Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

ingin bergabung dengan elrakyat.tk klik pendaftaran. jika anda sudah pernah mendaftar silakan login. jangan lupa ajak kawan-kawanmu ke mari , dan jadilah top poster di forum kita

Join the forum, it's quick and easy

Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

ingin bergabung dengan elrakyat.tk klik pendaftaran. jika anda sudah pernah mendaftar silakan login. jangan lupa ajak kawan-kawanmu ke mari , dan jadilah top poster di forum kita

Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

Would you like to react to this message? Create an account in a few clicks or log in to continue.
Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

salah satu forum terbesar tempat kita bernostalgia

Login

Lupa password?

Our traffic

info rakyat

Sun Oct 31, 2010 9:05 pm by admin

---------------
PEMBERITAHUAN....

SF ZONA RELIGI SEKARANG KAMI PINDAH KE [You must be registered and logged in to see this link.] ANDA BISA BERPARTISIPASI DAN MENJADI MODERATOR SESUAI PERMINTAAN ANDA DENGAN REQUEST VIA SMS NO ADMIN 081945520865


Sekilas Info

Sun Jun 27, 2010 2:44 pm by admin

kabar gembira, forum lentera-rakyat mulai hari ini juga bisa diakses melalui [You must be registered and logged in to see this link.]


    warna melati yang tersisa

    admin
    admin
    Admin
    Admin


    Zodiac : Virgo Jumlah posting : 688
    Join date : 19.03.10
    Age : 36
    Lokasi : Malang-Indonesia

    warna melati yang tersisa Empty warna melati yang tersisa

    Post by admin Tue Jun 15, 2010 12:35 pm

    Wangi Melati yang Tersisa


    Cerpen: Damhuri Muhammad





    "Aku tak
    takut mati, Jauhara! Bukankah hidup hanya sekAdar menunggu antrian di loket
    kematian?"*)



    Benar! Tak ada
    yang mampu menolak ajal. Tapi, kenapa ia memilih cara mati sebagai pezina yang dirajam
    menjelang malam?**) Tak bisakah ia menjemput maut dengan cara yang lebih
    bermartabat? Mati sebagai ibu saat memacakkan janin dari rahimnya. Mati sebagai
    pejuang yang terbunuh tatkala meneriakkan yel-yel tuntutan kenaikan gaji buruh
    perempuan, atau mati syahid di tiang gantungan. Bukan mati dengan cara
    memasrahkan tubuh sintalnya pada lemparan batu yang mencabik-cabik kulit
    wajahnya. Mati terjungkal sebagai pendosa yang tertangkap basah bersenggama
    dengan lelaki begundal di remang senja.



    Seingat Jauhara,
    itulah cara mati paling keparat yang pernah disaksikannya. Mayatnya menelentang
    di bibir trotoar. Darah masih mengucur di pipinya yang lebam, menetes perlahan
    di permukaan leher jenjangnya. Tak terlihat lagi alis mata lebat dan bertaut
    itu, juga rapi susunan giginya saat mengumbar senyum. Begitu pun aura memikat
    yang menyemburat dari sepasang mata elangnya. Musnah sudah! Pelipisnya pecah,
    berdarah-darah. Ia bukan siapa-siapa lagi, hanya bangkai yang tak akan
    dikuburkan. Tak ada tanah pemakaman bagi mayat pezina di kota ini.



    Meisya, begitu
    Jauhara memanggilnya. Nama yang ringkas. Seringkas jeda waktu ia berkeputusan
    pensiun sebagai sundal paling laris. Dia meninggalkan dunia hitam dan tiba-tiba
    menyatakan cinta pada Jauhara, persis di saat puluhan lelaki ingin menikmati
    ranum tubuhnya.



    "Aku tak
    akan melacur lagi jika sudah menjadi binimu!" janji Meisya seperti
    bersijujur.



    "Menikah
    denganku hanya menurunkan derajat kepelacuranmu!. Aku tak akan membayarmu
    seperti puluhan lelaki itu membelimu!" balas Jauhara, setengah menolak.



    "Aku
    ingin menjemput maut saat berada dalam genggamanmu! Jadikan aku istri syahmu,
    Jauhara!" pinta Meisya lagi.



    Kota rebah di
    belantara sunyi yang pekat. Tak riuh dari deru mesin kendaraan. Dentang klakson
    bis malam pun tak terdengar. Sunyi. Tapi, Jauhara tak hendak beranjak, masih
    duduk membatu di samping Meisya, seonggok bangkai pezina yang dibantai dengan
    cara paling keji.



    "Katanya
    kau ingin mati sebagai perempuan terhormat, kenapa kau tinggalkan aku? Lalu,
    kau serahkan tubuhmu pada lelaki iblis itu, hingga orang-orang di seantero kota
    ramai-ramai merajammu," batin Jauhara, menggerutu. "Atau memang sudah
    lumrah, pelacur kembali menjadi sundal?" gerutunya lagi.



    Disekanya
    bercak-bercak darah pada pipi kanan mayat Meisya. Diusapnya bekas-bekas luka di
    kuduknya. Diselimutinya bangkai itu dengan sobekan kain spanduk yang
    direnggutnya dari pagar di pinggir traffic light. Diciumnya leher mayat
    Meisya. Dipeluknya. Didekapnya. Andai Jauhara masih bisa menangis, tentu ia
    akan meratap sejadi-jadinya. Tapi, sejak kepergian Meisya ia tak punya air mata
    lagi. Mungkin tangisnya jatuh ke dalam, ke sebuah liang di ulu hatinya,
    menggenang di sana. Ia tak mampu mengukur seberapa dalam genangan tangisnya
    kini.



    Meisya memang
    sudah terbujur jadi mayat. Tapi, Jauhara tak lupa raut wajahnya, karakter
    senyumnya, sorot tajam yang memancar dari mata coklatnya. Motif gaun pengantin
    yang dikenakannya pada upacara pernikahan sederhana -- tanpa pesta, tanpa doa,
    tanpa restu. Mayat itu pernah menjadi perempuannya. Dulu, mereka hidup di kota
    yang sama, rumah yang sama, kamar yang sama, bahkan selimut yang sama. Jauhara
    tak lupa, karena ia sangat merindukan Meisya.



    Setahun lalu,
    Meisya hengkang dari hidup Jauhara. Tubuhnya berpindah ke genggaman lelaki
    lain. Rebah dan bersandar di dada bidang lelaki itu. Jauhara pun sudah berhenti
    mencarinya. Bukan karena lelah. Tapi, karena sudah mustahil merebut tubuh
    istrinya yang sedang dalam genggaman lelaki jahannam itu. "Barangkali kau
    tak sungguh-sungguh ingin berhenti melacur!" umpat Jauhara waktu itu.



    Bersusah payah
    Jauhara hendak menguburkan hasrat rindu pada Meisya. Ingin dilupakannya
    kenangan tentang segelas kopi panas dan sepiring pisang goreng yang tersuguh
    dengan tatapan teduh. Tentang tawa riang yang menyejukkan, bahkan tentang
    kecupan malam yang menyisakan basah di kening Meisya. Telah dipijak-pijaknya
    kenangan itu dengan hentakan langkah kaki dalam rentang panjang tualangnya.



    Tapi, wangi
    Melati yang berasal dari lenguh nafas Meisya masih melekat di kedua belah
    telapak tangannya, lehernya, kuduknya, dan dada tipisnya. Hari ke hari, bau
    khas tubuh Meisya yang tertinggal di tubuh Jauhara itu kian menyengat. Tubuhnya
    menjelma ladang tempat tumbuh suburnya harum Melati, puing peninggalan Meisya.
    Berurat, berakar, dan berkelindan dengan daging pembalut belulangnya.



    Sejak
    kepergian Meisya, tak terhitung entah berapa banyak bau tubuh perempuan yang
    telah dihisap Jauhara. Demi mengusir yang satu, Jauhara mengundang yang banyak.
    Demi melupakan kenikmatan yang satu ia menciptakan kenikmatan yang banyak. Demi
    menguburkan kenangan yang satu ia merajut kenangan yang banyak. Kenangan dengan
    sekian banyak perempuan.



    Tubuhnya
    manifestasi kutu loncat yang berpindah-pindah dari satu tempat hinggap ke
    tempat hinggap yang lain. Sehari pun, Jauhara tak pernah kekosongan perempuan.
    Seringkali ia kesulitan menyatakan penolakan secara halus. Meski menolak yang
    satu, esoknya ia kedatangan perempuan lain. Tak pernah putus. Satu demi satu
    datang menghampirinya, menyandar di dadanya, mempersilakan Jauhara menghisap
    aroma tubuhnya. Setelah Jauhara puas, mereka pergi. Lalu, datang lagi perempuan
    baru.



    Nyaris pada
    setiap perempuan itu, Jauhara bermohon agar mereka berkenan meninggalkan bau
    tubuh masing-masing di tubuhnya. Untuk memusnahkan wangi melati sisa-sisa
    peninggalan perempuan masa lalunya. Sialnya, tak satu perempuan pun yang
    mengabulkan permintaan lelaki itu.



    "Bukan
    aku tak mau, tapi tak mampu! Wangi anyelirku tak mampu membunuh harum melati
    tubuhnya!" kilah seorang perempuan menolak keinginan Jauhara.



    "Mana
    mungkin wangi anggrekku mematikan melati di tubuhmu, Jauhara? Kau tak
    sungguh-sungguh ingin membunuhnya. Diam-diam kau masih menikmatinya
    bukan?" kata perempuan yang lain lagi.



    Suatu hari, ia
    kedatangan perempuan yang bukan hanya cantik, tapi juga cerdas. Ia tergila-gila
    pada kecerdasan perempuan itu. Baginya, bagian paling seksi dari tubuh
    perempuan adalah otaknya.***) Bukan betis bunting padinya, bukan pula lentik
    bulu matanya, tidak juga ramping pinggangnya. Lagi-lagi, tak ada keinginan yang
    hendak diraihnya dari perempuan itu, kecuali memintanya meninggalkan bekas bau
    tubuhnya di tubuh Jauhara.



    "Maafkan
    aku, Jauhara! Aku tak mampu menghapus wangi melati di tubuhmu dengan harum
    mawar tubuhku!" kata perempuan itu.



    "Kenapa?
    Ada apa denganmu?" balas Jauhara, ganti bertanya. Heran. "Tak ada
    lagi aroma mawar di tubuhku!" jawabnya. Jujur. "Lelaki mana yang
    telah menghisap wangi mawarmu?" "Tak ada lelaki dalam hidupku sejak
    aku mengenalmu!"



    "Lalu?"


    "Wangi
    mawarku sudah mati terbunuh oleh harum melati di tubuhmu, sisa bau tubuh
    perempuan masa lalumu itu!" jawab perempuan itu.



    "Jika
    tubuhmu tak memiliki harum mawar lagi, bagaimana cara memusnahkan wangi melati
    di tubuhku?" tanya Jauhara lagi.



    "Cari
    perempuan itu! Bermohonlah agar ia mau merenggutnya dari tubuhmu!"



    "Jika ia
    tidak mau?"



    "Hanya
    ada satu cara, Jauhara!"



    "Apa cara
    itu, sayang?"



    "Wangi
    melati itu telah menjelma bayangan yang selalu akan membuntutimu. Sulit sekali
    membunuh bayangan itu, Jauhara! Tapi, jika kau memang hendak memusnahkannya,
    maka bunuhlah dirimu! Wangi Melati di tubuhmu pasti akan mati, mengiringi
    kematianmu!"



    Jauhara pun
    tak takut mati. Tapi, ia tak akan memilih cara mati sebagai pezina yang dirajam
    menjelang malam. Akan dijemputnya maut dengan cara lebih khidmat. Bahkan,
    (kalau bisa) cara mati yang lebih nikmat. Demi mematikan wangi melati yang
    bersarang di tubuhnya, Jauhara harus membunuh dirinya. Direguknya sebotol soft
    drink
    yang telah dicampur larutan berisi bubuk arsenik.



    Tak lama
    berselang, hawa tubuhnya panas. Cairan di dalam usus-ususnya mendidih. Sulit
    sekali ia mengendalikan detak jantung. Kian lama kian kencang. Jauhara
    mengerang kesakitan. Sesaat sebelum tubuhnya hilang keseimbangan dan tersungkur
    di pinggir trotoar di samping mayat Meisya, masih sempat dibisikkannya
    sepenggal kalimat perpisahan:



    "Sampai
    jumpa di Neraka yang sama, Meisya!"




    Yogyakarta, Agustus 2004

      Waktu sekarang Thu May 09, 2024 5:00 am