Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

ingin bergabung dengan elrakyat.tk klik pendaftaran. jika anda sudah pernah mendaftar silakan login. jangan lupa ajak kawan-kawanmu ke mari , dan jadilah top poster di forum kita

Join the forum, it's quick and easy

Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

ingin bergabung dengan elrakyat.tk klik pendaftaran. jika anda sudah pernah mendaftar silakan login. jangan lupa ajak kawan-kawanmu ke mari , dan jadilah top poster di forum kita

Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

Would you like to react to this message? Create an account in a few clicks or log in to continue.
Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

salah satu forum terbesar tempat kita bernostalgia

Login

Lupa password?

Our traffic

info rakyat

Sun Oct 31, 2010 9:05 pm by admin

---------------
PEMBERITAHUAN....

SF ZONA RELIGI SEKARANG KAMI PINDAH KE [You must be registered and logged in to see this link.] ANDA BISA BERPARTISIPASI DAN MENJADI MODERATOR SESUAI PERMINTAAN ANDA DENGAN REQUEST VIA SMS NO ADMIN 081945520865


Sekilas Info

Sun Jun 27, 2010 2:44 pm by admin

kabar gembira, forum lentera-rakyat mulai hari ini juga bisa diakses melalui [You must be registered and logged in to see this link.]


    feminisme sosialis

    admin
    admin
    Admin
    Admin


    Zodiac : Virgo Jumlah posting : 688
    Join date : 19.03.10
    Age : 36
    Lokasi : Malang-Indonesia

    feminisme sosialis Empty feminisme sosialis

    Post by admin Mon May 17, 2010 2:55 pm

    Feminisme Sosialis:


    Sebuah pilihan menuju pembebasan perempuan

    Oleh: Puspita Ratna, aktivis SPID







    Mencermati tulisan seorang kawan PRD dalam Pembebasan edisi Februari 2000, ada sesuatu yang belum terungkap tentang penindasan perempuan. Secara dikotomis, dalam tulisan itu
    feminisme dibagi dalam 2 paradigma. Feminisme liberal dan feminisme radikal. Feminisme liberal dikatakan sebagai gerakan perempuan borjuis yang memperjuangkan kepentingan kesetaraan dengan kaum laki-laki dan juga anti dengan
    laki-laki. Dengan uraian yang cukup gamblang, feminisme radikal digambarkan sebagai gerakan perempuan radikal bersama-sama dengan rakyat tertindas lainnya untuk membebaskan diri dari cengkeraman penindasan sebagai akibat dari
    produksi atau sistem ekonomi tertemtu.


    Pembagian secara dikotomis seperti itu telah melupakan persolan pokok yang menjadi pertanyaan kaum feminis sejak
    puluhan tahun lalu: “Mengapa penindasan atas kaum perempuan yang terjadi selama berabad-abad lalu tetap ada hingga sekarang?“ Seiring dengan bergantinya corak produksi suatu masyarakat, maka di sanalah penindasan terhadap
    perempuan terus berlangsung. Bahkan setelah pecahnya Revolusi Rusia 1917, yang mengantarkan gerakan perempuan Rusia menempati posisi puncaknya dipimpin oleh Kollontai, Krupskaya dan Armand. Pada fase itu pun, yang namanya
    perempuan masih juga menghadapi serangkaian “aturan-aturan” keluarga dan partai. Misalnya sering terjadi aktivis partai (yang laki-laki) melarang isterinya tampil di depan umum, karena ia takut sang isteri maju kemudian
    menjadi manusia baru dan akhirnya tidak lagi mau mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Aktivis partai yang perempuan diberi tempat untuk mengurusi masalah keperempuanan (Progress, 1992). Jika begitu faktanya, lalu apa dan siapa
    sebenarnya yang melestarikan penindasan terhadap perempuan, hingga begitu sulit dihapuskan?





    Budaya Patriarkhi yang tidak membebaskan




    Patriarkhi berasal dari kata patriarkh
    atau kekuasaan ayah yang dulunya dipakai untuk menyebut jenis keluarga yang dikuasai kaum laki-laki. Namun sekarang istilah itu digunakan untuk menjelaskan tentang kepercayaan atau ideologi bahwa lelaki lebih tinggi kedudukannya
    dari perempuan, bahwa perempuan harus dikuasai oleh laki-laki dan merupakan harta milik laki-laki (Bhasin dan Khan, 1995).


    Dalam bukunya The Origins of The Family:
    Private Property and The State (1884), F. Engels menjelaskan tentang asal-usul patriarkhi. Engels berpendapat bahwa subordinasi perempuan (sebagai manifestasi dari patriarkhi) dimulai dengan terjadinya perkembangan kepemilikan
    pribadi yang dia katakan sebagai kekalahan bersejarah jenis kelamin perempuan di dunia. Lebih lanjut, Engels membagi 3 tahap masyarakat, yaitu: biadab, barbarisme dan peradaban. Dalam tahap biadab (savagery) kegiatan umat
    manusia sepenuhnya adalah mengumpulkan makanan dan berburu. Tidak ada pernikahan dan tidak ada kepemilikan pribadi. Tahap selanjutnya, orang mulai berpikir untuk menetap dengan membuka lahan-lahan pertanian. Secara perlahan
    terjadi pembagian kerja secara seksual, di mana kaum laki-laki tetap berburu dan perempuan – konon karena mengalami proses kehamilan dan memilki anak – tinggal di rumah untuk mengurus anak serta tanah pertanian. Tetapi
    di sisi lain, perempuan mempunyai kekuasaan dan kontrol atas gen (klen dari komunitas nenek moyang yang sama). Di dalam gen tidak ada kelas namun terjadi konflik antar gen. Ketika kaum laki-laki mulai mengembangkan senjata
    untuk berburu dan penjinakan yang lebih maju, dia pun juga menggunakannya untuk perang antar suku. Nah, di sinilah muncul perbudakan. Kemudian bisa terjadi suatu gen memiliki binatang piaraan dan juga budak dari suku yang
    kalah perang, khususnya budak perempuan. Pada tahap ini, laki-laki yang memiliki kekuasaan atas gen mulai menumpuk kekayaan dalam bentuk binatang dan budak. Semuanya ini mendorong ke arah pembentukan milik pribadi. Laki-laki
    berkehendak memiliki kekuasaan dan kekayaan untuk diwariskan pada keturunannya. Untuk mengatur pewarisan ini, perempuan harus dijinakkan dan dikontrol seksualitasnya. Saat itulah, kata Engels, patriarkhi dan monogami ditegakkan
    untuk kaum perempuan.


    Peradaban modern, surplus dihasilkan di
    tempat yang dikontrol oleh laki-laki sehingga dalam hal ekonomi perempuan menjadi tergantung. Ada konsep ruang publik untuk laki-laki dan ruang domestik untuk perempuan yang dibatasi pada wilayah rumah untuk menghasilkan keturunan
    yang mewarisi kekayaan. Hakikat kerja bagi seorang isteri adalah pelayanan pribadi yang disingkirkan dari semua partisipasi di bidang produksi sosial. Keadaan ini tetap berlangsung (dengan berbagai cara dan pola-pola yang
    tidak sama) hingga sejarah perkembangan masyarakat bergerak ke arah masyarakat kapitalis, di mana posisi perempuan dimaknai hanya untuk reproduksi buruh murah.


    Dalam konteks sekarang,
    wujud patriarkhi bisa berbeda-beda menurut tempatnya. Jika di Sudan dan Mesir ada penyunatan bagi anak perempuan, di Jawa perempuan dibelenggu oleh pepetah-pepatah agar tidak berani kepada suami. Keberagaman pola-pola sosialisasi
    patriarkhi berdasarkan perbedaan gender oleh Ivan Illich dikatakan sebagai gender kedaerahan (Illich, 1997). Namun begitu, tetap ada basis material bagi penganut dan pelestari ideologi patriarkhi (baik laki-laki maupun perempuan)
    yaitu bahwa mereka mendapatkan perolehan ekonomi konkret dari subordinasi perempuan.






    Berbagai macam aliran feminisme


    Feminisme sendiri bermakna suatu kesadaran akan penindasan terhadap perempuan dalam masyarakat, di tempat kerja
    dan dalam keluarga, serta tindakan sadar oleh perempuan maupun laki-laki untuk mengubah keadaan tersebut. Ada beberapa aliran dalam feminisme yang mencerminkan perbedaan dalam melihat apa, mengapa dan bagaimana penindasan
    terhadap perempuan terjadi. Agar lebih jelas, baiknya kita ulas secara singkat teori-teori feminisme itu.






    Feminisme Liberal


    Asumsi dasar feminisme liberal adalah bahwa kebebasan dan kesamaan berakar pada rasionalitas dan pemisahan antara
    dunia privat dan dunia publik, dalam arti perjuangan perempuan tertuju pada kesempatan dan hak yang sama. Argumentasi rasional bagaimana perempuan dan laki-laki harus memiliki hak dan kesempatan yang sama diuraikan oleh
    pencetus teori ini bahwa perempuan, sebagaimana kaum laki-laki adalah makhluk rasional. Jika dalam keadaan tertentu perempuan kedapatan bodoh, terbelakang, dan miskin itu adalah semata-mata karena kesalahan si perempuan itu
    sendiri yang tidak mau memanfaatkan terbukanya kesempatan yang diberikan kepada mereka. Program kerja feminis liberal jelas seputar masalah pendidikan, ketrampilan dan berbagai kebijakan yang memungkinkan terbukanya kesempatan
    bagi perempuan untuk berpartisipasi dalam pembangunan. Konsep Women In Development (WID), adalah bukti kegagalan kaum feminis liberal dalam melihat persoalan, di mana pada kenyataannya WID justru membuat perempuan makin terkurung
    dalam persoalan-persoalan domestik dan hanya memberikan arti bagi perempuan di kelas atas (wanita karier).






    Feminisme Radikal


    Aliran ini beranggapan bahwa ujung pangkal ketertindasan kaum perempuan adalah pada jenis kelamin laki-laki beserta ideologi
    patriarkhinya. Mereka melihat kaum laki-laki secara biologis maupun politis adalah bagian dari permasalahan. Patriarkhi adalah dasar dari ideologi penindasan yang merupakan sistem hirarki seksual, di mana laki-laki memiliki
    kekuasaan superior dan previlege ekonomi. Bagi feminis radikal, revolusi terjadi pada setiap perempuan yang telah mengambil aksi mengubah gaya hidup, pengalaman dan hubungan mereka terhadap kaum laki-laki, bentuk-bentuk perlawanan
    atau penindasan bisa sangat personal seputar individu kaum perempuan. Misalnya, bentuk perlawanan perempuan bisa saja dimanifestasikan dalam keputusan perempuan untuk menjadi seorang lesbian (mengingat mereka sangat memusuhi
    laki-laki) atau mungkin saja seseorang perempuan mengubah penampilan seperti laki-laki yang maskulin (ingat, mereka ingin sekali bersaing dengan laki-laki dalam standar maskulinitas). Feminisme radikal menjadi bumerang bagi
    gerakan perempuan sendiri, khususnya karena mereka menyerang keberadaan laki-laki sebagai saingan mereka. Feminisme jenis ini tentu saja akan menemui benturan yang berlawanan dengan prinsip pembebasan perempuan. Tuduhan anti
    laki-laki, anti keluarga dan lain sebagainnya, seringkali tertuju kepada mereka. Di samping itu, anggapan bahwa patriarkhi sesuatu yang universal dan akar dari segala persoalan adalah ahistoris, melupakan bahwa patriarkhi
    itu bisa langgeng serta persoalannya tidak selalu sama di setiap daerah.





    Feminisme Marxis


    Aliran yang satu ini sangat getol mengkritik feminisme radikal. Dikatakannya bahwa revolusi gaya hidup ala feminisme
    radikal mengabaikan realitas obyektif perempuan yang ditindas bukan orang perorang. Bahwa patriarkhi sebagai akar penindasan perempuan juga ditolak oleh para feminis marxis. Aliran feminisme marxis percaya bahwa penindasan
    perempuan adalah bagian dari penindasan kelas dalam hubungan produksi (Fakih, 1996). Perempuan ditindas adalah kelanjutan dari sistem eksploitasi yang struktural. Pokok permasalahannya adalah sistem kapitalisme dengan segala
    eksesnya. Kemudian mereka berpikir, untuk menghapuskan ketertindasan perempuan haruslah bersifat stuktural. Yaitu dengan mengubah struktur kelas dan pemutusan hubungan dengan kapitalisme internasional. Itulah revolusi ! Dan
    untuk memajukan kaum perempuan, mereka harus dibebaskan dari pekerjaan domestik untuk diserap dalam ranah industri/untuk berproduksi.






    Feminisme Sosialis


    Jenis aliran ini adalah sintesa dari feminisme marxis dan feminisme radikal yang dianggap punya sumbangan namun
    tidak lengkap. Mereka tidak menganggap patriarkhi sebagai hal yang universal dan tidak berubah sesuai dengan prinsip historis materialis. Para feminis sosialis berpendapat bahwa pertarungan antara laki-laki dan perempuan berubah
    sepanjang sejarah seiring dengan perubahan mode-mode produksi. Seorang feminis sosialis, Zillah Eisenstein, berpendapat bahwa supremasi kaum laki-laki oleh patriarkhi kapitalisme adalah hubungan inti yang menentukan penindasan
    kaum perempuan. Dia melihat perempuan dalam hubungan produksi dan reproduksi, di mana di satu sisi terdapat proses kerja kapitalis yang eksploitatif, sisi lainnya hierarki seksual patriarkal yang menempatkan perempuan sebagai
    pekerja domestik dan konsumen. Proses ini bergerak dalam kurun waktu sejarah yang selalu berubah. Jika pengorganisasian ekonomi masyarakat berubah, patriarkhi yang terletak dalam hubungan sosial reproduksi, akan memberikan
    sistem penataan dan kontrol hierarkis yang digunakan dalam berbagai bentuk organisasi sosial, antara lain kapitalisme (Bhasin, 1996) Seorang feminis lain, Heidi Hartmann, mengatakan bahwa patriarkhi menyatukan semua lelaki
    satu sama lain tanpa memperdulikan kelasnya. Kerja seorang perempuan memberi keuntungan kepada modal dan suaminya. Ini disebutnya teori patriarkhi dan modal. Analisisnya dijelaskan bahwa buruh perempuan diperlukan untuk mereproduksi
    buruh murah serta untuk menumpuk buruh cadangan dalam jumlah tak terbatas Masuknya perempuan dalam sektor produksi dimanipulasi oleh pemilik modal dengan memakai pembenaran patriarkhis, untuk membayar lebih murah dibandingkan
    buruh laki-laki.






    Berbicara tentang aliran feminisme menjadi jelas bahwa analisis kelas dan analisis patriarkhilah yang mampu menjawab persoalan-persoalan
    ketertindasan perempuan. Seorang feminis tanpa kesadaran kelas sejati menjadi dangkal dalam menganalisa persoalan-persoalan relasi yang tidak adil antara laki-laki dengan perempuan. Pembagian kerja yang timpang antara jenis
    kelamin perempuan dan laki-laki harus diletakkan dalam kerangka analisa kelas dan patriarkhi. Oleh Maria Mies dijelaskan bahwa ketimpangan tersebut ditopang oleh lembaga-lembaga seperti keluarga dan negara, lewat perangkat-perangkatnya
    seperti: militer, birokrasi, parlemen, dan lain-lain.


    Apa yang telah diuraikan dalam tulisan ini, dapat menjadi arah bagi perjuangan pembebasan perempuan. Adalah suatu keharusan bagi feminis
    sosialis untuk mengorganisir perjuangan melawan kapitalisme dan perjuangan melawan patriarkhi. Dan bergabungnya perempuan dengan sektor kelas tertindas adalah pilihan strategis bagi gerakan perempuan.








    Surabaya, 12 April 2000

      Similar topics

      -

      Waktu sekarang Wed May 08, 2024 10:44 am