Perang, Globalisasi, dan Reproduksi [1]
Silvia Federici [2]
Kau yang lapar, siapa yang akan memberimu makan?
Datanglah pada kami, kami pun kelaparan.
Hanya orang-orang lapar yang akan memberimu makan.
Bertold Brecht, “Semua atau Tidak Sama Sekali”
Pendahuluan
Dengan berakhirnya pemboman di Yugoslavia
kita harus berjaga-jaga agar gerakan anti-perang, yang tumbuh berkembang pada
tiga bulan terakhir, tidak lagi mengalami demobilisasi. Perang terhadap
Yugoslavia mungkin saja berakhir, tetapi peperangan konvensional maupun tidak
konvensional tetap berada dalam agenda global, seperti diperlihatkan oleh
penyebaran konflik yang berkobar di Afrika, Asia, dan Timur Tengah, serta nafsu
besar Amerika untuk melakukan intervensi militer pada dasawarsa 1980-an dan
1990-an.
Perang tetap ada dalam agenda global karena tahap baru ekspansi kapitalis yang
sedang terjadi, yang diaktifkan oleh krisis kapital berkelanjutan, memerlukan
penghancuran kegiatan ekonomi dan lembaga politik yang tidak tunduk pada logika
akumulasi. Ekspansi ini dengan sendirinya merupakan proses yang penuh
kekerasan, karena kapital tidak bisa memperluas jangkauannya ke setiap
sumberdaya di planet ini — dari lautan, hutan-hutan sampai tenaga kerja
manusia, bahkan sampai ke sistem genetika kita — tanpa menimbulkan perlawanan
di seluruh dunia. Lagi pula, sudah menjadi watak dasar yang tidak bisa ditawar
lagi dari krisis kapitalis sekarang ini bahwa tidak ada mediasi, baik pada
tingkat program maupun lembaga, yang bisa dijalankan, dan bahwa perencanaan
pembangunan di Dunia Ketiga telah membukakan jalan bagi peperangan.
Bahwa hubungan antara integrasi ke dalam perekonomian global dan peperangan itu
umumnya tidak dimengerti karena globalisasi masa kini, sementara melanjutkan
proyek kolonial abad ke-19, mewujudkan dirinya terutama sebagai program
ekonomi. Senjata yang pertama dan yang paling tampak adalah program penyesuaian
struktural, liberalisasi perdagangan, swastanisasi, hak pemilikan intelektual,
semua kebijakan yang menyebabkan terjadinya pemindahan kekayaan besar-besaran
dari Dunia Ketiga ke negara-negara metropolis [negara-negara industri maju, ed.].
Proses ini tidak memerlukan penaklukan wilayah, dan karena itu dilihat
berlangsung dengan cara-cara yang damai. Intervensi militer juga berubah
bentuk, seringkali tampil di balik kedok niat baik bermurah hati, seperti
“bantuan makanan” dan “bantuan kemanusiaan,” atau di Amerika Latin, perang
terhadap narkotika. Alasan lebih lanjut mengapa perkawinan antara perang dan
globalisasi — yakni imperialisme dalam bentuknya yang mutakhir — itu kurang
terlihat adalah karena kebanyakan “perang globalisasi” baru itu terjadi di
benua Afrika, yang sejarah masa kininya didistorsi secara sistematis oleh
media. Krisis yang terjadi belakangan ini dianggap sebagai akibat
“keterbelakangan,” “tribalisme,” dan ketidak-mampuan bangsa-bangsa Afrika untuk
membangun lembaga-lembaga yang demokratis.
Afrika, Perang, dan
Penyesuaian Struktural
Dalam kenyataan, keadaan di Afrika memperlihatkan bahwa ada koinsidensi
antara pelaksanaan program-program yang dijalankan pada dasawarsa 1980-an oleh
Bank Dunia dan International Monetary Fund (IMF), untuk mendorong kemajuan
kapital multinasional di kawasan itu, dan pengembangan suatu keadaan peperangan
terus-menerus. Ini memperlihatkan bahwa penyesuaian struktural menimbulkan
perang, dan perang pada gilirannya melengkapi kerja penyesuaian struktural,
karena membuat negeri-negeri yang mengalaminya tergantung pada kapital
internasional, dan kekuatan yang mewakilinya, mulai dari Amerika Serikat, Uni
Eropa, hingga PBB.
Program “penyesuaian struktural” menyebabkan perang melalui banyak
jalan. Program ini diterapkan oleh Bank Dunia pada kebanyakan negeri Afrika,
sejak awal dasawarsa 1980-an, dengan asumsi ini akan menggerakkan pemulihan
ekonomi dan membantu pemerintah-pemerintah Afrika membayar kembali
hutang-hutang yang mereka buat pada dasawarsa sebelumnya untuk membiayai
proyek-proyek pembangunan. Agenda reformasi yang mereka sarankan antara lain
meliputi swastanisasi tanah (penghapusan pemilikan tanah komunal), liberalisasi
perdagangan (penghapusan bea atas barang-barang impor), deregulasi transaksi
keuangan, pengurangan sektor publik, penghapusan dana pelayanan sosial, dan
pemberlakuan sistem kontrol yang dengan efektif memindahkan tanggung jawab
perencanaan ekonomi dari pemerintah-pemerintah Afrika kepada Bank Dunia dan
LSM.
Program restrukturisasi ekonomi ini mungkin dimaksudkan untuk
mendorong produktifitas, mengurangi inefisiensi, dan meningkatkan “batas
kompetitif” Afrika di pasar global. Tetapi yang terjadi sebaliknya. Lebih dari
satu dasawarsa setelah pemberlakuannya, perekonomian lokal hancur, investasi
asing tidak terjadi, dan satu-satunya kegiatan produktif yang berlangsung, di
kebanyakan negeri Afrika, sekali lagi seperti yang terjadi di masa kolonial,
yakni ekstraksi mineral dan pertanian berorientasi ekspor. Barang-barang dari
Afrika membanjiri pasar global, sementara orang Afrika sendiri kekurangan
pangan.
Dalam konteks kebangkrutan ekonomi umum inilah persaingan keras
meledak di mana-mana antara berbagai faksi kelas penguasa Afrika, yang karena
tidak mampu memperkaya diri melalui eksploitasi buruh, sekarang bertikai untuk
memperebutkan kekuasaan negara sebagai syarat utama akumulasi kekayaan.
Kekuasaan negara merupakan kunci bagi pengambil-alihan dan penjualan aset dan
sumberdaya nasional (tanah, emas, berlian, minyak, kayu), atau aset-aset yang
dimiliki kelompok-kelompok pesaing, di pasar internasional. Jadi perang telah
menjadi prasyarat bagi perekonomian merkantil baru, atau (menurut sejumlah
orang) suatu “ekonomi penjarahan,”[3]
yang berkembang dengan keterlibatan perusahaan-perusahaan asing dan badan-badan
internasional, yang (sekalipun mengeluhkan terjadinya “korupsi”) memperoleh
keuntungan darinya.
Seperti di Russia, keteguhan sikap Bank Dunia bahwa semua hal
harus diswastakan telah melemahkan negara, dan mempercepat proses ini. Dengan
cara yang sama, deregulasi kegiatan perbankan dan transaksi keuangan (yang juga
merupakan tuntutan Bank Dunia) telah membantu penyebaran perdagangan obat bius,
yang sejak dasawarsa 1980-an, telah berperan besar dalam ekonomi politik
Afrika, dan mendorong terbentuknya tentara-tentara bayaran.[4]
Sumber perang berikutnya di Afrika adalah pemiskinan brutal – program
penyesuaian struktural menjerumuskan mayoritas rakyat ke dalamnya. Di satu sisi
kemiskinan meningkatkan protes sosial; di lain sisi, ia selama bertahun-tahun
telah merobek-robek jalinan sosial, karena jutaan orang dipaksa meninggalkan
kampung halaman, dan pergi ke luar negeri mencari nafkah; dan lahan subur pun
terbuka untuk pertajaman dan pemanfaatan antagonisme-antagonisme lokal, serta
perekrutan orang-orang yang menganggur (terutama kaum muda) oleh pihak-pihak
yang berperang.
Banyak konflik “kesukuan” atau agama di Afrika (sama dengan
konflik-konflik nasional di Yugoslavia) berasal dari proses-proses ini.
Di belakang kebanyakan konflik Afrika belakangan ini -- dari penyingkiran
besar-besaran kaum imigran dan kerusuhan keagamaan di Nigeria pada awal
dasawarsa 1980-an, sampai perang-perang “klan” di Somalia pada awal dasawarsa
1990-an,[5]
sampai perang-perang berdarah antara negara dan kaum fundamentalis di Aljazair,[6]
-- adalah “persyaratan” Bank Dunia dan IMF yang telah merobek-robek kehidupan
manusia dan menghancurkan dasar-dasar solidaritas sosial.
Tak bisa disangkal lagi, misalnya, bahwa kaum muda yang telah
bertempur di sekian perang di Afrika baru-baru ini, adalah orang-orang yang
sama yang dua dasawarsa lalu berada di sekolah, dan berharap bisa hidup dengan
berdagang, atau bekerja pada sektor publik, dan seharusnya bisa memandang masa
depan dengan harapan bisa menyumbangkan sesuatu bagi kesejahteraan keluarganya.
Sama halnya dengan tampilnya tentara anak-anak pada dasawarsa 1980-an dan
1990-an. Tragedi ini tak akan terjadi kalau saja di banyak negeri keluarga
besar tidak dirusak oleh kesulitan ekonomi, jutaan anak tak bertempat tinggal
kecuali di jalanan, dan tidak ada yang memenuhi kebutuhan dasar mereka.[7]
Perang bukan saja konsekuensi dari perubahan ekonomi; perang juga
sarana untuk menghasilkannya. Jika kita perhatikan pola peperangan di Afrika
ada dua tujuan yang memperlihatkan bagaimana perang dan globalisasi bertemu.
Pertama, perang memaksa orang untuk meninggalkan tanahnya, yakni memisahkan
produsen dari alat-alat produksinya -- ini suatu kondisi bagi perluasan tenaga
kerja global; dan mengalihkan pemilikan tanah untuk penggunaan kapitalis,
seperti perluasan tanaman ekspor. Khususnya di Afrika, dimana tanah komunal
masih luas, hal ini menjadi tujuan utama Bank Dunia (yang keberadaannya sebagai
lembaga adalah kapitalisasi pertanian) — suatu tujuan yang selalu menghadapi
perlawanan rakyat. Jadi, sekarang sulit melihat jutaan pengungsi, atau korban
kelaparan, meninggalkan wilayah hidupnya tanpa berpikir tentang bagaimana
penggusuran manusia besar-besaran ini menimbulkan kepuasan bagi
perusahaan-perusahaan agrobisnis dan pejabat-pejabat Bank Dunia, yang tentunya
melihat tangan kemajuan, kalau bukan tangan badan-badan yang tidak terlalu
metafisik, bekerja melalui segala bencana ini.
Perang juga menghancurkan perlawanan rakyat terhadap “reformasi pasar” dengan
mengubah wilayah dan merusak jaringan-jaringan sosial yang menjadi basis
perlawanan tersebut. Yang signifikan di sini adalah korelasi — banyak terjadi
di Afrika masa kini — antara protes anti-IMF dengan konflik.[8]
Mungkin hal ini paling menyolok di Aljazair, dimana perang antara pemerintah
dan kaum Fundamentalis berasal dari pergolakan anti-IMF tahun 1988, ketika
ribuan orang muda, selama beberapa hari, turun ke jalan-jalan di ibu kota
melancarkan protes yang paling keras dan luas setelah perjuangan anti-kolonial.[9]
Intervensi luar — sering mengalahkan perjuangan lokal dan mengubahnya menjadi
konflik global — berperan penting dalam konteks ini. Ini bisa dilihat dalam
sejumlah intervensi militer oleh AS yang biasanya dibaca melalui parameter
“geo-politik” dan Perang Dingin, seperti dukungan yang diberikan oleh
Pemerintahan Reagan pada dasawarsa 1980-an kepada pemerintah Sudan, pemerintah
Somalia, dan UNITA di Angola. Di Sudan, bantuan militer AS memperkuat rezim
Numeiri untuk menghadapi koalisi pasukan-pasukan yang menentang pemotongan
anggaran yang dituntut IMF. Intervensi ini pada akhirnya memang tidak bisa
membendung pergolakan yang pada 1985 berhasil menggulingkan Numeiri. Di
Somalia, bantuan militer AS memperkuat upaya Siad Barre untuk memaksakan
pemukiman terhadap suku Isaaks yang tinggalnya berpindah-pindah. Ini merupakan
episode kunci dalam perang yang dilancarkan oleh badan-badan nasional dan
internasional, selama dasawarsa yang lalu terhadap suku-suku penggembala di
Afrika.[10]
Di Angola juga bantuan militer AS kepada UNITA telah memaksa
pemerintah tidak hanya meninggalkan sosialisme dan bantuan tentara Cuba, tetapi
juga berunding dengan Bank Dunia, dan ini jelas-jelas memperbesar kekuatan
perusahaan-perusahaan minyak yang beroperasi di negeri ini.
Bantuan Makanan
sebagai Perang Gaib
Dalam banyak kasus, yang tidak bisa dicapai oleh senjata dicapai
melalui “bantuan makanan” yang diberikan oleh PBB dan berbagai LSM kepada para
pengungsi dan korban kelaparan yang telah dihasilkan oleh perang. Seringkali
diberikan kepada kedua belah pihak yang berkonflik (seperti di Sudan dan
Angola), bantuan makanan telah menjadi unsur utama mesin perang neo-kolonial
masa kini, dan perekonomian perang yang diciptakannya. Pertama, keadaan ini
telah memberi hak kepada organisasi-organisasi selain Palang Merang
Internasional untuk melakukan intervensi di wilayah-wilayah konflik atas nama
memberi bantuan kemanusiaan (pada tahun 1988 PBB meloloskan resolusi yang
menegaskan hak badan donor untuk memberikan bantuan). Atas dasar ini, ia
mengesahkan intervensi militer oleh AS dan PBB, seperti yang terjadi dengan
“Operasi Pemulihan Harapan” di Somalia tahun 1992-93. Tetapi bahkan ketika
tidak disertai oleh tentara, pengiriman bantuan makanan, dalam situasi konflik,
selalu berbentuk intervensi militer, karena itu memperlama perang dengan
memberikan makanan kepada kedua tentara yang bertikai (lebih banyak daripada
bantuan kepada penduduk sipil), dan membantu pihak yang lebih kuat — pihak yang
paling punya perlengkapan akan mendapat keuntungan terbanyak dari distribusi
makanan — untuk memenangkan perang.[11]
Lagi pula bantuan makanan telah menyebabkan terjadinya pembubaran
dan pemindahan komunitas-komunitas pedesaan, melalui pembentukan pusat-pusat
pembagian makanan yang sesuai dengan keperluan LSM; ia menghancurkan pertanian
setempat karena menyebabkan harga barang-barang di pasaran lokal merosot;[12]
dan memperkenalkan sumber perang yang baru, karena prospek untuk mendapatkan
pasokan makanan yang besar dan menjualnya pada pasar lokal atau internasional,
mendorong timbulnya konflik baru, khususnya di negeri-negeri yang mengalami
pemiskinan radikal.[13]
Begitu dipertanyakan dampak bantuan makanan, begitu besar keraguan
tentang kemampuannya untuk menjamin kehidupan orang (yang lebih bisa dipenuhi
dengan distribusi alat-alat dan bibit-bibit pertanian) sehingga kita harus
bertanya apakah tujuannya yang sebenarnya bukan penghapusan setahap demi
setahap pertanian subsisten, dan menciptakan ketergantungan jangka panjang pada
makanan impor — yang menjadi inti dari reformasi Bank Dunia, dan kondisi bagi
integrasi ke dalam perekonomian global. Pertanyaan ini menjadi semakin sah
mengingat dampak negatif bantuan makanan telah dikenal pada dasawarsa 1960-an,
ketika ia menjadi sasaran protes dan penelitian di seluruh dunia. Sejak saat
itu, hampir menjadi suatu aksioma bahwa “dengan memberi mereka makanan kau
tidak akan membantu orang, tetapi dengan memberi alat-alat mereka bisa memberi
makan diri sendiri,” dan dalam keadaan kelaparan sekalipun, yang dibutuhkan
orang untuk bertahan hidup ialah mempertahankan kemampuan mereka untuk bertani.
Tidak bisa dipahami bagaimana PBB dan Bank Dunia bisa melupakan pelajaran ini,
kecuali jika kita anggap munculnya bantuan makanan dalam operasi-operasi yang
berkaitan dengan perang pada masa sekarang ini di Afrika, ternyata bertujuan
menuntaskan komersialisasi tanah dan pertanian, dan pengambil-alihan pasar
makanan Afrika oleh perusahaan agrobisnis internasional.
Harus ditambahkan bahwa “operasi bantuan” yang mengandalkan pada
intervensi LSM dan organisasi-organisasi bantuan asing telah semakin
memarginalkan korban-korban konflik dan kelaparan, yang tidak mendapatkan hak
untuk mengontrol kegiatan bantuan itu, sementara para korban itu diberikan oleh
LSM tersebut melalui pers internasional sebagai makhluk yang tidak berdaya
mengurus diri sendiri. Memang, seperti disebutkan oleh Macrae dan Zwi,
satu-satunya hak yang diakui adalah hak “donor” untuk memberikan bantuan, yang
seperti telah kita lihat mereka gunakan (di Somalia pada tahun 1993) untuk
meminta intervensi militer.[14]
Moçambique: Sebuah
Kasus Paradigma tentang Perang Masa Sekarang
Seberapa jauh bantuan kemanusiaan bisa digunakan untuk
merekolonisasi suatu negeri, menyerahkannya kepada pasar, dan menghancurkan
perlawanannya terhadap ketergantungan ekonomi dan politik paling baik bisa
dilihat dalam kasus Moçambique.[15]
Perang yang telah dilancarkan oleh RENAMO (tentara yang dibiayai oleh rezim apartheid
Afrika Selatan dan Amerika Serikat)[16]
selama satu dasawarsa terhadap negeri ini mengandung semua unsur kunci perang
kolonial baru masa kini:
i. penghancuran
prasarana (re)produksi fisik dan sosial negeri ini untuk menciptakan krisis
reproduksi dan memaksakan subordinasi ekonomi dan politik. Hal ini dicapai oleh
RENAMO melalui (a) penggunaan teror sistematis terhadap penduduk (pembantaian,
perbudakan, pemotongan anggota badan yang menghebohkan) yang memaksa orang
meninggalkan tanahnya, dan mengubah rakyat menjadi pengungsi (lebih dari satu
juta orang terbunuh dalam perang ini); (b) perusakan jalan, jembatan,
rumahsakit, sekolah, dan yang terpenting penghancuran semua kegiatan dan aset
pertanian — alat subsistensi dasar petani. (Kasus Moçambique memperlihatkan
arti penting strategi “perang intensitas rendah,” yang dimulai dengan
penggunaan ranjau darat, sebagai alat untuk mencegah orang pergi bertani, dan
dengan demikian menciptakan situasi kelaparan yang memerlukan bantuan luar
negeri
ii. Penggunaan “bantuan makanan”
yang dikirimkan kepada orang-orang yang terusir dan korban-korban kelaparan
dengan persyaratan ekonomi, menciptakan ketergantungan makanan jangka panjang,
dan merusakkan kemampuan negeri untuk mengontrol masa depan ekonomi dan
politiknya. (Tidak boleh dilupakan bahwa bantuan makanan adalah pendorong
keberhasilan agrobisnis AS, yang mendatangkan keuntungan berlipat-dua: pertama
dengan menyalurkan surplus produksinya yang berlimpah, kemudian dengan
mengambil keuntungan dari ketergantungan negeri-negeri yang dibantu pada
makanan impor).
iii. Pemindahan otoritas pengambilan
keputusan dari negara ke organisasi-organisasi dan LSM internasional. Begitu
menyeluruh serangan terhadap kedaulatan negara Moçambique, sehingga setelah
negeri ini dipaksa meminta bantuan, Moçambique harus menerima supaya LSM diberi
lampu hijau dalam mengelola operasi bantuan kemanusiaan, termasuk hak memasuki
setiap bagian negeri, dan membagikan makanan langsung kepada penduduk, di
tempat-tempat yang mereka pilih. Seperti diperlihatkan Joseph Hanlon dalam
bukunya, Mozambique: Who Calls the Shots?, pemerintah kesulitan
memprotes politik LSM, bahkan yang dilakukan oleh LSM sayap kanan sekalipun
seperti World Vision, yang menggunakan distribusi bantuan untuk propaganda
politik dan agama; atau LSM seperti CARE yang dicurigai bekerja-sama dengan
CIA.
<iv. Pemaksaan syarat perdamaian yang
mustahil, seperti “rekonsiliasi” dan pembagian kekuasaan dengan RENAMO (musuh
rakyat dan pemerintah Moçambique yang paling tidak bisa diajak berdamai, karena
telah melakukan banyak kekejaman dan pembunuhan massal lebih dari 1 juta orang)
yang menciptakan destabilisasi permanen. Kebijakan “rekonsiliasi” ini, yang
sekarang dipaksakan secara luas dari Haiti sampai Afrika Selatan, sebagai
“syarat perdamaian” — replika politik dari praktek pemberian makanan kepada kedua
pihak yang bertikai — adalah salah satu dari ekspresi yang paling menyolok
gerak rekolonisasi yang terjadi sekarang ini, karena ia mencanangkan bahwa
rakyat di Dunia Ketiga tidak pernah punya hak atas perdamaian, dan melindungi
diri dari pihak yang terbukti musuh rakyat. Kebijakan ini juga menegaskan bahwa
tidak semua negara punya hak yang sama, karena AS misalnya, atau negeri manapun
anggota Uni Eropa, tak akan pernah bermimpi menerima usulan yang membahayakan
itu.
Kesimpulan: Dari
Afrika ke Yugoslavia dan Selebihnya
Kasus Moçambique itu tidak unik. Tidak saja sebagian besar negeri Afrika
praktis dijalankan oleh badan-badan dan LSM dukungan AS, tetapi kelanjutannya —
penghancuran infrastruktur, pemaksaan reformasi pasar, rekonsiliasi paksa
dengan musuh-musuh pembunuh yang “tak bisa didamaikan,” destabilisasi — dalam
tingkatan dan kombinasi yang berbeda-beda terjadi di mana-mana di Afrika sampai
sekarang. Kerusakan yang ditimbulkan sedemikian rupa sehingga beberapa negeri,
seperti Angola dan Sudan, berada dalam keadaan darurat (emergency)
terus-menerus dan daya hidupnya dipertanyakan.
Melalui kombinasi perang finansial dan militer inilah perlawanan rakyat Afrika
terhadap globalisasi diredam. Cara yang sama digunakan untuk meredam perlawanan
rakyat Amerika Tengah dan Caribia (El Salvador, Nicaragua, Guatemala, Panama,
Grenada) yang pada dasawarsa 1980-an semuanya mengalami intervensi terbuka
militer AS.
Perbedaannya adalah bahwa di Afrika, hak AS/PBB untuk mengirim tentara secara
umum disahkan atas nama “pemeliharaan perdamaian,” “penciptaan perdamaian,” dan
“intervensi kemanusiaan,” kemungkinan karena dalam keadaan apapun, pendaratan
marinir (seperti yang terjadi di Panama dan Grenada) secara internasional tidak
akan diterima. Tetapi inilah muka baru kolonialisme sekarang yang tidak hanya
ada di Afrika. Inilah wajah kolonialisme yang tujuannya adalah menguasai
kebijakan dan sumber alam bukan menguasai wilayah jajahan. Dalam perspektif
politik, inilah kolonialisme “yang bebas pergi ke mana saja untuk berbuat apa
saja” yang tujuannya adalah “pemerintahan” (“governance”) bukan “pemerintah”
(“government”), karena bentuk yang terakhir melibatkan komitmen pada susunan
kelembagaan dan ekonomi tertentu, sementara imperialisme usaha bebas pada masa
sekarang ingin mempertahankan kebebasannya untuk selalu memilihi susunan
kelembagaan, bentuk-bentuk ekonomi, dan tempat-tempat yang paling sesuai untuk
kebutuhan-kebutuhannya.
Akan tetapi seperti kolonialisme lama, tentara dan pedagang itu tidak terpisah
jauh, karena seperti diperlihatkan oleh perkawinan distribusi bantuan makanan
dengan intervensi militer di masa sekarang.
Apa makna skenario ini untuk gerakan
anti-perang, dan makna klaim yang dibuat oleh artikel ini bahwa perang masih
ada pada agenda global?
Pertama, bahwa kita bisa menduga situasi yang berkembang di Afrika
setelah proses penyesuaian — dengan gabungan peperangan ekonomi dan militer
serta rentetan penyesuaian struktural-konflik-intervensi — akan direproduksi
terus-menerus dalam tahun-tahun mendatang di seluruh Dunia Ketiga. Kita juga
bisa menduga terjadinya semakin banyak perang di negeri-negeri bekas sosialis,
karena lembaga-lembaga dan kekuatan-kekuatan yang mendorong proses globalisasai
menganggap industri milik negara dan sisa-sisa sosialisme, seperti halnya
komunalisme Afrika, sebagai hambatan bagi berkembangnya “usaha bebas”.
Dalam hal ini perang NATO terhadap Yugoslavia sangat mungkin merupakan contoh
pertama apa yang akan terjadi, karena berakhirnya sosialisme-negara sedang
digantikan dengan liberalisasi dan pasar bebas, gerak NATO ke Timur memberikan
“kerangka keamanan.” Yang sangat erat adalah hubungan antara “intervensi
kemanusiaan” NATO di Yugoslavia dengan “intervensi kemanusiaan” di Afrika
sehingga para pekerja bantuan kemanusiaan — yang merupakan elemen kunci mesin
perang masa kini — dibawa dari Afrika ke Kosovo. Di Kosovo para pekerja
kemanusiaan memperoleh kesempatan mengkaji nilai relatif nyawa rakyat Afrika
dan Eropa di hadapan mata organisasi-organisasi internasional, yang diukur
dengan mutu dan jumlah sumberdaya yang diberikan kepada para pengungsi.
Kita juga harus menyoroti bahwa keadaan yang kita hadapi berbeda dengan
imperialisme akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. Karena negara-negara
imperialis pada masa itu terikat pada, dan bertanggungjawab atas susunan
politik, infrastruktur dan sosial di wilayah tertentu. Di masa imperialisme
kapal perang dan senapan mesin, yang bisa membunuh ribuan orang dari jauh, tanggungjawab
atas pembantaian, kelaparan, dan bentuk-bentuk lain pembunuhan massal, selalu
bisa diidentifikasi. Kita tahu, misalnya, bahwa Raja Leopold dari Belgia lah
yang bertanggungjawab atas pembunuhan jutaan orang di Kongo.[17]
Sebaliknya, di masa sekarang, jutaan orang Afrika mati setiap tahun akibat
penyesuaian struktural, tetapi tak seorangpun bisa dimintai pertanggungjawaban.
Penyebab-penyebab sosial kematian di Afrika semakin tidak bisa dilihat seperti
tangan tak terlihat pasar kapitalis.[18]
Terakhir, kita harus menyadari bahwa kita tidak bisa hanya melakukan penggalangan
untuk menentang pemboman saja, juga tidak bisa menuntut penghentian pemboman
dan menganggap itulah “perdamaian.” Kita mengetahui dari skenario pasca-perang
di Iraq, bahwa penghancuran infrastruktur sebuah negeri menghasilkan kematian
yang lebih banyak daripada pemboman itu sendiri. Yang perlu kita pelajari
adalah bahwa kematian, kelaparan, penyakit, penghancuran, sekarang ini
merupakan kenyataan sehari-hari bagi amat banyak orang di seluruh planet kita.
Lebih dari itu, penyesuaian struktural — program yang paling universal di Dunia
Ketiga sekarang ini, adalah sesuatu yang dalam semua bentuknya (termasuk Akta
Pertumbuhan dan Kesempatan Afrika), mewakili wajah kontemporer kapitalisme dan
kolonialisme — adalah perang. Jadi, program gerakan anti-perang harus
memasukkan penghapusan penyesuaian struktural, sekali lagi, dalam segala
bentuknya, kalau kita ingin mengakhiri perang dan proyek imperialistisnya.
Juni 1999
Bibliography
Africa Watch Report, Somalia: A Government at War with Its
People. New York, 1990.
Association of Concerned Africa Scholars (ACAS), “The Aid Debate” ACAS
Bulletin, No 47, Fall 1996.
Allen, Chris, “The Machinery of External
Control,” Review Of African Political Economy, No. 76, Vol. 25. March
1998.
Bayart, Jean-Francois et al., The Criminalization of the State
in Africa (Oxford: The International African Institute in Association
with James Curry, 1999).
Chossudovsky, Michel. The Globalization of Poverty: Impacts of
the IMF and World Bank Reforms (London: Zed Books, 1998).
Ciment, James, Algeria: The Fundamentalist Challenge
(New York: Facts On File, Inc. ,1997).
Clough, Michael, Free at Last? U.S.
Policy Toward Africa at the End of the Cold War (A Council of Foreign
Relation Book, New York, 1992).
Current History, “Africa’s Wars,” Current History,
May 1999.
Duffield, Mark, “The Political Economy of Internal War: Asset
Transfer, Complex Emergencies, and International Aid,” dalam Macrae and
Zwi, War and Hunger 1994.
de Waal, Alex, Famine Crimes: Politics
and the Disaster Relief Industry in Africa (Oxford: African Rights and the
International African Institute in association with James Currey, 1997).
Ghai, Dharam, The IMF and the South
(London: Zed Books, 1991).
Hanlon, Joseph, Mozambique Who Calls the Shots?
(Oxford: James Currey, 1991).
____________, Peace Without Profit. How
the IMF Blocks Rebuilding in Mozambique (Oxford: James Currey, 1996).
Human Rights Watch/Africa, Child
Soldiers in Liberia (New York, 1994).
____________, Slaves, Street Children and Child Soldiers
(New York, 1995).
Hochschild, Adam, King Leopold’s Ghost
(Boston: Houghton Mifflin Co., 1998).
Macrae, J. and Anthony Zwi, War and
Hunger: Rethinking International Responses to Complex Emergencies
(London: Zed Books, 1994).
Nzongola-Ntalaja ed., The Crisis in
Zaire: Myths and Realities (Trenton, N.J.: Africa World Press, 1986).
Outram, Quentin. “‘It’s Terminal Either
Way’: An Analysis of Armed Conflict in Liberia, 1989-1996.” Review Of
African Political Economy, No. 73, Vol. 24, September 1997.
Rau, Bill, From Feast to Famine. Official Cures and Grassroots
Remedies in Africa’s Food Crisis (London: Zed Books, 1991).
Prunier, Gerard, The Rwanda Crisis.
History of a Genocide (New York: Columbia University Press, 1995).
Stone, Martin, The Agony of Algeria
(New York: Columbia University Press, 1997).
Tanner, Victor, “Liberia Railroading Peace,” Review of African
Political Economy, No. 75, Vol. 25, March 1998.
Walton, J. and D. Seddon, Free Markets
and Food Riots (Oxford: Basil Blackwell,1994).
Williams, Phil, “The Nature of
Drug-Trafficking Networks,” Current History, April 1998.
Silvia Federici [2]
Kau yang lapar, siapa yang akan memberimu makan?
Datanglah pada kami, kami pun kelaparan.
Hanya orang-orang lapar yang akan memberimu makan.
Bertold Brecht, “Semua atau Tidak Sama Sekali”
Pendahuluan
Dengan berakhirnya pemboman di Yugoslavia
kita harus berjaga-jaga agar gerakan anti-perang, yang tumbuh berkembang pada
tiga bulan terakhir, tidak lagi mengalami demobilisasi. Perang terhadap
Yugoslavia mungkin saja berakhir, tetapi peperangan konvensional maupun tidak
konvensional tetap berada dalam agenda global, seperti diperlihatkan oleh
penyebaran konflik yang berkobar di Afrika, Asia, dan Timur Tengah, serta nafsu
besar Amerika untuk melakukan intervensi militer pada dasawarsa 1980-an dan
1990-an.
Perang tetap ada dalam agenda global karena tahap baru ekspansi kapitalis yang
sedang terjadi, yang diaktifkan oleh krisis kapital berkelanjutan, memerlukan
penghancuran kegiatan ekonomi dan lembaga politik yang tidak tunduk pada logika
akumulasi. Ekspansi ini dengan sendirinya merupakan proses yang penuh
kekerasan, karena kapital tidak bisa memperluas jangkauannya ke setiap
sumberdaya di planet ini — dari lautan, hutan-hutan sampai tenaga kerja
manusia, bahkan sampai ke sistem genetika kita — tanpa menimbulkan perlawanan
di seluruh dunia. Lagi pula, sudah menjadi watak dasar yang tidak bisa ditawar
lagi dari krisis kapitalis sekarang ini bahwa tidak ada mediasi, baik pada
tingkat program maupun lembaga, yang bisa dijalankan, dan bahwa perencanaan
pembangunan di Dunia Ketiga telah membukakan jalan bagi peperangan.
Bahwa hubungan antara integrasi ke dalam perekonomian global dan peperangan itu
umumnya tidak dimengerti karena globalisasi masa kini, sementara melanjutkan
proyek kolonial abad ke-19, mewujudkan dirinya terutama sebagai program
ekonomi. Senjata yang pertama dan yang paling tampak adalah program penyesuaian
struktural, liberalisasi perdagangan, swastanisasi, hak pemilikan intelektual,
semua kebijakan yang menyebabkan terjadinya pemindahan kekayaan besar-besaran
dari Dunia Ketiga ke negara-negara metropolis [negara-negara industri maju, ed.].
Proses ini tidak memerlukan penaklukan wilayah, dan karena itu dilihat
berlangsung dengan cara-cara yang damai. Intervensi militer juga berubah
bentuk, seringkali tampil di balik kedok niat baik bermurah hati, seperti
“bantuan makanan” dan “bantuan kemanusiaan,” atau di Amerika Latin, perang
terhadap narkotika. Alasan lebih lanjut mengapa perkawinan antara perang dan
globalisasi — yakni imperialisme dalam bentuknya yang mutakhir — itu kurang
terlihat adalah karena kebanyakan “perang globalisasi” baru itu terjadi di
benua Afrika, yang sejarah masa kininya didistorsi secara sistematis oleh
media. Krisis yang terjadi belakangan ini dianggap sebagai akibat
“keterbelakangan,” “tribalisme,” dan ketidak-mampuan bangsa-bangsa Afrika untuk
membangun lembaga-lembaga yang demokratis.
Afrika, Perang, dan
Penyesuaian Struktural
Dalam kenyataan, keadaan di Afrika memperlihatkan bahwa ada koinsidensi
antara pelaksanaan program-program yang dijalankan pada dasawarsa 1980-an oleh
Bank Dunia dan International Monetary Fund (IMF), untuk mendorong kemajuan
kapital multinasional di kawasan itu, dan pengembangan suatu keadaan peperangan
terus-menerus. Ini memperlihatkan bahwa penyesuaian struktural menimbulkan
perang, dan perang pada gilirannya melengkapi kerja penyesuaian struktural,
karena membuat negeri-negeri yang mengalaminya tergantung pada kapital
internasional, dan kekuatan yang mewakilinya, mulai dari Amerika Serikat, Uni
Eropa, hingga PBB.
Program “penyesuaian struktural” menyebabkan perang melalui banyak
jalan. Program ini diterapkan oleh Bank Dunia pada kebanyakan negeri Afrika,
sejak awal dasawarsa 1980-an, dengan asumsi ini akan menggerakkan pemulihan
ekonomi dan membantu pemerintah-pemerintah Afrika membayar kembali
hutang-hutang yang mereka buat pada dasawarsa sebelumnya untuk membiayai
proyek-proyek pembangunan. Agenda reformasi yang mereka sarankan antara lain
meliputi swastanisasi tanah (penghapusan pemilikan tanah komunal), liberalisasi
perdagangan (penghapusan bea atas barang-barang impor), deregulasi transaksi
keuangan, pengurangan sektor publik, penghapusan dana pelayanan sosial, dan
pemberlakuan sistem kontrol yang dengan efektif memindahkan tanggung jawab
perencanaan ekonomi dari pemerintah-pemerintah Afrika kepada Bank Dunia dan
LSM.
Program restrukturisasi ekonomi ini mungkin dimaksudkan untuk
mendorong produktifitas, mengurangi inefisiensi, dan meningkatkan “batas
kompetitif” Afrika di pasar global. Tetapi yang terjadi sebaliknya. Lebih dari
satu dasawarsa setelah pemberlakuannya, perekonomian lokal hancur, investasi
asing tidak terjadi, dan satu-satunya kegiatan produktif yang berlangsung, di
kebanyakan negeri Afrika, sekali lagi seperti yang terjadi di masa kolonial,
yakni ekstraksi mineral dan pertanian berorientasi ekspor. Barang-barang dari
Afrika membanjiri pasar global, sementara orang Afrika sendiri kekurangan
pangan.
Dalam konteks kebangkrutan ekonomi umum inilah persaingan keras
meledak di mana-mana antara berbagai faksi kelas penguasa Afrika, yang karena
tidak mampu memperkaya diri melalui eksploitasi buruh, sekarang bertikai untuk
memperebutkan kekuasaan negara sebagai syarat utama akumulasi kekayaan.
Kekuasaan negara merupakan kunci bagi pengambil-alihan dan penjualan aset dan
sumberdaya nasional (tanah, emas, berlian, minyak, kayu), atau aset-aset yang
dimiliki kelompok-kelompok pesaing, di pasar internasional. Jadi perang telah
menjadi prasyarat bagi perekonomian merkantil baru, atau (menurut sejumlah
orang) suatu “ekonomi penjarahan,”[3]
yang berkembang dengan keterlibatan perusahaan-perusahaan asing dan badan-badan
internasional, yang (sekalipun mengeluhkan terjadinya “korupsi”) memperoleh
keuntungan darinya.
Seperti di Russia, keteguhan sikap Bank Dunia bahwa semua hal
harus diswastakan telah melemahkan negara, dan mempercepat proses ini. Dengan
cara yang sama, deregulasi kegiatan perbankan dan transaksi keuangan (yang juga
merupakan tuntutan Bank Dunia) telah membantu penyebaran perdagangan obat bius,
yang sejak dasawarsa 1980-an, telah berperan besar dalam ekonomi politik
Afrika, dan mendorong terbentuknya tentara-tentara bayaran.[4]
Sumber perang berikutnya di Afrika adalah pemiskinan brutal – program
penyesuaian struktural menjerumuskan mayoritas rakyat ke dalamnya. Di satu sisi
kemiskinan meningkatkan protes sosial; di lain sisi, ia selama bertahun-tahun
telah merobek-robek jalinan sosial, karena jutaan orang dipaksa meninggalkan
kampung halaman, dan pergi ke luar negeri mencari nafkah; dan lahan subur pun
terbuka untuk pertajaman dan pemanfaatan antagonisme-antagonisme lokal, serta
perekrutan orang-orang yang menganggur (terutama kaum muda) oleh pihak-pihak
yang berperang.
Banyak konflik “kesukuan” atau agama di Afrika (sama dengan
konflik-konflik nasional di Yugoslavia) berasal dari proses-proses ini.
Di belakang kebanyakan konflik Afrika belakangan ini -- dari penyingkiran
besar-besaran kaum imigran dan kerusuhan keagamaan di Nigeria pada awal
dasawarsa 1980-an, sampai perang-perang “klan” di Somalia pada awal dasawarsa
1990-an,[5]
sampai perang-perang berdarah antara negara dan kaum fundamentalis di Aljazair,[6]
-- adalah “persyaratan” Bank Dunia dan IMF yang telah merobek-robek kehidupan
manusia dan menghancurkan dasar-dasar solidaritas sosial.
Tak bisa disangkal lagi, misalnya, bahwa kaum muda yang telah
bertempur di sekian perang di Afrika baru-baru ini, adalah orang-orang yang
sama yang dua dasawarsa lalu berada di sekolah, dan berharap bisa hidup dengan
berdagang, atau bekerja pada sektor publik, dan seharusnya bisa memandang masa
depan dengan harapan bisa menyumbangkan sesuatu bagi kesejahteraan keluarganya.
Sama halnya dengan tampilnya tentara anak-anak pada dasawarsa 1980-an dan
1990-an. Tragedi ini tak akan terjadi kalau saja di banyak negeri keluarga
besar tidak dirusak oleh kesulitan ekonomi, jutaan anak tak bertempat tinggal
kecuali di jalanan, dan tidak ada yang memenuhi kebutuhan dasar mereka.[7]
Perang bukan saja konsekuensi dari perubahan ekonomi; perang juga
sarana untuk menghasilkannya. Jika kita perhatikan pola peperangan di Afrika
ada dua tujuan yang memperlihatkan bagaimana perang dan globalisasi bertemu.
Pertama, perang memaksa orang untuk meninggalkan tanahnya, yakni memisahkan
produsen dari alat-alat produksinya -- ini suatu kondisi bagi perluasan tenaga
kerja global; dan mengalihkan pemilikan tanah untuk penggunaan kapitalis,
seperti perluasan tanaman ekspor. Khususnya di Afrika, dimana tanah komunal
masih luas, hal ini menjadi tujuan utama Bank Dunia (yang keberadaannya sebagai
lembaga adalah kapitalisasi pertanian) — suatu tujuan yang selalu menghadapi
perlawanan rakyat. Jadi, sekarang sulit melihat jutaan pengungsi, atau korban
kelaparan, meninggalkan wilayah hidupnya tanpa berpikir tentang bagaimana
penggusuran manusia besar-besaran ini menimbulkan kepuasan bagi
perusahaan-perusahaan agrobisnis dan pejabat-pejabat Bank Dunia, yang tentunya
melihat tangan kemajuan, kalau bukan tangan badan-badan yang tidak terlalu
metafisik, bekerja melalui segala bencana ini.
Perang juga menghancurkan perlawanan rakyat terhadap “reformasi pasar” dengan
mengubah wilayah dan merusak jaringan-jaringan sosial yang menjadi basis
perlawanan tersebut. Yang signifikan di sini adalah korelasi — banyak terjadi
di Afrika masa kini — antara protes anti-IMF dengan konflik.[8]
Mungkin hal ini paling menyolok di Aljazair, dimana perang antara pemerintah
dan kaum Fundamentalis berasal dari pergolakan anti-IMF tahun 1988, ketika
ribuan orang muda, selama beberapa hari, turun ke jalan-jalan di ibu kota
melancarkan protes yang paling keras dan luas setelah perjuangan anti-kolonial.[9]
Intervensi luar — sering mengalahkan perjuangan lokal dan mengubahnya menjadi
konflik global — berperan penting dalam konteks ini. Ini bisa dilihat dalam
sejumlah intervensi militer oleh AS yang biasanya dibaca melalui parameter
“geo-politik” dan Perang Dingin, seperti dukungan yang diberikan oleh
Pemerintahan Reagan pada dasawarsa 1980-an kepada pemerintah Sudan, pemerintah
Somalia, dan UNITA di Angola. Di Sudan, bantuan militer AS memperkuat rezim
Numeiri untuk menghadapi koalisi pasukan-pasukan yang menentang pemotongan
anggaran yang dituntut IMF. Intervensi ini pada akhirnya memang tidak bisa
membendung pergolakan yang pada 1985 berhasil menggulingkan Numeiri. Di
Somalia, bantuan militer AS memperkuat upaya Siad Barre untuk memaksakan
pemukiman terhadap suku Isaaks yang tinggalnya berpindah-pindah. Ini merupakan
episode kunci dalam perang yang dilancarkan oleh badan-badan nasional dan
internasional, selama dasawarsa yang lalu terhadap suku-suku penggembala di
Afrika.[10]
Di Angola juga bantuan militer AS kepada UNITA telah memaksa
pemerintah tidak hanya meninggalkan sosialisme dan bantuan tentara Cuba, tetapi
juga berunding dengan Bank Dunia, dan ini jelas-jelas memperbesar kekuatan
perusahaan-perusahaan minyak yang beroperasi di negeri ini.
Bantuan Makanan
sebagai Perang Gaib
Dalam banyak kasus, yang tidak bisa dicapai oleh senjata dicapai
melalui “bantuan makanan” yang diberikan oleh PBB dan berbagai LSM kepada para
pengungsi dan korban kelaparan yang telah dihasilkan oleh perang. Seringkali
diberikan kepada kedua belah pihak yang berkonflik (seperti di Sudan dan
Angola), bantuan makanan telah menjadi unsur utama mesin perang neo-kolonial
masa kini, dan perekonomian perang yang diciptakannya. Pertama, keadaan ini
telah memberi hak kepada organisasi-organisasi selain Palang Merang
Internasional untuk melakukan intervensi di wilayah-wilayah konflik atas nama
memberi bantuan kemanusiaan (pada tahun 1988 PBB meloloskan resolusi yang
menegaskan hak badan donor untuk memberikan bantuan). Atas dasar ini, ia
mengesahkan intervensi militer oleh AS dan PBB, seperti yang terjadi dengan
“Operasi Pemulihan Harapan” di Somalia tahun 1992-93. Tetapi bahkan ketika
tidak disertai oleh tentara, pengiriman bantuan makanan, dalam situasi konflik,
selalu berbentuk intervensi militer, karena itu memperlama perang dengan
memberikan makanan kepada kedua tentara yang bertikai (lebih banyak daripada
bantuan kepada penduduk sipil), dan membantu pihak yang lebih kuat — pihak yang
paling punya perlengkapan akan mendapat keuntungan terbanyak dari distribusi
makanan — untuk memenangkan perang.[11]
Lagi pula bantuan makanan telah menyebabkan terjadinya pembubaran
dan pemindahan komunitas-komunitas pedesaan, melalui pembentukan pusat-pusat
pembagian makanan yang sesuai dengan keperluan LSM; ia menghancurkan pertanian
setempat karena menyebabkan harga barang-barang di pasaran lokal merosot;[12]
dan memperkenalkan sumber perang yang baru, karena prospek untuk mendapatkan
pasokan makanan yang besar dan menjualnya pada pasar lokal atau internasional,
mendorong timbulnya konflik baru, khususnya di negeri-negeri yang mengalami
pemiskinan radikal.[13]
Begitu dipertanyakan dampak bantuan makanan, begitu besar keraguan
tentang kemampuannya untuk menjamin kehidupan orang (yang lebih bisa dipenuhi
dengan distribusi alat-alat dan bibit-bibit pertanian) sehingga kita harus
bertanya apakah tujuannya yang sebenarnya bukan penghapusan setahap demi
setahap pertanian subsisten, dan menciptakan ketergantungan jangka panjang pada
makanan impor — yang menjadi inti dari reformasi Bank Dunia, dan kondisi bagi
integrasi ke dalam perekonomian global. Pertanyaan ini menjadi semakin sah
mengingat dampak negatif bantuan makanan telah dikenal pada dasawarsa 1960-an,
ketika ia menjadi sasaran protes dan penelitian di seluruh dunia. Sejak saat
itu, hampir menjadi suatu aksioma bahwa “dengan memberi mereka makanan kau
tidak akan membantu orang, tetapi dengan memberi alat-alat mereka bisa memberi
makan diri sendiri,” dan dalam keadaan kelaparan sekalipun, yang dibutuhkan
orang untuk bertahan hidup ialah mempertahankan kemampuan mereka untuk bertani.
Tidak bisa dipahami bagaimana PBB dan Bank Dunia bisa melupakan pelajaran ini,
kecuali jika kita anggap munculnya bantuan makanan dalam operasi-operasi yang
berkaitan dengan perang pada masa sekarang ini di Afrika, ternyata bertujuan
menuntaskan komersialisasi tanah dan pertanian, dan pengambil-alihan pasar
makanan Afrika oleh perusahaan agrobisnis internasional.
Harus ditambahkan bahwa “operasi bantuan” yang mengandalkan pada
intervensi LSM dan organisasi-organisasi bantuan asing telah semakin
memarginalkan korban-korban konflik dan kelaparan, yang tidak mendapatkan hak
untuk mengontrol kegiatan bantuan itu, sementara para korban itu diberikan oleh
LSM tersebut melalui pers internasional sebagai makhluk yang tidak berdaya
mengurus diri sendiri. Memang, seperti disebutkan oleh Macrae dan Zwi,
satu-satunya hak yang diakui adalah hak “donor” untuk memberikan bantuan, yang
seperti telah kita lihat mereka gunakan (di Somalia pada tahun 1993) untuk
meminta intervensi militer.[14]
Moçambique: Sebuah
Kasus Paradigma tentang Perang Masa Sekarang
Seberapa jauh bantuan kemanusiaan bisa digunakan untuk
merekolonisasi suatu negeri, menyerahkannya kepada pasar, dan menghancurkan
perlawanannya terhadap ketergantungan ekonomi dan politik paling baik bisa
dilihat dalam kasus Moçambique.[15]
Perang yang telah dilancarkan oleh RENAMO (tentara yang dibiayai oleh rezim apartheid
Afrika Selatan dan Amerika Serikat)[16]
selama satu dasawarsa terhadap negeri ini mengandung semua unsur kunci perang
kolonial baru masa kini:
i. penghancuran
prasarana (re)produksi fisik dan sosial negeri ini untuk menciptakan krisis
reproduksi dan memaksakan subordinasi ekonomi dan politik. Hal ini dicapai oleh
RENAMO melalui (a) penggunaan teror sistematis terhadap penduduk (pembantaian,
perbudakan, pemotongan anggota badan yang menghebohkan) yang memaksa orang
meninggalkan tanahnya, dan mengubah rakyat menjadi pengungsi (lebih dari satu
juta orang terbunuh dalam perang ini); (b) perusakan jalan, jembatan,
rumahsakit, sekolah, dan yang terpenting penghancuran semua kegiatan dan aset
pertanian — alat subsistensi dasar petani. (Kasus Moçambique memperlihatkan
arti penting strategi “perang intensitas rendah,” yang dimulai dengan
penggunaan ranjau darat, sebagai alat untuk mencegah orang pergi bertani, dan
dengan demikian menciptakan situasi kelaparan yang memerlukan bantuan luar
negeri
ii. Penggunaan “bantuan makanan”
yang dikirimkan kepada orang-orang yang terusir dan korban-korban kelaparan
dengan persyaratan ekonomi, menciptakan ketergantungan makanan jangka panjang,
dan merusakkan kemampuan negeri untuk mengontrol masa depan ekonomi dan
politiknya. (Tidak boleh dilupakan bahwa bantuan makanan adalah pendorong
keberhasilan agrobisnis AS, yang mendatangkan keuntungan berlipat-dua: pertama
dengan menyalurkan surplus produksinya yang berlimpah, kemudian dengan
mengambil keuntungan dari ketergantungan negeri-negeri yang dibantu pada
makanan impor).
iii. Pemindahan otoritas pengambilan
keputusan dari negara ke organisasi-organisasi dan LSM internasional. Begitu
menyeluruh serangan terhadap kedaulatan negara Moçambique, sehingga setelah
negeri ini dipaksa meminta bantuan, Moçambique harus menerima supaya LSM diberi
lampu hijau dalam mengelola operasi bantuan kemanusiaan, termasuk hak memasuki
setiap bagian negeri, dan membagikan makanan langsung kepada penduduk, di
tempat-tempat yang mereka pilih. Seperti diperlihatkan Joseph Hanlon dalam
bukunya, Mozambique: Who Calls the Shots?, pemerintah kesulitan
memprotes politik LSM, bahkan yang dilakukan oleh LSM sayap kanan sekalipun
seperti World Vision, yang menggunakan distribusi bantuan untuk propaganda
politik dan agama; atau LSM seperti CARE yang dicurigai bekerja-sama dengan
CIA.
<iv. Pemaksaan syarat perdamaian yang
mustahil, seperti “rekonsiliasi” dan pembagian kekuasaan dengan RENAMO (musuh
rakyat dan pemerintah Moçambique yang paling tidak bisa diajak berdamai, karena
telah melakukan banyak kekejaman dan pembunuhan massal lebih dari 1 juta orang)
yang menciptakan destabilisasi permanen. Kebijakan “rekonsiliasi” ini, yang
sekarang dipaksakan secara luas dari Haiti sampai Afrika Selatan, sebagai
“syarat perdamaian” — replika politik dari praktek pemberian makanan kepada kedua
pihak yang bertikai — adalah salah satu dari ekspresi yang paling menyolok
gerak rekolonisasi yang terjadi sekarang ini, karena ia mencanangkan bahwa
rakyat di Dunia Ketiga tidak pernah punya hak atas perdamaian, dan melindungi
diri dari pihak yang terbukti musuh rakyat. Kebijakan ini juga menegaskan bahwa
tidak semua negara punya hak yang sama, karena AS misalnya, atau negeri manapun
anggota Uni Eropa, tak akan pernah bermimpi menerima usulan yang membahayakan
itu.
Kesimpulan: Dari
Afrika ke Yugoslavia dan Selebihnya
Kasus Moçambique itu tidak unik. Tidak saja sebagian besar negeri Afrika
praktis dijalankan oleh badan-badan dan LSM dukungan AS, tetapi kelanjutannya —
penghancuran infrastruktur, pemaksaan reformasi pasar, rekonsiliasi paksa
dengan musuh-musuh pembunuh yang “tak bisa didamaikan,” destabilisasi — dalam
tingkatan dan kombinasi yang berbeda-beda terjadi di mana-mana di Afrika sampai
sekarang. Kerusakan yang ditimbulkan sedemikian rupa sehingga beberapa negeri,
seperti Angola dan Sudan, berada dalam keadaan darurat (emergency)
terus-menerus dan daya hidupnya dipertanyakan.
Melalui kombinasi perang finansial dan militer inilah perlawanan rakyat Afrika
terhadap globalisasi diredam. Cara yang sama digunakan untuk meredam perlawanan
rakyat Amerika Tengah dan Caribia (El Salvador, Nicaragua, Guatemala, Panama,
Grenada) yang pada dasawarsa 1980-an semuanya mengalami intervensi terbuka
militer AS.
Perbedaannya adalah bahwa di Afrika, hak AS/PBB untuk mengirim tentara secara
umum disahkan atas nama “pemeliharaan perdamaian,” “penciptaan perdamaian,” dan
“intervensi kemanusiaan,” kemungkinan karena dalam keadaan apapun, pendaratan
marinir (seperti yang terjadi di Panama dan Grenada) secara internasional tidak
akan diterima. Tetapi inilah muka baru kolonialisme sekarang yang tidak hanya
ada di Afrika. Inilah wajah kolonialisme yang tujuannya adalah menguasai
kebijakan dan sumber alam bukan menguasai wilayah jajahan. Dalam perspektif
politik, inilah kolonialisme “yang bebas pergi ke mana saja untuk berbuat apa
saja” yang tujuannya adalah “pemerintahan” (“governance”) bukan “pemerintah”
(“government”), karena bentuk yang terakhir melibatkan komitmen pada susunan
kelembagaan dan ekonomi tertentu, sementara imperialisme usaha bebas pada masa
sekarang ingin mempertahankan kebebasannya untuk selalu memilihi susunan
kelembagaan, bentuk-bentuk ekonomi, dan tempat-tempat yang paling sesuai untuk
kebutuhan-kebutuhannya.
Akan tetapi seperti kolonialisme lama, tentara dan pedagang itu tidak terpisah
jauh, karena seperti diperlihatkan oleh perkawinan distribusi bantuan makanan
dengan intervensi militer di masa sekarang.
Apa makna skenario ini untuk gerakan
anti-perang, dan makna klaim yang dibuat oleh artikel ini bahwa perang masih
ada pada agenda global?
Pertama, bahwa kita bisa menduga situasi yang berkembang di Afrika
setelah proses penyesuaian — dengan gabungan peperangan ekonomi dan militer
serta rentetan penyesuaian struktural-konflik-intervensi — akan direproduksi
terus-menerus dalam tahun-tahun mendatang di seluruh Dunia Ketiga. Kita juga
bisa menduga terjadinya semakin banyak perang di negeri-negeri bekas sosialis,
karena lembaga-lembaga dan kekuatan-kekuatan yang mendorong proses globalisasai
menganggap industri milik negara dan sisa-sisa sosialisme, seperti halnya
komunalisme Afrika, sebagai hambatan bagi berkembangnya “usaha bebas”.
Dalam hal ini perang NATO terhadap Yugoslavia sangat mungkin merupakan contoh
pertama apa yang akan terjadi, karena berakhirnya sosialisme-negara sedang
digantikan dengan liberalisasi dan pasar bebas, gerak NATO ke Timur memberikan
“kerangka keamanan.” Yang sangat erat adalah hubungan antara “intervensi
kemanusiaan” NATO di Yugoslavia dengan “intervensi kemanusiaan” di Afrika
sehingga para pekerja bantuan kemanusiaan — yang merupakan elemen kunci mesin
perang masa kini — dibawa dari Afrika ke Kosovo. Di Kosovo para pekerja
kemanusiaan memperoleh kesempatan mengkaji nilai relatif nyawa rakyat Afrika
dan Eropa di hadapan mata organisasi-organisasi internasional, yang diukur
dengan mutu dan jumlah sumberdaya yang diberikan kepada para pengungsi.
Kita juga harus menyoroti bahwa keadaan yang kita hadapi berbeda dengan
imperialisme akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. Karena negara-negara
imperialis pada masa itu terikat pada, dan bertanggungjawab atas susunan
politik, infrastruktur dan sosial di wilayah tertentu. Di masa imperialisme
kapal perang dan senapan mesin, yang bisa membunuh ribuan orang dari jauh, tanggungjawab
atas pembantaian, kelaparan, dan bentuk-bentuk lain pembunuhan massal, selalu
bisa diidentifikasi. Kita tahu, misalnya, bahwa Raja Leopold dari Belgia lah
yang bertanggungjawab atas pembunuhan jutaan orang di Kongo.[17]
Sebaliknya, di masa sekarang, jutaan orang Afrika mati setiap tahun akibat
penyesuaian struktural, tetapi tak seorangpun bisa dimintai pertanggungjawaban.
Penyebab-penyebab sosial kematian di Afrika semakin tidak bisa dilihat seperti
tangan tak terlihat pasar kapitalis.[18]
Terakhir, kita harus menyadari bahwa kita tidak bisa hanya melakukan penggalangan
untuk menentang pemboman saja, juga tidak bisa menuntut penghentian pemboman
dan menganggap itulah “perdamaian.” Kita mengetahui dari skenario pasca-perang
di Iraq, bahwa penghancuran infrastruktur sebuah negeri menghasilkan kematian
yang lebih banyak daripada pemboman itu sendiri. Yang perlu kita pelajari
adalah bahwa kematian, kelaparan, penyakit, penghancuran, sekarang ini
merupakan kenyataan sehari-hari bagi amat banyak orang di seluruh planet kita.
Lebih dari itu, penyesuaian struktural — program yang paling universal di Dunia
Ketiga sekarang ini, adalah sesuatu yang dalam semua bentuknya (termasuk Akta
Pertumbuhan dan Kesempatan Afrika), mewakili wajah kontemporer kapitalisme dan
kolonialisme — adalah perang. Jadi, program gerakan anti-perang harus
memasukkan penghapusan penyesuaian struktural, sekali lagi, dalam segala
bentuknya, kalau kita ingin mengakhiri perang dan proyek imperialistisnya.
Juni 1999
Bibliography
Africa Watch Report, Somalia: A Government at War with Its
People. New York, 1990.
Association of Concerned Africa Scholars (ACAS), “The Aid Debate” ACAS
Bulletin, No 47, Fall 1996.
Allen, Chris, “The Machinery of External
Control,” Review Of African Political Economy, No. 76, Vol. 25. March
1998.
Bayart, Jean-Francois et al., The Criminalization of the State
in Africa (Oxford: The International African Institute in Association
with James Curry, 1999).
Chossudovsky, Michel. The Globalization of Poverty: Impacts of
the IMF and World Bank Reforms (London: Zed Books, 1998).
Ciment, James, Algeria: The Fundamentalist Challenge
(New York: Facts On File, Inc. ,1997).
Clough, Michael, Free at Last? U.S.
Policy Toward Africa at the End of the Cold War (A Council of Foreign
Relation Book, New York, 1992).
Current History, “Africa’s Wars,” Current History,
May 1999.
Duffield, Mark, “The Political Economy of Internal War: Asset
Transfer, Complex Emergencies, and International Aid,” dalam Macrae and
Zwi, War and Hunger 1994.
de Waal, Alex, Famine Crimes: Politics
and the Disaster Relief Industry in Africa (Oxford: African Rights and the
International African Institute in association with James Currey, 1997).
Ghai, Dharam, The IMF and the South
(London: Zed Books, 1991).
Hanlon, Joseph, Mozambique Who Calls the Shots?
(Oxford: James Currey, 1991).
____________, Peace Without Profit. How
the IMF Blocks Rebuilding in Mozambique (Oxford: James Currey, 1996).
Human Rights Watch/Africa, Child
Soldiers in Liberia (New York, 1994).
____________, Slaves, Street Children and Child Soldiers
(New York, 1995).
Hochschild, Adam, King Leopold’s Ghost
(Boston: Houghton Mifflin Co., 1998).
Macrae, J. and Anthony Zwi, War and
Hunger: Rethinking International Responses to Complex Emergencies
(London: Zed Books, 1994).
Nzongola-Ntalaja ed., The Crisis in
Zaire: Myths and Realities (Trenton, N.J.: Africa World Press, 1986).
Outram, Quentin. “‘It’s Terminal Either
Way’: An Analysis of Armed Conflict in Liberia, 1989-1996.” Review Of
African Political Economy, No. 73, Vol. 24, September 1997.
Rau, Bill, From Feast to Famine. Official Cures and Grassroots
Remedies in Africa’s Food Crisis (London: Zed Books, 1991).
Prunier, Gerard, The Rwanda Crisis.
History of a Genocide (New York: Columbia University Press, 1995).
Stone, Martin, The Agony of Algeria
(New York: Columbia University Press, 1997).
Tanner, Victor, “Liberia Railroading Peace,” Review of African
Political Economy, No. 75, Vol. 25, March 1998.
Walton, J. and D. Seddon, Free Markets
and Food Riots (Oxford: Basil Blackwell,1994).
Williams, Phil, “The Nature of
Drug-Trafficking Networks,” Current History, April 1998.
Tue Aug 01, 2023 9:56 pm by wisatasemarang
» Portable STATA 18 Crack Full Version
Thu May 11, 2023 5:24 pm by wisatasemarang
» NVivo 12 Crack Full version
Mon Jan 30, 2023 11:16 am by wisatasemarang
» Tutorial Difference In difference (DID (Diff-in-Diff) With Eviews 13
Thu Nov 03, 2022 6:24 am by wisatasemarang
» Online Workshop Smart PLS Minggu, 01 Oktober 2022
Sat Sep 17, 2022 11:35 am by wisatasemarang
» kumpulan ebook tentang robot
Fri Jan 02, 2015 10:04 pm by kyuru
» MANTRA PELET
Wed May 16, 2012 3:31 am by orlandojack
» book love of spell
Sat Mar 24, 2012 8:08 pm by rifqi as
» attraction Formula
Sat Mar 24, 2012 7:09 pm by rifqi as