Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

ingin bergabung dengan elrakyat.tk klik pendaftaran. jika anda sudah pernah mendaftar silakan login. jangan lupa ajak kawan-kawanmu ke mari , dan jadilah top poster di forum kita

Join the forum, it's quick and easy

Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

ingin bergabung dengan elrakyat.tk klik pendaftaran. jika anda sudah pernah mendaftar silakan login. jangan lupa ajak kawan-kawanmu ke mari , dan jadilah top poster di forum kita

Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

Would you like to react to this message? Create an account in a few clicks or log in to continue.
Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

salah satu forum terbesar tempat kita bernostalgia

Login

Lupa password?

Our traffic

info rakyat

Sun Oct 31, 2010 9:05 pm by admin

---------------
PEMBERITAHUAN....

SF ZONA RELIGI SEKARANG KAMI PINDAH KE [You must be registered and logged in to see this link.] ANDA BISA BERPARTISIPASI DAN MENJADI MODERATOR SESUAI PERMINTAAN ANDA DENGAN REQUEST VIA SMS NO ADMIN 081945520865


Sekilas Info

Sun Jun 27, 2010 2:44 pm by admin

kabar gembira, forum lentera-rakyat mulai hari ini juga bisa diakses melalui [You must be registered and logged in to see this link.]


    Qur'an bersmul hijau

    admin
    admin
    Admin
    Admin


    Zodiac : Virgo Jumlah posting : 688
    Join date : 19.03.10
    Age : 37
    Lokasi : Malang-Indonesia

    Qur'an bersmul hijau Empty Qur'an bersmul hijau

    Post by admin Tue Jun 15, 2010 12:08 am

    Al Quran Bersampul Hijau


    Malam
    itu pandanganku melayang cepat pada sederetan buku yang berjajar di rak ruang
    tamuku, tepatnya pada Tafsir Quran karya Muhammad Ali yang paling menyolok
    tebalnya. Secepat itu pula aku teringat kepada si empunya yang tadi pagi
    mengirimkan pesan dari Indonesia yang saya terima sebelum berangkat kerja.
    “Mas! Hancur sudah semua harapanku! Aku dicerai Mas Ahmad dari Saudi!” Begitu
    bunyi SMS terakhir yang saya terima dari Frida.



    Setahun
    sudah ia berada di Indonesia, tanpa kegiatan yang berarti. Saya sempat
    terhentak membaca pesan tersebut karena sebulan sebelumnya Frida mengirimkan
    berita gembira, “Hari ini aku menikah. Doakan kami agar digolongkan oleh Allah
    SWT kedalam keluarga yang penuh barokah dan rahmah!” Alhamdulillah. Ucapku,
    setengah berbisik kepada diri sendiri. Akhirnya kamu memperoleh jodoh yang
    insyaAllah lebih baik bagimu dari pada mengarungi hidup yang selama ini tanpa
    tentu arah. “Selamat menempuh hidup baru”, balasan kiriman SMS saya.



    Seperti
    yang seringkali saya bilang kepadanya, bahwa Allah SWT pasti akan memberikan
    yang terbaik. Tapi yang ini, ya...Allah..., kenapa harus menimpa dia untuk yang
    ketiga kalinya? Sesudah SMS itu, saya tidak lagi mendengar kabarnya. Saya
    membayangkan apakah dia sempat beristighfar pada bulan suci Ramadan ini.
    Istighfar akan menyucikan diri manusia dari segala dosa-dosa yang telah
    dilakukan dimasa lalu. Apalagi pada bulan mulia ini. MasyaAllah, dosa apa yang
    diperbuat olehnya sehingga derita demi derita terus menimpanya ya... Allah?
    Tiga kali kawin-cerai! Pernikahan yang ketiganya hanya berusia tidak lebih dari
    sebulan!



    Saya
    mengenal Frida, seorang pembantu rumah tangga (PRT), lewat seorang PRT juga,
    yang kebetulan bekerja pada bos kantor kami. Dia menelepon saya hampir setiap
    saat menghadapi masalah, layaknya seorang konsultan psikologi! Sebagai seorang
    wanita asal desa, tujuan kerjanya di luar negeri begitu mulia. Ia ingin
    membalas budi baik orangtua angkatnya yang selama ini turut berjasa membesarkan
    dirinya. Menyenangkan hati mereka. Beberapa kali harus lompat kerja sebagai PRT
    dari negara satu ke lainnya, namun tujuannya belum teraih jua.



    Pertama
    kali ke luar negeri, ke Saudi Arabia, hanya berlangsung beberapa bulan saja.
    Belum lengkap yang namanya tabungan untuk sangu pulang, dia harus dijebloskan
    ke penjara gara-gara ‘tuduhan’ kriminalitas. Dia pukul kepala majikan anaknya
    dengan botol yang mencoba berbuat ‘kurang ajar’ kepadanya. Frida dipulangkan
    dengan hampir tanpa fulus di kantong. Pengalaman buruk pertama di luar negeri
    tidak membuat Frida ‘kapok’! Dia balik ke Indonesia, kemudian mencoba terbang
    lagi.



    Frida
    diambil sebagai anak angkat oleh keluarga Sadimin pada hari dia dilahirkan.
    Lain dengan kondisi orangtua kandungnya, keluarga Sadimin termasuk kurang
    mampu. Sadimin tidak memiliki pekerjaan tetap, rumahnya kecil terbuat dari
    anyaman bambu. Begitu menginjak usia dewasa, Frida berpikir bagaimana caranya
    memenuhi segala kebutuhan hidup ini. “Aku tidak mengerti kenapa aku diberikan
    kepada keluarga Pak Sadimin oleh kedua orangtuaku. Saya merasa bukan sebagai
    anak yang dikehendaki oleh Ibu kandungku. Itulah yang menyebabkan kenapa ikatan
    batinku dengan ibuku sendiri kurang erat”, katanya suatu hari seusai menerima
    sepucuk surat dari Ibu kandungnya di Indonesia, sementara dia kerja di UAE.
    Surat-surat Frida memang dialamatkan ke saya karena dia sering pindah-pindah
    alamatnya. Sejauh itu terjadi, dia tidak memiliki alamat yang tetap. Jadi apa
    salahnya jika saya dititipi surat-suratnya yang dari tanah air? “Dia
    membutuhkan sedikit bantuan!” demikian pikir saya..



    Faktor
    lain yang membuatnya ingin bekerja di luar negeri, ia ingin merubah taraf
    kehidupan dirinya sendiri. Sebagian dari penghasilan bulananya rutin dikirim ke
    Indonesia. Sayangnya, bapak angkatnya kurang bijaksana memanfaatkan uang
    kirimannya. Bapak angkatnya masih suka bermain judi, suatu kebiasaan buruk yang
    begitu mengakar di masyarakat desanya. Bahkan barang-barang berharga hingga
    elektronik hasil pembelian Frida banyak yang digadaikannya. Hal itu membuat
    Frida prihatin sekaligus jengkel karena merasa tidak dihargai jerih payahnya.
    Kejadian itu terus berlangsung begitu lama. “Sudah miskin harta, miskin pula iman”,
    begitu Frida mengistilahkan kondisi bapak angkatnya. Sementara sikap dia
    terhadap ibu angkatnya, karena sedari kecil diasuhnya, kasih sayang Frida
    kepadanya begitu kuat. Jauh melebihi sikapnya terhadap ibu kandungnya.



    Sebelum
    keberangkatannya ke UAE, Frida pernah berkeluarga dengan seorang anggota
    angkatan bersenjata. Pernikahannya yang pertama. Dijadikannya dia istri kedua,
    tanpa sepengetahuan istri pertamanya. Parno, lelaki berpangkat sersan satu itu
    sering memperlakukan dia sewenang-wenang. “Saya memang begitu bodoh waktu itu.
    Sebagai orang desa yang baru pertama kali ke kota, terlampau polos untuk bisa
    dikelabui oleh laki-laki hidung belang yang suka mengumbar janji”.
    “Alhamdulillah aku bisa lepas dari kungkungannya”. Keberangkatan Frida ke luar
    negeri lagi sempat tertunda gara-gara kecantol Parno. Syukurlah akhirnya
    berangkat juga. Tetap sebagai profesi semula, PRT.



    “Aku
    mbok ya dikirimi majalah-majalah, buku-buku Islam atau kaset nya Zainuddin MZ
    Mas kalau punya!” demikian pintanya lewat telepon kepada saya ditengah-tengah
    kesibukan saya kerja. Saya biasa mengumpulkan majalah-majalah Indonesia hasil
    pemberian teman-teman atau kadang membeli. Ada juga beberapa koleksi kaset
    dakwah. Frida yang tinggal di pelosok desa, sekitar tiga jam perjalanan dari pusat
    kota, merasa terhibur dengan buku-buku dan kaset tersebut. Pernah pula saya
    kirimi kamus kecil dan bacaan berbahasa Inggris yang dia bisa pergunakan untuk
    menambah wawasan komunikasinya.



    Dia
    mengeluh sering menangis jika teringat ibu angkatnya yang sudah dianggap
    sebagai ibunya sendiri. Ia menangisi sikap ayah angkatnya juga yang tidak
    berubah perilakunya. Frida kesulitan berkomunikasi langsung dengan mereka.
    Informasi tentang orangtua angkatnya diperoleh dari tetangga yang kebetulan
    memiliki sarana telepon. Terkadang dia juga menelepon ibu kandungnya, tetapi
    katanya dia tidak merasakan kuatnya hubungan layaknya ibu dan anak. Entahlah!



    Tinggal
    di pelosok desa bukan hal yang mudah di negeri orang. Apalagi jumlah orang
    Indonesia di daerah dimana dia kerja bisa dihitung dengan jari. Mungkin saja
    itulah faktor utama yang menyebabkannya tidak betah, meskipun majikannya baik
    sekali. Ditengah-tengah proses koreksi diri, timbul niatnya untuk merubah
    profesi yang lebih baik. Dia balik lagi ke Indonesia. Sebagaimana banyak yang
    dilakukan PRT-PRT kita, dia rubah namanya dengan harapan bisa cepat ganti
    paspor dan segera kembali ke luar negeri lagi. Begitulah Frida. Mondar-mandir
    ke luar negeri sudah tidak asing lagi baginya, sampai suatu saat ia mengenal
    lagi laki-laki yang prihatin terhadap nasibnya.



    Sebut
    saja Mahmud, yang menurut Frida pandai dalam bidang agama. Mahmud berniat
    menikahinya. Mahmud banyak memberikan nasehat-nasehat agama kepadanya. Dari
    logat bicaranya terkadang nampak penyesalannya menolak ajakan Mahmud. “Kalau
    saja dulu aku mau dijadikan istri oleh Mahmud.......” Angan-angan tersebut
    kadang muncul dan bergulir begitu saja, dikemukakan kepada saya. Sayangnya,
    dorongan bekerja di luar lebih kuat ketimbang harus menikah lagi dengannya.
    Ditolaknya dengan halus tawaran tersebut. Frida pun terbang lagi.



    Dia
    masih tetap menyimpani nomer kantor kami. Sempat terkejut juga ketika dia
    tiba-tiba menelepon dari daerah yang tidak jauh dari tempat kerja saya.
    Walaupun begitu, jangan harap ia bisa keluar rumah, kecuali bersama majikannya.
    Disinilah kemudian muncul niatnya untuk mencari kerja lain, bukannya sebagai
    PRT. Dia tidak sadar bahwa keluar dari rumah majikan tidak sama seperti pergi
    ke Blitar di Indonesia. Tetapi Frida saya akui ‘pemberani’. Entah bagaimana
    caranya, ia akhirnya mendapatkan pekerjaan di sebuah butik, tentu saja ilegal!
    Kemampuan berbahasa Inggrisnya saya tahu meningkat. Itu terlihat saat dia
    menceriterakan pengalamannya bertengkar dengan temen-teman sekerjanya. Konflik
    dalam kerja memang hal yang biasa. Penghasilannya pun lebih baik. Akan tetapi
    ada yang merisaukan, yakni statusnya, ‘pelarian’. Status ini berlangsung hingga
    masa visanya habis. Ia pun menyerahkan diri ke kantor imigrasi. Tanpa harus
    masuk penjara, asalkan dia sediakan tiket pulang, akan diijinkan untuk pulang
    oleh imigrasi. Untuk kesekian kalinya Frida pulang lagi ke Indonesia.



    Kepulangannya
    waktu itu ternyata yang terakhir kali dia bisa bertemu ibu angkatnya. Ibunya
    yang kecil kurus itu katanya sudah sering sakit-sakitan. Frida membutuhkan
    beaya yang tidak sedikit untuk pengobatannya. Ditengah kesulitan yang dihadapi,
    ada seorang tetangga yang berniat ‘membantu’ meringankan kesulitan ekonomi
    keluarganya, dengan syarat mau dinikahinya sebagai istri kedua. “Bagaimana
    perasaan saya waktu itu Mas? Saya dihadapkan kepada persoalan yang teramat
    berat. Jika tidak mau, saya harus tega melihat ibu sakit –sakitan tanpa obat,
    juga ekonomi porak-poranda karena tabungan saya hasil dari kerja di luar negeri
    sudah mulai menipis. Tapi kalau saya mau menikah dengan Mas Gofur, saya tidak
    tega melihat istri pertamanya yang saya kenal baik!” Subhanallah! “Apa yang
    harus saya lakukan? Ditengah kekacauan pikiran ini, ternyata saya harus
    menyelamatkan derita ibu angkat saya. Dengan perasaan hampa, kami nikah sirih!”



    Frida
    malang nasibnya! Bagaimana dia harus berbahagia ditengah penderitaan orang
    lain? Dia memang bisa membeli obat dan makanan dari duit yang diberi oleh Gofur
    setiap saat. Tetapi dia tidak bisa menyembunyikan konflik batinnya jika
    memikirkan istri Gofur yang pertama. Saya tidak menyangka jika kemudian Frida
    nekad berangkat lagi keluar negeri tanpa sepengetahuan suaminya, Gofur. Kembali
    dengan visa PRT.



    “Mas
    Gofur.... Saya minta maaf atas segala kesalahan saya. Tidak saya pungkiri anda
    telah berbuat banyak demi keluarga kami. Tetapi saya tidak bisa menjalani
    kehidupan seperti ini........!” Demikian bunyi surat yang dia kirimkan pada
    Gofur ketika dia sudah berada di UAE. “Gofur sebenarnya orang baik Mas...
    tetapi saya? Ya ..Allah...harus bagaimana menghadapi masalah ini? Saya tidak
    mungkin menjalani pernikahan yang bertentangan dengan batin ini” Frida, yang
    sudah ganti nama, entah apa lagi saya lupa, menangis. Dia baca Al Qur’an dan
    terjemahannya hasil pemberian temannya, yang entah dari mana mendapatkannya,
    sebelum menelepon saya, mengemukakan problematika hidupnya untuk kesekian kali.
    Menyimak kisah yang begitu pilu itu, saya tidak bisa berbuat banyak, kecuali
    menjadi pendengar yang baik.



    Beberapa
    bulan sesudah dia menikmati pekerjaan barunya sebagai sales lady. Ibu angkatnya
    meninggalkan dia untuk selama-lamanya. Frida yang malang tidak mungkin pulang
    melihat pemakaman bunda angkatnya. Ia merasa tidak lagi punya harapan.ditengah
    isaknya, “Ibuku tidak pernah merasa menikmati kebahagiaan dalam hidupnya Mas!
    Alhamdulillah saya sempat memperbaiki rumah kami. Saya bersyukur orangtua
    angkatku sekarang tidak lagi harus ke sungai jika mandi. Tapi itupun tidak lama
    beliau nikmati. Mas tahu kan, bagaimana Bapak angkatku.....?”



    Tidak
    lama sesudah kejadian tersebut Frida sudah harus balik lagi ke Indonesia karena
    visanya sudah habis masa berlakunya. Beberapa kali SMS yang saya terima
    menceriterakan upayanya untuk bekerja di luar lagi karena belitan ekonomi.
    Tanpa kerja di rumah, subhanallah, ia sering menjadi sasaran kemarahan ayah
    angkatnya, karena tanpa uang dan juga kerja. “Barangkali saya sudah terlalu
    banyak berlumur dosa Mas. Berbagai jalan yang saya tempuh tampaknya buntu.
    Seberapa kali saya berusaha, seberapa kali itu pula saya gagal...!” Bagaimana nasib
    perkawinannya dengan Gofur? Hanya Allah SWT Yang Mahatahu.



    Garis
    hidup yang ditempuh Frida begitu berliku. Entah apa yang dilakukan sekarang,
    selagi semua jalan sepertinya tertutup baginya? Di bulan suci Ramadan ini, saya
    hanya ikut berdoa semoga Allah SWT membukakan pintu tobatNya, menunjukkan jalan
    hidup yang lebih terang. Saya yakin Allah Yang Mahapengasih terhadap umatNya,
    tidak akan membiarkan orang-orang seperti Frida terus-menerus dilanda cobaan
    besar. Begitu lahir harus diasuh orang lain, tidak memperoleh kesempatan
    mengenyam pendidikan, pekerjaan yang tidak tetap, hingga pernikahanpun gagal
    tiga kali... Astaghfirullah!



    Di
    keheningan sepuluh kedua malam Ramadan yang penuh maghfirah ini, satu hal yang
    saya kenang. Dia tinggalkan sesaat sebelum berangkat ke airport, sebuah Al
    Qur’an bersampul hijau. “Tolong disimpan Al Quran ini!” Pintanya. Kitab Suci
    yang dilengkapi terjemahan dan tafsir tersebut memang tebal sekali, lebih dari
    seribu enam ratus halaman, dan terlalu berat jika harus dimasukkan di tas
    kecilnya. Setebal lembaran-lembaran hidupnya yang penuh derita. Kalau saja bisa
    menangis, saya yakin linangan air mata Kitabullah itu tidak akan terhenti
    hingga dibukakannya pintu taubat baginya, menyertai niat taubat Frida,
    mengakhiri derita panjangnya. Wallahu’alam!




    Syaifoel Hardy
    shardy@emirates.net.ae

      Waktu sekarang Sat Nov 23, 2024 1:33 am