PENDIDIKAN UNTUK PEREMPUAN
(Belajar dari Pengalaman Pesantren Cipasung)
Oleh
Dra. Hj. Djudju Zubaidah
Puji
syukur semoga senantiasa terlantun ke hadirat Allah SWT. Atas rahmat
dan karunia-Nya , saat ini kita masih
diberi kesempatan untuk menghirup nafas kehidupan dan melakukan berbagai kerja kemanusian kita.
Segala ujian dan cobaan-Nya, termasuk
gempa Tsunami seperti yang baru-baru ini menimpa saudara kita di Aceh dan Sumatera
Utara dapat mengingatkan kita akan makna
solidaritas dan tanggung jawab
kekhalifahan yang belum usai. Kita hanya dapat berharap bahwa kita dapat
melewati masa sulit ini dan membangun
kembali kekuatan kita untuk membangun
kembali puing-puing peradaban yang
semapat porak poranda. Dan pendidikan merupakan satu titik perhatian yang tidak
boleh kita lupakan dalam kerangka upaya membangun kembali peradaban itu.
Pesantren merupakan salah satu pilar pendidikan yang mendapatkan amanah untuk mendidik dan
mencerahkan umat manusia. Tak bisa dipungkiri, bahwa pesantren menempati posisi
penting dan strategis dalam khasanah pendidikan Islam. Berbagai ajaran, spirit
keagamaan, semangat keikhlasan, kemandirian
dan perjuangan membangun umat
merupakan concern pesantren yang walau bagaimanapun akan selalu tetap dipertahankan meskipun trend modernisme yang serba materialistik dan
hedonistik tengah menyerbu. Melalui seminar ini, kami hanya ingin
berbagi pengalaman tentang upaya membangun
nuansa keadilan antara lelaki-perempuan sebagai salah satu
ibadah mu’amalah yang menjadi
ajaran Islam selama ini. Dalam
kesempatan ini, saya ingin mengisahkan
bentuk perhatian dan upaya yang kami lakukan melalui pendidikan terutama
bagi pemerataan akses keadilan bagi lelaki perempuan
bersama teman-teman dalam
keluarga besar dan komunitas Pesantren
Cipasung Tasikmalaya.
I.
Mengenal Pesantren Cipasung
Pesantren Cipasung didirikan pada tahun
1931 oleh Almarhum K.H. Ruhiat. Pesantren ini terletak di kampung Cipasung Desa
Cipakat Kecamatan Singaparna kabupaten Tasikmalaya. Pada awal berdirinya di
tahun 1931, Pesantren Cipasung hanya memiliki 40 orang santri putera dan
beberapa ‘santri kalong’. ‘Santri kalong’ adalah istilah untuk
santri yang hanya mengikuti pengajian malam hari saja dan pada siang harinya
mereka beraktifitas di rumahnya masing-masing.
Pada tahun 1937,di Pesantren Cipasung didirikan
Kursus Kader Muballighin Wal Musyawirin, yakni suatu ajang latihan
berpidato dan bermusyawarah.Kursus yang diadakan setiap malam Kamis ini
bertujuan menyiapkan kader-kader mubaligh Islam.
Pada tahun 1942, di masa pemerintahan
Jepang,Pesantren Cipasung melakukan langkah progresif dengan memberikan
kesempatan kepada para santri perempuan untuk mengikuti pengajian kitab-kitab
yang ‘besar’, yang sebelumnya hanya dapat mengikuti pengajian kitab-kitab ‘menengah’
saja. Salah seorang angkatan pelopornya adalah Hj. Suwa, yang kemudian menjadi
pengajar kitab tingkat lanjutan (seperti Fathul Mu’in dan Alfiah)
di Pesantren Cipasung baik bagi santri laki-laki maupun santri perempuan. Tokoh
angkatan berikutnya adalah Hj.Nonoh Hasanah yang menjadi pendiri dan pengasuh
pondok Pesantren Putri Cintapada Tasikmalaya. Selanjutnya pada tahun 1943
diadakan juga ajang latihan berpidato untuk santri perempuan yang disebut Kursus Kader Mubalighoh.
Langkah yang dilakukan Abah KH. Ruhiat
menjadikan Pesantren Cipasung semakin terkenal disamping karena reputasi
kelimuan KH. Ruhiat yang diakui dikalangan ulama sekaligus tokoh NU yang
disegani khususnya di Jawa Barat juga tradisi mencetak kiayi di Pesantren
cipasung di anggap berhasil dibuktikan dengan banyaknya alumni yang menjadi
tokoh agama dan masyarakat bahkan mendirikan pesantren sekaligus memimpinnya.
Hambali Ahmad tokoh besar Muhammadiyah, Dr.KH.Mutaqien, KH. Ilyas Ruhiat untuk
menyebut beberapa nama.
Setelah kemerdekaan Bangsa Indonesia,
pesantren Cipasung mengembangkan pendidikannya dengan mendirikan sekolah pada
tahun 1948 didirikan sekolah pendidikan Islam yang disamping mengajarkan
pelajaran agama yang biasa diajarkan pesantren juga diajarkan pengetahuan umum.
Pada tahun 1953 menjadi sekolah Menengah Islam Pertama (SMIP) ,kemudian sekolah
Rakyat Islam ( SRI ) yang sekarang menjadi Madrasah Ibtidaiyah ( MI )
disusul tahun 1959 didirikan SMAI dan pada tanggal 25-09-1965 berdiri Fakultas
Tarbiyah Perguruan Tinggi Islam (PTI) Cipasung yang kemudian menjadi IAIC. Pada
tahun 1969 didirikan pula Sekolah Persiapan IAIN yang pada tahun 1978 menjadi
Madrasah Aliyah Negeri ( MAN ) Cipasung; pada tahun 1992 Madrasah Tsanawiyah;
tahun 2002didirikan pula Raudhatul Athfal, sehingga sampai tahun 2003
jumlah siswa dan mahasiswa sebanyak 5772 orang, yang berada di Asrama sebanyak
861 siswa santri putra dan 863 santri putri yang dikelola dalam 11 Asrama
putera dan 11 asrama puteri.
Pada tanggal 17 Dzulhijjah 1397/18 November
1977, Abah Ajeungan KH.Ruhiat meninggal dan pimpinan pesantren dipegang oleh
KH. Moh Ilyas Ruhiat.
Pada garis besarnya pendidikan di pondok
pesantren Cipasung, formal, informal dan non formal,juga mengembangkan aspek
ekonomi ( Koperasi ) Pendidikan latihan keterampilan dan perpustakaan yang
bekerja sama dengan LP3ES,P3M, Rahima dsb.
Dengan perkembangan yang demikian pondok
pesantren Cipasung, telah mempunyai garis besar kebijakan pesantren yang
kemudian disempurnakan menjadi pola dasar dan pembinaan Pondok Pesantren
Cipasung yang berasaskan (1)Tafaqquh fid dien (2) Da’wah, (3)Taawaun, (4)
Musyawarah, (5) Ukhuwah Islamiyah, dan bertujuan jangka panjang membina dan
mengembangkan ketawaan kepada Allah mengembangkan keilmuan yang bermanfaat dan
pengabdian terhadap agama masyarkat dan negara dengan sasaran pengembangan 10
tahunan memiliki standar pendidikan yang
baik dengan mengembangkan pendidikan dengan sistem terpadu dan metodhe
pendidikan yang baru,menjalin kerja sama dengan berbagai pihak dalam rangka
peningkatan mutu efektifitas pendidikan, untuk mencapai tujuan tersebut telah
didirikan Yayasan Pesantren Cipasung,sejak tanggal 21 Agustus 1967.
Kurikulum untuk sekolah formal
mengikuti kurikulum nasional sedang kitab yang dipelajari di pesantren masih
mempertahankan kitab klasik baik dibidang Aqidah, Fiqh maupun Tasauf, yang jika
dianalisa secara kritis citra dan potret perempuan dalam kontruksi diskursus
keislaman klasik khususnya fiqih diwarnai dengan beragam ketidakseimbangan
relasi gender.
Berikut adalah beberapa citra dan potret
perempuan dalam diskursus keislaman klasik.
1.
Perempuan secara hukum dinilai
sebagai mahluk setengah laki-laki( waris, berdasar QS Annisa :7)
2.
Perempuan sebagai makhluk tidak
sempurna,lemah kemampuan intelektualnya tidak mampu menguasai gejolak emosional,
berfikir irrasional, karena itu menurut An-Nawawi perempuan tidak boleh menjadi
hakim,tidak boleh menjadi pemimpin publik ( QS.Annisa: 34 )
3.
Perempuan adalah mahluk penggoda dan
mudah tergoda oleh bujuk rayuan, karena itu perempuan dilarang memakai wewangian
selain untuk suaminya dll.
4.
Perempuan adalah mahluk yang lemah
dan tidak cukup mandiri untuk mengurus dirinya sendiri, sehingga dalam banyak
aktivitas hukum, mereka dipandang masih membutuhkan represitasi dan bimbingan
laki-laki sebagai wali ( menikah harus pakai wali, pergi haji harus ada mahram)
5.
Perempuan adalah makhluk yang
ditakdirkan untuk mendampingi laki-laki karena dia diciptakan dari tulang rusuk
Adam, Oleh karena itu tugas utama perempuan adalah melayani kebutuhan suaminya.
6.
Secara sosial ramah perempuan adalah
domestik dan ranah laki-laki adalah publik ( laki-laki adalah kepala
keluarga,istri ibu rumah tangga, suami berkewajiban menyediakan segala
kebutuhan istri dan keluarga-nya. Dunia
laki-laki adalah publik,produksi diluar rumah,perempuan di dalam rumah,dunia
pelayanan dan reproduksi.
Kurikulum di Pesantren Cipasung tidak
membedakan antara santri putera dan santri puteri. Pada masing-masing
tingkatan, mereka hanya dipisahkan tempat belajarnya saja. Kitab yang
dipelajari juga tidak ada yang khusus laki-laki ataupun khusus perempuan.
Kegiatan ekstra kurikuler (seperti diskusi reguler, latihan berpidato, olah
raga, seni baca Al-Qur’an, kaligrafi, keterampilan berbahasa Arab dan Inggris)
dapat diikuti oleh setiap santri dan memperoleh bimbingan yang setara.
II.
Kedudukan, peran dan hak-hak
perempuan dalam Islam
Citra dan potret perempuan dalam konstruksi
diskursus ke-Islaman klasik seperti dipaparkan sebelumnya, sangat bertentangan
dengan semangat perwahyuan Al-Qur’an. Al-Qur’an sendiri mengajarkan bahwa Islam
datang untuk memberikan kebahagiaan dan kedamaian hidup (rahmatan lil alamin)
bagi seluruh manusia tanpa membedakan jenis kelamin, suku, bangsa,dan
variabel-variabelstruktur sosial lainnya (QS Al-Hujurat :13), walau secara
teknis melalui pendekatan kebahasaan, budaya dan sosial, Al Qura’an terkesan
telah menggariskan perangkat normatif yang memberikan ketentuan hukum yang
berbeda kepada laki-laki dan perempuan.
Prinsip moral keadilan mengajarkan
bahwa Allah tidak mungkin bersikap diskriminatif terhadap setiap hambaNya. Teori hukum Islam
mengajarkan bahwa seorang mukallaf hanya bertanggung jawab terhadap segala
aturan hukum yang dia lakukan secara sengaja dan sadar, artinya tidak logis
jika harus bertanggung jawab terhadap tindakan yang tidak kita pilih, menjadi
laki-laki atau perempuan. Jika itu diterima sebagai suatu postulat kebenaran
dan hukum artinya kita harus menerima suatu kesimpulan bahwa ketimpangan gender
sudah terbentuk sejak zaman azali, kebenaran asumsi ini bertentangan dengan universalitas
keadilan Allah.
Kedua alasan tadi mengajarkan kepada kita
bahwa perlakuan dan pembebanan hukum yang berbeda kepada laki-laki dan
perempuan tidak dapat diterima menurut logika keadilan Allah dan asas
pertanggungjawaban. Oleh sebab itu ketentuan dan pembebanan hukum yang berbeda antara lak-laki
dan perempuan walau dikatakan bersumber pada Al Qur’an bukan konstruksi ilahiyah,
tetapi ia lebih sebagai produk historis (sosial budaya) dimana sejarah Islam
diterjemahkan ke dalam bahasa sosial budaya tertentu.
Kaidah Fiqhiyah menyebutkan bahwa
hukum berubah seiring dengan pergerakan perubahan waktu. Eksistensi ketentuan
hukum berotasi sesuai dengan alasannya. Kaidah
ini secara implisit menegaskan bahwa ketentuan hukum bukan suatu
ketetapan azali yang didasarkan pada faktor biologis yang bersifat kodrati.
Perbedaan hukum seseungguhnya merupakan
fenomena sosial; budaya (terkadang politik); persoalan kemanusiaan dalam upaya
hidup mendunia.
Dimensi teologi Islam yang membedakan
ketentuan hukum bagi laki-laki dan perempuan yang bahkan secara teknis
ditampakkan dan dibaha-sakan dalam struktur linguistik bahasa dan relativitas
budaya yang diterima Al-Qur’an; tidak harus dipahami sebagai perbedaan yang
bersifat kodrati yang mengacu pada faktor biologis manusia tetapi sebagai
proses hidup manusia mendunia.
Pemikiran yang dipaparkan tadi telah
diproduksi dan direproduksi melalui pesantren, yang disatu sisi seakan
ketentuan tersebut tidak dapat berubah, tetapi kaidah hukum (ushul fiqh) yang
juga dipelajari di pesantren memberi peluang untuk adanya perubahan. Oleh
karena itu Pesantren Cipasung dalam hal ini Nahdina (sebuah forum kajian dan
sosialisasi hak perempuan) berupaya untuk menekuni hal tersebut sebagai
tindakan penguatan wacana dan melakukan proses perubahan dan penyadaran.
Langkah-langkah yang telah dilakukan
Nahdina adalah sebagai berikut :
1.
Penguatan lembaga sebagai arena
penambahan,pemantapan dan penya-maan wawasan dengan cara melakukan pertemuan
rutin guru-guru pesantren yang telah mendapatkan pelatihan. Pertemuan yang
dilakukan setiap bulan sekali ini bertujuan untuk bertukar pikiran dan
informasi melalui diskusi secara bergiliran.
2.
Memperluas jaringan melalui
pembentukan jaringan (network building) Kajian Penguatan Hak Perempuan
Tasikmalaya. Jaringan ini beranggo-takan organisasi massa berbasis Islam
(Muslimat NU, Fatayat NU, Aisyiah Muhammadiyah, Nasyiatul Aisyiah, Kohati,
Persistri) dan LSM yang peduli terhadap pemberdayaan perempuan.
3.
Sosialisasi untuk menyemakan wawasan
melalui pengajian rutin, intergrasi dengan mata pelajaran baik di sekolah
maupun di pesantren.
4.
Menerjemahkan istilah gender ke
dalam bahasa yang lebih akrab dengan budaya Sunda atau dengan menyeberkan dalam
bentuk syair-syair yang biasa dikumandangkan saat menjelang pengajian (shalawat
gender).
Sangat disadari bahwa langkah-langkah tersebut baru
merupakan langkah wal dan kecil, tapi menyadari bahwa jika tidak dilakukan
secara terus menerus, harapan bahwa perempuan akan dihargai sebagai manusia
yang sama terhormatnya dengan manusia dengan jenis kelamin lain ketika Allah
menciptakannya, hanya akan menjadi impian utopia yang takkan pernah terwujud.
Melalui tulisan ini aku ingin mengatakan
mimpiku membikin sebuah pesantren dengan tetap mempertahankan nilai-nilai luhur
kepesantrenan (ikhlas, sederhana, zuhud, wara’, mandiri, dsb.), dengan
spesifikasi pember-dayaan dan penguatan perempuan di bidang informasi, terutama
biang ilmu agama yang selama ini ‘dikuasai’ laki-laki. Semoga, aamiin…
Tue Aug 01, 2023 9:56 pm by wisatasemarang
» Portable STATA 18 Crack Full Version
Thu May 11, 2023 5:24 pm by wisatasemarang
» NVivo 12 Crack Full version
Mon Jan 30, 2023 11:16 am by wisatasemarang
» Tutorial Difference In difference (DID (Diff-in-Diff) With Eviews 13
Thu Nov 03, 2022 6:24 am by wisatasemarang
» Online Workshop Smart PLS Minggu, 01 Oktober 2022
Sat Sep 17, 2022 11:35 am by wisatasemarang
» kumpulan ebook tentang robot
Fri Jan 02, 2015 10:04 pm by kyuru
» MANTRA PELET
Wed May 16, 2012 3:31 am by orlandojack
» book love of spell
Sat Mar 24, 2012 8:08 pm by rifqi as
» attraction Formula
Sat Mar 24, 2012 7:09 pm by rifqi as