Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

ingin bergabung dengan elrakyat.tk klik pendaftaran. jika anda sudah pernah mendaftar silakan login. jangan lupa ajak kawan-kawanmu ke mari , dan jadilah top poster di forum kita

Join the forum, it's quick and easy

Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

ingin bergabung dengan elrakyat.tk klik pendaftaran. jika anda sudah pernah mendaftar silakan login. jangan lupa ajak kawan-kawanmu ke mari , dan jadilah top poster di forum kita

Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

Would you like to react to this message? Create an account in a few clicks or log in to continue.
Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

salah satu forum terbesar tempat kita bernostalgia

Login

Lupa password?

Our traffic

info rakyat

Sun Oct 31, 2010 9:05 pm by admin

---------------
PEMBERITAHUAN....

SF ZONA RELIGI SEKARANG KAMI PINDAH KE [You must be registered and logged in to see this link.] ANDA BISA BERPARTISIPASI DAN MENJADI MODERATOR SESUAI PERMINTAAN ANDA DENGAN REQUEST VIA SMS NO ADMIN 081945520865


Sekilas Info

Sun Jun 27, 2010 2:44 pm by admin

kabar gembira, forum lentera-rakyat mulai hari ini juga bisa diakses melalui [You must be registered and logged in to see this link.]


    tauhid uluhiyah

    kutubuku
    kutubuku
    Mega Ultimate Member


    Zodiac : Virgo Jumlah posting : 297
    Join date : 18.06.10
    Age : 36
    Lokasi : rahasia

    tauhid uluhiyah Empty tauhid uluhiyah

    Post by kutubuku Sat Jul 03, 2010 7:25 pm

    Tauhid Uluhiyah


    Tauhid Uluhiyah disebut
    juga dengan Tauhid Ta’alluh, yang dikaitkan pula dengan Tauhid Tanassuk atau
    Tauhid Ibadah. Setiap muslim wajib mengesakan Allah dalam peribadahan dengan
    mengingkari sesembahan selain Allah. Orang-orang musyrik menyembah patung
    berhala dan menyembelih atau berkurban untuk berhala sesembahan mereka. Allah
    menolak dan mengecam orang-orang yang mengambil sesembahan selain Allah:



    Mereka mengambil
    tuhan-tuhan selain dariNya (untuk disembah) yang tuhan itu tidak menciptakan
    apapun bahkan mereka sendiri diciptakan dan tidak kuasa untuk menolak sesuatu
    kemudharatan dari dirinya dan tidak (pula mengambil) sesuatu kemanfaatan dan
    (juga) tidak kuasa mematikan, menghidupkan dan tidak (pula) membangkitkan

    (Al Furqan: 3).



    Uluhiyah atau ilahiyah berasal dari kata ilah.
    Dalam bahasa Arab kata ilah memiliki akar kata a-la-ha yang
    memiliki arti antara lain: tentram, tenang, lindungan, cinta dan sembah. Semua
    makna ini sesuai dengan sifat-sifat dan kekhususan zat Allah Subhanahu wa
    Ta'ala. Perhatikan firman Allah berikut ini:



    "Orang-orang yang beriman dan hati mereka
    menjadi tentram dengan mengingat Allah, ingatlah hanya dengan mengingat Allah
    hati akan menjadi tentram
    " (Ar Ra'ad: 28).



    Makna ilah dalam ayat di atas tercermin dalam perasaan
    tentram karena mengingat Allah. Dalam ayat lain Allah menggambarkan orang-orang
    yang menjadikan jin sebagai ilah mereka:



    "Dan bahwasanya ada beberapa orang laki-laki
    di antara manusia meminta perlindungan kepada beberapa laki-laki di antara jin,
    maka jin-jin itu menambah bagi mereka dosa dan kesalahan
    " ( Al Jin:
    6).



    Dalam ayat berikut berkaitan pula dengan makna ilah:


    "Aku berlindung kepada Allah agar tidak
    menjadi salah seorang dari orang-orang yang jahil
    " (Al Baqarah: 67).



    Pada ayat di atas ilah digambarkankan sebagai
    proses meminta perlindungan, sedangkan dalam ayat berikut ilah berkaitan
    dengan kecintaan yang amat sangat:



    "Adapun orang-orang yang beriman amat sangat
    cintanya kepada Allah
    " (Al Baqarah: 165).



    Di antara makna tersebut, yang paling asasi adalah
    makna 'abada yang mempunyai beberapa arti, antara lain hamba sahaya ('abdun),
    patuh dan tunduk ('ibadah), yang mulia dan agung (al ma'bud),
    serta selalu mengikutinya ('abada bihi). Jika arti kata-kata ini
    diurutkan maka akan menjadi susunan pengertian yang sangat logis, yakni jika
    seseorang memperhambakan diri terhadap sesuatu maka ia akan mengikuti,
    memuliakan, mengagungkan, mematuhi dan tunduk padanya serta bersedia
    mengorbankan kemerdekaan yang dimiliki.



    Makna tauhid uluhiyah adalah sebuah keyakinan bahwa
    Allah adalah satu-satunya Zat yang memiliki dan yang menguasai langit, bumi dan
    seisinya, satu-satunya yang wajib ditaati, yang menentukan hukum dan segala
    aturan, yang melindungi dan Dialah yang menjadi tumpuan harapan dan kepadaNya
    ditujukan semua amalan, dan pada puncaknya Dialah satu-satunya ilah yang
    Maha berhak disembah.



    Ibnu Rajab berkata, "Ilah adalah Zat yang
    wajib ditaati dan tidak didurhakai. Merasa takut karena mengagungkan. Cinta,
    takut dan penuh harap, berserah diri dan memohon hanya kepadaNya. Semua itu
    tidak pantas dilakukan kecuali hanya kepada Allah saja. Siapa yang
    menyekutukanNya dengan sesuatu makhluk dalam perkara ini, akan merusak
    keikhlasan seseorang dalam berikrar laa ilaha illa Allah."



    Allah telah berfirman:


    "Yang (berbuat)
    demikian itu adalah Allah, Tuhan kamu, yang mempunyai kerajaan. Tiada ilah
    selain Ia, maka bagaimana kamu dapat dipalingkan?
    " (Az Zumar: 6).



    Dalam ayat lain,
    dengan sangat tegas Allah Ta'ala telah memberitahukan:



    "Maka
    ketahuilah bahwa sesungguhnya tidak ada ilah selain Allah dan mohonlah ampunan
    bagi dosamu dan bagi (dosa) orang-orang mukmin laki-laki dan perempuan"
    (Muhammad:
    19).



    Allah adalah
    satu-satunya ilah yang berhak disembah, oleh karena itu Ia berhak
    menuntut penyembahan makhluk terhadap diriNya:



    "Sesungguhnya
    Aku ini adalah Allah, tidak ada ilah selain Aku, maka sembahlah Aku dan
    dirikanlah shalat untuk mengingat Aku
    " (Thaha: 14).



    Sementara itu
    sebagian manusia ada yang memiliki dan menyembah ilah-ilah selain
    Allah. Mereka membuat tandingan-tandingan Allah. Ada yang menjadikan berhala (ashnam)
    sebagai ilah:



    "Dan
    (ingatlah) waktu Ibrahim berkata kepada bapaknya, Azar, ‘Pantaskah kamu
    menjadikan berhala-berhala sebagai ilah-ilah? Sesungguhnya aku melihat kamu
    beserta kaummu dalam kesesatan yang nyata’
    " (Al An'am: 74).



    Ada yang
    menjadikan jin sebagai ilah, sebagai tempat meminta perlindungan, pertolongan,
    atau mendatangkan kemanfaatan dan menolak kemudharatan. Dalam shahih Bukhari
    dan Muslim, dikisahkan bahwa Ibnu Mas’ud berkata, “Ada sekelompok jin yang pernah
    menjadi sesembahan orang-orang musyrik masuk Islam, sementara para penyembahnya
    terus saja menyembah sekelompok jin tersebut”.



    Bahkan ada manusia
    yang menjadikan hawa nafsunya menjadi ilah yang diagungkan:



    "Maka,
    pernahkan kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai ilahnya?
    "
    (Al Jatsiyah: 23)



    Seorang raja atau
    penguasa juga bisa mendakwakan dirinya sebagai ilah, ketika ia bertindak
    sewenang-wenang dan membuat hukum sendiri untuk ditaati oleh rakyatnya. Fir'aun
    adalah tipologi raja tersebut. Ia berkata kepada rakyat Mesir:



    "Aku tidak
    mengetahui ilah bagi kalian, selain daripada aku
    " (Al Qashash: 38).



    Fir'aun berkata
    kepada Musa as, sebagai ancaman terhadap pembangkangannya:



    "Sesungguhnya
    jika kamu menyembah ilah selain aku, benar-benar aku menjadikan kamu salah
    seorang yang dipenjarakan
    " (Asy Syu'ara': 29).



    Ilah bagi manusia bisa macam-macam bentuknya. Oleh
    karenanya konsekuensi pernyataan Laa Ilaha illa Allah sangat berat
    karena harus meninggalkan seluruh ilah selain Allah dan hanya menyembah
    Allah sebagai satu-satunya ilah baginya:



    "Mereka
    menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain
    Allah, dan (juga mereka mempertuhankan) Al Masih putra Maryam; padahal mereka
    hanya disuruh menyembah Ilah yang Esa; Tidak ada ilah selain Dia. Mahasuci
    Allah dari apa yang mereka persekutukan"
    (At Taubah: 31).



    Bagi orang yang
    beriman, tiada pilihan lain dalam kehidupannya kecuali menjadikan Allah sebagai
    satu-satunya Ilah yang dicintai dengan sepenuh hati:



    "Dan di
    antara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah,
    mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang
    beriman amat sangat cintanya kepada Allah
    " (Al Baqarah: 165).



    Mencintai Allah
    merupakan konsekuensi dari menjadikanNya sebagai satu-satunya Ilah dalam
    kehidupan keseharian. Mencintai tandingan-tandingan sebagaimana mencintai
    Allah—apalagi jika tandingan-tandingan tersebut lebih dicintai daripada
    cintanya kepada Allah—dalam ayat di atas, mendapat kecaman yang amat keras dari
    Allah. Oleh karena itulah, orang-orang yang beriman kepada Allah mencintai
    Allah di atas segala bentuk kecintaan terhadap apa pun, dan mereka mencintai
    segala sesuatu karena kecintaan mereka kepada Allah.



    Konsekuensi lain
    di luar penyembahan dan kecintaan adalah permohonan pertolongan hanya kepada
    Allah, sebagaimana ikrar dalam setiap rakaat shalat kita:



    "Hanya
    Engkaulah yang kami sembah dan hanya kepadaMulah kami mohon pertolongan
    "
    (Al Fatihah: 5).



    Demikianlah tauhid
    uluhiyah yang mengandung konsekuensi-konsekuensi tertentu bagi orang-orang yang
    beriman. Orang kafir menolak keyakinan ini, disebabkan mereka tidak mau
    menerima konsekuensi logis dari keyakinan tersebut.



    4. Tauhid Asma' wa
    Shifat



    Dibandingkan dengan pembahasan tiga macam tauhid sebelumnya, diskusi di
    seputar tauhid Asma’ wa Shifat terasa lebih rumit. Kita mengenal pembahasan
    Aqidah Asy’ariyah yang dicetuskan oleh Abu Musa Al Asy’ari, yang menyebutkan 20
    shifat bagi Allah. Dalam wacana perdebatan pendapat tentang masalah ini, ulama ahlus sunnah wal jama’ah menganggap
    bahwa shifat Allah tidaklah terbatas pada 20 itu saja.



    Tauhid asma' wa
    shifat berarti keyakinan bahwa Allah adalah esa dalam nama-nama dan
    sifat-sifatNya. Para ulama salaf telah bersepakat bahwa kita diperintahkan
    untuk menerima dan mengimani nama serta sifat Allah sebagaimana yang
    disampaikan sendiri oleh Allah di dalam Al Qur’an dan Rasulullah saw dalam As
    Sunnah, apa adanya, tanpa menambah, mengurangi, menolak, mentakwilkan dan
    mengandaikan/permisalan.



    Pendapat dan
    keyakinan salaf tersebut merupakan pertengahan (moderasi) dari kubu-kubu yang
    bertentangan dengan sangat ekstrim. Menurut Dr.Abdullah Al Muslih, “Ada
    sebagian pihak yang berlebihan dalam
    menetapkan asma’ wa shifat yang akhirnya terjerumus pada penyerupaan dan
    permisalan; sementara ada pihak yang berlebih-lebihan dalam pensucian sampai
    terjerumus dalam penafian dan penyimpangan”.



    Imam Syafi’i ra
    berkata, “Aku beriman kepada Allah dengan apa-apa yang datang dariNya
    berdasarkan kehendak Allah, dan aku beriman kepada Rasulullah saw dan dengan
    apa-apa yang datang dari Rasulullah saw berdasarkan kehendak Rasulullah saw.”
    Inilah prinsip ulama ahlus sunnah dalam memahami keyakinan asma’ dan sifat
    Allah swt.



    "Katakanlah: ‘Serulah Allah atau serulah Ar Rahman. Dengan nama yang
    mana saja kalian dapat menyeru, Dia memiliki asma'ul husna...’"
    (Al Isra': 110).


    "Dialah
    Allah, tidak ada ilah kecuali Dia. Dia memiliki asma'ul husna"
    (Thaha:
    Cool.



    Kita harus
    mengimani nama dan sifat Allah yang tercantum dalam Al Qur’an maupun As Sunnah,
    tidak menambah atau mengurangi, juga tidak mengubahnya. Dari Abdullah bin
    Mas'ud ra, Rasulullah saw bersabda:



    "Apabila
    seseorang ditimpa oleh kegelisahan dan kesusahan, kemudian berdo’a: ‘Ya Allah,
    sesungguhnya aku hambaMu, anak dari hambaMu dan anak dari hamba perempuanMu,
    ubun-ubunku ada di tanganMu, hukumMu berlaku atas diriku, adil ketentuanMu
    terhadap diriku. Aku mohon kepadamu ya Allah, dengan semua nama yang Engkau
    berikan kepada diriMu atau yang Engkau turunkan nama itu dalam kitabMu atau
    Kauajarkan nama itu kepada salah seorang makhlukMu, atau yang Kautempatkan di
    dalam ilmu yang tersembunyi di sisiMu, semoga Engkau jadikan Al Qur’an yang
    agung sebagai penyuluh hatiku, cahaya dadaku, perintang kesusahan dan
    penyingkir kegelisahanku’, pasti Allah akan menghilangkan kegelisahan dan
    kesusahan serta menggantinya dengan kegembiraan" (Riwayat Abu Hatim dan
    Ibnu Majah).



    Keterangan Hadits
    di atas menunjukkan bahwa nama Allah itu sebanyak yang Ia berikan sendiri
    terhadap diriNya, sedangkan manusia tidak berhak membatasi. Hal ini tercermin
    dalam ungkapan do’a di atas, "dengan semua nama yang Engkau berikan kepada
    diriMu atau yang Engkau turunkan nama itu dalam kitabMu atau Kauajarkan nama
    itu kepada salah seorang makhlukMu, atau yang Kautempatkan di dalam ilmu yang
    tersembunyi di sisiMu."



    Di antara
    nama-nama Allah adalah 99 (sembilan puluh sembilan) nama, sebagaimana yang
    diungkapkan dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah saw bersabda,
    "Sesungguhnya Allah mempunyai 99 nama; seratus kurang satu. Siapa yang
    menghapalkannya, ia masuk surga" (Riwayat Bukhari dan Muslim).



    Hadits di atas
    tidak membatasi nama Allah hanya 99 saja, akan tetapi sedang menunjukkan bahwa
    di antara nama Allah adalah 99 nama tersebut. Apabila dijumpai sifat-sifat
    Allah yang seakan-akan sama dengan makhluk, maka itu hanyalah kesamaan istilah;
    bukan kesamaan hakikat. Sebab, pada dasarnya tidak ada yang menyamai Allah
    dalam zat, sifat, af'al dan namaNya.



    "Tidak ada sesuatu pun yang menyerupaiNya, sedang Dia Maha Mendengar
    lagi Maha Melihat"
    (Asy Syura: 11).


    Demikian pula
    firmanNya:



    Dan tidak ada
    seorang pun yang setara dengan Dia
    ” (Al Ikhlas: 4).



    Al Qurthubi dalam
    tafsirnya memberikan komentar mengenai firman Allah dalam surat Asy Syura ayat
    11 di atas, dengan ungkapan, “Yang harus diyakini dalam hal ini adalah bahwa
    Allah agung nama dalam sifat keagunganNya, kebesaranNya, kuasaNya, keindahan
    nama-namaNya dan ketinggian sifatNya. Tidak dapat diserupakan denganNya sesuatu
    apa pun dari makhlukNya. Jangan sekali-kali menghubung-hubungkan untuk mencari
    adanya kesamaan antara Khalik dan makhlukNya, baik dalam hal makna maupun
    hakikat, karena tidak akan ditemukan kesamaan antara keduanya. Sifat kekal
    abadi Allah jelas berbeda dengan sifat makhluk.”



    Sedangkan Sayyid
    Quthub dalam tafsir Fii Zhilalil Qur’an menjelaskan, “Tidaklah zat
    (makhluk) itu seperti zatNya, tidaklah nama sesuatu itu seperti namaNya,
    tidaklah perbuatan makhluk itu seperti perbuatannya, dan tidaklah sifat makhluk
    itu seperti sifatNya, kecuali jika hanya pada pengertian lafal. Adanya sifat qadim
    (terdahulu, tidak berawal), bukan lawan kata dari haditsah (baru). Jadi,
    pada mulanya makhluk itu juga mempunyai awal keberadaannya. Sikap ini merupakan
    aqidah seluruh ahlul sunnah wal jama’ah.”



    Jika ditemukan ada
    persamaan nama atau sifat pada dua hal, tidak mesti ada kesamaan dalam antara
    dua hal yang mempunyai nama dan sifat tersebut. Dr. Abdullah Al Muslih
    memberikan contoh dengan lalat memiliki tubuh dan kekuatan, begitu pula gajah.
    Akan tetapi tubuh dan kekuatan lalat dengan gajah jelas berbeda. Kalau
    persamaan istilah dari dua makhluk saja tidak mesti mengharuskan adanya
    kesamaan dari keduanya, sudah barang tentu lebih layak lagi bahwa hal tersebut
    dinisbatkan kepada perbedaan antara Al Khaliq dengan makhlukNya.



    Misalnya, Allah memiliki
    sifat Maha Mendengar (As Sami') dan Maha Melihat (Al Bashir),
    sedangkan manusia juga melihat dan mendengar. Hal seperti ini tidak bermakna
    sama secara hakikat pendengaran dan penglihatan, tetapi hanya kesamaan istilah
    belaka. Demikian pula sifat-sifat Allah yang lainnya, harus tersucikan dari
    persekutuan dengan sifat makhluk.



    Allah telah
    berfirman:



    "Hanya
    milik Allah asma'ul husna, maka bermohonlah kepadaNya dengan menyebut asma'ul
    husna itu; dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam
    (menyebut) nama-namaNya. Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang
    telah mereka kerjakan
    " (Al A'raf: 180).



    Departemen Agama
    Republik Indonesia, memberikan catatan kaki atas makna asma'ul husna,
    yaitu "nama-nama yang agung, yang sesuai dengan sifat-sifat Allah".
    Adapun yang dimaksud dengan yulhiduna fi asma'ihi, dijelaskan
    "janganlah dihiraukan orang-orang yang menyembah Allah dengan nama-nama
    yang tidak sesuai dengan keagungan Allah, atau dengan memakai asma'ul husna
    tetapi dengan maksud menodai nama Allah, atau menggunakan asma'ul husna
    untuk nama-nama selain Allah".



    Ibnu Hatim
    meriwayatkan dari Ibnu Abbas, "Mereka menyimpang dari kebenaran dalam
    menyebut nama-nama Allah, berarti mereka musyrik." Ibnu Abbas juga
    berkata, "Mereka memberi nama Al Lata (kepada berhala mereka) dari
    kata Al Ilah, dan nama Al Uzza dari kata Al Aziz."



    Kita beriman
    dengan ayat-ayatNya tentang sifat Allah, sebagaimana yang disebutkan sendiri
    oleh Allah dan RasulNya, seperti:



    "Allah, tidak ada ilah melainkan Dia, yang hidup kekal lagi terus
    menerus mengurus (makhlukNya), tidak mengantuk dan tidak tidur. KepunyaanNyalah
    apa-apa yang di langit dan di bumi. Tiada yang dapat memberi syafaat di sisi
    Allah tanpa seizinNya. Allah mengetahui apa-apa yang di hadapan dan di belakang
    mereka, dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah melainkan apa yang
    dikehendakiNya. Kursi Allah meliputi langit dan bumi. Dan Allah tidak merasa
    berat memelihara keduanya, dan Ia Mahatinggi lagi Mahabesar"
    (Al Baqarah:
    255).



    Dalam ayat di atas
    kita mendapatkan sejumlah sifat Allah, di antaranya: hidup kekal, terus menerus
    mengurus makhluk, tidak mengantuk, tidak tidur, mengetahui apa-apa yang di
    hadapan dan di belakang mereka (makhlukNya), memiliki kursi yang meliputi
    langit dan bumi serta tidak merasa berat memelihara keduanya, Mahatinggi dan
    Mahabesar. Tidak perlu ditanyakan mengenai “kursi Allah” itu seperti apa;
    letaknya di mana, dan seterusnya. Tidak perlu dipertanyakan “bagaimana mungkin
    Allah memiliki kursi?” Cukuplah kita terima apa adanya informasi sifatNya
    tersebut.



    Dalam ayat-ayat
    lain, Allah memberikan kabar diriNya memiliki 'Arsy, kita pun mengimani apa
    adanya sesuai pemberitaan yang ada.



    "Yaitu
    Tuhan yang Maha Pemurah, yang bersemayam di atas ‘Arsy"
    (Thaha: 5).



    "(Dialah) Yang Mahatinggi derajatNya, yang mempunyai 'Arsy" (Al Mu’min: 15).


    Imam Ahmad
    berkata, “Tidak patut menyifatkan Allah kecuali dengan apa-apa yang telah Allah
    sifatkan kepada diriNya sendiri atau dengan sifat-sifat yang telah diberikan
    oleh RasulNya kepadaNya; atau dengan kata lain tidak boleh melampaui Al Qur’an
    dan Al Hadits.”



    Demikianlah
    setiap muslim harus memahami hakikat tauhid ini dengan baik. Dengan pemahaman
    yang benar akan tauhidullah ini diharapkan keimanan akan tertanam dengan benar
    dan kuat dalam jiwa, sehingga menimbulkan dampak yang positif dalam kehidupan.

      Similar topics

      -

      Waktu sekarang Wed May 08, 2024 12:44 pm