Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

ingin bergabung dengan elrakyat.tk klik pendaftaran. jika anda sudah pernah mendaftar silakan login. jangan lupa ajak kawan-kawanmu ke mari , dan jadilah top poster di forum kita

Join the forum, it's quick and easy

Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

ingin bergabung dengan elrakyat.tk klik pendaftaran. jika anda sudah pernah mendaftar silakan login. jangan lupa ajak kawan-kawanmu ke mari , dan jadilah top poster di forum kita

Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

Would you like to react to this message? Create an account in a few clicks or log in to continue.
Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

salah satu forum terbesar tempat kita bernostalgia

Login

Lupa password?

Our traffic

info rakyat

Sun Oct 31, 2010 9:05 pm by admin

---------------
PEMBERITAHUAN....

SF ZONA RELIGI SEKARANG KAMI PINDAH KE [You must be registered and logged in to see this link.] ANDA BISA BERPARTISIPASI DAN MENJADI MODERATOR SESUAI PERMINTAAN ANDA DENGAN REQUEST VIA SMS NO ADMIN 081945520865


Sekilas Info

Sun Jun 27, 2010 2:44 pm by admin

kabar gembira, forum lentera-rakyat mulai hari ini juga bisa diakses melalui [You must be registered and logged in to see this link.]


    tiga sekutu setan

    admin
    admin
    Admin
    Admin


    Zodiac : Virgo Jumlah posting : 688
    Join date : 19.03.10
    Age : 37
    Lokasi : Malang-Indonesia

    tiga sekutu setan Empty tiga sekutu setan

    Post by admin Tue Jun 15, 2010 12:42 pm

    Tiga Sekutu Setan


    Cerpen Muhidin M Dahlan



    KAU orang muda Jawa-Arab yang pergi ke tanah haram. Mungkin mengikuti jejak
    spiritualitas para nabi. Atau berharap mendapatkan barakah kesempurnaan hidup dan
    kecemerlangan pandangan jiwa dalam menangkap lenggak-lenggok kehidupan. Seperti
    para nabi. Seperti orang-orang suci yang pernah lahir dan tertempa di sana. Kau
    ingin mengikuti jalan mereka.



    Dan sepuluh tahun sudah. Ya, genap sepuluh tahun kau
    belajar kepada syekh itu atas rekomendasi syekh ini. Sebuah pola pemberian ajar
    berantai panjang khas tanah haram. Pelbagai ajaran kau timba. Segala cerita
    perjalanan sang abid kala safar di jalan-Nya telah kaudengarkan. Dan pelbagai
    pengalaman telah kau cerap dalam lakumu.



    Dan kini, sesuai niat dan janji dan perjanjian pada
    para wali sepuh di tanah kelahiranmu, yakni belajar 10 tahun, kau pun akhirnya
    memutuskan untuk bersegera pulang. Meninggalkan gurun dengan angin Sahara yang
    ganas itu. Ah, betapa tak banyak yang tak tahu hakikat sahara itu. Juga mungkin
    kau salah satunya, walau kau telah menggali sedalam-dalamnya pengetahuan di
    balik lipatan pasir-pasir ini selama satu dasawarsa menurut perhitungan Masehi.
    Bahwa Sahara yang begitu sederhana, padat, tanpa ornamen sedikit pun itu
    terselip gugusan kekosongan dan kehampaan. Juga kemurnian dan kesucian. Mirip
    Atlantis dan Shangri-La. Di tanah inilah lahir dan membiak orang-orang suci
    yang mendaraskan dan mengubah wajah padang pasir yang begitu sengat, luas,
    hampa, dan bisu, menjadi sepenuhnya wajah Allah, cermin keterhempasan dalam
    kemegahan. Dalam kesunyiannya yang menciutkan nyali itu, seorang insan
    dilenyapkan dan sekaligus dihadirkan. Setiap insan ditunjuk -atau tepatnya
    dipaksa- untuk hidup dalam sikap berjuang. Bukan usaha menaklukkan, melainkan
    bertahan melintasi nasib Sahara untuk mendapatkan oase-oase kedamaian. Gurunlah
    membuat penghuninya ramah-ramah yang kemudian melahirkan ribuan kuplet kisah,
    pengalaman-pengalaman spiritual, dan kerendahan hati, sekaligus sikap teguh
    diri dan insan-insan yang hidup sederhana.



    Di tengah jalan pulang menuju dermaga kau berpapasan
    dengan seorang lelaki. Ia menghampirimu. Tubuhnya dibaluti jubah putih yang tak
    lagi baru karena telah disikat usia. Demikian juga kepalanya. Terbalut rapat
    oleh balutan kain. Kulit wajahnya legam disepuh oleh panasnya matahari dan
    disergap bara pasir-pasir yang berkilat-kilat seperti hamburan ngengat butir
    kristal.



    Kau sedikit gugup atas kedatangannya. Namun kegugupan
    itu kau sembunyikan rapat-rapat. Ia tersenyum. Mungkin itu senyuman manis. Dan
    kau membalasnya juga dengan senyuman. Tak kalah manisnya. Kau tanya siapa ia.
    Ia hanya tersenyum. Kau ulangi pertanyaan serupa. Ia tersenyum lagi. Setelah
    tiga kali kau mengulangi pertanyaan yang serupa, ia kemudian membuka suara.
    Suaranya tampak berat dan seperti suara seorang pewejang di atas mimbar
    khotbah. Anggapmu begitu.



    Ia memperkenalkan diri. Pelan dan tertata ia merangkai
    setiap patahan kata kalimat. Seperti diatur rapi. "Aku bukan dari tanah
    ini, tuan. Aku orang jauh. Sisa keturunan Hamor yang dibantai oleh keturunan
    Yakoov." Kau terkejut. Coba meminta konfirmasi. "Maksud tuan, ah,
    maksudku apakah Nabi Yakub yang tuan maksudkan?"



    "Ya, ya," jawabnya. Matanya menatap matamu.
    Kalian beradu mata. "Tuan, bagaimana mungkin itu terjadi. Tidak mungkin
    seorang nabi bisa membantai orang. Mereka adalah orang terpilih dan memiliki
    pengecapan cinta yang tak ada bandingnya. Hati mereka telah dijagai oleh Allah.
    Terlindunglah mereka dari segala angkara dan perbuatan-perbuatan jahili,"
    kau coba mempertahankan dasar cerita yang pernah kaudengarkan. Sekuatnya
    kuda-kuda pengaman kau pasang di sepasang pacak kakimu. Apalagi di hadapan
    orang asing seperti yang ada di depanmu saat ini.



    "Tapi aku punya cerita lain tentang hakikat
    kesucian. Ya, kalau mengingat cerita itu lagi, ah... ah...."



    Kau melihat ia agak terguncang dengan ingatan
    kesilamannya. Terlihat dari raut wajahnya yang tiba-tiba saja bermendung.
    Tampak ada tekanan mahaberat yang sudah berbiak lama dalam pusat golak
    hidupnya.



    "Cerita apa yang telah membuat tuan begitu
    tertekan. Tampaknya cerita itu tajam sekali menusuk uluhati tuan."



    "Ya, ya, sebuah cerita. Sebuah pengalaman yang
    menusuk. Benar kata tuan, tajamnya menusuk-nusuk uluhati. Tapi, tapi, oh,
    jangan di sini. Di sana. Ya, di sana. Mari kita duduk di sana. Di bawah danau
    itu. Angin Sahara sebentar lagi akan berhembus kencang."



    Kau bertanya-tanya dalam hati sambil madah saja
    mengikuti ajakannya. Kalian menuju sebuah kayu panjang di depan dangau. Mungkin
    disiapkan bagi pengembara yang ingin menyanggrah sejenak melepas penat atau
    tempat perhentian ketika badai pasir menghajar perjalanan.



    Kau mengambil tempat di ujung kayu sambil punggungmu
    kausandarkan di sebuah bilah. Mungkin pelepah kurma. Sementara ia duduk di
    depanmu sambil tangannya mendongakkan dagu. Terlihat seperti berpikir. Tak lama
    kemudian ia membuka cerita kepadamu. Cerita yang ia janjikan tadi. Cerita
    tentang Nabi Yakub dan keluarganya. Cerita yang sebetulnya biasa karena sudah
    seringnya kaudengarkan di surau. Bahkan sejak kau mengenal huruf hijaiyah. Lalu
    apa istimewanya kisah yang diwejangkan sosok asing yang mencegatmu di tengah
    perjalanan pulang ini?



    Alkisah Dina berkunjung ke negeri yang diperintah
    Hamor. Syahdan, putra Hamor, Shekkem namanya, melihat gadis ini dan hati anak
    muda itu tergerak. Disergapnya Dina, dan diperkosanya gadis itu. Tapi apa
    hendak dikata: Shekkem ternyata tidak hanya melampiaskan napas. Tapi ia jatuh
    cinta. Kepada Dina ia sampaikan kata-katanya yang menghibur dan tulus. Kepada
    ayahnya sendiri Shekkem berkata: "Aku ingin menjadikan perempuan ini
    istriku."Maka Hamor pun datang ke orangtua Dina, Yakoov. Ia meminang.
    "Mari kita bentuk perseku tuan perkawinan: tuan berikan putri tuan, dan
    kami berikan putra kami, dan kita selesaikan persoalan kita." Namun
    perdamaian tak terjadi dan persoalan tidak tuntas. Putra-putra Yakoov masih
    merasa marah bahwa Shekkem telah menggagahi adik perempuan mereka. Inilah
    jawaban mereka kepada Yakoov: "Kami tak bisa memberikan adik kami kepada
    kaum yang belum disunat."
    Dan mereka pun memberi syarat, dan dengan itulah mereka mengatur akal. Lamaran
    Hamor dan Shekkam akan diterima jika semua laki-laki di negeri itu memotong
    kulup kelaminnya -sebagaimana diwajibkan bagi orang-orang Yahudi-. Syarat itu
    diterima oleh Hamor dan anaknya dengan senang hati. Maka segera saja semua
    laki-laki di tanah yang diperintah Hamor pun disunat. Tetapi pada hari ketiga
    -ketika orang-orang itu masih menanggungkan rasa sakit di ujung kemaluan
    mereka- dua orang putra Yakoov menyiapkan sesuatu yang tak disangka-sangka.
    Dengan pedang terhunus, mereka memasuki kota. Mereka temui tiap lelaki kota itu
    yang sedang dalam keadaan tak berdaya itu. Mereka bunuh. Lalu tak lama kemudian
    anak-anak Yakub yang lain menyerbu. Mereka menjarah kota itu. Domba, lembu,
    keledai semua yang ada di rumah, juga anak-anak dan para istri, disita.



    Kau mengernyitkan dahi atas sepotong kisah mengerikan
    itu. Nabi Yakub, sekejam itukah? Disebabkan heran dan seperti tak mau terima
    kau bertanya, "Untuk apa semua itu tuan ceritakan kepadaku? Jangan jangan
    kau, kau.... kau... meng...."



    "Maksud tuan, aku mengarang-ngarang cerita,
    begitu? Oh, sungguh cerita kekejaman keluarga Yakub itu menghantui kehidupanku
    dan orang-orang Hamor. Tapi... tapi, terserah kaulah tuan, percaya atau tidak.
    Percaya silakan. Tidak juga tak apa."



    "Maaf, maaf, bukan aku ingin menyakitimu. Tapi
    untuk apa tuan menceritakan kisah itu kepadaku. Apa manfaatnya?"



    "Agar tuan tahu bahwa kesucian pun adalah
    tipuan." Kau tahu ia hanya mengulang kalimat pertamanya. Seperti
    menegaskan sesuatu. Dan kau mengulangi lagi sikapmu. Terbingung-bingung kau
    bertanya pada diri sendiri. Sasmita apalagi yang menghadang pengembaraan menuju
    pintu pulang ini setelah bertahun-tahun ilmu kutimba dan kuukur-ukur?" "Pernahkah
    tuan mendengar apa kata Syekh Al-Warraq?" "Hmmm, jujur aku belum
    pernah mendengarnya. Tentang namanya, aku sudah mendengarnya karena Syekh
    tempatku berguru selalu menyebut-nyebut namanya. Tentang apa tuan?"
    "Tentang ketaksucian yang bermata di mana-mana." "Ho-oh. Aih,
    kalau tak keberatan, sudilah tuan tunjukkan mata-mata yang macam-macam
    itu," katamu meminta penjelasan.



    Dan ia menunjukkan warisan mutiara kebijaksanaan Syekh
    Al-Warraq itu kepadamu:



    Manusia terbagi dalam tiga kelompok: ulama (cendekia),
    umara (penguasa), dan fuqara (sufi). Korupsi para ulama itu melalui
    ketidakpedulian. Korupsi para penguasa melalui ketidakadilan. Dan korupsi kaum
    sufi adalah kemunafikan. Kau tersentak. Sebentar tercenung. Kata-kata yang
    barusan meluncur seperti mencambukmu. Kata-kata yang masih asing di indra
    dengarmu. Khususnya kalimat yang terakhir. Kalau yang pertama dan kedua,
    walaupun tidak sama persis seperti yang kau dengarkan, tapi masih lumrah. Tapi
    yang ketiga itu? Sufi? Bukankah mereka adalah manusia suci pilihan? Tanpa
    mengindahkan kau yang sedang berada dalam simpang teka-teki, dengan tenang ia
    berkata bahwa ketiga sosok itu adalah sekutu setan.



    "Aku tahu tuan orang terpelajar. Pekerja keras.
    Abid yang tekun dan sabar. Tapi hati-hatilah, jangan sampai tuan jadi sekutu
    setan. Abdinya."



    "Aku? Abdinya?"


    Ia bilang ia tak menuduhmu. Hanya memperingatkan agar
    jangan sampai terperangkap dalam jaringan kerja setan. Menjadi teman dan
    sekutunya. "Sudah kuingatkan ancaman itu. Penguasa tanpa pengetahuan,
    ulama tanpa budi, seorang sufi dengan keimanan buta. Kebusukan dunia terletak
    di pundak orang-orang itu. Seorang penguasa tidak menjadi korup hingga mereka
    berpaling dari para ulama, dan ulama tidak menjadi korup hingga mereka bergaul
    dengan penguasa, dan sufi tidak menjadi korup hingga mereka mencari pamer, dan
    ketamakan ulama karena keinginan akan kesalihan, dan kemunafikan sufi karena
    keinginan percaya kepada Allah. Tlah kuingatkan. Hati-hati! Setelah berkata
    demikian, lelaki itu kemudian pamit lalu. Tanpa menengok sedikit pun. Dari
    belakang kau melihat langkahnya begitu mantap. Sesekali terantuk. Sesekali
    berusaha sekuat tenaga mencabut tapak kakinya yang terendam pasir. Angin
    berhembus kencang mengangkat ribuan butir pasir ke udara bersama hilangnya
    lelaki itu dari pandangan matamu.



    Lama kau berdiri di situ sebelum memutuskan untuk
    berjalan ke arah sebaliknya. Kau menurunkan kain ke wajahmu untuk mencegah
    butiran pasir menggasak muka dan matamu. Kau berjalan lambat melintasi lumpur
    pasir sahara yang menanam langkah-langkahmu. Kau sedang menuju dermaga. Menaiki
    kapal-kapal dagang yang menuju daratan tenggara. Jawa! ***




    *) Muhidin M Dahlan, lahir
    di Sulawesi Tengah. Bukunya Trilogi Mencari Cinta; Tuhan, Izinkan Aku menjadi
    Pelacur!; dan Aku, Buku, dan Sepotong Sajak Cinta (ketiganya diterbitkan pada
    2003). Saat ini menjadi perangkai bunga di RumahBunga, Yogyakarta.

      Similar topics

      -

      Waktu sekarang Fri Nov 22, 2024 1:52 am