Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

ingin bergabung dengan elrakyat.tk klik pendaftaran. jika anda sudah pernah mendaftar silakan login. jangan lupa ajak kawan-kawanmu ke mari , dan jadilah top poster di forum kita

Join the forum, it's quick and easy

Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

ingin bergabung dengan elrakyat.tk klik pendaftaran. jika anda sudah pernah mendaftar silakan login. jangan lupa ajak kawan-kawanmu ke mari , dan jadilah top poster di forum kita

Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

Would you like to react to this message? Create an account in a few clicks or log in to continue.
Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

salah satu forum terbesar tempat kita bernostalgia

Login

Lupa password?

Our traffic

info rakyat

Sun Oct 31, 2010 9:05 pm by admin

---------------
PEMBERITAHUAN....

SF ZONA RELIGI SEKARANG KAMI PINDAH KE [You must be registered and logged in to see this link.] ANDA BISA BERPARTISIPASI DAN MENJADI MODERATOR SESUAI PERMINTAAN ANDA DENGAN REQUEST VIA SMS NO ADMIN 081945520865


Sekilas Info

Sun Jun 27, 2010 2:44 pm by admin

kabar gembira, forum lentera-rakyat mulai hari ini juga bisa diakses melalui [You must be registered and logged in to see this link.]


    pendidikn khusus cewek

    ratri
    ratri
    Mega Ultimate Member


    Zodiac : Virgo Jumlah posting : 281
    Join date : 01.04.10
    Age : 37
    Lokasi : di hati si admin

    pendidikn khusus cewek Empty pendidikn khusus cewek

    Post by ratri Mon Jun 14, 2010 10:36 pm




    PENDIDIKAN UNTUK PEREMPUAN


    (Belajar dari Pengalaman Pesantren Cipasung)





    Oleh
    Dra. Hj. Djudju Zubaidah





    Puji
    syukur semoga senantiasa terlantun ke hadirat Allah SWT. Atas rahmat
    dan karunia-Nya , saat ini kita masih
    diberi kesempatan untuk menghirup nafas kehidupan dan melakukan berbagai kerja kemanusian kita.
    Segala ujian dan cobaan-Nya, termasuk
    gempa Tsunami seperti yang baru-baru ini menimpa saudara kita di Aceh dan Sumatera
    Utara dapat mengingatkan kita akan makna
    solidaritas dan tanggung jawab
    kekhalifahan yang belum usai. Kita hanya dapat berharap bahwa kita dapat
    melewati masa sulit ini dan membangun
    kembali kekuatan kita untuk membangun
    kembali puing-puing peradaban yang
    semapat porak poranda. Dan pendidikan merupakan satu titik perhatian yang tidak
    boleh kita lupakan dalam kerangka upaya membangun kembali peradaban itu.





    Pesantren merupakan salah satu pilar pendidikan yang mendapatkan amanah untuk mendidik dan
    mencerahkan umat manusia. Tak bisa dipungkiri, bahwa pesantren menempati posisi
    penting dan strategis dalam khasanah pendidikan Islam. Berbagai ajaran, spirit
    keagamaan, semangat keikhlasan, kemandirian
    dan perjuangan membangun umat
    merupakan concern pesantren yang walau bagaimanapun akan selalu tetap dipertahankan meskipun trend modernisme yang serba materialistik dan
    hedonistik tengah menyerbu. Melalui seminar ini, kami hanya ingin
    berbagi pengalaman tentang upaya membangun
    nuansa keadilan antara lelaki-perempuan sebagai salah satu
    ibadah mu’amalah yang menjadi
    ajaran Islam selama ini. Dalam
    kesempatan ini, saya ingin mengisahkan
    bentuk perhatian dan upaya yang kami lakukan melalui pendidikan terutama
    bagi pemerataan akses keadilan bagi lelaki perempuan
    bersama teman-teman dalam
    keluarga besar dan komunitas Pesantren
    Cipasung Tasikmalaya.





    I.
    Mengenal Pesantren Cipasung





    Pesantren Cipasung didirikan pada tahun
    1931 oleh Almarhum K.H. Ruhiat. Pesantren ini terletak di kampung Cipasung Desa
    Cipakat Kecamatan Singaparna kabupaten Tasikmalaya. Pada awal berdirinya di
    tahun 1931, Pesantren Cipasung hanya memiliki 40 orang santri putera dan
    beberapa ‘santri kalong’. ‘Santri kalong’ adalah istilah untuk
    santri yang hanya mengikuti pengajian malam hari saja dan pada siang harinya
    mereka beraktifitas di rumahnya masing-masing.



    Pada tahun 1937,di Pesantren Cipasung didirikan
    Kursus Kader Muballighin Wal Musyawirin
    , yakni suatu ajang latihan
    berpidato dan bermusyawarah.Kursus yang diadakan setiap malam Kamis ini
    bertujuan menyiapkan kader-kader mubaligh Islam.



    Pada tahun 1942, di masa pemerintahan
    Jepang,Pesantren Cipasung melakukan langkah progresif dengan memberikan
    kesempatan kepada para santri perempuan untuk mengikuti pengajian kitab-kitab
    yang ‘besar’, yang sebelumnya hanya dapat mengikuti pengajian kitab-kitab ‘menengah’
    saja. Salah seorang angkatan pelopornya adalah Hj. Suwa, yang kemudian menjadi
    pengajar kitab tingkat lanjutan (seperti Fathul Mu’in dan Alfiah)
    di Pesantren Cipasung baik bagi santri laki-laki maupun santri perempuan. Tokoh
    angkatan berikutnya adalah Hj.Nonoh Hasanah yang menjadi pendiri dan pengasuh
    pondok Pesantren Putri Cintapada Tasikmalaya. Selanjutnya pada tahun 1943
    diadakan juga ajang latihan berpidato untuk santri perempuan yang disebut Kursus Kader Mubalighoh.



    Langkah yang dilakukan Abah KH. Ruhiat
    menjadikan Pesantren Cipasung semakin terkenal disamping karena reputasi
    kelimuan KH. Ruhiat yang diakui dikalangan ulama sekaligus tokoh NU yang
    disegani khususnya di Jawa Barat juga tradisi mencetak kiayi di Pesantren
    cipasung di anggap berhasil dibuktikan dengan banyaknya alumni yang menjadi
    tokoh agama dan masyarakat bahkan mendirikan pesantren sekaligus memimpinnya.
    Hambali Ahmad tokoh besar Muhammadiyah, Dr.KH.Mutaqien, KH. Ilyas Ruhiat untuk
    menyebut beberapa nama.



    Setelah kemerdekaan Bangsa Indonesia,
    pesantren Cipasung mengembangkan pendidikannya dengan mendirikan sekolah pada
    tahun 1948 didirikan sekolah pendidikan Islam yang disamping mengajarkan
    pelajaran agama yang biasa diajarkan pesantren juga diajarkan pengetahuan umum.
    Pada tahun 1953 menjadi sekolah Menengah Islam Pertama (SMIP) ,kemudian sekolah
    Rakyat Islam ( SRI ) yang sekarang menjadi Madrasah Ibtidaiyah ( MI )
    disusul tahun 1959 didirikan SMAI dan pada tanggal 25-09-1965 berdiri Fakultas
    Tarbiyah Perguruan Tinggi Islam (PTI) Cipasung yang kemudian menjadi IAIC. Pada
    tahun 1969 didirikan pula Sekolah Persiapan IAIN yang pada tahun 1978 menjadi
    Madrasah Aliyah Negeri ( MAN ) Cipasung; pada tahun 1992 Madrasah Tsanawiyah;
    tahun 2002didirikan pula Raudhatul Athfal, sehingga sampai tahun 2003
    jumlah siswa dan mahasiswa sebanyak 5772 orang, yang berada di Asrama sebanyak
    861 siswa santri putra dan 863 santri putri yang dikelola dalam 11 Asrama
    putera dan 11 asrama puteri.



    Pada tanggal 17 Dzulhijjah 1397/18 November
    1977, Abah Ajeungan KH.Ruhiat meninggal dan pimpinan pesantren dipegang oleh
    KH. Moh Ilyas Ruhiat.



    Pada garis besarnya pendidikan di pondok
    pesantren Cipasung, formal, informal dan non formal,juga mengembangkan aspek
    ekonomi ( Koperasi ) Pendidikan latihan keterampilan dan perpustakaan yang
    bekerja sama dengan LP3ES,P3M, Rahima dsb.



    Dengan perkembangan yang demikian pondok
    pesantren Cipasung, telah mempunyai garis besar kebijakan pesantren yang
    kemudian disempurnakan menjadi pola dasar dan pembinaan Pondok Pesantren
    Cipasung yang berasaskan (1)Tafaqquh fid dien (2) Da’wah, (3)Taawaun, (4)
    Musyawarah, (5) Ukhuwah Islamiyah
    , dan bertujuan jangka panjang membina dan
    mengembangkan ketawaan kepada Allah mengembangkan keilmuan yang bermanfaat dan
    pengabdian terhadap agama masyarkat dan negara dengan sasaran pengembangan 10
    tahunan memiliki standar pendidikan yang
    baik dengan mengembangkan pendidikan dengan sistem terpadu dan metodhe
    pendidikan yang baru,menjalin kerja sama dengan berbagai pihak dalam rangka
    peningkatan mutu efektifitas pendidikan, untuk mencapai tujuan tersebut telah
    didirikan Yayasan Pesantren Cipasung,sejak tanggal 21 Agustus 1967.



    Kurikulum untuk sekolah formal
    mengikuti kurikulum nasional sedang kitab yang dipelajari di pesantren masih
    mempertahankan kitab klasik baik dibidang Aqidah, Fiqh maupun Tasauf, yang jika
    dianalisa secara kritis citra dan potret perempuan dalam kontruksi diskursus
    keislaman klasik khususnya fiqih diwarnai dengan beragam ketidakseimbangan
    relasi gender.



    Berikut adalah beberapa citra dan potret
    perempuan dalam diskursus keislaman klasik.



    1.
    Perempuan secara hukum dinilai
    sebagai mahluk setengah laki-laki( waris, berdasar QS Annisa :7)



    2.
    Perempuan sebagai makhluk tidak
    sempurna,lemah kemampuan intelektualnya tidak mampu menguasai gejolak emosional,
    berfikir irrasional, karena itu menurut An-Nawawi perempuan tidak boleh menjadi
    hakim,tidak boleh menjadi pemimpin publik ( QS.Annisa: 34 )



    3.
    Perempuan adalah mahluk penggoda dan
    mudah tergoda oleh bujuk rayuan, karena itu perempuan dilarang memakai wewangian
    selain untuk suaminya dll.



    4.
    Perempuan adalah mahluk yang lemah
    dan tidak cukup mandiri untuk mengurus dirinya sendiri, sehingga dalam banyak
    aktivitas hukum, mereka dipandang masih membutuhkan represitasi dan bimbingan
    laki-laki sebagai wali ( menikah harus pakai wali, pergi haji harus ada mahram)



    5.
    Perempuan adalah makhluk yang
    ditakdirkan untuk mendampingi laki-laki karena dia diciptakan dari tulang rusuk
    Adam, Oleh karena itu tugas utama perempuan adalah melayani kebutuhan suaminya.



    6.
    Secara sosial ramah perempuan adalah
    domestik dan ranah laki-laki adalah publik ( laki-laki adalah kepala
    keluarga,istri ibu rumah tangga, suami berkewajiban menyediakan segala
    kebutuhan istri dan keluarga-nya. Dunia
    laki-laki adalah publik,produksi diluar rumah,perempuan di dalam rumah,dunia
    pelayanan dan reproduksi.



    Kurikulum di Pesantren Cipasung tidak
    membedakan antara santri putera dan santri puteri. Pada masing-masing
    tingkatan, mereka hanya dipisahkan tempat belajarnya saja. Kitab yang
    dipelajari juga tidak ada yang khusus laki-laki ataupun khusus perempuan.
    Kegiatan ekstra kurikuler (seperti diskusi reguler, latihan berpidato, olah
    raga, seni baca Al-Qur’an, kaligrafi, keterampilan berbahasa Arab dan Inggris)
    dapat diikuti oleh setiap santri dan memperoleh bimbingan yang setara.





    II.
    Kedudukan, peran dan hak-hak
    perempuan dalam Islam





    Citra dan potret perempuan dalam konstruksi
    diskursus ke-Islaman klasik seperti dipaparkan sebelumnya, sangat bertentangan
    dengan semangat perwahyuan Al-Qur’an. Al-Qur’an sendiri mengajarkan bahwa Islam
    datang untuk memberikan kebahagiaan dan kedamaian hidup (rahmatan lil alamin)
    bagi seluruh manusia tanpa membedakan jenis kelamin, suku, bangsa,dan
    variabel-variabelstruktur sosial lainnya (QS Al-Hujurat :13), walau secara
    teknis melalui pendekatan kebahasaan, budaya dan sosial, Al Qura’an terkesan
    telah menggariskan perangkat normatif yang memberikan ketentuan hukum yang
    berbeda kepada laki-laki dan perempuan.



    Prinsip moral keadilan mengajarkan
    bahwa Allah tidak mungkin bersikap diskriminatif terhadap setiap hambaNya. Teori hukum Islam
    mengajarkan bahwa seorang mukallaf hanya bertanggung jawab terhadap segala
    aturan hukum yang dia lakukan secara sengaja dan sadar, artinya tidak logis
    jika harus bertanggung jawab terhadap tindakan yang tidak kita pilih, menjadi
    laki-laki atau perempuan. Jika itu diterima sebagai suatu postulat kebenaran
    dan hukum artinya kita harus menerima suatu kesimpulan bahwa ketimpangan gender
    sudah terbentuk sejak zaman azali, kebenaran asumsi ini bertentangan dengan universalitas
    keadilan Allah.



    Kedua alasan tadi mengajarkan kepada kita
    bahwa perlakuan dan pembebanan hukum yang berbeda kepada laki-laki dan
    perempuan tidak dapat diterima menurut logika keadilan Allah dan asas
    pertanggungjawaban. Oleh sebab itu ketentuan dan pembebanan hukum yang berbeda antara lak-laki
    dan perempuan walau dikatakan bersumber pada Al Qur’an bukan konstruksi ilahiyah,
    tetapi ia lebih sebagai produk historis (sosial budaya) dimana sejarah Islam
    diterjemahkan ke dalam bahasa sosial budaya tertentu.



    Kaidah Fiqhiyah menyebutkan bahwa
    hukum berubah seiring dengan pergerakan perubahan waktu. Eksistensi ketentuan
    hukum berotasi sesuai dengan alasannya. Kaidah
    ini secara implisit menegaskan bahwa ketentuan hukum bukan suatu
    ketetapan azali yang didasarkan pada faktor biologis yang bersifat kodrati.
    Perbedaan hukum seseungguhnya merupakan
    fenomena sosial; budaya (terkadang politik); persoalan kemanusiaan dalam upaya
    hidup mendunia.



    Dimensi teologi Islam yang membedakan
    ketentuan hukum bagi laki-laki dan perempuan yang bahkan secara teknis
    ditampakkan dan dibaha-sakan dalam struktur linguistik bahasa dan relativitas
    budaya yang diterima Al-Qur’an; tidak harus dipahami sebagai perbedaan yang
    bersifat kodrati yang mengacu pada faktor biologis manusia tetapi sebagai
    proses hidup manusia mendunia.



    Pemikiran yang dipaparkan tadi telah
    diproduksi dan direproduksi melalui pesantren, yang disatu sisi seakan
    ketentuan tersebut tidak dapat berubah, tetapi kaidah hukum (ushul fiqh) yang
    juga dipelajari di pesantren memberi peluang untuk adanya perubahan. Oleh
    karena itu Pesantren Cipasung dalam hal ini Nahdina (sebuah forum kajian dan
    sosialisasi hak perempuan) berupaya untuk menekuni hal tersebut sebagai
    tindakan penguatan wacana dan melakukan proses perubahan dan penyadaran.



    Langkah-langkah yang telah dilakukan
    Nahdina adalah sebagai berikut :



    1.
    Penguatan lembaga sebagai arena
    penambahan,pemantapan dan penya-maan wawasan dengan cara melakukan pertemuan
    rutin guru-guru pesantren yang telah mendapatkan pelatihan. Pertemuan yang
    dilakukan setiap bulan sekali ini bertujuan untuk bertukar pikiran dan
    informasi melalui diskusi secara bergiliran.



    2.
    Memperluas jaringan melalui
    pembentukan jaringan (network building) Kajian Penguatan Hak Perempuan
    Tasikmalaya. Jaringan ini beranggo-takan organisasi massa berbasis Islam
    (Muslimat NU, Fatayat NU, Aisyiah Muhammadiyah, Nasyiatul Aisyiah, Kohati,
    Persistri) dan LSM yang peduli terhadap pemberdayaan perempuan.



    3.
    Sosialisasi untuk menyemakan wawasan
    melalui pengajian rutin, intergrasi dengan mata pelajaran baik di sekolah
    maupun di pesantren.



    4.
    Menerjemahkan istilah gender ke
    dalam bahasa yang lebih akrab dengan budaya Sunda atau dengan menyeberkan dalam
    bentuk syair-syair yang biasa dikumandangkan saat menjelang pengajian (shalawat
    gender).



    Sangat disadari bahwa langkah-langkah tersebut baru
    merupakan langkah wal dan kecil, tapi menyadari bahwa jika tidak dilakukan
    secara terus menerus, harapan bahwa perempuan akan dihargai sebagai manusia
    yang sama terhormatnya dengan manusia dengan jenis kelamin lain ketika Allah
    menciptakannya, hanya akan menjadi impian utopia yang takkan pernah terwujud.


    Melalui tulisan ini aku ingin mengatakan
    mimpiku membikin sebuah pesantren dengan tetap mempertahankan nilai-nilai luhur
    kepesantrenan (ikhlas, sederhana, zuhud, wara’, mandiri, dsb.), dengan
    spesifikasi pember-dayaan dan penguatan perempuan di bidang informasi, terutama
    biang ilmu agama yang selama ini ‘dikuasai’ laki-laki. Semoga, aamiin…

      Waktu sekarang Thu Nov 21, 2024 9:53 pm