Feminisme Sosialis:
Sebuah pilihan menuju pembebasan perempuan
Oleh: Puspita Ratna, aktivis SPID
Mencermati tulisan seorang kawan PRD dalam Pembebasan edisi Februari 2000, ada sesuatu yang belum terungkap tentang penindasan perempuan. Secara dikotomis, dalam tulisan itu
feminisme dibagi dalam 2 paradigma. Feminisme liberal dan feminisme radikal. Feminisme liberal dikatakan sebagai gerakan perempuan borjuis yang memperjuangkan kepentingan kesetaraan dengan kaum laki-laki dan juga anti dengan
laki-laki. Dengan uraian yang cukup gamblang, feminisme radikal digambarkan sebagai gerakan perempuan radikal bersama-sama dengan rakyat tertindas lainnya untuk membebaskan diri dari cengkeraman penindasan sebagai akibat dari
produksi atau sistem ekonomi tertemtu.
Pembagian secara dikotomis seperti itu telah melupakan persolan pokok yang menjadi pertanyaan kaum feminis sejak
puluhan tahun lalu: “Mengapa penindasan atas kaum perempuan yang terjadi selama berabad-abad lalu tetap ada hingga sekarang?“ Seiring dengan bergantinya corak produksi suatu masyarakat, maka di sanalah penindasan terhadap
perempuan terus berlangsung. Bahkan setelah pecahnya Revolusi Rusia 1917, yang mengantarkan gerakan perempuan Rusia menempati posisi puncaknya dipimpin oleh Kollontai, Krupskaya dan Armand. Pada fase itu pun, yang namanya
perempuan masih juga menghadapi serangkaian “aturan-aturan” keluarga dan partai. Misalnya sering terjadi aktivis partai (yang laki-laki) melarang isterinya tampil di depan umum, karena ia takut sang isteri maju kemudian
menjadi manusia baru dan akhirnya tidak lagi mau mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Aktivis partai yang perempuan diberi tempat untuk mengurusi masalah keperempuanan (Progress, 1992). Jika begitu faktanya, lalu apa dan siapa
sebenarnya yang melestarikan penindasan terhadap perempuan, hingga begitu sulit dihapuskan?
Budaya Patriarkhi yang tidak membebaskan
Patriarkhi berasal dari kata patriarkh
atau kekuasaan ayah yang dulunya dipakai untuk menyebut jenis keluarga yang dikuasai kaum laki-laki. Namun sekarang istilah itu digunakan untuk menjelaskan tentang kepercayaan atau ideologi bahwa lelaki lebih tinggi kedudukannya
dari perempuan, bahwa perempuan harus dikuasai oleh laki-laki dan merupakan harta milik laki-laki (Bhasin dan Khan, 1995).
Dalam bukunya The Origins of The Family:
Private Property and The State (1884), F. Engels menjelaskan tentang asal-usul patriarkhi. Engels berpendapat bahwa subordinasi perempuan (sebagai manifestasi dari patriarkhi) dimulai dengan terjadinya perkembangan kepemilikan
pribadi yang dia katakan sebagai kekalahan bersejarah jenis kelamin perempuan di dunia. Lebih lanjut, Engels membagi 3 tahap masyarakat, yaitu: biadab, barbarisme dan peradaban. Dalam tahap biadab (savagery) kegiatan umat
manusia sepenuhnya adalah mengumpulkan makanan dan berburu. Tidak ada pernikahan dan tidak ada kepemilikan pribadi. Tahap selanjutnya, orang mulai berpikir untuk menetap dengan membuka lahan-lahan pertanian. Secara perlahan
terjadi pembagian kerja secara seksual, di mana kaum laki-laki tetap berburu dan perempuan – konon karena mengalami proses kehamilan dan memilki anak – tinggal di rumah untuk mengurus anak serta tanah pertanian. Tetapi
di sisi lain, perempuan mempunyai kekuasaan dan kontrol atas gen (klen dari komunitas nenek moyang yang sama). Di dalam gen tidak ada kelas namun terjadi konflik antar gen. Ketika kaum laki-laki mulai mengembangkan senjata
untuk berburu dan penjinakan yang lebih maju, dia pun juga menggunakannya untuk perang antar suku. Nah, di sinilah muncul perbudakan. Kemudian bisa terjadi suatu gen memiliki binatang piaraan dan juga budak dari suku yang
kalah perang, khususnya budak perempuan. Pada tahap ini, laki-laki yang memiliki kekuasaan atas gen mulai menumpuk kekayaan dalam bentuk binatang dan budak. Semuanya ini mendorong ke arah pembentukan milik pribadi. Laki-laki
berkehendak memiliki kekuasaan dan kekayaan untuk diwariskan pada keturunannya. Untuk mengatur pewarisan ini, perempuan harus dijinakkan dan dikontrol seksualitasnya. Saat itulah, kata Engels, patriarkhi dan monogami ditegakkan
untuk kaum perempuan.
Peradaban modern, surplus dihasilkan di
tempat yang dikontrol oleh laki-laki sehingga dalam hal ekonomi perempuan menjadi tergantung. Ada konsep ruang publik untuk laki-laki dan ruang domestik untuk perempuan yang dibatasi pada wilayah rumah untuk menghasilkan keturunan
yang mewarisi kekayaan. Hakikat kerja bagi seorang isteri adalah pelayanan pribadi yang disingkirkan dari semua partisipasi di bidang produksi sosial. Keadaan ini tetap berlangsung (dengan berbagai cara dan pola-pola yang
tidak sama) hingga sejarah perkembangan masyarakat bergerak ke arah masyarakat kapitalis, di mana posisi perempuan dimaknai hanya untuk reproduksi buruh murah.
Dalam konteks sekarang,
wujud patriarkhi bisa berbeda-beda menurut tempatnya. Jika di Sudan dan Mesir ada penyunatan bagi anak perempuan, di Jawa perempuan dibelenggu oleh pepetah-pepatah agar tidak berani kepada suami. Keberagaman pola-pola sosialisasi
patriarkhi berdasarkan perbedaan gender oleh Ivan Illich dikatakan sebagai gender kedaerahan (Illich, 1997). Namun begitu, tetap ada basis material bagi penganut dan pelestari ideologi patriarkhi (baik laki-laki maupun perempuan)
yaitu bahwa mereka mendapatkan perolehan ekonomi konkret dari subordinasi perempuan.
Berbagai macam aliran feminisme
Feminisme sendiri bermakna suatu kesadaran akan penindasan terhadap perempuan dalam masyarakat, di tempat kerja
dan dalam keluarga, serta tindakan sadar oleh perempuan maupun laki-laki untuk mengubah keadaan tersebut. Ada beberapa aliran dalam feminisme yang mencerminkan perbedaan dalam melihat apa, mengapa dan bagaimana penindasan
terhadap perempuan terjadi. Agar lebih jelas, baiknya kita ulas secara singkat teori-teori feminisme itu.
Feminisme Liberal
Asumsi dasar feminisme liberal adalah bahwa kebebasan dan kesamaan berakar pada rasionalitas dan pemisahan antara
dunia privat dan dunia publik, dalam arti perjuangan perempuan tertuju pada kesempatan dan hak yang sama. Argumentasi rasional bagaimana perempuan dan laki-laki harus memiliki hak dan kesempatan yang sama diuraikan oleh
pencetus teori ini bahwa perempuan, sebagaimana kaum laki-laki adalah makhluk rasional. Jika dalam keadaan tertentu perempuan kedapatan bodoh, terbelakang, dan miskin itu adalah semata-mata karena kesalahan si perempuan itu
sendiri yang tidak mau memanfaatkan terbukanya kesempatan yang diberikan kepada mereka. Program kerja feminis liberal jelas seputar masalah pendidikan, ketrampilan dan berbagai kebijakan yang memungkinkan terbukanya kesempatan
bagi perempuan untuk berpartisipasi dalam pembangunan. Konsep Women In Development (WID), adalah bukti kegagalan kaum feminis liberal dalam melihat persoalan, di mana pada kenyataannya WID justru membuat perempuan makin terkurung
dalam persoalan-persoalan domestik dan hanya memberikan arti bagi perempuan di kelas atas (wanita karier).
Feminisme Radikal
Aliran ini beranggapan bahwa ujung pangkal ketertindasan kaum perempuan adalah pada jenis kelamin laki-laki beserta ideologi
patriarkhinya. Mereka melihat kaum laki-laki secara biologis maupun politis adalah bagian dari permasalahan. Patriarkhi adalah dasar dari ideologi penindasan yang merupakan sistem hirarki seksual, di mana laki-laki memiliki
kekuasaan superior dan previlege ekonomi. Bagi feminis radikal, revolusi terjadi pada setiap perempuan yang telah mengambil aksi mengubah gaya hidup, pengalaman dan hubungan mereka terhadap kaum laki-laki, bentuk-bentuk perlawanan
atau penindasan bisa sangat personal seputar individu kaum perempuan. Misalnya, bentuk perlawanan perempuan bisa saja dimanifestasikan dalam keputusan perempuan untuk menjadi seorang lesbian (mengingat mereka sangat memusuhi
laki-laki) atau mungkin saja seseorang perempuan mengubah penampilan seperti laki-laki yang maskulin (ingat, mereka ingin sekali bersaing dengan laki-laki dalam standar maskulinitas). Feminisme radikal menjadi bumerang bagi
gerakan perempuan sendiri, khususnya karena mereka menyerang keberadaan laki-laki sebagai saingan mereka. Feminisme jenis ini tentu saja akan menemui benturan yang berlawanan dengan prinsip pembebasan perempuan. Tuduhan anti
laki-laki, anti keluarga dan lain sebagainnya, seringkali tertuju kepada mereka. Di samping itu, anggapan bahwa patriarkhi sesuatu yang universal dan akar dari segala persoalan adalah ahistoris, melupakan bahwa patriarkhi
itu bisa langgeng serta persoalannya tidak selalu sama di setiap daerah.
Feminisme Marxis
Aliran yang satu ini sangat getol mengkritik feminisme radikal. Dikatakannya bahwa revolusi gaya hidup ala feminisme
radikal mengabaikan realitas obyektif perempuan yang ditindas bukan orang perorang. Bahwa patriarkhi sebagai akar penindasan perempuan juga ditolak oleh para feminis marxis. Aliran feminisme marxis percaya bahwa penindasan
perempuan adalah bagian dari penindasan kelas dalam hubungan produksi (Fakih, 1996). Perempuan ditindas adalah kelanjutan dari sistem eksploitasi yang struktural. Pokok permasalahannya adalah sistem kapitalisme dengan segala
eksesnya. Kemudian mereka berpikir, untuk menghapuskan ketertindasan perempuan haruslah bersifat stuktural. Yaitu dengan mengubah struktur kelas dan pemutusan hubungan dengan kapitalisme internasional. Itulah revolusi ! Dan
untuk memajukan kaum perempuan, mereka harus dibebaskan dari pekerjaan domestik untuk diserap dalam ranah industri/untuk berproduksi.
Feminisme Sosialis
Jenis aliran ini adalah sintesa dari feminisme marxis dan feminisme radikal yang dianggap punya sumbangan namun
tidak lengkap. Mereka tidak menganggap patriarkhi sebagai hal yang universal dan tidak berubah sesuai dengan prinsip historis materialis. Para feminis sosialis berpendapat bahwa pertarungan antara laki-laki dan perempuan berubah
sepanjang sejarah seiring dengan perubahan mode-mode produksi. Seorang feminis sosialis, Zillah Eisenstein, berpendapat bahwa supremasi kaum laki-laki oleh patriarkhi kapitalisme adalah hubungan inti yang menentukan penindasan
kaum perempuan. Dia melihat perempuan dalam hubungan produksi dan reproduksi, di mana di satu sisi terdapat proses kerja kapitalis yang eksploitatif, sisi lainnya hierarki seksual patriarkal yang menempatkan perempuan sebagai
pekerja domestik dan konsumen. Proses ini bergerak dalam kurun waktu sejarah yang selalu berubah. Jika pengorganisasian ekonomi masyarakat berubah, patriarkhi yang terletak dalam hubungan sosial reproduksi, akan memberikan
sistem penataan dan kontrol hierarkis yang digunakan dalam berbagai bentuk organisasi sosial, antara lain kapitalisme (Bhasin, 1996) Seorang feminis lain, Heidi Hartmann, mengatakan bahwa patriarkhi menyatukan semua lelaki
satu sama lain tanpa memperdulikan kelasnya. Kerja seorang perempuan memberi keuntungan kepada modal dan suaminya. Ini disebutnya teori patriarkhi dan modal. Analisisnya dijelaskan bahwa buruh perempuan diperlukan untuk mereproduksi
buruh murah serta untuk menumpuk buruh cadangan dalam jumlah tak terbatas Masuknya perempuan dalam sektor produksi dimanipulasi oleh pemilik modal dengan memakai pembenaran patriarkhis, untuk membayar lebih murah dibandingkan
buruh laki-laki.
Berbicara tentang aliran feminisme menjadi jelas bahwa analisis kelas dan analisis patriarkhilah yang mampu menjawab persoalan-persoalan
ketertindasan perempuan. Seorang feminis tanpa kesadaran kelas sejati menjadi dangkal dalam menganalisa persoalan-persoalan relasi yang tidak adil antara laki-laki dengan perempuan. Pembagian kerja yang timpang antara jenis
kelamin perempuan dan laki-laki harus diletakkan dalam kerangka analisa kelas dan patriarkhi. Oleh Maria Mies dijelaskan bahwa ketimpangan tersebut ditopang oleh lembaga-lembaga seperti keluarga dan negara, lewat perangkat-perangkatnya
seperti: militer, birokrasi, parlemen, dan lain-lain.
Apa yang telah diuraikan dalam tulisan ini, dapat menjadi arah bagi perjuangan pembebasan perempuan. Adalah suatu keharusan bagi feminis
sosialis untuk mengorganisir perjuangan melawan kapitalisme dan perjuangan melawan patriarkhi. Dan bergabungnya perempuan dengan sektor kelas tertindas adalah pilihan strategis bagi gerakan perempuan.
Surabaya, 12 April 2000
Sebuah pilihan menuju pembebasan perempuan
Oleh: Puspita Ratna, aktivis SPID
Mencermati tulisan seorang kawan PRD dalam Pembebasan edisi Februari 2000, ada sesuatu yang belum terungkap tentang penindasan perempuan. Secara dikotomis, dalam tulisan itu
feminisme dibagi dalam 2 paradigma. Feminisme liberal dan feminisme radikal. Feminisme liberal dikatakan sebagai gerakan perempuan borjuis yang memperjuangkan kepentingan kesetaraan dengan kaum laki-laki dan juga anti dengan
laki-laki. Dengan uraian yang cukup gamblang, feminisme radikal digambarkan sebagai gerakan perempuan radikal bersama-sama dengan rakyat tertindas lainnya untuk membebaskan diri dari cengkeraman penindasan sebagai akibat dari
produksi atau sistem ekonomi tertemtu.
Pembagian secara dikotomis seperti itu telah melupakan persolan pokok yang menjadi pertanyaan kaum feminis sejak
puluhan tahun lalu: “Mengapa penindasan atas kaum perempuan yang terjadi selama berabad-abad lalu tetap ada hingga sekarang?“ Seiring dengan bergantinya corak produksi suatu masyarakat, maka di sanalah penindasan terhadap
perempuan terus berlangsung. Bahkan setelah pecahnya Revolusi Rusia 1917, yang mengantarkan gerakan perempuan Rusia menempati posisi puncaknya dipimpin oleh Kollontai, Krupskaya dan Armand. Pada fase itu pun, yang namanya
perempuan masih juga menghadapi serangkaian “aturan-aturan” keluarga dan partai. Misalnya sering terjadi aktivis partai (yang laki-laki) melarang isterinya tampil di depan umum, karena ia takut sang isteri maju kemudian
menjadi manusia baru dan akhirnya tidak lagi mau mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Aktivis partai yang perempuan diberi tempat untuk mengurusi masalah keperempuanan (Progress, 1992). Jika begitu faktanya, lalu apa dan siapa
sebenarnya yang melestarikan penindasan terhadap perempuan, hingga begitu sulit dihapuskan?
Budaya Patriarkhi yang tidak membebaskan
Patriarkhi berasal dari kata patriarkh
atau kekuasaan ayah yang dulunya dipakai untuk menyebut jenis keluarga yang dikuasai kaum laki-laki. Namun sekarang istilah itu digunakan untuk menjelaskan tentang kepercayaan atau ideologi bahwa lelaki lebih tinggi kedudukannya
dari perempuan, bahwa perempuan harus dikuasai oleh laki-laki dan merupakan harta milik laki-laki (Bhasin dan Khan, 1995).
Dalam bukunya The Origins of The Family:
Private Property and The State (1884), F. Engels menjelaskan tentang asal-usul patriarkhi. Engels berpendapat bahwa subordinasi perempuan (sebagai manifestasi dari patriarkhi) dimulai dengan terjadinya perkembangan kepemilikan
pribadi yang dia katakan sebagai kekalahan bersejarah jenis kelamin perempuan di dunia. Lebih lanjut, Engels membagi 3 tahap masyarakat, yaitu: biadab, barbarisme dan peradaban. Dalam tahap biadab (savagery) kegiatan umat
manusia sepenuhnya adalah mengumpulkan makanan dan berburu. Tidak ada pernikahan dan tidak ada kepemilikan pribadi. Tahap selanjutnya, orang mulai berpikir untuk menetap dengan membuka lahan-lahan pertanian. Secara perlahan
terjadi pembagian kerja secara seksual, di mana kaum laki-laki tetap berburu dan perempuan – konon karena mengalami proses kehamilan dan memilki anak – tinggal di rumah untuk mengurus anak serta tanah pertanian. Tetapi
di sisi lain, perempuan mempunyai kekuasaan dan kontrol atas gen (klen dari komunitas nenek moyang yang sama). Di dalam gen tidak ada kelas namun terjadi konflik antar gen. Ketika kaum laki-laki mulai mengembangkan senjata
untuk berburu dan penjinakan yang lebih maju, dia pun juga menggunakannya untuk perang antar suku. Nah, di sinilah muncul perbudakan. Kemudian bisa terjadi suatu gen memiliki binatang piaraan dan juga budak dari suku yang
kalah perang, khususnya budak perempuan. Pada tahap ini, laki-laki yang memiliki kekuasaan atas gen mulai menumpuk kekayaan dalam bentuk binatang dan budak. Semuanya ini mendorong ke arah pembentukan milik pribadi. Laki-laki
berkehendak memiliki kekuasaan dan kekayaan untuk diwariskan pada keturunannya. Untuk mengatur pewarisan ini, perempuan harus dijinakkan dan dikontrol seksualitasnya. Saat itulah, kata Engels, patriarkhi dan monogami ditegakkan
untuk kaum perempuan.
Peradaban modern, surplus dihasilkan di
tempat yang dikontrol oleh laki-laki sehingga dalam hal ekonomi perempuan menjadi tergantung. Ada konsep ruang publik untuk laki-laki dan ruang domestik untuk perempuan yang dibatasi pada wilayah rumah untuk menghasilkan keturunan
yang mewarisi kekayaan. Hakikat kerja bagi seorang isteri adalah pelayanan pribadi yang disingkirkan dari semua partisipasi di bidang produksi sosial. Keadaan ini tetap berlangsung (dengan berbagai cara dan pola-pola yang
tidak sama) hingga sejarah perkembangan masyarakat bergerak ke arah masyarakat kapitalis, di mana posisi perempuan dimaknai hanya untuk reproduksi buruh murah.
Dalam konteks sekarang,
wujud patriarkhi bisa berbeda-beda menurut tempatnya. Jika di Sudan dan Mesir ada penyunatan bagi anak perempuan, di Jawa perempuan dibelenggu oleh pepetah-pepatah agar tidak berani kepada suami. Keberagaman pola-pola sosialisasi
patriarkhi berdasarkan perbedaan gender oleh Ivan Illich dikatakan sebagai gender kedaerahan (Illich, 1997). Namun begitu, tetap ada basis material bagi penganut dan pelestari ideologi patriarkhi (baik laki-laki maupun perempuan)
yaitu bahwa mereka mendapatkan perolehan ekonomi konkret dari subordinasi perempuan.
Berbagai macam aliran feminisme
Feminisme sendiri bermakna suatu kesadaran akan penindasan terhadap perempuan dalam masyarakat, di tempat kerja
dan dalam keluarga, serta tindakan sadar oleh perempuan maupun laki-laki untuk mengubah keadaan tersebut. Ada beberapa aliran dalam feminisme yang mencerminkan perbedaan dalam melihat apa, mengapa dan bagaimana penindasan
terhadap perempuan terjadi. Agar lebih jelas, baiknya kita ulas secara singkat teori-teori feminisme itu.
Feminisme Liberal
Asumsi dasar feminisme liberal adalah bahwa kebebasan dan kesamaan berakar pada rasionalitas dan pemisahan antara
dunia privat dan dunia publik, dalam arti perjuangan perempuan tertuju pada kesempatan dan hak yang sama. Argumentasi rasional bagaimana perempuan dan laki-laki harus memiliki hak dan kesempatan yang sama diuraikan oleh
pencetus teori ini bahwa perempuan, sebagaimana kaum laki-laki adalah makhluk rasional. Jika dalam keadaan tertentu perempuan kedapatan bodoh, terbelakang, dan miskin itu adalah semata-mata karena kesalahan si perempuan itu
sendiri yang tidak mau memanfaatkan terbukanya kesempatan yang diberikan kepada mereka. Program kerja feminis liberal jelas seputar masalah pendidikan, ketrampilan dan berbagai kebijakan yang memungkinkan terbukanya kesempatan
bagi perempuan untuk berpartisipasi dalam pembangunan. Konsep Women In Development (WID), adalah bukti kegagalan kaum feminis liberal dalam melihat persoalan, di mana pada kenyataannya WID justru membuat perempuan makin terkurung
dalam persoalan-persoalan domestik dan hanya memberikan arti bagi perempuan di kelas atas (wanita karier).
Feminisme Radikal
Aliran ini beranggapan bahwa ujung pangkal ketertindasan kaum perempuan adalah pada jenis kelamin laki-laki beserta ideologi
patriarkhinya. Mereka melihat kaum laki-laki secara biologis maupun politis adalah bagian dari permasalahan. Patriarkhi adalah dasar dari ideologi penindasan yang merupakan sistem hirarki seksual, di mana laki-laki memiliki
kekuasaan superior dan previlege ekonomi. Bagi feminis radikal, revolusi terjadi pada setiap perempuan yang telah mengambil aksi mengubah gaya hidup, pengalaman dan hubungan mereka terhadap kaum laki-laki, bentuk-bentuk perlawanan
atau penindasan bisa sangat personal seputar individu kaum perempuan. Misalnya, bentuk perlawanan perempuan bisa saja dimanifestasikan dalam keputusan perempuan untuk menjadi seorang lesbian (mengingat mereka sangat memusuhi
laki-laki) atau mungkin saja seseorang perempuan mengubah penampilan seperti laki-laki yang maskulin (ingat, mereka ingin sekali bersaing dengan laki-laki dalam standar maskulinitas). Feminisme radikal menjadi bumerang bagi
gerakan perempuan sendiri, khususnya karena mereka menyerang keberadaan laki-laki sebagai saingan mereka. Feminisme jenis ini tentu saja akan menemui benturan yang berlawanan dengan prinsip pembebasan perempuan. Tuduhan anti
laki-laki, anti keluarga dan lain sebagainnya, seringkali tertuju kepada mereka. Di samping itu, anggapan bahwa patriarkhi sesuatu yang universal dan akar dari segala persoalan adalah ahistoris, melupakan bahwa patriarkhi
itu bisa langgeng serta persoalannya tidak selalu sama di setiap daerah.
Feminisme Marxis
Aliran yang satu ini sangat getol mengkritik feminisme radikal. Dikatakannya bahwa revolusi gaya hidup ala feminisme
radikal mengabaikan realitas obyektif perempuan yang ditindas bukan orang perorang. Bahwa patriarkhi sebagai akar penindasan perempuan juga ditolak oleh para feminis marxis. Aliran feminisme marxis percaya bahwa penindasan
perempuan adalah bagian dari penindasan kelas dalam hubungan produksi (Fakih, 1996). Perempuan ditindas adalah kelanjutan dari sistem eksploitasi yang struktural. Pokok permasalahannya adalah sistem kapitalisme dengan segala
eksesnya. Kemudian mereka berpikir, untuk menghapuskan ketertindasan perempuan haruslah bersifat stuktural. Yaitu dengan mengubah struktur kelas dan pemutusan hubungan dengan kapitalisme internasional. Itulah revolusi ! Dan
untuk memajukan kaum perempuan, mereka harus dibebaskan dari pekerjaan domestik untuk diserap dalam ranah industri/untuk berproduksi.
Feminisme Sosialis
Jenis aliran ini adalah sintesa dari feminisme marxis dan feminisme radikal yang dianggap punya sumbangan namun
tidak lengkap. Mereka tidak menganggap patriarkhi sebagai hal yang universal dan tidak berubah sesuai dengan prinsip historis materialis. Para feminis sosialis berpendapat bahwa pertarungan antara laki-laki dan perempuan berubah
sepanjang sejarah seiring dengan perubahan mode-mode produksi. Seorang feminis sosialis, Zillah Eisenstein, berpendapat bahwa supremasi kaum laki-laki oleh patriarkhi kapitalisme adalah hubungan inti yang menentukan penindasan
kaum perempuan. Dia melihat perempuan dalam hubungan produksi dan reproduksi, di mana di satu sisi terdapat proses kerja kapitalis yang eksploitatif, sisi lainnya hierarki seksual patriarkal yang menempatkan perempuan sebagai
pekerja domestik dan konsumen. Proses ini bergerak dalam kurun waktu sejarah yang selalu berubah. Jika pengorganisasian ekonomi masyarakat berubah, patriarkhi yang terletak dalam hubungan sosial reproduksi, akan memberikan
sistem penataan dan kontrol hierarkis yang digunakan dalam berbagai bentuk organisasi sosial, antara lain kapitalisme (Bhasin, 1996) Seorang feminis lain, Heidi Hartmann, mengatakan bahwa patriarkhi menyatukan semua lelaki
satu sama lain tanpa memperdulikan kelasnya. Kerja seorang perempuan memberi keuntungan kepada modal dan suaminya. Ini disebutnya teori patriarkhi dan modal. Analisisnya dijelaskan bahwa buruh perempuan diperlukan untuk mereproduksi
buruh murah serta untuk menumpuk buruh cadangan dalam jumlah tak terbatas Masuknya perempuan dalam sektor produksi dimanipulasi oleh pemilik modal dengan memakai pembenaran patriarkhis, untuk membayar lebih murah dibandingkan
buruh laki-laki.
Berbicara tentang aliran feminisme menjadi jelas bahwa analisis kelas dan analisis patriarkhilah yang mampu menjawab persoalan-persoalan
ketertindasan perempuan. Seorang feminis tanpa kesadaran kelas sejati menjadi dangkal dalam menganalisa persoalan-persoalan relasi yang tidak adil antara laki-laki dengan perempuan. Pembagian kerja yang timpang antara jenis
kelamin perempuan dan laki-laki harus diletakkan dalam kerangka analisa kelas dan patriarkhi. Oleh Maria Mies dijelaskan bahwa ketimpangan tersebut ditopang oleh lembaga-lembaga seperti keluarga dan negara, lewat perangkat-perangkatnya
seperti: militer, birokrasi, parlemen, dan lain-lain.
Apa yang telah diuraikan dalam tulisan ini, dapat menjadi arah bagi perjuangan pembebasan perempuan. Adalah suatu keharusan bagi feminis
sosialis untuk mengorganisir perjuangan melawan kapitalisme dan perjuangan melawan patriarkhi. Dan bergabungnya perempuan dengan sektor kelas tertindas adalah pilihan strategis bagi gerakan perempuan.
Surabaya, 12 April 2000
Tue Aug 01, 2023 9:56 pm by wisatasemarang
» Portable STATA 18 Crack Full Version
Thu May 11, 2023 5:24 pm by wisatasemarang
» NVivo 12 Crack Full version
Mon Jan 30, 2023 11:16 am by wisatasemarang
» Tutorial Difference In difference (DID (Diff-in-Diff) With Eviews 13
Thu Nov 03, 2022 6:24 am by wisatasemarang
» Online Workshop Smart PLS Minggu, 01 Oktober 2022
Sat Sep 17, 2022 11:35 am by wisatasemarang
» kumpulan ebook tentang robot
Fri Jan 02, 2015 10:04 pm by kyuru
» MANTRA PELET
Wed May 16, 2012 3:31 am by orlandojack
» book love of spell
Sat Mar 24, 2012 8:08 pm by rifqi as
» attraction Formula
Sat Mar 24, 2012 7:09 pm by rifqi as