Hubungan-Hubungan Karya Sastra
Hubungan Karya Sastra Dengan Pengarang
Karya sastra tidak pernah lepas dari kejiwaan dan subjektifitas pengarangnya. Secara ekspresif karya sastra merupakan hasil pengungkapan sang pencipta seni tentang pengalaman, pikiran, perasaan, emosi dan sejenisnya. Karya sastra adalah media komunikasi antara pengarang dengan pembacanya. Dilihat dari sisi pengarang, karya sastra merupakan karya kreatif, imaginatif (rekaan), mampu menyampaikan sesuatu yang bermakna dalam karya sastranya (utile) yang meliputi fungsi interpersonal, direktif, referensial, instrumental, informatif serta dimaksudkan untuk menghadirkan keindahan (dulce).
Karya sastra dituntut untuk memberikan hiburan (entertainment), maka keindahan, kesegaran, kemenarikan dan sejenisnya harus menyertai karya sastra itu. Karena sifatnya yang kreatif-imaginatif, karya sastra menyaran pada dunia rekaan sang penciptanya.
Hubungan karya sastra dengan pengarang terdiri atas:
(1) Hubungan karya sastra dengan pengarangnya, antara lain:
- Karya sastra sebagai media perenungan pengarang
Hasil ciptanya yang berupa karya sastra sebagai alat untuk memahami dan mencari hakikat hidup manusia, hakikat dari karya manusia, atau perwujudan dorongan akan rasa ketuhanan.
- Karya sastra untuk media keperluan praktis
Produkivitas pengarang dalam mencipta karya sastra dimanfaatkan untuk dijual dan menghasilkan uang, untuk mempertahankan hidup seperti A.A. Navis yang menghasilkan novel Kemarau agar tidak dianggap sebagai seorang komunis. Selain itu, karya sastra juga sebagai perwujudan dorongan pengarang untuk berbakti dalam penggarapan karyanya, dsb.
- Karya sastra digunakan pengarang untuk menyampaikan ide-ide, gagasan, nilai-nilai yang diyakininya
(2) Hubungan karya sastra orang lain dengan pengarang I
Hubungan ini bisa merupakan suatu hubungan pemanfaatan atau penolakan. Karya sastra orang lain dapat dimanfaatkan oleh pengarang dalam penciptaan karya sastra baik dari segi bahasa, gaya, teknik maupun isi. Sehingga karya sastra yang telah tercipta tidak akan lepas terhadap pengaruh karya sebelumnya. Selain itu, pengarang juga bisa menolak karya sastra sebelumnya sebagai media pijakan dalam mencipta karya sastra yang lebih apik dalam memperbaharui logika (sastra) atau memanipulasi sesuatu yang sudah mapan pada karya sastra sebelumnya.
Esten menyatakan bahwa ada dua hal yang harus dimiliki oleh seorang pengarang, yakni: daya kreatif dan daya imajinatif. Daya kreatif adalah daya untuk menciptakan hal-hal yang baru dan asli. Manusia penuh dengan seribu satu kemungkinan tentang dirinya. Untuk itu, seorang pengarang berusaha untuk memperlihatkan memperlihatkan masalah-masalah manusia yang kongkrit dan bervariasi dalam karya-karya sastranya. Sedangkan daya imajinatif adalah kemampuan pengarang untuk membayangkan, mengkhayalkan, dan menggambarkan sesuatu atau peristiwa-peristiwa. Seorang pengarang yang memiliki daya imajinatif yang tinggi bila dia mampu memperlihatkan dan menggambarkan kemungkinan-kemungkinan kehidupan, masalah-masalah dan pilihan-pilihan dari alternatif yang mungkin dihadapi manusia. Kedua daya itu akan menentukan berhasil tidaknya suatu karya sastra (1978 : 9).
Jika dikaitkan dengan proses penciptaan karya sastra, seorang pengarang berhadapan dengan suatu kenyataan yang ada dalam masyarakat (realitas obyektif). Realitas obyektif bisa berbentuk peristiwa-peristiwa, norma-norma (tata nilai), pandangan hidup dan bentuk-bentuk realitas obyektif yang ada dalam masyarakat. Bila seseorang pengarang merasa tidak puas dengan realitas obyektif itu, mungkin saja dia lalu merasa ‘gelisah’. Berangkat dari kegelisahan itu, mungkin saja, dia , dengan caranya sendiri (misalnya, lewat kegiatan kepengarangan) memprotes, memberontak, mendobrak realitas obyektif yang, menurutnya, tidak memuaskan atau penuh dengan ketidakadilan. Setelah ada suatu sikap, maka dia mencoba untuk mengangankan suatu “realitas” baru sebagai pengganti realitas obyektif yang sementara ini dia tolak. (Fatchul Muin)
Emosi pengarang sangat dominan dalam penciptaan karya sastra. Oleh karena itu karya ini tidak akan pernah lepas dari kondisi mental manusia. Kondisi mental akan mendorong seseorang melakukan sesuatu yang disebut dengan proses kreatif. Inilah mengapa kondisi psikologis sering juga mempengaruhi nilai-nilai atau corak sebuah karya sastra. Sastra merupakan cerimanan atau gambaran yang ada pada penulisnya sendiri. oleh karena itu sastra tidak bisa lepas dari latar belakang penulisnya. Sastra akan sangat dipengaruhi oleh pola pikir, kejiwaan dan kedewasaan penciptanya. Meskipun demikian sastra tidak selalu identik dengan penulisnya yang sengsara. Karena ekpresi yang dilakukan penulis bukan semata-mata dari apa yang ada dalam dirinya tetapi juga kondisi lingkungan yang ada di sekitarnya. stimulan yang dialami oleh pengarang jelas akan sangat berpengaruh pada diri dan karya yang dibuat oleh seorang pengarang.
Hubungan Karya Sastra Dengan Pembaca
Horatius dalam Ars Poetica (14 SM) menyatakan bahwa tujuan penyair adalah berguna atau memberi nikmat, ataupun sekaligus menyatakan hal-hal yang enak dan berfaedah untuk kehidupan. Dari pendapatnya inilah awal pendekatan pragmatik.
Dari pendekatan pragmatik, kita mengenal resepsi sastra. Resepsi sastra adalah kajian yang mempelajari bagaimana pembaca memberikan makna terhadap karya sastra yang dibacanya sehingga dapat memberikan reaksi atau tanggapan terhadapnya, baik tanggapan pasif maupun tanggapan aktif.
Hubungan antara karya sastra dan pembaca sangat khas.
1. Hubungan sastrawan dengan pembacanya sangat khas dari sifat komunikasinya.
Hubungan sastrawan dengan pembacanya adalah hubungan timbal balik. Pembaca dan sastrawan berkomunikasi melalui karya sastra. Pembaca harus sadar bahwa yang mereka baca adalah karya sastra yang di dalamnya terdapat kenyataan khayalan.
Sastrawan yang sudah mengetahui konvensi yang ada di benak pembaca bisa mengambil sikap mengikuti dan memanfaatkan konvensi itu. Sastrawan yang mengambil sikap mengikuti konvensi bisa berangkat dari praanggapan yang sama dengan pembaca. Ia akan menyampaikan informasi yang given, yaitu informasi yang sudah dimiliki pembaca tentang sastra. Namun tidak semua pembaca menyukai sastrawan yang selalu mengikuti selera pembaca, pembaca ini justru ingin dikejutkan oleh kepandaian pengarang. Seperti dalam cerita detektif, pembaca justru ingin ditipu oleh pembaca. Selain itu ada juga sastrawan yang mengambil siakp keduanya, ia memanfaatkan konvensi yang sudah ada unutk dipermainkan. Bahkan ia bisa menentang konvensi yang menyodorkan sesuatu yang baru, sesuatu yang lain dari apa yang telah diketahui oleh pembaca.
2. Kekhasan komunikasi antara sastrawan dan pembacanya bisa dilihat pada diri pembaca itu sendiri.
Pembaca sastra adalah pemilih, penerima, penafsir, pemberi dan penyusun makna karya sastra sehingga menghasilkan makna-makna tertentu. Bentuk penerimaan pembaca bergantung pada tingkatan pembaca. Ada bermacam-macam tingkatan pembaca.
a. Pembaca sastra awam
Pembaca awam akan menerima karya sastra dengan keawamannya. Ia menerima karya sastra berdasarkan skematanya, tanpa dilandasi teori-teori.
b. Pembaca sastra yang sastrawan
Pembaca yang sastrawan menerima karya sastra dengan skemata kesastrawanannya. Mereka menerima karya sastra berdasarkan pengalaman mereka dalam proses kreatif.
c. Pembaca sastra yang kritikus
Pembaca yang kritikus membaca karya sastra lebih banyak didasarkan pada penilitian baik-buruk atau berhasil-gagalnya sebuah karya sastra
d. Pembaca sastra dari kalangan akademis
Pembaca yang berasal dari kalangan akademisi menerima karya sastra dengan skemata teori sastra yang telah mereka terima.
3. Kekhasan komunikasi antara sastrawan dan pembacanya bisa dilihat pada pesan itu sendiri.
Setelah pembaca membaca karya sastra, sebenarnya akan muncul karya yang lain. Karya lain itu adalah karya yang ada dalam alam pikiran pembaca sesuai dengan penafsiran dan system yang ada dalam pikirannya.
4. Kekhasan komunikasi antara sastrawan dan pembacanya bisa dilihat pada diri sastrawannya.
Hubungan antara sastrawan dan pembaca juga bisa berupa hubungan yang muncul akibat sikap dan pandangan sastrawan dengan pembaca. Selain muncul dalam sikap sehari-hari, sikap terhadap pembaca tampak pada karya sastranya.
Hubungan Karya Sastra dengan Sosial Budaya
Sebagai makhluk sosial sastrawan dalam mencptakan karya sastra tidak terlepas oleh latar belakang kehidupan sosialnya,asal sosial merujuk pada tempat sastrawan mendapatkan ide atau imajinasi dalam menciptakan suatu karya sastra, sosial budaya juga saling mempengaruhi terhadap penciptaan suatu karya sastra, ini karena keduanya saling berkaitan, misalnya sastrawan mendapat ide menciptakan sebuah karya sastra yang bertemakan religi setelah dia bertemu atau menemukan sebuah komunitas masyarakat yang kental akan kehidupan reiiginya.
Hal ini sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa karya sastra merupakan dokumen sosial (junus,1986),pikiran ini juga sesuai dengan pikiran Mars dan Enggel yang menyatakan bahwa sastra merupakan cerminan masyarakat dengan berbagai cara. artinya sastrawan ketika menciptakan sebuah karya sastra besar kemungkinan mencerminkan kondisi suatu sosial masyarakat tertentu sebagai inspirasinya. hal tersebut dapat dilihat pada karya-karya sastra yang diciptakan pada masa-masa penjajahan hingga masa kemerdekaan dan bahkan sampai saat ini.semuanya akan bervariasi mengikuti sosia budaya suatu masyarakat.
Daftar Rujukan
Mu`in, Fatchul. 2008. Karya Sastra Menurut teori Abram`s (online), (http://www.google.com. diakses 30 Juli 2008)
Siswanto, Wahyudi. 2008. Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Grasindo
Teeuw, A. 1984. Sastera Dan Ilmu Sastera. Jakarta:Pustaka Jaya
Hubungan Karya Sastra Dengan Pengarang
Karya sastra tidak pernah lepas dari kejiwaan dan subjektifitas pengarangnya. Secara ekspresif karya sastra merupakan hasil pengungkapan sang pencipta seni tentang pengalaman, pikiran, perasaan, emosi dan sejenisnya. Karya sastra adalah media komunikasi antara pengarang dengan pembacanya. Dilihat dari sisi pengarang, karya sastra merupakan karya kreatif, imaginatif (rekaan), mampu menyampaikan sesuatu yang bermakna dalam karya sastranya (utile) yang meliputi fungsi interpersonal, direktif, referensial, instrumental, informatif serta dimaksudkan untuk menghadirkan keindahan (dulce).
Karya sastra dituntut untuk memberikan hiburan (entertainment), maka keindahan, kesegaran, kemenarikan dan sejenisnya harus menyertai karya sastra itu. Karena sifatnya yang kreatif-imaginatif, karya sastra menyaran pada dunia rekaan sang penciptanya.
Hubungan karya sastra dengan pengarang terdiri atas:
(1) Hubungan karya sastra dengan pengarangnya, antara lain:
- Karya sastra sebagai media perenungan pengarang
Hasil ciptanya yang berupa karya sastra sebagai alat untuk memahami dan mencari hakikat hidup manusia, hakikat dari karya manusia, atau perwujudan dorongan akan rasa ketuhanan.
- Karya sastra untuk media keperluan praktis
Produkivitas pengarang dalam mencipta karya sastra dimanfaatkan untuk dijual dan menghasilkan uang, untuk mempertahankan hidup seperti A.A. Navis yang menghasilkan novel Kemarau agar tidak dianggap sebagai seorang komunis. Selain itu, karya sastra juga sebagai perwujudan dorongan pengarang untuk berbakti dalam penggarapan karyanya, dsb.
- Karya sastra digunakan pengarang untuk menyampaikan ide-ide, gagasan, nilai-nilai yang diyakininya
(2) Hubungan karya sastra orang lain dengan pengarang I
Hubungan ini bisa merupakan suatu hubungan pemanfaatan atau penolakan. Karya sastra orang lain dapat dimanfaatkan oleh pengarang dalam penciptaan karya sastra baik dari segi bahasa, gaya, teknik maupun isi. Sehingga karya sastra yang telah tercipta tidak akan lepas terhadap pengaruh karya sebelumnya. Selain itu, pengarang juga bisa menolak karya sastra sebelumnya sebagai media pijakan dalam mencipta karya sastra yang lebih apik dalam memperbaharui logika (sastra) atau memanipulasi sesuatu yang sudah mapan pada karya sastra sebelumnya.
Esten menyatakan bahwa ada dua hal yang harus dimiliki oleh seorang pengarang, yakni: daya kreatif dan daya imajinatif. Daya kreatif adalah daya untuk menciptakan hal-hal yang baru dan asli. Manusia penuh dengan seribu satu kemungkinan tentang dirinya. Untuk itu, seorang pengarang berusaha untuk memperlihatkan memperlihatkan masalah-masalah manusia yang kongkrit dan bervariasi dalam karya-karya sastranya. Sedangkan daya imajinatif adalah kemampuan pengarang untuk membayangkan, mengkhayalkan, dan menggambarkan sesuatu atau peristiwa-peristiwa. Seorang pengarang yang memiliki daya imajinatif yang tinggi bila dia mampu memperlihatkan dan menggambarkan kemungkinan-kemungkinan kehidupan, masalah-masalah dan pilihan-pilihan dari alternatif yang mungkin dihadapi manusia. Kedua daya itu akan menentukan berhasil tidaknya suatu karya sastra (1978 : 9).
Jika dikaitkan dengan proses penciptaan karya sastra, seorang pengarang berhadapan dengan suatu kenyataan yang ada dalam masyarakat (realitas obyektif). Realitas obyektif bisa berbentuk peristiwa-peristiwa, norma-norma (tata nilai), pandangan hidup dan bentuk-bentuk realitas obyektif yang ada dalam masyarakat. Bila seseorang pengarang merasa tidak puas dengan realitas obyektif itu, mungkin saja dia lalu merasa ‘gelisah’. Berangkat dari kegelisahan itu, mungkin saja, dia , dengan caranya sendiri (misalnya, lewat kegiatan kepengarangan) memprotes, memberontak, mendobrak realitas obyektif yang, menurutnya, tidak memuaskan atau penuh dengan ketidakadilan. Setelah ada suatu sikap, maka dia mencoba untuk mengangankan suatu “realitas” baru sebagai pengganti realitas obyektif yang sementara ini dia tolak. (Fatchul Muin)
Emosi pengarang sangat dominan dalam penciptaan karya sastra. Oleh karena itu karya ini tidak akan pernah lepas dari kondisi mental manusia. Kondisi mental akan mendorong seseorang melakukan sesuatu yang disebut dengan proses kreatif. Inilah mengapa kondisi psikologis sering juga mempengaruhi nilai-nilai atau corak sebuah karya sastra. Sastra merupakan cerimanan atau gambaran yang ada pada penulisnya sendiri. oleh karena itu sastra tidak bisa lepas dari latar belakang penulisnya. Sastra akan sangat dipengaruhi oleh pola pikir, kejiwaan dan kedewasaan penciptanya. Meskipun demikian sastra tidak selalu identik dengan penulisnya yang sengsara. Karena ekpresi yang dilakukan penulis bukan semata-mata dari apa yang ada dalam dirinya tetapi juga kondisi lingkungan yang ada di sekitarnya. stimulan yang dialami oleh pengarang jelas akan sangat berpengaruh pada diri dan karya yang dibuat oleh seorang pengarang.
Hubungan Karya Sastra Dengan Pembaca
Horatius dalam Ars Poetica (14 SM) menyatakan bahwa tujuan penyair adalah berguna atau memberi nikmat, ataupun sekaligus menyatakan hal-hal yang enak dan berfaedah untuk kehidupan. Dari pendapatnya inilah awal pendekatan pragmatik.
Dari pendekatan pragmatik, kita mengenal resepsi sastra. Resepsi sastra adalah kajian yang mempelajari bagaimana pembaca memberikan makna terhadap karya sastra yang dibacanya sehingga dapat memberikan reaksi atau tanggapan terhadapnya, baik tanggapan pasif maupun tanggapan aktif.
Hubungan antara karya sastra dan pembaca sangat khas.
1. Hubungan sastrawan dengan pembacanya sangat khas dari sifat komunikasinya.
Hubungan sastrawan dengan pembacanya adalah hubungan timbal balik. Pembaca dan sastrawan berkomunikasi melalui karya sastra. Pembaca harus sadar bahwa yang mereka baca adalah karya sastra yang di dalamnya terdapat kenyataan khayalan.
Sastrawan yang sudah mengetahui konvensi yang ada di benak pembaca bisa mengambil sikap mengikuti dan memanfaatkan konvensi itu. Sastrawan yang mengambil sikap mengikuti konvensi bisa berangkat dari praanggapan yang sama dengan pembaca. Ia akan menyampaikan informasi yang given, yaitu informasi yang sudah dimiliki pembaca tentang sastra. Namun tidak semua pembaca menyukai sastrawan yang selalu mengikuti selera pembaca, pembaca ini justru ingin dikejutkan oleh kepandaian pengarang. Seperti dalam cerita detektif, pembaca justru ingin ditipu oleh pembaca. Selain itu ada juga sastrawan yang mengambil siakp keduanya, ia memanfaatkan konvensi yang sudah ada unutk dipermainkan. Bahkan ia bisa menentang konvensi yang menyodorkan sesuatu yang baru, sesuatu yang lain dari apa yang telah diketahui oleh pembaca.
2. Kekhasan komunikasi antara sastrawan dan pembacanya bisa dilihat pada diri pembaca itu sendiri.
Pembaca sastra adalah pemilih, penerima, penafsir, pemberi dan penyusun makna karya sastra sehingga menghasilkan makna-makna tertentu. Bentuk penerimaan pembaca bergantung pada tingkatan pembaca. Ada bermacam-macam tingkatan pembaca.
a. Pembaca sastra awam
Pembaca awam akan menerima karya sastra dengan keawamannya. Ia menerima karya sastra berdasarkan skematanya, tanpa dilandasi teori-teori.
b. Pembaca sastra yang sastrawan
Pembaca yang sastrawan menerima karya sastra dengan skemata kesastrawanannya. Mereka menerima karya sastra berdasarkan pengalaman mereka dalam proses kreatif.
c. Pembaca sastra yang kritikus
Pembaca yang kritikus membaca karya sastra lebih banyak didasarkan pada penilitian baik-buruk atau berhasil-gagalnya sebuah karya sastra
d. Pembaca sastra dari kalangan akademis
Pembaca yang berasal dari kalangan akademisi menerima karya sastra dengan skemata teori sastra yang telah mereka terima.
3. Kekhasan komunikasi antara sastrawan dan pembacanya bisa dilihat pada pesan itu sendiri.
Setelah pembaca membaca karya sastra, sebenarnya akan muncul karya yang lain. Karya lain itu adalah karya yang ada dalam alam pikiran pembaca sesuai dengan penafsiran dan system yang ada dalam pikirannya.
4. Kekhasan komunikasi antara sastrawan dan pembacanya bisa dilihat pada diri sastrawannya.
Hubungan antara sastrawan dan pembaca juga bisa berupa hubungan yang muncul akibat sikap dan pandangan sastrawan dengan pembaca. Selain muncul dalam sikap sehari-hari, sikap terhadap pembaca tampak pada karya sastranya.
Hubungan Karya Sastra dengan Sosial Budaya
Sebagai makhluk sosial sastrawan dalam mencptakan karya sastra tidak terlepas oleh latar belakang kehidupan sosialnya,asal sosial merujuk pada tempat sastrawan mendapatkan ide atau imajinasi dalam menciptakan suatu karya sastra, sosial budaya juga saling mempengaruhi terhadap penciptaan suatu karya sastra, ini karena keduanya saling berkaitan, misalnya sastrawan mendapat ide menciptakan sebuah karya sastra yang bertemakan religi setelah dia bertemu atau menemukan sebuah komunitas masyarakat yang kental akan kehidupan reiiginya.
Hal ini sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa karya sastra merupakan dokumen sosial (junus,1986),pikiran ini juga sesuai dengan pikiran Mars dan Enggel yang menyatakan bahwa sastra merupakan cerminan masyarakat dengan berbagai cara. artinya sastrawan ketika menciptakan sebuah karya sastra besar kemungkinan mencerminkan kondisi suatu sosial masyarakat tertentu sebagai inspirasinya. hal tersebut dapat dilihat pada karya-karya sastra yang diciptakan pada masa-masa penjajahan hingga masa kemerdekaan dan bahkan sampai saat ini.semuanya akan bervariasi mengikuti sosia budaya suatu masyarakat.
Daftar Rujukan
Mu`in, Fatchul. 2008. Karya Sastra Menurut teori Abram`s (online), (http://www.google.com. diakses 30 Juli 2008)
Siswanto, Wahyudi. 2008. Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Grasindo
Teeuw, A. 1984. Sastera Dan Ilmu Sastera. Jakarta:Pustaka Jaya
Tue Aug 01, 2023 9:56 pm by wisatasemarang
» Portable STATA 18 Crack Full Version
Thu May 11, 2023 5:24 pm by wisatasemarang
» NVivo 12 Crack Full version
Mon Jan 30, 2023 11:16 am by wisatasemarang
» Tutorial Difference In difference (DID (Diff-in-Diff) With Eviews 13
Thu Nov 03, 2022 6:24 am by wisatasemarang
» Online Workshop Smart PLS Minggu, 01 Oktober 2022
Sat Sep 17, 2022 11:35 am by wisatasemarang
» kumpulan ebook tentang robot
Fri Jan 02, 2015 10:04 pm by kyuru
» MANTRA PELET
Wed May 16, 2012 3:31 am by orlandojack
» book love of spell
Sat Mar 24, 2012 8:08 pm by rifqi as
» attraction Formula
Sat Mar 24, 2012 7:09 pm by rifqi as