WANITA YANG
DIPENUHI RASA CINTA
kafemuslimah.com Selalu, saya akan tenggelam dalam
luasnya danau di keriput garis mata wanita itu; garis yang berkisah tentang
kesabaran, perjuangan hidup, penderitaan dan pengorbanan serta maaf.
Menelusuri peta yang ada di wajahnya, saya tak pernah
tersesat dalam membaca atau mencari sebuah kota bernama: keikhlasan. Kali ini, saya
berusaha menyusun kepingan kesabaran dan danau maaf yang ada padanya dari
sebuah drama kecil yang meluruhkan air mata saya pada akhir februari 2003 lalu,
di sebuah bangsal kelas II Rumah Sakit Umum Giriwono, Wonogiri.
Tubuh renta wanita itu melangkah ragu, mungkin beberapa
bagian disebabkan perjalanan sekitar dua jam dengan memakai bus. Ia memang
hampir selalu mabuk dalam perjalanan semacam itu kendati hanya dalam bilangan
jam.
"Mbah...!" suaranya bergetar saat berada di
ambang pintu. Nanap, ia
menatap sesosok tubuh yang tergolek di atas tempat tidur
dengan berbagai selang; infus, bantuan pernapasan, dan saluran pembuangan.
Laki-laki yang tergolek itu membalas tatapnya, menahan sejenak, lantas
pelan-pelan dialihkan ke tempat lain. Ada
sedu tertahan, sesak dalam
dada.
"Bagaimana, Mbah?" kembali sapa wanita itu seraya
mendekat dan
meraba kening si lelaki.
"Yang sakit bagian mana?" lanjutnya. Tangannya
membelai kening lelaki itu dan turun ke telinganya. Lelaki itu telah dua hari
dirawat di rumah sakit karena penyakit stroke. Tubuh bagian kanannya lumpuh.
Lemah, tangan kiri si lelaki berusaha meraih tangan wanita itu, menggenggamnya
lama, tetap dengan mata menghindari bertatap dengannya. Ada kepundan yang bergolak-golak di sana dan tangis yang
enggan dipurnakan.
-----
Wanita itu tak lain adalah bekas istri dari lelaki yang
kini tergolek
tersebut. Lebih dua puluh tahun sudah keduanya berpisah.
Sangat sah bagi si wanita itu apabila ia membenci bekas suaminya. Begitu banyak
luka menganga yang ditinggalkan lelaki itu dalam perjalanan hidup yang ia
alami. Sebelum resmi berpisah, suaminya menelantarkan dirinya berikut
anak-anaknya. Suaminya lantas menikah dengan wanita lain, memenuhi istri
mudanya dengan kekayaan dan kebahagian, sedangkan wanita ini terlunta-lunta
memperjuangkan hidup yang ingin ia menangkan. Ya, nyaris tak ada
apa pun yang diberikan suaminya selain penderitaan. Ia
bukan resmi dicerai di PA, karena itu ia masih menjadi istri jika sewaktu-waktu
suaminya pulang atau bertandang. Selalu tak ada apa apa yang di bawa lelaki itu
selain perselisihan atau kekesalan pada istri mudanya dan si wanita akan menerimanya
dengan sabar.
Tapi, selalu begitu, setelah ia kembali mengandung,
suaminya akan segera pergi kembali pada istri mudanya, dan kembalilah ia
berjuang terlunta-lunta dengan janin dalam kandungan. Tercatatlah, sembilan
anak terlahir dari rahimnya, seorang di antaranya meninggal karena kekurangan
air susu. Asinya tidak keluar oleh karena nyaris tak ada makanan layak yang ia
konsumsi.
Di lain waktu, pernah selama beberapa minggu ia -berikut
anak-anaknya-tidak makan nasi. Tidak ada beras tersisa. Kendati suaminya hidup
berkecukupan bahkan boleh dibilang kaya, -- saat itu, suaminya menjabat kepala
desa - ia tak hendak meminta, apalagi menuntut. Untuk bertahan hidup, ia dan
anak-anaknya memakan daun-daunan yang direbus dengan campuran sedikit beras
hasil utang. Jika waktu makan tiba, ia kumpulkan anak-anak, duduk melingkar
memutari kuali tanah berisi bubur
daun-daunan tersebut dengan masing-masing memegang satu
piring.
Lantas, pada piring masing-masing dituang bubur encer
tersebut. Sungguh jauh dari cukup, apalagi rasa kenyang. Sementara... suami dan
istri mudanya sekaligus anak-anak mereka makan dengan kenyang dan berlebihan.
Jika malam tiba, gubuk reot yang ia huni itu penuh rebak
dengan cerita. Wanita ini gemar sekali mendongeng untuk anak-anaknya; satu-satunya
hiburan yang bisa ia berikan pada anak-anak. Dengan sebuah lentera kecil yang
berkedip-kedip ditiup angin, ia mendongeng Timun Mas, Kepel, Lutung
Kasarung, Roro Mendut-Pronocitro, Minakjinggo-Kenconowungu,
dan sekian lagi dongeng yang ia kreasi sendiri. Anak-anaknya mendengarkan
dengan
mata berbinar-binar. Kadang-kadang pula ia mengajarkan
tembang-tembang
dolanan yang menjadi senandung riang pembawa semangat anak
anaknya. Sambil bercerita itu, tangannya tak henti bekerja, kadang-kadang
sampai larut malam; menganyam tikar pandan pesanan tetangga, mengupas singkong,
oncek dhele, prithil kacang, pipik jagung...
pekerjaan-pekarjaan khas para petani yang darinya ia peroleh upah tak seberapa.
Lantas, sementara ia terus mendongeng, satu per satu anak anaknya terlelap di
atas tikar yang berlubang dan bertambal-tambal di sana-sini.
Setelah anak-anaknya tertidur, serentak, wajahnya yang
semula berbinar-binar tanpa duka itu meredup. Ia menatap anak-anaknya yang
tidur dengan mulut menganga dan perut berkeriut. Napasnya cekat. Tanpa permisi,
air mata berbondong-bondong keluar oleh tindihan rasa nelangsa. Ya... di saat
yang sama, suami dan istri mudanya berikut anak-anak mereka terlelap di atas
kasur dengan selimut hangat dan perut kekenyangan. Dirinya masih harus merunut
malam yang jauh. Dia tak berpikir akan bertahan hidup, tapi ia tak akan
mengakhiri sendiri dengan bodoh.
"Saya tak percaya saya masih hidup sampai hari
ini," ujarnya bertahun-tahun setelah itu. Yang ada dalam pikirannya adalah
'hidup dan bertahan'. Ia harus menyelesaikan semua itu dengan cara-cara
pahlawan. Dengan menjadi buruh tani, ia terus mengais. Pekerjaan itu nyaris tak
menjanjikan apa apa. Tak jarang, ia bekerja di sawah suaminya sendiri sebagai
buruh dengan upah yang tidak lebih besar dari buruh yang lain, bahkan cenderung
lebih kecil.
Entah, bagaimana ia mampu menjalani semua itu. Lantas, satu
per satu
anaknya lulus sekolah. Yang pertama menyelesaikan SMP, yang
kedua bertahan hanya sampai SD, sedangkan yang ketiga tak mampu menyelesaikan
pendidikan terendah sekalipun kendati justru ia anak paling
cerdas di
antara anak-anaknya yang lain. Bersama, ketiga anak ini
memutuskan merantau ke Jakarta. Tentu saja tak begitu ada harapan bekerja di
tempat yang nyaman. Ketiganya... menjadi pembantu. Tapi, kendati sedikit,
ketiganya mulai bisa mengirim uang untuk orang tua dan adik-adiknya. Begitulah,
wanita ini telah mengatur rupiah dengan begitu
cermat. Ia bahkan tak menyentuh uang-uang kiriman itu, tapi
kesemuanya
digunakan untuk membiayai sekolah lima anaknya yang lain.
Cukup ajaib, kelima anaknya tersebut berhasil menamatkan jenjang SLTA.
Hari-hari lesap ke bulan dan bulan tenggelam dalam tahun.
Seperti hidupnya, waktu tidak berhenti berjalan. Satu per satu anaknya lulus,
bekerja ... dan menikah. Biaya sekolah tidak melulu ditanggung anak pertama,
tetapi selalu demikian... setiap ada yang lulus dan mulai bekerja, ia bertugas
melanjutkan estafet amanah itu. Lagi-lagi, keajaiban dan bukti bahwa Allah
Mahakasih, empat dari anak-anaknya tersebut lulus tes menjadi pegawai negeri
sipil, sebuah pekerjaan yang cukup bergengsi untuk ukuran daerahnya. Saat
sekolah pun, rata-rata mereka mendapat beasiswa atau keringanan biaya sebagai
kompensasi dari prestasi yang diraih... atau minimal menjadi juara kelas. Namanya
pun
menjadi legenda di masyarakatnya bahwa anak-anaknya maupun
cucu-cucunya
pasti cerdas dan sukses. Bolehlah dikatakan begitu. Untuk
ukuran orang seperti dirinya, tentulah apa yang ada sekarang ini merupakan
sukses yang tidak terbilang. Masing-masing anaknya di Jakarta telah memiliki
hunian yang layak -kendati kecil--, anak pertamanya malah berhasil masuk tes
PNS di Mabes Polri kendati hanya dengan ijazah SMP. Anak-anaknya pun nyaris
semua cukup disegani di lingkungannya, hal mana tidak demikian dengan anak anak
suaminya dari istri mudanya. Tahun 2002, rumah yang ia huni yang dibangun anak
anaknya pada tahun 1988, ambruk. Kondisinya memang telah reot. Anak-anaknya
bukan tidak tahu, tapi Mereka tidak memperbaikinya dalam kurun yang cukup lama
itu disebabkan mereka dilarang oleh sang ayah -suami dari wanita ini-untuk
memperbaiki.
Laki-laki itu mungkin hatinya terbuat dari batu, tak juga
bisa belajar dari kejadian kejadian yang ia alami. Tahun 1988, saat anak
terakhir dari istrinya berusia 10 tahun, ia kembali terpikat wanita lain;
seorang janda muda dari kampung sebelah. Karena tak bisa menikah resmi,
keduanya -entahlah, mungkin nikah di bawah tangan-tinggal serumah. Kali ini,
wanitanya tak 'sebaik' dan sesabar' dua istrinya terdahulu. Hartanya habis
dalam bilangan tahun. Dan... empat tahun kemudian, jabatannya sebagai kepala
desa berakhir. Hidup dengan sisa-sisa kejayaan masa lalu,
wanita muda ini tidak bertahan. Ia memilih pergi
meninggalkan si lelaki
yang kini tak lagi bisa mencukupi kebutuhannya.
Lantas, seperti roda... hidup berputar. Allah terus
memperjalankan
takdirnya yang tak terkata namun bagian dari hal paling
tetap dan niscaya. Bukan karma. Lelaki ini menjalani hidupnya sendiri, menjadi
buruh tani -karena sawahnya telah habis terjual-dan tinggal di kesunyian
rumahnya: tanpa anak dan istri. Sementara istrinya -si wanita ini mulai
merasai kebahagiaan dari hidup yang lebih layak, riang
dipenuhi jeritan
manja cucu-cucu dan rengekan mereka. Maka, meradanglah si
lelaki saat anak-anaknya berniat membangun sebuah rumah untuk ibunya karena
rumah yang kemarin rubuh.
Tak hanya fitnah, teror pun dilangsungkan. Anak-anaknya tak
menyerah,
tetap berusaha membangun rumah itu karena memang sudah
tidak bisa ditunda lagi. Dulu mereka menahan-nahan niat tersebut selama
bertahun-tahun, dan sekarang tak bisa lagi.
Tersebutlah, di suatu malam, si wanita -istrinya yang telah
ditelantarkan itu-mendengar suara berisik ayam-ayam di kandang. Berjingkat, ia
membuka pintu belakang rumah. Masih sempat sekilas ia melihat suaminya
menaburkan sesuatu di sudut luar rumah. Kendati dalam remang, ia masih bisa
mengenali bahwa sosok itu adalah suaminya. Paginya, tiba-tiba ia lumpuh.
Tubuhnya lemah dan tak bisa berdiri. Orang-orang menduga itu teluh. Setelah
dirawat beberapa saat di RS, alhamdulillah ia sembuh. Teror tak berhenti.
Suaminya, secara terbuka, mendoakan agar kayu-kayu rumahnya keropos dimakan
rayap. Dan doanya terkabul, tapi kali ini bukan pada rumah si wanita, melainkan
rumahnya sendiri. Beberapa waktu kemudian ia mengancam akan membakar rumah itu,
dan sekali lagi, rencana itu -kendati bukan dia-terlaksana. Juga bukan pada
rumah si wanita, melainkan rumahnya sendiri. Karena lupa memadamkan api di
tungku, rumah belakangnya terbakar.
Itu semua belum berakhir. Dalam kesendirian yang diliputi
rasa dengki
dan iri, ia mendoakan agar si wanita ini diserang penyakit.
Dan lagi.... doanya terkabul, juga bukan untuk si wanita, tapi untuk dirinya
sendiri.
Tiba-tiba, orang-orang menemukan lelaki itu tak bisa bicara
dan sebelah
tubuhnya lumpuh. Ia terserang stroke untuk pertama kali
yang sekaligus masuk dalam stadium kritis. Anak-anaknya membawanya ke rumah
sakit. Dan...kejadian hari itu adalah bak sebuah drama nyata. Sebuah babak yang
luar biasa indah saat si wanita -dengan langkah ragu dan bergetar, sebagian
oleh sisa perjalanan yang membuatnya mabuk darat-menjenguk bekas suaminya yang
tergolek di rumah sakit. Ada pancaran iba dan kasih yang tulus saat ia meraba,
mengusap, dan bertanya tentang kabar dengan terbata bata. Mesra sekali saat ia
memijit kaki lelaki itu.
"Piye rasane, Mbah?" tanyanya dengan panggilan
mesra. Mbah? Aduhai, nyaman sekali. Saat belum punya anak, ia memanggil lelaki
ini dengan sebutan 'Kakang,' saat sudah punya anak dengan sebutan 'Pak', dan
saat telah dianugerahi cucu demikian banyak, ia memanggilnya 'Mbah' Gemetar,
tangan kiri lelaki ini -karena tubuh bagian kanannya lumpuh-menggenggam tangan
renta yang mengusap keningnya, seakan ia menikmati belaian lembut tersebut dan
menahannya sesaat agar jangan terlalu cepat sirna. Kendati pandangannya dibuang
ke sisi lain menghindari wajah -bekas-istrinya ini, ia tak bisa mengingkari ada
lautan maaf dan cinta yang telah menggelombanginya. Melihatnya, saya tak kuasa
menahan isak. Seperti lelaki itu, tangis saya cekat di kerongkongan sementara
air mata sudah
berbondong-bondong menitik tanpa bisa dicegah lagi. Sesak
sekali dada
saya oleh rasa haru yang menekan-nekan.
Ya... melihat wanita ini, saya seperti tenggelam dalam laut
kesabaran. Dan... dialah wanita tercantik yang pernah saya jumpai di dunia ini.
Dia... tak lain adalah ibu saya. Ya Allah... ampunilah
dosanya, maafkanlah kesalahannya dan kasihilah dia sebagaimana ia mengasihi
kami dalam suka dan duka.
Malam 1 Juni 03
Kenangan dan doa untuk Bundaku, orang paling berharga dalam
hidupku.
---------- selesai--------
Artikel ini diambil dari majalah Media Dakwah, dengan tema
--Belajar tentang Cara Memaafkan-
oleh : Sakti Wibowo
dikutip oleh Ade Anita
DIPENUHI RASA CINTA
kafemuslimah.com Selalu, saya akan tenggelam dalam
luasnya danau di keriput garis mata wanita itu; garis yang berkisah tentang
kesabaran, perjuangan hidup, penderitaan dan pengorbanan serta maaf.
Menelusuri peta yang ada di wajahnya, saya tak pernah
tersesat dalam membaca atau mencari sebuah kota bernama: keikhlasan. Kali ini, saya
berusaha menyusun kepingan kesabaran dan danau maaf yang ada padanya dari
sebuah drama kecil yang meluruhkan air mata saya pada akhir februari 2003 lalu,
di sebuah bangsal kelas II Rumah Sakit Umum Giriwono, Wonogiri.
Tubuh renta wanita itu melangkah ragu, mungkin beberapa
bagian disebabkan perjalanan sekitar dua jam dengan memakai bus. Ia memang
hampir selalu mabuk dalam perjalanan semacam itu kendati hanya dalam bilangan
jam.
"Mbah...!" suaranya bergetar saat berada di
ambang pintu. Nanap, ia
menatap sesosok tubuh yang tergolek di atas tempat tidur
dengan berbagai selang; infus, bantuan pernapasan, dan saluran pembuangan.
Laki-laki yang tergolek itu membalas tatapnya, menahan sejenak, lantas
pelan-pelan dialihkan ke tempat lain. Ada
sedu tertahan, sesak dalam
dada.
"Bagaimana, Mbah?" kembali sapa wanita itu seraya
mendekat dan
meraba kening si lelaki.
"Yang sakit bagian mana?" lanjutnya. Tangannya
membelai kening lelaki itu dan turun ke telinganya. Lelaki itu telah dua hari
dirawat di rumah sakit karena penyakit stroke. Tubuh bagian kanannya lumpuh.
Lemah, tangan kiri si lelaki berusaha meraih tangan wanita itu, menggenggamnya
lama, tetap dengan mata menghindari bertatap dengannya. Ada kepundan yang bergolak-golak di sana dan tangis yang
enggan dipurnakan.
-----
Wanita itu tak lain adalah bekas istri dari lelaki yang
kini tergolek
tersebut. Lebih dua puluh tahun sudah keduanya berpisah.
Sangat sah bagi si wanita itu apabila ia membenci bekas suaminya. Begitu banyak
luka menganga yang ditinggalkan lelaki itu dalam perjalanan hidup yang ia
alami. Sebelum resmi berpisah, suaminya menelantarkan dirinya berikut
anak-anaknya. Suaminya lantas menikah dengan wanita lain, memenuhi istri
mudanya dengan kekayaan dan kebahagian, sedangkan wanita ini terlunta-lunta
memperjuangkan hidup yang ingin ia menangkan. Ya, nyaris tak ada
apa pun yang diberikan suaminya selain penderitaan. Ia
bukan resmi dicerai di PA, karena itu ia masih menjadi istri jika sewaktu-waktu
suaminya pulang atau bertandang. Selalu tak ada apa apa yang di bawa lelaki itu
selain perselisihan atau kekesalan pada istri mudanya dan si wanita akan menerimanya
dengan sabar.
Tapi, selalu begitu, setelah ia kembali mengandung,
suaminya akan segera pergi kembali pada istri mudanya, dan kembalilah ia
berjuang terlunta-lunta dengan janin dalam kandungan. Tercatatlah, sembilan
anak terlahir dari rahimnya, seorang di antaranya meninggal karena kekurangan
air susu. Asinya tidak keluar oleh karena nyaris tak ada makanan layak yang ia
konsumsi.
Di lain waktu, pernah selama beberapa minggu ia -berikut
anak-anaknya-tidak makan nasi. Tidak ada beras tersisa. Kendati suaminya hidup
berkecukupan bahkan boleh dibilang kaya, -- saat itu, suaminya menjabat kepala
desa - ia tak hendak meminta, apalagi menuntut. Untuk bertahan hidup, ia dan
anak-anaknya memakan daun-daunan yang direbus dengan campuran sedikit beras
hasil utang. Jika waktu makan tiba, ia kumpulkan anak-anak, duduk melingkar
memutari kuali tanah berisi bubur
daun-daunan tersebut dengan masing-masing memegang satu
piring.
Lantas, pada piring masing-masing dituang bubur encer
tersebut. Sungguh jauh dari cukup, apalagi rasa kenyang. Sementara... suami dan
istri mudanya sekaligus anak-anak mereka makan dengan kenyang dan berlebihan.
Jika malam tiba, gubuk reot yang ia huni itu penuh rebak
dengan cerita. Wanita ini gemar sekali mendongeng untuk anak-anaknya; satu-satunya
hiburan yang bisa ia berikan pada anak-anak. Dengan sebuah lentera kecil yang
berkedip-kedip ditiup angin, ia mendongeng Timun Mas, Kepel, Lutung
Kasarung, Roro Mendut-Pronocitro, Minakjinggo-Kenconowungu,
dan sekian lagi dongeng yang ia kreasi sendiri. Anak-anaknya mendengarkan
dengan
mata berbinar-binar. Kadang-kadang pula ia mengajarkan
tembang-tembang
dolanan yang menjadi senandung riang pembawa semangat anak
anaknya. Sambil bercerita itu, tangannya tak henti bekerja, kadang-kadang
sampai larut malam; menganyam tikar pandan pesanan tetangga, mengupas singkong,
oncek dhele, prithil kacang, pipik jagung...
pekerjaan-pekarjaan khas para petani yang darinya ia peroleh upah tak seberapa.
Lantas, sementara ia terus mendongeng, satu per satu anak anaknya terlelap di
atas tikar yang berlubang dan bertambal-tambal di sana-sini.
Setelah anak-anaknya tertidur, serentak, wajahnya yang
semula berbinar-binar tanpa duka itu meredup. Ia menatap anak-anaknya yang
tidur dengan mulut menganga dan perut berkeriut. Napasnya cekat. Tanpa permisi,
air mata berbondong-bondong keluar oleh tindihan rasa nelangsa. Ya... di saat
yang sama, suami dan istri mudanya berikut anak-anak mereka terlelap di atas
kasur dengan selimut hangat dan perut kekenyangan. Dirinya masih harus merunut
malam yang jauh. Dia tak berpikir akan bertahan hidup, tapi ia tak akan
mengakhiri sendiri dengan bodoh.
"Saya tak percaya saya masih hidup sampai hari
ini," ujarnya bertahun-tahun setelah itu. Yang ada dalam pikirannya adalah
'hidup dan bertahan'. Ia harus menyelesaikan semua itu dengan cara-cara
pahlawan. Dengan menjadi buruh tani, ia terus mengais. Pekerjaan itu nyaris tak
menjanjikan apa apa. Tak jarang, ia bekerja di sawah suaminya sendiri sebagai
buruh dengan upah yang tidak lebih besar dari buruh yang lain, bahkan cenderung
lebih kecil.
Entah, bagaimana ia mampu menjalani semua itu. Lantas, satu
per satu
anaknya lulus sekolah. Yang pertama menyelesaikan SMP, yang
kedua bertahan hanya sampai SD, sedangkan yang ketiga tak mampu menyelesaikan
pendidikan terendah sekalipun kendati justru ia anak paling
cerdas di
antara anak-anaknya yang lain. Bersama, ketiga anak ini
memutuskan merantau ke Jakarta. Tentu saja tak begitu ada harapan bekerja di
tempat yang nyaman. Ketiganya... menjadi pembantu. Tapi, kendati sedikit,
ketiganya mulai bisa mengirim uang untuk orang tua dan adik-adiknya. Begitulah,
wanita ini telah mengatur rupiah dengan begitu
cermat. Ia bahkan tak menyentuh uang-uang kiriman itu, tapi
kesemuanya
digunakan untuk membiayai sekolah lima anaknya yang lain.
Cukup ajaib, kelima anaknya tersebut berhasil menamatkan jenjang SLTA.
Hari-hari lesap ke bulan dan bulan tenggelam dalam tahun.
Seperti hidupnya, waktu tidak berhenti berjalan. Satu per satu anaknya lulus,
bekerja ... dan menikah. Biaya sekolah tidak melulu ditanggung anak pertama,
tetapi selalu demikian... setiap ada yang lulus dan mulai bekerja, ia bertugas
melanjutkan estafet amanah itu. Lagi-lagi, keajaiban dan bukti bahwa Allah
Mahakasih, empat dari anak-anaknya tersebut lulus tes menjadi pegawai negeri
sipil, sebuah pekerjaan yang cukup bergengsi untuk ukuran daerahnya. Saat
sekolah pun, rata-rata mereka mendapat beasiswa atau keringanan biaya sebagai
kompensasi dari prestasi yang diraih... atau minimal menjadi juara kelas. Namanya
pun
menjadi legenda di masyarakatnya bahwa anak-anaknya maupun
cucu-cucunya
pasti cerdas dan sukses. Bolehlah dikatakan begitu. Untuk
ukuran orang seperti dirinya, tentulah apa yang ada sekarang ini merupakan
sukses yang tidak terbilang. Masing-masing anaknya di Jakarta telah memiliki
hunian yang layak -kendati kecil--, anak pertamanya malah berhasil masuk tes
PNS di Mabes Polri kendati hanya dengan ijazah SMP. Anak-anaknya pun nyaris
semua cukup disegani di lingkungannya, hal mana tidak demikian dengan anak anak
suaminya dari istri mudanya. Tahun 2002, rumah yang ia huni yang dibangun anak
anaknya pada tahun 1988, ambruk. Kondisinya memang telah reot. Anak-anaknya
bukan tidak tahu, tapi Mereka tidak memperbaikinya dalam kurun yang cukup lama
itu disebabkan mereka dilarang oleh sang ayah -suami dari wanita ini-untuk
memperbaiki.
Laki-laki itu mungkin hatinya terbuat dari batu, tak juga
bisa belajar dari kejadian kejadian yang ia alami. Tahun 1988, saat anak
terakhir dari istrinya berusia 10 tahun, ia kembali terpikat wanita lain;
seorang janda muda dari kampung sebelah. Karena tak bisa menikah resmi,
keduanya -entahlah, mungkin nikah di bawah tangan-tinggal serumah. Kali ini,
wanitanya tak 'sebaik' dan sesabar' dua istrinya terdahulu. Hartanya habis
dalam bilangan tahun. Dan... empat tahun kemudian, jabatannya sebagai kepala
desa berakhir. Hidup dengan sisa-sisa kejayaan masa lalu,
wanita muda ini tidak bertahan. Ia memilih pergi
meninggalkan si lelaki
yang kini tak lagi bisa mencukupi kebutuhannya.
Lantas, seperti roda... hidup berputar. Allah terus
memperjalankan
takdirnya yang tak terkata namun bagian dari hal paling
tetap dan niscaya. Bukan karma. Lelaki ini menjalani hidupnya sendiri, menjadi
buruh tani -karena sawahnya telah habis terjual-dan tinggal di kesunyian
rumahnya: tanpa anak dan istri. Sementara istrinya -si wanita ini mulai
merasai kebahagiaan dari hidup yang lebih layak, riang
dipenuhi jeritan
manja cucu-cucu dan rengekan mereka. Maka, meradanglah si
lelaki saat anak-anaknya berniat membangun sebuah rumah untuk ibunya karena
rumah yang kemarin rubuh.
Tak hanya fitnah, teror pun dilangsungkan. Anak-anaknya tak
menyerah,
tetap berusaha membangun rumah itu karena memang sudah
tidak bisa ditunda lagi. Dulu mereka menahan-nahan niat tersebut selama
bertahun-tahun, dan sekarang tak bisa lagi.
Tersebutlah, di suatu malam, si wanita -istrinya yang telah
ditelantarkan itu-mendengar suara berisik ayam-ayam di kandang. Berjingkat, ia
membuka pintu belakang rumah. Masih sempat sekilas ia melihat suaminya
menaburkan sesuatu di sudut luar rumah. Kendati dalam remang, ia masih bisa
mengenali bahwa sosok itu adalah suaminya. Paginya, tiba-tiba ia lumpuh.
Tubuhnya lemah dan tak bisa berdiri. Orang-orang menduga itu teluh. Setelah
dirawat beberapa saat di RS, alhamdulillah ia sembuh. Teror tak berhenti.
Suaminya, secara terbuka, mendoakan agar kayu-kayu rumahnya keropos dimakan
rayap. Dan doanya terkabul, tapi kali ini bukan pada rumah si wanita, melainkan
rumahnya sendiri. Beberapa waktu kemudian ia mengancam akan membakar rumah itu,
dan sekali lagi, rencana itu -kendati bukan dia-terlaksana. Juga bukan pada
rumah si wanita, melainkan rumahnya sendiri. Karena lupa memadamkan api di
tungku, rumah belakangnya terbakar.
Itu semua belum berakhir. Dalam kesendirian yang diliputi
rasa dengki
dan iri, ia mendoakan agar si wanita ini diserang penyakit.
Dan lagi.... doanya terkabul, juga bukan untuk si wanita, tapi untuk dirinya
sendiri.
Tiba-tiba, orang-orang menemukan lelaki itu tak bisa bicara
dan sebelah
tubuhnya lumpuh. Ia terserang stroke untuk pertama kali
yang sekaligus masuk dalam stadium kritis. Anak-anaknya membawanya ke rumah
sakit. Dan...kejadian hari itu adalah bak sebuah drama nyata. Sebuah babak yang
luar biasa indah saat si wanita -dengan langkah ragu dan bergetar, sebagian
oleh sisa perjalanan yang membuatnya mabuk darat-menjenguk bekas suaminya yang
tergolek di rumah sakit. Ada pancaran iba dan kasih yang tulus saat ia meraba,
mengusap, dan bertanya tentang kabar dengan terbata bata. Mesra sekali saat ia
memijit kaki lelaki itu.
"Piye rasane, Mbah?" tanyanya dengan panggilan
mesra. Mbah? Aduhai, nyaman sekali. Saat belum punya anak, ia memanggil lelaki
ini dengan sebutan 'Kakang,' saat sudah punya anak dengan sebutan 'Pak', dan
saat telah dianugerahi cucu demikian banyak, ia memanggilnya 'Mbah' Gemetar,
tangan kiri lelaki ini -karena tubuh bagian kanannya lumpuh-menggenggam tangan
renta yang mengusap keningnya, seakan ia menikmati belaian lembut tersebut dan
menahannya sesaat agar jangan terlalu cepat sirna. Kendati pandangannya dibuang
ke sisi lain menghindari wajah -bekas-istrinya ini, ia tak bisa mengingkari ada
lautan maaf dan cinta yang telah menggelombanginya. Melihatnya, saya tak kuasa
menahan isak. Seperti lelaki itu, tangis saya cekat di kerongkongan sementara
air mata sudah
berbondong-bondong menitik tanpa bisa dicegah lagi. Sesak
sekali dada
saya oleh rasa haru yang menekan-nekan.
Ya... melihat wanita ini, saya seperti tenggelam dalam laut
kesabaran. Dan... dialah wanita tercantik yang pernah saya jumpai di dunia ini.
Dia... tak lain adalah ibu saya. Ya Allah... ampunilah
dosanya, maafkanlah kesalahannya dan kasihilah dia sebagaimana ia mengasihi
kami dalam suka dan duka.
Malam 1 Juni 03
Kenangan dan doa untuk Bundaku, orang paling berharga dalam
hidupku.
---------- selesai--------
Artikel ini diambil dari majalah Media Dakwah, dengan tema
--Belajar tentang Cara Memaafkan-
oleh : Sakti Wibowo
dikutip oleh Ade Anita
Tue Aug 01, 2023 9:56 pm by wisatasemarang
» Portable STATA 18 Crack Full Version
Thu May 11, 2023 5:24 pm by wisatasemarang
» NVivo 12 Crack Full version
Mon Jan 30, 2023 11:16 am by wisatasemarang
» Tutorial Difference In difference (DID (Diff-in-Diff) With Eviews 13
Thu Nov 03, 2022 6:24 am by wisatasemarang
» Online Workshop Smart PLS Minggu, 01 Oktober 2022
Sat Sep 17, 2022 11:35 am by wisatasemarang
» kumpulan ebook tentang robot
Fri Jan 02, 2015 10:04 pm by kyuru
» MANTRA PELET
Wed May 16, 2012 3:31 am by orlandojack
» book love of spell
Sat Mar 24, 2012 8:08 pm by rifqi as
» attraction Formula
Sat Mar 24, 2012 7:09 pm by rifqi as