Hantu Lama Bernama Komunisme
Reporter: wahyuli/danu/rizal/m yani/heva
Adil - Jakarta, Siang itu, seorang pemuda dengan santai
sedang berjaga di sebuah posko yang terletak di bawah jembatan layang Slipi
Jaya, Jakarta Pusat. Tidak ada seorang pun yang menemaninya di posko yang
terbuat dari kayu triplek berukuran 3 x 3 meter itu. ''Biasanya kami berjaga
bersama enam rekan kami yang lain,'' ujar Edilay, yang sedang piket jaga pada
Jumat (20/4). Lebih ngenas lagi, di sana pun tidak ada perlengkapan posko yang memadai
selain kursi kayu.
Begitulah suasana di posko ''Anti-Komunis dan Kekerasan''
yang didirikan oleh Badan Komunikasi Pemuda Remaja Masjid Indonesia (BKPMRI)
dan Forum Pemuda Betawi sejak dua minggu lalu. Sang pemuda penjaga pos itu pun
tak mengesankan sebagai seorang Muslim yang radikal. Tampangnya biasa-biasa
saja tanpa berewok dan jenggot --yang selama ini diidentikkan dengan Muslim
radikal. Pakaiannya pun seperti pemuda umumnya tanpa mengenakan sorban atau
peci. Dia dan teman-temannya juga kalau berjaga tak pernah membawa senjata
tajam.
Biar pun demikian, keberadaan posko yang terkesan
asal-asalan itu menarik perhatian orang yang lalu lalang di sekitarnya. Selain
spanduk besar di atas posko yang berbunyi: ''Posko Anti-Komunis dan Kekerasan''
ada juga sejumlah stiker keras yang terpasang di dinding posko. Bunyi stiker
itu antara lain, ''Awas PKI Baru Bikin Kacau'', ''Ingat Bahaya Laten Komunis
jangan Dilupakan'', dan ''Komunisme Baru Ada di Sekitar Anda dan Sedang
Memutarbalikkan Fakta.''
GERAKAN ANTIMERAH
Belakangan ini kampanye antikomunisme memang sedang marak
kembali di Tanah Air. Di sejumlah kota besar seperti Jakarta, Medan, Bandung,
Surabaya, Semarang dan Yogyakarta, berbagai spanduk yang berisi anjuran agar
masyarakat mewaspadai adanya bahaya komunisme banyak terpampang di
pinggir-pinggir jalan. Tidak hanya itu. Di Jakarta, sudah berdiri dua posko
antikomunis. Satu ya di Slipi Jaya, dan satunya lagi di samping Hotel
Indonesia.
Sejumlah ormas Islam dan organ pemuda dari beberapa
partai Islam juga sudah mulai bergerak memerangi apa yang mereka sebut
komunisme. Kamis (19/4) lalu, secara resmi ada yang mendeklarasikan sebuah
presidium yang bernama Aliansi Anti-Komunis (AAK) dengan ketua H. Abdul Muis
(Angkatan '66). Aliansi itu melibatkan sekitar 50-an ormas Islam dan pemuda.
Antara lain Front Hizbulloh, Gerakan Pemuda Islam, Front Eks-66, BKPRMI, Front
Anti-Komunis Banten, Forum Pemuda Betawi, Laskar Ampera, Barisan Merah Putih.
Front Pembela Merah-Putih pimpinan Eurico Guterres juga terlibat.
Rencananya, dalam waktu dekat ini mereka akan mendesak
kepada pemerintah agar menarik buku-buku yang berbau ajaran Marxisme-Leninisme.
''Jika tak direspons, kami akan men-sweeping sendiri,'' tandas Tasripin Karim,
Ketua BKPRMI kepada ADIL. Selain itu, mereka akan menindaklanjuti dengan
mendirikan posko-posko antikomunis lewat ormas-ormas yang tergabung di AAK.
Bila perlu masjid-masjid yang strategis mau dijadikan posko mereka.
Sebelum itu, mereka pun kerap menggelar aksi antikomunis.
Sebulan lalu, sekitar 200 pemuda anggota Front Pembela Islam (FPI) dan Front
Hizbulloh berunjuk rasa di depan Masjid Istiqlal dan Istana Negara Jakarta,
Jumat (23/3). Dalam orasinya, mereka mengancam akan menindak tegas elemen
masyarakat yang menganut paham komunis, sosialis, dan zionis. Alasannya, ketiga
kelompok itu telah mengadu domba antarumat beragama di Tanah Air.
Aksi itu merupakan tindaklanjut aksi sebelumnya yang
digelar di Bundaran HI, Jakarta, 18 April lalu. Saat itu, massa FPI mengadakan
long march dari Petamburan menuju bundaran HI bersama kelompok Anak Betawi
Asli. Di sana, mereka membagi-bagikan stiker berbunyi "Ayo Ganyang
Komunis" pada pengemudi kendaraan yang dijumpainya. Di akhir aksi, mereka
pun membakar bendera merah bergambar palu arit dan memotong kambing simbol
komunis.
Besoknya, aksi serupa juga dilakukan sekitar 100 orang
yang tergabung dalam Front Rakyat Antikomunis di bundaran HI. Dalam orasinya,
mereka menuntut pemerintah untuk melarang gerakan-gerakan yang berciri komunis.
Selain itu, mereka juga mengimbau kepada seluruh komponen bangsa agar tak mudah
terprovokasi oleh kegiatan yang akan memecah belah persatuan dan kesatuan
bangsa.
Tak mau kalah dengan rekannya di Ibukota. Senin (16/4)
lalu, enambelas elemen masyarakat di Yogyakarta yang tergabung dalam Forum
Masyarakat Taqwa (Format) juga menyatakan diri perang terhadap komunisme.
Mereka menggelar unjuk rasa di depan Mapoltabes dan Gedung DPRD DI Yogyakarta.
Adapun ke-16 elemen tersebut, antara lain Forum
Komunikasi Putra Putri Purnawirawan dan ABRI (sekarang TNI --red) Indonesia
(FKPPI), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Amanat Nasional (PAN),
Partai Keadilan (PK), Partai Bulan Bintang (PBB), Gerakan Pemuda Ka'bah dan
Pemuda Muhammadiyah. Ada juga dari Forum Silaturahmi Remaja Masjid, Front
Anti-Komunis Indonesia (FAKI), Jaringan Pembela Kehormatan Partai Golkar,
Kesatuan Aksi Pemuda Anti-Komunis, Pemuda Panca Marga dan Gerakan Pembela
Anti-Komunis (Gepako).
Sebelumnya, Kamis (12/4) lalu aksi serupa digelar di
Lapangan Benteng, Medan, Sumatera Utara yang melibatkan sekitar 5.000 massa
gabungan dari sekitar 40-an ormas/orpol yang melebur dalam wadah Front
Anti-Komunis Seluruh Indonesia (Faksi). Antara lain diikuti oleh KNPI, FKPPI,
Pemuda Pancasila, dan Himpunan Mahasiswa Al-Washliyah (Himmah). Aksi bertajuk
"Apel Pemuda Mahasiswa dan Pelajar" itu mengajak segenap komponen
bangsa untuk tak terpengaruh komunisme, juga menyatakan perang terhadap mereka.
Begitu juga di Semarang. Massa yang tergabung dalam
Gerakan Mahasiswa-Pelajar untuk Ukhuwah menggelar unjuk rasa di Gedung DPRD
Jawa Tengah, 22 Maret lalu. Massa yang mengaku gabungan dari Kesatuan Aksi
Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI), Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM), dan
Pelajar Islam Indonesia (PII), Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) itu mengajak
seluruh komponen bangsa untuk mewaspadai bahaya laten komunis. Pertikaian
antarkelompok yang kerap terjadi menurut mereka, justru ditunggu kelompok yang
menghendaki perpecahan bangsa.
Di Solo, ribuan massa yang menamakan diri Front
Anti-Komunis Surakarta menggelar tablig akbar, 26 Februari lalu. Dalam acara
yang dihadiri oleh Ketua MPR Amien Rais dan tokoh PPP setempat, Moedrick M.
Sangidu itu, dibacakan ikrar bersama yang intinya menentang paham komunis gaya
baru. Mereka merasa perlu menggelar tablig, karena melihat beberapa kelompok
membawa bendera berasas sosial demokrat tetapi tindakannya menghalalkan segala
cara. Kelompok itu dianggap sering bertindak anarkis dan mendorong
disintegrasi.
REKAYASA POLITIK
Siapakah sebetulnya "hantu" yang mereka sebut
sebagai komunisme? Secara formal jelas tidak ada satu organisasi atau partai di
Indonesia yang mengaku dirinya berasaskan komunisme. Partai Komunis Indonesia
(PKI) yang pernah jaya pada tahun 1960-an sudah dibubarkan dan dilarang pada
saat rezim Soeharto berkuasa. Hampir semua pentolannya dijebloskan ke dalam
penjara. Hanya sebagian aktivisnya yang berada di luar negeri yang konsisten
membawa panji-panji palu arit.
Pada masa Orde Baru, cap komunisme pernah ditempelkan
pada Partai Rakyat Demokratik (PRD). Stempel itu diberikan setelah meledak
''Peristiwa 27 Juli'' 1996. Aktivis PRD dituding berada di belakang aksi
kerusuhan yang terjadi akibat penyerbuan kantor DPP PDI pimpinan Megawati di
Jakarta. Manifesto politik PRD adalah salah satu buktinya. Pimpinan PRD pun
banyak yang meringkuk di tahanan --akhirnya dibebaskan begitu Gus Dur berkuasa.
Cap komunisme itu agaknya belum bisa hilang pada diri PRD
meskipun Ketua Umumnya, Budiman Sudjatmiko berulang kali mengatakan partainya
berasaskan kerakyatan. Lihat saja selebaran yang dikeluarkan Front Hizbulloh
satu bulan lalu. Mereka jelas-jelas menyebut PRD dan elemen-elemen mahasiswa di
bawahnya sebagai komunis.
''Propaganda Orde Baru dengan sasaran antara Golkar yang
dimunculkan oleh mereka melalui operator-operatornya di lapangan, sebut saja
PRD, Forkot, Front Kota, Forbes, Famred, hampir-hampir berhasil mengelabui
masyarakat Indonesia. Penghancuran sekolah-sekolah Muhammadiyah, masjid, kantor
PPP, PAN, dan HMI serta pesantren di Jatim adalah indikasi yang jelas dan nyata
bahwa mereka adalah komunis, sosialis dan Zionis,'' bunyi selebaran itu.
Dalam aksi Format di Yogyakarta Senin lalu, beberapa
spanduk dan poster juga berisi kecaman terhadap PRD. "Gepako Siap Sweeping
PRD dan Pokja Rakyat Yogyakarta (elemen di bawah PRD --red)", "Ayo
Ramai-ramai Memburu Komunisme: PRD dan PRY sebagai Musuh Rakyat Sejati"
dan "Pertahankan Tap MPRS No. XXV/1966 Titik Darah Penghabisan". Juga
dalam aksi di Medan.
Kegelisahan mereka terhadap bahaya komunisme memang bisa
dipahami. Sejak Abdurrahman Wahid menjadi presiden, keran demokrasi semakin
terbuka lebar. Buku-buku "kiri" yang dulu dilarang Orde Baru, kini
membanjiri pasaran. Diskusi tentang ajaran dan ideologi Marxisme-Leninisme pun
semakin marak di kampus-kampus. Banyak juga aktivis mahasiswa yang berani
mengenakan kaus bergambar tokoh-tokoh komunis seperti Karl Marx dan Che
Guevara. Lebih gila lagi, Gus Dur pernah mengusulkan agar Tap MPRS No. XXV/1966
tentang pembubaran PKI dan pelarangan ajaran komunisme, dicabut.
Di dunia maya tak mau ketinggalan, situs yang mengaku PKI
sempat muncul dengan alamat:
http://www.geocities.com/CapitolHill/Looby/9480/pki.html. Di situ bisa dibaca
beberapa pemikiran tentang "sejarah" versi PKI dan sebagainya. Tapi
entah apa alasannya, sekarang sudah tidak bisa diklik.
Di panggung politik, PRD juga semakin leluasa bergerak.
Ia bisa ikut Pemilu 1999 meski hasilnya jeblok. Gus Dur juga pernah menerima
pimpinan partai itu di Istana Negara. Aliansi taktis antara PRD dengan PKB juga
tampaknya sudah terbentuk. Tak heran jika sikap politik mereka cenderung
membela Presiden. Di tengah maraknya aksi menuntut Gus Dur turun, PRD justru
menuntut pembubaran Golkar, pengadilan pejabat Orba yang korup, dan TNI kembali
ke barak. Mereka pun bergabung dengan massa NU di Jatim untuk membela Gus Dur.
Karena itu, wajar saja ada tudingan mereka berada di balik pengrusakan dan
pembakaran kantor Golkar di sana.
Cuma anehnya, ada sejumlah elite politik yang dikenal
dekat dengan Gus Dur yang dikelompokkan ke dalam "komunisme gaya
baru". Sebuah buku saku setebal 34 halaman yang berjudul Awas PKI Bangkit
Lagi membeberkan daftar 50 tokoh lebih yang dianggap berpihak pada komunisme.
Nama-nama yang tercantum dalam buku bergambar palu arit bertanda silang yang
tak jelas penerbitannya itu antara lain: Wimar Witoelar, Erna Witoelar, Adhie
M. Massardi, Agus Wirahadikusuma, Saurip Kadi, Bondan Gunawan, Marsillam
Simanjuntak, Hendardi dan lain-lain.
Nama-nama itu juga tercantum dalam selebaran yang
dikeluarkan oleh Front Hizbulloh. Pun sering kali tercatat dalam poster yang
diusung dalam aksi mengingatkan ancaman bahaya komunisme. Mereka dianggap
sebagai pembisik yang turut mengipasi Gus Dur agar Tap MPRS No. XXV/1966,
segera dicabut.
Tuduhan itu pun ditanggapi oleh Adhie M. Massardi, Juru
Bicara Kepresidenan dengan enteng. ''Ha... ha... ha... saya dituduh seperti
itu. Sudah lah saya tidak mau mengomentari hal seperti itu, buat apa itu tak
ada gunannya,'' katanya kepada ADIL. Sebaliknya ia mengatakan tuduhan itu
muncul karena kepanikan. ''Lagi pula itu kan senjatanya Orde Baru. Anda kan
tahu kalau isu-isu seperti itu selalu diada-adakan. Sehingga dari dulu saya
justru khawatir kalau benar, ada gerakan kiri atau komunis maka masyarakat jadi
tidak percaya,'' imbuhnya.
Hal itulah yang memunculkan spekulasi bahwa kampanye
antikomunisme yang marak belakangan ini sangat bernuansa politik. Arahnya tidak
lain adalah mempreteli elemen-elemen pendukung Gus Dur. Keterlibatan sejumlah
ormas yang selama ini dekat dengan lawan-lawan politik Presiden seperti Front
Hizbulloh, FPI, FKPPI, BM-PAN, GPK, Pemuda Panca Marga dan sebagainya di dalam
gerakan itu semakin memperkuat spekulasi tadi. ''Semua itu jelas akal-akalan
mereka agar kekuatan Gus Dur runtuh, dan jalannya reformasi yang dituntut mahasiswa
mereka kendalikan,'' ujar sumber yang selama ini dikenal dekat dengan Gus Dur.
Spekulasi lain menyebutkan bahwa gerakan itu rekayasa
politik Golkar dan TNI. Alasannya, Golkar ketakutan dengan tuntutan gerakan
mahasiswa juga PRD yang menghendaki dibubarkannya partai warisan Orba itu.
Elite TNI pun takut Gus Dur terus mengobok-obok urusan dapurnya dengan
menggadang-gadang sejumlah jenderal yang dikenal dekat dengannya seperti Agus
WK dan Saurip Kadi. ''Itu permainan Golkar dan Wiranto cs. yang sakit hati
kepada Gus Dur. Karena itu diembuskan isu komunisme. Kan itu aneh, masa
Marsillam dan Bondan itu komunis,'' tandas sumber tadi bersungut-sungut.
Setali tiga uang, Sekjen PRD Petrus Hariyanto melihat
gayanya, gerakan semacam itu disponsori oleh kekuatan-kekuatan Orba. Tujuannya
menurutnya untuk menghancurkan kekuatan-kekuatan prodemokrasi. ''Kami pernah
dapat jawaban langsung dari seorang petinggi Golkar. Dia mengatakan,
"Silakan kalian melakukan gerakan anti-Golkar, kami akan mendorong gerakan
antikomunis. Artinya, tidak bisa munculnya gerakan itu berjalan tanpa adanya
alasan-alasan tertentu,'' tandasnya kepada ADIL. Dalam konteks itu, TNI juga
dikatakan punya kepentingan sama.
Menanggapi tudingan itu, Ketua Presidium AAK, H. Abdul
Muis mengatakan semua spekulasi itu tidak benar. Mantan aktivis '66 ini mengaku
memiliki bukti-bukti hasil kerja intelijennya bahwa gerakan komunislah yang
berada di balik kerusuhan selama ini. ''Waktu kerusuhan (pengrusakan Golkar) di
Jawa Timur, Budiman (Sudjatmiko) kan sedang di Surabaya,'' tandasnya pada ADIL.
Ia juga mengatakan isu-isu yang digembar-gemborkan mereka seperti potong satu
generasi, hancurkan Orde Baru, pengadilan rakyat dan lain-lain itu adalah teori
komunis. Karena itu, Muis yakin PRD akan bermain pada saat massa pro-Gus Dur
dari Jatim masuk ke Jakarta, 29 April nanti.
Begitu juga dengan tudingan gerakan mereka merupakan
rekayasa Golkar dan TNI, Muis mengomentari, ''Setahu saya tidak ada. Kalau
konsultasi dengan tentara ada, tapi untuk membahas bagaimana nasib negeri
ini,'' ujarnya. Lagi pula menurutnya, TNI sudah tidak mau berpolitik lagi.
Sedang soal dana katanya selama ini swadaya. Ia menegaskan gerakan yang
diperjuangkan AAK sejauh ini masih murni aspirasi umat untuk membentengi bangsa
ini dari kehancuran akibat ulah mereka.
Sementara itu, Drs. Ahmad Suhelmi, M.A., dosen politik
Pascasarjana UI menilai maraknya kampanye antikomunisme sebagai reaksi yang
wajar, terlepas dari kepentingan politiknya. Ia mengakui di era keterbukaan
sekarang ini seharusnya semua ideologi dibebaskan. ''Tapi ada satu hal yang
mesti saya tekankan di sini mengenai psiko-politik massa bahwa kita punya
sejarah yang gelap dengan komunisme,'' jelas pakar pemikiran kiri ini kepada
ADIL. Itu katanya yang harus diperhatikan oleh para elite politik.
Namun demikian, Ketua Umum KAMMI Pusat, Andi Rahmat
mengkhawatirkan kalau gerakan antikomunisme itu justru memprovokasi masyarakat
untuk mengambil tindakan-tindakan emosional yang seharusnya tidak perlu
dilakukan. ''Jadi saya kira ini dua titik ekstrem yang harus kita waspadai.
Yang satu memang positif dari satu sisi tapi pada saat yang sama harus
dipertimbangkan betul efeknya terhadap masyarakat,'' jelasnya kepada ADIL. Ia
juga masih melihat gerakan itu dalam koridor demokrasi. (jar)
Habib Mohammad Rizieq, Ketua FPI
Elemen Islam Masih Murni
Gerakan antikomunisme semakin marak. Masih relevankah isu
komunisme dibesar-besarkan di zaman reformasi sekarang ini?
Bagi ana (saya) dan FPI, mengangkat isu komunis dalam
kondisi sekarang ini tetap relevan. Karena amanat reformasi itu kan untuk
menuju ke arah yang lebih baik. Nah, kalau lewat reformasi ini kita disodori
dengan paham-paham komunis dengan ajaran Marxis, namanya kan mundur ke
belakang.
Bukankah itu isu usang yang pernah dikampanyekan Orde Baru?
Kita perlu mengubah caranya saja. Dulu Orba menekan
komunis ini dengan kekuatan kekuasaan, bukan dengan kekuatan pemikiran.
Lantaran itu dalam mengikis komunis tidak tuntas. Sekarang ini yang kita tuntut
khususnya dari elemen Islam, kita menginginkan pemahaman komunis ini kita kikis
dengan pendekatan dan pemahaman agama secara benar. Dengan mengungkap sisi
kesalahpamahaman komunis. Kalau berhasil, kita akan mampu mengikis secara
tuntas sampai akar-akarnya.
Siapa yang Anda sebut sebagai komunis?
Ya, antara lain PRD atau FORKOT. Mereka mengakui, bahwa
kami-kami ini pengagum Marxis. Itu ada pengakuan dari tokoh-tokoh mereka. Di
samping mereka ada juga organisasi lain yang mengakui itu. Kalaupun mereka
tidak mau dikatakan komunis, itu hak mereka. Tetapi, bagi FPI yang namanya
Marxis-Leninis, kemudian sosialis, komunis, ini setali tiga uang. Cuma beda
kemasannya saja.
Apa buktinya PRD komunis?
FPI tak main tuding. Tapi ada beberapa hal sehingga nggak
ragu-ragu lagi bahwa mereka bagian dari komunis. Misalkan, ya itu tadi
pengakuan mereka sendiri sebagai pengagum sosialis, Marxis. Upaya mereka begitu
getol untuk memutihkan orang-orang yang terlibat G30S/PKI. Dan cara-cara mereka
melakukan gerakan, yakni menghalalkan segala cara.
Ada selebaran yang menyebutkan nama-nama seperti Marzuki
Darusman, Marsillam Simanjuntak, Wimar Witoelar, Bondan Gunawan dll. sebagai
komunis gaya baru?
Orang yang tadi Anda sebutkan, itu masih perlu
pembuktian. Akan tetapi, FPI sependapat bahwa orang tadi banyak berperan dalam
memberi masukan dan bisikan kepada Gus Dur untuk dijadikan sebagai kebijakan.
Khususnya saat ini Marsillam. Persoalannya, di antara kebijakan Gus Dur itu
bersikap lunak terhadap kelompok komunis ini. Itu satu asumsi yang ana kira
tidak mengada-ada walau FPI tidak sependapat.
Alasan lainnya?
Jangan lupa Marsillam dan kawan-kawan ini banyak didukung
oleh Fordem yang termasuk golongan yang lebih condong kepada pemikiran
sosialis. Itu tak boleh kita lupakan. Tadi sudah kita katakan sosialis dengan
komunis itu sangat dekat sekali.
Tapi ada spekulasi di balik gerakan antikomunis ada
kepentingan politik Golkar dan TNI....
Jadi kita tidak pungkiri di mana setiap ada gerakan pasti
orang-orang yang kebetulan punya kepentingan sama akan berusaha ikut
menunggangi atau setidak-tidaknya memanfaatkan dan itu sudah menjadi rahasia
umum. Nah, pada saat bergerak kemudian ada kekuatan-kekuatan lain yang mencoba
untuk mendompleng itu tidak kita pungkiri. Bisa jadi kalau Golkar dan TNI juga
ikut memanfaatkan karena kebetulan komunis itu musuh mereka.
Kabarnya mereka malah yang membiayai....
Bisa jadi ada beberapa kelompok yang memang dibayar oleh
Golkar atau di dorong oleh TNI untuk melakukan itu, tetapi kebanyakan elemen
Islam kita lihat masih cukup murni. Artinya mereka memang menolak bahaya
komunis ini karena membahayakan ajaran agama. Adapun di tengah jalan gerakan
ini ada kelompok-kelompok lain siapa pun dia yang punya kepentingan dan
kebetulan ada musuh bersamanya yaitu komunis dan kebetulan mereka ikut, maka
itu sesuatu yang logis di dalam dinamika perjuangan.
Deklarasi PKI Baru di Yogya
Di kalangan aktivis prodemokrasi di Yogyakarta, nama Dwi
Bambang Sucipto kurang dikenal. Tapi, lelaki 29 tahun itu tiba-tiba jadi bahan
perbincangan. Bukan lantaran diculik Kopassus --seperti sejumlah aktivis lain--
melainkan karena pengakuannya yang menyentak, yakni sebagai Ketua Umum DPP
Partai Komunis Indonesia Baru (PKIB) sekaligus deklaratornya.
Pengakuan tersebut, tak pelak, menguatkan anggapan
sementara orang bahwa komunisme memang belum mati. Itu sebabnya, Senin (16/4)
lalu, sekitar 50 massa yang tergabung dalam Forum Masyarakat Takwa (Format)
Anti-Komunis, menggelar aksi di Mapolres Yogyakarta dan Gedung DPRD DIY. Saat
dialog dengan Kapoltabes Kombes Pol. Ibnu Sudjak, Koordinator Format AK M.
Jazir A.S.P. minta polisi memproses secara hukum Dwi yang kini ditahan di sana.
Cerita tertangkapnya Dwi rada unik. Awalnya, pertengahan
Maret lalu, dia menemui Bagus Kurniawan, wartawan Detik.com di Yogyakarta,
mengajak ngobrol soal ajaran Soekarno sampai munculnya Ratu Adil.
Ujung-ujungnya, pria asli Ungaran, Semarang, dan berstatus mahasiswa Magister
Manajemen UGM jurusan Agrobisnis tersebut minta diwawancarai tentang
aktivitasnya.
Semula sang kuli tinta menanggapi serius. Meski bukan
untuk wawancara, Bagus tetap meladeni obrolan tamunya. Tapi lama-kelamaan Bagus
merasa ada yang tidak beres. Apalagi Dwi mengaku sebagai tokoh komunis dan
bakal mendeklarasikan PKIB. ''Ketika saya tanyakan kantor pusat dan
cabang-cabangnya, dia bilang belum ada. Bahkan Dwi mengatakan, dia satu-satunya
pengurus PKIB sekaligus anggotanya,'' cerita Bagus kepada ADIL.
Kian curigalah Bagus bahwa tamunya stres. Dia pun
berolok-olok agar Bambang mendeklarasikan partainya di bawah tiang bendera
depan kantor Detik.com, malam itu juga. Merasa dilecehkan, Dwi yang juga
tercatat sebagai pegawai Kanwil Departemen Pertanian Jateng pun pergi.
Sepekan kemudian, Dwi datang ke Stasiun RRI Nusantara II
Yogyakarta. Kepada satpam, dia minta dipertemukan dengan bagian siaran. Satpam lalu
memanggil Bambang Sulaksono --reporter piket. Sama seperti permintaannya pada
Bagus, Dwi juga minta diwawancarai dan disiarkan secara live sebagai Ketua Umum
DPP PKIB. ''Tentu saya menolak,'' terang Bambang.
Eh, si tamu ngeyel dan tetap tak mau pergi sebelum
permintaannya dikabulkan. Maka, Bambang pun kemudian menelepon Poltabes
Yogyakarta. Malam itu juga, Dwi dijemput oleh anggota intel. Di kantor polisi,
dia diinterogasi. Tapi karena jawabannya selalu ngelantur, akhirnya dilepas.
Rupanya Dwi belum kapok. Pada 31 Maret malam, dia
mendatangi Mapoltabes Yogyakarta. Kali ini, untuk mengadu karena spanduk merah
bertuliskan "Musuh Utama Rakyat bukan Agama, Nasionalisme, atau Komunisme,
tetapi Kebodohan dan Kemiskinan" miliknya yang dia pasang di kompleks UGM,
disobek orang. Dwi juga meminta polisi membantu mengamankan spanduknya.
Petugas yang menerima pengaduan itu sempat nyeletuk.
''Lho, kamu kan orang yang pernah saya tangkap?'' Dwi mengiyakan. Hanya saja,
saat itu, petugas melihat ada sesuatu yang mencurigakan di balik baju Dwi.
Ketika digeledah, ternyata belati. Maka Dwi pun ditangkap lagi dan ditahan.
Kepada polisi, Dwi kembali menyatakan dirinya sebagai
tokoh komunis yang belum lama ini mendeklarasikan PKI Baru. Namun, Kapoltabes
menduga dia stres. ''Omongan dan tingkah lakunya tidak sewajarnya orang
waras,'' terang Ibnu Sudjak. Untuk memastikan dugaan itu, polisi memeriksakan
Dwi ke psikiater. ''Kami masih menunggu hasilnya,'' imbuh Kapoltabes.
Benarkah Dwi stres? Format AK tak yakin. ''Kalau stres,
mengapa dia bisa lulus sarjana dan mengambil S2 di UGM?'' kata Jazir saat
dihubungi ADIL. Aktivis remaja masjid itu menduga, Dwi menggunakan teori
imunitas. ''Dia melakukan test case, bagaimana reaksi masyarakat dengan
pendirian PKIB. Karena reaksinya keras dia pura-pura stres agar dibebaskan,''
tambahnya.
Teror Melanda Aktivis Kiri
Hati-hati kalau memilih kelompok aksi mahasiswa.
Salah-salah Anda bisa jadi sasaran teror. Tengok saja teror yang belum lama
melanda sejumlah aktivis kelompok aksi yang selama ini dipetakan dalam jaringan
politik PRD. Semisal Liga Mahasiswa Nasioal untuk Demokrasi (LMND), Forum Kota
(Forkot), Forum Bersama (Forbes), Front Aksi Mahasiswa untuk Reformasi dan
Demokrasi (Famred), dan Front Kota (Fronkot).
Contoh kasus dialami oleh seorang aktivis Famred yang
hendak pulang dari Matraman menuju ke tempat kosnya di Pasar Rebo, Jakarta
Timur, Kamis (12/4) lalu. Di tengah perjalanan, sekitar Cililitan, secara
tiba-tiba taksi yang ditumpanginya ditabrak dari belakang oleh sebuah mobil
pick-up hitam. Begitu menabrak, mobil itu langsung kabur entah ke mana. Akibat
kecelakaan itu pun ia mengalami luka cukup parah dibagian muka, dan harus
mendapat 100 jahitan. Selama dua minggu dia terbaring di rumah sakit.
Memang, kecelakaan itu bisa saja betul-betul musibah
tanpa direkayasa. Tapi ia curiga, kejadian itu sebagai teror terhadap dirinya
yang dikenal aktif dalam berbagai aksi menuntut pembubaran Golkar. Ia juga
dikabarkan sudah lama menjadi target operasi (TO) kelompok tertentu yang menganggap
dirinya komunis. ''Akhir-akhir ini, aku memang merasa sering diawasi oleh orang
yang aku tidak kukenal,'' ujar mahasiswa Universitas Jakarta ini kepada ADIL.
Belum lama ini, di sejumlah kampus di Ibukota memang
beredar selebaran yang isinya berupa daftar TO puluhan aktivis yang
dikategorikan sebagai jaringan PRD pimpinan Budiman Sudjatmiko. Mereka dianggap
sebagai komunis baru yang berbahaya. Salah satunya ya aktivis korban tabrak
lari tadi.
Teror lebih ringan tur tidak biasanya dialami oleh
seorang aktivis Forkot. Ia sering menerima pesan melalui Short Message Service
(SMS) di telepon genggamnya. Seharian, dia bisa sampai empat kali mendapat
pesan yang sama dari handphone-nya. Pesan itu berbunyi, "Anda
Komunis," "Anda Harus Mati," dan "Ganyang Komunis."
Tapi ia menganggap teror itu sesuatu yang biasa. "Aku nggak mau ambil
pusing. Aku kira itu sudah konsekuensi yang harus kita hadapi," ujar
mahasiswa ISTN ini kepada ADIL. Beberapa aktivis lain juga mengaku pernah
mendapat ancaman serupa lewat telepon.
Adakah teror itu berkaitan dengan maraknya gerakan
antikomunisme? Masih belum pasti. Yang jelas, di kalangan aktivis, teror
semacam itu bukanlah sesuatu yang luar biasa. Sudah dari dulu teror menjadi
bagian yang tak terpisahkan dari aktivitas mereka. Lebih-lebih pada masa
Soeharto masih berkuasa. Mulai dari teror ringan melalui telepon, surat kaleng,
sampai penangkapan, penculikan, dan pembunuhan. Dan, sekarang ini dalam tingkat
yang lebih ringan, teror masih sering terjadi. Entah, siapa pelakunya?
KUTIPAN:
Semua institusi bisa dipakai untuk alat kepentingan
politik. Bahwa ada desakan yang kuat untuk membubarkan Golkar adalah sebuah
fakta, bisa saja itu dilakukan oleh mereka yang dulu pernah dizalimi oleh
Golkar. Terlepas mereka komunis atau bukan. Karena isu itu diangkat maka ada
counter lagi terhadap isu itu yaitu membangkitkan isu perlawanan terhadap
komunis. Dan Golkar merasa punya kepentingan dengan isu itu. Karena ini alat
yang ampuh untuk menghantam lawan-lawan politiknya.
(Drs. Ahmad Suhelmi, M.A., Dosen Politik Pascasarjana UI)
Reporter: wahyuli/danu/rizal/m yani/heva
Adil - Jakarta, Siang itu, seorang pemuda dengan santai
sedang berjaga di sebuah posko yang terletak di bawah jembatan layang Slipi
Jaya, Jakarta Pusat. Tidak ada seorang pun yang menemaninya di posko yang
terbuat dari kayu triplek berukuran 3 x 3 meter itu. ''Biasanya kami berjaga
bersama enam rekan kami yang lain,'' ujar Edilay, yang sedang piket jaga pada
Jumat (20/4). Lebih ngenas lagi, di sana pun tidak ada perlengkapan posko yang memadai
selain kursi kayu.
Begitulah suasana di posko ''Anti-Komunis dan Kekerasan''
yang didirikan oleh Badan Komunikasi Pemuda Remaja Masjid Indonesia (BKPMRI)
dan Forum Pemuda Betawi sejak dua minggu lalu. Sang pemuda penjaga pos itu pun
tak mengesankan sebagai seorang Muslim yang radikal. Tampangnya biasa-biasa
saja tanpa berewok dan jenggot --yang selama ini diidentikkan dengan Muslim
radikal. Pakaiannya pun seperti pemuda umumnya tanpa mengenakan sorban atau
peci. Dia dan teman-temannya juga kalau berjaga tak pernah membawa senjata
tajam.
Biar pun demikian, keberadaan posko yang terkesan
asal-asalan itu menarik perhatian orang yang lalu lalang di sekitarnya. Selain
spanduk besar di atas posko yang berbunyi: ''Posko Anti-Komunis dan Kekerasan''
ada juga sejumlah stiker keras yang terpasang di dinding posko. Bunyi stiker
itu antara lain, ''Awas PKI Baru Bikin Kacau'', ''Ingat Bahaya Laten Komunis
jangan Dilupakan'', dan ''Komunisme Baru Ada di Sekitar Anda dan Sedang
Memutarbalikkan Fakta.''
GERAKAN ANTIMERAH
Belakangan ini kampanye antikomunisme memang sedang marak
kembali di Tanah Air. Di sejumlah kota besar seperti Jakarta, Medan, Bandung,
Surabaya, Semarang dan Yogyakarta, berbagai spanduk yang berisi anjuran agar
masyarakat mewaspadai adanya bahaya komunisme banyak terpampang di
pinggir-pinggir jalan. Tidak hanya itu. Di Jakarta, sudah berdiri dua posko
antikomunis. Satu ya di Slipi Jaya, dan satunya lagi di samping Hotel
Indonesia.
Sejumlah ormas Islam dan organ pemuda dari beberapa
partai Islam juga sudah mulai bergerak memerangi apa yang mereka sebut
komunisme. Kamis (19/4) lalu, secara resmi ada yang mendeklarasikan sebuah
presidium yang bernama Aliansi Anti-Komunis (AAK) dengan ketua H. Abdul Muis
(Angkatan '66). Aliansi itu melibatkan sekitar 50-an ormas Islam dan pemuda.
Antara lain Front Hizbulloh, Gerakan Pemuda Islam, Front Eks-66, BKPRMI, Front
Anti-Komunis Banten, Forum Pemuda Betawi, Laskar Ampera, Barisan Merah Putih.
Front Pembela Merah-Putih pimpinan Eurico Guterres juga terlibat.
Rencananya, dalam waktu dekat ini mereka akan mendesak
kepada pemerintah agar menarik buku-buku yang berbau ajaran Marxisme-Leninisme.
''Jika tak direspons, kami akan men-sweeping sendiri,'' tandas Tasripin Karim,
Ketua BKPRMI kepada ADIL. Selain itu, mereka akan menindaklanjuti dengan
mendirikan posko-posko antikomunis lewat ormas-ormas yang tergabung di AAK.
Bila perlu masjid-masjid yang strategis mau dijadikan posko mereka.
Sebelum itu, mereka pun kerap menggelar aksi antikomunis.
Sebulan lalu, sekitar 200 pemuda anggota Front Pembela Islam (FPI) dan Front
Hizbulloh berunjuk rasa di depan Masjid Istiqlal dan Istana Negara Jakarta,
Jumat (23/3). Dalam orasinya, mereka mengancam akan menindak tegas elemen
masyarakat yang menganut paham komunis, sosialis, dan zionis. Alasannya, ketiga
kelompok itu telah mengadu domba antarumat beragama di Tanah Air.
Aksi itu merupakan tindaklanjut aksi sebelumnya yang
digelar di Bundaran HI, Jakarta, 18 April lalu. Saat itu, massa FPI mengadakan
long march dari Petamburan menuju bundaran HI bersama kelompok Anak Betawi
Asli. Di sana, mereka membagi-bagikan stiker berbunyi "Ayo Ganyang
Komunis" pada pengemudi kendaraan yang dijumpainya. Di akhir aksi, mereka
pun membakar bendera merah bergambar palu arit dan memotong kambing simbol
komunis.
Besoknya, aksi serupa juga dilakukan sekitar 100 orang
yang tergabung dalam Front Rakyat Antikomunis di bundaran HI. Dalam orasinya,
mereka menuntut pemerintah untuk melarang gerakan-gerakan yang berciri komunis.
Selain itu, mereka juga mengimbau kepada seluruh komponen bangsa agar tak mudah
terprovokasi oleh kegiatan yang akan memecah belah persatuan dan kesatuan
bangsa.
Tak mau kalah dengan rekannya di Ibukota. Senin (16/4)
lalu, enambelas elemen masyarakat di Yogyakarta yang tergabung dalam Forum
Masyarakat Taqwa (Format) juga menyatakan diri perang terhadap komunisme.
Mereka menggelar unjuk rasa di depan Mapoltabes dan Gedung DPRD DI Yogyakarta.
Adapun ke-16 elemen tersebut, antara lain Forum
Komunikasi Putra Putri Purnawirawan dan ABRI (sekarang TNI --red) Indonesia
(FKPPI), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Amanat Nasional (PAN),
Partai Keadilan (PK), Partai Bulan Bintang (PBB), Gerakan Pemuda Ka'bah dan
Pemuda Muhammadiyah. Ada juga dari Forum Silaturahmi Remaja Masjid, Front
Anti-Komunis Indonesia (FAKI), Jaringan Pembela Kehormatan Partai Golkar,
Kesatuan Aksi Pemuda Anti-Komunis, Pemuda Panca Marga dan Gerakan Pembela
Anti-Komunis (Gepako).
Sebelumnya, Kamis (12/4) lalu aksi serupa digelar di
Lapangan Benteng, Medan, Sumatera Utara yang melibatkan sekitar 5.000 massa
gabungan dari sekitar 40-an ormas/orpol yang melebur dalam wadah Front
Anti-Komunis Seluruh Indonesia (Faksi). Antara lain diikuti oleh KNPI, FKPPI,
Pemuda Pancasila, dan Himpunan Mahasiswa Al-Washliyah (Himmah). Aksi bertajuk
"Apel Pemuda Mahasiswa dan Pelajar" itu mengajak segenap komponen
bangsa untuk tak terpengaruh komunisme, juga menyatakan perang terhadap mereka.
Begitu juga di Semarang. Massa yang tergabung dalam
Gerakan Mahasiswa-Pelajar untuk Ukhuwah menggelar unjuk rasa di Gedung DPRD
Jawa Tengah, 22 Maret lalu. Massa yang mengaku gabungan dari Kesatuan Aksi
Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI), Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM), dan
Pelajar Islam Indonesia (PII), Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) itu mengajak
seluruh komponen bangsa untuk mewaspadai bahaya laten komunis. Pertikaian
antarkelompok yang kerap terjadi menurut mereka, justru ditunggu kelompok yang
menghendaki perpecahan bangsa.
Di Solo, ribuan massa yang menamakan diri Front
Anti-Komunis Surakarta menggelar tablig akbar, 26 Februari lalu. Dalam acara
yang dihadiri oleh Ketua MPR Amien Rais dan tokoh PPP setempat, Moedrick M.
Sangidu itu, dibacakan ikrar bersama yang intinya menentang paham komunis gaya
baru. Mereka merasa perlu menggelar tablig, karena melihat beberapa kelompok
membawa bendera berasas sosial demokrat tetapi tindakannya menghalalkan segala
cara. Kelompok itu dianggap sering bertindak anarkis dan mendorong
disintegrasi.
REKAYASA POLITIK
Siapakah sebetulnya "hantu" yang mereka sebut
sebagai komunisme? Secara formal jelas tidak ada satu organisasi atau partai di
Indonesia yang mengaku dirinya berasaskan komunisme. Partai Komunis Indonesia
(PKI) yang pernah jaya pada tahun 1960-an sudah dibubarkan dan dilarang pada
saat rezim Soeharto berkuasa. Hampir semua pentolannya dijebloskan ke dalam
penjara. Hanya sebagian aktivisnya yang berada di luar negeri yang konsisten
membawa panji-panji palu arit.
Pada masa Orde Baru, cap komunisme pernah ditempelkan
pada Partai Rakyat Demokratik (PRD). Stempel itu diberikan setelah meledak
''Peristiwa 27 Juli'' 1996. Aktivis PRD dituding berada di belakang aksi
kerusuhan yang terjadi akibat penyerbuan kantor DPP PDI pimpinan Megawati di
Jakarta. Manifesto politik PRD adalah salah satu buktinya. Pimpinan PRD pun
banyak yang meringkuk di tahanan --akhirnya dibebaskan begitu Gus Dur berkuasa.
Cap komunisme itu agaknya belum bisa hilang pada diri PRD
meskipun Ketua Umumnya, Budiman Sudjatmiko berulang kali mengatakan partainya
berasaskan kerakyatan. Lihat saja selebaran yang dikeluarkan Front Hizbulloh
satu bulan lalu. Mereka jelas-jelas menyebut PRD dan elemen-elemen mahasiswa di
bawahnya sebagai komunis.
''Propaganda Orde Baru dengan sasaran antara Golkar yang
dimunculkan oleh mereka melalui operator-operatornya di lapangan, sebut saja
PRD, Forkot, Front Kota, Forbes, Famred, hampir-hampir berhasil mengelabui
masyarakat Indonesia. Penghancuran sekolah-sekolah Muhammadiyah, masjid, kantor
PPP, PAN, dan HMI serta pesantren di Jatim adalah indikasi yang jelas dan nyata
bahwa mereka adalah komunis, sosialis dan Zionis,'' bunyi selebaran itu.
Dalam aksi Format di Yogyakarta Senin lalu, beberapa
spanduk dan poster juga berisi kecaman terhadap PRD. "Gepako Siap Sweeping
PRD dan Pokja Rakyat Yogyakarta (elemen di bawah PRD --red)", "Ayo
Ramai-ramai Memburu Komunisme: PRD dan PRY sebagai Musuh Rakyat Sejati"
dan "Pertahankan Tap MPRS No. XXV/1966 Titik Darah Penghabisan". Juga
dalam aksi di Medan.
Kegelisahan mereka terhadap bahaya komunisme memang bisa
dipahami. Sejak Abdurrahman Wahid menjadi presiden, keran demokrasi semakin
terbuka lebar. Buku-buku "kiri" yang dulu dilarang Orde Baru, kini
membanjiri pasaran. Diskusi tentang ajaran dan ideologi Marxisme-Leninisme pun
semakin marak di kampus-kampus. Banyak juga aktivis mahasiswa yang berani
mengenakan kaus bergambar tokoh-tokoh komunis seperti Karl Marx dan Che
Guevara. Lebih gila lagi, Gus Dur pernah mengusulkan agar Tap MPRS No. XXV/1966
tentang pembubaran PKI dan pelarangan ajaran komunisme, dicabut.
Di dunia maya tak mau ketinggalan, situs yang mengaku PKI
sempat muncul dengan alamat:
http://www.geocities.com/CapitolHill/Looby/9480/pki.html. Di situ bisa dibaca
beberapa pemikiran tentang "sejarah" versi PKI dan sebagainya. Tapi
entah apa alasannya, sekarang sudah tidak bisa diklik.
Di panggung politik, PRD juga semakin leluasa bergerak.
Ia bisa ikut Pemilu 1999 meski hasilnya jeblok. Gus Dur juga pernah menerima
pimpinan partai itu di Istana Negara. Aliansi taktis antara PRD dengan PKB juga
tampaknya sudah terbentuk. Tak heran jika sikap politik mereka cenderung
membela Presiden. Di tengah maraknya aksi menuntut Gus Dur turun, PRD justru
menuntut pembubaran Golkar, pengadilan pejabat Orba yang korup, dan TNI kembali
ke barak. Mereka pun bergabung dengan massa NU di Jatim untuk membela Gus Dur.
Karena itu, wajar saja ada tudingan mereka berada di balik pengrusakan dan
pembakaran kantor Golkar di sana.
Cuma anehnya, ada sejumlah elite politik yang dikenal
dekat dengan Gus Dur yang dikelompokkan ke dalam "komunisme gaya
baru". Sebuah buku saku setebal 34 halaman yang berjudul Awas PKI Bangkit
Lagi membeberkan daftar 50 tokoh lebih yang dianggap berpihak pada komunisme.
Nama-nama yang tercantum dalam buku bergambar palu arit bertanda silang yang
tak jelas penerbitannya itu antara lain: Wimar Witoelar, Erna Witoelar, Adhie
M. Massardi, Agus Wirahadikusuma, Saurip Kadi, Bondan Gunawan, Marsillam
Simanjuntak, Hendardi dan lain-lain.
Nama-nama itu juga tercantum dalam selebaran yang
dikeluarkan oleh Front Hizbulloh. Pun sering kali tercatat dalam poster yang
diusung dalam aksi mengingatkan ancaman bahaya komunisme. Mereka dianggap
sebagai pembisik yang turut mengipasi Gus Dur agar Tap MPRS No. XXV/1966,
segera dicabut.
Tuduhan itu pun ditanggapi oleh Adhie M. Massardi, Juru
Bicara Kepresidenan dengan enteng. ''Ha... ha... ha... saya dituduh seperti
itu. Sudah lah saya tidak mau mengomentari hal seperti itu, buat apa itu tak
ada gunannya,'' katanya kepada ADIL. Sebaliknya ia mengatakan tuduhan itu
muncul karena kepanikan. ''Lagi pula itu kan senjatanya Orde Baru. Anda kan
tahu kalau isu-isu seperti itu selalu diada-adakan. Sehingga dari dulu saya
justru khawatir kalau benar, ada gerakan kiri atau komunis maka masyarakat jadi
tidak percaya,'' imbuhnya.
Hal itulah yang memunculkan spekulasi bahwa kampanye
antikomunisme yang marak belakangan ini sangat bernuansa politik. Arahnya tidak
lain adalah mempreteli elemen-elemen pendukung Gus Dur. Keterlibatan sejumlah
ormas yang selama ini dekat dengan lawan-lawan politik Presiden seperti Front
Hizbulloh, FPI, FKPPI, BM-PAN, GPK, Pemuda Panca Marga dan sebagainya di dalam
gerakan itu semakin memperkuat spekulasi tadi. ''Semua itu jelas akal-akalan
mereka agar kekuatan Gus Dur runtuh, dan jalannya reformasi yang dituntut mahasiswa
mereka kendalikan,'' ujar sumber yang selama ini dikenal dekat dengan Gus Dur.
Spekulasi lain menyebutkan bahwa gerakan itu rekayasa
politik Golkar dan TNI. Alasannya, Golkar ketakutan dengan tuntutan gerakan
mahasiswa juga PRD yang menghendaki dibubarkannya partai warisan Orba itu.
Elite TNI pun takut Gus Dur terus mengobok-obok urusan dapurnya dengan
menggadang-gadang sejumlah jenderal yang dikenal dekat dengannya seperti Agus
WK dan Saurip Kadi. ''Itu permainan Golkar dan Wiranto cs. yang sakit hati
kepada Gus Dur. Karena itu diembuskan isu komunisme. Kan itu aneh, masa
Marsillam dan Bondan itu komunis,'' tandas sumber tadi bersungut-sungut.
Setali tiga uang, Sekjen PRD Petrus Hariyanto melihat
gayanya, gerakan semacam itu disponsori oleh kekuatan-kekuatan Orba. Tujuannya
menurutnya untuk menghancurkan kekuatan-kekuatan prodemokrasi. ''Kami pernah
dapat jawaban langsung dari seorang petinggi Golkar. Dia mengatakan,
"Silakan kalian melakukan gerakan anti-Golkar, kami akan mendorong gerakan
antikomunis. Artinya, tidak bisa munculnya gerakan itu berjalan tanpa adanya
alasan-alasan tertentu,'' tandasnya kepada ADIL. Dalam konteks itu, TNI juga
dikatakan punya kepentingan sama.
Menanggapi tudingan itu, Ketua Presidium AAK, H. Abdul
Muis mengatakan semua spekulasi itu tidak benar. Mantan aktivis '66 ini mengaku
memiliki bukti-bukti hasil kerja intelijennya bahwa gerakan komunislah yang
berada di balik kerusuhan selama ini. ''Waktu kerusuhan (pengrusakan Golkar) di
Jawa Timur, Budiman (Sudjatmiko) kan sedang di Surabaya,'' tandasnya pada ADIL.
Ia juga mengatakan isu-isu yang digembar-gemborkan mereka seperti potong satu
generasi, hancurkan Orde Baru, pengadilan rakyat dan lain-lain itu adalah teori
komunis. Karena itu, Muis yakin PRD akan bermain pada saat massa pro-Gus Dur
dari Jatim masuk ke Jakarta, 29 April nanti.
Begitu juga dengan tudingan gerakan mereka merupakan
rekayasa Golkar dan TNI, Muis mengomentari, ''Setahu saya tidak ada. Kalau
konsultasi dengan tentara ada, tapi untuk membahas bagaimana nasib negeri
ini,'' ujarnya. Lagi pula menurutnya, TNI sudah tidak mau berpolitik lagi.
Sedang soal dana katanya selama ini swadaya. Ia menegaskan gerakan yang
diperjuangkan AAK sejauh ini masih murni aspirasi umat untuk membentengi bangsa
ini dari kehancuran akibat ulah mereka.
Sementara itu, Drs. Ahmad Suhelmi, M.A., dosen politik
Pascasarjana UI menilai maraknya kampanye antikomunisme sebagai reaksi yang
wajar, terlepas dari kepentingan politiknya. Ia mengakui di era keterbukaan
sekarang ini seharusnya semua ideologi dibebaskan. ''Tapi ada satu hal yang
mesti saya tekankan di sini mengenai psiko-politik massa bahwa kita punya
sejarah yang gelap dengan komunisme,'' jelas pakar pemikiran kiri ini kepada
ADIL. Itu katanya yang harus diperhatikan oleh para elite politik.
Namun demikian, Ketua Umum KAMMI Pusat, Andi Rahmat
mengkhawatirkan kalau gerakan antikomunisme itu justru memprovokasi masyarakat
untuk mengambil tindakan-tindakan emosional yang seharusnya tidak perlu
dilakukan. ''Jadi saya kira ini dua titik ekstrem yang harus kita waspadai.
Yang satu memang positif dari satu sisi tapi pada saat yang sama harus
dipertimbangkan betul efeknya terhadap masyarakat,'' jelasnya kepada ADIL. Ia
juga masih melihat gerakan itu dalam koridor demokrasi. (jar)
Habib Mohammad Rizieq, Ketua FPI
Elemen Islam Masih Murni
Gerakan antikomunisme semakin marak. Masih relevankah isu
komunisme dibesar-besarkan di zaman reformasi sekarang ini?
Bagi ana (saya) dan FPI, mengangkat isu komunis dalam
kondisi sekarang ini tetap relevan. Karena amanat reformasi itu kan untuk
menuju ke arah yang lebih baik. Nah, kalau lewat reformasi ini kita disodori
dengan paham-paham komunis dengan ajaran Marxis, namanya kan mundur ke
belakang.
Bukankah itu isu usang yang pernah dikampanyekan Orde Baru?
Kita perlu mengubah caranya saja. Dulu Orba menekan
komunis ini dengan kekuatan kekuasaan, bukan dengan kekuatan pemikiran.
Lantaran itu dalam mengikis komunis tidak tuntas. Sekarang ini yang kita tuntut
khususnya dari elemen Islam, kita menginginkan pemahaman komunis ini kita kikis
dengan pendekatan dan pemahaman agama secara benar. Dengan mengungkap sisi
kesalahpamahaman komunis. Kalau berhasil, kita akan mampu mengikis secara
tuntas sampai akar-akarnya.
Siapa yang Anda sebut sebagai komunis?
Ya, antara lain PRD atau FORKOT. Mereka mengakui, bahwa
kami-kami ini pengagum Marxis. Itu ada pengakuan dari tokoh-tokoh mereka. Di
samping mereka ada juga organisasi lain yang mengakui itu. Kalaupun mereka
tidak mau dikatakan komunis, itu hak mereka. Tetapi, bagi FPI yang namanya
Marxis-Leninis, kemudian sosialis, komunis, ini setali tiga uang. Cuma beda
kemasannya saja.
Apa buktinya PRD komunis?
FPI tak main tuding. Tapi ada beberapa hal sehingga nggak
ragu-ragu lagi bahwa mereka bagian dari komunis. Misalkan, ya itu tadi
pengakuan mereka sendiri sebagai pengagum sosialis, Marxis. Upaya mereka begitu
getol untuk memutihkan orang-orang yang terlibat G30S/PKI. Dan cara-cara mereka
melakukan gerakan, yakni menghalalkan segala cara.
Ada selebaran yang menyebutkan nama-nama seperti Marzuki
Darusman, Marsillam Simanjuntak, Wimar Witoelar, Bondan Gunawan dll. sebagai
komunis gaya baru?
Orang yang tadi Anda sebutkan, itu masih perlu
pembuktian. Akan tetapi, FPI sependapat bahwa orang tadi banyak berperan dalam
memberi masukan dan bisikan kepada Gus Dur untuk dijadikan sebagai kebijakan.
Khususnya saat ini Marsillam. Persoalannya, di antara kebijakan Gus Dur itu
bersikap lunak terhadap kelompok komunis ini. Itu satu asumsi yang ana kira
tidak mengada-ada walau FPI tidak sependapat.
Alasan lainnya?
Jangan lupa Marsillam dan kawan-kawan ini banyak didukung
oleh Fordem yang termasuk golongan yang lebih condong kepada pemikiran
sosialis. Itu tak boleh kita lupakan. Tadi sudah kita katakan sosialis dengan
komunis itu sangat dekat sekali.
Tapi ada spekulasi di balik gerakan antikomunis ada
kepentingan politik Golkar dan TNI....
Jadi kita tidak pungkiri di mana setiap ada gerakan pasti
orang-orang yang kebetulan punya kepentingan sama akan berusaha ikut
menunggangi atau setidak-tidaknya memanfaatkan dan itu sudah menjadi rahasia
umum. Nah, pada saat bergerak kemudian ada kekuatan-kekuatan lain yang mencoba
untuk mendompleng itu tidak kita pungkiri. Bisa jadi kalau Golkar dan TNI juga
ikut memanfaatkan karena kebetulan komunis itu musuh mereka.
Kabarnya mereka malah yang membiayai....
Bisa jadi ada beberapa kelompok yang memang dibayar oleh
Golkar atau di dorong oleh TNI untuk melakukan itu, tetapi kebanyakan elemen
Islam kita lihat masih cukup murni. Artinya mereka memang menolak bahaya
komunis ini karena membahayakan ajaran agama. Adapun di tengah jalan gerakan
ini ada kelompok-kelompok lain siapa pun dia yang punya kepentingan dan
kebetulan ada musuh bersamanya yaitu komunis dan kebetulan mereka ikut, maka
itu sesuatu yang logis di dalam dinamika perjuangan.
Deklarasi PKI Baru di Yogya
Di kalangan aktivis prodemokrasi di Yogyakarta, nama Dwi
Bambang Sucipto kurang dikenal. Tapi, lelaki 29 tahun itu tiba-tiba jadi bahan
perbincangan. Bukan lantaran diculik Kopassus --seperti sejumlah aktivis lain--
melainkan karena pengakuannya yang menyentak, yakni sebagai Ketua Umum DPP
Partai Komunis Indonesia Baru (PKIB) sekaligus deklaratornya.
Pengakuan tersebut, tak pelak, menguatkan anggapan
sementara orang bahwa komunisme memang belum mati. Itu sebabnya, Senin (16/4)
lalu, sekitar 50 massa yang tergabung dalam Forum Masyarakat Takwa (Format)
Anti-Komunis, menggelar aksi di Mapolres Yogyakarta dan Gedung DPRD DIY. Saat
dialog dengan Kapoltabes Kombes Pol. Ibnu Sudjak, Koordinator Format AK M.
Jazir A.S.P. minta polisi memproses secara hukum Dwi yang kini ditahan di sana.
Cerita tertangkapnya Dwi rada unik. Awalnya, pertengahan
Maret lalu, dia menemui Bagus Kurniawan, wartawan Detik.com di Yogyakarta,
mengajak ngobrol soal ajaran Soekarno sampai munculnya Ratu Adil.
Ujung-ujungnya, pria asli Ungaran, Semarang, dan berstatus mahasiswa Magister
Manajemen UGM jurusan Agrobisnis tersebut minta diwawancarai tentang
aktivitasnya.
Semula sang kuli tinta menanggapi serius. Meski bukan
untuk wawancara, Bagus tetap meladeni obrolan tamunya. Tapi lama-kelamaan Bagus
merasa ada yang tidak beres. Apalagi Dwi mengaku sebagai tokoh komunis dan
bakal mendeklarasikan PKIB. ''Ketika saya tanyakan kantor pusat dan
cabang-cabangnya, dia bilang belum ada. Bahkan Dwi mengatakan, dia satu-satunya
pengurus PKIB sekaligus anggotanya,'' cerita Bagus kepada ADIL.
Kian curigalah Bagus bahwa tamunya stres. Dia pun
berolok-olok agar Bambang mendeklarasikan partainya di bawah tiang bendera
depan kantor Detik.com, malam itu juga. Merasa dilecehkan, Dwi yang juga
tercatat sebagai pegawai Kanwil Departemen Pertanian Jateng pun pergi.
Sepekan kemudian, Dwi datang ke Stasiun RRI Nusantara II
Yogyakarta. Kepada satpam, dia minta dipertemukan dengan bagian siaran. Satpam lalu
memanggil Bambang Sulaksono --reporter piket. Sama seperti permintaannya pada
Bagus, Dwi juga minta diwawancarai dan disiarkan secara live sebagai Ketua Umum
DPP PKIB. ''Tentu saya menolak,'' terang Bambang.
Eh, si tamu ngeyel dan tetap tak mau pergi sebelum
permintaannya dikabulkan. Maka, Bambang pun kemudian menelepon Poltabes
Yogyakarta. Malam itu juga, Dwi dijemput oleh anggota intel. Di kantor polisi,
dia diinterogasi. Tapi karena jawabannya selalu ngelantur, akhirnya dilepas.
Rupanya Dwi belum kapok. Pada 31 Maret malam, dia
mendatangi Mapoltabes Yogyakarta. Kali ini, untuk mengadu karena spanduk merah
bertuliskan "Musuh Utama Rakyat bukan Agama, Nasionalisme, atau Komunisme,
tetapi Kebodohan dan Kemiskinan" miliknya yang dia pasang di kompleks UGM,
disobek orang. Dwi juga meminta polisi membantu mengamankan spanduknya.
Petugas yang menerima pengaduan itu sempat nyeletuk.
''Lho, kamu kan orang yang pernah saya tangkap?'' Dwi mengiyakan. Hanya saja,
saat itu, petugas melihat ada sesuatu yang mencurigakan di balik baju Dwi.
Ketika digeledah, ternyata belati. Maka Dwi pun ditangkap lagi dan ditahan.
Kepada polisi, Dwi kembali menyatakan dirinya sebagai
tokoh komunis yang belum lama ini mendeklarasikan PKI Baru. Namun, Kapoltabes
menduga dia stres. ''Omongan dan tingkah lakunya tidak sewajarnya orang
waras,'' terang Ibnu Sudjak. Untuk memastikan dugaan itu, polisi memeriksakan
Dwi ke psikiater. ''Kami masih menunggu hasilnya,'' imbuh Kapoltabes.
Benarkah Dwi stres? Format AK tak yakin. ''Kalau stres,
mengapa dia bisa lulus sarjana dan mengambil S2 di UGM?'' kata Jazir saat
dihubungi ADIL. Aktivis remaja masjid itu menduga, Dwi menggunakan teori
imunitas. ''Dia melakukan test case, bagaimana reaksi masyarakat dengan
pendirian PKIB. Karena reaksinya keras dia pura-pura stres agar dibebaskan,''
tambahnya.
Teror Melanda Aktivis Kiri
Hati-hati kalau memilih kelompok aksi mahasiswa.
Salah-salah Anda bisa jadi sasaran teror. Tengok saja teror yang belum lama
melanda sejumlah aktivis kelompok aksi yang selama ini dipetakan dalam jaringan
politik PRD. Semisal Liga Mahasiswa Nasioal untuk Demokrasi (LMND), Forum Kota
(Forkot), Forum Bersama (Forbes), Front Aksi Mahasiswa untuk Reformasi dan
Demokrasi (Famred), dan Front Kota (Fronkot).
Contoh kasus dialami oleh seorang aktivis Famred yang
hendak pulang dari Matraman menuju ke tempat kosnya di Pasar Rebo, Jakarta
Timur, Kamis (12/4) lalu. Di tengah perjalanan, sekitar Cililitan, secara
tiba-tiba taksi yang ditumpanginya ditabrak dari belakang oleh sebuah mobil
pick-up hitam. Begitu menabrak, mobil itu langsung kabur entah ke mana. Akibat
kecelakaan itu pun ia mengalami luka cukup parah dibagian muka, dan harus
mendapat 100 jahitan. Selama dua minggu dia terbaring di rumah sakit.
Memang, kecelakaan itu bisa saja betul-betul musibah
tanpa direkayasa. Tapi ia curiga, kejadian itu sebagai teror terhadap dirinya
yang dikenal aktif dalam berbagai aksi menuntut pembubaran Golkar. Ia juga
dikabarkan sudah lama menjadi target operasi (TO) kelompok tertentu yang menganggap
dirinya komunis. ''Akhir-akhir ini, aku memang merasa sering diawasi oleh orang
yang aku tidak kukenal,'' ujar mahasiswa Universitas Jakarta ini kepada ADIL.
Belum lama ini, di sejumlah kampus di Ibukota memang
beredar selebaran yang isinya berupa daftar TO puluhan aktivis yang
dikategorikan sebagai jaringan PRD pimpinan Budiman Sudjatmiko. Mereka dianggap
sebagai komunis baru yang berbahaya. Salah satunya ya aktivis korban tabrak
lari tadi.
Teror lebih ringan tur tidak biasanya dialami oleh
seorang aktivis Forkot. Ia sering menerima pesan melalui Short Message Service
(SMS) di telepon genggamnya. Seharian, dia bisa sampai empat kali mendapat
pesan yang sama dari handphone-nya. Pesan itu berbunyi, "Anda
Komunis," "Anda Harus Mati," dan "Ganyang Komunis."
Tapi ia menganggap teror itu sesuatu yang biasa. "Aku nggak mau ambil
pusing. Aku kira itu sudah konsekuensi yang harus kita hadapi," ujar
mahasiswa ISTN ini kepada ADIL. Beberapa aktivis lain juga mengaku pernah
mendapat ancaman serupa lewat telepon.
Adakah teror itu berkaitan dengan maraknya gerakan
antikomunisme? Masih belum pasti. Yang jelas, di kalangan aktivis, teror
semacam itu bukanlah sesuatu yang luar biasa. Sudah dari dulu teror menjadi
bagian yang tak terpisahkan dari aktivitas mereka. Lebih-lebih pada masa
Soeharto masih berkuasa. Mulai dari teror ringan melalui telepon, surat kaleng,
sampai penangkapan, penculikan, dan pembunuhan. Dan, sekarang ini dalam tingkat
yang lebih ringan, teror masih sering terjadi. Entah, siapa pelakunya?
KUTIPAN:
Semua institusi bisa dipakai untuk alat kepentingan
politik. Bahwa ada desakan yang kuat untuk membubarkan Golkar adalah sebuah
fakta, bisa saja itu dilakukan oleh mereka yang dulu pernah dizalimi oleh
Golkar. Terlepas mereka komunis atau bukan. Karena isu itu diangkat maka ada
counter lagi terhadap isu itu yaitu membangkitkan isu perlawanan terhadap
komunis. Dan Golkar merasa punya kepentingan dengan isu itu. Karena ini alat
yang ampuh untuk menghantam lawan-lawan politiknya.
(Drs. Ahmad Suhelmi, M.A., Dosen Politik Pascasarjana UI)
Tue Aug 01, 2023 9:56 pm by wisatasemarang
» Portable STATA 18 Crack Full Version
Thu May 11, 2023 5:24 pm by wisatasemarang
» NVivo 12 Crack Full version
Mon Jan 30, 2023 11:16 am by wisatasemarang
» Tutorial Difference In difference (DID (Diff-in-Diff) With Eviews 13
Thu Nov 03, 2022 6:24 am by wisatasemarang
» Online Workshop Smart PLS Minggu, 01 Oktober 2022
Sat Sep 17, 2022 11:35 am by wisatasemarang
» kumpulan ebook tentang robot
Fri Jan 02, 2015 10:04 pm by kyuru
» MANTRA PELET
Wed May 16, 2012 3:31 am by orlandojack
» book love of spell
Sat Mar 24, 2012 8:08 pm by rifqi as
» attraction Formula
Sat Mar 24, 2012 7:09 pm by rifqi as