Al Quran Bersampul Hijau
Malam
itu pandanganku melayang cepat pada sederetan buku yang berjajar di rak ruang
tamuku, tepatnya pada Tafsir Quran karya Muhammad Ali yang paling menyolok
tebalnya. Secepat itu pula aku teringat kepada si empunya yang tadi pagi
mengirimkan pesan dari Indonesia yang saya terima sebelum berangkat kerja.
“Mas! Hancur sudah semua harapanku! Aku dicerai Mas Ahmad dari Saudi!” Begitu
bunyi SMS terakhir yang saya terima dari Frida.
Setahun
sudah ia berada di Indonesia, tanpa kegiatan yang berarti. Saya sempat
terhentak membaca pesan tersebut karena sebulan sebelumnya Frida mengirimkan
berita gembira, “Hari ini aku menikah. Doakan kami agar digolongkan oleh Allah
SWT kedalam keluarga yang penuh barokah dan rahmah!” Alhamdulillah. Ucapku,
setengah berbisik kepada diri sendiri. Akhirnya kamu memperoleh jodoh yang
insyaAllah lebih baik bagimu dari pada mengarungi hidup yang selama ini tanpa
tentu arah. “Selamat menempuh hidup baru”, balasan kiriman SMS saya.
Seperti
yang seringkali saya bilang kepadanya, bahwa Allah SWT pasti akan memberikan
yang terbaik. Tapi yang ini, ya...Allah..., kenapa harus menimpa dia untuk yang
ketiga kalinya? Sesudah SMS itu, saya tidak lagi mendengar kabarnya. Saya
membayangkan apakah dia sempat beristighfar pada bulan suci Ramadan ini.
Istighfar akan menyucikan diri manusia dari segala dosa-dosa yang telah
dilakukan dimasa lalu. Apalagi pada bulan mulia ini. MasyaAllah, dosa apa yang
diperbuat olehnya sehingga derita demi derita terus menimpanya ya... Allah?
Tiga kali kawin-cerai! Pernikahan yang ketiganya hanya berusia tidak lebih dari
sebulan!
Saya
mengenal Frida, seorang pembantu rumah tangga (PRT), lewat seorang PRT juga,
yang kebetulan bekerja pada bos kantor kami. Dia menelepon saya hampir setiap
saat menghadapi masalah, layaknya seorang konsultan psikologi! Sebagai seorang
wanita asal desa, tujuan kerjanya di luar negeri begitu mulia. Ia ingin
membalas budi baik orangtua angkatnya yang selama ini turut berjasa membesarkan
dirinya. Menyenangkan hati mereka. Beberapa kali harus lompat kerja sebagai PRT
dari negara satu ke lainnya, namun tujuannya belum teraih jua.
Pertama
kali ke luar negeri, ke Saudi Arabia, hanya berlangsung beberapa bulan saja.
Belum lengkap yang namanya tabungan untuk sangu pulang, dia harus dijebloskan
ke penjara gara-gara ‘tuduhan’ kriminalitas. Dia pukul kepala majikan anaknya
dengan botol yang mencoba berbuat ‘kurang ajar’ kepadanya. Frida dipulangkan
dengan hampir tanpa fulus di kantong. Pengalaman buruk pertama di luar negeri
tidak membuat Frida ‘kapok’! Dia balik ke Indonesia, kemudian mencoba terbang
lagi.
Frida
diambil sebagai anak angkat oleh keluarga Sadimin pada hari dia dilahirkan.
Lain dengan kondisi orangtua kandungnya, keluarga Sadimin termasuk kurang
mampu. Sadimin tidak memiliki pekerjaan tetap, rumahnya kecil terbuat dari
anyaman bambu. Begitu menginjak usia dewasa, Frida berpikir bagaimana caranya
memenuhi segala kebutuhan hidup ini. “Aku tidak mengerti kenapa aku diberikan
kepada keluarga Pak Sadimin oleh kedua orangtuaku. Saya merasa bukan sebagai
anak yang dikehendaki oleh Ibu kandungku. Itulah yang menyebabkan kenapa ikatan
batinku dengan ibuku sendiri kurang erat”, katanya suatu hari seusai menerima
sepucuk surat dari Ibu kandungnya di Indonesia, sementara dia kerja di UAE.
Surat-surat Frida memang dialamatkan ke saya karena dia sering pindah-pindah
alamatnya. Sejauh itu terjadi, dia tidak memiliki alamat yang tetap. Jadi apa
salahnya jika saya dititipi surat-suratnya yang dari tanah air? “Dia
membutuhkan sedikit bantuan!” demikian pikir saya..
Faktor
lain yang membuatnya ingin bekerja di luar negeri, ia ingin merubah taraf
kehidupan dirinya sendiri. Sebagian dari penghasilan bulananya rutin dikirim ke
Indonesia. Sayangnya, bapak angkatnya kurang bijaksana memanfaatkan uang
kirimannya. Bapak angkatnya masih suka bermain judi, suatu kebiasaan buruk yang
begitu mengakar di masyarakat desanya. Bahkan barang-barang berharga hingga
elektronik hasil pembelian Frida banyak yang digadaikannya. Hal itu membuat
Frida prihatin sekaligus jengkel karena merasa tidak dihargai jerih payahnya.
Kejadian itu terus berlangsung begitu lama. “Sudah miskin harta, miskin pula iman”,
begitu Frida mengistilahkan kondisi bapak angkatnya. Sementara sikap dia
terhadap ibu angkatnya, karena sedari kecil diasuhnya, kasih sayang Frida
kepadanya begitu kuat. Jauh melebihi sikapnya terhadap ibu kandungnya.
Sebelum
keberangkatannya ke UAE, Frida pernah berkeluarga dengan seorang anggota
angkatan bersenjata. Pernikahannya yang pertama. Dijadikannya dia istri kedua,
tanpa sepengetahuan istri pertamanya. Parno, lelaki berpangkat sersan satu itu
sering memperlakukan dia sewenang-wenang. “Saya memang begitu bodoh waktu itu.
Sebagai orang desa yang baru pertama kali ke kota, terlampau polos untuk bisa
dikelabui oleh laki-laki hidung belang yang suka mengumbar janji”.
“Alhamdulillah aku bisa lepas dari kungkungannya”. Keberangkatan Frida ke luar
negeri lagi sempat tertunda gara-gara kecantol Parno. Syukurlah akhirnya
berangkat juga. Tetap sebagai profesi semula, PRT.
“Aku
mbok ya dikirimi majalah-majalah, buku-buku Islam atau kaset nya Zainuddin MZ
Mas kalau punya!” demikian pintanya lewat telepon kepada saya ditengah-tengah
kesibukan saya kerja. Saya biasa mengumpulkan majalah-majalah Indonesia hasil
pemberian teman-teman atau kadang membeli. Ada juga beberapa koleksi kaset
dakwah. Frida yang tinggal di pelosok desa, sekitar tiga jam perjalanan dari pusat
kota, merasa terhibur dengan buku-buku dan kaset tersebut. Pernah pula saya
kirimi kamus kecil dan bacaan berbahasa Inggris yang dia bisa pergunakan untuk
menambah wawasan komunikasinya.
Dia
mengeluh sering menangis jika teringat ibu angkatnya yang sudah dianggap
sebagai ibunya sendiri. Ia menangisi sikap ayah angkatnya juga yang tidak
berubah perilakunya. Frida kesulitan berkomunikasi langsung dengan mereka.
Informasi tentang orangtua angkatnya diperoleh dari tetangga yang kebetulan
memiliki sarana telepon. Terkadang dia juga menelepon ibu kandungnya, tetapi
katanya dia tidak merasakan kuatnya hubungan layaknya ibu dan anak. Entahlah!
Tinggal
di pelosok desa bukan hal yang mudah di negeri orang. Apalagi jumlah orang
Indonesia di daerah dimana dia kerja bisa dihitung dengan jari. Mungkin saja
itulah faktor utama yang menyebabkannya tidak betah, meskipun majikannya baik
sekali. Ditengah-tengah proses koreksi diri, timbul niatnya untuk merubah
profesi yang lebih baik. Dia balik lagi ke Indonesia. Sebagaimana banyak yang
dilakukan PRT-PRT kita, dia rubah namanya dengan harapan bisa cepat ganti
paspor dan segera kembali ke luar negeri lagi. Begitulah Frida. Mondar-mandir
ke luar negeri sudah tidak asing lagi baginya, sampai suatu saat ia mengenal
lagi laki-laki yang prihatin terhadap nasibnya.
Sebut
saja Mahmud, yang menurut Frida pandai dalam bidang agama. Mahmud berniat
menikahinya. Mahmud banyak memberikan nasehat-nasehat agama kepadanya. Dari
logat bicaranya terkadang nampak penyesalannya menolak ajakan Mahmud. “Kalau
saja dulu aku mau dijadikan istri oleh Mahmud.......” Angan-angan tersebut
kadang muncul dan bergulir begitu saja, dikemukakan kepada saya. Sayangnya,
dorongan bekerja di luar lebih kuat ketimbang harus menikah lagi dengannya.
Ditolaknya dengan halus tawaran tersebut. Frida pun terbang lagi.
Dia
masih tetap menyimpani nomer kantor kami. Sempat terkejut juga ketika dia
tiba-tiba menelepon dari daerah yang tidak jauh dari tempat kerja saya.
Walaupun begitu, jangan harap ia bisa keluar rumah, kecuali bersama majikannya.
Disinilah kemudian muncul niatnya untuk mencari kerja lain, bukannya sebagai
PRT. Dia tidak sadar bahwa keluar dari rumah majikan tidak sama seperti pergi
ke Blitar di Indonesia. Tetapi Frida saya akui ‘pemberani’. Entah bagaimana
caranya, ia akhirnya mendapatkan pekerjaan di sebuah butik, tentu saja ilegal!
Kemampuan berbahasa Inggrisnya saya tahu meningkat. Itu terlihat saat dia
menceriterakan pengalamannya bertengkar dengan temen-teman sekerjanya. Konflik
dalam kerja memang hal yang biasa. Penghasilannya pun lebih baik. Akan tetapi
ada yang merisaukan, yakni statusnya, ‘pelarian’. Status ini berlangsung hingga
masa visanya habis. Ia pun menyerahkan diri ke kantor imigrasi. Tanpa harus
masuk penjara, asalkan dia sediakan tiket pulang, akan diijinkan untuk pulang
oleh imigrasi. Untuk kesekian kalinya Frida pulang lagi ke Indonesia.
Kepulangannya
waktu itu ternyata yang terakhir kali dia bisa bertemu ibu angkatnya. Ibunya
yang kecil kurus itu katanya sudah sering sakit-sakitan. Frida membutuhkan
beaya yang tidak sedikit untuk pengobatannya. Ditengah kesulitan yang dihadapi,
ada seorang tetangga yang berniat ‘membantu’ meringankan kesulitan ekonomi
keluarganya, dengan syarat mau dinikahinya sebagai istri kedua. “Bagaimana
perasaan saya waktu itu Mas? Saya dihadapkan kepada persoalan yang teramat
berat. Jika tidak mau, saya harus tega melihat ibu sakit –sakitan tanpa obat,
juga ekonomi porak-poranda karena tabungan saya hasil dari kerja di luar negeri
sudah mulai menipis. Tapi kalau saya mau menikah dengan Mas Gofur, saya tidak
tega melihat istri pertamanya yang saya kenal baik!” Subhanallah! “Apa yang
harus saya lakukan? Ditengah kekacauan pikiran ini, ternyata saya harus
menyelamatkan derita ibu angkat saya. Dengan perasaan hampa, kami nikah sirih!”
Frida
malang nasibnya! Bagaimana dia harus berbahagia ditengah penderitaan orang
lain? Dia memang bisa membeli obat dan makanan dari duit yang diberi oleh Gofur
setiap saat. Tetapi dia tidak bisa menyembunyikan konflik batinnya jika
memikirkan istri Gofur yang pertama. Saya tidak menyangka jika kemudian Frida
nekad berangkat lagi keluar negeri tanpa sepengetahuan suaminya, Gofur. Kembali
dengan visa PRT.
“Mas
Gofur.... Saya minta maaf atas segala kesalahan saya. Tidak saya pungkiri anda
telah berbuat banyak demi keluarga kami. Tetapi saya tidak bisa menjalani
kehidupan seperti ini........!” Demikian bunyi surat yang dia kirimkan pada
Gofur ketika dia sudah berada di UAE. “Gofur sebenarnya orang baik Mas...
tetapi saya? Ya ..Allah...harus bagaimana menghadapi masalah ini? Saya tidak
mungkin menjalani pernikahan yang bertentangan dengan batin ini” Frida, yang
sudah ganti nama, entah apa lagi saya lupa, menangis. Dia baca Al Qur’an dan
terjemahannya hasil pemberian temannya, yang entah dari mana mendapatkannya,
sebelum menelepon saya, mengemukakan problematika hidupnya untuk kesekian kali.
Menyimak kisah yang begitu pilu itu, saya tidak bisa berbuat banyak, kecuali
menjadi pendengar yang baik.
Beberapa
bulan sesudah dia menikmati pekerjaan barunya sebagai sales lady. Ibu angkatnya
meninggalkan dia untuk selama-lamanya. Frida yang malang tidak mungkin pulang
melihat pemakaman bunda angkatnya. Ia merasa tidak lagi punya harapan.ditengah
isaknya, “Ibuku tidak pernah merasa menikmati kebahagiaan dalam hidupnya Mas!
Alhamdulillah saya sempat memperbaiki rumah kami. Saya bersyukur orangtua
angkatku sekarang tidak lagi harus ke sungai jika mandi. Tapi itupun tidak lama
beliau nikmati. Mas tahu kan, bagaimana Bapak angkatku.....?”
Tidak
lama sesudah kejadian tersebut Frida sudah harus balik lagi ke Indonesia karena
visanya sudah habis masa berlakunya. Beberapa kali SMS yang saya terima
menceriterakan upayanya untuk bekerja di luar lagi karena belitan ekonomi.
Tanpa kerja di rumah, subhanallah, ia sering menjadi sasaran kemarahan ayah
angkatnya, karena tanpa uang dan juga kerja. “Barangkali saya sudah terlalu
banyak berlumur dosa Mas. Berbagai jalan yang saya tempuh tampaknya buntu.
Seberapa kali saya berusaha, seberapa kali itu pula saya gagal...!” Bagaimana nasib
perkawinannya dengan Gofur? Hanya Allah SWT Yang Mahatahu.
Garis
hidup yang ditempuh Frida begitu berliku. Entah apa yang dilakukan sekarang,
selagi semua jalan sepertinya tertutup baginya? Di bulan suci Ramadan ini, saya
hanya ikut berdoa semoga Allah SWT membukakan pintu tobatNya, menunjukkan jalan
hidup yang lebih terang. Saya yakin Allah Yang Mahapengasih terhadap umatNya,
tidak akan membiarkan orang-orang seperti Frida terus-menerus dilanda cobaan
besar. Begitu lahir harus diasuh orang lain, tidak memperoleh kesempatan
mengenyam pendidikan, pekerjaan yang tidak tetap, hingga pernikahanpun gagal
tiga kali... Astaghfirullah!
Di
keheningan sepuluh kedua malam Ramadan yang penuh maghfirah ini, satu hal yang
saya kenang. Dia tinggalkan sesaat sebelum berangkat ke airport, sebuah Al
Qur’an bersampul hijau. “Tolong disimpan Al Quran ini!” Pintanya. Kitab Suci
yang dilengkapi terjemahan dan tafsir tersebut memang tebal sekali, lebih dari
seribu enam ratus halaman, dan terlalu berat jika harus dimasukkan di tas
kecilnya. Setebal lembaran-lembaran hidupnya yang penuh derita. Kalau saja bisa
menangis, saya yakin linangan air mata Kitabullah itu tidak akan terhenti
hingga dibukakannya pintu taubat baginya, menyertai niat taubat Frida,
mengakhiri derita panjangnya. Wallahu’alam!
Syaifoel Hardy
shardy@emirates.net.ae
Malam
itu pandanganku melayang cepat pada sederetan buku yang berjajar di rak ruang
tamuku, tepatnya pada Tafsir Quran karya Muhammad Ali yang paling menyolok
tebalnya. Secepat itu pula aku teringat kepada si empunya yang tadi pagi
mengirimkan pesan dari Indonesia yang saya terima sebelum berangkat kerja.
“Mas! Hancur sudah semua harapanku! Aku dicerai Mas Ahmad dari Saudi!” Begitu
bunyi SMS terakhir yang saya terima dari Frida.
Setahun
sudah ia berada di Indonesia, tanpa kegiatan yang berarti. Saya sempat
terhentak membaca pesan tersebut karena sebulan sebelumnya Frida mengirimkan
berita gembira, “Hari ini aku menikah. Doakan kami agar digolongkan oleh Allah
SWT kedalam keluarga yang penuh barokah dan rahmah!” Alhamdulillah. Ucapku,
setengah berbisik kepada diri sendiri. Akhirnya kamu memperoleh jodoh yang
insyaAllah lebih baik bagimu dari pada mengarungi hidup yang selama ini tanpa
tentu arah. “Selamat menempuh hidup baru”, balasan kiriman SMS saya.
Seperti
yang seringkali saya bilang kepadanya, bahwa Allah SWT pasti akan memberikan
yang terbaik. Tapi yang ini, ya...Allah..., kenapa harus menimpa dia untuk yang
ketiga kalinya? Sesudah SMS itu, saya tidak lagi mendengar kabarnya. Saya
membayangkan apakah dia sempat beristighfar pada bulan suci Ramadan ini.
Istighfar akan menyucikan diri manusia dari segala dosa-dosa yang telah
dilakukan dimasa lalu. Apalagi pada bulan mulia ini. MasyaAllah, dosa apa yang
diperbuat olehnya sehingga derita demi derita terus menimpanya ya... Allah?
Tiga kali kawin-cerai! Pernikahan yang ketiganya hanya berusia tidak lebih dari
sebulan!
Saya
mengenal Frida, seorang pembantu rumah tangga (PRT), lewat seorang PRT juga,
yang kebetulan bekerja pada bos kantor kami. Dia menelepon saya hampir setiap
saat menghadapi masalah, layaknya seorang konsultan psikologi! Sebagai seorang
wanita asal desa, tujuan kerjanya di luar negeri begitu mulia. Ia ingin
membalas budi baik orangtua angkatnya yang selama ini turut berjasa membesarkan
dirinya. Menyenangkan hati mereka. Beberapa kali harus lompat kerja sebagai PRT
dari negara satu ke lainnya, namun tujuannya belum teraih jua.
Pertama
kali ke luar negeri, ke Saudi Arabia, hanya berlangsung beberapa bulan saja.
Belum lengkap yang namanya tabungan untuk sangu pulang, dia harus dijebloskan
ke penjara gara-gara ‘tuduhan’ kriminalitas. Dia pukul kepala majikan anaknya
dengan botol yang mencoba berbuat ‘kurang ajar’ kepadanya. Frida dipulangkan
dengan hampir tanpa fulus di kantong. Pengalaman buruk pertama di luar negeri
tidak membuat Frida ‘kapok’! Dia balik ke Indonesia, kemudian mencoba terbang
lagi.
Frida
diambil sebagai anak angkat oleh keluarga Sadimin pada hari dia dilahirkan.
Lain dengan kondisi orangtua kandungnya, keluarga Sadimin termasuk kurang
mampu. Sadimin tidak memiliki pekerjaan tetap, rumahnya kecil terbuat dari
anyaman bambu. Begitu menginjak usia dewasa, Frida berpikir bagaimana caranya
memenuhi segala kebutuhan hidup ini. “Aku tidak mengerti kenapa aku diberikan
kepada keluarga Pak Sadimin oleh kedua orangtuaku. Saya merasa bukan sebagai
anak yang dikehendaki oleh Ibu kandungku. Itulah yang menyebabkan kenapa ikatan
batinku dengan ibuku sendiri kurang erat”, katanya suatu hari seusai menerima
sepucuk surat dari Ibu kandungnya di Indonesia, sementara dia kerja di UAE.
Surat-surat Frida memang dialamatkan ke saya karena dia sering pindah-pindah
alamatnya. Sejauh itu terjadi, dia tidak memiliki alamat yang tetap. Jadi apa
salahnya jika saya dititipi surat-suratnya yang dari tanah air? “Dia
membutuhkan sedikit bantuan!” demikian pikir saya..
Faktor
lain yang membuatnya ingin bekerja di luar negeri, ia ingin merubah taraf
kehidupan dirinya sendiri. Sebagian dari penghasilan bulananya rutin dikirim ke
Indonesia. Sayangnya, bapak angkatnya kurang bijaksana memanfaatkan uang
kirimannya. Bapak angkatnya masih suka bermain judi, suatu kebiasaan buruk yang
begitu mengakar di masyarakat desanya. Bahkan barang-barang berharga hingga
elektronik hasil pembelian Frida banyak yang digadaikannya. Hal itu membuat
Frida prihatin sekaligus jengkel karena merasa tidak dihargai jerih payahnya.
Kejadian itu terus berlangsung begitu lama. “Sudah miskin harta, miskin pula iman”,
begitu Frida mengistilahkan kondisi bapak angkatnya. Sementara sikap dia
terhadap ibu angkatnya, karena sedari kecil diasuhnya, kasih sayang Frida
kepadanya begitu kuat. Jauh melebihi sikapnya terhadap ibu kandungnya.
Sebelum
keberangkatannya ke UAE, Frida pernah berkeluarga dengan seorang anggota
angkatan bersenjata. Pernikahannya yang pertama. Dijadikannya dia istri kedua,
tanpa sepengetahuan istri pertamanya. Parno, lelaki berpangkat sersan satu itu
sering memperlakukan dia sewenang-wenang. “Saya memang begitu bodoh waktu itu.
Sebagai orang desa yang baru pertama kali ke kota, terlampau polos untuk bisa
dikelabui oleh laki-laki hidung belang yang suka mengumbar janji”.
“Alhamdulillah aku bisa lepas dari kungkungannya”. Keberangkatan Frida ke luar
negeri lagi sempat tertunda gara-gara kecantol Parno. Syukurlah akhirnya
berangkat juga. Tetap sebagai profesi semula, PRT.
“Aku
mbok ya dikirimi majalah-majalah, buku-buku Islam atau kaset nya Zainuddin MZ
Mas kalau punya!” demikian pintanya lewat telepon kepada saya ditengah-tengah
kesibukan saya kerja. Saya biasa mengumpulkan majalah-majalah Indonesia hasil
pemberian teman-teman atau kadang membeli. Ada juga beberapa koleksi kaset
dakwah. Frida yang tinggal di pelosok desa, sekitar tiga jam perjalanan dari pusat
kota, merasa terhibur dengan buku-buku dan kaset tersebut. Pernah pula saya
kirimi kamus kecil dan bacaan berbahasa Inggris yang dia bisa pergunakan untuk
menambah wawasan komunikasinya.
Dia
mengeluh sering menangis jika teringat ibu angkatnya yang sudah dianggap
sebagai ibunya sendiri. Ia menangisi sikap ayah angkatnya juga yang tidak
berubah perilakunya. Frida kesulitan berkomunikasi langsung dengan mereka.
Informasi tentang orangtua angkatnya diperoleh dari tetangga yang kebetulan
memiliki sarana telepon. Terkadang dia juga menelepon ibu kandungnya, tetapi
katanya dia tidak merasakan kuatnya hubungan layaknya ibu dan anak. Entahlah!
Tinggal
di pelosok desa bukan hal yang mudah di negeri orang. Apalagi jumlah orang
Indonesia di daerah dimana dia kerja bisa dihitung dengan jari. Mungkin saja
itulah faktor utama yang menyebabkannya tidak betah, meskipun majikannya baik
sekali. Ditengah-tengah proses koreksi diri, timbul niatnya untuk merubah
profesi yang lebih baik. Dia balik lagi ke Indonesia. Sebagaimana banyak yang
dilakukan PRT-PRT kita, dia rubah namanya dengan harapan bisa cepat ganti
paspor dan segera kembali ke luar negeri lagi. Begitulah Frida. Mondar-mandir
ke luar negeri sudah tidak asing lagi baginya, sampai suatu saat ia mengenal
lagi laki-laki yang prihatin terhadap nasibnya.
Sebut
saja Mahmud, yang menurut Frida pandai dalam bidang agama. Mahmud berniat
menikahinya. Mahmud banyak memberikan nasehat-nasehat agama kepadanya. Dari
logat bicaranya terkadang nampak penyesalannya menolak ajakan Mahmud. “Kalau
saja dulu aku mau dijadikan istri oleh Mahmud.......” Angan-angan tersebut
kadang muncul dan bergulir begitu saja, dikemukakan kepada saya. Sayangnya,
dorongan bekerja di luar lebih kuat ketimbang harus menikah lagi dengannya.
Ditolaknya dengan halus tawaran tersebut. Frida pun terbang lagi.
Dia
masih tetap menyimpani nomer kantor kami. Sempat terkejut juga ketika dia
tiba-tiba menelepon dari daerah yang tidak jauh dari tempat kerja saya.
Walaupun begitu, jangan harap ia bisa keluar rumah, kecuali bersama majikannya.
Disinilah kemudian muncul niatnya untuk mencari kerja lain, bukannya sebagai
PRT. Dia tidak sadar bahwa keluar dari rumah majikan tidak sama seperti pergi
ke Blitar di Indonesia. Tetapi Frida saya akui ‘pemberani’. Entah bagaimana
caranya, ia akhirnya mendapatkan pekerjaan di sebuah butik, tentu saja ilegal!
Kemampuan berbahasa Inggrisnya saya tahu meningkat. Itu terlihat saat dia
menceriterakan pengalamannya bertengkar dengan temen-teman sekerjanya. Konflik
dalam kerja memang hal yang biasa. Penghasilannya pun lebih baik. Akan tetapi
ada yang merisaukan, yakni statusnya, ‘pelarian’. Status ini berlangsung hingga
masa visanya habis. Ia pun menyerahkan diri ke kantor imigrasi. Tanpa harus
masuk penjara, asalkan dia sediakan tiket pulang, akan diijinkan untuk pulang
oleh imigrasi. Untuk kesekian kalinya Frida pulang lagi ke Indonesia.
Kepulangannya
waktu itu ternyata yang terakhir kali dia bisa bertemu ibu angkatnya. Ibunya
yang kecil kurus itu katanya sudah sering sakit-sakitan. Frida membutuhkan
beaya yang tidak sedikit untuk pengobatannya. Ditengah kesulitan yang dihadapi,
ada seorang tetangga yang berniat ‘membantu’ meringankan kesulitan ekonomi
keluarganya, dengan syarat mau dinikahinya sebagai istri kedua. “Bagaimana
perasaan saya waktu itu Mas? Saya dihadapkan kepada persoalan yang teramat
berat. Jika tidak mau, saya harus tega melihat ibu sakit –sakitan tanpa obat,
juga ekonomi porak-poranda karena tabungan saya hasil dari kerja di luar negeri
sudah mulai menipis. Tapi kalau saya mau menikah dengan Mas Gofur, saya tidak
tega melihat istri pertamanya yang saya kenal baik!” Subhanallah! “Apa yang
harus saya lakukan? Ditengah kekacauan pikiran ini, ternyata saya harus
menyelamatkan derita ibu angkat saya. Dengan perasaan hampa, kami nikah sirih!”
Frida
malang nasibnya! Bagaimana dia harus berbahagia ditengah penderitaan orang
lain? Dia memang bisa membeli obat dan makanan dari duit yang diberi oleh Gofur
setiap saat. Tetapi dia tidak bisa menyembunyikan konflik batinnya jika
memikirkan istri Gofur yang pertama. Saya tidak menyangka jika kemudian Frida
nekad berangkat lagi keluar negeri tanpa sepengetahuan suaminya, Gofur. Kembali
dengan visa PRT.
“Mas
Gofur.... Saya minta maaf atas segala kesalahan saya. Tidak saya pungkiri anda
telah berbuat banyak demi keluarga kami. Tetapi saya tidak bisa menjalani
kehidupan seperti ini........!” Demikian bunyi surat yang dia kirimkan pada
Gofur ketika dia sudah berada di UAE. “Gofur sebenarnya orang baik Mas...
tetapi saya? Ya ..Allah...harus bagaimana menghadapi masalah ini? Saya tidak
mungkin menjalani pernikahan yang bertentangan dengan batin ini” Frida, yang
sudah ganti nama, entah apa lagi saya lupa, menangis. Dia baca Al Qur’an dan
terjemahannya hasil pemberian temannya, yang entah dari mana mendapatkannya,
sebelum menelepon saya, mengemukakan problematika hidupnya untuk kesekian kali.
Menyimak kisah yang begitu pilu itu, saya tidak bisa berbuat banyak, kecuali
menjadi pendengar yang baik.
Beberapa
bulan sesudah dia menikmati pekerjaan barunya sebagai sales lady. Ibu angkatnya
meninggalkan dia untuk selama-lamanya. Frida yang malang tidak mungkin pulang
melihat pemakaman bunda angkatnya. Ia merasa tidak lagi punya harapan.ditengah
isaknya, “Ibuku tidak pernah merasa menikmati kebahagiaan dalam hidupnya Mas!
Alhamdulillah saya sempat memperbaiki rumah kami. Saya bersyukur orangtua
angkatku sekarang tidak lagi harus ke sungai jika mandi. Tapi itupun tidak lama
beliau nikmati. Mas tahu kan, bagaimana Bapak angkatku.....?”
Tidak
lama sesudah kejadian tersebut Frida sudah harus balik lagi ke Indonesia karena
visanya sudah habis masa berlakunya. Beberapa kali SMS yang saya terima
menceriterakan upayanya untuk bekerja di luar lagi karena belitan ekonomi.
Tanpa kerja di rumah, subhanallah, ia sering menjadi sasaran kemarahan ayah
angkatnya, karena tanpa uang dan juga kerja. “Barangkali saya sudah terlalu
banyak berlumur dosa Mas. Berbagai jalan yang saya tempuh tampaknya buntu.
Seberapa kali saya berusaha, seberapa kali itu pula saya gagal...!” Bagaimana nasib
perkawinannya dengan Gofur? Hanya Allah SWT Yang Mahatahu.
Garis
hidup yang ditempuh Frida begitu berliku. Entah apa yang dilakukan sekarang,
selagi semua jalan sepertinya tertutup baginya? Di bulan suci Ramadan ini, saya
hanya ikut berdoa semoga Allah SWT membukakan pintu tobatNya, menunjukkan jalan
hidup yang lebih terang. Saya yakin Allah Yang Mahapengasih terhadap umatNya,
tidak akan membiarkan orang-orang seperti Frida terus-menerus dilanda cobaan
besar. Begitu lahir harus diasuh orang lain, tidak memperoleh kesempatan
mengenyam pendidikan, pekerjaan yang tidak tetap, hingga pernikahanpun gagal
tiga kali... Astaghfirullah!
Di
keheningan sepuluh kedua malam Ramadan yang penuh maghfirah ini, satu hal yang
saya kenang. Dia tinggalkan sesaat sebelum berangkat ke airport, sebuah Al
Qur’an bersampul hijau. “Tolong disimpan Al Quran ini!” Pintanya. Kitab Suci
yang dilengkapi terjemahan dan tafsir tersebut memang tebal sekali, lebih dari
seribu enam ratus halaman, dan terlalu berat jika harus dimasukkan di tas
kecilnya. Setebal lembaran-lembaran hidupnya yang penuh derita. Kalau saja bisa
menangis, saya yakin linangan air mata Kitabullah itu tidak akan terhenti
hingga dibukakannya pintu taubat baginya, menyertai niat taubat Frida,
mengakhiri derita panjangnya. Wallahu’alam!
Syaifoel Hardy
shardy@emirates.net.ae
Tue Aug 01, 2023 9:56 pm by wisatasemarang
» Portable STATA 18 Crack Full Version
Thu May 11, 2023 5:24 pm by wisatasemarang
» NVivo 12 Crack Full version
Mon Jan 30, 2023 11:16 am by wisatasemarang
» Tutorial Difference In difference (DID (Diff-in-Diff) With Eviews 13
Thu Nov 03, 2022 6:24 am by wisatasemarang
» Online Workshop Smart PLS Minggu, 01 Oktober 2022
Sat Sep 17, 2022 11:35 am by wisatasemarang
» kumpulan ebook tentang robot
Fri Jan 02, 2015 10:04 pm by kyuru
» MANTRA PELET
Wed May 16, 2012 3:31 am by orlandojack
» book love of spell
Sat Mar 24, 2012 8:08 pm by rifqi as
» attraction Formula
Sat Mar 24, 2012 7:09 pm by rifqi as