Tauhid Uluhiyah
Tauhid Uluhiyah disebut
juga dengan Tauhid Ta’alluh, yang dikaitkan pula dengan Tauhid Tanassuk atau
Tauhid Ibadah. Setiap muslim wajib mengesakan Allah dalam peribadahan dengan
mengingkari sesembahan selain Allah. Orang-orang musyrik menyembah patung
berhala dan menyembelih atau berkurban untuk berhala sesembahan mereka. Allah
menolak dan mengecam orang-orang yang mengambil sesembahan selain Allah:
“Mereka mengambil
tuhan-tuhan selain dariNya (untuk disembah) yang tuhan itu tidak menciptakan
apapun bahkan mereka sendiri diciptakan dan tidak kuasa untuk menolak sesuatu
kemudharatan dari dirinya dan tidak (pula mengambil) sesuatu kemanfaatan dan
(juga) tidak kuasa mematikan, menghidupkan dan tidak (pula) membangkitkan”
(Al Furqan: 3).
Uluhiyah atau ilahiyah berasal dari kata ilah.
Dalam bahasa Arab kata ilah memiliki akar kata a-la-ha yang
memiliki arti antara lain: tentram, tenang, lindungan, cinta dan sembah. Semua
makna ini sesuai dengan sifat-sifat dan kekhususan zat Allah Subhanahu wa
Ta'ala. Perhatikan firman Allah berikut ini:
"Orang-orang yang beriman dan hati mereka
menjadi tentram dengan mengingat Allah, ingatlah hanya dengan mengingat Allah
hati akan menjadi tentram" (Ar Ra'ad: 28).
Makna ilah dalam ayat di atas tercermin dalam perasaan
tentram karena mengingat Allah. Dalam ayat lain Allah menggambarkan orang-orang
yang menjadikan jin sebagai ilah mereka:
"Dan bahwasanya ada beberapa orang laki-laki
di antara manusia meminta perlindungan kepada beberapa laki-laki di antara jin,
maka jin-jin itu menambah bagi mereka dosa dan kesalahan" ( Al Jin:
6).
Dalam ayat berikut berkaitan pula dengan makna ilah:
"Aku berlindung kepada Allah agar tidak
menjadi salah seorang dari orang-orang yang jahil" (Al Baqarah: 67).
Pada ayat di atas ilah digambarkankan sebagai
proses meminta perlindungan, sedangkan dalam ayat berikut ilah berkaitan
dengan kecintaan yang amat sangat:
"Adapun orang-orang yang beriman amat sangat
cintanya kepada Allah" (Al Baqarah: 165).
Di antara makna tersebut, yang paling asasi adalah
makna 'abada yang mempunyai beberapa arti, antara lain hamba sahaya ('abdun),
patuh dan tunduk ('ibadah), yang mulia dan agung (al ma'bud),
serta selalu mengikutinya ('abada bihi). Jika arti kata-kata ini
diurutkan maka akan menjadi susunan pengertian yang sangat logis, yakni jika
seseorang memperhambakan diri terhadap sesuatu maka ia akan mengikuti,
memuliakan, mengagungkan, mematuhi dan tunduk padanya serta bersedia
mengorbankan kemerdekaan yang dimiliki.
Makna tauhid uluhiyah adalah sebuah keyakinan bahwa
Allah adalah satu-satunya Zat yang memiliki dan yang menguasai langit, bumi dan
seisinya, satu-satunya yang wajib ditaati, yang menentukan hukum dan segala
aturan, yang melindungi dan Dialah yang menjadi tumpuan harapan dan kepadaNya
ditujukan semua amalan, dan pada puncaknya Dialah satu-satunya ilah yang
Maha berhak disembah.
Ibnu Rajab berkata, "Ilah adalah Zat yang
wajib ditaati dan tidak didurhakai. Merasa takut karena mengagungkan. Cinta,
takut dan penuh harap, berserah diri dan memohon hanya kepadaNya. Semua itu
tidak pantas dilakukan kecuali hanya kepada Allah saja. Siapa yang
menyekutukanNya dengan sesuatu makhluk dalam perkara ini, akan merusak
keikhlasan seseorang dalam berikrar laa ilaha illa Allah."
Allah telah berfirman:
"Yang (berbuat)
demikian itu adalah Allah, Tuhan kamu, yang mempunyai kerajaan. Tiada ilah
selain Ia, maka bagaimana kamu dapat dipalingkan?" (Az Zumar: 6).
Dalam ayat lain,
dengan sangat tegas Allah Ta'ala telah memberitahukan:
"Maka
ketahuilah bahwa sesungguhnya tidak ada ilah selain Allah dan mohonlah ampunan
bagi dosamu dan bagi (dosa) orang-orang mukmin laki-laki dan perempuan" (Muhammad:
19).
Allah adalah
satu-satunya ilah yang berhak disembah, oleh karena itu Ia berhak
menuntut penyembahan makhluk terhadap diriNya:
"Sesungguhnya
Aku ini adalah Allah, tidak ada ilah selain Aku, maka sembahlah Aku dan
dirikanlah shalat untuk mengingat Aku" (Thaha: 14).
Sementara itu
sebagian manusia ada yang memiliki dan menyembah ilah-ilah selain
Allah. Mereka membuat tandingan-tandingan Allah. Ada yang menjadikan berhala (ashnam)
sebagai ilah:
"Dan
(ingatlah) waktu Ibrahim berkata kepada bapaknya, Azar, ‘Pantaskah kamu
menjadikan berhala-berhala sebagai ilah-ilah? Sesungguhnya aku melihat kamu
beserta kaummu dalam kesesatan yang nyata’" (Al An'am: 74).
Ada yang
menjadikan jin sebagai ilah, sebagai tempat meminta perlindungan, pertolongan,
atau mendatangkan kemanfaatan dan menolak kemudharatan. Dalam shahih Bukhari
dan Muslim, dikisahkan bahwa Ibnu Mas’ud berkata, “Ada sekelompok jin yang pernah
menjadi sesembahan orang-orang musyrik masuk Islam, sementara para penyembahnya
terus saja menyembah sekelompok jin tersebut”.
Bahkan ada manusia
yang menjadikan hawa nafsunya menjadi ilah yang diagungkan:
"Maka,
pernahkan kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai ilahnya?"
(Al Jatsiyah: 23)
Seorang raja atau
penguasa juga bisa mendakwakan dirinya sebagai ilah, ketika ia bertindak
sewenang-wenang dan membuat hukum sendiri untuk ditaati oleh rakyatnya. Fir'aun
adalah tipologi raja tersebut. Ia berkata kepada rakyat Mesir:
"Aku tidak
mengetahui ilah bagi kalian, selain daripada aku" (Al Qashash: 38).
Fir'aun berkata
kepada Musa as, sebagai ancaman terhadap pembangkangannya:
"Sesungguhnya
jika kamu menyembah ilah selain aku, benar-benar aku menjadikan kamu salah
seorang yang dipenjarakan" (Asy Syu'ara': 29).
Ilah bagi manusia bisa macam-macam bentuknya. Oleh
karenanya konsekuensi pernyataan Laa Ilaha illa Allah sangat berat
karena harus meninggalkan seluruh ilah selain Allah dan hanya menyembah
Allah sebagai satu-satunya ilah baginya:
"Mereka
menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain
Allah, dan (juga mereka mempertuhankan) Al Masih putra Maryam; padahal mereka
hanya disuruh menyembah Ilah yang Esa; Tidak ada ilah selain Dia. Mahasuci
Allah dari apa yang mereka persekutukan" (At Taubah: 31).
Bagi orang yang
beriman, tiada pilihan lain dalam kehidupannya kecuali menjadikan Allah sebagai
satu-satunya Ilah yang dicintai dengan sepenuh hati:
"Dan di
antara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah,
mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang
beriman amat sangat cintanya kepada Allah" (Al Baqarah: 165).
Mencintai Allah
merupakan konsekuensi dari menjadikanNya sebagai satu-satunya Ilah dalam
kehidupan keseharian. Mencintai tandingan-tandingan sebagaimana mencintai
Allah—apalagi jika tandingan-tandingan tersebut lebih dicintai daripada
cintanya kepada Allah—dalam ayat di atas, mendapat kecaman yang amat keras dari
Allah. Oleh karena itulah, orang-orang yang beriman kepada Allah mencintai
Allah di atas segala bentuk kecintaan terhadap apa pun, dan mereka mencintai
segala sesuatu karena kecintaan mereka kepada Allah.
Konsekuensi lain
di luar penyembahan dan kecintaan adalah permohonan pertolongan hanya kepada
Allah, sebagaimana ikrar dalam setiap rakaat shalat kita:
"Hanya
Engkaulah yang kami sembah dan hanya kepadaMulah kami mohon pertolongan"
(Al Fatihah: 5).
Demikianlah tauhid
uluhiyah yang mengandung konsekuensi-konsekuensi tertentu bagi orang-orang yang
beriman. Orang kafir menolak keyakinan ini, disebabkan mereka tidak mau
menerima konsekuensi logis dari keyakinan tersebut.
4. Tauhid Asma' wa
Shifat
Dibandingkan dengan pembahasan tiga macam tauhid sebelumnya, diskusi di
seputar tauhid Asma’ wa Shifat terasa lebih rumit. Kita mengenal pembahasan
Aqidah Asy’ariyah yang dicetuskan oleh Abu Musa Al Asy’ari, yang menyebutkan 20
shifat bagi Allah. Dalam wacana perdebatan pendapat tentang masalah ini, ulama ahlus sunnah wal jama’ah menganggap
bahwa shifat Allah tidaklah terbatas pada 20 itu saja.
Tauhid asma' wa
shifat berarti keyakinan bahwa Allah adalah esa dalam nama-nama dan
sifat-sifatNya. Para ulama salaf telah bersepakat bahwa kita diperintahkan
untuk menerima dan mengimani nama serta sifat Allah sebagaimana yang
disampaikan sendiri oleh Allah di dalam Al Qur’an dan Rasulullah saw dalam As
Sunnah, apa adanya, tanpa menambah, mengurangi, menolak, mentakwilkan dan
mengandaikan/permisalan.
Pendapat dan
keyakinan salaf tersebut merupakan pertengahan (moderasi) dari kubu-kubu yang
bertentangan dengan sangat ekstrim. Menurut Dr.Abdullah Al Muslih, “Ada
sebagian pihak yang berlebihan dalam
menetapkan asma’ wa shifat yang akhirnya terjerumus pada penyerupaan dan
permisalan; sementara ada pihak yang berlebih-lebihan dalam pensucian sampai
terjerumus dalam penafian dan penyimpangan”.
Imam Syafi’i ra
berkata, “Aku beriman kepada Allah dengan apa-apa yang datang dariNya
berdasarkan kehendak Allah, dan aku beriman kepada Rasulullah saw dan dengan
apa-apa yang datang dari Rasulullah saw berdasarkan kehendak Rasulullah saw.”
Inilah prinsip ulama ahlus sunnah dalam memahami keyakinan asma’ dan sifat
Allah swt.
"Katakanlah: ‘Serulah Allah atau serulah Ar Rahman. Dengan nama yang
mana saja kalian dapat menyeru, Dia memiliki asma'ul husna...’" (Al Isra': 110).
"Dialah
Allah, tidak ada ilah kecuali Dia. Dia memiliki asma'ul husna" (Thaha:
.
Kita harus
mengimani nama dan sifat Allah yang tercantum dalam Al Qur’an maupun As Sunnah,
tidak menambah atau mengurangi, juga tidak mengubahnya. Dari Abdullah bin
Mas'ud ra, Rasulullah saw bersabda:
"Apabila
seseorang ditimpa oleh kegelisahan dan kesusahan, kemudian berdo’a: ‘Ya Allah,
sesungguhnya aku hambaMu, anak dari hambaMu dan anak dari hamba perempuanMu,
ubun-ubunku ada di tanganMu, hukumMu berlaku atas diriku, adil ketentuanMu
terhadap diriku. Aku mohon kepadamu ya Allah, dengan semua nama yang Engkau
berikan kepada diriMu atau yang Engkau turunkan nama itu dalam kitabMu atau
Kauajarkan nama itu kepada salah seorang makhlukMu, atau yang Kautempatkan di
dalam ilmu yang tersembunyi di sisiMu, semoga Engkau jadikan Al Qur’an yang
agung sebagai penyuluh hatiku, cahaya dadaku, perintang kesusahan dan
penyingkir kegelisahanku’, pasti Allah akan menghilangkan kegelisahan dan
kesusahan serta menggantinya dengan kegembiraan" (Riwayat Abu Hatim dan
Ibnu Majah).
Keterangan Hadits
di atas menunjukkan bahwa nama Allah itu sebanyak yang Ia berikan sendiri
terhadap diriNya, sedangkan manusia tidak berhak membatasi. Hal ini tercermin
dalam ungkapan do’a di atas, "dengan semua nama yang Engkau berikan kepada
diriMu atau yang Engkau turunkan nama itu dalam kitabMu atau Kauajarkan nama
itu kepada salah seorang makhlukMu, atau yang Kautempatkan di dalam ilmu yang
tersembunyi di sisiMu."
Di antara
nama-nama Allah adalah 99 (sembilan puluh sembilan) nama, sebagaimana yang
diungkapkan dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah saw bersabda,
"Sesungguhnya Allah mempunyai 99 nama; seratus kurang satu. Siapa yang
menghapalkannya, ia masuk surga" (Riwayat Bukhari dan Muslim).
Hadits di atas
tidak membatasi nama Allah hanya 99 saja, akan tetapi sedang menunjukkan bahwa
di antara nama Allah adalah 99 nama tersebut. Apabila dijumpai sifat-sifat
Allah yang seakan-akan sama dengan makhluk, maka itu hanyalah kesamaan istilah;
bukan kesamaan hakikat. Sebab, pada dasarnya tidak ada yang menyamai Allah
dalam zat, sifat, af'al dan namaNya.
"Tidak ada sesuatu pun yang menyerupaiNya, sedang Dia Maha Mendengar
lagi Maha Melihat" (Asy Syura: 11).
Demikian pula
firmanNya:
“Dan tidak ada
seorang pun yang setara dengan Dia” (Al Ikhlas: 4).
Al Qurthubi dalam
tafsirnya memberikan komentar mengenai firman Allah dalam surat Asy Syura ayat
11 di atas, dengan ungkapan, “Yang harus diyakini dalam hal ini adalah bahwa
Allah agung nama dalam sifat keagunganNya, kebesaranNya, kuasaNya, keindahan
nama-namaNya dan ketinggian sifatNya. Tidak dapat diserupakan denganNya sesuatu
apa pun dari makhlukNya. Jangan sekali-kali menghubung-hubungkan untuk mencari
adanya kesamaan antara Khalik dan makhlukNya, baik dalam hal makna maupun
hakikat, karena tidak akan ditemukan kesamaan antara keduanya. Sifat kekal
abadi Allah jelas berbeda dengan sifat makhluk.”
Sedangkan Sayyid
Quthub dalam tafsir Fii Zhilalil Qur’an menjelaskan, “Tidaklah zat
(makhluk) itu seperti zatNya, tidaklah nama sesuatu itu seperti namaNya,
tidaklah perbuatan makhluk itu seperti perbuatannya, dan tidaklah sifat makhluk
itu seperti sifatNya, kecuali jika hanya pada pengertian lafal. Adanya sifat qadim
(terdahulu, tidak berawal), bukan lawan kata dari haditsah (baru). Jadi,
pada mulanya makhluk itu juga mempunyai awal keberadaannya. Sikap ini merupakan
aqidah seluruh ahlul sunnah wal jama’ah.”
Jika ditemukan ada
persamaan nama atau sifat pada dua hal, tidak mesti ada kesamaan dalam antara
dua hal yang mempunyai nama dan sifat tersebut. Dr. Abdullah Al Muslih
memberikan contoh dengan lalat memiliki tubuh dan kekuatan, begitu pula gajah.
Akan tetapi tubuh dan kekuatan lalat dengan gajah jelas berbeda. Kalau
persamaan istilah dari dua makhluk saja tidak mesti mengharuskan adanya
kesamaan dari keduanya, sudah barang tentu lebih layak lagi bahwa hal tersebut
dinisbatkan kepada perbedaan antara Al Khaliq dengan makhlukNya.
Misalnya, Allah memiliki
sifat Maha Mendengar (As Sami') dan Maha Melihat (Al Bashir),
sedangkan manusia juga melihat dan mendengar. Hal seperti ini tidak bermakna
sama secara hakikat pendengaran dan penglihatan, tetapi hanya kesamaan istilah
belaka. Demikian pula sifat-sifat Allah yang lainnya, harus tersucikan dari
persekutuan dengan sifat makhluk.
Allah telah
berfirman:
"Hanya
milik Allah asma'ul husna, maka bermohonlah kepadaNya dengan menyebut asma'ul
husna itu; dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam
(menyebut) nama-namaNya. Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang
telah mereka kerjakan" (Al A'raf: 180).
Departemen Agama
Republik Indonesia, memberikan catatan kaki atas makna asma'ul husna,
yaitu "nama-nama yang agung, yang sesuai dengan sifat-sifat Allah".
Adapun yang dimaksud dengan yulhiduna fi asma'ihi, dijelaskan
"janganlah dihiraukan orang-orang yang menyembah Allah dengan nama-nama
yang tidak sesuai dengan keagungan Allah, atau dengan memakai asma'ul husna
tetapi dengan maksud menodai nama Allah, atau menggunakan asma'ul husna
untuk nama-nama selain Allah".
Ibnu Hatim
meriwayatkan dari Ibnu Abbas, "Mereka menyimpang dari kebenaran dalam
menyebut nama-nama Allah, berarti mereka musyrik." Ibnu Abbas juga
berkata, "Mereka memberi nama Al Lata (kepada berhala mereka) dari
kata Al Ilah, dan nama Al Uzza dari kata Al Aziz."
Kita beriman
dengan ayat-ayatNya tentang sifat Allah, sebagaimana yang disebutkan sendiri
oleh Allah dan RasulNya, seperti:
"Allah, tidak ada ilah melainkan Dia, yang hidup kekal lagi terus
menerus mengurus (makhlukNya), tidak mengantuk dan tidak tidur. KepunyaanNyalah
apa-apa yang di langit dan di bumi. Tiada yang dapat memberi syafaat di sisi
Allah tanpa seizinNya. Allah mengetahui apa-apa yang di hadapan dan di belakang
mereka, dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah melainkan apa yang
dikehendakiNya. Kursi Allah meliputi langit dan bumi. Dan Allah tidak merasa
berat memelihara keduanya, dan Ia Mahatinggi lagi Mahabesar" (Al Baqarah:
255).
Dalam ayat di atas
kita mendapatkan sejumlah sifat Allah, di antaranya: hidup kekal, terus menerus
mengurus makhluk, tidak mengantuk, tidak tidur, mengetahui apa-apa yang di
hadapan dan di belakang mereka (makhlukNya), memiliki kursi yang meliputi
langit dan bumi serta tidak merasa berat memelihara keduanya, Mahatinggi dan
Mahabesar. Tidak perlu ditanyakan mengenai “kursi Allah” itu seperti apa;
letaknya di mana, dan seterusnya. Tidak perlu dipertanyakan “bagaimana mungkin
Allah memiliki kursi?” Cukuplah kita terima apa adanya informasi sifatNya
tersebut.
Dalam ayat-ayat
lain, Allah memberikan kabar diriNya memiliki 'Arsy, kita pun mengimani apa
adanya sesuai pemberitaan yang ada.
"Yaitu
Tuhan yang Maha Pemurah, yang bersemayam di atas ‘Arsy" (Thaha: 5).
"(Dialah) Yang Mahatinggi derajatNya, yang mempunyai 'Arsy" (Al Mu’min: 15).
Imam Ahmad
berkata, “Tidak patut menyifatkan Allah kecuali dengan apa-apa yang telah Allah
sifatkan kepada diriNya sendiri atau dengan sifat-sifat yang telah diberikan
oleh RasulNya kepadaNya; atau dengan kata lain tidak boleh melampaui Al Qur’an
dan Al Hadits.”
Demikianlah
setiap muslim harus memahami hakikat tauhid ini dengan baik. Dengan pemahaman
yang benar akan tauhidullah ini diharapkan keimanan akan tertanam dengan benar
dan kuat dalam jiwa, sehingga menimbulkan dampak yang positif dalam kehidupan.
Tauhid Uluhiyah disebut
juga dengan Tauhid Ta’alluh, yang dikaitkan pula dengan Tauhid Tanassuk atau
Tauhid Ibadah. Setiap muslim wajib mengesakan Allah dalam peribadahan dengan
mengingkari sesembahan selain Allah. Orang-orang musyrik menyembah patung
berhala dan menyembelih atau berkurban untuk berhala sesembahan mereka. Allah
menolak dan mengecam orang-orang yang mengambil sesembahan selain Allah:
“Mereka mengambil
tuhan-tuhan selain dariNya (untuk disembah) yang tuhan itu tidak menciptakan
apapun bahkan mereka sendiri diciptakan dan tidak kuasa untuk menolak sesuatu
kemudharatan dari dirinya dan tidak (pula mengambil) sesuatu kemanfaatan dan
(juga) tidak kuasa mematikan, menghidupkan dan tidak (pula) membangkitkan”
(Al Furqan: 3).
Uluhiyah atau ilahiyah berasal dari kata ilah.
Dalam bahasa Arab kata ilah memiliki akar kata a-la-ha yang
memiliki arti antara lain: tentram, tenang, lindungan, cinta dan sembah. Semua
makna ini sesuai dengan sifat-sifat dan kekhususan zat Allah Subhanahu wa
Ta'ala. Perhatikan firman Allah berikut ini:
"Orang-orang yang beriman dan hati mereka
menjadi tentram dengan mengingat Allah, ingatlah hanya dengan mengingat Allah
hati akan menjadi tentram" (Ar Ra'ad: 28).
Makna ilah dalam ayat di atas tercermin dalam perasaan
tentram karena mengingat Allah. Dalam ayat lain Allah menggambarkan orang-orang
yang menjadikan jin sebagai ilah mereka:
"Dan bahwasanya ada beberapa orang laki-laki
di antara manusia meminta perlindungan kepada beberapa laki-laki di antara jin,
maka jin-jin itu menambah bagi mereka dosa dan kesalahan" ( Al Jin:
6).
Dalam ayat berikut berkaitan pula dengan makna ilah:
"Aku berlindung kepada Allah agar tidak
menjadi salah seorang dari orang-orang yang jahil" (Al Baqarah: 67).
Pada ayat di atas ilah digambarkankan sebagai
proses meminta perlindungan, sedangkan dalam ayat berikut ilah berkaitan
dengan kecintaan yang amat sangat:
"Adapun orang-orang yang beriman amat sangat
cintanya kepada Allah" (Al Baqarah: 165).
Di antara makna tersebut, yang paling asasi adalah
makna 'abada yang mempunyai beberapa arti, antara lain hamba sahaya ('abdun),
patuh dan tunduk ('ibadah), yang mulia dan agung (al ma'bud),
serta selalu mengikutinya ('abada bihi). Jika arti kata-kata ini
diurutkan maka akan menjadi susunan pengertian yang sangat logis, yakni jika
seseorang memperhambakan diri terhadap sesuatu maka ia akan mengikuti,
memuliakan, mengagungkan, mematuhi dan tunduk padanya serta bersedia
mengorbankan kemerdekaan yang dimiliki.
Makna tauhid uluhiyah adalah sebuah keyakinan bahwa
Allah adalah satu-satunya Zat yang memiliki dan yang menguasai langit, bumi dan
seisinya, satu-satunya yang wajib ditaati, yang menentukan hukum dan segala
aturan, yang melindungi dan Dialah yang menjadi tumpuan harapan dan kepadaNya
ditujukan semua amalan, dan pada puncaknya Dialah satu-satunya ilah yang
Maha berhak disembah.
Ibnu Rajab berkata, "Ilah adalah Zat yang
wajib ditaati dan tidak didurhakai. Merasa takut karena mengagungkan. Cinta,
takut dan penuh harap, berserah diri dan memohon hanya kepadaNya. Semua itu
tidak pantas dilakukan kecuali hanya kepada Allah saja. Siapa yang
menyekutukanNya dengan sesuatu makhluk dalam perkara ini, akan merusak
keikhlasan seseorang dalam berikrar laa ilaha illa Allah."
Allah telah berfirman:
"Yang (berbuat)
demikian itu adalah Allah, Tuhan kamu, yang mempunyai kerajaan. Tiada ilah
selain Ia, maka bagaimana kamu dapat dipalingkan?" (Az Zumar: 6).
Dalam ayat lain,
dengan sangat tegas Allah Ta'ala telah memberitahukan:
"Maka
ketahuilah bahwa sesungguhnya tidak ada ilah selain Allah dan mohonlah ampunan
bagi dosamu dan bagi (dosa) orang-orang mukmin laki-laki dan perempuan" (Muhammad:
19).
Allah adalah
satu-satunya ilah yang berhak disembah, oleh karena itu Ia berhak
menuntut penyembahan makhluk terhadap diriNya:
"Sesungguhnya
Aku ini adalah Allah, tidak ada ilah selain Aku, maka sembahlah Aku dan
dirikanlah shalat untuk mengingat Aku" (Thaha: 14).
Sementara itu
sebagian manusia ada yang memiliki dan menyembah ilah-ilah selain
Allah. Mereka membuat tandingan-tandingan Allah. Ada yang menjadikan berhala (ashnam)
sebagai ilah:
"Dan
(ingatlah) waktu Ibrahim berkata kepada bapaknya, Azar, ‘Pantaskah kamu
menjadikan berhala-berhala sebagai ilah-ilah? Sesungguhnya aku melihat kamu
beserta kaummu dalam kesesatan yang nyata’" (Al An'am: 74).
Ada yang
menjadikan jin sebagai ilah, sebagai tempat meminta perlindungan, pertolongan,
atau mendatangkan kemanfaatan dan menolak kemudharatan. Dalam shahih Bukhari
dan Muslim, dikisahkan bahwa Ibnu Mas’ud berkata, “Ada sekelompok jin yang pernah
menjadi sesembahan orang-orang musyrik masuk Islam, sementara para penyembahnya
terus saja menyembah sekelompok jin tersebut”.
Bahkan ada manusia
yang menjadikan hawa nafsunya menjadi ilah yang diagungkan:
"Maka,
pernahkan kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai ilahnya?"
(Al Jatsiyah: 23)
Seorang raja atau
penguasa juga bisa mendakwakan dirinya sebagai ilah, ketika ia bertindak
sewenang-wenang dan membuat hukum sendiri untuk ditaati oleh rakyatnya. Fir'aun
adalah tipologi raja tersebut. Ia berkata kepada rakyat Mesir:
"Aku tidak
mengetahui ilah bagi kalian, selain daripada aku" (Al Qashash: 38).
Fir'aun berkata
kepada Musa as, sebagai ancaman terhadap pembangkangannya:
"Sesungguhnya
jika kamu menyembah ilah selain aku, benar-benar aku menjadikan kamu salah
seorang yang dipenjarakan" (Asy Syu'ara': 29).
Ilah bagi manusia bisa macam-macam bentuknya. Oleh
karenanya konsekuensi pernyataan Laa Ilaha illa Allah sangat berat
karena harus meninggalkan seluruh ilah selain Allah dan hanya menyembah
Allah sebagai satu-satunya ilah baginya:
"Mereka
menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain
Allah, dan (juga mereka mempertuhankan) Al Masih putra Maryam; padahal mereka
hanya disuruh menyembah Ilah yang Esa; Tidak ada ilah selain Dia. Mahasuci
Allah dari apa yang mereka persekutukan" (At Taubah: 31).
Bagi orang yang
beriman, tiada pilihan lain dalam kehidupannya kecuali menjadikan Allah sebagai
satu-satunya Ilah yang dicintai dengan sepenuh hati:
"Dan di
antara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah,
mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang
beriman amat sangat cintanya kepada Allah" (Al Baqarah: 165).
Mencintai Allah
merupakan konsekuensi dari menjadikanNya sebagai satu-satunya Ilah dalam
kehidupan keseharian. Mencintai tandingan-tandingan sebagaimana mencintai
Allah—apalagi jika tandingan-tandingan tersebut lebih dicintai daripada
cintanya kepada Allah—dalam ayat di atas, mendapat kecaman yang amat keras dari
Allah. Oleh karena itulah, orang-orang yang beriman kepada Allah mencintai
Allah di atas segala bentuk kecintaan terhadap apa pun, dan mereka mencintai
segala sesuatu karena kecintaan mereka kepada Allah.
Konsekuensi lain
di luar penyembahan dan kecintaan adalah permohonan pertolongan hanya kepada
Allah, sebagaimana ikrar dalam setiap rakaat shalat kita:
"Hanya
Engkaulah yang kami sembah dan hanya kepadaMulah kami mohon pertolongan"
(Al Fatihah: 5).
Demikianlah tauhid
uluhiyah yang mengandung konsekuensi-konsekuensi tertentu bagi orang-orang yang
beriman. Orang kafir menolak keyakinan ini, disebabkan mereka tidak mau
menerima konsekuensi logis dari keyakinan tersebut.
4. Tauhid Asma' wa
Shifat
Dibandingkan dengan pembahasan tiga macam tauhid sebelumnya, diskusi di
seputar tauhid Asma’ wa Shifat terasa lebih rumit. Kita mengenal pembahasan
Aqidah Asy’ariyah yang dicetuskan oleh Abu Musa Al Asy’ari, yang menyebutkan 20
shifat bagi Allah. Dalam wacana perdebatan pendapat tentang masalah ini, ulama ahlus sunnah wal jama’ah menganggap
bahwa shifat Allah tidaklah terbatas pada 20 itu saja.
Tauhid asma' wa
shifat berarti keyakinan bahwa Allah adalah esa dalam nama-nama dan
sifat-sifatNya. Para ulama salaf telah bersepakat bahwa kita diperintahkan
untuk menerima dan mengimani nama serta sifat Allah sebagaimana yang
disampaikan sendiri oleh Allah di dalam Al Qur’an dan Rasulullah saw dalam As
Sunnah, apa adanya, tanpa menambah, mengurangi, menolak, mentakwilkan dan
mengandaikan/permisalan.
Pendapat dan
keyakinan salaf tersebut merupakan pertengahan (moderasi) dari kubu-kubu yang
bertentangan dengan sangat ekstrim. Menurut Dr.Abdullah Al Muslih, “Ada
sebagian pihak yang berlebihan dalam
menetapkan asma’ wa shifat yang akhirnya terjerumus pada penyerupaan dan
permisalan; sementara ada pihak yang berlebih-lebihan dalam pensucian sampai
terjerumus dalam penafian dan penyimpangan”.
Imam Syafi’i ra
berkata, “Aku beriman kepada Allah dengan apa-apa yang datang dariNya
berdasarkan kehendak Allah, dan aku beriman kepada Rasulullah saw dan dengan
apa-apa yang datang dari Rasulullah saw berdasarkan kehendak Rasulullah saw.”
Inilah prinsip ulama ahlus sunnah dalam memahami keyakinan asma’ dan sifat
Allah swt.
"Katakanlah: ‘Serulah Allah atau serulah Ar Rahman. Dengan nama yang
mana saja kalian dapat menyeru, Dia memiliki asma'ul husna...’" (Al Isra': 110).
"Dialah
Allah, tidak ada ilah kecuali Dia. Dia memiliki asma'ul husna" (Thaha:
.
Kita harus
mengimani nama dan sifat Allah yang tercantum dalam Al Qur’an maupun As Sunnah,
tidak menambah atau mengurangi, juga tidak mengubahnya. Dari Abdullah bin
Mas'ud ra, Rasulullah saw bersabda:
"Apabila
seseorang ditimpa oleh kegelisahan dan kesusahan, kemudian berdo’a: ‘Ya Allah,
sesungguhnya aku hambaMu, anak dari hambaMu dan anak dari hamba perempuanMu,
ubun-ubunku ada di tanganMu, hukumMu berlaku atas diriku, adil ketentuanMu
terhadap diriku. Aku mohon kepadamu ya Allah, dengan semua nama yang Engkau
berikan kepada diriMu atau yang Engkau turunkan nama itu dalam kitabMu atau
Kauajarkan nama itu kepada salah seorang makhlukMu, atau yang Kautempatkan di
dalam ilmu yang tersembunyi di sisiMu, semoga Engkau jadikan Al Qur’an yang
agung sebagai penyuluh hatiku, cahaya dadaku, perintang kesusahan dan
penyingkir kegelisahanku’, pasti Allah akan menghilangkan kegelisahan dan
kesusahan serta menggantinya dengan kegembiraan" (Riwayat Abu Hatim dan
Ibnu Majah).
Keterangan Hadits
di atas menunjukkan bahwa nama Allah itu sebanyak yang Ia berikan sendiri
terhadap diriNya, sedangkan manusia tidak berhak membatasi. Hal ini tercermin
dalam ungkapan do’a di atas, "dengan semua nama yang Engkau berikan kepada
diriMu atau yang Engkau turunkan nama itu dalam kitabMu atau Kauajarkan nama
itu kepada salah seorang makhlukMu, atau yang Kautempatkan di dalam ilmu yang
tersembunyi di sisiMu."
Di antara
nama-nama Allah adalah 99 (sembilan puluh sembilan) nama, sebagaimana yang
diungkapkan dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah saw bersabda,
"Sesungguhnya Allah mempunyai 99 nama; seratus kurang satu. Siapa yang
menghapalkannya, ia masuk surga" (Riwayat Bukhari dan Muslim).
Hadits di atas
tidak membatasi nama Allah hanya 99 saja, akan tetapi sedang menunjukkan bahwa
di antara nama Allah adalah 99 nama tersebut. Apabila dijumpai sifat-sifat
Allah yang seakan-akan sama dengan makhluk, maka itu hanyalah kesamaan istilah;
bukan kesamaan hakikat. Sebab, pada dasarnya tidak ada yang menyamai Allah
dalam zat, sifat, af'al dan namaNya.
"Tidak ada sesuatu pun yang menyerupaiNya, sedang Dia Maha Mendengar
lagi Maha Melihat" (Asy Syura: 11).
Demikian pula
firmanNya:
“Dan tidak ada
seorang pun yang setara dengan Dia” (Al Ikhlas: 4).
Al Qurthubi dalam
tafsirnya memberikan komentar mengenai firman Allah dalam surat Asy Syura ayat
11 di atas, dengan ungkapan, “Yang harus diyakini dalam hal ini adalah bahwa
Allah agung nama dalam sifat keagunganNya, kebesaranNya, kuasaNya, keindahan
nama-namaNya dan ketinggian sifatNya. Tidak dapat diserupakan denganNya sesuatu
apa pun dari makhlukNya. Jangan sekali-kali menghubung-hubungkan untuk mencari
adanya kesamaan antara Khalik dan makhlukNya, baik dalam hal makna maupun
hakikat, karena tidak akan ditemukan kesamaan antara keduanya. Sifat kekal
abadi Allah jelas berbeda dengan sifat makhluk.”
Sedangkan Sayyid
Quthub dalam tafsir Fii Zhilalil Qur’an menjelaskan, “Tidaklah zat
(makhluk) itu seperti zatNya, tidaklah nama sesuatu itu seperti namaNya,
tidaklah perbuatan makhluk itu seperti perbuatannya, dan tidaklah sifat makhluk
itu seperti sifatNya, kecuali jika hanya pada pengertian lafal. Adanya sifat qadim
(terdahulu, tidak berawal), bukan lawan kata dari haditsah (baru). Jadi,
pada mulanya makhluk itu juga mempunyai awal keberadaannya. Sikap ini merupakan
aqidah seluruh ahlul sunnah wal jama’ah.”
Jika ditemukan ada
persamaan nama atau sifat pada dua hal, tidak mesti ada kesamaan dalam antara
dua hal yang mempunyai nama dan sifat tersebut. Dr. Abdullah Al Muslih
memberikan contoh dengan lalat memiliki tubuh dan kekuatan, begitu pula gajah.
Akan tetapi tubuh dan kekuatan lalat dengan gajah jelas berbeda. Kalau
persamaan istilah dari dua makhluk saja tidak mesti mengharuskan adanya
kesamaan dari keduanya, sudah barang tentu lebih layak lagi bahwa hal tersebut
dinisbatkan kepada perbedaan antara Al Khaliq dengan makhlukNya.
Misalnya, Allah memiliki
sifat Maha Mendengar (As Sami') dan Maha Melihat (Al Bashir),
sedangkan manusia juga melihat dan mendengar. Hal seperti ini tidak bermakna
sama secara hakikat pendengaran dan penglihatan, tetapi hanya kesamaan istilah
belaka. Demikian pula sifat-sifat Allah yang lainnya, harus tersucikan dari
persekutuan dengan sifat makhluk.
Allah telah
berfirman:
"Hanya
milik Allah asma'ul husna, maka bermohonlah kepadaNya dengan menyebut asma'ul
husna itu; dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam
(menyebut) nama-namaNya. Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang
telah mereka kerjakan" (Al A'raf: 180).
Departemen Agama
Republik Indonesia, memberikan catatan kaki atas makna asma'ul husna,
yaitu "nama-nama yang agung, yang sesuai dengan sifat-sifat Allah".
Adapun yang dimaksud dengan yulhiduna fi asma'ihi, dijelaskan
"janganlah dihiraukan orang-orang yang menyembah Allah dengan nama-nama
yang tidak sesuai dengan keagungan Allah, atau dengan memakai asma'ul husna
tetapi dengan maksud menodai nama Allah, atau menggunakan asma'ul husna
untuk nama-nama selain Allah".
Ibnu Hatim
meriwayatkan dari Ibnu Abbas, "Mereka menyimpang dari kebenaran dalam
menyebut nama-nama Allah, berarti mereka musyrik." Ibnu Abbas juga
berkata, "Mereka memberi nama Al Lata (kepada berhala mereka) dari
kata Al Ilah, dan nama Al Uzza dari kata Al Aziz."
Kita beriman
dengan ayat-ayatNya tentang sifat Allah, sebagaimana yang disebutkan sendiri
oleh Allah dan RasulNya, seperti:
"Allah, tidak ada ilah melainkan Dia, yang hidup kekal lagi terus
menerus mengurus (makhlukNya), tidak mengantuk dan tidak tidur. KepunyaanNyalah
apa-apa yang di langit dan di bumi. Tiada yang dapat memberi syafaat di sisi
Allah tanpa seizinNya. Allah mengetahui apa-apa yang di hadapan dan di belakang
mereka, dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah melainkan apa yang
dikehendakiNya. Kursi Allah meliputi langit dan bumi. Dan Allah tidak merasa
berat memelihara keduanya, dan Ia Mahatinggi lagi Mahabesar" (Al Baqarah:
255).
Dalam ayat di atas
kita mendapatkan sejumlah sifat Allah, di antaranya: hidup kekal, terus menerus
mengurus makhluk, tidak mengantuk, tidak tidur, mengetahui apa-apa yang di
hadapan dan di belakang mereka (makhlukNya), memiliki kursi yang meliputi
langit dan bumi serta tidak merasa berat memelihara keduanya, Mahatinggi dan
Mahabesar. Tidak perlu ditanyakan mengenai “kursi Allah” itu seperti apa;
letaknya di mana, dan seterusnya. Tidak perlu dipertanyakan “bagaimana mungkin
Allah memiliki kursi?” Cukuplah kita terima apa adanya informasi sifatNya
tersebut.
Dalam ayat-ayat
lain, Allah memberikan kabar diriNya memiliki 'Arsy, kita pun mengimani apa
adanya sesuai pemberitaan yang ada.
"Yaitu
Tuhan yang Maha Pemurah, yang bersemayam di atas ‘Arsy" (Thaha: 5).
"(Dialah) Yang Mahatinggi derajatNya, yang mempunyai 'Arsy" (Al Mu’min: 15).
Imam Ahmad
berkata, “Tidak patut menyifatkan Allah kecuali dengan apa-apa yang telah Allah
sifatkan kepada diriNya sendiri atau dengan sifat-sifat yang telah diberikan
oleh RasulNya kepadaNya; atau dengan kata lain tidak boleh melampaui Al Qur’an
dan Al Hadits.”
Demikianlah
setiap muslim harus memahami hakikat tauhid ini dengan baik. Dengan pemahaman
yang benar akan tauhidullah ini diharapkan keimanan akan tertanam dengan benar
dan kuat dalam jiwa, sehingga menimbulkan dampak yang positif dalam kehidupan.
Tue Aug 01, 2023 9:56 pm by wisatasemarang
» Portable STATA 18 Crack Full Version
Thu May 11, 2023 5:24 pm by wisatasemarang
» NVivo 12 Crack Full version
Mon Jan 30, 2023 11:16 am by wisatasemarang
» Tutorial Difference In difference (DID (Diff-in-Diff) With Eviews 13
Thu Nov 03, 2022 6:24 am by wisatasemarang
» Online Workshop Smart PLS Minggu, 01 Oktober 2022
Sat Sep 17, 2022 11:35 am by wisatasemarang
» kumpulan ebook tentang robot
Fri Jan 02, 2015 10:04 pm by kyuru
» MANTRA PELET
Wed May 16, 2012 3:31 am by orlandojack
» book love of spell
Sat Mar 24, 2012 8:08 pm by rifqi as
» attraction Formula
Sat Mar 24, 2012 7:09 pm by rifqi as