www.ginandjar.com
1
REAKTUALISASI NILAI-NILAI KEPESANTRENAN
Oleh:
Ginandjar Kartasasmita
Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Ketua Bappenas
Disampaikan pada Dies Natalis XXXI IAI Cipasung
Tasikmalaya, 8 November 1996
Bismillaahirrahmaanirahiem,
Assalamu’alaikum wr.wb.
Pendahuluan
Dalam suasana yang penuh kebahagiaan ini, marilah kita panjatkan puji syukur ke hadirat
Allah SWT, yang senantiasa melimpahkan rahmat dan karunia-Nya kepada kita sekalian,
sehingga kita dapat berkumpul di kampus Institut Agama Islam Cipasung (IAIC), yang berada di
lingkungan Pondok Pesantren Cipasung ini. Sebagai sebuah lembaga pendidikan tinggi, IAIC
memiliki sejumlah karakteristik yang khas, yang membedakannya dengan lembaga pendidikan
tinggi lain yang serupa, seperti IAIN, yang tersebar di berbagai kota. Kekhasan itu lebih
disebabkan oleh lingkungan yang menjadi basis IAIC, yaitu lingkungan pesantren. Saya yakin,
basis pesantren inilah yang menjadikan IAIC bukan saja kukuh dalam memelihara tradisi
keagamaan, melainkan juga kuat dalam usaha mengembangkan ilmu-ilmu keagamaan yang
berwawasan kemodernan.
Itulah tema pembicaraan saya pada pagi hari ini.
Pesantren dan Modernisasi
Keberadaan pesantren di tengah-tengah masyarakat mempunyai makna sangat strategis,
apalagi jika pesantre n ini memiliki lembaga pendidikan tinggi sebagaimana Pondok Pesantren
Cipa sung ini. Lembaga pesantren yang berakar pada masyarakat, terutama masyarakat perdesaan,
merupakan kekuatan tersendiri dalam membangkitkan semangat dan gairah masyarakat untuk
meraih kemajuan menuju ke arah kehidupan yang makin sejahtera.
Menghadapi era globalisasi yang berdampak kepada berbagai perubahan baik di bidang
ekonomi maupun sosial budaya, kita perlu mengkaji bagaimana pondok pesantren
mengapresiasikan gejala modernisasi yang berlangsung demikian kuatnya seperti sekarang ini.
Modernisasi merupakan proses transformasi yang tak mungkin bisa dihindari, dan karena itu
semua kelompok masyarakat termasuk masyarakat pesantren harus siap menghadapinya dan perlu
menanggapi gejala-gejalanya secara terbuka dan kritis.
Kita ketahui, dan pengetahuan ini diperkuat oleh hasil kajian para ahli, bahwa keberadaan
pesantren di tengah-tengah kehidupan masyarakat memiliki latar belakang sejarah. Pesantren
merupakan representasi institusi ke-Islaman yang berakar kuat dalam tradisi dan kebudayaan ma-
syarakat, khususnya masyarakat di Jawa. Bahkan pesantren menjadi basis perjuangan melawan
penjajah kolonial. Tidak terhitung betapa banyak para syuhada dari pesantren yang gugur dalam
berjuang melawan penjajah.
Dalam perjalanan sejarahnya pola kehidupan sosial, budaya, dan keagamaan yang
terbentuk di lingkungan pesantren menjelma menjadi sebuah pola yang khas. Dan dalam
kekhasan itu pesantren telah berkembang menjadi sebuah subkultur tersendiri yang memiliki
dasar -dasar nilai dan tradisi yang berakar kuat dalam komunitasnya. www.ginandjar.com
2
Dasar -dasar tradisi dan nilai budaya itu, menjadikan pesantren memiliki kekuatan
resistensi terhadap pengaruh-pengaruh budaya dari luar. Tidak heran jika pesantren dianggap
sebagai “benteng” nilai -nilai dasar di masyarakat terhadap intervensi budaya asing. Inilah makna
penting keterkaitan pesantren dengan masyarakatnya yang tercermin dalam ikatan tradisi dan
budaya yang dipelihara secara kukuh, yang membentuk pola hubungan fungsional yang unik
antara keduanya. Interaksi sosial budaya yang mendalam antara pesantren dan masyarakat di
sekitarnya itu terlihat dalam hal pendidikan, dakwah keagamaan, kegiatan sosial, bahkan kegiatan
ekonomi.
Namun, karena banyak memperlihatkan budaya tradisional itu pesantren acapkali
dianggap sebagai penghalang bagi pembaharuan. Oleh karena itu, pada banyak kalangan masya-
rakat terkesan suasana keterbelakangan dari pesantren, yang tidak sedikit juga dipengaruhi
literatur Barat dengan istilah “kaum sarungan” yang dianggap mencerminkan ketradisionalan
yang ingin dibedakan dengan “kaum berpantalon”, yang dianggap mencerminkan kemodernan.
Kondisi yang nyata sampai belakangan ini juga menunjukkan bahwa lembaga-lembaga
pendidikan nonpesantren memberikan bekal pengetahuan yang lebih luas dan lebih dalam bagi
peserta didik dibandingkan dengan lembaga pendidikan di lingkungan pesantren, yang kekuatan
utamanya adalah pendidikan agama dan moral kehidupan yang berakar pada agama.
Sekarang keadaan telah mulai berubah. Pendidikan di lingkungan pesantren telah
menampung kurikulum pengetahuan yang tidak kurang dari lembaga pendidikan nonpesantren
dan sebaliknya lembaga-lembaga pendidikan nonpesantren telah memberikan pendidikan
keagamaan yang lebih intensif. Antara keduanya jelas akan terus ada perbedaan karena bobot
pendidikan keagamaan akan tetap mewarnai pendidikan di lingkungan pesantren, tetapi perbedaan
ini akan makin kecil ditinjau dari produk sumber daya manusia (SDM) yang dihasilkannya.
Proses konvergensi dua sistem pendidikan yang besar itu akan mempengaruhi proses
pembentukan SDM Indonesia di masa depan secara sangat positif.
1
Artinya, melalui proses itu diharapkan dihasilkan SDM yang berkualitas, yakni tidak
hanya memiliki pengetahuan untuk menempuh kehidupan di dunia dengan baik, sesuai dengan
tanggung jawab pribadi dan kemasyarakatan seseorang, tetapi juga akan menghasilkan SDM yang
memiliki keyakinan iman dan ketakwaan, yang memberikan tuntunan moral. Dengan demikian,
SDM tersebut dalam menempuh kehidupannya memiliki nilai -nilai spiritual dan budi pekerti yang
menjadi pedoman, dan bukan hanya nilai -nilai material. Kualitas SDM serupa itulah yang kita
sebut sebagai kualitas manusia yang lengkap.
Oleh karena eratnya keterkaitan pesantren dengan masyarakatnya, apabila kita ingin
memperkenalkan suatu norma atau cara baru di lingkungan masyarakat yang terkait dengan tradisi
pesantren, akan lebih mudah apabila norma atau cara baru itu diperkenalkan melalui
pesantrennya, yang kemudian akan mensos ialisasikannya dengan cara yang mungkin lebih efisien
dan efektif dibandingkan dengan jika dilakukan oleh pemerintah. Misalnya, pengalaman kita
dalam memperkenalkan program keluarga berencana, yang merupakan konsep kehidupan
keluarga modern, menunjukkan betapa efektifnya peran pesantren. Oleh karena itu, pesantren
secara potensial adalah agen modernisasi bagi masyarakatnya.
Saya katakan potensial, karena sebagian pesantren itu sendiri masih harus dimodernkan.
Modernisasi dalam arti suatu proses penanaman nilai -nilai kehidupan yang ilmu pengetahuan dan
teknologi berperan besar di dalamnya.
Menanamkan nilai-nilai modern agar bisa menjadi pelopor modernisasi ini merupakan
pekerjaan besar bagi pesantren. Hal ini pasti tidak akan mudah. Peran para pemimpin pesanten,
dalam hal ini para Kiyainya sangat menentukan, karena kita ketahui Kiyai bukanlah seorang
1
Menurut data yang kita ketahui dewasa ini ada lebih dari 8.500 pesantren, dengan kurang lebih 1,9 juta
santri. Kita juga ketahui 12% murid SD ada di madrasah-madrasah Ibtidaiyah, 16,5% murid SLTP di
madrasah tsanawiyah, 10% murid SMU di madrasah aliyah dan 10% dari jumlah mahasiswa berada di
IAIN. www.ginandjar.com
3
pemimpin biasa, bukan hanya kepala sekolah, atau kepala asrama, bukan juga cuma pemimpin
organisasi. Peran kepemimpinan Kiyai lebih luas dan lebih dalam daripada itu.
Kekhasan ini tentu akan tetap memberi warna kepada pesantren, dan tantangannya adalah
bagaimana faktor kepemimpinan tradisional dan karismatis itu, yang merupakan ciri dan kekuatan
pesantren, dapat dipadukan dengan kepemimpinan modern, yang nilai utamanya adalah
rasionalitas.
Saya sendiri merasa proses persenyawaan itu dapat terjadi dengan baik, karena
sesungguhnya di waktu yang lalu pada awal perkembangannya pesantren adalah lembaga yang
paling modern di dalam masyarakat. Bisa dikatakan pesantrenlah yang membawa pembaharuan
ke dalam masyarakatnya, karena Islam pada dasarnya adalah agama pembaharuan. Dari dunia
Islam pula lahir dan berkembang banyak ilmu pengetahuan dan teknologi yang turunannya kita
kenal sekarang.
Kemudian pada suatu masa kejayaan ini menurun, bukan oleh karena ajaran agamanya,
melainkan oleh karena umatnya, yang di mana-mana menutup diri terhadap interaksi dengan
budaya lain dan terhadap gagasan-gagasan baru. Padahal sebelumnya masyarakat Islam adalah
masyarakat yang sangat antusias menyerap segala pengetahuan yang dapat diserap dan
mengakomodasikan kebudayaan mana pun, termasuk yang sumbernya adalah agama lain.
2
Oleh karena itu, menurut pandangan saya, kembali membuat pesantren menjadi lembaga
pembaharuan, agen modernisasi bagi masyarakat mestinya bukan persoalan besar, jika pesantren
itu sendiri telah dapat membuka diri.
Oleh karena itu pula, masalah berikut yang akan saya bahas adalah reaktualisasi nilai -nilai
kepesantrenan.
Reaktualisasi Nilai-nilai Kepesantrenan
Saya tidak berpretensi mengetahui banyak mengenai pesantren, kecuali dari literatur-
literatur, juga pengetahuan saya mengenai Islam, hanyalah pengetahuan sebagai seorang yang
belajar dan bukan yang mengajar, sebagai makmum dan bukan sebagai imam. Oleh karena itu,
tentunya pandangan-pandangan saya ini dapat saja dikoreksi dan disempurnakan. Akan tetapi,
bagi para ulama dan santri di lingkungan pesantren mungkin menarik untuk mendengar pan-
dangan seorang dari luar lingkungan pesantren mengenai pesantren dan tantangan untuk
mereaktualisasi dan merevitalisasi nilai -nilai kepesantrenan.
Kiranya kita telah sepakat bahwa antara Islam dan pembaharuan dan modernitas
3
sangat
sejalan, atau seperti dikatakan oleh para pakar ada hubungan yang organik di antara keduanya.
Persoalan kita adalah bagaimana mereaktualisasi dan menghidupkan kembali nilai -nilai
kepesantrenan dalam membangun kemajuan itu. Beberapa di antaranya ingin saya bahas,
meskipun hanya secara singkat.
Nilai Keagamaan
Betapa pun kuatnya kesa daran kita bahwa untuk mengejar ketertinggalan dan
meningkatkan kesejahteraan kita perlu memodernisasikan masyarakat, kita juga menyadari bahwa
kehidupan modern acapkali kering nilai -nilai spiritual, bahkan ada gejala mere duksikan makna
hidup hanya se batas pada hal -hal yang bersifat kebendaan, yang mendorong suburnya sikap hidup
serba materialistis, konsumeristis, bahkan hedonistis, serta mengabaikan hal -hal yang bersifat
2
Dalam konteks ini, ada tuntunan Nabi Muhammad Saw. yang menyatakan “Ilmu pengetahuan dan
hikmah adalah milik setiap mukmin, namun hilang, sehingga dimanapun dia menemukannya, dia lebih
berhak untuk memilikinya”.
3
Modernitas adalah kecenderungan untuk mau meninjau kembali hal -hal yang sudah mentradisi dalam
sebuah kebudahaan atau subkultur, di samping kesediaan untuk memandang ke “luar” (cf. A. Giddens.
1992. Modernity and Self-Identity. Cambridge (UK): Polity Press). www.ginandjar.com
4
transendental. Untuk mengatasi kecenderungan tersebut, maka pemupukan nilai -nilai spiritual dan
penguatan etos keagamaan menjadi sangat penting artinya. Agar semangat kemodernan tidak
menjauhkan masyarakat dari agama sehingga tujuan menghalalkan cara dan tidak dilandaskan
pada moral, maka meneguhkan sikap beragama harus terus-menerus diupayakan. Dalam hal ini,
pesantren bisa memberikan kontribusi positif dalam mengisi dan memperkuat nilai -nilai spiritual
dan etika dalam kehidupan modern.
Kita perlu menegaskan bahwa masyarakat modern dalam pandangan kita adalah juga
masyarakat yang religius, yakni bahwa masyarakat Islam bisa hidup di alam modern dengan tetap
mempertahankan nilai -nilai ke -Islam-annya. Bahwa menjadi modern itu tidak harus menjadi
penghalang untuk tetap teguh dalam menjalankan ajaran agama. Sebagai Muslim kita perlu
menunjukkan bahwa kita tetap bisa hidup secara serasi dalam kemodernan dengan tetap setia
kepada Islam. Kita harus mampu menyebut diri sebagai Muslim yang modern dalam satu tarikan
nafas.
Tradisi Keilmuan
Dalam tradisi Islam kita mengetahui bahwa etos keilmuan itu dikembangkan sejalan
dengan penguatan etos keagamaan. Kesadaran untuk mengembangkan etos keilmuan ini
bersumber pada penghayatan terhadap nilai -nilai agama. Sebab ajaran Islam tegas mengatakan
bahwa membangun masyarakat yang berilmu pengetahuan itu merupakan bagian dari kewajiban
agama.
4
Agama Islam memberi penghargaan tinggi dan tempat yang mulia kepada orang-orang
yang berilmu. Kehadiran orang-orang yang berilmu mempunyai peranan penting dalam usaha
memajukan suatu masyarakat. Orang-orang yang berilmu adalah pembimbing masyarakat menuju
cita-cita yang menjadi tujuan bersama. Mengingat peran yang penting itu maka penghargaan yang
diberikan kepada seorang yang berilmu bahkan melebihi keutamaan seorang ahli ibadah
sekalipun.
5
Masa depan kita akan sangat dipengaruhi oleh kemampuan untuk bersaing. Dan
kemampuan untuk bersaing hanya dapat tumbuh dan sinambung jika bersumber pada SDM yang
berkualitas, yakni yang berilmu dan mampu mengembangkan serta mengamalkan ilmu.
Apabila penguasaan ilmu pengetahuan itu merupakan pencerminan dari kehidupan
budaya modern dan sekaligus amanat keagamaan, maka tradisi pesantren yang menanamkan etos
keilmuan kepada para santri harus dihidupkan kembali, dan tentunya dengan membuka diri
kepada ilmu pengetahuan, teknologi, dan pola kehidupan modern.
Semangat Kewirausahaan
Dalam sejarah perkembangannya pesantren telah menumbuhkan semangat kewirausahaan
kepada para santri yang kemudian menjadi pengusaha-pengusaha pribumi pada masa ekonomi
dikuasai oleh penjajah dan golongan asing, seperti keturunan Cina. Dari kalangan mereka ini
lahir kelas profesional yang memelopori pergerakan Islam dan pergerakan kebangsaan. Etos
kewirausahaan itu terbentuk dengan merujuk pada Islam sebagai sumbernya. Ajaran Islam
4
Karena itulah, dalam literatur keagamaan ditemukan perintah untuk menuntut ilmu walaupun sampai
ke negeri Cina, se bagaimana ditemukan himbauan untuk menuntut ilmu dari buaian hingga ke liang
lahat. Bahkan al_Quran sendiri memberikan penghargaan sangat tinggi kepada orang -orang yang
memiliki ilmu pengetahuan. Sebagaimana tertuang di dalam surat al -Mujadalah (QS 58:11): “…Allah
mengangkat mereka yang beriman di antara kamu dan mereka yang diberi karunia ilmu pengetahuan
ke berbagai tingkat (derajat).”
5
Penghargaan itu dilukiskan dengan amat indah sebagaimana disebut dalam sebuah hadist Nabi SAW,
bahwa “Keutamaan orang yang berilmu atas orang yang ahli ibadah itu, laksana keutamaan bulan
purnama atas bintang gemintang”. www.ginandjar.com
5
mengandung pandangan-pandangan yang bisa memotivasi umat untuk mengembangkan
kewirausahaan.
Al-Quran dan Hadist mengandung banyak doktrin ajaran untuk melakukan kegiatan
ekonomi. Untuk jangka waktu yang panjang dalam sejarah, para pedagang muslim melakukan
syiar agama dengan sekaligus berdagang. Di Indonesia suku-suku yang kuat tradisi
keagamaannya, justru kuat pula tradisi perdagangannya. Suku-suku Banjar, Minangkabau,
Makasar, dan Bugis, adalah suku-suku yang kuat pemahaman dan pengamalan keagamaannya dan
juga dikenal sebagai niagawan yang piawai. Demikian pula pengusaha-pengusaha industri kretek,
batik, dan kerajinan perak di beberapa daerah di Jawa, berasal dari keluarga-keluarga yang meng-
hayati dan menerapkan secara lebih sungguh-sungguh ajaran dan nilai -nilai agama Islam dalam
kehidupan pribadi dan sosialnya.
Tentunya karena sumber inspirasinya ada, yaitu ajaran agama yang mendasar, dan
tradisinya juga ada, maka menghidupkan kembali dan menghangatkan jiwa dan semangat
kewirausahaan ini, bukanlah pekerjaan yang terlalu sulit.
Tantangan yang kita hadapi di masa depan dengan globalisasi adalah membangun
wirausaha bangsa kita sendiri, terutama dari kalangan umat Islam yang merupakan mayoritas
bangsa Indonesia. Kita membutuhkan pengusaha-pengusaha yang tangguh yang mampu bersaing
baik di pasar internasional apalagi di pasar kita sendiri.
Tatanan dunia usaha kita berat ke atas, artinya lapisan pengusaha besar yang jumlahnya
sedikit, menguasai aset produktif yang besar, dan lapisan usaha kecil yang besar jumlahnya amat
lemah kedudukannya. Lapisan usaha menengah kita masih kecil sekali dan belum kuat
peranannya. Padahal struktur dunia usaha yang kukuh menghendaki lapisan usaha menengah
yang kuat sebagai tulang punggungnya, saling menyangga dengan lapisan usaha kecil yang kuat,
dan usaha besar yang mempunyai rasa tanggungjawab dan solidaritas sosial yang besar pula.
Pesantren diharapkan dapat melahirkan wirausahawan yang dapat mengisi lapisan-lapisan
usaha kecil dan menengah yang handal dan mandiri itu. Sebenarnya yang diperlukan hanyalah
menghidupkan kembali tradisi yang kuat di masa lampau dengan penyesuaian pada kondisi masa
kini dan pada tantangan masa depan.
Etos Kerja
Islam adalah agama yang sangat mementingkan kerja atau amal. Islam tidak
menghendaki bahkan membenci orang yang bermalas-malasan. Bahkan untuk menunjukkan
betapa pentingnya kerja atau amal itu, Al-Quran seringkali menggandengkan kata iman dengan
kata amal . Bahkan saya diberitahu oleh seorang ahli agama, bahwa setiap kita menemukan ayat
yang menyebutkan kata iman saja, maka yang dimaksud adalah iman dan amal .
6
Namun dalam kenyataan, dalam masyarakat kita etos kerja ini belum sepenuhnya
membudaya. Artinya, budaya kerja sebagian masyarakat kita tidak sesuai untuk kehidupan
modern. Tentunya ini tidak bisa dihubungkan dengan budaya Islam, karena budaya Islam
menghendaki orang bekerja keras. Keadaan tersebut dapat lebih diterangkan sebagai
pencerminan budaya masyarakat agraris tradisional di bagian mana pun di dunia dan apa pun
agama y ang dianutnya.
Dalam kehidupan agraris tradisional memang waktu cukup lapang karena orang berbicara
dalam dimensi musim, atau bulan, atau minggu. Akan tetapi dalam jaman industri, hari bahkan
jam saja sudah terlalu panjang sebagai ukuran. Orang berbicara bahkan tidak dalam ukuran
menit, tetapi detik, dan sepersekian detik.
6
Pandangan yang secara tegas mendorong manusia untuk mengembangkan etos kerja itu bersumber
pada firman Allah di dalam Al-Quran (13 : 11), yang terjemahan bebasnya adalah “.....Sesungguhnya
Allah SWT tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sampai mereka sendiri mengubah apa yang
terdapat dalam diri mereka sendiri (yakni motivasi, tekad, dan usaha mereka) …..”. www.ginandjar.com
6
Tantangan bagi kita sekarang adalah “membangunkan” umat kita dari “tidurnya”, bahwa
sekarang jaman sudah berbeda, dan ukuran-ukuran kerja juga sudah berbeda. Bekerja keras
sekarang dengan pada jaman agraris tradisional sudah berbeda. Meskipun kita hidup di sektor
pertanian sekalipun, penanganannya tidak lagi boleh secara tradisional, tetapi harus secara
industri, dengan budaya industri, dan dengan disiplin kerja industri, bukan disiplin kerja
tradisional.
Pesantren, dimulai dengan lingkungannya sendiri, harus menggugah masyarakat untuk
membangun budaya kerja yang sesuai dan menjadi tuntutan kehidupan modern, yang waktu
adalah faktor yang paling menentukan dan merupakan sumber daya yang paling berharga.
Sikap Kemandirian
Budaya modern menuntut seseorang untuk hidup mandiri. Apalagi suasana persaingan
yang sangat menonjol dalam zaman modern ini memaksa setiap orang untuk memiliki kompetensi
tertentu agar bisa bersaing dan dengan demikian dapat hidup secara bermartabat di tengah-tengah
masyarakat. Hanya pribadi -pribadi yang punya watak kemandirian saja bisa hidup dalam
masyarakat yang makin sarat dengan persaingan.
Kemandirian teramat sentral dalam pandangan bangsa Indonesia mengenai pembangunan.
Pada waktu berbicara mengenai kualitas manusia, maka ciri pokok yang digambarkan sebagai
kualitas yang dikehendaki adalah maju dan mandiri.
Suatu bangsa atau masyarakat dapat dikatakan mandiri apabila bangsa atau masyarakat itu
mampu mewujudkan kehidupan yang sejajar dan sederajat dengan bangsa lain dengan mengan-
dalkan pada kemampuan dan kekuatan sendiri. Ditinjau dari aspek ekonomi ini berarti
pembangunan makin mengandalkan sumber-sumber yang dimiliki dan berhasil dikembangkan
sendiri. Bangsa yang mandiri adalah bangsa yang mampu menghadapi segala tantangan, mampu
mengambil keputusan sendiri serta mampu menentukan apa yang terbaik bagi dirinya, dan yang
secara umum memiliki daya tahan terhadap gejolak-gejolak.
Bangsa yang mandiri harus terdiri dari manusia-manusia individu yang mandiri. Mandiri
bukan berarti menyendiri tetapi tidak menjadi beban orang lain atau masyarakatnya bahkan dapat
membantu memperkuat masyarakatnya. Kemandirian adalah konsep hidup bermasyarakat dan
bukan hidup menyendiri.
Oleh karena itu, kemandirian selain merupakan ukuran kemampuan, yaitu perkembangan
yang dicapai sebagai hasil dari upaya peningkatan diri, baik pribadi, masyarakat, maupun bangsa,
juga berkaitan dengan sikap. Kalau kita berbicara mengenai kualitas manusia yang maju dan
mandiri, sesungguhnya yang dimaksudkan adalah manusia yang bersikap budaya maju dan
bersikap budaya mandiri, di samping memiliki ciri -diri dan kemampuan yang dapat diukur dan
dibandingkan dengan orang, masyarakat atau bangsa lain. Dengan demikian kemandirian
merupakan masalah budaya.
Sistem pengajaran pesantren yang menggunakan metode belajar sorogan (belajar secara
individual mengenai bidang-bidang ilmu keagamaan tertentu), tanpa disadari dapat memupuk
sikap dan watak kemandirian para santri. Tradisi ini meskipun terkesan “kuno” di tengah-tengah
sistem persekolahan modern, sebenarnya ada sisi positifnya dari sudut penglihatan itu.
Dalam berbicara mengenai kemandirian, kembali kita berbicara mengenai sikap budaya.
Pesantren memiliki posisi yang strategis karena keterkaitannya yang erat dengan masyarakatnya,
dan dengan demi kian dapat menjadi andalan dalam membentuk nilai -nilai yang kita kehendaki
dalam kebudayaan bangsa kita.
www.ginandjar.com
7
Wawasan Kebangsaan
Proses modernisasi, telah menghantarkan umat manusia sampai pada sebuah tahapan
kehidupan baru, yaitu era globalisasi. Interaksi antarbangsa yang melampaui batas -batas wilayah
negara memungkinkan terjadinya perjumpaan nilai-nilai budaya baru, yang dibawa oleh setiap
bangsa. Pergaulan antarbangsa yang terbuka itu merupakan wahana bagi masuknya nilai budaya
asing, yang jelas banyak positifnya tetapi ada juga yang tidak sejalan dengan nilai budaya dan jati
diri bangsa Indonesia sendiri.
Untuk menjaga ketahanan budaya bangsa, kita perlu meneguhkan dan memantapkan
wawasan kebangsaan kita. Peneguhan dan pemantapan wawasan kebangsaan ini, selain untuk
menghadapi tantangan era globalisasi, juga agar keutuhan kita sebagai bangsa tetap terpelihara
dan terjaga dengan baik. Pembangunan hanya dapat berjalan dengan baik dalam suasana
kekeluargaan dan kegotongroyongan, dalam semangat persatuan dan kesatuan. Bangsa yang
terpecah-belah dan tidak bisa rukun, tidak mungkin dapat membangun dirinya dan
menyejahterakan rakyatnya.
Realitas bangsa Indonesia yang bersifat sangat majemuk, baik dari segi agama, etnis,
bahasa, budaya, maupun adat istiadat ini, membutuhkan perekat yang kuat agar tidak terancam
disintegrasi. Kita meyakini bahwa yang bisa menjadi kekuatan perekat itu adalah wawasan
kebangsaan, yang menurut bahasa pesantren mungkin disebut ukhuwwah wathoniyah. Dengan
wawasan kebangsaan atau ukhuwwah wathoniah kita memandang masyarakat Indonesia sebagai
sebuah kesatuan sosial, ekonomi, dan politik yang utuh, meskipun memiliki keragaman agama,
etnis, bahasa, budaya dan adat -istiadat.
Penanaman nilai ukhuwwah wathoniyah di lingkungan pondok pesantren sejak awal
merupakan perisai yang kuat untuk mempertahankan keutuhan bangsa. Mungkin ini akan
merupakan salah satu kontribusi terpenting dan amat berharga dari pesantren dalam membangun
bangsa yang utuh dan bersatu.
(7) Solidaritas Sosial
Unsur pokok persatuan dan kesatuan suatu bangsa adalah solidari tas sosial. Bangsa yang
lemah solidaritas sosialnya akan mudah retak persatuan dan kesatuannya. Wujud solidaritas sosial
adalah kepedulian pada kesenjangan yang ada dalam masyarakat dan upaya untuk turut
mengatasinya.
Kesenjangan yang makin melebar, dapat melahirkan kecemburuan sosial dan dapat
mengganggu integritas kita sebagai bangsa. Kita belajar saja dari pengalaman negara -negara lain.
Faktor yang paling dapat mengganggu stabilitas dan keutuhan bangsa kita, menurut pandangan
saya, bukanlah lagi primordialisme, seperti agama dan suku, karena itu sudah lama kita lewati,
melainkan persoalan kesenjangan ekonomi.
Betapa pun majunya negara kita, kalau yang maju hanya satu bagian kecil saja, sedangkan
lapisan terbesarnya makin jauh tertinggal, ancaman perpecahan akan menjadi lebih besar
dibandingkan dengan pada saat kita semua sama-sama kekurangan.
Adalah suatu kenyataan bahwa pesantren pada umumnya berada di lingkungan
masyarakat yang tertinggal. Karena memang dari segi jumlahnya, masyarakat yang miskin dan
tertinggal sebagai besar adalah umat Islam. Dengan demikian, masalah kemiskinan dan
kesenjangan merupakan realitas kehidupan kita sehari -hari. Oleh karena itu, kami di lingkungan
perencanaan melihat bahwa pesantren dapat menjadi wahana dalam upaya mengatasi keter-
tinggalan yang menjadi penyebab dari ketimpangan dan kemiskinan.
Kerja sama harus dikembangkan antara pemerintah dan pesantren untuk menggerakkan
ekonomi masyarakat di sekitar pesantren dengan menyadari betapa strategisnya kedudukan pesan-
tren di masyarakat. Demikian pula, harus dikembangkan pola-pola kemitraan yang efektif antara
dunia usaha dan pesantren untuk mengembangkan keterkaitan (linkages) yang menguntungkan
kedua belah pihak. Gagasan-gagasan ini mungkin masih memerlukan pemikiran yang lebih www.ginandjar.com
8
dalam, guna menemukan formatnya yang tepat, karena dalam upaya ini kemandirian pesantren
harus tetap dipertahankan.
Saya merasa yakin bahwa pesantren dapat banyak membantu dalam upaya kita
menghapuskan kemiskinan dan mengurangi kesenjangan, baik melalui kegiatan pendampingan
dan advokasi, maupun secara langsung terlibat dalam kegiatan pemberdayaan ekonomi rakyat.
IV. Penutup
Demikianlah beberapa pokok pikiran yang dapat saya kemukakan, terutama berkenaan
dengan reaktualisasi peran pesantren untuk berkiprah dalam membangun kehidupan bangsa yang
maju dan mandiri.
Agama Islam menganjurkan kepada kita untuk bersikap terbuka terhadap hal-hal baru
yang bernilai positif, dan mendorong kita bergerak ke arah yang lebih baik. Dengan mohon
permakluman sekaligus mohon izin, saya ingin mengutip ungkapan bijak (hikmah) – yang selalu
diajarkan di pesantren – yang menganjurkan sikap terbuka tersebut, yaitu “memelihara yang lama
yang baik, dan mengambil yang baru yang lebih baik.”
Dari sejarahnya kita ketahui bahwa pesantren adalah lembaga yang telah memelopori
pembaharuan dalam masyarakat. Kepeloporan itulah yang ingin kita bangkitkan kembali -- kita
reaktualisasikan -- karena dalam menghadapi era global yang penuh tantangan, tetapi juga penuh
harapan, kita harus memobilisasikan dan mengonsolidasikan segenap potensi yang ada pada kita.
Salah satu potensi itu, adalah pesantren. Lebih daripada itu, mengingat kedudukannya dalam
masyarakat, maka mengembangkan pesantren agar menjadi pelopor pembaharuan dan
modernisasi merupakan langkah yang strategis.
Tidak lain harapan saya, semoga pandangan-pandangan saya ini dapat merangsang
pemikiran dan ditanggapi dengan positif.
Wabillaahit taufiq walhidayah.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
1
REAKTUALISASI NILAI-NILAI KEPESANTRENAN
Oleh:
Ginandjar Kartasasmita
Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Ketua Bappenas
Disampaikan pada Dies Natalis XXXI IAI Cipasung
Tasikmalaya, 8 November 1996
Bismillaahirrahmaanirahiem,
Assalamu’alaikum wr.wb.
Pendahuluan
Dalam suasana yang penuh kebahagiaan ini, marilah kita panjatkan puji syukur ke hadirat
Allah SWT, yang senantiasa melimpahkan rahmat dan karunia-Nya kepada kita sekalian,
sehingga kita dapat berkumpul di kampus Institut Agama Islam Cipasung (IAIC), yang berada di
lingkungan Pondok Pesantren Cipasung ini. Sebagai sebuah lembaga pendidikan tinggi, IAIC
memiliki sejumlah karakteristik yang khas, yang membedakannya dengan lembaga pendidikan
tinggi lain yang serupa, seperti IAIN, yang tersebar di berbagai kota. Kekhasan itu lebih
disebabkan oleh lingkungan yang menjadi basis IAIC, yaitu lingkungan pesantren. Saya yakin,
basis pesantren inilah yang menjadikan IAIC bukan saja kukuh dalam memelihara tradisi
keagamaan, melainkan juga kuat dalam usaha mengembangkan ilmu-ilmu keagamaan yang
berwawasan kemodernan.
Itulah tema pembicaraan saya pada pagi hari ini.
Pesantren dan Modernisasi
Keberadaan pesantren di tengah-tengah masyarakat mempunyai makna sangat strategis,
apalagi jika pesantre n ini memiliki lembaga pendidikan tinggi sebagaimana Pondok Pesantren
Cipa sung ini. Lembaga pesantren yang berakar pada masyarakat, terutama masyarakat perdesaan,
merupakan kekuatan tersendiri dalam membangkitkan semangat dan gairah masyarakat untuk
meraih kemajuan menuju ke arah kehidupan yang makin sejahtera.
Menghadapi era globalisasi yang berdampak kepada berbagai perubahan baik di bidang
ekonomi maupun sosial budaya, kita perlu mengkaji bagaimana pondok pesantren
mengapresiasikan gejala modernisasi yang berlangsung demikian kuatnya seperti sekarang ini.
Modernisasi merupakan proses transformasi yang tak mungkin bisa dihindari, dan karena itu
semua kelompok masyarakat termasuk masyarakat pesantren harus siap menghadapinya dan perlu
menanggapi gejala-gejalanya secara terbuka dan kritis.
Kita ketahui, dan pengetahuan ini diperkuat oleh hasil kajian para ahli, bahwa keberadaan
pesantren di tengah-tengah kehidupan masyarakat memiliki latar belakang sejarah. Pesantren
merupakan representasi institusi ke-Islaman yang berakar kuat dalam tradisi dan kebudayaan ma-
syarakat, khususnya masyarakat di Jawa. Bahkan pesantren menjadi basis perjuangan melawan
penjajah kolonial. Tidak terhitung betapa banyak para syuhada dari pesantren yang gugur dalam
berjuang melawan penjajah.
Dalam perjalanan sejarahnya pola kehidupan sosial, budaya, dan keagamaan yang
terbentuk di lingkungan pesantren menjelma menjadi sebuah pola yang khas. Dan dalam
kekhasan itu pesantren telah berkembang menjadi sebuah subkultur tersendiri yang memiliki
dasar -dasar nilai dan tradisi yang berakar kuat dalam komunitasnya. www.ginandjar.com
2
Dasar -dasar tradisi dan nilai budaya itu, menjadikan pesantren memiliki kekuatan
resistensi terhadap pengaruh-pengaruh budaya dari luar. Tidak heran jika pesantren dianggap
sebagai “benteng” nilai -nilai dasar di masyarakat terhadap intervensi budaya asing. Inilah makna
penting keterkaitan pesantren dengan masyarakatnya yang tercermin dalam ikatan tradisi dan
budaya yang dipelihara secara kukuh, yang membentuk pola hubungan fungsional yang unik
antara keduanya. Interaksi sosial budaya yang mendalam antara pesantren dan masyarakat di
sekitarnya itu terlihat dalam hal pendidikan, dakwah keagamaan, kegiatan sosial, bahkan kegiatan
ekonomi.
Namun, karena banyak memperlihatkan budaya tradisional itu pesantren acapkali
dianggap sebagai penghalang bagi pembaharuan. Oleh karena itu, pada banyak kalangan masya-
rakat terkesan suasana keterbelakangan dari pesantren, yang tidak sedikit juga dipengaruhi
literatur Barat dengan istilah “kaum sarungan” yang dianggap mencerminkan ketradisionalan
yang ingin dibedakan dengan “kaum berpantalon”, yang dianggap mencerminkan kemodernan.
Kondisi yang nyata sampai belakangan ini juga menunjukkan bahwa lembaga-lembaga
pendidikan nonpesantren memberikan bekal pengetahuan yang lebih luas dan lebih dalam bagi
peserta didik dibandingkan dengan lembaga pendidikan di lingkungan pesantren, yang kekuatan
utamanya adalah pendidikan agama dan moral kehidupan yang berakar pada agama.
Sekarang keadaan telah mulai berubah. Pendidikan di lingkungan pesantren telah
menampung kurikulum pengetahuan yang tidak kurang dari lembaga pendidikan nonpesantren
dan sebaliknya lembaga-lembaga pendidikan nonpesantren telah memberikan pendidikan
keagamaan yang lebih intensif. Antara keduanya jelas akan terus ada perbedaan karena bobot
pendidikan keagamaan akan tetap mewarnai pendidikan di lingkungan pesantren, tetapi perbedaan
ini akan makin kecil ditinjau dari produk sumber daya manusia (SDM) yang dihasilkannya.
Proses konvergensi dua sistem pendidikan yang besar itu akan mempengaruhi proses
pembentukan SDM Indonesia di masa depan secara sangat positif.
1
Artinya, melalui proses itu diharapkan dihasilkan SDM yang berkualitas, yakni tidak
hanya memiliki pengetahuan untuk menempuh kehidupan di dunia dengan baik, sesuai dengan
tanggung jawab pribadi dan kemasyarakatan seseorang, tetapi juga akan menghasilkan SDM yang
memiliki keyakinan iman dan ketakwaan, yang memberikan tuntunan moral. Dengan demikian,
SDM tersebut dalam menempuh kehidupannya memiliki nilai -nilai spiritual dan budi pekerti yang
menjadi pedoman, dan bukan hanya nilai -nilai material. Kualitas SDM serupa itulah yang kita
sebut sebagai kualitas manusia yang lengkap.
Oleh karena eratnya keterkaitan pesantren dengan masyarakatnya, apabila kita ingin
memperkenalkan suatu norma atau cara baru di lingkungan masyarakat yang terkait dengan tradisi
pesantren, akan lebih mudah apabila norma atau cara baru itu diperkenalkan melalui
pesantrennya, yang kemudian akan mensos ialisasikannya dengan cara yang mungkin lebih efisien
dan efektif dibandingkan dengan jika dilakukan oleh pemerintah. Misalnya, pengalaman kita
dalam memperkenalkan program keluarga berencana, yang merupakan konsep kehidupan
keluarga modern, menunjukkan betapa efektifnya peran pesantren. Oleh karena itu, pesantren
secara potensial adalah agen modernisasi bagi masyarakatnya.
Saya katakan potensial, karena sebagian pesantren itu sendiri masih harus dimodernkan.
Modernisasi dalam arti suatu proses penanaman nilai -nilai kehidupan yang ilmu pengetahuan dan
teknologi berperan besar di dalamnya.
Menanamkan nilai-nilai modern agar bisa menjadi pelopor modernisasi ini merupakan
pekerjaan besar bagi pesantren. Hal ini pasti tidak akan mudah. Peran para pemimpin pesanten,
dalam hal ini para Kiyainya sangat menentukan, karena kita ketahui Kiyai bukanlah seorang
1
Menurut data yang kita ketahui dewasa ini ada lebih dari 8.500 pesantren, dengan kurang lebih 1,9 juta
santri. Kita juga ketahui 12% murid SD ada di madrasah-madrasah Ibtidaiyah, 16,5% murid SLTP di
madrasah tsanawiyah, 10% murid SMU di madrasah aliyah dan 10% dari jumlah mahasiswa berada di
IAIN. www.ginandjar.com
3
pemimpin biasa, bukan hanya kepala sekolah, atau kepala asrama, bukan juga cuma pemimpin
organisasi. Peran kepemimpinan Kiyai lebih luas dan lebih dalam daripada itu.
Kekhasan ini tentu akan tetap memberi warna kepada pesantren, dan tantangannya adalah
bagaimana faktor kepemimpinan tradisional dan karismatis itu, yang merupakan ciri dan kekuatan
pesantren, dapat dipadukan dengan kepemimpinan modern, yang nilai utamanya adalah
rasionalitas.
Saya sendiri merasa proses persenyawaan itu dapat terjadi dengan baik, karena
sesungguhnya di waktu yang lalu pada awal perkembangannya pesantren adalah lembaga yang
paling modern di dalam masyarakat. Bisa dikatakan pesantrenlah yang membawa pembaharuan
ke dalam masyarakatnya, karena Islam pada dasarnya adalah agama pembaharuan. Dari dunia
Islam pula lahir dan berkembang banyak ilmu pengetahuan dan teknologi yang turunannya kita
kenal sekarang.
Kemudian pada suatu masa kejayaan ini menurun, bukan oleh karena ajaran agamanya,
melainkan oleh karena umatnya, yang di mana-mana menutup diri terhadap interaksi dengan
budaya lain dan terhadap gagasan-gagasan baru. Padahal sebelumnya masyarakat Islam adalah
masyarakat yang sangat antusias menyerap segala pengetahuan yang dapat diserap dan
mengakomodasikan kebudayaan mana pun, termasuk yang sumbernya adalah agama lain.
2
Oleh karena itu, menurut pandangan saya, kembali membuat pesantren menjadi lembaga
pembaharuan, agen modernisasi bagi masyarakat mestinya bukan persoalan besar, jika pesantren
itu sendiri telah dapat membuka diri.
Oleh karena itu pula, masalah berikut yang akan saya bahas adalah reaktualisasi nilai -nilai
kepesantrenan.
Reaktualisasi Nilai-nilai Kepesantrenan
Saya tidak berpretensi mengetahui banyak mengenai pesantren, kecuali dari literatur-
literatur, juga pengetahuan saya mengenai Islam, hanyalah pengetahuan sebagai seorang yang
belajar dan bukan yang mengajar, sebagai makmum dan bukan sebagai imam. Oleh karena itu,
tentunya pandangan-pandangan saya ini dapat saja dikoreksi dan disempurnakan. Akan tetapi,
bagi para ulama dan santri di lingkungan pesantren mungkin menarik untuk mendengar pan-
dangan seorang dari luar lingkungan pesantren mengenai pesantren dan tantangan untuk
mereaktualisasi dan merevitalisasi nilai -nilai kepesantrenan.
Kiranya kita telah sepakat bahwa antara Islam dan pembaharuan dan modernitas
3
sangat
sejalan, atau seperti dikatakan oleh para pakar ada hubungan yang organik di antara keduanya.
Persoalan kita adalah bagaimana mereaktualisasi dan menghidupkan kembali nilai -nilai
kepesantrenan dalam membangun kemajuan itu. Beberapa di antaranya ingin saya bahas,
meskipun hanya secara singkat.
Nilai Keagamaan
Betapa pun kuatnya kesa daran kita bahwa untuk mengejar ketertinggalan dan
meningkatkan kesejahteraan kita perlu memodernisasikan masyarakat, kita juga menyadari bahwa
kehidupan modern acapkali kering nilai -nilai spiritual, bahkan ada gejala mere duksikan makna
hidup hanya se batas pada hal -hal yang bersifat kebendaan, yang mendorong suburnya sikap hidup
serba materialistis, konsumeristis, bahkan hedonistis, serta mengabaikan hal -hal yang bersifat
2
Dalam konteks ini, ada tuntunan Nabi Muhammad Saw. yang menyatakan “Ilmu pengetahuan dan
hikmah adalah milik setiap mukmin, namun hilang, sehingga dimanapun dia menemukannya, dia lebih
berhak untuk memilikinya”.
3
Modernitas adalah kecenderungan untuk mau meninjau kembali hal -hal yang sudah mentradisi dalam
sebuah kebudahaan atau subkultur, di samping kesediaan untuk memandang ke “luar” (cf. A. Giddens.
1992. Modernity and Self-Identity. Cambridge (UK): Polity Press). www.ginandjar.com
4
transendental. Untuk mengatasi kecenderungan tersebut, maka pemupukan nilai -nilai spiritual dan
penguatan etos keagamaan menjadi sangat penting artinya. Agar semangat kemodernan tidak
menjauhkan masyarakat dari agama sehingga tujuan menghalalkan cara dan tidak dilandaskan
pada moral, maka meneguhkan sikap beragama harus terus-menerus diupayakan. Dalam hal ini,
pesantren bisa memberikan kontribusi positif dalam mengisi dan memperkuat nilai -nilai spiritual
dan etika dalam kehidupan modern.
Kita perlu menegaskan bahwa masyarakat modern dalam pandangan kita adalah juga
masyarakat yang religius, yakni bahwa masyarakat Islam bisa hidup di alam modern dengan tetap
mempertahankan nilai -nilai ke -Islam-annya. Bahwa menjadi modern itu tidak harus menjadi
penghalang untuk tetap teguh dalam menjalankan ajaran agama. Sebagai Muslim kita perlu
menunjukkan bahwa kita tetap bisa hidup secara serasi dalam kemodernan dengan tetap setia
kepada Islam. Kita harus mampu menyebut diri sebagai Muslim yang modern dalam satu tarikan
nafas.
Tradisi Keilmuan
Dalam tradisi Islam kita mengetahui bahwa etos keilmuan itu dikembangkan sejalan
dengan penguatan etos keagamaan. Kesadaran untuk mengembangkan etos keilmuan ini
bersumber pada penghayatan terhadap nilai -nilai agama. Sebab ajaran Islam tegas mengatakan
bahwa membangun masyarakat yang berilmu pengetahuan itu merupakan bagian dari kewajiban
agama.
4
Agama Islam memberi penghargaan tinggi dan tempat yang mulia kepada orang-orang
yang berilmu. Kehadiran orang-orang yang berilmu mempunyai peranan penting dalam usaha
memajukan suatu masyarakat. Orang-orang yang berilmu adalah pembimbing masyarakat menuju
cita-cita yang menjadi tujuan bersama. Mengingat peran yang penting itu maka penghargaan yang
diberikan kepada seorang yang berilmu bahkan melebihi keutamaan seorang ahli ibadah
sekalipun.
5
Masa depan kita akan sangat dipengaruhi oleh kemampuan untuk bersaing. Dan
kemampuan untuk bersaing hanya dapat tumbuh dan sinambung jika bersumber pada SDM yang
berkualitas, yakni yang berilmu dan mampu mengembangkan serta mengamalkan ilmu.
Apabila penguasaan ilmu pengetahuan itu merupakan pencerminan dari kehidupan
budaya modern dan sekaligus amanat keagamaan, maka tradisi pesantren yang menanamkan etos
keilmuan kepada para santri harus dihidupkan kembali, dan tentunya dengan membuka diri
kepada ilmu pengetahuan, teknologi, dan pola kehidupan modern.
Semangat Kewirausahaan
Dalam sejarah perkembangannya pesantren telah menumbuhkan semangat kewirausahaan
kepada para santri yang kemudian menjadi pengusaha-pengusaha pribumi pada masa ekonomi
dikuasai oleh penjajah dan golongan asing, seperti keturunan Cina. Dari kalangan mereka ini
lahir kelas profesional yang memelopori pergerakan Islam dan pergerakan kebangsaan. Etos
kewirausahaan itu terbentuk dengan merujuk pada Islam sebagai sumbernya. Ajaran Islam
4
Karena itulah, dalam literatur keagamaan ditemukan perintah untuk menuntut ilmu walaupun sampai
ke negeri Cina, se bagaimana ditemukan himbauan untuk menuntut ilmu dari buaian hingga ke liang
lahat. Bahkan al_Quran sendiri memberikan penghargaan sangat tinggi kepada orang -orang yang
memiliki ilmu pengetahuan. Sebagaimana tertuang di dalam surat al -Mujadalah (QS 58:11): “…Allah
mengangkat mereka yang beriman di antara kamu dan mereka yang diberi karunia ilmu pengetahuan
ke berbagai tingkat (derajat).”
5
Penghargaan itu dilukiskan dengan amat indah sebagaimana disebut dalam sebuah hadist Nabi SAW,
bahwa “Keutamaan orang yang berilmu atas orang yang ahli ibadah itu, laksana keutamaan bulan
purnama atas bintang gemintang”. www.ginandjar.com
5
mengandung pandangan-pandangan yang bisa memotivasi umat untuk mengembangkan
kewirausahaan.
Al-Quran dan Hadist mengandung banyak doktrin ajaran untuk melakukan kegiatan
ekonomi. Untuk jangka waktu yang panjang dalam sejarah, para pedagang muslim melakukan
syiar agama dengan sekaligus berdagang. Di Indonesia suku-suku yang kuat tradisi
keagamaannya, justru kuat pula tradisi perdagangannya. Suku-suku Banjar, Minangkabau,
Makasar, dan Bugis, adalah suku-suku yang kuat pemahaman dan pengamalan keagamaannya dan
juga dikenal sebagai niagawan yang piawai. Demikian pula pengusaha-pengusaha industri kretek,
batik, dan kerajinan perak di beberapa daerah di Jawa, berasal dari keluarga-keluarga yang meng-
hayati dan menerapkan secara lebih sungguh-sungguh ajaran dan nilai -nilai agama Islam dalam
kehidupan pribadi dan sosialnya.
Tentunya karena sumber inspirasinya ada, yaitu ajaran agama yang mendasar, dan
tradisinya juga ada, maka menghidupkan kembali dan menghangatkan jiwa dan semangat
kewirausahaan ini, bukanlah pekerjaan yang terlalu sulit.
Tantangan yang kita hadapi di masa depan dengan globalisasi adalah membangun
wirausaha bangsa kita sendiri, terutama dari kalangan umat Islam yang merupakan mayoritas
bangsa Indonesia. Kita membutuhkan pengusaha-pengusaha yang tangguh yang mampu bersaing
baik di pasar internasional apalagi di pasar kita sendiri.
Tatanan dunia usaha kita berat ke atas, artinya lapisan pengusaha besar yang jumlahnya
sedikit, menguasai aset produktif yang besar, dan lapisan usaha kecil yang besar jumlahnya amat
lemah kedudukannya. Lapisan usaha menengah kita masih kecil sekali dan belum kuat
peranannya. Padahal struktur dunia usaha yang kukuh menghendaki lapisan usaha menengah
yang kuat sebagai tulang punggungnya, saling menyangga dengan lapisan usaha kecil yang kuat,
dan usaha besar yang mempunyai rasa tanggungjawab dan solidaritas sosial yang besar pula.
Pesantren diharapkan dapat melahirkan wirausahawan yang dapat mengisi lapisan-lapisan
usaha kecil dan menengah yang handal dan mandiri itu. Sebenarnya yang diperlukan hanyalah
menghidupkan kembali tradisi yang kuat di masa lampau dengan penyesuaian pada kondisi masa
kini dan pada tantangan masa depan.
Etos Kerja
Islam adalah agama yang sangat mementingkan kerja atau amal. Islam tidak
menghendaki bahkan membenci orang yang bermalas-malasan. Bahkan untuk menunjukkan
betapa pentingnya kerja atau amal itu, Al-Quran seringkali menggandengkan kata iman dengan
kata amal . Bahkan saya diberitahu oleh seorang ahli agama, bahwa setiap kita menemukan ayat
yang menyebutkan kata iman saja, maka yang dimaksud adalah iman dan amal .
6
Namun dalam kenyataan, dalam masyarakat kita etos kerja ini belum sepenuhnya
membudaya. Artinya, budaya kerja sebagian masyarakat kita tidak sesuai untuk kehidupan
modern. Tentunya ini tidak bisa dihubungkan dengan budaya Islam, karena budaya Islam
menghendaki orang bekerja keras. Keadaan tersebut dapat lebih diterangkan sebagai
pencerminan budaya masyarakat agraris tradisional di bagian mana pun di dunia dan apa pun
agama y ang dianutnya.
Dalam kehidupan agraris tradisional memang waktu cukup lapang karena orang berbicara
dalam dimensi musim, atau bulan, atau minggu. Akan tetapi dalam jaman industri, hari bahkan
jam saja sudah terlalu panjang sebagai ukuran. Orang berbicara bahkan tidak dalam ukuran
menit, tetapi detik, dan sepersekian detik.
6
Pandangan yang secara tegas mendorong manusia untuk mengembangkan etos kerja itu bersumber
pada firman Allah di dalam Al-Quran (13 : 11), yang terjemahan bebasnya adalah “.....Sesungguhnya
Allah SWT tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sampai mereka sendiri mengubah apa yang
terdapat dalam diri mereka sendiri (yakni motivasi, tekad, dan usaha mereka) …..”. www.ginandjar.com
6
Tantangan bagi kita sekarang adalah “membangunkan” umat kita dari “tidurnya”, bahwa
sekarang jaman sudah berbeda, dan ukuran-ukuran kerja juga sudah berbeda. Bekerja keras
sekarang dengan pada jaman agraris tradisional sudah berbeda. Meskipun kita hidup di sektor
pertanian sekalipun, penanganannya tidak lagi boleh secara tradisional, tetapi harus secara
industri, dengan budaya industri, dan dengan disiplin kerja industri, bukan disiplin kerja
tradisional.
Pesantren, dimulai dengan lingkungannya sendiri, harus menggugah masyarakat untuk
membangun budaya kerja yang sesuai dan menjadi tuntutan kehidupan modern, yang waktu
adalah faktor yang paling menentukan dan merupakan sumber daya yang paling berharga.
Sikap Kemandirian
Budaya modern menuntut seseorang untuk hidup mandiri. Apalagi suasana persaingan
yang sangat menonjol dalam zaman modern ini memaksa setiap orang untuk memiliki kompetensi
tertentu agar bisa bersaing dan dengan demikian dapat hidup secara bermartabat di tengah-tengah
masyarakat. Hanya pribadi -pribadi yang punya watak kemandirian saja bisa hidup dalam
masyarakat yang makin sarat dengan persaingan.
Kemandirian teramat sentral dalam pandangan bangsa Indonesia mengenai pembangunan.
Pada waktu berbicara mengenai kualitas manusia, maka ciri pokok yang digambarkan sebagai
kualitas yang dikehendaki adalah maju dan mandiri.
Suatu bangsa atau masyarakat dapat dikatakan mandiri apabila bangsa atau masyarakat itu
mampu mewujudkan kehidupan yang sejajar dan sederajat dengan bangsa lain dengan mengan-
dalkan pada kemampuan dan kekuatan sendiri. Ditinjau dari aspek ekonomi ini berarti
pembangunan makin mengandalkan sumber-sumber yang dimiliki dan berhasil dikembangkan
sendiri. Bangsa yang mandiri adalah bangsa yang mampu menghadapi segala tantangan, mampu
mengambil keputusan sendiri serta mampu menentukan apa yang terbaik bagi dirinya, dan yang
secara umum memiliki daya tahan terhadap gejolak-gejolak.
Bangsa yang mandiri harus terdiri dari manusia-manusia individu yang mandiri. Mandiri
bukan berarti menyendiri tetapi tidak menjadi beban orang lain atau masyarakatnya bahkan dapat
membantu memperkuat masyarakatnya. Kemandirian adalah konsep hidup bermasyarakat dan
bukan hidup menyendiri.
Oleh karena itu, kemandirian selain merupakan ukuran kemampuan, yaitu perkembangan
yang dicapai sebagai hasil dari upaya peningkatan diri, baik pribadi, masyarakat, maupun bangsa,
juga berkaitan dengan sikap. Kalau kita berbicara mengenai kualitas manusia yang maju dan
mandiri, sesungguhnya yang dimaksudkan adalah manusia yang bersikap budaya maju dan
bersikap budaya mandiri, di samping memiliki ciri -diri dan kemampuan yang dapat diukur dan
dibandingkan dengan orang, masyarakat atau bangsa lain. Dengan demikian kemandirian
merupakan masalah budaya.
Sistem pengajaran pesantren yang menggunakan metode belajar sorogan (belajar secara
individual mengenai bidang-bidang ilmu keagamaan tertentu), tanpa disadari dapat memupuk
sikap dan watak kemandirian para santri. Tradisi ini meskipun terkesan “kuno” di tengah-tengah
sistem persekolahan modern, sebenarnya ada sisi positifnya dari sudut penglihatan itu.
Dalam berbicara mengenai kemandirian, kembali kita berbicara mengenai sikap budaya.
Pesantren memiliki posisi yang strategis karena keterkaitannya yang erat dengan masyarakatnya,
dan dengan demi kian dapat menjadi andalan dalam membentuk nilai -nilai yang kita kehendaki
dalam kebudayaan bangsa kita.
www.ginandjar.com
7
Wawasan Kebangsaan
Proses modernisasi, telah menghantarkan umat manusia sampai pada sebuah tahapan
kehidupan baru, yaitu era globalisasi. Interaksi antarbangsa yang melampaui batas -batas wilayah
negara memungkinkan terjadinya perjumpaan nilai-nilai budaya baru, yang dibawa oleh setiap
bangsa. Pergaulan antarbangsa yang terbuka itu merupakan wahana bagi masuknya nilai budaya
asing, yang jelas banyak positifnya tetapi ada juga yang tidak sejalan dengan nilai budaya dan jati
diri bangsa Indonesia sendiri.
Untuk menjaga ketahanan budaya bangsa, kita perlu meneguhkan dan memantapkan
wawasan kebangsaan kita. Peneguhan dan pemantapan wawasan kebangsaan ini, selain untuk
menghadapi tantangan era globalisasi, juga agar keutuhan kita sebagai bangsa tetap terpelihara
dan terjaga dengan baik. Pembangunan hanya dapat berjalan dengan baik dalam suasana
kekeluargaan dan kegotongroyongan, dalam semangat persatuan dan kesatuan. Bangsa yang
terpecah-belah dan tidak bisa rukun, tidak mungkin dapat membangun dirinya dan
menyejahterakan rakyatnya.
Realitas bangsa Indonesia yang bersifat sangat majemuk, baik dari segi agama, etnis,
bahasa, budaya, maupun adat istiadat ini, membutuhkan perekat yang kuat agar tidak terancam
disintegrasi. Kita meyakini bahwa yang bisa menjadi kekuatan perekat itu adalah wawasan
kebangsaan, yang menurut bahasa pesantren mungkin disebut ukhuwwah wathoniyah. Dengan
wawasan kebangsaan atau ukhuwwah wathoniah kita memandang masyarakat Indonesia sebagai
sebuah kesatuan sosial, ekonomi, dan politik yang utuh, meskipun memiliki keragaman agama,
etnis, bahasa, budaya dan adat -istiadat.
Penanaman nilai ukhuwwah wathoniyah di lingkungan pondok pesantren sejak awal
merupakan perisai yang kuat untuk mempertahankan keutuhan bangsa. Mungkin ini akan
merupakan salah satu kontribusi terpenting dan amat berharga dari pesantren dalam membangun
bangsa yang utuh dan bersatu.
(7) Solidaritas Sosial
Unsur pokok persatuan dan kesatuan suatu bangsa adalah solidari tas sosial. Bangsa yang
lemah solidaritas sosialnya akan mudah retak persatuan dan kesatuannya. Wujud solidaritas sosial
adalah kepedulian pada kesenjangan yang ada dalam masyarakat dan upaya untuk turut
mengatasinya.
Kesenjangan yang makin melebar, dapat melahirkan kecemburuan sosial dan dapat
mengganggu integritas kita sebagai bangsa. Kita belajar saja dari pengalaman negara -negara lain.
Faktor yang paling dapat mengganggu stabilitas dan keutuhan bangsa kita, menurut pandangan
saya, bukanlah lagi primordialisme, seperti agama dan suku, karena itu sudah lama kita lewati,
melainkan persoalan kesenjangan ekonomi.
Betapa pun majunya negara kita, kalau yang maju hanya satu bagian kecil saja, sedangkan
lapisan terbesarnya makin jauh tertinggal, ancaman perpecahan akan menjadi lebih besar
dibandingkan dengan pada saat kita semua sama-sama kekurangan.
Adalah suatu kenyataan bahwa pesantren pada umumnya berada di lingkungan
masyarakat yang tertinggal. Karena memang dari segi jumlahnya, masyarakat yang miskin dan
tertinggal sebagai besar adalah umat Islam. Dengan demikian, masalah kemiskinan dan
kesenjangan merupakan realitas kehidupan kita sehari -hari. Oleh karena itu, kami di lingkungan
perencanaan melihat bahwa pesantren dapat menjadi wahana dalam upaya mengatasi keter-
tinggalan yang menjadi penyebab dari ketimpangan dan kemiskinan.
Kerja sama harus dikembangkan antara pemerintah dan pesantren untuk menggerakkan
ekonomi masyarakat di sekitar pesantren dengan menyadari betapa strategisnya kedudukan pesan-
tren di masyarakat. Demikian pula, harus dikembangkan pola-pola kemitraan yang efektif antara
dunia usaha dan pesantren untuk mengembangkan keterkaitan (linkages) yang menguntungkan
kedua belah pihak. Gagasan-gagasan ini mungkin masih memerlukan pemikiran yang lebih www.ginandjar.com
8
dalam, guna menemukan formatnya yang tepat, karena dalam upaya ini kemandirian pesantren
harus tetap dipertahankan.
Saya merasa yakin bahwa pesantren dapat banyak membantu dalam upaya kita
menghapuskan kemiskinan dan mengurangi kesenjangan, baik melalui kegiatan pendampingan
dan advokasi, maupun secara langsung terlibat dalam kegiatan pemberdayaan ekonomi rakyat.
IV. Penutup
Demikianlah beberapa pokok pikiran yang dapat saya kemukakan, terutama berkenaan
dengan reaktualisasi peran pesantren untuk berkiprah dalam membangun kehidupan bangsa yang
maju dan mandiri.
Agama Islam menganjurkan kepada kita untuk bersikap terbuka terhadap hal-hal baru
yang bernilai positif, dan mendorong kita bergerak ke arah yang lebih baik. Dengan mohon
permakluman sekaligus mohon izin, saya ingin mengutip ungkapan bijak (hikmah) – yang selalu
diajarkan di pesantren – yang menganjurkan sikap terbuka tersebut, yaitu “memelihara yang lama
yang baik, dan mengambil yang baru yang lebih baik.”
Dari sejarahnya kita ketahui bahwa pesantren adalah lembaga yang telah memelopori
pembaharuan dalam masyarakat. Kepeloporan itulah yang ingin kita bangkitkan kembali -- kita
reaktualisasikan -- karena dalam menghadapi era global yang penuh tantangan, tetapi juga penuh
harapan, kita harus memobilisasikan dan mengonsolidasikan segenap potensi yang ada pada kita.
Salah satu potensi itu, adalah pesantren. Lebih daripada itu, mengingat kedudukannya dalam
masyarakat, maka mengembangkan pesantren agar menjadi pelopor pembaharuan dan
modernisasi merupakan langkah yang strategis.
Tidak lain harapan saya, semoga pandangan-pandangan saya ini dapat merangsang
pemikiran dan ditanggapi dengan positif.
Wabillaahit taufiq walhidayah.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Tue Aug 01, 2023 9:56 pm by wisatasemarang
» Portable STATA 18 Crack Full Version
Thu May 11, 2023 5:24 pm by wisatasemarang
» NVivo 12 Crack Full version
Mon Jan 30, 2023 11:16 am by wisatasemarang
» Tutorial Difference In difference (DID (Diff-in-Diff) With Eviews 13
Thu Nov 03, 2022 6:24 am by wisatasemarang
» Online Workshop Smart PLS Minggu, 01 Oktober 2022
Sat Sep 17, 2022 11:35 am by wisatasemarang
» kumpulan ebook tentang robot
Fri Jan 02, 2015 10:04 pm by kyuru
» MANTRA PELET
Wed May 16, 2012 3:31 am by orlandojack
» book love of spell
Sat Mar 24, 2012 8:08 pm by rifqi as
» attraction Formula
Sat Mar 24, 2012 7:09 pm by rifqi as