Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

ingin bergabung dengan elrakyat.tk klik pendaftaran. jika anda sudah pernah mendaftar silakan login. jangan lupa ajak kawan-kawanmu ke mari , dan jadilah top poster di forum kita

Join the forum, it's quick and easy

Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

ingin bergabung dengan elrakyat.tk klik pendaftaran. jika anda sudah pernah mendaftar silakan login. jangan lupa ajak kawan-kawanmu ke mari , dan jadilah top poster di forum kita

Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

Would you like to react to this message? Create an account in a few clicks or log in to continue.
Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

salah satu forum terbesar tempat kita bernostalgia

Login

Lupa password?

Our traffic

info rakyat

Sun Oct 31, 2010 9:05 pm by admin

---------------
PEMBERITAHUAN....

SF ZONA RELIGI SEKARANG KAMI PINDAH KE [You must be registered and logged in to see this link.] ANDA BISA BERPARTISIPASI DAN MENJADI MODERATOR SESUAI PERMINTAAN ANDA DENGAN REQUEST VIA SMS NO ADMIN 081945520865


Sekilas Info

Sun Jun 27, 2010 2:44 pm by admin

kabar gembira, forum lentera-rakyat mulai hari ini juga bisa diakses melalui [You must be registered and logged in to see this link.]


    perang globalisasi reproduksi

    sumanto
    sumanto
    Mega Ultimate Member


    Zodiac : Libra Jumlah posting : 123
    Join date : 03.07.10
    Age : 59
    Lokasi : di belakangmu

    perang globalisasi reproduksi Empty perang globalisasi reproduksi

    Post by sumanto Wed Jul 07, 2010 3:12 pm

    Perang, Globalisasi, dan Reproduksi [1]


    Silvia Federici [2]








    Kau yang lapar, siapa yang akan memberimu makan?


    Datanglah pada kami, kami pun kelaparan.


    Hanya orang-orang lapar yang akan memberimu makan.


    Bertold Brecht, “Semua atau Tidak Sama Sekali”



    Pendahuluan






    Dengan berakhirnya pemboman di Yugoslavia
    kita harus berjaga-jaga agar gerakan anti-perang, yang tumbuh berkembang pada
    tiga bulan terakhir, tidak lagi mengalami demobilisasi. Perang terhadap
    Yugoslavia mungkin saja berakhir, tetapi peperangan konvensional maupun tidak
    konvensional tetap berada dalam agenda global, seperti diperlihatkan oleh
    penyebaran konflik yang berkobar di Afrika, Asia, dan Timur Tengah, serta nafsu
    besar Amerika untuk melakukan intervensi militer pada dasawarsa 1980-an dan
    1990-an.




    Perang tetap ada dalam agenda global karena tahap baru ekspansi kapitalis yang
    sedang terjadi, yang diaktifkan oleh krisis kapital berkelanjutan, memerlukan
    penghancuran kegiatan ekonomi dan lembaga politik yang tidak tunduk pada logika
    akumulasi. Ekspansi ini dengan sendirinya merupakan proses yang penuh
    kekerasan, karena kapital tidak bisa memperluas jangkauannya ke setiap
    sumberdaya di planet ini — dari lautan, hutan-hutan sampai tenaga kerja
    manusia, bahkan sampai ke sistem genetika kita — tanpa menimbulkan perlawanan
    di seluruh dunia. Lagi pula, sudah menjadi watak dasar yang tidak bisa ditawar
    lagi dari krisis kapitalis sekarang ini bahwa tidak ada mediasi, baik pada
    tingkat program maupun lembaga, yang bisa dijalankan, dan bahwa perencanaan
    pembangunan di Dunia Ketiga telah membukakan jalan bagi peperangan.




    Bahwa hubungan antara integrasi ke dalam perekonomian global dan peperangan itu
    umumnya tidak dimengerti karena globalisasi masa kini, sementara melanjutkan
    proyek kolonial abad ke-19, mewujudkan dirinya terutama sebagai program
    ekonomi. Senjata yang pertama dan yang paling tampak adalah program penyesuaian
    struktural, liberalisasi perdagangan, swastanisasi, hak pemilikan intelektual,
    semua kebijakan yang menyebabkan terjadinya pemindahan kekayaan besar-besaran
    dari Dunia Ketiga ke negara-negara metropolis [negara-negara industri maju, ed.].
    Proses ini tidak memerlukan penaklukan wilayah, dan karena itu dilihat
    berlangsung dengan cara-cara yang damai. Intervensi militer juga berubah
    bentuk, seringkali tampil di balik kedok niat baik bermurah hati, seperti
    “bantuan makanan” dan “bantuan kemanusiaan,” atau di Amerika Latin, perang
    terhadap narkotika. Alasan lebih lanjut mengapa perkawinan antara perang dan
    globalisasi — yakni imperialisme dalam bentuknya yang mutakhir — itu kurang
    terlihat adalah karena kebanyakan “perang globalisasi” baru itu terjadi di
    benua Afrika, yang sejarah masa kininya didistorsi secara sistematis oleh
    media. Krisis yang terjadi belakangan ini dianggap sebagai akibat
    “keterbelakangan,” “tribalisme,” dan ketidak-mampuan bangsa-bangsa Afrika untuk
    membangun lembaga-lembaga yang demokratis.




    Afrika, Perang, dan
    Penyesuaian Struktural






    Dalam kenyataan, keadaan di Afrika memperlihatkan bahwa ada koinsidensi
    antara pelaksanaan program-program yang dijalankan pada dasawarsa 1980-an oleh
    Bank Dunia dan International Monetary Fund (IMF), untuk mendorong kemajuan
    kapital multinasional di kawasan itu, dan pengembangan suatu keadaan peperangan
    terus-menerus. Ini memperlihatkan bahwa penyesuaian struktural menimbulkan
    perang, dan perang pada gilirannya melengkapi kerja penyesuaian struktural,
    karena membuat negeri-negeri yang mengalaminya tergantung pada kapital
    internasional, dan kekuatan yang mewakilinya, mulai dari Amerika Serikat, Uni
    Eropa, hingga PBB.



    Program “penyesuaian struktural” menyebabkan perang melalui banyak
    jalan. Program ini diterapkan oleh Bank Dunia pada kebanyakan negeri Afrika,
    sejak awal dasawarsa 1980-an, dengan asumsi ini akan menggerakkan pemulihan
    ekonomi dan membantu pemerintah-pemerintah Afrika membayar kembali
    hutang-hutang yang mereka buat pada dasawarsa sebelumnya untuk membiayai
    proyek-proyek pembangunan. Agenda reformasi yang mereka sarankan antara lain
    meliputi swastanisasi tanah (penghapusan pemilikan tanah komunal), liberalisasi
    perdagangan (penghapusan bea atas barang-barang impor), deregulasi transaksi
    keuangan, pengurangan sektor publik, penghapusan dana pelayanan sosial, dan
    pemberlakuan sistem kontrol yang dengan efektif memindahkan tanggung jawab
    perencanaan ekonomi dari pemerintah-pemerintah Afrika kepada Bank Dunia dan
    LSM.



    Program restrukturisasi ekonomi ini mungkin dimaksudkan untuk
    mendorong produktifitas, mengurangi inefisiensi, dan meningkatkan “batas
    kompetitif” Afrika di pasar global. Tetapi yang terjadi sebaliknya. Lebih dari
    satu dasawarsa setelah pemberlakuannya, perekonomian lokal hancur, investasi
    asing tidak terjadi, dan satu-satunya kegiatan produktif yang berlangsung, di
    kebanyakan negeri Afrika, sekali lagi seperti yang terjadi di masa kolonial,
    yakni ekstraksi mineral dan pertanian berorientasi ekspor. Barang-barang dari
    Afrika membanjiri pasar global, sementara orang Afrika sendiri kekurangan
    pangan.



    Dalam konteks kebangkrutan ekonomi umum inilah persaingan keras
    meledak di mana-mana antara berbagai faksi kelas penguasa Afrika, yang karena
    tidak mampu memperkaya diri melalui eksploitasi buruh, sekarang bertikai untuk
    memperebutkan kekuasaan negara sebagai syarat utama akumulasi kekayaan.
    Kekuasaan negara merupakan kunci bagi pengambil-alihan dan penjualan aset dan
    sumberdaya nasional (tanah, emas, berlian, minyak, kayu), atau aset-aset yang
    dimiliki kelompok-kelompok pesaing, di pasar internasional. Jadi perang telah
    menjadi prasyarat bagi perekonomian merkantil baru, atau (menurut sejumlah
    orang) suatu “ekonomi penjarahan,”[3]
    yang berkembang dengan keterlibatan perusahaan-perusahaan asing dan badan-badan
    internasional, yang (sekalipun mengeluhkan terjadinya “korupsi”) memperoleh
    keuntungan darinya.



    Seperti di Russia, keteguhan sikap Bank Dunia bahwa semua hal
    harus diswastakan telah melemahkan negara, dan mempercepat proses ini. Dengan
    cara yang sama, deregulasi kegiatan perbankan dan transaksi keuangan (yang juga
    merupakan tuntutan Bank Dunia) telah membantu penyebaran perdagangan obat bius,
    yang sejak dasawarsa 1980-an, telah berperan besar dalam ekonomi politik
    Afrika, dan mendorong terbentuknya tentara-tentara bayaran.[4]



    Sumber perang berikutnya di Afrika adalah pemiskinan brutal – program
    penyesuaian struktural menjerumuskan mayoritas rakyat ke dalamnya. Di satu sisi
    kemiskinan meningkatkan protes sosial; di lain sisi, ia selama bertahun-tahun
    telah merobek-robek jalinan sosial, karena jutaan orang dipaksa meninggalkan
    kampung halaman, dan pergi ke luar negeri mencari nafkah; dan lahan subur pun
    terbuka untuk pertajaman dan pemanfaatan antagonisme-antagonisme lokal, serta
    perekrutan orang-orang yang menganggur (terutama kaum muda) oleh pihak-pihak
    yang berperang.



    Banyak konflik “kesukuan” atau agama di Afrika (sama dengan
    konflik-konflik nasional di Yugoslavia) berasal dari proses-proses ini.
    Di belakang kebanyakan konflik Afrika belakangan ini -- dari penyingkiran
    besar-besaran kaum imigran dan kerusuhan keagamaan di Nigeria pada awal
    dasawarsa 1980-an, sampai perang-perang “klan” di Somalia pada awal dasawarsa
    1990-an,[5]
    sampai perang-perang berdarah antara negara dan kaum fundamentalis di Aljazair,[6]
    -- adalah “persyaratan” Bank Dunia dan IMF yang telah merobek-robek kehidupan
    manusia dan menghancurkan dasar-dasar solidaritas sosial.



    Tak bisa disangkal lagi, misalnya, bahwa kaum muda yang telah
    bertempur di sekian perang di Afrika baru-baru ini, adalah orang-orang yang
    sama yang dua dasawarsa lalu berada di sekolah, dan berharap bisa hidup dengan
    berdagang, atau bekerja pada sektor publik, dan seharusnya bisa memandang masa
    depan dengan harapan bisa menyumbangkan sesuatu bagi kesejahteraan keluarganya.
    Sama halnya dengan tampilnya tentara anak-anak pada dasawarsa 1980-an dan
    1990-an. Tragedi ini tak akan terjadi kalau saja di banyak negeri keluarga
    besar tidak dirusak oleh kesulitan ekonomi, jutaan anak tak bertempat tinggal
    kecuali di jalanan, dan tidak ada yang memenuhi kebutuhan dasar mereka.[7]



    Perang bukan saja konsekuensi dari perubahan ekonomi; perang juga
    sarana untuk menghasilkannya. Jika kita perhatikan pola peperangan di Afrika
    ada dua tujuan yang memperlihatkan bagaimana perang dan globalisasi bertemu.
    Pertama, perang memaksa orang untuk meninggalkan tanahnya, yakni memisahkan
    produsen dari alat-alat produksinya -- ini suatu kondisi bagi perluasan tenaga
    kerja global; dan mengalihkan pemilikan tanah untuk penggunaan kapitalis,
    seperti perluasan tanaman ekspor. Khususnya di Afrika, dimana tanah komunal
    masih luas, hal ini menjadi tujuan utama Bank Dunia (yang keberadaannya sebagai
    lembaga adalah kapitalisasi pertanian) — suatu tujuan yang selalu menghadapi
    perlawanan rakyat. Jadi, sekarang sulit melihat jutaan pengungsi, atau korban
    kelaparan, meninggalkan wilayah hidupnya tanpa berpikir tentang bagaimana
    penggusuran manusia besar-besaran ini menimbulkan kepuasan bagi
    perusahaan-perusahaan agrobisnis dan pejabat-pejabat Bank Dunia, yang tentunya
    melihat tangan kemajuan, kalau bukan tangan badan-badan yang tidak terlalu
    metafisik, bekerja melalui segala bencana ini.




    Perang juga menghancurkan perlawanan rakyat terhadap “reformasi pasar” dengan
    mengubah wilayah dan merusak jaringan-jaringan sosial yang menjadi basis
    perlawanan tersebut. Yang signifikan di sini adalah korelasi — banyak terjadi
    di Afrika masa kini — antara protes anti-IMF dengan konflik.[8]
    Mungkin hal ini paling menyolok di Aljazair, dimana perang antara pemerintah
    dan kaum Fundamentalis berasal dari pergolakan anti-IMF tahun 1988, ketika
    ribuan orang muda, selama beberapa hari, turun ke jalan-jalan di ibu kota
    melancarkan protes yang paling keras dan luas setelah perjuangan anti-kolonial.[9]




    Intervensi luar — sering mengalahkan perjuangan lokal dan mengubahnya menjadi
    konflik global — berperan penting dalam konteks ini. Ini bisa dilihat dalam
    sejumlah intervensi militer oleh AS yang biasanya dibaca melalui parameter
    “geo-politik” dan Perang Dingin, seperti dukungan yang diberikan oleh
    Pemerintahan Reagan pada dasawarsa 1980-an kepada pemerintah Sudan, pemerintah
    Somalia, dan UNITA di Angola. Di Sudan, bantuan militer AS memperkuat rezim
    Numeiri untuk menghadapi koalisi pasukan-pasukan yang menentang pemotongan
    anggaran yang dituntut IMF. Intervensi ini pada akhirnya memang tidak bisa
    membendung pergolakan yang pada 1985 berhasil menggulingkan Numeiri. Di
    Somalia, bantuan militer AS memperkuat upaya Siad Barre untuk memaksakan
    pemukiman terhadap suku Isaaks yang tinggalnya berpindah-pindah. Ini merupakan
    episode kunci dalam perang yang dilancarkan oleh badan-badan nasional dan
    internasional, selama dasawarsa yang lalu terhadap suku-suku penggembala di
    Afrika.[10]



    Di Angola juga bantuan militer AS kepada UNITA telah memaksa
    pemerintah tidak hanya meninggalkan sosialisme dan bantuan tentara Cuba, tetapi
    juga berunding dengan Bank Dunia, dan ini jelas-jelas memperbesar kekuatan
    perusahaan-perusahaan minyak yang beroperasi di negeri ini.




    Bantuan Makanan
    sebagai Perang Gaib






    Dalam banyak kasus, yang tidak bisa dicapai oleh senjata dicapai
    melalui “bantuan makanan” yang diberikan oleh PBB dan berbagai LSM kepada para
    pengungsi dan korban kelaparan yang telah dihasilkan oleh perang. Seringkali
    diberikan kepada kedua belah pihak yang berkonflik (seperti di Sudan dan
    Angola), bantuan makanan telah menjadi unsur utama mesin perang neo-kolonial
    masa kini, dan perekonomian perang yang diciptakannya. Pertama, keadaan ini
    telah memberi hak kepada organisasi-organisasi selain Palang Merang
    Internasional untuk melakukan intervensi di wilayah-wilayah konflik atas nama
    memberi bantuan kemanusiaan (pada tahun 1988 PBB meloloskan resolusi yang
    menegaskan hak badan donor untuk memberikan bantuan). Atas dasar ini, ia
    mengesahkan intervensi militer oleh AS dan PBB, seperti yang terjadi dengan
    “Operasi Pemulihan Harapan” di Somalia tahun 1992-93. Tetapi bahkan ketika
    tidak disertai oleh tentara, pengiriman bantuan makanan, dalam situasi konflik,
    selalu berbentuk intervensi militer, karena itu memperlama perang dengan
    memberikan makanan kepada kedua tentara yang bertikai (lebih banyak daripada
    bantuan kepada penduduk sipil), dan membantu pihak yang lebih kuat — pihak yang
    paling punya perlengkapan akan mendapat keuntungan terbanyak dari distribusi
    makanan — untuk memenangkan perang.[11]



    Lagi pula bantuan makanan telah menyebabkan terjadinya pembubaran
    dan pemindahan komunitas-komunitas pedesaan, melalui pembentukan pusat-pusat
    pembagian makanan yang sesuai dengan keperluan LSM; ia menghancurkan pertanian
    setempat karena menyebabkan harga barang-barang di pasaran lokal merosot;[12]
    dan memperkenalkan sumber perang yang baru, karena prospek untuk mendapatkan
    pasokan makanan yang besar dan menjualnya pada pasar lokal atau internasional,
    mendorong timbulnya konflik baru, khususnya di negeri-negeri yang mengalami
    pemiskinan radikal.[13]



    Begitu dipertanyakan dampak bantuan makanan, begitu besar keraguan
    tentang kemampuannya untuk menjamin kehidupan orang (yang lebih bisa dipenuhi
    dengan distribusi alat-alat dan bibit-bibit pertanian) sehingga kita harus
    bertanya apakah tujuannya yang sebenarnya bukan penghapusan setahap demi
    setahap pertanian subsisten, dan menciptakan ketergantungan jangka panjang pada
    makanan impor — yang menjadi inti dari reformasi Bank Dunia, dan kondisi bagi
    integrasi ke dalam perekonomian global. Pertanyaan ini menjadi semakin sah
    mengingat dampak negatif bantuan makanan telah dikenal pada dasawarsa 1960-an,
    ketika ia menjadi sasaran protes dan penelitian di seluruh dunia. Sejak saat
    itu, hampir menjadi suatu aksioma bahwa “dengan memberi mereka makanan kau
    tidak akan membantu orang, tetapi dengan memberi alat-alat mereka bisa memberi
    makan diri sendiri,” dan dalam keadaan kelaparan sekalipun, yang dibutuhkan
    orang untuk bertahan hidup ialah mempertahankan kemampuan mereka untuk bertani.
    Tidak bisa dipahami bagaimana PBB dan Bank Dunia bisa melupakan pelajaran ini,
    kecuali jika kita anggap munculnya bantuan makanan dalam operasi-operasi yang
    berkaitan dengan perang pada masa sekarang ini di Afrika, ternyata bertujuan
    menuntaskan komersialisasi tanah dan pertanian, dan pengambil-alihan pasar
    makanan Afrika oleh perusahaan agrobisnis internasional.



    Harus ditambahkan bahwa “operasi bantuan” yang mengandalkan pada
    intervensi LSM dan organisasi-organisasi bantuan asing telah semakin
    memarginalkan korban-korban konflik dan kelaparan, yang tidak mendapatkan hak
    untuk mengontrol kegiatan bantuan itu, sementara para korban itu diberikan oleh
    LSM tersebut melalui pers internasional sebagai makhluk yang tidak berdaya
    mengurus diri sendiri. Memang, seperti disebutkan oleh Macrae dan Zwi,
    satu-satunya hak yang diakui adalah hak “donor” untuk memberikan bantuan, yang
    seperti telah kita lihat mereka gunakan (di Somalia pada tahun 1993) untuk
    meminta intervensi militer.[14]




    Moçambique: Sebuah
    Kasus Paradigma tentang Perang Masa Sekarang






    Seberapa jauh bantuan kemanusiaan bisa digunakan untuk
    merekolonisasi suatu negeri, menyerahkannya kepada pasar, dan menghancurkan
    perlawanannya terhadap ketergantungan ekonomi dan politik paling baik bisa
    dilihat dalam kasus Moçambique.[15]
    Perang yang telah dilancarkan oleh RENAMO (tentara yang dibiayai oleh rezim apartheid
    Afrika Selatan dan Amerika Serikat)[16]
    selama satu dasawarsa terhadap negeri ini mengandung semua unsur kunci perang
    kolonial baru masa kini:



    i. penghancuran
    prasarana (re)produksi fisik dan sosial negeri ini untuk menciptakan krisis
    reproduksi dan memaksakan subordinasi ekonomi dan politik. Hal ini dicapai oleh
    RENAMO melalui (a) penggunaan teror sistematis terhadap penduduk (pembantaian,
    perbudakan, pemotongan anggota badan yang menghebohkan) yang memaksa orang
    meninggalkan tanahnya, dan mengubah rakyat menjadi pengungsi (lebih dari satu
    juta orang terbunuh dalam perang ini); (b) perusakan jalan, jembatan,
    rumahsakit, sekolah, dan yang terpenting penghancuran semua kegiatan dan aset
    pertanian — alat subsistensi dasar petani. (Kasus Moçambique memperlihatkan
    arti penting strategi “perang intensitas rendah,” yang dimulai dengan
    penggunaan ranjau darat, sebagai alat untuk mencegah orang pergi bertani, dan
    dengan demikian menciptakan situasi kelaparan yang memerlukan bantuan luar
    negeri



    ii. Penggunaan “bantuan makanan”
    yang dikirimkan kepada orang-orang yang terusir dan korban-korban kelaparan
    dengan persyaratan ekonomi, menciptakan ketergantungan makanan jangka panjang,
    dan merusakkan kemampuan negeri untuk mengontrol masa depan ekonomi dan
    politiknya. (Tidak boleh dilupakan bahwa bantuan makanan adalah pendorong
    keberhasilan agrobisnis AS, yang mendatangkan keuntungan berlipat-dua: pertama
    dengan menyalurkan surplus produksinya yang berlimpah, kemudian dengan
    mengambil keuntungan dari ketergantungan negeri-negeri yang dibantu pada
    makanan impor).



    iii. Pemindahan otoritas pengambilan
    keputusan dari negara ke organisasi-organisasi dan LSM internasional. Begitu
    menyeluruh serangan terhadap kedaulatan negara Moçambique, sehingga setelah
    negeri ini dipaksa meminta bantuan, Moçambique harus menerima supaya LSM diberi
    lampu hijau dalam mengelola operasi bantuan kemanusiaan, termasuk hak memasuki
    setiap bagian negeri, dan membagikan makanan langsung kepada penduduk, di
    tempat-tempat yang mereka pilih. Seperti diperlihatkan Joseph Hanlon dalam
    bukunya, Mozambique: Who Calls the Shots?, pemerintah kesulitan
    memprotes politik LSM, bahkan yang dilakukan oleh LSM sayap kanan sekalipun
    seperti World Vision, yang menggunakan distribusi bantuan untuk propaganda
    politik dan agama; atau LSM seperti CARE yang dicurigai bekerja-sama dengan
    CIA.



    <iv. Pemaksaan syarat perdamaian yang
    mustahil, seperti “rekonsiliasi” dan pembagian kekuasaan dengan RENAMO (musuh
    rakyat dan pemerintah Moçambique yang paling tidak bisa diajak berdamai, karena
    telah melakukan banyak kekejaman dan pembunuhan massal lebih dari 1 juta orang)
    yang menciptakan destabilisasi permanen. Kebijakan “rekonsiliasi” ini, yang
    sekarang dipaksakan secara luas dari Haiti sampai Afrika Selatan, sebagai
    “syarat perdamaian” — replika politik dari praktek pemberian makanan kepada kedua
    pihak yang bertikai — adalah salah satu dari ekspresi yang paling menyolok
    gerak rekolonisasi yang terjadi sekarang ini, karena ia mencanangkan bahwa
    rakyat di Dunia Ketiga tidak pernah punya hak atas perdamaian, dan melindungi
    diri dari pihak yang terbukti musuh rakyat. Kebijakan ini juga menegaskan bahwa
    tidak semua negara punya hak yang sama, karena AS misalnya, atau negeri manapun
    anggota Uni Eropa, tak akan pernah bermimpi menerima usulan yang membahayakan
    itu.




    Kesimpulan: Dari
    Afrika ke Yugoslavia dan Selebihnya







    Kasus Moçambique itu tidak unik. Tidak saja sebagian besar negeri Afrika
    praktis dijalankan oleh badan-badan dan LSM dukungan AS, tetapi kelanjutannya —
    penghancuran infrastruktur, pemaksaan reformasi pasar, rekonsiliasi paksa
    dengan musuh-musuh pembunuh yang “tak bisa didamaikan,” destabilisasi — dalam
    tingkatan dan kombinasi yang berbeda-beda terjadi di mana-mana di Afrika sampai
    sekarang. Kerusakan yang ditimbulkan sedemikian rupa sehingga beberapa negeri,
    seperti Angola dan Sudan, berada dalam keadaan darurat (emergency)
    terus-menerus dan daya hidupnya dipertanyakan.




    Melalui kombinasi perang finansial dan militer inilah perlawanan rakyat Afrika
    terhadap globalisasi diredam. Cara yang sama digunakan untuk meredam perlawanan
    rakyat Amerika Tengah dan Caribia (El Salvador, Nicaragua, Guatemala, Panama,
    Grenada) yang pada dasawarsa 1980-an semuanya mengalami intervensi terbuka
    militer AS.




    Perbedaannya adalah bahwa di Afrika, hak AS/PBB untuk mengirim tentara secara
    umum disahkan atas nama “pemeliharaan perdamaian,” “penciptaan perdamaian,” dan
    “intervensi kemanusiaan,” kemungkinan karena dalam keadaan apapun, pendaratan
    marinir (seperti yang terjadi di Panama dan Grenada) secara internasional tidak
    akan diterima. Tetapi inilah muka baru kolonialisme sekarang yang tidak hanya
    ada di Afrika. Inilah wajah kolonialisme yang tujuannya adalah menguasai
    kebijakan dan sumber alam bukan menguasai wilayah jajahan. Dalam perspektif
    politik, inilah kolonialisme “yang bebas pergi ke mana saja untuk berbuat apa
    saja” yang tujuannya adalah “pemerintahan” (“governance”) bukan “pemerintah”
    (“government”), karena bentuk yang terakhir melibatkan komitmen pada susunan
    kelembagaan dan ekonomi tertentu, sementara imperialisme usaha bebas pada masa
    sekarang ingin mempertahankan kebebasannya untuk selalu memilihi susunan
    kelembagaan, bentuk-bentuk ekonomi, dan tempat-tempat yang paling sesuai untuk
    kebutuhan-kebutuhannya.




    Akan tetapi seperti kolonialisme lama, tentara dan pedagang itu tidak terpisah
    jauh, karena seperti diperlihatkan oleh perkawinan distribusi bantuan makanan
    dengan intervensi militer di masa sekarang.



    Apa makna skenario ini untuk gerakan
    anti-perang, dan makna klaim yang dibuat oleh artikel ini bahwa perang masih
    ada pada agenda global?



    Pertama, bahwa kita bisa menduga situasi yang berkembang di Afrika
    setelah proses penyesuaian — dengan gabungan peperangan ekonomi dan militer
    serta rentetan penyesuaian struktural-konflik-intervensi — akan direproduksi
    terus-menerus dalam tahun-tahun mendatang di seluruh Dunia Ketiga. Kita juga
    bisa menduga terjadinya semakin banyak perang di negeri-negeri bekas sosialis,
    karena lembaga-lembaga dan kekuatan-kekuatan yang mendorong proses globalisasai
    menganggap industri milik negara dan sisa-sisa sosialisme, seperti halnya
    komunalisme Afrika, sebagai hambatan bagi berkembangnya “usaha bebas”.




    Dalam hal ini perang NATO terhadap Yugoslavia sangat mungkin merupakan contoh
    pertama apa yang akan terjadi, karena berakhirnya sosialisme-negara sedang
    digantikan dengan liberalisasi dan pasar bebas, gerak NATO ke Timur memberikan
    “kerangka keamanan.” Yang sangat erat adalah hubungan antara “intervensi
    kemanusiaan” NATO di Yugoslavia dengan “intervensi kemanusiaan” di Afrika
    sehingga para pekerja bantuan kemanusiaan — yang merupakan elemen kunci mesin
    perang masa kini — dibawa dari Afrika ke Kosovo. Di Kosovo para pekerja
    kemanusiaan memperoleh kesempatan mengkaji nilai relatif nyawa rakyat Afrika
    dan Eropa di hadapan mata organisasi-organisasi internasional, yang diukur
    dengan mutu dan jumlah sumberdaya yang diberikan kepada para pengungsi.




    Kita juga harus menyoroti bahwa keadaan yang kita hadapi berbeda dengan
    imperialisme akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. Karena negara-negara
    imperialis pada masa itu terikat pada, dan bertanggungjawab atas susunan
    politik, infrastruktur dan sosial di wilayah tertentu. Di masa imperialisme
    kapal perang dan senapan mesin, yang bisa membunuh ribuan orang dari jauh, tanggungjawab
    atas pembantaian, kelaparan, dan bentuk-bentuk lain pembunuhan massal, selalu
    bisa diidentifikasi. Kita tahu, misalnya, bahwa Raja Leopold dari Belgia lah
    yang bertanggungjawab atas pembunuhan jutaan orang di Kongo.[17]
    Sebaliknya, di masa sekarang, jutaan orang Afrika mati setiap tahun akibat
    penyesuaian struktural, tetapi tak seorangpun bisa dimintai pertanggungjawaban.
    Penyebab-penyebab sosial kematian di Afrika semakin tidak bisa dilihat seperti
    tangan tak terlihat pasar kapitalis.[18]




    Terakhir, kita harus menyadari bahwa kita tidak bisa hanya melakukan penggalangan
    untuk menentang pemboman saja, juga tidak bisa menuntut penghentian pemboman
    dan menganggap itulah “perdamaian.” Kita mengetahui dari skenario pasca-perang
    di Iraq, bahwa penghancuran infrastruktur sebuah negeri menghasilkan kematian
    yang lebih banyak daripada pemboman itu sendiri. Yang perlu kita pelajari
    adalah bahwa kematian, kelaparan, penyakit, penghancuran, sekarang ini
    merupakan kenyataan sehari-hari bagi amat banyak orang di seluruh planet kita.
    Lebih dari itu, penyesuaian struktural — program yang paling universal di Dunia
    Ketiga sekarang ini, adalah sesuatu yang dalam semua bentuknya (termasuk Akta
    Pertumbuhan dan Kesempatan Afrika), mewakili wajah kontemporer kapitalisme dan
    kolonialisme — adalah perang. Jadi, program gerakan anti-perang harus
    memasukkan penghapusan penyesuaian struktural, sekali lagi, dalam segala
    bentuknya, kalau kita ingin mengakhiri perang dan proyek imperialistisnya.



    Juni 1999


    Bibliography


    Africa Watch Report, Somalia: A Government at War with Its
    People
    . New York, 1990.



    Association of Concerned Africa Scholars (ACAS), “The Aid Debate” ACAS
    Bulletin
    , No 47, Fall 1996.



    Allen, Chris, “The Machinery of External
    Control,” Review Of African Political Economy, No. 76, Vol. 25. March
    1998.



    Bayart, Jean-Francois et al., The Criminalization of the State
    in Africa
    (Oxford: The International African Institute in Association
    with James Curry, 1999).



    Chossudovsky, Michel. The Globalization of Poverty: Impacts of
    the IMF and World Bank Reforms
    (London: Zed Books, 1998).



    Ciment, James, Algeria: The Fundamentalist Challenge
    (New York: Facts On File, Inc. ,1997).



    Clough, Michael, Free at Last? U.S.
    Policy Toward Africa at the End of the Cold War
    (A Council of Foreign
    Relation Book, New York, 1992).



    Current History, “Africa’s Wars,” Current History,
    May 1999.



    Duffield, Mark, “The Political Economy of Internal War: Asset
    Transfer, Complex Emergencies, and International Aid,” dalam Macrae and
    Zwi, War and Hunger 1994.



    de Waal, Alex, Famine Crimes: Politics
    and the Disaster Relief Industry in Africa
    (Oxford: African Rights and the
    International African Institute in association with James Currey, 1997).



    Ghai, Dharam, The IMF and the South
    (London: Zed Books, 1991).



    Hanlon, Joseph, Mozambique Who Calls the Shots?
    (Oxford: James Currey, 1991).



    ____________, Peace Without Profit. How
    the IMF Blocks Rebuilding in Mozambique
    (Oxford: James Currey, 1996).



    Human Rights Watch/Africa, Child
    Soldiers in Liberia
    (New York, 1994).



    ____________, Slaves, Street Children and Child Soldiers
    (New York, 1995).



    Hochschild, Adam, King Leopold’s Ghost
    (Boston: Houghton Mifflin Co., 1998).



    Macrae, J. and Anthony Zwi, War and
    Hunger: Rethinking International Responses to Complex
    Emergencies
    (London: Zed Books, 1994).



    Nzongola-Ntalaja ed., The Crisis in
    Zaire: Myths and Realities
    (Trenton, N.J.: Africa World Press, 1986).



    Outram, Quentin. “‘It’s Terminal Either
    Way’: An Analysis of Armed Conflict in Liberia, 1989-1996.” Review Of
    African Political Economy
    , No. 73, Vol. 24, September 1997.



    Rau, Bill, From Feast to Famine. Official Cures and Grassroots
    Remedies in Africa’s Food Crisis
    (London: Zed Books, 1991).



    Prunier, Gerard, The Rwanda Crisis.
    History of a Genocide
    (New York: Columbia University Press, 1995).



    Stone, Martin, The Agony of Algeria
    (New York: Columbia University Press, 1997).



    Tanner, Victor, “Liberia Railroading Peace,” Review of African
    Political Economy
    , No. 75, Vol. 25, March 1998.



    Walton, J. and D. Seddon, Free Markets
    and Food Riots
    (Oxford: Basil Blackwell,1994).



    Williams, Phil, “The Nature of
    Drug-Trafficking Networks,” Current History, April 1998.

      Similar topics

      -

      Waktu sekarang Sat Nov 23, 2024 5:17 pm