuliah di Yogyakarta dulu. Masa-masa aku beradu argumen dengan
para aktivis kampus yang penuh idealis! Padahal ketika dihadapkan pada realita
yang sebenarnya, terus terang aku banyak kecewa. Antara idealita dan realita,
takkan pernah seirama.
“Kalau ada off dari kerja, insya Allah, aku akan sempatkan kesana!”
“Ane tunggu!”
“Assalamualaikum warahamtullah!”
“Walaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh”
Jabat tangan persahabatan kembali bertaut! Di benakku, siang yang menyapa
Margonda, takkan terlupa.
Tue Aug 01, 2023 9:56 pm by wisatasemarang
» Portable STATA 18 Crack Full Version
Thu May 11, 2023 5:24 pm by wisatasemarang
» NVivo 12 Crack Full version
Mon Jan 30, 2023 11:16 am by wisatasemarang
» Tutorial Difference In difference (DID (Diff-in-Diff) With Eviews 13
Thu Nov 03, 2022 6:24 am by wisatasemarang
» Online Workshop Smart PLS Minggu, 01 Oktober 2022
Sat Sep 17, 2022 11:35 am by wisatasemarang
» kumpulan ebook tentang robot
Fri Jan 02, 2015 10:04 pm by kyuru
» MANTRA PELET
Wed May 16, 2012 3:31 am by orlandojack
» book love of spell
Sat Mar 24, 2012 8:08 pm by rifqi as
» attraction Formula
Sat Mar 24, 2012 7:09 pm by rifqi as