Banyak hal menarik yang membekas dalam pikiran sejak saya harus membagi kehidupan menjadi dua dunia yang berbeda, Jepang dan Indonesia (dan Jawa). Ketertarikan pada dialog antarbudaya mendorong keinginan untuk membandingkan budaya Jepang dan Indonesia. Yang paling menarik dan dengan biaya yang murah adalah merenung-renungkan persamaan dan keunikan bahasa di antara dua alam itu. Jika kita menguasai persamaan dan keunikan-keunikan itu, maka seolah-olah memegang salah satu kunci sukses berkomunikasi dengan orang lain, termasuk orang Jepang.
1. Plesetan dan shiritori
Beberapa hari lalu, saya menemani Kemuning, anak saya, melihat acara film kartun animasi (anime) di stasiun televisi swasta di Kobe. Di film itu muncul kalimat menarik, Furansu wa ame ga furan`su. Oranda dewa pengin ga oran-da. Kalimat ini adalah salah satu bentuk plesetan (dajare) gaya Jepang yang mutakhir, karena pada dasarnya bahasa Jepang sangat rentan untuk dipleset-plesetkan. “Bahasa Jepang kaya istilah, tetapi miskin bunyi”, begitu kata ibu guru Noriko Ishida saat kursus bahasa di Jogja dulu. Banyak sekali istilah Jepang yang bunyinya sama, tetapi artinya sangat berbeda. Sehingga orang Jepang sendiri sulit memahami kata-kata atau kalimat, jika tidak melihat atau memahami konteks pembicaraan. Akan lebih mudah memahaminya jika setiap kata-kata yang meragukan itu ditulis dalam bentuk huruf kanji. Jadi, artinya huruf-huruf kanji sebenarnya bisa jadi sumber masalah, karena banyak huruf yang bunyinya sama tetapi tulisan (atau gambar) dan artinya berbeda.
Kalimat yang muncul di televisi itu adalah salah satu bentuk plesetan yang mudah dipahami. Artinya hanya berupa permainan kata-kata. Kalimat yang benar adalah Furansu wa ame ga furanai desu. Oranda dewa pengin ga oranai desu artinya : Di Perancis hujan tidak turun, di Belanda tidak ada pinguin. Bentuk plesetan dan permainan kata-kata yang lawas misalnya Niwa niwa niwatori ga niwa imasu. Kalimat ini mudah dimengerti jika ditulis dengan huruf-huruf kanji. Sepertinya hanya pengulangan kata niwa tetapi masing-masing memiliki arti dan fungsi yang berbeda. Niwa yang pertama artinya halaman, niwa yang kedua artinya di (kata depan penunjuk tempat), yang ketiga niwa+tori artinya ayam, dan niwa yang terakhir adalah dua ekor. Kata ga adalah partikel, dan imasu menyatakan keberadaan. Jadi lengkapnya berarti : Di halaman ada dua ekor ayam. Plesetan gaya Jepang ini rupanya terus berkembang dan selalu menarik untuk diikuti bagi penikmat bahasa, seperti juga dalam bahasa lain misalnya plesetan dalam bahasa Jawa.
Lain lagi dengan istilah shiritori. Shiritori adalah permainan kata-kata yang sambung menyambung, dengan mengambil suku kata sebelumnya untuk menemukan kata yang lain. Shiri artinya pantat atau ekor, dan tori artinya mengambil Yang paling populer di kalangan anak-anak misalnya kobuta tanuki kitsune neko, adalah deretan nama-nama binatang untuk mengenalkan anak-anak kepada alam. Shiritori menjadi semacam permainan antara beberapa orang, jika ada waktu luang di sela-sela minum teh. Di sinilah saya teringat pada “shiritori “dalam bahasa Jawa yang sering saya ucapkan waktu sekolah di kampung. Esuk-esuk tuku lenga nyangking botol, konco (maksudnya kanca), kanca lawas tak jak dolan menyang kali, pelem, pelem mentah kecute ngungkuli jeruk, tuma, tuma kathok klelar-kleler nduwur rambut, jempol… (Maaf, sulit untuk menjelaskan maknanya dalam bahasa Indonesia). Bagi yang kurang memahaminya, cukup perhatikan bahwa satu suku kata pada setiap akhir anak kalimat merupakan awal dari anak kalimat berikutnya. Persis seperti shiritori, kan. Terlepas dari nuansa seronok dalam permainan ini, nampaknya bahasa apapun membutuhkan kreativitas untuk berkembang.
2. Istri saya memakai chinchin
Pada kali yang lain, saya terlibat dalam pertemuan persahabatan dengan beberapa kenalan baru, orang Jepang. Untuk memecah suasana beku, saya mengatakan pada mereka “Indonesia wa meishi ga NAS(H)I, sakana wa IKAN!” Mereka kaget, masak di Indonesia tidak ada nasi dan makan ikan tidak boleh. Mereka tahu bahwa sebagian besar orang Indonesia makan nasi. Mereka juga sedikit tahu bahwa orang tertentu tidak boleh makan daging binatang tertentu, yakni babi untuk orang Islam dan daging sapi buat orang Hindu. Tapi, kata-kata itu menjadi kejutan baru buat mereka. Anda yang tahu bahasa Jepang, tentu segera menangkap maksud kalimat itu. Arti harfiah kalimat di atas adalah “Di Indonesia tidak ada nasi, dan makan ikan tidak boleh.” Padahal maksud saya, “Di Indonesia meishi (makanan utama) adalah nasi, dan sakana disebut ikan.” Catatan, ikan dalam slang bahasa Jepang adalah singkatan dari ikanai, artinya tidak boleh. Setelah saya jelaskan maknanya, barulah suasana cair dan pembicaraan lancar. Anda pengin mengadopsi cara ini? Silakan.
Yang kedua ini, maaf agak porno. Sewaktu tinggal di Kyoto, seorang teman yang sering ke Indonesia bertanya, “Apa artinya chinchin dalam bahasa Indonesia?” Dengan lugu saya jawab, “Yubiwa (cincin).” Padahal, chinchin dalam bahasa Jepang berarti, maaf, alat kelamin (lelaki). Maka, kalau tidak berhati-hati berbicara bahasa Indonesia di Jepang, atau mencampur kedua bahasa itu dengan ceroboh, bisa membuat kemaluan, eh maksudnya bisa membuat malu. Coba Anda artikan (misalnya Anda menjadi orang Jepang), “Istri saya memakai chinchin milik saya.”………
Bahasa Jepang juga menarik perhatian karena, seperti bahasa kita, juga mengakomodir kata ulang. Contohnya adalah chouchou untuk kupu-kupu. Sebagian orang cukup menyebutnya dengan chou saja, dan kita juga ada yang menyebut kupu saja (terutama orang Jawa). Untuk bintang atau cahaya yang kelap-kelip, orang menyebutnya kira-kira. Untuk permukaan benda yang kasar, kresek-kresek, orang Jepang mengatakan kasa-kasa. Langkah-langkah gajah yang berjalan berat, gedebag-gedebug, mereka menyebutnya dozun-dozun. (Lihat tulisan Santi Stanislausia L, INOVASI Vol. 1/XVI/Agustus 2004, hal. 45-47). Dan masih banyak perbandingan menarik yang lain.
3. Carilah persamaan dan keunikan, bukan perbedaan dan keanehan
Mencari persamaan dan keunikan, itulah kata-kata yang harus dipegang untuk berkomunikasi dengan orang lain. Sebaliknya, jika setiap berkomunikasi dengan orang lain diawali dengan perasaan beda kelas, beda bangsa, beda agama, beda suku dan lain-lainnya, maka pasti pembicaraan akan mandeg alias buntu. Jadi apa persamaan Anda dengan Pak Suzuki? Sama-sama naik Honda, kan?
Bahasa dengan dengan variasi tutur kata, umumnya hanya dikuasai oleh kelompok dengan latar belakang tertentu yang sejenis saja, meskipun `orang luar` bisa mendalaminya dengan belajar. Akan tetapi, dari kasus kecil tentang perbandingan bahasa Jepang dan Indonesia (dan Jawa) di atas, bisa dipahami bahwa terdapat persamaan dalam perkembangan cara bertutur menurut tujuan dan kepentingannya masing-masing, yang merupakan wujud dari cara menyiasati komunikasi yang jenuh dengan cara bertutur `tradisional`. Persamaan dan keunikan-keunikan seperti itu sebenarnya sangat banyak dijumpai, jika penutur mendalami ruh masing-masing bahasa, dan tentu sangat menarik sebagai sebuah ide untuk memecahkan kebekuan komunikasi antarbudaya.
1. Plesetan dan shiritori
Beberapa hari lalu, saya menemani Kemuning, anak saya, melihat acara film kartun animasi (anime) di stasiun televisi swasta di Kobe. Di film itu muncul kalimat menarik, Furansu wa ame ga furan`su. Oranda dewa pengin ga oran-da. Kalimat ini adalah salah satu bentuk plesetan (dajare) gaya Jepang yang mutakhir, karena pada dasarnya bahasa Jepang sangat rentan untuk dipleset-plesetkan. “Bahasa Jepang kaya istilah, tetapi miskin bunyi”, begitu kata ibu guru Noriko Ishida saat kursus bahasa di Jogja dulu. Banyak sekali istilah Jepang yang bunyinya sama, tetapi artinya sangat berbeda. Sehingga orang Jepang sendiri sulit memahami kata-kata atau kalimat, jika tidak melihat atau memahami konteks pembicaraan. Akan lebih mudah memahaminya jika setiap kata-kata yang meragukan itu ditulis dalam bentuk huruf kanji. Jadi, artinya huruf-huruf kanji sebenarnya bisa jadi sumber masalah, karena banyak huruf yang bunyinya sama tetapi tulisan (atau gambar) dan artinya berbeda.
Kalimat yang muncul di televisi itu adalah salah satu bentuk plesetan yang mudah dipahami. Artinya hanya berupa permainan kata-kata. Kalimat yang benar adalah Furansu wa ame ga furanai desu. Oranda dewa pengin ga oranai desu artinya : Di Perancis hujan tidak turun, di Belanda tidak ada pinguin. Bentuk plesetan dan permainan kata-kata yang lawas misalnya Niwa niwa niwatori ga niwa imasu. Kalimat ini mudah dimengerti jika ditulis dengan huruf-huruf kanji. Sepertinya hanya pengulangan kata niwa tetapi masing-masing memiliki arti dan fungsi yang berbeda. Niwa yang pertama artinya halaman, niwa yang kedua artinya di (kata depan penunjuk tempat), yang ketiga niwa+tori artinya ayam, dan niwa yang terakhir adalah dua ekor. Kata ga adalah partikel, dan imasu menyatakan keberadaan. Jadi lengkapnya berarti : Di halaman ada dua ekor ayam. Plesetan gaya Jepang ini rupanya terus berkembang dan selalu menarik untuk diikuti bagi penikmat bahasa, seperti juga dalam bahasa lain misalnya plesetan dalam bahasa Jawa.
Lain lagi dengan istilah shiritori. Shiritori adalah permainan kata-kata yang sambung menyambung, dengan mengambil suku kata sebelumnya untuk menemukan kata yang lain. Shiri artinya pantat atau ekor, dan tori artinya mengambil Yang paling populer di kalangan anak-anak misalnya kobuta tanuki kitsune neko, adalah deretan nama-nama binatang untuk mengenalkan anak-anak kepada alam. Shiritori menjadi semacam permainan antara beberapa orang, jika ada waktu luang di sela-sela minum teh. Di sinilah saya teringat pada “shiritori “dalam bahasa Jawa yang sering saya ucapkan waktu sekolah di kampung. Esuk-esuk tuku lenga nyangking botol, konco (maksudnya kanca), kanca lawas tak jak dolan menyang kali, pelem, pelem mentah kecute ngungkuli jeruk, tuma, tuma kathok klelar-kleler nduwur rambut, jempol… (Maaf, sulit untuk menjelaskan maknanya dalam bahasa Indonesia). Bagi yang kurang memahaminya, cukup perhatikan bahwa satu suku kata pada setiap akhir anak kalimat merupakan awal dari anak kalimat berikutnya. Persis seperti shiritori, kan. Terlepas dari nuansa seronok dalam permainan ini, nampaknya bahasa apapun membutuhkan kreativitas untuk berkembang.
2. Istri saya memakai chinchin
Pada kali yang lain, saya terlibat dalam pertemuan persahabatan dengan beberapa kenalan baru, orang Jepang. Untuk memecah suasana beku, saya mengatakan pada mereka “Indonesia wa meishi ga NAS(H)I, sakana wa IKAN!” Mereka kaget, masak di Indonesia tidak ada nasi dan makan ikan tidak boleh. Mereka tahu bahwa sebagian besar orang Indonesia makan nasi. Mereka juga sedikit tahu bahwa orang tertentu tidak boleh makan daging binatang tertentu, yakni babi untuk orang Islam dan daging sapi buat orang Hindu. Tapi, kata-kata itu menjadi kejutan baru buat mereka. Anda yang tahu bahasa Jepang, tentu segera menangkap maksud kalimat itu. Arti harfiah kalimat di atas adalah “Di Indonesia tidak ada nasi, dan makan ikan tidak boleh.” Padahal maksud saya, “Di Indonesia meishi (makanan utama) adalah nasi, dan sakana disebut ikan.” Catatan, ikan dalam slang bahasa Jepang adalah singkatan dari ikanai, artinya tidak boleh. Setelah saya jelaskan maknanya, barulah suasana cair dan pembicaraan lancar. Anda pengin mengadopsi cara ini? Silakan.
Yang kedua ini, maaf agak porno. Sewaktu tinggal di Kyoto, seorang teman yang sering ke Indonesia bertanya, “Apa artinya chinchin dalam bahasa Indonesia?” Dengan lugu saya jawab, “Yubiwa (cincin).” Padahal, chinchin dalam bahasa Jepang berarti, maaf, alat kelamin (lelaki). Maka, kalau tidak berhati-hati berbicara bahasa Indonesia di Jepang, atau mencampur kedua bahasa itu dengan ceroboh, bisa membuat kemaluan, eh maksudnya bisa membuat malu. Coba Anda artikan (misalnya Anda menjadi orang Jepang), “Istri saya memakai chinchin milik saya.”………
Bahasa Jepang juga menarik perhatian karena, seperti bahasa kita, juga mengakomodir kata ulang. Contohnya adalah chouchou untuk kupu-kupu. Sebagian orang cukup menyebutnya dengan chou saja, dan kita juga ada yang menyebut kupu saja (terutama orang Jawa). Untuk bintang atau cahaya yang kelap-kelip, orang menyebutnya kira-kira. Untuk permukaan benda yang kasar, kresek-kresek, orang Jepang mengatakan kasa-kasa. Langkah-langkah gajah yang berjalan berat, gedebag-gedebug, mereka menyebutnya dozun-dozun. (Lihat tulisan Santi Stanislausia L, INOVASI Vol. 1/XVI/Agustus 2004, hal. 45-47). Dan masih banyak perbandingan menarik yang lain.
3. Carilah persamaan dan keunikan, bukan perbedaan dan keanehan
Mencari persamaan dan keunikan, itulah kata-kata yang harus dipegang untuk berkomunikasi dengan orang lain. Sebaliknya, jika setiap berkomunikasi dengan orang lain diawali dengan perasaan beda kelas, beda bangsa, beda agama, beda suku dan lain-lainnya, maka pasti pembicaraan akan mandeg alias buntu. Jadi apa persamaan Anda dengan Pak Suzuki? Sama-sama naik Honda, kan?
Bahasa dengan dengan variasi tutur kata, umumnya hanya dikuasai oleh kelompok dengan latar belakang tertentu yang sejenis saja, meskipun `orang luar` bisa mendalaminya dengan belajar. Akan tetapi, dari kasus kecil tentang perbandingan bahasa Jepang dan Indonesia (dan Jawa) di atas, bisa dipahami bahwa terdapat persamaan dalam perkembangan cara bertutur menurut tujuan dan kepentingannya masing-masing, yang merupakan wujud dari cara menyiasati komunikasi yang jenuh dengan cara bertutur `tradisional`. Persamaan dan keunikan-keunikan seperti itu sebenarnya sangat banyak dijumpai, jika penutur mendalami ruh masing-masing bahasa, dan tentu sangat menarik sebagai sebuah ide untuk memecahkan kebekuan komunikasi antarbudaya.
Tue Aug 01, 2023 9:56 pm by wisatasemarang
» Portable STATA 18 Crack Full Version
Thu May 11, 2023 5:24 pm by wisatasemarang
» NVivo 12 Crack Full version
Mon Jan 30, 2023 11:16 am by wisatasemarang
» Tutorial Difference In difference (DID (Diff-in-Diff) With Eviews 13
Thu Nov 03, 2022 6:24 am by wisatasemarang
» Online Workshop Smart PLS Minggu, 01 Oktober 2022
Sat Sep 17, 2022 11:35 am by wisatasemarang
» kumpulan ebook tentang robot
Fri Jan 02, 2015 10:04 pm by kyuru
» MANTRA PELET
Wed May 16, 2012 3:31 am by orlandojack
» book love of spell
Sat Mar 24, 2012 8:08 pm by rifqi as
» attraction Formula
Sat Mar 24, 2012 7:09 pm by rifqi as