Lelaki dan Sekuntum
Kamboja
Cerpen M. Arman AZ
Apakah yang menarik di sebuah tempat bernama kuburan, selain pohon-pohon
kamboja, makam-makam yang bertaburan, lirih angin mencekam, dan sunyi menikam?
Siapa pula yang mau menyambangi tempat beraroma angker itu, kecuali pada
saat-saat tertentu seperti hari raya atau penguburan jenazah?
Tapi hampir tiga bulan belakangan sering kulihat sosok lelaki itu di sana.
Termangu di sebuah nisan berlapis marmer biru di pojok kiri areal pemakaman.
Seingatku, itu makam seorang wanita. Aku yang menggali kuburnya dua tahun lalu.
Entah apa hubungan si lelaki dan penghuni makam itu.
Dia masih muda. Kurasa umurnya di atas dua puluh tahun. Tubuhnya kurus
jangkung. Kalau berjalan agak membungkuk. Rambut ikal dan jambang memenuhi
wajahnya.
Kehadirannya tak bisa diterka. Kadang seminggu sekali, dua minggu sekali, malah
pernah dua hari berturut-turut kupergoki dia sedang ziarah. Mungkin orang lain
tak akan percaya jika kuceritakan hal ini. Tapi begitulah kenyataannya.
Kebiasaan unik lelaki itu membuatku cepat hafal wajah dan gerak-geriknya. Anak
istriku pun tak curiga lagi jika melihatnya di kejauhan, berjingkat melewati
nisan demi nisan, sebelum tiba di makam itu.
Pernah suatu pagi, ketika membuka pintu belakang untuk menaburi jagung di
kandang ayam, aku kaget melihat dia sudah di sana. Matahari belum utuh
menyembul dari ufuk timur, tapi dia seperti tak kenal waktu. Ketika orang-orang
berangkat kerja, ke pasar, atau sekolah, dia malah ke kuburan. Kuamati
gerak-geriknya dari balik seng lapuk. Dia sedang menyingkirkan daun-daun kering
yang berserak di atas makam dan mencabuti rumput liar yang tumbuh di
sekelilingnya. Setelah bersih, ia duduk bersimpuh. Hening. Tak lama kemudian,
terdengar lantunan ayat suci menggeletarkan udara pagi.
Terakhir kali aku melihatnya minggu lalu. Cuaca ramah waktu itu. Angin
berhembus sepoi. Sinar matahari senja menyibak rindang pohon kamboja. Jatuh di
tubuhnya berupa pendar-pendar cahaya dan siluet dedaunan. Seekor kupu-kupu
kuning, entah dari mana datangnya, terbang rendah sebelum hinggap di sudut batu
nisan. Dari jendela kamar, mataku tak berkedip merekam pemandangan itu.
***
Aku lahir dan besar di gubuk ini. Dindingnya terbuat dari kepingan-kepingan
kayu plus tripleks. Lantai semen. Atap seng karatan. Kalau hujan, kami sibuk
menadahi tetesan air dari lubang atap dengan ember atau baskom. Antara ruang
tamu dan ruang makan disekat sebuah lemari tua. Di sebelah kanan, dua kamar
tidur sempit pengap. Dapur dan kamar mandi teronggok di belakang, dikelilingi
seng-seng bekas.
Ada cermin oval yang menyatu dengan lemari baju di kamar depan. Aku jarang
menggunakannya. Bukan karena malu melihat uban tumbuh bagai cendawan di musim
hujan, mata cekung, atau gurat-gurat usia di dahi. Jika menatap wajahku dalam
cermin, aku seperti melihat kegetiran-kegetiran yang menahun. Setengah abad
lebih kujalani hidup dengan berkelahi melawan takdir sebagai orang melarat.
Orang-orang mengenalku sebagai kuncen kuburan. Kadang aku bingung, kenapa
kuburan seluas itu dilimpahkan padaku untuk mengurusnya? Apa karena rumahku
dekat kuburan? Atau tugas itu diwariskan turun-temurun setelah bapak meninggal?
Aku kerja serabutan untuk menghidupi anak istri. Tukang loak, penggali sumur,
kuli bangunan, dan kerja kasar lainnya silih berganti kulakoni. Asal asap dapur
tetap mengepul, aku sudah bersyukur. Istriku berjualan pecel di depan rumah.
Hasilnya pas-pasan. Untuk biaya sekolah empat anak kami, harus putar otak lebih
keras lagi.
Rezeki macam itu datang jika ada orang meninggal. Ada yang tergopoh-gopoh
mencariku, minta digalikan liang lahat selekas mungkin. Walau sedih mendengar
kabar duka itu, tapi jujur saja, hatiku girang. Terbayang upah gali makam yang
bisa ratusan ribu. Tentu saja tak setiap hari ada yang meninggal. Hari-hari
berikutnya, aku blingsatan lagi. Kehabisan uang untuk menutupi kebutuhan
sehari-hari. Mau pinjam tetangga, jelas malu. Hutang masih menumpuk. Saat-saat
terpojok itulah, pernah tercetus doaku, "Semoga ada yang mati, agar aku
bisa dapat uang." Entahlah, rasanya doa itu keterlaluan. Aku seperti
mengail rezeki di tengah air mata orang-orang.
Kalau otakku buntu, tak ada jalan keluar, aku pergi ke kuburan. Duduk terpekur
di salah satu nisan atau di bawah pohon kamboja. Rasanya tenang dan damai.
Hembus angin mengalirkan kenangan. Semasa kecil dulu, mendiang orang tuaku
sering melarang main di kuburan sore-sore. Aku dijejali cerita-cerita seram
tentang hantu, kuntilanak, pocong, wewe gombel, dan sebagainya. Tapi,
syukurlah, seumur hidupku belum pernah bertemu mahluk-mahluk itu.
Menjelang bulan puasa dan ketika hari raya Lebaran tiba, peziarah berdatangan
untuk nyekar. Mobil-mobil licin mengkilap berderet di depan gerbang kuburan.
Kata bapak, banyak juga yang datang dari luar kota. Saat itu aku diizinkan
bekerja membersihkan makam-makam yang kotor. Aku mengantongi uang banyak waktu
itu.
Roda hidup terus berputar. Semua yang kualami dulu kini terulang kembali.
Keempat anakku sering kumarahi agar jangan main layangan atau petak umpet di
kuburan. Menjelang bulan puasa dan saat Lebaran, kulepas mereka untuk cari uang
jajan sendiri. Selebihnya, kuburan ini kembali diselimuti sepi. Ngelangut dan
lirih.
***
Jamaah bubar dan berpencar usai salat Jumat. Aku kaget melihat sosok anak muda
itu di tempat penitipan sandal. Ia sedang antre di kerumunan. Mungkin dalam
masjid tadi dia duduk di deretan belakang hingga aku tak melihatnya.
Penasaranku kambuh. Kutunggu dia keluar masjid. Apakah siang ini dia mau
ziarah? Jarak masjid dan kuburan tak seberapa jauh, bisa dikerjakannya sekali
jalan.
Dia melintas di depanku. Timbul niat untuk mengetahui ke mana ia akan pergi.
Aku berjalan di belakangnya. Langkahnya ringan, sambil sesekali menabuhi
daun-daun. Sementara dalam perutku ada genderang ditabuh. Kuayun langkah lebih
cepat, hingga bersisian dengannya. Dia menengok dan tersenyum ramah. Aha,
kupikir ini awal yang bagus.
"Mau ziarah, Dik?!" tanyaku datar dan santun. Roman wajahnya berubah.
"Eeh, iya. Kok, Bapak tahu?" Kujelaskan bahwa rumahku persis di
sebelah kanan kuburan. Aku tahu jika ada yang ziarah. Dia mengangguk-angguk,
tak menyangka selama ini ada yang memperhatikannya.
Tanpa kuminta, dia mulai bercerita. Namanya Sunu. Ia tinggal di kampung
seberang. Makam itu adalah makam ibunya yang meninggal dua tahun lalu. Di
sisa-sisa napasnya, beliau minta dikuburkan dekat orang tuanya, kakek dan nenek
Sunu. Lunas sudah pertanyaan-pertanyaan yang menumpuk di benakku selama ini.
"Kita lewat sini saja, Dik." Aku menunjuk sebuah gang. "Ini
jalan pintas menuju rumah masa depan," candaku. "Rumah Bapak di ujung
gang ini. Lain kali, lewat sini saja untuk menghemat waktu." Tanpa banyak
tanya, Sunu mengikuti langkahku.
Kami menyusuri gang sempit berkelok-kelok. Kuajak Sunu singgah sesampainya di
gubukku. Lapar sudah di puncaknya, tapi dia menolak waktu kutawari makan
bersama. Setelah istriku ikut membujuk, akhirnya Sunu luluh juga.
Usai makan siang, kami istirahat di depan gubuk. Kuburan di sebelah kanan
kelihatan jelas dari tempat kami duduk. Hanya dibatasi sepetak tanah. Kami
sempat ngobrol ngalor ngidul, sebelum Sunu mengisahkan latar belakang dirinya.
"Saya sangat berdosa pada ibu." Pandangannya menitik hampa ke tanah.
Ada induk ayam dan tiga ekor anaknya yang menciap-ciap minta makan.
"Semasa hidupnya, saya banyak menyakiti hati ibu. Mabuk, bikin onar di
kampung, pinjam uang ke sana-kemari dengan alasan dibuat-buat, hutang rokok
numpuk di warung." Kulihat Sunu membuang napas gelisah, kemudian
menyambung ceritanya, "Akhirnya orang-orang datang ke rumah, menagih
langsung pada ibu. Beliau banyak menanggung malu. Sudah sering saya dinasehati,
bahkan pernah dicaci maki, tapi dasar saya anak tak tahu diri."
Aku bengong. Entah harus percaya atau tidak pada ceritanya. Perkenalan kami
baru seumur jagung, tapi dia enteng saja menabur keluh kesah. Sempat terbersit
curiga. Zaman sekarang banyak penipu yang mengincar mangsanya tanpa pandang
bulu. Aku harus waspada.
Sunu terus saja berceloteh. Tentang liontin berlian ibunya yang dicuri lalu
dijual murah, padahal benda itu warisan mendiang kakeknya. Dia juga merasa
sebagai biang keladi yang menyebabkan ibunya cepat meninggal. Tentang
kebiasaannya ziarah untuk mendoakan ibu sekaligus menebus dosanya. Tentang
hidupnya yang kini lontang-lantung. Ia malu pulang ke rumah. Namanya sudah
tercemar. Tak ada lagi yang mempercayainya. Orang-orang yang dulu lengket di
sisinya saat ia banyak uang, kini hilang entah ke mana. Juga tentang niatnya
merantau dan kerja apa saja asal halal.
***
Senja ramah. Angin sepoi. Sinar matahari tak begitu menyengat. Aku dan Sunu
duduk berhadapan di sisi makam, membaca doa bersama. Lantunan suara kami melayang
dibawa angin. Sepasang kupu-kupu kuning terbang rendah. Meliuk-liuk lalu
hinggap di batu nisan. Aku tercekat. Kulirik Sunu, namun dia seperti tak
menyadari kehadiran sepasang mahluk lemah itu.
Usai berdoa, Sunu pamit. Ia menjabat tanganku seraya mengucapkan terima kasih.
Sepintas kulihat matanya memerah. Aku termangu, haru melepasnya. Ia berjingkat
melewati nisan demi nisan. Maghrib menjelang ketika Sunu telah lenyap dari
pemakaman. Ah, seandainya aku ada uang, tentu sudah kuselipkan di saku bajunya.
Entah ke mana tujuan Sunu. Entah di mana tidurnya malam ini. Entah bagaimana
dia makan. Aku merasa bersalah. Seharusnya jangan terlalu cepat mencurigai anak
itu. Aku menyesal hanya jadi pendengar yang baik saat dia bercerita, padahal
apa susahnya memberi nasehat agar dia jangan terlalu lama menyesali keadaan,
agar dia bangkit menebus kesalahan, agar dia rajin mendoakan almarhumah ibunya.
Ah, mudah-mudahan kami bisa bertemu lagi, suatu saat nanti, di kuburan ini.
Dua kupu-kupu kuning telah raib dari tempatnya. Angin mendesau lirih. Sekuntum
bunga kamboja gugur dari tangkainya. Bergulir di pusara yang kering. Kupandangi
bunga putih bersih itu. Tiba-tiba aku terhenyak menatap tulisan di batu nisan.
Di bawah nama almarhumah ibu Sunu, terpahat tanggal dan bulan kelahiran yang
sama persis dengan kematiannya.
Bandar Lampung, April 04
Kamboja
Cerpen M. Arman AZ
Apakah yang menarik di sebuah tempat bernama kuburan, selain pohon-pohon
kamboja, makam-makam yang bertaburan, lirih angin mencekam, dan sunyi menikam?
Siapa pula yang mau menyambangi tempat beraroma angker itu, kecuali pada
saat-saat tertentu seperti hari raya atau penguburan jenazah?
Tapi hampir tiga bulan belakangan sering kulihat sosok lelaki itu di sana.
Termangu di sebuah nisan berlapis marmer biru di pojok kiri areal pemakaman.
Seingatku, itu makam seorang wanita. Aku yang menggali kuburnya dua tahun lalu.
Entah apa hubungan si lelaki dan penghuni makam itu.
Dia masih muda. Kurasa umurnya di atas dua puluh tahun. Tubuhnya kurus
jangkung. Kalau berjalan agak membungkuk. Rambut ikal dan jambang memenuhi
wajahnya.
Kehadirannya tak bisa diterka. Kadang seminggu sekali, dua minggu sekali, malah
pernah dua hari berturut-turut kupergoki dia sedang ziarah. Mungkin orang lain
tak akan percaya jika kuceritakan hal ini. Tapi begitulah kenyataannya.
Kebiasaan unik lelaki itu membuatku cepat hafal wajah dan gerak-geriknya. Anak
istriku pun tak curiga lagi jika melihatnya di kejauhan, berjingkat melewati
nisan demi nisan, sebelum tiba di makam itu.
Pernah suatu pagi, ketika membuka pintu belakang untuk menaburi jagung di
kandang ayam, aku kaget melihat dia sudah di sana. Matahari belum utuh
menyembul dari ufuk timur, tapi dia seperti tak kenal waktu. Ketika orang-orang
berangkat kerja, ke pasar, atau sekolah, dia malah ke kuburan. Kuamati
gerak-geriknya dari balik seng lapuk. Dia sedang menyingkirkan daun-daun kering
yang berserak di atas makam dan mencabuti rumput liar yang tumbuh di
sekelilingnya. Setelah bersih, ia duduk bersimpuh. Hening. Tak lama kemudian,
terdengar lantunan ayat suci menggeletarkan udara pagi.
Terakhir kali aku melihatnya minggu lalu. Cuaca ramah waktu itu. Angin
berhembus sepoi. Sinar matahari senja menyibak rindang pohon kamboja. Jatuh di
tubuhnya berupa pendar-pendar cahaya dan siluet dedaunan. Seekor kupu-kupu
kuning, entah dari mana datangnya, terbang rendah sebelum hinggap di sudut batu
nisan. Dari jendela kamar, mataku tak berkedip merekam pemandangan itu.
***
Aku lahir dan besar di gubuk ini. Dindingnya terbuat dari kepingan-kepingan
kayu plus tripleks. Lantai semen. Atap seng karatan. Kalau hujan, kami sibuk
menadahi tetesan air dari lubang atap dengan ember atau baskom. Antara ruang
tamu dan ruang makan disekat sebuah lemari tua. Di sebelah kanan, dua kamar
tidur sempit pengap. Dapur dan kamar mandi teronggok di belakang, dikelilingi
seng-seng bekas.
Ada cermin oval yang menyatu dengan lemari baju di kamar depan. Aku jarang
menggunakannya. Bukan karena malu melihat uban tumbuh bagai cendawan di musim
hujan, mata cekung, atau gurat-gurat usia di dahi. Jika menatap wajahku dalam
cermin, aku seperti melihat kegetiran-kegetiran yang menahun. Setengah abad
lebih kujalani hidup dengan berkelahi melawan takdir sebagai orang melarat.
Orang-orang mengenalku sebagai kuncen kuburan. Kadang aku bingung, kenapa
kuburan seluas itu dilimpahkan padaku untuk mengurusnya? Apa karena rumahku
dekat kuburan? Atau tugas itu diwariskan turun-temurun setelah bapak meninggal?
Aku kerja serabutan untuk menghidupi anak istri. Tukang loak, penggali sumur,
kuli bangunan, dan kerja kasar lainnya silih berganti kulakoni. Asal asap dapur
tetap mengepul, aku sudah bersyukur. Istriku berjualan pecel di depan rumah.
Hasilnya pas-pasan. Untuk biaya sekolah empat anak kami, harus putar otak lebih
keras lagi.
Rezeki macam itu datang jika ada orang meninggal. Ada yang tergopoh-gopoh
mencariku, minta digalikan liang lahat selekas mungkin. Walau sedih mendengar
kabar duka itu, tapi jujur saja, hatiku girang. Terbayang upah gali makam yang
bisa ratusan ribu. Tentu saja tak setiap hari ada yang meninggal. Hari-hari
berikutnya, aku blingsatan lagi. Kehabisan uang untuk menutupi kebutuhan
sehari-hari. Mau pinjam tetangga, jelas malu. Hutang masih menumpuk. Saat-saat
terpojok itulah, pernah tercetus doaku, "Semoga ada yang mati, agar aku
bisa dapat uang." Entahlah, rasanya doa itu keterlaluan. Aku seperti
mengail rezeki di tengah air mata orang-orang.
Kalau otakku buntu, tak ada jalan keluar, aku pergi ke kuburan. Duduk terpekur
di salah satu nisan atau di bawah pohon kamboja. Rasanya tenang dan damai.
Hembus angin mengalirkan kenangan. Semasa kecil dulu, mendiang orang tuaku
sering melarang main di kuburan sore-sore. Aku dijejali cerita-cerita seram
tentang hantu, kuntilanak, pocong, wewe gombel, dan sebagainya. Tapi,
syukurlah, seumur hidupku belum pernah bertemu mahluk-mahluk itu.
Menjelang bulan puasa dan ketika hari raya Lebaran tiba, peziarah berdatangan
untuk nyekar. Mobil-mobil licin mengkilap berderet di depan gerbang kuburan.
Kata bapak, banyak juga yang datang dari luar kota. Saat itu aku diizinkan
bekerja membersihkan makam-makam yang kotor. Aku mengantongi uang banyak waktu
itu.
Roda hidup terus berputar. Semua yang kualami dulu kini terulang kembali.
Keempat anakku sering kumarahi agar jangan main layangan atau petak umpet di
kuburan. Menjelang bulan puasa dan saat Lebaran, kulepas mereka untuk cari uang
jajan sendiri. Selebihnya, kuburan ini kembali diselimuti sepi. Ngelangut dan
lirih.
***
Jamaah bubar dan berpencar usai salat Jumat. Aku kaget melihat sosok anak muda
itu di tempat penitipan sandal. Ia sedang antre di kerumunan. Mungkin dalam
masjid tadi dia duduk di deretan belakang hingga aku tak melihatnya.
Penasaranku kambuh. Kutunggu dia keluar masjid. Apakah siang ini dia mau
ziarah? Jarak masjid dan kuburan tak seberapa jauh, bisa dikerjakannya sekali
jalan.
Dia melintas di depanku. Timbul niat untuk mengetahui ke mana ia akan pergi.
Aku berjalan di belakangnya. Langkahnya ringan, sambil sesekali menabuhi
daun-daun. Sementara dalam perutku ada genderang ditabuh. Kuayun langkah lebih
cepat, hingga bersisian dengannya. Dia menengok dan tersenyum ramah. Aha,
kupikir ini awal yang bagus.
"Mau ziarah, Dik?!" tanyaku datar dan santun. Roman wajahnya berubah.
"Eeh, iya. Kok, Bapak tahu?" Kujelaskan bahwa rumahku persis di
sebelah kanan kuburan. Aku tahu jika ada yang ziarah. Dia mengangguk-angguk,
tak menyangka selama ini ada yang memperhatikannya.
Tanpa kuminta, dia mulai bercerita. Namanya Sunu. Ia tinggal di kampung
seberang. Makam itu adalah makam ibunya yang meninggal dua tahun lalu. Di
sisa-sisa napasnya, beliau minta dikuburkan dekat orang tuanya, kakek dan nenek
Sunu. Lunas sudah pertanyaan-pertanyaan yang menumpuk di benakku selama ini.
"Kita lewat sini saja, Dik." Aku menunjuk sebuah gang. "Ini
jalan pintas menuju rumah masa depan," candaku. "Rumah Bapak di ujung
gang ini. Lain kali, lewat sini saja untuk menghemat waktu." Tanpa banyak
tanya, Sunu mengikuti langkahku.
Kami menyusuri gang sempit berkelok-kelok. Kuajak Sunu singgah sesampainya di
gubukku. Lapar sudah di puncaknya, tapi dia menolak waktu kutawari makan
bersama. Setelah istriku ikut membujuk, akhirnya Sunu luluh juga.
Usai makan siang, kami istirahat di depan gubuk. Kuburan di sebelah kanan
kelihatan jelas dari tempat kami duduk. Hanya dibatasi sepetak tanah. Kami
sempat ngobrol ngalor ngidul, sebelum Sunu mengisahkan latar belakang dirinya.
"Saya sangat berdosa pada ibu." Pandangannya menitik hampa ke tanah.
Ada induk ayam dan tiga ekor anaknya yang menciap-ciap minta makan.
"Semasa hidupnya, saya banyak menyakiti hati ibu. Mabuk, bikin onar di
kampung, pinjam uang ke sana-kemari dengan alasan dibuat-buat, hutang rokok
numpuk di warung." Kulihat Sunu membuang napas gelisah, kemudian
menyambung ceritanya, "Akhirnya orang-orang datang ke rumah, menagih
langsung pada ibu. Beliau banyak menanggung malu. Sudah sering saya dinasehati,
bahkan pernah dicaci maki, tapi dasar saya anak tak tahu diri."
Aku bengong. Entah harus percaya atau tidak pada ceritanya. Perkenalan kami
baru seumur jagung, tapi dia enteng saja menabur keluh kesah. Sempat terbersit
curiga. Zaman sekarang banyak penipu yang mengincar mangsanya tanpa pandang
bulu. Aku harus waspada.
Sunu terus saja berceloteh. Tentang liontin berlian ibunya yang dicuri lalu
dijual murah, padahal benda itu warisan mendiang kakeknya. Dia juga merasa
sebagai biang keladi yang menyebabkan ibunya cepat meninggal. Tentang
kebiasaannya ziarah untuk mendoakan ibu sekaligus menebus dosanya. Tentang
hidupnya yang kini lontang-lantung. Ia malu pulang ke rumah. Namanya sudah
tercemar. Tak ada lagi yang mempercayainya. Orang-orang yang dulu lengket di
sisinya saat ia banyak uang, kini hilang entah ke mana. Juga tentang niatnya
merantau dan kerja apa saja asal halal.
***
Senja ramah. Angin sepoi. Sinar matahari tak begitu menyengat. Aku dan Sunu
duduk berhadapan di sisi makam, membaca doa bersama. Lantunan suara kami melayang
dibawa angin. Sepasang kupu-kupu kuning terbang rendah. Meliuk-liuk lalu
hinggap di batu nisan. Aku tercekat. Kulirik Sunu, namun dia seperti tak
menyadari kehadiran sepasang mahluk lemah itu.
Usai berdoa, Sunu pamit. Ia menjabat tanganku seraya mengucapkan terima kasih.
Sepintas kulihat matanya memerah. Aku termangu, haru melepasnya. Ia berjingkat
melewati nisan demi nisan. Maghrib menjelang ketika Sunu telah lenyap dari
pemakaman. Ah, seandainya aku ada uang, tentu sudah kuselipkan di saku bajunya.
Entah ke mana tujuan Sunu. Entah di mana tidurnya malam ini. Entah bagaimana
dia makan. Aku merasa bersalah. Seharusnya jangan terlalu cepat mencurigai anak
itu. Aku menyesal hanya jadi pendengar yang baik saat dia bercerita, padahal
apa susahnya memberi nasehat agar dia jangan terlalu lama menyesali keadaan,
agar dia bangkit menebus kesalahan, agar dia rajin mendoakan almarhumah ibunya.
Ah, mudah-mudahan kami bisa bertemu lagi, suatu saat nanti, di kuburan ini.
Dua kupu-kupu kuning telah raib dari tempatnya. Angin mendesau lirih. Sekuntum
bunga kamboja gugur dari tangkainya. Bergulir di pusara yang kering. Kupandangi
bunga putih bersih itu. Tiba-tiba aku terhenyak menatap tulisan di batu nisan.
Di bawah nama almarhumah ibu Sunu, terpahat tanggal dan bulan kelahiran yang
sama persis dengan kematiannya.
Bandar Lampung, April 04
Tue Aug 01, 2023 9:56 pm by wisatasemarang
» Portable STATA 18 Crack Full Version
Thu May 11, 2023 5:24 pm by wisatasemarang
» NVivo 12 Crack Full version
Mon Jan 30, 2023 11:16 am by wisatasemarang
» Tutorial Difference In difference (DID (Diff-in-Diff) With Eviews 13
Thu Nov 03, 2022 6:24 am by wisatasemarang
» Online Workshop Smart PLS Minggu, 01 Oktober 2022
Sat Sep 17, 2022 11:35 am by wisatasemarang
» kumpulan ebook tentang robot
Fri Jan 02, 2015 10:04 pm by kyuru
» MANTRA PELET
Wed May 16, 2012 3:31 am by orlandojack
» book love of spell
Sat Mar 24, 2012 8:08 pm by rifqi as
» attraction Formula
Sat Mar 24, 2012 7:09 pm by rifqi as