Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

ingin bergabung dengan elrakyat.tk klik pendaftaran. jika anda sudah pernah mendaftar silakan login. jangan lupa ajak kawan-kawanmu ke mari , dan jadilah top poster di forum kita

Join the forum, it's quick and easy

Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

ingin bergabung dengan elrakyat.tk klik pendaftaran. jika anda sudah pernah mendaftar silakan login. jangan lupa ajak kawan-kawanmu ke mari , dan jadilah top poster di forum kita

Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

Would you like to react to this message? Create an account in a few clicks or log in to continue.
Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

salah satu forum terbesar tempat kita bernostalgia

Login

Lupa password?

Our traffic

info rakyat

Sun Oct 31, 2010 9:05 pm by admin

---------------
PEMBERITAHUAN....

SF ZONA RELIGI SEKARANG KAMI PINDAH KE [You must be registered and logged in to see this link.] ANDA BISA BERPARTISIPASI DAN MENJADI MODERATOR SESUAI PERMINTAAN ANDA DENGAN REQUEST VIA SMS NO ADMIN 081945520865


Sekilas Info

Sun Jun 27, 2010 2:44 pm by admin

kabar gembira, forum lentera-rakyat mulai hari ini juga bisa diakses melalui [You must be registered and logged in to see this link.]


    wanita yang dipenuhi rasa cinta

    kutubuku
    kutubuku
    Mega Ultimate Member


    Zodiac : Virgo Jumlah posting : 297
    Join date : 18.06.10
    Age : 37
    Lokasi : rahasia

    wanita yang dipenuhi rasa cinta Empty wanita yang dipenuhi rasa cinta

    Post by kutubuku Sat Jul 03, 2010 4:20 pm

    WANITA YANG
    DIPENUHI RASA CINTA








    kafemuslimah.com Selalu, saya akan tenggelam dalam
    luasnya danau di keriput garis mata wanita itu; garis yang berkisah tentang
    kesabaran, perjuangan hidup, penderitaan dan pengorbanan serta maaf.

    Menelusuri peta yang ada di wajahnya, saya tak pernah
    tersesat dalam membaca atau mencari sebuah kota bernama: keikhlasan. Kali ini, saya
    berusaha menyusun kepingan kesabaran dan danau maaf yang ada padanya dari
    sebuah drama kecil yang meluruhkan air mata saya pada akhir februari 2003 lalu,
    di sebuah bangsal kelas II Rumah Sakit Umum Giriwono, Wonogiri.

    Tubuh renta wanita itu melangkah ragu, mungkin beberapa
    bagian disebabkan perjalanan sekitar dua jam dengan memakai bus. Ia memang
    hampir selalu mabuk dalam perjalanan semacam itu kendati hanya dalam bilangan
    jam.

    "Mbah...!" suaranya bergetar saat berada di
    ambang pintu. Nanap, ia
    menatap sesosok tubuh yang tergolek di atas tempat tidur
    dengan berbagai selang; infus, bantuan pernapasan, dan saluran pembuangan.
    Laki-laki yang tergolek itu membalas tatapnya, menahan sejenak, lantas
    pelan-pelan dialihkan ke tempat lain. Ada
    sedu tertahan, sesak dalam
    dada.

    "Bagaimana, Mbah?" kembali sapa wanita itu seraya
    mendekat dan
    meraba kening si lelaki.

    "Yang sakit bagian mana?" lanjutnya. Tangannya
    membelai kening lelaki itu dan turun ke telinganya. Lelaki itu telah dua hari
    dirawat di rumah sakit karena penyakit stroke. Tubuh bagian kanannya lumpuh.
    Lemah, tangan kiri si lelaki berusaha meraih tangan wanita itu, menggenggamnya
    lama, tetap dengan mata menghindari bertatap dengannya. Ada kepundan yang bergolak-golak di sana dan tangis yang
    enggan dipurnakan.

    -----

    Wanita itu tak lain adalah bekas istri dari lelaki yang
    kini tergolek
    tersebut. Lebih dua puluh tahun sudah keduanya berpisah.
    Sangat sah bagi si wanita itu apabila ia membenci bekas suaminya. Begitu banyak
    luka menganga yang ditinggalkan lelaki itu dalam perjalanan hidup yang ia
    alami. Sebelum resmi berpisah, suaminya menelantarkan dirinya berikut
    anak-anaknya. Suaminya lantas menikah dengan wanita lain, memenuhi istri
    mudanya dengan kekayaan dan kebahagian, sedangkan wanita ini terlunta-lunta
    memperjuangkan hidup yang ingin ia menangkan. Ya, nyaris tak ada
    apa pun yang diberikan suaminya selain penderitaan. Ia
    bukan resmi dicerai di PA, karena itu ia masih menjadi istri jika sewaktu-waktu
    suaminya pulang atau bertandang. Selalu tak ada apa apa yang di bawa lelaki itu
    selain perselisihan atau kekesalan pada istri mudanya dan si wanita akan menerimanya
    dengan sabar.

    Tapi, selalu begitu, setelah ia kembali mengandung,
    suaminya akan segera pergi kembali pada istri mudanya, dan kembalilah ia
    berjuang terlunta-lunta dengan janin dalam kandungan. Tercatatlah, sembilan
    anak terlahir dari rahimnya, seorang di antaranya meninggal karena kekurangan
    air susu. Asinya tidak keluar oleh karena nyaris tak ada makanan layak yang ia
    konsumsi.
    Di lain waktu, pernah selama beberapa minggu ia -berikut
    anak-anaknya-tidak makan nasi. Tidak ada beras tersisa. Kendati suaminya hidup
    berkecukupan bahkan boleh dibilang kaya, -- saat itu, suaminya menjabat kepala
    desa - ia tak hendak meminta, apalagi menuntut. Untuk bertahan hidup, ia dan
    anak-anaknya memakan daun-daunan yang direbus dengan campuran sedikit beras
    hasil utang. Jika waktu makan tiba, ia kumpulkan anak-anak, duduk melingkar
    memutari kuali tanah berisi bubur
    daun-daunan tersebut dengan masing-masing memegang satu
    piring.
    Lantas, pada piring masing-masing dituang bubur encer
    tersebut. Sungguh jauh dari cukup, apalagi rasa kenyang. Sementara... suami dan
    istri mudanya sekaligus anak-anak mereka makan dengan kenyang dan berlebihan.

    Jika malam tiba, gubuk reot yang ia huni itu penuh rebak
    dengan cerita. Wanita ini gemar sekali mendongeng untuk anak-anaknya; satu-satunya
    hiburan yang bisa ia berikan pada anak-anak. Dengan sebuah lentera kecil yang
    berkedip-kedip ditiup angin, ia mendongeng Timun Mas, Kepel, Lutung
    Kasarung, Roro Mendut-Pronocitro, Minakjinggo-Kenconowungu,
    dan sekian lagi dongeng yang ia kreasi sendiri. Anak-anaknya mendengarkan
    dengan
    mata berbinar-binar. Kadang-kadang pula ia mengajarkan
    tembang-tembang
    dolanan yang menjadi senandung riang pembawa semangat anak
    anaknya. Sambil bercerita itu, tangannya tak henti bekerja, kadang-kadang
    sampai larut malam; menganyam tikar pandan pesanan tetangga, mengupas singkong,
    oncek dhele, prithil kacang, pipik jagung...
    pekerjaan-pekarjaan khas para petani yang darinya ia peroleh upah tak seberapa.
    Lantas, sementara ia terus mendongeng, satu per satu anak anaknya terlelap di
    atas tikar yang berlubang dan bertambal-tambal di sana-sini.

    Setelah anak-anaknya tertidur, serentak, wajahnya yang
    semula berbinar-binar tanpa duka itu meredup. Ia menatap anak-anaknya yang
    tidur dengan mulut menganga dan perut berkeriut. Napasnya cekat. Tanpa permisi,
    air mata berbondong-bondong keluar oleh tindihan rasa nelangsa. Ya... di saat
    yang sama, suami dan istri mudanya berikut anak-anak mereka terlelap di atas
    kasur dengan selimut hangat dan perut kekenyangan. Dirinya masih harus merunut
    malam yang jauh. Dia tak berpikir akan bertahan hidup, tapi ia tak akan
    mengakhiri sendiri dengan bodoh.

    "Saya tak percaya saya masih hidup sampai hari
    ini," ujarnya bertahun-tahun setelah itu. Yang ada dalam pikirannya adalah
    'hidup dan bertahan'. Ia harus menyelesaikan semua itu dengan cara-cara
    pahlawan. Dengan menjadi buruh tani, ia terus mengais. Pekerjaan itu nyaris tak
    menjanjikan apa apa. Tak jarang, ia bekerja di sawah suaminya sendiri sebagai
    buruh dengan upah yang tidak lebih besar dari buruh yang lain, bahkan cenderung
    lebih kecil.

    Entah, bagaimana ia mampu menjalani semua itu. Lantas, satu
    per satu
    anaknya lulus sekolah. Yang pertama menyelesaikan SMP, yang
    kedua bertahan hanya sampai SD, sedangkan yang ketiga tak mampu menyelesaikan
    pendidikan terendah sekalipun kendati justru ia anak paling
    cerdas di
    antara anak-anaknya yang lain. Bersama, ketiga anak ini
    memutuskan merantau ke Jakarta. Tentu saja tak begitu ada harapan bekerja di
    tempat yang nyaman. Ketiganya... menjadi pembantu. Tapi, kendati sedikit,
    ketiganya mulai bisa mengirim uang untuk orang tua dan adik-adiknya. Begitulah,
    wanita ini telah mengatur rupiah dengan begitu
    cermat. Ia bahkan tak menyentuh uang-uang kiriman itu, tapi
    kesemuanya
    digunakan untuk membiayai sekolah lima anaknya yang lain.
    Cukup ajaib, kelima anaknya tersebut berhasil menamatkan jenjang SLTA.

    Hari-hari lesap ke bulan dan bulan tenggelam dalam tahun.
    Seperti hidupnya, waktu tidak berhenti berjalan. Satu per satu anaknya lulus,
    bekerja ... dan menikah. Biaya sekolah tidak melulu ditanggung anak pertama,
    tetapi selalu demikian... setiap ada yang lulus dan mulai bekerja, ia bertugas
    melanjutkan estafet amanah itu. Lagi-lagi, keajaiban dan bukti bahwa Allah
    Mahakasih, empat dari anak-anaknya tersebut lulus tes menjadi pegawai negeri
    sipil, sebuah pekerjaan yang cukup bergengsi untuk ukuran daerahnya. Saat
    sekolah pun, rata-rata mereka mendapat beasiswa atau keringanan biaya sebagai
    kompensasi dari prestasi yang diraih... atau minimal menjadi juara kelas. Namanya
    pun
    menjadi legenda di masyarakatnya bahwa anak-anaknya maupun
    cucu-cucunya
    pasti cerdas dan sukses. Bolehlah dikatakan begitu. Untuk
    ukuran orang seperti dirinya, tentulah apa yang ada sekarang ini merupakan
    sukses yang tidak terbilang. Masing-masing anaknya di Jakarta telah memiliki
    hunian yang layak -kendati kecil--, anak pertamanya malah berhasil masuk tes
    PNS di Mabes Polri kendati hanya dengan ijazah SMP. Anak-anaknya pun nyaris
    semua cukup disegani di lingkungannya, hal mana tidak demikian dengan anak anak
    suaminya dari istri mudanya. Tahun 2002, rumah yang ia huni yang dibangun anak
    anaknya pada tahun 1988, ambruk. Kondisinya memang telah reot. Anak-anaknya
    bukan tidak tahu, tapi Mereka tidak memperbaikinya dalam kurun yang cukup lama
    itu disebabkan mereka dilarang oleh sang ayah -suami dari wanita ini-untuk
    memperbaiki.

    Laki-laki itu mungkin hatinya terbuat dari batu, tak juga
    bisa belajar dari kejadian kejadian yang ia alami. Tahun 1988, saat anak
    terakhir dari istrinya berusia 10 tahun, ia kembali terpikat wanita lain;
    seorang janda muda dari kampung sebelah. Karena tak bisa menikah resmi,
    keduanya -entahlah, mungkin nikah di bawah tangan-tinggal serumah. Kali ini,
    wanitanya tak 'sebaik' dan sesabar' dua istrinya terdahulu. Hartanya habis
    dalam bilangan tahun. Dan... empat tahun kemudian, jabatannya sebagai kepala
    desa berakhir. Hidup dengan sisa-sisa kejayaan masa lalu,
    wanita muda ini tidak bertahan. Ia memilih pergi
    meninggalkan si lelaki
    yang kini tak lagi bisa mencukupi kebutuhannya.

    Lantas, seperti roda... hidup berputar. Allah terus
    memperjalankan
    takdirnya yang tak terkata namun bagian dari hal paling
    tetap dan niscaya. Bukan karma. Lelaki ini menjalani hidupnya sendiri, menjadi
    buruh tani -karena sawahnya telah habis terjual-dan tinggal di kesunyian
    rumahnya: tanpa anak dan istri. Sementara istrinya -si wanita ini mulai
    merasai kebahagiaan dari hidup yang lebih layak, riang
    dipenuhi jeritan
    manja cucu-cucu dan rengekan mereka. Maka, meradanglah si
    lelaki saat anak-anaknya berniat membangun sebuah rumah untuk ibunya karena
    rumah yang kemarin rubuh.

    Tak hanya fitnah, teror pun dilangsungkan. Anak-anaknya tak
    menyerah,
    tetap berusaha membangun rumah itu karena memang sudah
    tidak bisa ditunda lagi. Dulu mereka menahan-nahan niat tersebut selama
    bertahun-tahun, dan sekarang tak bisa lagi.

    Tersebutlah, di suatu malam, si wanita -istrinya yang telah
    ditelantarkan itu-mendengar suara berisik ayam-ayam di kandang. Berjingkat, ia
    membuka pintu belakang rumah. Masih sempat sekilas ia melihat suaminya
    menaburkan sesuatu di sudut luar rumah. Kendati dalam remang, ia masih bisa
    mengenali bahwa sosok itu adalah suaminya. Paginya, tiba-tiba ia lumpuh.
    Tubuhnya lemah dan tak bisa berdiri. Orang-orang menduga itu teluh. Setelah
    dirawat beberapa saat di RS, alhamdulillah ia sembuh. Teror tak berhenti.
    Suaminya, secara terbuka, mendoakan agar kayu-kayu rumahnya keropos dimakan
    rayap. Dan doanya terkabul, tapi kali ini bukan pada rumah si wanita, melainkan
    rumahnya sendiri. Beberapa waktu kemudian ia mengancam akan membakar rumah itu,
    dan sekali lagi, rencana itu -kendati bukan dia-terlaksana. Juga bukan pada
    rumah si wanita, melainkan rumahnya sendiri. Karena lupa memadamkan api di
    tungku, rumah belakangnya terbakar.

    Itu semua belum berakhir. Dalam kesendirian yang diliputi
    rasa dengki
    dan iri, ia mendoakan agar si wanita ini diserang penyakit.
    Dan lagi.... doanya terkabul, juga bukan untuk si wanita, tapi untuk dirinya
    sendiri.
    Tiba-tiba, orang-orang menemukan lelaki itu tak bisa bicara
    dan sebelah
    tubuhnya lumpuh. Ia terserang stroke untuk pertama kali
    yang sekaligus masuk dalam stadium kritis. Anak-anaknya membawanya ke rumah
    sakit. Dan...kejadian hari itu adalah bak sebuah drama nyata. Sebuah babak yang
    luar biasa indah saat si wanita -dengan langkah ragu dan bergetar, sebagian
    oleh sisa perjalanan yang membuatnya mabuk darat-menjenguk bekas suaminya yang
    tergolek di rumah sakit. Ada pancaran iba dan kasih yang tulus saat ia meraba,
    mengusap, dan bertanya tentang kabar dengan terbata bata. Mesra sekali saat ia
    memijit kaki lelaki itu.

    "Piye rasane, Mbah?" tanyanya dengan panggilan
    mesra. Mbah? Aduhai, nyaman sekali. Saat belum punya anak, ia memanggil lelaki
    ini dengan sebutan 'Kakang,' saat sudah punya anak dengan sebutan 'Pak', dan
    saat telah dianugerahi cucu demikian banyak, ia memanggilnya 'Mbah' Gemetar,
    tangan kiri lelaki ini -karena tubuh bagian kanannya lumpuh-menggenggam tangan
    renta yang mengusap keningnya, seakan ia menikmati belaian lembut tersebut dan
    menahannya sesaat agar jangan terlalu cepat sirna. Kendati pandangannya dibuang
    ke sisi lain menghindari wajah -bekas-istrinya ini, ia tak bisa mengingkari ada
    lautan maaf dan cinta yang telah menggelombanginya. Melihatnya, saya tak kuasa
    menahan isak. Seperti lelaki itu, tangis saya cekat di kerongkongan sementara
    air mata sudah
    berbondong-bondong menitik tanpa bisa dicegah lagi. Sesak
    sekali dada
    saya oleh rasa haru yang menekan-nekan.

    Ya... melihat wanita ini, saya seperti tenggelam dalam laut
    kesabaran. Dan... dialah wanita tercantik yang pernah saya jumpai di dunia ini.

    Dia... tak lain adalah ibu saya. Ya Allah... ampunilah
    dosanya, maafkanlah kesalahannya dan kasihilah dia sebagaimana ia mengasihi
    kami dalam suka dan duka.

    Malam 1 Juni 03
    Kenangan dan doa untuk Bundaku, orang paling berharga dalam
    hidupku.

    ---------- selesai--------
    Artikel ini diambil dari majalah Media Dakwah, dengan tema
    --Belajar tentang Cara Memaafkan-
    oleh : Sakti Wibowo
    dikutip oleh Ade Anita

      Waktu sekarang Fri Nov 22, 2024 1:36 am