Selamat Tinggal Mimpi
Guntur Alam
Ramadhan 1425 H
Robb, Ramadhan siang ini terasa mendung di hati. Padahal beberapa hari lagi
hari bulan kemenangan itu akan datang. Hamba sadar Robb, selalu ada air mata menjelang
datang dan perginya bulan penuh kemuliaan itu. Tangis bahagia karena berjumpa,
serta tangis kesedihan karena takut tak lagi bersua.
“Seandainya umatku tahu kemuliaan yang terdapat dalam bulan Ramadhan, tentu
mereka ingin semua bulan adalah bulan Ramadhan.”
Kata-kata itu adalah tenaga di saat letih menyandera, dan makanan dan minuman
di saat lapar. Tapi, mendung ini bukan karena Ramadhan ya, Robb. Namun, sebuah
ridho yang tertangguh dari mulut seorang ibu.
Robb, sadarkan hamba dalam ujian ini. Hamba meyakini, Engkau tidak akan pernah
memberikan ujian tanpa kekuatan hamba memikulnya. Dan hamba yakin segala yang
Engkau berikan pada hamba adalah yang terbaik buat hamba. Sadarkan hamba ya,
Robb!
Desember 2003
Ya Robb, hamba telah melewati malam-malam ini dengan tahajud dan istikharah.
Namun rupanya, jawaban itu belum Engkau beri juga. Hamba yakin, Engkau akan
memberi jawaban atas kebingungan serta keraguan hamba ini. Hamba tak ingin
salah jalan ya, Robb. Hamba tak ingin melangkah tanpa ridho-Mu, juga tanpa
ridho bunda. Robbku, berilah jawaban itu. Jawaban atas dua buah jalan agar
hamba tak salah dalam melangkah.
Januari 2004 (Menjelang Libur Semester)
Dada ini berdebar. Jantung ini gemuruh. Apa ini jawaban-Mu atas tanya hamba ya,
Robb? Hamba berlindung dari musuh yang nyata itu. Namun hamba sadar Robb, tidak
semua hal yang Engkau beri pada hamba sesuai dengan kehendak hamba. Tapi, hamba
yakin itulah yang terbaik dari-Mu buat hamba.
“Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia baik bagimu; dan boleh jadi kamu
menyukai sesuatu padahal ia buruk bagimu…” Aku menulis itu di tengah curhatku
pada Robbku.
Ya Robb, dalam sujud dan airmata istikharah ini, Kau kirim wajah bunda yang
penuh air mata. Apa artinya, Robbi? Ini malam ketiga Kau bayangi sujud hamba
dengan wajah bunda. Apa aku harus ikut saran bunda saat pertama kalinya aku
mengutarakan keinginanku untuk kuliah? Haruskah setelah lulus STM ini hamba
pulang ke Bekasi dan mencari kerja seperti keinginan Bunda? Haruskah hamba
melepaskan PMDK ke Universitas Negeri Padang? Juga ke UNY? Robbi, sangat berat
bagi hamba untuk memutuskan. Bimbinglah hamba, agar hamba tidak salah langkah
ya, Robb.
Januari 2004 (1 Hari Menjelang Bagi Rapor)
Robb, tadi hamba menelepon bunda. Ketika aku bercerita tentang PMDK ke Padang,
Bunda seperti menghindar. Bunda bilang luluskan dulu STM, baru pikirkan kuliah.
Aku menangkap makna tersirat di sana. Bukankah PMDK diikuti sebelum kelulusan?
Kalau sudah lulus, itu artinya…?
Apa bunda tak meridhoi keinginanku itu? Apa bunda masih tetap dengan
keinginannya, supaya aku mencari kerja dulu, barulah nanti kuliah? Hamba akan
tahu semua itu jika libur ini hamba bertemu dan bicara dari hati ke hati dengan
bunda..
Libur Semester (Bis Antar Kota Antar Propinsi, Lantera Jaya)
Aku duduk termangu di samping jendela. Pohon-pohon yang berkejaran seakan tak
mampu mengusir cemasku. Aku sadar, sesuatu yang tidak kuharapkan bisa saja
terwujud dalam hitungan detik.
Namun, aku tahu, Bekasi dan Padang adalah masa depanku. Tapi, siapakah yang
tahu apa yang bermain di kepalaku? Akankah aku ikut saran bunda, berbaur dengan
ribuan pengangguran untuk mengadu nasib, sedangkan pendidikanku cuma tamatan
STM?
Atau impian untuk menimba ilmu di tengah hausnya aku mencari bekal untuk sebuah
perjalanan pulang, akan jadi angan-angan tiada kesudahan?
Bis bergerak perlahan. Suasana khas kota metropolitan menyergapku. Macet! Debur
hatiku belum reda sedikitpun jua. Entah, kata apa yang akan terucap olehku,
bila nanti sudah berada di hadapan bunda?
Ba’dha Isya (Di Bekasi)
Robbku, lidah ini terasa kelu di saat hati ini mengomandoi untuk memulai
percakapan dengan bunda. Entah kemana seluruh kata yang telah terangkai dari
Muara Enim? Seakan ikut hanyut dalam deburan ombak selat Sunda. Bukannnya hamba
tak ada keberanian ya, Robb. Tapi, hamba bingung harus memulainya darimana? Ada
cemas jika hamba salah kata dan berbalut kabut hati iba, jika kata itu berbuah
luka di hati bunda.
Robb, telah hamba pikirkan. Hamba mohon ridho-Mu! Beri hamba kekuatan untuk
menyelesaikan masalah ini. Karena bagaimanapun, ini harus berakhir. Telah hamba
bulatkan tekad, besok adalah waktu yang tepat. Di saat Ayu Ivo dan Ayu Wiwik
berangkat kerja, aku akan mengajak bunda berbicara. Beri hamba kekuatan ya,
Robb!
Liburan Hari Ke-2 (Dalam Debar)
Ya, Allah, hamba tahu, saat ini Engkau pasti melihat hamba. Tak sabar rasanya
hamba memandang jarum jam. Tapi, berkilat takut saat mulut mulai bergerak.
Hamba takut karena belum ada keberanian untuk memulai. Tapi, hamba tak sabar
karena memang ini yang hamba inginkan.
“Bunda, apakah kita bisa bicara sebentar?”
Bunda menghentikan pekerjaannya. Ia sedang sibuk mencuci piring. Sengaja
kupakai kata-kata kita itu, agar rasa takut ini berkurang. Takut kalau-kalau
kataku berbuah luka di hati bunda.
“Bisa. Ada apa, Gun?” Bunda kelihatan penasaran.
Aku tak segera menjawab. Tanganku meraih piring-piring itu. Aku cekatan
mencuci, lalu membilasnya.
“Ini mengenai PMDK, bunda,” Aku lirih.
Nyaris tak terdengar. Sekali lagi bunda menghentikan tangannya. Ia menatapku.
Dan mata itu seketika berkaca-kaca.
Ya Robb, apa yang hamba lakukan? Hamba tak berniat melukai hatinya. Hamba tak
berniat membuat bunda berduka.
“Bunda tahu, Gun. Tapi jikalau bunda boleh memberi pendapat, apa kamu mau
mendengar?” mata bunda menyiratkan keseriusan dari biasa.
Aku mengangguk.
“Maksud Bunda…kamu tahu mengapa dari usia sekolahmu, kita sudah terpisah?”
“Iya, Bunda. Karena biaya sekolah di Sumatera, tempat kakek jauh lebih murah
daripada di sini!” Aku menjawabnya setengah yakin, tapi itu memang alasan yang
tepat.
“Sebab, kalau Bunda bersikeras menyekolahkanmu di sini, kamu tidak akan pernah
mampu mengenyam bangku STM seperti saat ini. Karena kita tidak akan mampu, kita
tidak akan mempunyai uang untuk itu, Gun.”
Hatiku sepertinya telah mampu membaca akhir dari pembicaraan ini.
“Itu juga yang menjadi alasan, kenapa ketiga ayumu sekolah di Sumatera. Kau
mengerti, Nak?”
“Iya, Bunda!”
Tulang-tulangku serasa dilolosi semua. Tidak, aku telah siap mendengar jawaban
ini.
“Dulu waktu ayumu Ivo mau lulus, ia juga menerima PMDK seperti ini. Tapi, kamu
tahu bukan? Biaya kuliah tidaklah sedikit. Bukannya bunda tidak mau kalian
menjadi orang berpendidikan. Bukan, nak. Tapi, bunda benar-benar tidak mampu,”
Bunda menyeka buliran bening yang mengalir pelan di pipinya.
“Ibu mana yang tidak berharap anaknya mempunyai gelar? Lalu bekerja di
tempat-tempat yang layak. Ibu mana yang tidak bangga berdiri di samping
putera-puteri yang memegang toga saat wisuda? Bunda juga ingin, nak.
Menyaksikan kalian berjalan dengan gagah berbalut baju wisuda itu. Tapi,
bunda….,” Bunda tergugu.
“Iya Bunda. Sudahlah, Gun juga tidak memaksa. Gun hanya ingin minta pendapat
bunda. Itu saja,” Aku benar-benar bingung, mau berkata apa? Serba salah.
“Jadi menurut bunda, setelah lulus STM ini kamu cari kerja saja dulu. Kamu
tidak merasa hina bukan untuk bekerja di pabrik?” Bunda menatapku. Aku
menggeleng.
“Jika kamu sudah bekerja, terserah jika kamu mau kuliah seperti ayu Ivo.”
“Itu juga baik, bunda,” Aku tersenyum
“Bunda tahu, pasti ada rasa kecewa di hatimu. Tapi hendak bagaimana lagi? Kamu
sendiri tahu, bunda tidak bekerja. Sedang ayu Heni sudah menikah. Ayu Ivo
kuliah dan ayu Wiwik sering telat gajiannya. Karena itu, keadaannya benar-benar
tidak ada uang lagi. Gaji mereka sebagai buruh pabrik hanya cukup untuk hidup
sehari-hari. Alhamdulillah, kamu dapat beasiswa. Namun, kalau kamu kuliah,
bagaimana mereka mau membantumu? Kamu mengertikan?”
“Saya mengerti, Bunda. Mengerti!”
“Sudah saatnya kamu yang berperan, Gun. Ayumu Wiwik sudah beberapa kali
dilamar, tapi selalu ditolak, karena kamu belum tamat sekolah. Ia takut, kalau
ia nikah, siapa yang membiayai kamu sekolah. Sedang ayu Ivo ia sendiri yang
membiayai kuliahnya. Dan juga bunda harus berpikir, bagaimana jika ia menikah,
sedang tanggung jawab atas bunda adalah dirimu. Tidak baik jika selalu menolak
lamaran orang. Bisa-bisa ayumu tidak ada yang mau. Maafkan Bunda, ya. Tapi
itulah kenyataannya.”
Hilang semua kata-kata yang telah aku siapkan. Aku akan bekerja sambil kuliah.
Tapi, aku sendiri tidak tahu, apa kerja sambilan yang aku impikan itu dapat
membiayai kuliahku dan juga hidup bunda?
Malam Ditemani Bintang (Menjelang Tidur)
Robb, mungkin inikah maksud atas wajah bunda dalam istikharahku itu? Aku telah
siap jika ini telah menjadi jalanku. Hamba ikhlas untuk melepas kesempatan itu.
Karena tak ada yang lebih baik dari ridho-Mu dan ridho ibu. Sebab di balik itu
ada surga yang Engkau janjikan.
Namun, hamba berharap berilah hamba kesabaran untuk menempuh jalan-Mu ini.
karena hamba sadar, jalan ini tidak akan semulus harapan dan impian hamba.
Usai Liburan (Lantera Jaya, Antar Kota Antar Propinsi)
Bekasi. Aku tahu aku akan kembali lagi kesana. Perasaanku semakin mantap untuk
menuruti kata-kata bunda. Saat ayu Ivo bilang, jika aku tidak kuliah dan
kembali ke Bekasi, ia minta aku mengajarinya tentang agama lebih dalam, ia juga
ingin menyempurnakan dien-nya dengan berjilbab.
Robb, ternyata Bekasi betul-betul tempat yang Engkau ridho. Disitu ada jihad
yang lebih besar. Membimbing keluargaku mencari kebahagiaan dunia dan akhirat.
Ayu Heni sudah pakai jilbab, ayu Ivo bilang ia sudah berniat. Aku berharap jika
aku di Bekasi nanti, aku juga bisa melihat bunda dan ayu Wiwik melakukan hal
yang sama.
Aku memandang laut lepas. Sebentar lagi akan hilang dari pandanganku. Di balik
laut itu ada tanah Jawa, tempat dimana bunda berada.
Do’a kan aku bunda. Aku akan selalu berusaha agar engkau tak kecewa. Bis melaju
kencang. Lampung, Kota Bumi, Raja Basa, Batu Raja, Simpang Meo, Tanjung Enim
dan berakhir di kota yang meninggalkan sepotong impian yang akan segera
kutinggalkan, Muara Enim.
Tiga Hari di Semester IV (Ruang Guru)
“Begitulah, Pak. Jadi…maaf, bukan saya bermaksud mengecewakan bapak. Tapi,
itulah yang jadi keputusan saya,” Aku menunduk tak berani menatap wajah Pak
Zulyadi. Wali kelas yang penuh perhatian kepadaku selama ini.
“Apakah kamu sudah memikirkannya matang-matang, Gun?” ulang Pak Zulyadi. Aku
tak bisa menjawab apa-apa.
“Bapak tahu kok, kamu kesulitan dana. Uang kuliah itu hanya berat pada tahun
pertama. Jika kamu sudah masuk, kamu bisa cuti, kalau memang berbentur dana.
Lalu, kamu bisa mencari kerja sambilan!?”
Aku tetap diam.
“Orangtua bapak juga miskin. Bapak dari Tangerang. Waktu ke Padang, cuma
membawa uang enam puluh ribu waktu itu. Uang sebanyak itu harus cukup untuk
mendaftar ulang. Kost satu bulan dan biaya makan satu bulan. Bapak malah pernah
jualan di kaki lima, jadi guru privat, bahkan tukang cuci piring di rumah
makan. Asal ada kemauan pasti ada jalan,” Pak Zulyadi menepuk pundakku.
“Tapi, apakah waktu itu orangtua bapak setuju bapak mengambil PMDK itu?”
Pak Zulyadi mengangguk. Ia menatapku penuh tanya.
“Di sini letak masalahnya, Pak!” Aku menelan ludah, “Ridho orangtua adalah
ridho Allah, Pak?” Aku menatap pak Zulyadi.
Seketika aku mempunyai suatu pemikiran, yang aku sendiri tidak tahu. Apa ini
bukti kedewasaanku? Atau hanyalah pikiran kanak-kanakku?
Aku merasa ada air bah yang ingin tertumpah. Air bah yang terbendung sejak dari
Bekasi. Tapi, aku tidak tahu. Akankah bendungan iba itu akan bobol di sini?
Jika aku kuliah. Lalu aku mendapatkan gelar. Dengan gelar dan keahlian yang aku
dapat, aku akan mencari kerja! Aku terdiam, mengumpulkan segenap tenaga agar
airmata ini tak mengalir lagi.
Dari kerja itu, aku akan menafkahi diri, keluarga dan orang-orang yang ku
cinta. Dan semua pasti tahu, kita hidup bukan hanya di sini, tapi ada tempat
yang lebih kekal. Robbi, air mata ini mengalir lagi. Ini semua karena kecintaan
hamba pada-Mu.
“Tugas kita di sini hanya mencari bekal sebagai ukuran kemuliaan di akhirat
sana. Dan bagaimana saya mempertanggungjawabkan semua itu di hadapan Allah,
Pak. Jika bekal yang saya bawa pulang tanpa ridho-Nya dan tanpa ridho bunda,
bagaimana jadinya?”
Air mata ini betul-betul mengalir deras. Namun ada perasaan plong di hatiku.
Lega karena beban ini sudah berkurang. Robb, hamba berharap, ini menjadi amal
ibadah hamba yang mengantarkan hamba ke surga-Mu.
Pak Zulyadi tersenyum. Kulihat matanya berkaca-kaca. Namun senyum itu lebih
indah dari biasanya. Semoga setelah ini semua akan baik-baik saja. Itu pintaku,
Robbi.
“Oh ini dia, Guntur!” Aku tersentak.
Suara kepala sekolah. Buru-buru ku sapu wajahku dengan tisu di atas meja Pak
Zulyadi.
“Maaf, Pak! Mengganggu sebentar! Pak kepala sekolah tersenyum ke arah Pak
Zulyadi.
“Tidak apa-apa. Ada yang bisa saya bantu, Pak?” Pak Zulyadi berdiri.
Mempersilahkan kepala sekolah duduk.
“Terima kasih. Saya hanya ingin memberi tahu kepada Guntur. Saya baru mendapat
surat dari ITB yang berisi tawaran PMDK. Setelah saya baca, dan meminta arsip
pada wakil kepala sekolah, bagian kurikulum dan kesiswaan.
Sepertinya hanya Guntur yang memenuhi syarat akademis dan non akademis untuk
itu.” Pak kepala sekolah menatapku dengan senyum manis
Ya Robbi, hanya itu yang terluncur dari hatiku. Aku menatap Pak Zulyadi. Mata
itu mendung. Aku tahu, ia tidak akan mampu memberiku lebih dari sekadar saran
dan aku tahu apa yang harus aku lakukan.
Yang aku tahu Allah pasti bersamaku. Mungkin ini hanya sekedar mengujiku.
Apakah aku betul-betul berbakti pada bunda? Robbku, ikhlaskan hamba ya, Rabb.
Beri hamba kebesaran hati karena Engkau tahu, cinta hamba pada bunda pada-Mu
jauh lebih besar daripada sekedar ITB. Karena surga-Mu jauh lebih indah.
Muara Enim-Bekasi, 2003-2004
Kini, aku berdiri dan berjalan di atas jalan yang Engkau pilihkan buat hamba,
Robbi. Walau hamba tidak tahu ujungnya, dan apa-apa yang akan hamba lalui,
tanpa hamba yakin di sana tercurah rahmat dan perlindungan-Mu .
Kutulis kembali dari Diary Biruku dengan penuh cinta.
Kupersembahkan untuk terkasih ayu-ayu tercinta serta kakak dan keponakanku
tersayang. Lalu, tancapkan satu tekad, selamat tinggal mimpi!
@@@
Cerita ini selesai kukumpulkan dari Diary Biru, saat aku menangis bersama
curahan hatiku pada Allah. Karena teman-temanku tersayang SMS aku, mereka
bilang mereka sudah kuliah di Jogya, Bandung, Bengkulu, Palembang dll. Untuk
yang masih ikut tes, ku doakan agar diterima. Dan doakan aku supaya cepat dapat
kerja. Amin.
Guntur Alam
Ramadhan 1425 H
Robb, Ramadhan siang ini terasa mendung di hati. Padahal beberapa hari lagi
hari bulan kemenangan itu akan datang. Hamba sadar Robb, selalu ada air mata menjelang
datang dan perginya bulan penuh kemuliaan itu. Tangis bahagia karena berjumpa,
serta tangis kesedihan karena takut tak lagi bersua.
“Seandainya umatku tahu kemuliaan yang terdapat dalam bulan Ramadhan, tentu
mereka ingin semua bulan adalah bulan Ramadhan.”
Kata-kata itu adalah tenaga di saat letih menyandera, dan makanan dan minuman
di saat lapar. Tapi, mendung ini bukan karena Ramadhan ya, Robb. Namun, sebuah
ridho yang tertangguh dari mulut seorang ibu.
Robb, sadarkan hamba dalam ujian ini. Hamba meyakini, Engkau tidak akan pernah
memberikan ujian tanpa kekuatan hamba memikulnya. Dan hamba yakin segala yang
Engkau berikan pada hamba adalah yang terbaik buat hamba. Sadarkan hamba ya,
Robb!
Desember 2003
Ya Robb, hamba telah melewati malam-malam ini dengan tahajud dan istikharah.
Namun rupanya, jawaban itu belum Engkau beri juga. Hamba yakin, Engkau akan
memberi jawaban atas kebingungan serta keraguan hamba ini. Hamba tak ingin
salah jalan ya, Robb. Hamba tak ingin melangkah tanpa ridho-Mu, juga tanpa
ridho bunda. Robbku, berilah jawaban itu. Jawaban atas dua buah jalan agar
hamba tak salah dalam melangkah.
Januari 2004 (Menjelang Libur Semester)
Dada ini berdebar. Jantung ini gemuruh. Apa ini jawaban-Mu atas tanya hamba ya,
Robb? Hamba berlindung dari musuh yang nyata itu. Namun hamba sadar Robb, tidak
semua hal yang Engkau beri pada hamba sesuai dengan kehendak hamba. Tapi, hamba
yakin itulah yang terbaik dari-Mu buat hamba.
“Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia baik bagimu; dan boleh jadi kamu
menyukai sesuatu padahal ia buruk bagimu…” Aku menulis itu di tengah curhatku
pada Robbku.
Ya Robb, dalam sujud dan airmata istikharah ini, Kau kirim wajah bunda yang
penuh air mata. Apa artinya, Robbi? Ini malam ketiga Kau bayangi sujud hamba
dengan wajah bunda. Apa aku harus ikut saran bunda saat pertama kalinya aku
mengutarakan keinginanku untuk kuliah? Haruskah setelah lulus STM ini hamba
pulang ke Bekasi dan mencari kerja seperti keinginan Bunda? Haruskah hamba
melepaskan PMDK ke Universitas Negeri Padang? Juga ke UNY? Robbi, sangat berat
bagi hamba untuk memutuskan. Bimbinglah hamba, agar hamba tidak salah langkah
ya, Robb.
Januari 2004 (1 Hari Menjelang Bagi Rapor)
Robb, tadi hamba menelepon bunda. Ketika aku bercerita tentang PMDK ke Padang,
Bunda seperti menghindar. Bunda bilang luluskan dulu STM, baru pikirkan kuliah.
Aku menangkap makna tersirat di sana. Bukankah PMDK diikuti sebelum kelulusan?
Kalau sudah lulus, itu artinya…?
Apa bunda tak meridhoi keinginanku itu? Apa bunda masih tetap dengan
keinginannya, supaya aku mencari kerja dulu, barulah nanti kuliah? Hamba akan
tahu semua itu jika libur ini hamba bertemu dan bicara dari hati ke hati dengan
bunda..
Libur Semester (Bis Antar Kota Antar Propinsi, Lantera Jaya)
Aku duduk termangu di samping jendela. Pohon-pohon yang berkejaran seakan tak
mampu mengusir cemasku. Aku sadar, sesuatu yang tidak kuharapkan bisa saja
terwujud dalam hitungan detik.
Namun, aku tahu, Bekasi dan Padang adalah masa depanku. Tapi, siapakah yang
tahu apa yang bermain di kepalaku? Akankah aku ikut saran bunda, berbaur dengan
ribuan pengangguran untuk mengadu nasib, sedangkan pendidikanku cuma tamatan
STM?
Atau impian untuk menimba ilmu di tengah hausnya aku mencari bekal untuk sebuah
perjalanan pulang, akan jadi angan-angan tiada kesudahan?
Bis bergerak perlahan. Suasana khas kota metropolitan menyergapku. Macet! Debur
hatiku belum reda sedikitpun jua. Entah, kata apa yang akan terucap olehku,
bila nanti sudah berada di hadapan bunda?
Ba’dha Isya (Di Bekasi)
Robbku, lidah ini terasa kelu di saat hati ini mengomandoi untuk memulai
percakapan dengan bunda. Entah kemana seluruh kata yang telah terangkai dari
Muara Enim? Seakan ikut hanyut dalam deburan ombak selat Sunda. Bukannnya hamba
tak ada keberanian ya, Robb. Tapi, hamba bingung harus memulainya darimana? Ada
cemas jika hamba salah kata dan berbalut kabut hati iba, jika kata itu berbuah
luka di hati bunda.
Robb, telah hamba pikirkan. Hamba mohon ridho-Mu! Beri hamba kekuatan untuk
menyelesaikan masalah ini. Karena bagaimanapun, ini harus berakhir. Telah hamba
bulatkan tekad, besok adalah waktu yang tepat. Di saat Ayu Ivo dan Ayu Wiwik
berangkat kerja, aku akan mengajak bunda berbicara. Beri hamba kekuatan ya,
Robb!
Liburan Hari Ke-2 (Dalam Debar)
Ya, Allah, hamba tahu, saat ini Engkau pasti melihat hamba. Tak sabar rasanya
hamba memandang jarum jam. Tapi, berkilat takut saat mulut mulai bergerak.
Hamba takut karena belum ada keberanian untuk memulai. Tapi, hamba tak sabar
karena memang ini yang hamba inginkan.
“Bunda, apakah kita bisa bicara sebentar?”
Bunda menghentikan pekerjaannya. Ia sedang sibuk mencuci piring. Sengaja
kupakai kata-kata kita itu, agar rasa takut ini berkurang. Takut kalau-kalau
kataku berbuah luka di hati bunda.
“Bisa. Ada apa, Gun?” Bunda kelihatan penasaran.
Aku tak segera menjawab. Tanganku meraih piring-piring itu. Aku cekatan
mencuci, lalu membilasnya.
“Ini mengenai PMDK, bunda,” Aku lirih.
Nyaris tak terdengar. Sekali lagi bunda menghentikan tangannya. Ia menatapku.
Dan mata itu seketika berkaca-kaca.
Ya Robb, apa yang hamba lakukan? Hamba tak berniat melukai hatinya. Hamba tak
berniat membuat bunda berduka.
“Bunda tahu, Gun. Tapi jikalau bunda boleh memberi pendapat, apa kamu mau
mendengar?” mata bunda menyiratkan keseriusan dari biasa.
Aku mengangguk.
“Maksud Bunda…kamu tahu mengapa dari usia sekolahmu, kita sudah terpisah?”
“Iya, Bunda. Karena biaya sekolah di Sumatera, tempat kakek jauh lebih murah
daripada di sini!” Aku menjawabnya setengah yakin, tapi itu memang alasan yang
tepat.
“Sebab, kalau Bunda bersikeras menyekolahkanmu di sini, kamu tidak akan pernah
mampu mengenyam bangku STM seperti saat ini. Karena kita tidak akan mampu, kita
tidak akan mempunyai uang untuk itu, Gun.”
Hatiku sepertinya telah mampu membaca akhir dari pembicaraan ini.
“Itu juga yang menjadi alasan, kenapa ketiga ayumu sekolah di Sumatera. Kau
mengerti, Nak?”
“Iya, Bunda!”
Tulang-tulangku serasa dilolosi semua. Tidak, aku telah siap mendengar jawaban
ini.
“Dulu waktu ayumu Ivo mau lulus, ia juga menerima PMDK seperti ini. Tapi, kamu
tahu bukan? Biaya kuliah tidaklah sedikit. Bukannya bunda tidak mau kalian
menjadi orang berpendidikan. Bukan, nak. Tapi, bunda benar-benar tidak mampu,”
Bunda menyeka buliran bening yang mengalir pelan di pipinya.
“Ibu mana yang tidak berharap anaknya mempunyai gelar? Lalu bekerja di
tempat-tempat yang layak. Ibu mana yang tidak bangga berdiri di samping
putera-puteri yang memegang toga saat wisuda? Bunda juga ingin, nak.
Menyaksikan kalian berjalan dengan gagah berbalut baju wisuda itu. Tapi,
bunda….,” Bunda tergugu.
“Iya Bunda. Sudahlah, Gun juga tidak memaksa. Gun hanya ingin minta pendapat
bunda. Itu saja,” Aku benar-benar bingung, mau berkata apa? Serba salah.
“Jadi menurut bunda, setelah lulus STM ini kamu cari kerja saja dulu. Kamu
tidak merasa hina bukan untuk bekerja di pabrik?” Bunda menatapku. Aku
menggeleng.
“Jika kamu sudah bekerja, terserah jika kamu mau kuliah seperti ayu Ivo.”
“Itu juga baik, bunda,” Aku tersenyum
“Bunda tahu, pasti ada rasa kecewa di hatimu. Tapi hendak bagaimana lagi? Kamu
sendiri tahu, bunda tidak bekerja. Sedang ayu Heni sudah menikah. Ayu Ivo
kuliah dan ayu Wiwik sering telat gajiannya. Karena itu, keadaannya benar-benar
tidak ada uang lagi. Gaji mereka sebagai buruh pabrik hanya cukup untuk hidup
sehari-hari. Alhamdulillah, kamu dapat beasiswa. Namun, kalau kamu kuliah,
bagaimana mereka mau membantumu? Kamu mengertikan?”
“Saya mengerti, Bunda. Mengerti!”
“Sudah saatnya kamu yang berperan, Gun. Ayumu Wiwik sudah beberapa kali
dilamar, tapi selalu ditolak, karena kamu belum tamat sekolah. Ia takut, kalau
ia nikah, siapa yang membiayai kamu sekolah. Sedang ayu Ivo ia sendiri yang
membiayai kuliahnya. Dan juga bunda harus berpikir, bagaimana jika ia menikah,
sedang tanggung jawab atas bunda adalah dirimu. Tidak baik jika selalu menolak
lamaran orang. Bisa-bisa ayumu tidak ada yang mau. Maafkan Bunda, ya. Tapi
itulah kenyataannya.”
Hilang semua kata-kata yang telah aku siapkan. Aku akan bekerja sambil kuliah.
Tapi, aku sendiri tidak tahu, apa kerja sambilan yang aku impikan itu dapat
membiayai kuliahku dan juga hidup bunda?
Malam Ditemani Bintang (Menjelang Tidur)
Robb, mungkin inikah maksud atas wajah bunda dalam istikharahku itu? Aku telah
siap jika ini telah menjadi jalanku. Hamba ikhlas untuk melepas kesempatan itu.
Karena tak ada yang lebih baik dari ridho-Mu dan ridho ibu. Sebab di balik itu
ada surga yang Engkau janjikan.
Namun, hamba berharap berilah hamba kesabaran untuk menempuh jalan-Mu ini.
karena hamba sadar, jalan ini tidak akan semulus harapan dan impian hamba.
Usai Liburan (Lantera Jaya, Antar Kota Antar Propinsi)
Bekasi. Aku tahu aku akan kembali lagi kesana. Perasaanku semakin mantap untuk
menuruti kata-kata bunda. Saat ayu Ivo bilang, jika aku tidak kuliah dan
kembali ke Bekasi, ia minta aku mengajarinya tentang agama lebih dalam, ia juga
ingin menyempurnakan dien-nya dengan berjilbab.
Robb, ternyata Bekasi betul-betul tempat yang Engkau ridho. Disitu ada jihad
yang lebih besar. Membimbing keluargaku mencari kebahagiaan dunia dan akhirat.
Ayu Heni sudah pakai jilbab, ayu Ivo bilang ia sudah berniat. Aku berharap jika
aku di Bekasi nanti, aku juga bisa melihat bunda dan ayu Wiwik melakukan hal
yang sama.
Aku memandang laut lepas. Sebentar lagi akan hilang dari pandanganku. Di balik
laut itu ada tanah Jawa, tempat dimana bunda berada.
Do’a kan aku bunda. Aku akan selalu berusaha agar engkau tak kecewa. Bis melaju
kencang. Lampung, Kota Bumi, Raja Basa, Batu Raja, Simpang Meo, Tanjung Enim
dan berakhir di kota yang meninggalkan sepotong impian yang akan segera
kutinggalkan, Muara Enim.
Tiga Hari di Semester IV (Ruang Guru)
“Begitulah, Pak. Jadi…maaf, bukan saya bermaksud mengecewakan bapak. Tapi,
itulah yang jadi keputusan saya,” Aku menunduk tak berani menatap wajah Pak
Zulyadi. Wali kelas yang penuh perhatian kepadaku selama ini.
“Apakah kamu sudah memikirkannya matang-matang, Gun?” ulang Pak Zulyadi. Aku
tak bisa menjawab apa-apa.
“Bapak tahu kok, kamu kesulitan dana. Uang kuliah itu hanya berat pada tahun
pertama. Jika kamu sudah masuk, kamu bisa cuti, kalau memang berbentur dana.
Lalu, kamu bisa mencari kerja sambilan!?”
Aku tetap diam.
“Orangtua bapak juga miskin. Bapak dari Tangerang. Waktu ke Padang, cuma
membawa uang enam puluh ribu waktu itu. Uang sebanyak itu harus cukup untuk
mendaftar ulang. Kost satu bulan dan biaya makan satu bulan. Bapak malah pernah
jualan di kaki lima, jadi guru privat, bahkan tukang cuci piring di rumah
makan. Asal ada kemauan pasti ada jalan,” Pak Zulyadi menepuk pundakku.
“Tapi, apakah waktu itu orangtua bapak setuju bapak mengambil PMDK itu?”
Pak Zulyadi mengangguk. Ia menatapku penuh tanya.
“Di sini letak masalahnya, Pak!” Aku menelan ludah, “Ridho orangtua adalah
ridho Allah, Pak?” Aku menatap pak Zulyadi.
Seketika aku mempunyai suatu pemikiran, yang aku sendiri tidak tahu. Apa ini
bukti kedewasaanku? Atau hanyalah pikiran kanak-kanakku?
Aku merasa ada air bah yang ingin tertumpah. Air bah yang terbendung sejak dari
Bekasi. Tapi, aku tidak tahu. Akankah bendungan iba itu akan bobol di sini?
Jika aku kuliah. Lalu aku mendapatkan gelar. Dengan gelar dan keahlian yang aku
dapat, aku akan mencari kerja! Aku terdiam, mengumpulkan segenap tenaga agar
airmata ini tak mengalir lagi.
Dari kerja itu, aku akan menafkahi diri, keluarga dan orang-orang yang ku
cinta. Dan semua pasti tahu, kita hidup bukan hanya di sini, tapi ada tempat
yang lebih kekal. Robbi, air mata ini mengalir lagi. Ini semua karena kecintaan
hamba pada-Mu.
“Tugas kita di sini hanya mencari bekal sebagai ukuran kemuliaan di akhirat
sana. Dan bagaimana saya mempertanggungjawabkan semua itu di hadapan Allah,
Pak. Jika bekal yang saya bawa pulang tanpa ridho-Nya dan tanpa ridho bunda,
bagaimana jadinya?”
Air mata ini betul-betul mengalir deras. Namun ada perasaan plong di hatiku.
Lega karena beban ini sudah berkurang. Robb, hamba berharap, ini menjadi amal
ibadah hamba yang mengantarkan hamba ke surga-Mu.
Pak Zulyadi tersenyum. Kulihat matanya berkaca-kaca. Namun senyum itu lebih
indah dari biasanya. Semoga setelah ini semua akan baik-baik saja. Itu pintaku,
Robbi.
“Oh ini dia, Guntur!” Aku tersentak.
Suara kepala sekolah. Buru-buru ku sapu wajahku dengan tisu di atas meja Pak
Zulyadi.
“Maaf, Pak! Mengganggu sebentar! Pak kepala sekolah tersenyum ke arah Pak
Zulyadi.
“Tidak apa-apa. Ada yang bisa saya bantu, Pak?” Pak Zulyadi berdiri.
Mempersilahkan kepala sekolah duduk.
“Terima kasih. Saya hanya ingin memberi tahu kepada Guntur. Saya baru mendapat
surat dari ITB yang berisi tawaran PMDK. Setelah saya baca, dan meminta arsip
pada wakil kepala sekolah, bagian kurikulum dan kesiswaan.
Sepertinya hanya Guntur yang memenuhi syarat akademis dan non akademis untuk
itu.” Pak kepala sekolah menatapku dengan senyum manis
Ya Robbi, hanya itu yang terluncur dari hatiku. Aku menatap Pak Zulyadi. Mata
itu mendung. Aku tahu, ia tidak akan mampu memberiku lebih dari sekadar saran
dan aku tahu apa yang harus aku lakukan.
Yang aku tahu Allah pasti bersamaku. Mungkin ini hanya sekedar mengujiku.
Apakah aku betul-betul berbakti pada bunda? Robbku, ikhlaskan hamba ya, Rabb.
Beri hamba kebesaran hati karena Engkau tahu, cinta hamba pada bunda pada-Mu
jauh lebih besar daripada sekedar ITB. Karena surga-Mu jauh lebih indah.
Muara Enim-Bekasi, 2003-2004
Kini, aku berdiri dan berjalan di atas jalan yang Engkau pilihkan buat hamba,
Robbi. Walau hamba tidak tahu ujungnya, dan apa-apa yang akan hamba lalui,
tanpa hamba yakin di sana tercurah rahmat dan perlindungan-Mu .
Kutulis kembali dari Diary Biruku dengan penuh cinta.
Kupersembahkan untuk terkasih ayu-ayu tercinta serta kakak dan keponakanku
tersayang. Lalu, tancapkan satu tekad, selamat tinggal mimpi!
@@@
Cerita ini selesai kukumpulkan dari Diary Biru, saat aku menangis bersama
curahan hatiku pada Allah. Karena teman-temanku tersayang SMS aku, mereka
bilang mereka sudah kuliah di Jogya, Bandung, Bengkulu, Palembang dll. Untuk
yang masih ikut tes, ku doakan agar diterima. Dan doakan aku supaya cepat dapat
kerja. Amin.
Tue Aug 01, 2023 9:56 pm by wisatasemarang
» Portable STATA 18 Crack Full Version
Thu May 11, 2023 5:24 pm by wisatasemarang
» NVivo 12 Crack Full version
Mon Jan 30, 2023 11:16 am by wisatasemarang
» Tutorial Difference In difference (DID (Diff-in-Diff) With Eviews 13
Thu Nov 03, 2022 6:24 am by wisatasemarang
» Online Workshop Smart PLS Minggu, 01 Oktober 2022
Sat Sep 17, 2022 11:35 am by wisatasemarang
» kumpulan ebook tentang robot
Fri Jan 02, 2015 10:04 pm by kyuru
» MANTRA PELET
Wed May 16, 2012 3:31 am by orlandojack
» book love of spell
Sat Mar 24, 2012 8:08 pm by rifqi as
» attraction Formula
Sat Mar 24, 2012 7:09 pm by rifqi as