Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

ingin bergabung dengan elrakyat.tk klik pendaftaran. jika anda sudah pernah mendaftar silakan login. jangan lupa ajak kawan-kawanmu ke mari , dan jadilah top poster di forum kita

Join the forum, it's quick and easy

Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

ingin bergabung dengan elrakyat.tk klik pendaftaran. jika anda sudah pernah mendaftar silakan login. jangan lupa ajak kawan-kawanmu ke mari , dan jadilah top poster di forum kita

Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

Would you like to react to this message? Create an account in a few clicks or log in to continue.
Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

salah satu forum terbesar tempat kita bernostalgia

Login

Lupa password?

Our traffic

info rakyat

Sun Oct 31, 2010 9:05 pm by admin

---------------
PEMBERITAHUAN....

SF ZONA RELIGI SEKARANG KAMI PINDAH KE [You must be registered and logged in to see this link.] ANDA BISA BERPARTISIPASI DAN MENJADI MODERATOR SESUAI PERMINTAAN ANDA DENGAN REQUEST VIA SMS NO ADMIN 081945520865


Sekilas Info

Sun Jun 27, 2010 2:44 pm by admin

kabar gembira, forum lentera-rakyat mulai hari ini juga bisa diakses melalui [You must be registered and logged in to see this link.]


    lelaki dan sekuntum kamboja

    admin
    admin
    Admin
    Admin


    Zodiac : Virgo Jumlah posting : 688
    Join date : 19.03.10
    Age : 37
    Lokasi : Malang-Indonesia

    lelaki dan sekuntum kamboja Empty lelaki dan sekuntum kamboja

    Post by admin Tue Jun 15, 2010 12:59 pm

    Lelaki dan Sekuntum
    Kamboja








    Cerpen M. Arman AZ

    Apakah yang menarik di sebuah tempat bernama kuburan, selain pohon-pohon
    kamboja, makam-makam yang bertaburan, lirih angin mencekam, dan sunyi menikam?
    Siapa pula yang mau menyambangi tempat beraroma angker itu, kecuali pada
    saat-saat tertentu seperti hari raya atau penguburan jenazah?

    Tapi hampir tiga bulan belakangan sering kulihat sosok lelaki itu di sana.
    Termangu di sebuah nisan berlapis marmer biru di pojok kiri areal pemakaman.
    Seingatku, itu makam seorang wanita. Aku yang menggali kuburnya dua tahun lalu.
    Entah apa hubungan si lelaki dan penghuni makam itu.

    Dia masih muda. Kurasa umurnya di atas dua puluh tahun. Tubuhnya kurus
    jangkung. Kalau berjalan agak membungkuk. Rambut ikal dan jambang memenuhi
    wajahnya.

    Kehadirannya tak bisa diterka. Kadang seminggu sekali, dua minggu sekali, malah
    pernah dua hari berturut-turut kupergoki dia sedang ziarah. Mungkin orang lain
    tak akan percaya jika kuceritakan hal ini. Tapi begitulah kenyataannya.
    Kebiasaan unik lelaki itu membuatku cepat hafal wajah dan gerak-geriknya. Anak
    istriku pun tak curiga lagi jika melihatnya di kejauhan, berjingkat melewati
    nisan demi nisan, sebelum tiba di makam itu.

    Pernah suatu pagi, ketika membuka pintu belakang untuk menaburi jagung di
    kandang ayam, aku kaget melihat dia sudah di sana. Matahari belum utuh
    menyembul dari ufuk timur, tapi dia seperti tak kenal waktu. Ketika orang-orang
    berangkat kerja, ke pasar, atau sekolah, dia malah ke kuburan. Kuamati
    gerak-geriknya dari balik seng lapuk. Dia sedang menyingkirkan daun-daun kering
    yang berserak di atas makam dan mencabuti rumput liar yang tumbuh di
    sekelilingnya. Setelah bersih, ia duduk bersimpuh. Hening. Tak lama kemudian,
    terdengar lantunan ayat suci menggeletarkan udara pagi.

    Terakhir kali aku melihatnya minggu lalu. Cuaca ramah waktu itu. Angin
    berhembus sepoi. Sinar matahari senja menyibak rindang pohon kamboja. Jatuh di
    tubuhnya berupa pendar-pendar cahaya dan siluet dedaunan. Seekor kupu-kupu
    kuning, entah dari mana datangnya, terbang rendah sebelum hinggap di sudut batu
    nisan. Dari jendela kamar, mataku tak berkedip merekam pemandangan itu.
    ***
    Aku lahir dan besar di gubuk ini. Dindingnya terbuat dari kepingan-kepingan
    kayu plus tripleks. Lantai semen. Atap seng karatan. Kalau hujan, kami sibuk
    menadahi tetesan air dari lubang atap dengan ember atau baskom. Antara ruang
    tamu dan ruang makan disekat sebuah lemari tua. Di sebelah kanan, dua kamar
    tidur sempit pengap. Dapur dan kamar mandi teronggok di belakang, dikelilingi
    seng-seng bekas.

    Ada cermin oval yang menyatu dengan lemari baju di kamar depan. Aku jarang
    menggunakannya. Bukan karena malu melihat uban tumbuh bagai cendawan di musim
    hujan, mata cekung, atau gurat-gurat usia di dahi. Jika menatap wajahku dalam
    cermin, aku seperti melihat kegetiran-kegetiran yang menahun. Setengah abad
    lebih kujalani hidup dengan berkelahi melawan takdir sebagai orang melarat.

    Orang-orang mengenalku sebagai kuncen kuburan. Kadang aku bingung, kenapa
    kuburan seluas itu dilimpahkan padaku untuk mengurusnya? Apa karena rumahku
    dekat kuburan? Atau tugas itu diwariskan turun-temurun setelah bapak meninggal?


    Aku kerja serabutan untuk menghidupi anak istri. Tukang loak, penggali sumur,
    kuli bangunan, dan kerja kasar lainnya silih berganti kulakoni. Asal asap dapur
    tetap mengepul, aku sudah bersyukur. Istriku berjualan pecel di depan rumah.
    Hasilnya pas-pasan. Untuk biaya sekolah empat anak kami, harus putar otak lebih
    keras lagi.

    Rezeki macam itu datang jika ada orang meninggal. Ada yang tergopoh-gopoh
    mencariku, minta digalikan liang lahat selekas mungkin. Walau sedih mendengar
    kabar duka itu, tapi jujur saja, hatiku girang. Terbayang upah gali makam yang
    bisa ratusan ribu. Tentu saja tak setiap hari ada yang meninggal. Hari-hari
    berikutnya, aku blingsatan lagi. Kehabisan uang untuk menutupi kebutuhan
    sehari-hari. Mau pinjam tetangga, jelas malu. Hutang masih menumpuk. Saat-saat
    terpojok itulah, pernah tercetus doaku, "Semoga ada yang mati, agar aku
    bisa dapat uang." Entahlah, rasanya doa itu keterlaluan. Aku seperti
    mengail rezeki di tengah air mata orang-orang.

    Kalau otakku buntu, tak ada jalan keluar, aku pergi ke kuburan. Duduk terpekur
    di salah satu nisan atau di bawah pohon kamboja. Rasanya tenang dan damai.
    Hembus angin mengalirkan kenangan. Semasa kecil dulu, mendiang orang tuaku
    sering melarang main di kuburan sore-sore. Aku dijejali cerita-cerita seram
    tentang hantu, kuntilanak, pocong, wewe gombel, dan sebagainya. Tapi,
    syukurlah, seumur hidupku belum pernah bertemu mahluk-mahluk itu.

    Menjelang bulan puasa dan ketika hari raya Lebaran tiba, peziarah berdatangan
    untuk nyekar. Mobil-mobil licin mengkilap berderet di depan gerbang kuburan.
    Kata bapak, banyak juga yang datang dari luar kota. Saat itu aku diizinkan
    bekerja membersihkan makam-makam yang kotor. Aku mengantongi uang banyak waktu
    itu.

    Roda hidup terus berputar. Semua yang kualami dulu kini terulang kembali.
    Keempat anakku sering kumarahi agar jangan main layangan atau petak umpet di
    kuburan. Menjelang bulan puasa dan saat Lebaran, kulepas mereka untuk cari uang
    jajan sendiri. Selebihnya, kuburan ini kembali diselimuti sepi. Ngelangut dan
    lirih.
    ***
    Jamaah bubar dan berpencar usai salat Jumat. Aku kaget melihat sosok anak muda
    itu di tempat penitipan sandal. Ia sedang antre di kerumunan. Mungkin dalam
    masjid tadi dia duduk di deretan belakang hingga aku tak melihatnya.
    Penasaranku kambuh. Kutunggu dia keluar masjid. Apakah siang ini dia mau
    ziarah? Jarak masjid dan kuburan tak seberapa jauh, bisa dikerjakannya sekali
    jalan.

    Dia melintas di depanku. Timbul niat untuk mengetahui ke mana ia akan pergi.
    Aku berjalan di belakangnya. Langkahnya ringan, sambil sesekali menabuhi
    daun-daun. Sementara dalam perutku ada genderang ditabuh. Kuayun langkah lebih
    cepat, hingga bersisian dengannya. Dia menengok dan tersenyum ramah. Aha,
    kupikir ini awal yang bagus.

    "Mau ziarah, Dik?!" tanyaku datar dan santun. Roman wajahnya berubah.

    "Eeh, iya. Kok, Bapak tahu?" Kujelaskan bahwa rumahku persis di
    sebelah kanan kuburan. Aku tahu jika ada yang ziarah. Dia mengangguk-angguk,
    tak menyangka selama ini ada yang memperhatikannya.

    Tanpa kuminta, dia mulai bercerita. Namanya Sunu. Ia tinggal di kampung
    seberang. Makam itu adalah makam ibunya yang meninggal dua tahun lalu. Di
    sisa-sisa napasnya, beliau minta dikuburkan dekat orang tuanya, kakek dan nenek
    Sunu. Lunas sudah pertanyaan-pertanyaan yang menumpuk di benakku selama ini.

    "Kita lewat sini saja, Dik." Aku menunjuk sebuah gang. "Ini
    jalan pintas menuju rumah masa depan," candaku. "Rumah Bapak di ujung
    gang ini. Lain kali, lewat sini saja untuk menghemat waktu." Tanpa banyak
    tanya, Sunu mengikuti langkahku.

    Kami menyusuri gang sempit berkelok-kelok. Kuajak Sunu singgah sesampainya di
    gubukku. Lapar sudah di puncaknya, tapi dia menolak waktu kutawari makan
    bersama. Setelah istriku ikut membujuk, akhirnya Sunu luluh juga.

    Usai makan siang, kami istirahat di depan gubuk. Kuburan di sebelah kanan
    kelihatan jelas dari tempat kami duduk. Hanya dibatasi sepetak tanah. Kami
    sempat ngobrol ngalor ngidul, sebelum Sunu mengisahkan latar belakang dirinya.

    "Saya sangat berdosa pada ibu." Pandangannya menitik hampa ke tanah.
    Ada induk ayam dan tiga ekor anaknya yang menciap-ciap minta makan.
    "Semasa hidupnya, saya banyak menyakiti hati ibu. Mabuk, bikin onar di
    kampung, pinjam uang ke sana-kemari dengan alasan dibuat-buat, hutang rokok
    numpuk di warung." Kulihat Sunu membuang napas gelisah, kemudian
    menyambung ceritanya, "Akhirnya orang-orang datang ke rumah, menagih
    langsung pada ibu. Beliau banyak menanggung malu. Sudah sering saya dinasehati,
    bahkan pernah dicaci maki, tapi dasar saya anak tak tahu diri."

    Aku bengong. Entah harus percaya atau tidak pada ceritanya. Perkenalan kami
    baru seumur jagung, tapi dia enteng saja menabur keluh kesah. Sempat terbersit
    curiga. Zaman sekarang banyak penipu yang mengincar mangsanya tanpa pandang
    bulu. Aku harus waspada.

    Sunu terus saja berceloteh. Tentang liontin berlian ibunya yang dicuri lalu
    dijual murah, padahal benda itu warisan mendiang kakeknya. Dia juga merasa
    sebagai biang keladi yang menyebabkan ibunya cepat meninggal. Tentang
    kebiasaannya ziarah untuk mendoakan ibu sekaligus menebus dosanya. Tentang
    hidupnya yang kini lontang-lantung. Ia malu pulang ke rumah. Namanya sudah
    tercemar. Tak ada lagi yang mempercayainya. Orang-orang yang dulu lengket di
    sisinya saat ia banyak uang, kini hilang entah ke mana. Juga tentang niatnya
    merantau dan kerja apa saja asal halal.
    ***
    Senja ramah. Angin sepoi. Sinar matahari tak begitu menyengat. Aku dan Sunu
    duduk berhadapan di sisi makam, membaca doa bersama. Lantunan suara kami melayang
    dibawa angin. Sepasang kupu-kupu kuning terbang rendah. Meliuk-liuk lalu
    hinggap di batu nisan. Aku tercekat. Kulirik Sunu, namun dia seperti tak
    menyadari kehadiran sepasang mahluk lemah itu.

    Usai berdoa, Sunu pamit. Ia menjabat tanganku seraya mengucapkan terima kasih.
    Sepintas kulihat matanya memerah. Aku termangu, haru melepasnya. Ia berjingkat
    melewati nisan demi nisan. Maghrib menjelang ketika Sunu telah lenyap dari
    pemakaman. Ah, seandainya aku ada uang, tentu sudah kuselipkan di saku bajunya.

    Entah ke mana tujuan Sunu. Entah di mana tidurnya malam ini. Entah bagaimana
    dia makan. Aku merasa bersalah. Seharusnya jangan terlalu cepat mencurigai anak
    itu. Aku menyesal hanya jadi pendengar yang baik saat dia bercerita, padahal
    apa susahnya memberi nasehat agar dia jangan terlalu lama menyesali keadaan,
    agar dia bangkit menebus kesalahan, agar dia rajin mendoakan almarhumah ibunya.
    Ah, mudah-mudahan kami bisa bertemu lagi, suatu saat nanti, di kuburan ini.

    Dua kupu-kupu kuning telah raib dari tempatnya. Angin mendesau lirih. Sekuntum
    bunga kamboja gugur dari tangkainya. Bergulir di pusara yang kering. Kupandangi
    bunga putih bersih itu. Tiba-tiba aku terhenyak menatap tulisan di batu nisan.
    Di bawah nama almarhumah ibu Sunu, terpahat tanggal dan bulan kelahiran yang
    sama persis dengan kematiannya.
    Bandar Lampung, April 04

      Waktu sekarang Sat Nov 23, 2024 6:28 pm