Agama dan
Kosmologi
Kosmologi yang benar adalah fondasi yang
harus dibangun oleh setiap insan beragama. Dengan metode
epistemologis apakah kosmologi ini bisa dibangun? Mungkinkan pengetahuan
empiris dapat memecahkan masalah-masalah prinsipal kosmologis? Dimanakah
posisi tasawwuf dalam perfeksi dan perjalanan spiritual manusia?
Artikel ini akan menjawabnya dengan penjelasan yang lugas dan
sesederhana mungkin.
Definisi Agama
Bicara
soal agama, tidak bisa tidak kita harus memahami terlebih dahulu devinisi
agama. Dalam bahasa Arab agama disebut ‘Din’ yang secara bahasa berarti
ketataan, pahala dsb. Dalam istilah, Din berarti keyakinan kepada
Sang Pencipta manusia dan alam semesta serta ajaran-ajaran amaliah yang sesuai
dengan keyakinan ini. Atas dasar ini orang yang tidak meyakini adanya
Sang Pencita dan menganggap segala fenomena alam ini sebagai kejadian spontan
atau semata-mata terjadi karena interaksi alam natural disebut sebagai orang
yang tak beragama (ateis). Sebalik orang yang meyakini adanya Sang
Pencipta semesta alam disebut sebagai orang yang beragama, sekalipun
keyakinannya atau ritus-ritus agamanya mengalami penyimpangan dan
khurafat. Maka dari itu, agama terbagi menjadi hak dan batil.
Agama yang hak adalah agama yang mengandung keyakinan yang sesuai dengan
kenyataan serta membawa petunjuk kepada perilaku-perilaku yang memiliki jaminan
yang valid untuk menggapai kebenaran.
Ushul dan Furu’
Dengan pengertian terminologis agama tadi jelaslah bahwa
agama setidaknya terdiri dari dua elemen. Pertama, akidah atau
keyakinan-keyakinan yang dilandasi dengan prinsip dan dasar yang
valid. Kedua, hukum atau perintah-perintah amaliah yang
sesuai dengan dasar-dasar akidah. Dengan demikian, tepatlah kiranya
jika elemen akidah setiap agama disebut ‘ushul’ (pokok-pokok) sedangkan
elemen hukum amaliahnya disebut furu’ (cabang). Dua istilah ini oleh para
ulama Islam juga lazim disebut akidah Islam dan hukum Islam.
Kosmologi dan Ideologi
Istilah kosmologi dan ideologi artinya tak jauh berbeda satu dengan
yang lain. Arti kosmologi antara lain ialah serangkaian keyakinan
dan pandangan universal yang tersistematis mengenai manusia dan alam semesta,
atau secara umum mengenai ‘ke-ada-an’ (wujud). Sedangkan arti ideologi
antara lain ialah serangkaian pandangan universal yang tersistematis mengenai
perilaku manusia.
Sesuai dua pengertian ini bisa dikatakan bahwa rangkaian akidah dan ushul
setiap agama adalah kosmologi agama ini sendiri, sementara sistem universal
hukum-hukum amaliahnya adalah ideologinya, dan keduanya diterapkan sesuai ushul
dan furu’ agama ini. Patut diingat bahwa istilah ideologi tidak mencakup
hukum-hukum parsial sebagaimana kosmologi juga tidak mencakup
keyakinan-keyakinan parsial. Selain itu, kata ideologi juga sering
diterapkan pada pengertian umum yang mencakup kosmologi.
Kosmologi Teisme dan Kosmologi Materialisme
Di tengah umat manusia terdapat aneka ragam
kosmologi. Toh demikian, dengan pertimbangan diterima atau tidaknya alam
immateri atau supranatural semuanya bisa dibagi dalam dikotomi kosmologi
ketuhanan (teisme) dan kosmologi materialisme. Penganut kosmologi
materialisme dulu disebut zindiq atau mulhid (ateis), sedangkan sekarang lazim
disebut materialis. Ada banyak paham yang membidani lahirnya materialisme, dan
diantaranya yang paling kesohor ialah Materialisme Dialektik yang menjadi
elemen filosofis ajaran Marxisme.
Dari keterangan di atas jelas bahwa penerapan istilah kosmologi lebih luas
daripada istilah keyakinan atau akidah agama, karena kosmologi juga meliputi
paham-paham ateisme dan materialisme sedangkan akidah agama tidak
mencakupnya. Ini serupa dengan istilah ideologi yang sebenarnya hanya
mencakup rangkaian hukum-hukum agama.
Agama Samawi dan Ushulnya
Tentang proses munculnya berbagai agama para ahli sejarah
agama dan sosiolog berbeda pendapat. Namun, berdasarkan apa yang bisa
dipahami dari teks-teks keislaman (nash), agama muncul sejak manusia itu
ada. Manusia pertama adalah Nabi Adam as yang merupakan nabi penyeru
Tauhid (monoteisme), sedangkan keberadaan agama–agama yang mengandung
paham-paham syirik (politeisme) tak lain adalah akibat penyelewengan, distorsi,
dan tendensi-tendensi individual maupun kelompok.
Agama-agama monoteisme yang merupakan agama samawi dan hakiki memiliki tiga
prinsip universal yang kolektif. Pertama, keyakinan kepada Tuhan
Yang Esa. Kedua, keyakinan kepada kehidupan yang abadi untuk setiap
manusia di alam akhirat serta ganjaran dan pahala untuk setiap perbuatannya
ketika hidup di alam dunia. Ketiga, keyakinan kepada pengutusan
para Nabi oleh Allah SWT untuk menuntun umat manusia kepada kesempurnaan dan
kebahagiaan dunia dan akhirat.
Tiga prinsip ini pada hakikatnya adalah jawaban untuk beberapa pertanyaan
fundamental untuk setiap orang yang arif dan bijak yaitu, apa dan siapakah
kausa prima atau sumber pertama wujud alam semesta ini? Apakah akhir dari
kehidupan ini? Dan apakah yang bisa dijadikan sebagai jalur terbaik untuk
menjalani program hidup? Adapun kandungan program yang dapat dipelajari
dari jalur wahyu yang terjamin kebenarannya tak lain ialah ideologi religius
yang terbangun berlandaskan kosmologi teisme.
Keyakinan-keyakinan prinsipal memiliki berbagai konsekwensi, korelasi,
akses, dan rincian-rincian yang keseluruhannya membentuk konsetalasi keyakinan
religius. Perselisihan dalam hal-hal inilah yang menumbuh-biakkan
berbagai aliran keagamaan, mazhab, dan sekte. Perselisihan mengenai
status kenabian sebagian nabi serta penentuan kitab suci yang valid, misalnya,
telah memicu perselisihan antara agama-agama Yahudi, Kristen, dan Islam.
Perselisihan ini kemudian membawa akses berupa perselisihan-perselihan lain
dalam keyakinan dan tradisi yang sebagian diantaranya tidak sejalan dengan
keyakinan-keyakinan prinsipal. Contohnya adalah keyakinan trinitas dalam
agama Kristen yang jelas-jelas berseberangan dengan paham monoteisme, walaupun
umat Kristiani tetap berusaha mengemas keyakinan trinitas ini dengan
penjelasan-penjelasannya sendiri. Dalam Islampun, umat Nabi Besar
Muhammad saww juga terpecah menjadi Ahlussunnah dan Syiah akibat perselisihan
mengenai mekanisme penentuan para pengganti Rasul saww. Syiah meyakini
bahwa yang berhak menentukannya hanyalah Allah SWT, sementara Ahlussunnah
meyakini bahwa yang menentukannya adalah umat Islam sendiri.
Alhasil, Tauhid, kenabian, dan hari kebangkitan adalah keyakinan yang
paling fundamental dan prinsipal dalam semua ajaran agama samawi.
Masalah Masalah Prinsipal Kosmologis
Ketika manusia berniat memecahkan berbagai persoalan
fundamental kosmologis dan mengenal ushuluddin yang benar, pertanyaan yang
pertama kali mencuat ialah apakah jalan pemecahan masalah-masalah ini?
Bagaimanakah pengetahuan-pengetahuan yang fundamental bisa diserap dengan
benar? Di tengah berbagai metode yang ada, metode manakah yang valid untuk memperoleh
pengatahuan-pengetahuan ini?
Semua pertanyaan ini dibahas secara rinci dalam epistemologi, yaitu satu
disiplin ilmu yang menganalisis dan mengevaluasi berbagai pengetahuan dan
metode penalaran manusia dalam memperoleh pengetahuan. Kita di sini akan
membicarakan masalah ini sekadarnya.
Berbagai Jenis Pengetahuan
Dari satu aspek tertentu pengetahuan-pengetahuan manusia
bisa diklasifikasikan ke dalam empat kategori:
Pertama, pengetahuan empiris. Pengetahuan ini diperoleh manusia
dengan mengandalkan organ-organ inderawi, kendati akal juga berperan dalam
eksepsi dan generalisasi pengetahuan-pengetahuan empiris. Pengetahuan
empiris difungsikan dalam ilmu-ilmu empiris semisal kimia, fisika, dan biologi.
Kedua, pengetahuan rasional. Pengetahuan ini dibentuk
oleh konsepsi-konsepsi yang diserap oleh akal pikiran. Dalam pengetahuan
ini peranan akal sangat fundamental kendati adakalanya persepsi-persepsi
empiris masih digunakan sebagai sumber serapan konsepsi atau digunakan sebagai
bagian dari premis dalam silogisme. Ruang gerak pengetahuan ini meliputi
ilmu logika, ilmu filsafat, dan ilmu matematika.
Ketiga, pengetahuan yang diterima begitu saja (ta’abbudi).
Pengetahuan ini memiliki aspek sekunder dengan pengertian bahwa ilmu ini
didapat berdasarkan pengetahuan-pengetahuan sebelumnya yang sudah dibuktikan
sebagai sumber yang valid dan punya otoritas. Dengan kata lain pengetahuan ini
diperoleh dari berita yang disampaikan oleh pembawa kabar yang terbukti bisa
dipercaya. Contoh kongretnya adalah pengetahuan yang diperoleh para penganut
agama dari pemuka agamanya. Pengetahuan ini adakalanya membentuk
keyakinan yang jauh lebih kuat daripada keyakinan-keyakinan yang diperolehnya
dari pengalaman-pengalaman empiris.
Keempat, pengetahuan intuitif (syuhudi). Tak seperti
tiga kategori pengetahuan di atas, pengetahuan ini bersentuhan langsung dengan
obyeknya tanpa perantara gambaran subyetif. Karena itu, ilmu atau
pengetahuan ini tidak mungkin salah. Namun demikian, biasanya apa diklaim
sebagai ilmu syuhudi atau irfani pada hakikatnya adalah interpretasi subyektif
dari sesuatu yang telah disaksikan. Interpretasi inilah yang bisa
salah.
Berbagai Jenis Kosmologi
Berdasarkan klasifikasi di atas, kosmologi bisa dibagi
dalam empat bagian sebagai berikut:
Pertama, kosmologi ilmiah. Maksudnya ialah manusia
membangun kosmologi universalnya mengenai alam semesta berdasarkan hasil-hasil
ilmu pengetahuan empiris.
Kedua, kosmologi filosofis yang dicapai melalui proses
argumentasi-argumentasi rasional.
Ketiga, kosmologi yang diperoleh melalui keimanan kepada para
pemimpin agama sehingga semua kata-kata mereka diyakini sebagai kebenaran.
Keempat, kosmologi irfani yang diperoleh melalui jalur intuisi
atau mukasyafah, syuhud, dan isyraq.
Pertanyaannya sekarang ialah apakah semua masalah fundamental kosmologis
bisa dipecahkan secara seimbang melalui semua bagian kosmologi di atas?
Ataukah ada satu diantaranya yang harus diprioritaskan atas yang lain?
Evaluasi dan Tinjauan Kritis
Seperti diketahui, ruang gerak pengetahuan empiris hanya
terbatas pada fenomena-fenomena alam materi. Maka dari itu, hasil-hasil ilmu
empiris tidak bisa mengenal fondasi-fondasi kosmologi dan menyelesaikan
masalah-masalah kosmologis yang letaknya berada di luar peta ilmu pengetahuan
empiris. Ilmu empiris tidak bisa mengisbatkan atau menafikannya.
Hasil-hasil riset di laboratorium, misalnya, tidak akan bisa mengkonfirmasikan
atau menolak keberadaan Tuhan. Ini tak lain karena pengalaman empiris
sama sekali tidak akan bisa menjangkau alam immateri dan oleh sebab itu
pengalaman ini jelas tidak akan bisa mengisbatkan atau menafikan sesuatu yang
berada di luar zona alam materi.
Dengan demikian, kosmologi empiris lebih menyerupai fatamorgana.
Karenanya, kata-kata ‘kosmologi’ dalam pengertian yang sebenarnya tidak bisa
diterapkan pada pandangan-pandangan universal empiris. Kita hanya bisa
menyebutnya sebagai Ilmu Pengetahuan Alam Materi. Jadi, ilmu ini
tidak akan bisa menjawab berbagai persoalan prinsipal menyangkut kosmologi.
Pengetahuan-pengetahuan ta’abbudi juga demikian. Sebagaimana
yang dijelaskan tadi, pengetahuan ta’abbudi bersifat sekunder dalam pengertian
bahwa pengetahuan ini bisa diyakini setelah sumbernya bisa dibuktikan valid
sebelumnya. Jadi, sebelumnya harus bisa dibuktikan kenabian seseorang
yang menjadi nara sumber pengetahuan itu. Sebelum ini pun harus pula
dibuktikan keberadaan Tuhan, Zat yang mengutus nabi untuk membawa kabar (baca:
pengetahuan). Dan keberadaan Pengutus nabi serta kenabian orang yang
diutus-Nya jelas tidak bisa dibuktikan dengan pesan (baca: pengetahuan) yang
dibawa oleh nabi. Misalnya, keberadaan Tuhan tidak bisa kita buktikan
dengan pernyataan Al-Quran:“Tuhan itu ada”. Dengan demikian, metode ta’abbudi
juga tidak bisa menyelesaikan masalah-masalah prinsipal kosmologis.
Adapun berkenaan dengan motode irfani, syuhudi, intiusi, atau yang juga
disebut mistis kita perlu memberikan penjelasan secara agak detail melalui
beberapa poin sbb:
Pertama, Kosmologi adalah pengetahuan yang terdiri dari
konsepsi-konsepsi subyektif (mafahim dzihniah), sementara dalam intuisi
sama sekali tidak ada mafahim dzihniah.
Kedua, untuk menjelaskan dan menginterpretasi apa yang
diketahui seseorang dengan jalan intuisi sangatlah memerlukan kepiawaian yang
besar dalam berpikir, dan ini tidak akan bisa dicapai kecuali dengan latar
belakang jerih payah berpikir dan analisis-analisis filosofis yang
panjang. Jika tidak, maka seseorang yang mengalami intuisi akan terjebak
pada penggunaan kata-kata yang ambigu sehingga bisa menjadi penyebab timbulnya
kesesatan dan penyelewenangan.
Ketiga, dalam banyak kasus, hakikat yang diketahui seseorang
melalui intuisi bisa mengundang kebingungan bagi orang ini sendiri manakala dia
mencoba memberikan refleksi dan interpretasi subyektif.
Keempat, diketahuinya hakikat-hakikat yang setelah
diinterpretasikan oleh pikiran bisa kita sebut kosmologi bergantung kepada
proses penempuhan jalan suluk, sedangkan penerimaan metode suluk ini sendiri
juga memerlukan teori-teori dasar dan masalah-masalah prinsipal dalam kosmologi.
Jadi, masalah-masalah ini harus terpecahkan terlebih dahulu sebelum dimulai
perjalanan suluk, sedangkan pengetahuan-pengetahuan intiusi berada pada tahap
yang paling akhir. Suluk, irfan, atau yang disebut tasawwuf hanya akan bisa
dialami oleh seseorang jika dia benar-benar ikhlas berusaha menempuh jalan
Allah SWT, dan usaha ini hanya bisa ditempuh oleh yang orang yang
memiliki pengetahuan sebelumnya tentang Allah dan jalan pengabdian kepada-Nya.
Kesimpulan
Setelah semua metode di atas terbukti tidak bisa difungsikan dalam
penyelesaian masalah-masalah prinsipal kosmologis, maka tinggallah satu jalan
yang bisa dijadikan alternatif, dan itu ialah jalan penalaran rasional.
Dengan begitu, maka kosmologi yang yang valid dan realistis ialah kosmologi filosofis.
Sungguhpun demikian, ini bukan berarti bahwa untuk menemukan
kosmologi yang benar semua persoalan-persoalan filosofis harus bisa
dipecahkan. Sebaliknya, pemecahan beberapa persoalan filosofis yang
sederhana dan mendekati aksiomatis sudah cukup untuk membuktikan keberadaan
Tuhan yang merupakan masalah yang paling fundamental dalam kosmologi.
Selain itu, menjadikan metode penalaran rasional (ta’aqqul)
sebagai satu-satunya alternatif bukan berarti bahwa metode-metode
lain tidak bisa dimanfaatkan untuk menyelesaikan masalah-masalah kosmologis,
karena banyak sekali argumentasi-argumentasi rasional yang bisa dikemukakan
melalui premis-premis yang didapat dari ilmu-ilmu empiris dsb. (Artikel ini
disadur dari buku Amuzashe Aqaid yang ditulis Ayatullah Misbah Yazdi
untuk para pemula pelajar akidah.
Kosmologi
Kosmologi yang benar adalah fondasi yang
harus dibangun oleh setiap insan beragama. Dengan metode
epistemologis apakah kosmologi ini bisa dibangun? Mungkinkan pengetahuan
empiris dapat memecahkan masalah-masalah prinsipal kosmologis? Dimanakah
posisi tasawwuf dalam perfeksi dan perjalanan spiritual manusia?
Artikel ini akan menjawabnya dengan penjelasan yang lugas dan
sesederhana mungkin.
Definisi Agama
Bicara
soal agama, tidak bisa tidak kita harus memahami terlebih dahulu devinisi
agama. Dalam bahasa Arab agama disebut ‘Din’ yang secara bahasa berarti
ketataan, pahala dsb. Dalam istilah, Din berarti keyakinan kepada
Sang Pencipta manusia dan alam semesta serta ajaran-ajaran amaliah yang sesuai
dengan keyakinan ini. Atas dasar ini orang yang tidak meyakini adanya
Sang Pencita dan menganggap segala fenomena alam ini sebagai kejadian spontan
atau semata-mata terjadi karena interaksi alam natural disebut sebagai orang
yang tak beragama (ateis). Sebalik orang yang meyakini adanya Sang
Pencipta semesta alam disebut sebagai orang yang beragama, sekalipun
keyakinannya atau ritus-ritus agamanya mengalami penyimpangan dan
khurafat. Maka dari itu, agama terbagi menjadi hak dan batil.
Agama yang hak adalah agama yang mengandung keyakinan yang sesuai dengan
kenyataan serta membawa petunjuk kepada perilaku-perilaku yang memiliki jaminan
yang valid untuk menggapai kebenaran.
Ushul dan Furu’
Dengan pengertian terminologis agama tadi jelaslah bahwa
agama setidaknya terdiri dari dua elemen. Pertama, akidah atau
keyakinan-keyakinan yang dilandasi dengan prinsip dan dasar yang
valid. Kedua, hukum atau perintah-perintah amaliah yang
sesuai dengan dasar-dasar akidah. Dengan demikian, tepatlah kiranya
jika elemen akidah setiap agama disebut ‘ushul’ (pokok-pokok) sedangkan
elemen hukum amaliahnya disebut furu’ (cabang). Dua istilah ini oleh para
ulama Islam juga lazim disebut akidah Islam dan hukum Islam.
Kosmologi dan Ideologi
Istilah kosmologi dan ideologi artinya tak jauh berbeda satu dengan
yang lain. Arti kosmologi antara lain ialah serangkaian keyakinan
dan pandangan universal yang tersistematis mengenai manusia dan alam semesta,
atau secara umum mengenai ‘ke-ada-an’ (wujud). Sedangkan arti ideologi
antara lain ialah serangkaian pandangan universal yang tersistematis mengenai
perilaku manusia.
Sesuai dua pengertian ini bisa dikatakan bahwa rangkaian akidah dan ushul
setiap agama adalah kosmologi agama ini sendiri, sementara sistem universal
hukum-hukum amaliahnya adalah ideologinya, dan keduanya diterapkan sesuai ushul
dan furu’ agama ini. Patut diingat bahwa istilah ideologi tidak mencakup
hukum-hukum parsial sebagaimana kosmologi juga tidak mencakup
keyakinan-keyakinan parsial. Selain itu, kata ideologi juga sering
diterapkan pada pengertian umum yang mencakup kosmologi.
Kosmologi Teisme dan Kosmologi Materialisme
Di tengah umat manusia terdapat aneka ragam
kosmologi. Toh demikian, dengan pertimbangan diterima atau tidaknya alam
immateri atau supranatural semuanya bisa dibagi dalam dikotomi kosmologi
ketuhanan (teisme) dan kosmologi materialisme. Penganut kosmologi
materialisme dulu disebut zindiq atau mulhid (ateis), sedangkan sekarang lazim
disebut materialis. Ada banyak paham yang membidani lahirnya materialisme, dan
diantaranya yang paling kesohor ialah Materialisme Dialektik yang menjadi
elemen filosofis ajaran Marxisme.
Dari keterangan di atas jelas bahwa penerapan istilah kosmologi lebih luas
daripada istilah keyakinan atau akidah agama, karena kosmologi juga meliputi
paham-paham ateisme dan materialisme sedangkan akidah agama tidak
mencakupnya. Ini serupa dengan istilah ideologi yang sebenarnya hanya
mencakup rangkaian hukum-hukum agama.
Agama Samawi dan Ushulnya
Tentang proses munculnya berbagai agama para ahli sejarah
agama dan sosiolog berbeda pendapat. Namun, berdasarkan apa yang bisa
dipahami dari teks-teks keislaman (nash), agama muncul sejak manusia itu
ada. Manusia pertama adalah Nabi Adam as yang merupakan nabi penyeru
Tauhid (monoteisme), sedangkan keberadaan agama–agama yang mengandung
paham-paham syirik (politeisme) tak lain adalah akibat penyelewengan, distorsi,
dan tendensi-tendensi individual maupun kelompok.
Agama-agama monoteisme yang merupakan agama samawi dan hakiki memiliki tiga
prinsip universal yang kolektif. Pertama, keyakinan kepada Tuhan
Yang Esa. Kedua, keyakinan kepada kehidupan yang abadi untuk setiap
manusia di alam akhirat serta ganjaran dan pahala untuk setiap perbuatannya
ketika hidup di alam dunia. Ketiga, keyakinan kepada pengutusan
para Nabi oleh Allah SWT untuk menuntun umat manusia kepada kesempurnaan dan
kebahagiaan dunia dan akhirat.
Tiga prinsip ini pada hakikatnya adalah jawaban untuk beberapa pertanyaan
fundamental untuk setiap orang yang arif dan bijak yaitu, apa dan siapakah
kausa prima atau sumber pertama wujud alam semesta ini? Apakah akhir dari
kehidupan ini? Dan apakah yang bisa dijadikan sebagai jalur terbaik untuk
menjalani program hidup? Adapun kandungan program yang dapat dipelajari
dari jalur wahyu yang terjamin kebenarannya tak lain ialah ideologi religius
yang terbangun berlandaskan kosmologi teisme.
Keyakinan-keyakinan prinsipal memiliki berbagai konsekwensi, korelasi,
akses, dan rincian-rincian yang keseluruhannya membentuk konsetalasi keyakinan
religius. Perselisihan dalam hal-hal inilah yang menumbuh-biakkan
berbagai aliran keagamaan, mazhab, dan sekte. Perselisihan mengenai
status kenabian sebagian nabi serta penentuan kitab suci yang valid, misalnya,
telah memicu perselisihan antara agama-agama Yahudi, Kristen, dan Islam.
Perselisihan ini kemudian membawa akses berupa perselisihan-perselihan lain
dalam keyakinan dan tradisi yang sebagian diantaranya tidak sejalan dengan
keyakinan-keyakinan prinsipal. Contohnya adalah keyakinan trinitas dalam
agama Kristen yang jelas-jelas berseberangan dengan paham monoteisme, walaupun
umat Kristiani tetap berusaha mengemas keyakinan trinitas ini dengan
penjelasan-penjelasannya sendiri. Dalam Islampun, umat Nabi Besar
Muhammad saww juga terpecah menjadi Ahlussunnah dan Syiah akibat perselisihan
mengenai mekanisme penentuan para pengganti Rasul saww. Syiah meyakini
bahwa yang berhak menentukannya hanyalah Allah SWT, sementara Ahlussunnah
meyakini bahwa yang menentukannya adalah umat Islam sendiri.
Alhasil, Tauhid, kenabian, dan hari kebangkitan adalah keyakinan yang
paling fundamental dan prinsipal dalam semua ajaran agama samawi.
Masalah Masalah Prinsipal Kosmologis
Ketika manusia berniat memecahkan berbagai persoalan
fundamental kosmologis dan mengenal ushuluddin yang benar, pertanyaan yang
pertama kali mencuat ialah apakah jalan pemecahan masalah-masalah ini?
Bagaimanakah pengetahuan-pengetahuan yang fundamental bisa diserap dengan
benar? Di tengah berbagai metode yang ada, metode manakah yang valid untuk memperoleh
pengatahuan-pengetahuan ini?
Semua pertanyaan ini dibahas secara rinci dalam epistemologi, yaitu satu
disiplin ilmu yang menganalisis dan mengevaluasi berbagai pengetahuan dan
metode penalaran manusia dalam memperoleh pengetahuan. Kita di sini akan
membicarakan masalah ini sekadarnya.
Berbagai Jenis Pengetahuan
Dari satu aspek tertentu pengetahuan-pengetahuan manusia
bisa diklasifikasikan ke dalam empat kategori:
Pertama, pengetahuan empiris. Pengetahuan ini diperoleh manusia
dengan mengandalkan organ-organ inderawi, kendati akal juga berperan dalam
eksepsi dan generalisasi pengetahuan-pengetahuan empiris. Pengetahuan
empiris difungsikan dalam ilmu-ilmu empiris semisal kimia, fisika, dan biologi.
Kedua, pengetahuan rasional. Pengetahuan ini dibentuk
oleh konsepsi-konsepsi yang diserap oleh akal pikiran. Dalam pengetahuan
ini peranan akal sangat fundamental kendati adakalanya persepsi-persepsi
empiris masih digunakan sebagai sumber serapan konsepsi atau digunakan sebagai
bagian dari premis dalam silogisme. Ruang gerak pengetahuan ini meliputi
ilmu logika, ilmu filsafat, dan ilmu matematika.
Ketiga, pengetahuan yang diterima begitu saja (ta’abbudi).
Pengetahuan ini memiliki aspek sekunder dengan pengertian bahwa ilmu ini
didapat berdasarkan pengetahuan-pengetahuan sebelumnya yang sudah dibuktikan
sebagai sumber yang valid dan punya otoritas. Dengan kata lain pengetahuan ini
diperoleh dari berita yang disampaikan oleh pembawa kabar yang terbukti bisa
dipercaya. Contoh kongretnya adalah pengetahuan yang diperoleh para penganut
agama dari pemuka agamanya. Pengetahuan ini adakalanya membentuk
keyakinan yang jauh lebih kuat daripada keyakinan-keyakinan yang diperolehnya
dari pengalaman-pengalaman empiris.
Keempat, pengetahuan intuitif (syuhudi). Tak seperti
tiga kategori pengetahuan di atas, pengetahuan ini bersentuhan langsung dengan
obyeknya tanpa perantara gambaran subyetif. Karena itu, ilmu atau
pengetahuan ini tidak mungkin salah. Namun demikian, biasanya apa diklaim
sebagai ilmu syuhudi atau irfani pada hakikatnya adalah interpretasi subyektif
dari sesuatu yang telah disaksikan. Interpretasi inilah yang bisa
salah.
Berbagai Jenis Kosmologi
Berdasarkan klasifikasi di atas, kosmologi bisa dibagi
dalam empat bagian sebagai berikut:
Pertama, kosmologi ilmiah. Maksudnya ialah manusia
membangun kosmologi universalnya mengenai alam semesta berdasarkan hasil-hasil
ilmu pengetahuan empiris.
Kedua, kosmologi filosofis yang dicapai melalui proses
argumentasi-argumentasi rasional.
Ketiga, kosmologi yang diperoleh melalui keimanan kepada para
pemimpin agama sehingga semua kata-kata mereka diyakini sebagai kebenaran.
Keempat, kosmologi irfani yang diperoleh melalui jalur intuisi
atau mukasyafah, syuhud, dan isyraq.
Pertanyaannya sekarang ialah apakah semua masalah fundamental kosmologis
bisa dipecahkan secara seimbang melalui semua bagian kosmologi di atas?
Ataukah ada satu diantaranya yang harus diprioritaskan atas yang lain?
Evaluasi dan Tinjauan Kritis
Seperti diketahui, ruang gerak pengetahuan empiris hanya
terbatas pada fenomena-fenomena alam materi. Maka dari itu, hasil-hasil ilmu
empiris tidak bisa mengenal fondasi-fondasi kosmologi dan menyelesaikan
masalah-masalah kosmologis yang letaknya berada di luar peta ilmu pengetahuan
empiris. Ilmu empiris tidak bisa mengisbatkan atau menafikannya.
Hasil-hasil riset di laboratorium, misalnya, tidak akan bisa mengkonfirmasikan
atau menolak keberadaan Tuhan. Ini tak lain karena pengalaman empiris
sama sekali tidak akan bisa menjangkau alam immateri dan oleh sebab itu
pengalaman ini jelas tidak akan bisa mengisbatkan atau menafikan sesuatu yang
berada di luar zona alam materi.
Dengan demikian, kosmologi empiris lebih menyerupai fatamorgana.
Karenanya, kata-kata ‘kosmologi’ dalam pengertian yang sebenarnya tidak bisa
diterapkan pada pandangan-pandangan universal empiris. Kita hanya bisa
menyebutnya sebagai Ilmu Pengetahuan Alam Materi. Jadi, ilmu ini
tidak akan bisa menjawab berbagai persoalan prinsipal menyangkut kosmologi.
Pengetahuan-pengetahuan ta’abbudi juga demikian. Sebagaimana
yang dijelaskan tadi, pengetahuan ta’abbudi bersifat sekunder dalam pengertian
bahwa pengetahuan ini bisa diyakini setelah sumbernya bisa dibuktikan valid
sebelumnya. Jadi, sebelumnya harus bisa dibuktikan kenabian seseorang
yang menjadi nara sumber pengetahuan itu. Sebelum ini pun harus pula
dibuktikan keberadaan Tuhan, Zat yang mengutus nabi untuk membawa kabar (baca:
pengetahuan). Dan keberadaan Pengutus nabi serta kenabian orang yang
diutus-Nya jelas tidak bisa dibuktikan dengan pesan (baca: pengetahuan) yang
dibawa oleh nabi. Misalnya, keberadaan Tuhan tidak bisa kita buktikan
dengan pernyataan Al-Quran:“Tuhan itu ada”. Dengan demikian, metode ta’abbudi
juga tidak bisa menyelesaikan masalah-masalah prinsipal kosmologis.
Adapun berkenaan dengan motode irfani, syuhudi, intiusi, atau yang juga
disebut mistis kita perlu memberikan penjelasan secara agak detail melalui
beberapa poin sbb:
Pertama, Kosmologi adalah pengetahuan yang terdiri dari
konsepsi-konsepsi subyektif (mafahim dzihniah), sementara dalam intuisi
sama sekali tidak ada mafahim dzihniah.
Kedua, untuk menjelaskan dan menginterpretasi apa yang
diketahui seseorang dengan jalan intuisi sangatlah memerlukan kepiawaian yang
besar dalam berpikir, dan ini tidak akan bisa dicapai kecuali dengan latar
belakang jerih payah berpikir dan analisis-analisis filosofis yang
panjang. Jika tidak, maka seseorang yang mengalami intuisi akan terjebak
pada penggunaan kata-kata yang ambigu sehingga bisa menjadi penyebab timbulnya
kesesatan dan penyelewenangan.
Ketiga, dalam banyak kasus, hakikat yang diketahui seseorang
melalui intuisi bisa mengundang kebingungan bagi orang ini sendiri manakala dia
mencoba memberikan refleksi dan interpretasi subyektif.
Keempat, diketahuinya hakikat-hakikat yang setelah
diinterpretasikan oleh pikiran bisa kita sebut kosmologi bergantung kepada
proses penempuhan jalan suluk, sedangkan penerimaan metode suluk ini sendiri
juga memerlukan teori-teori dasar dan masalah-masalah prinsipal dalam kosmologi.
Jadi, masalah-masalah ini harus terpecahkan terlebih dahulu sebelum dimulai
perjalanan suluk, sedangkan pengetahuan-pengetahuan intiusi berada pada tahap
yang paling akhir. Suluk, irfan, atau yang disebut tasawwuf hanya akan bisa
dialami oleh seseorang jika dia benar-benar ikhlas berusaha menempuh jalan
Allah SWT, dan usaha ini hanya bisa ditempuh oleh yang orang yang
memiliki pengetahuan sebelumnya tentang Allah dan jalan pengabdian kepada-Nya.
Kesimpulan
Setelah semua metode di atas terbukti tidak bisa difungsikan dalam
penyelesaian masalah-masalah prinsipal kosmologis, maka tinggallah satu jalan
yang bisa dijadikan alternatif, dan itu ialah jalan penalaran rasional.
Dengan begitu, maka kosmologi yang yang valid dan realistis ialah kosmologi filosofis.
Sungguhpun demikian, ini bukan berarti bahwa untuk menemukan
kosmologi yang benar semua persoalan-persoalan filosofis harus bisa
dipecahkan. Sebaliknya, pemecahan beberapa persoalan filosofis yang
sederhana dan mendekati aksiomatis sudah cukup untuk membuktikan keberadaan
Tuhan yang merupakan masalah yang paling fundamental dalam kosmologi.
Selain itu, menjadikan metode penalaran rasional (ta’aqqul)
sebagai satu-satunya alternatif bukan berarti bahwa metode-metode
lain tidak bisa dimanfaatkan untuk menyelesaikan masalah-masalah kosmologis,
karena banyak sekali argumentasi-argumentasi rasional yang bisa dikemukakan
melalui premis-premis yang didapat dari ilmu-ilmu empiris dsb. (Artikel ini
disadur dari buku Amuzashe Aqaid yang ditulis Ayatullah Misbah Yazdi
untuk para pemula pelajar akidah.
Tue Aug 01, 2023 9:56 pm by wisatasemarang
» Portable STATA 18 Crack Full Version
Thu May 11, 2023 5:24 pm by wisatasemarang
» NVivo 12 Crack Full version
Mon Jan 30, 2023 11:16 am by wisatasemarang
» Tutorial Difference In difference (DID (Diff-in-Diff) With Eviews 13
Thu Nov 03, 2022 6:24 am by wisatasemarang
» Online Workshop Smart PLS Minggu, 01 Oktober 2022
Sat Sep 17, 2022 11:35 am by wisatasemarang
» kumpulan ebook tentang robot
Fri Jan 02, 2015 10:04 pm by kyuru
» MANTRA PELET
Wed May 16, 2012 3:31 am by orlandojack
» book love of spell
Sat Mar 24, 2012 8:08 pm by rifqi as
» attraction Formula
Sat Mar 24, 2012 7:09 pm by rifqi as