Benni E. Matindas
Komunis
Sebuah lembaga Kristen yang
membidangi pelayanan tapol meminta saya bicara ihwal Sosialisme dalam acara
yang mereka gelar di Hotel Cipta, Jakarta Pusat. Agak sulit bagi siapa pun yang
cukup menekuni ide ini, karena tahu pengertian yang dilekatkan pada istilah
sosialisme sudah amat beragam. Dalam sebuah leksikon, penulisnya mengatakan
makna sosialisme telah sedemikian lebar beraneka, terentang dari Nabi Musa
sampai Hitler. Karenanya kita perlu memulai dengan membereskan persepsi yang
ada dalam benak kita, makhluk seperti apakah yang dipikirkan saat mendengar
atau menyebut kata sosialisme. Yang sama sekali tanpa kesulitan, tentu saja,
ketika saya mengajak untuk sepakat bahwa Sosialisme yang dibahas adalah
Marxisme.
Mengenai Marxisme, saya tegaskan
pilihan dan sikap saya: komunisme. Bukan
sosialisme. Sosialisme-yaitu sosialisasi alat-alat produksi-semestinya hanya
tahap awal proses menuju komunisme, tahap awal yang menjadi bagian elementer
abadi. Menjadikan sosialisme sebagai tujuan akan membawa kita pada sejumlah
kekeliruan, dan itu telah terbukti. Menjadikan apa yang cuma urusan teknis
ekonomi itu sebagai sistem utama, telah membuat Engels tiba pada rumusan baku
doktrin Marxisme yang kerdil, yang determinisme ekonomi. Marxisme yang ini,
yang sekarang oleh para ahli filsafat diejek sebagai “Marxisme orthodox”,
sangat lemah dan berbahaya, baik dalam teori maupun praktik. Tumpuan sentral
dari teori ekonomi Marxisme ini, yakni Teori Nilai yang diwarisi para ekonom
sebelumnya (Adam Smith dan Ricardo), ternyata cuma fantasi indah dari hati
mulia mau menolong buruh, tetapi tanpa dasar objektif. Menjadikan sosialisme
sebagai sistem yang dituju, sementara Marx tak menyiapkan program jelas buat
itu, telah menggoda Lenin, Mao, Castro, Muso, Aidit dan seterusnya, untuk
langsung saja mewujudkannya sebab toh cuma soal merebut alat-alat produksi.
Saya pastikan, masyarakat komunis
yang diproyeksikan Marx, yang pula disebut demokrasi murni, tak lain berangkat
dari cita pembebasan dan kebebasan seutuhnya. Jiwa yang bebas dari hegemoni
budaya dan ideologi kaum penindas, rohani yang bebas dari agama pengerdil
kemanusiaan. Sikap politik yang merdeka dari negara (asing atau pribumi) yang
cuma jadi mesin pelaksana kepentingan kelompok tertentu. Kerja dan kreasi
manusia yang bebas dari pengarahan kuasa pasar. Sosialisasi alat-alat produksi,
khusus untuk pemenuhan kebutuhan dasar, pun tak lain ditujukan agar tiap warga
punya waktu senggang lebih banyak buat
aktivitas yang menyehatkan batin dan mengembangkan rohaninya.
Pola hidup jemaat Kristen awal
(Kis. 2:44-45)-dari mana konsep “komunis” diangkat kemudian menjadi sistem
politik jelas intisarinya: ekonomi adalah urusan tahap bawah yang perlu segera
dibereskan dengan gampang demi pengembangan aktivitas jiwa.
Tapi sistematika baru Marxisme
yang saya ajukan tadi tak cukup menerangkan bagi kebanyakan orang. Tiga
dasawarsa Orde Baru telah merusak sistem pengertian kita. Yang dulu sempat
belajar Marxisme telah kian membeku pada ideologi orthodox itu, sedang generasi
yang sempat telah menangkap sembarangan segala yang berbau kiri, atas dorongan
romantisme semata. Seorang peserta, mantan tapol G30S/PKI, merasa memuji saya
dengan mengatakan “berani konsekuen pada posisi komunis, ketimbang sosialis.”
Saya tahu maksudnya, yang tak sesuai maksud saya sebenarnya. Memang telah
berkembang wacana dan citra yang menilai komunis lebih berani serta lebih
marxis. Sosialisme tak lagi berarti partai komunis atau marxis, tapi warisan
Bernstein yang mengira bisa menyempurnakan dan melembutkan Sosialisme dengan
tempelan Demokrasi. (Prof. Sumitro Djojohadikusumo, tokoh Partai Sosialisme
Indonesia, selalu merancang pembangunan ekonomi yang kapitalistis kendati
Anggaran Dasar PSI memasang asas Marxisme.) Sama naifnya dengan apa yang
dinamakan Sosialisme Religius, label resmi yang juga dipasang Jenderal Soeharto
di awal berkuasanya rezim hiper-kapitalisme itu. Begitu pula moderator diskusi
kami, seorang aktivis kiri, ia yakin perwujudan konkret sosialisme terutama
sekolah gratis buat anak negeri ini. Padahal Taiwan dan Kuwait yang kapitalis
justru sejak dulu paling membanggakan program sekolah gratisnya.
Pengertian sosialisme marxis yang
saling beda memang tak dapat disalahkan. Marx sendiri masih penuh berisi
kontradiksi jika tak kita sistematisir seperti tadi. Tapi, bagaimanapun,
seperti jawaban saya atas tema “Relevankah sosialisme?” yang diajukan panitia,
paham ini tetap dibutuhkan. Elemen abadi dalam sistem sosial sempurna, seabadi
kehadiran orang yang berkekurangan. Bagaimana bisa kita menolak sistem yang
tegas berpihak pada kaum jelata, ketika dunia masih menyaksikan betapa dalam
milenium ketiga ini pun setiap hari hampir 40 ribu manusia mati akibat kurang
pangan?
Komunis
Sebuah lembaga Kristen yang
membidangi pelayanan tapol meminta saya bicara ihwal Sosialisme dalam acara
yang mereka gelar di Hotel Cipta, Jakarta Pusat. Agak sulit bagi siapa pun yang
cukup menekuni ide ini, karena tahu pengertian yang dilekatkan pada istilah
sosialisme sudah amat beragam. Dalam sebuah leksikon, penulisnya mengatakan
makna sosialisme telah sedemikian lebar beraneka, terentang dari Nabi Musa
sampai Hitler. Karenanya kita perlu memulai dengan membereskan persepsi yang
ada dalam benak kita, makhluk seperti apakah yang dipikirkan saat mendengar
atau menyebut kata sosialisme. Yang sama sekali tanpa kesulitan, tentu saja,
ketika saya mengajak untuk sepakat bahwa Sosialisme yang dibahas adalah
Marxisme.
Mengenai Marxisme, saya tegaskan
pilihan dan sikap saya: komunisme. Bukan
sosialisme. Sosialisme-yaitu sosialisasi alat-alat produksi-semestinya hanya
tahap awal proses menuju komunisme, tahap awal yang menjadi bagian elementer
abadi. Menjadikan sosialisme sebagai tujuan akan membawa kita pada sejumlah
kekeliruan, dan itu telah terbukti. Menjadikan apa yang cuma urusan teknis
ekonomi itu sebagai sistem utama, telah membuat Engels tiba pada rumusan baku
doktrin Marxisme yang kerdil, yang determinisme ekonomi. Marxisme yang ini,
yang sekarang oleh para ahli filsafat diejek sebagai “Marxisme orthodox”,
sangat lemah dan berbahaya, baik dalam teori maupun praktik. Tumpuan sentral
dari teori ekonomi Marxisme ini, yakni Teori Nilai yang diwarisi para ekonom
sebelumnya (Adam Smith dan Ricardo), ternyata cuma fantasi indah dari hati
mulia mau menolong buruh, tetapi tanpa dasar objektif. Menjadikan sosialisme
sebagai sistem yang dituju, sementara Marx tak menyiapkan program jelas buat
itu, telah menggoda Lenin, Mao, Castro, Muso, Aidit dan seterusnya, untuk
langsung saja mewujudkannya sebab toh cuma soal merebut alat-alat produksi.
Saya pastikan, masyarakat komunis
yang diproyeksikan Marx, yang pula disebut demokrasi murni, tak lain berangkat
dari cita pembebasan dan kebebasan seutuhnya. Jiwa yang bebas dari hegemoni
budaya dan ideologi kaum penindas, rohani yang bebas dari agama pengerdil
kemanusiaan. Sikap politik yang merdeka dari negara (asing atau pribumi) yang
cuma jadi mesin pelaksana kepentingan kelompok tertentu. Kerja dan kreasi
manusia yang bebas dari pengarahan kuasa pasar. Sosialisasi alat-alat produksi,
khusus untuk pemenuhan kebutuhan dasar, pun tak lain ditujukan agar tiap warga
punya waktu senggang lebih banyak buat
aktivitas yang menyehatkan batin dan mengembangkan rohaninya.
Pola hidup jemaat Kristen awal
(Kis. 2:44-45)-dari mana konsep “komunis” diangkat kemudian menjadi sistem
politik jelas intisarinya: ekonomi adalah urusan tahap bawah yang perlu segera
dibereskan dengan gampang demi pengembangan aktivitas jiwa.
Tapi sistematika baru Marxisme
yang saya ajukan tadi tak cukup menerangkan bagi kebanyakan orang. Tiga
dasawarsa Orde Baru telah merusak sistem pengertian kita. Yang dulu sempat
belajar Marxisme telah kian membeku pada ideologi orthodox itu, sedang generasi
yang sempat telah menangkap sembarangan segala yang berbau kiri, atas dorongan
romantisme semata. Seorang peserta, mantan tapol G30S/PKI, merasa memuji saya
dengan mengatakan “berani konsekuen pada posisi komunis, ketimbang sosialis.”
Saya tahu maksudnya, yang tak sesuai maksud saya sebenarnya. Memang telah
berkembang wacana dan citra yang menilai komunis lebih berani serta lebih
marxis. Sosialisme tak lagi berarti partai komunis atau marxis, tapi warisan
Bernstein yang mengira bisa menyempurnakan dan melembutkan Sosialisme dengan
tempelan Demokrasi. (Prof. Sumitro Djojohadikusumo, tokoh Partai Sosialisme
Indonesia, selalu merancang pembangunan ekonomi yang kapitalistis kendati
Anggaran Dasar PSI memasang asas Marxisme.) Sama naifnya dengan apa yang
dinamakan Sosialisme Religius, label resmi yang juga dipasang Jenderal Soeharto
di awal berkuasanya rezim hiper-kapitalisme itu. Begitu pula moderator diskusi
kami, seorang aktivis kiri, ia yakin perwujudan konkret sosialisme terutama
sekolah gratis buat anak negeri ini. Padahal Taiwan dan Kuwait yang kapitalis
justru sejak dulu paling membanggakan program sekolah gratisnya.
Pengertian sosialisme marxis yang
saling beda memang tak dapat disalahkan. Marx sendiri masih penuh berisi
kontradiksi jika tak kita sistematisir seperti tadi. Tapi, bagaimanapun,
seperti jawaban saya atas tema “Relevankah sosialisme?” yang diajukan panitia,
paham ini tetap dibutuhkan. Elemen abadi dalam sistem sosial sempurna, seabadi
kehadiran orang yang berkekurangan. Bagaimana bisa kita menolak sistem yang
tegas berpihak pada kaum jelata, ketika dunia masih menyaksikan betapa dalam
milenium ketiga ini pun setiap hari hampir 40 ribu manusia mati akibat kurang
pangan?
Tue Aug 01, 2023 9:56 pm by wisatasemarang
» Portable STATA 18 Crack Full Version
Thu May 11, 2023 5:24 pm by wisatasemarang
» NVivo 12 Crack Full version
Mon Jan 30, 2023 11:16 am by wisatasemarang
» Tutorial Difference In difference (DID (Diff-in-Diff) With Eviews 13
Thu Nov 03, 2022 6:24 am by wisatasemarang
» Online Workshop Smart PLS Minggu, 01 Oktober 2022
Sat Sep 17, 2022 11:35 am by wisatasemarang
» kumpulan ebook tentang robot
Fri Jan 02, 2015 10:04 pm by kyuru
» MANTRA PELET
Wed May 16, 2012 3:31 am by orlandojack
» book love of spell
Sat Mar 24, 2012 8:08 pm by rifqi as
» attraction Formula
Sat Mar 24, 2012 7:09 pm by rifqi as