Tiga Sekutu Setan
Cerpen Muhidin M Dahlan
KAU orang muda Jawa-Arab yang pergi ke tanah haram. Mungkin mengikuti jejak
spiritualitas para nabi. Atau berharap mendapatkan barakah kesempurnaan hidup dan
kecemerlangan pandangan jiwa dalam menangkap lenggak-lenggok kehidupan. Seperti
para nabi. Seperti orang-orang suci yang pernah lahir dan tertempa di sana. Kau
ingin mengikuti jalan mereka.
Dan sepuluh tahun sudah. Ya, genap sepuluh tahun kau
belajar kepada syekh itu atas rekomendasi syekh ini. Sebuah pola pemberian ajar
berantai panjang khas tanah haram. Pelbagai ajaran kau timba. Segala cerita
perjalanan sang abid kala safar di jalan-Nya telah kaudengarkan. Dan pelbagai
pengalaman telah kau cerap dalam lakumu.
Dan kini, sesuai niat dan janji dan perjanjian pada
para wali sepuh di tanah kelahiranmu, yakni belajar 10 tahun, kau pun akhirnya
memutuskan untuk bersegera pulang. Meninggalkan gurun dengan angin Sahara yang
ganas itu. Ah, betapa tak banyak yang tak tahu hakikat sahara itu. Juga mungkin
kau salah satunya, walau kau telah menggali sedalam-dalamnya pengetahuan di
balik lipatan pasir-pasir ini selama satu dasawarsa menurut perhitungan Masehi.
Bahwa Sahara yang begitu sederhana, padat, tanpa ornamen sedikit pun itu
terselip gugusan kekosongan dan kehampaan. Juga kemurnian dan kesucian. Mirip
Atlantis dan Shangri-La. Di tanah inilah lahir dan membiak orang-orang suci
yang mendaraskan dan mengubah wajah padang pasir yang begitu sengat, luas,
hampa, dan bisu, menjadi sepenuhnya wajah Allah, cermin keterhempasan dalam
kemegahan. Dalam kesunyiannya yang menciutkan nyali itu, seorang insan
dilenyapkan dan sekaligus dihadirkan. Setiap insan ditunjuk -atau tepatnya
dipaksa- untuk hidup dalam sikap berjuang. Bukan usaha menaklukkan, melainkan
bertahan melintasi nasib Sahara untuk mendapatkan oase-oase kedamaian. Gurunlah
membuat penghuninya ramah-ramah yang kemudian melahirkan ribuan kuplet kisah,
pengalaman-pengalaman spiritual, dan kerendahan hati, sekaligus sikap teguh
diri dan insan-insan yang hidup sederhana.
Di tengah jalan pulang menuju dermaga kau berpapasan
dengan seorang lelaki. Ia menghampirimu. Tubuhnya dibaluti jubah putih yang tak
lagi baru karena telah disikat usia. Demikian juga kepalanya. Terbalut rapat
oleh balutan kain. Kulit wajahnya legam disepuh oleh panasnya matahari dan
disergap bara pasir-pasir yang berkilat-kilat seperti hamburan ngengat butir
kristal.
Kau sedikit gugup atas kedatangannya. Namun kegugupan
itu kau sembunyikan rapat-rapat. Ia tersenyum. Mungkin itu senyuman manis. Dan
kau membalasnya juga dengan senyuman. Tak kalah manisnya. Kau tanya siapa ia.
Ia hanya tersenyum. Kau ulangi pertanyaan serupa. Ia tersenyum lagi. Setelah
tiga kali kau mengulangi pertanyaan yang serupa, ia kemudian membuka suara.
Suaranya tampak berat dan seperti suara seorang pewejang di atas mimbar
khotbah. Anggapmu begitu.
Ia memperkenalkan diri. Pelan dan tertata ia merangkai
setiap patahan kata kalimat. Seperti diatur rapi. "Aku bukan dari tanah
ini, tuan. Aku orang jauh. Sisa keturunan Hamor yang dibantai oleh keturunan
Yakoov." Kau terkejut. Coba meminta konfirmasi. "Maksud tuan, ah,
maksudku apakah Nabi Yakub yang tuan maksudkan?"
"Ya, ya," jawabnya. Matanya menatap matamu.
Kalian beradu mata. "Tuan, bagaimana mungkin itu terjadi. Tidak mungkin
seorang nabi bisa membantai orang. Mereka adalah orang terpilih dan memiliki
pengecapan cinta yang tak ada bandingnya. Hati mereka telah dijagai oleh Allah.
Terlindunglah mereka dari segala angkara dan perbuatan-perbuatan jahili,"
kau coba mempertahankan dasar cerita yang pernah kaudengarkan. Sekuatnya
kuda-kuda pengaman kau pasang di sepasang pacak kakimu. Apalagi di hadapan
orang asing seperti yang ada di depanmu saat ini.
"Tapi aku punya cerita lain tentang hakikat
kesucian. Ya, kalau mengingat cerita itu lagi, ah... ah...."
Kau melihat ia agak terguncang dengan ingatan
kesilamannya. Terlihat dari raut wajahnya yang tiba-tiba saja bermendung.
Tampak ada tekanan mahaberat yang sudah berbiak lama dalam pusat golak
hidupnya.
"Cerita apa yang telah membuat tuan begitu
tertekan. Tampaknya cerita itu tajam sekali menusuk uluhati tuan."
"Ya, ya, sebuah cerita. Sebuah pengalaman yang
menusuk. Benar kata tuan, tajamnya menusuk-nusuk uluhati. Tapi, tapi, oh,
jangan di sini. Di sana. Ya, di sana. Mari kita duduk di sana. Di bawah danau
itu. Angin Sahara sebentar lagi akan berhembus kencang."
Kau bertanya-tanya dalam hati sambil madah saja
mengikuti ajakannya. Kalian menuju sebuah kayu panjang di depan dangau. Mungkin
disiapkan bagi pengembara yang ingin menyanggrah sejenak melepas penat atau
tempat perhentian ketika badai pasir menghajar perjalanan.
Kau mengambil tempat di ujung kayu sambil punggungmu
kausandarkan di sebuah bilah. Mungkin pelepah kurma. Sementara ia duduk di
depanmu sambil tangannya mendongakkan dagu. Terlihat seperti berpikir. Tak lama
kemudian ia membuka cerita kepadamu. Cerita yang ia janjikan tadi. Cerita
tentang Nabi Yakub dan keluarganya. Cerita yang sebetulnya biasa karena sudah
seringnya kaudengarkan di surau. Bahkan sejak kau mengenal huruf hijaiyah. Lalu
apa istimewanya kisah yang diwejangkan sosok asing yang mencegatmu di tengah
perjalanan pulang ini?
Alkisah Dina berkunjung ke negeri yang diperintah
Hamor. Syahdan, putra Hamor, Shekkem namanya, melihat gadis ini dan hati anak
muda itu tergerak. Disergapnya Dina, dan diperkosanya gadis itu. Tapi apa
hendak dikata: Shekkem ternyata tidak hanya melampiaskan napas. Tapi ia jatuh
cinta. Kepada Dina ia sampaikan kata-katanya yang menghibur dan tulus. Kepada
ayahnya sendiri Shekkem berkata: "Aku ingin menjadikan perempuan ini
istriku."Maka Hamor pun datang ke orangtua Dina, Yakoov. Ia meminang.
"Mari kita bentuk perseku tuan perkawinan: tuan berikan putri tuan, dan
kami berikan putra kami, dan kita selesaikan persoalan kita." Namun
perdamaian tak terjadi dan persoalan tidak tuntas. Putra-putra Yakoov masih
merasa marah bahwa Shekkem telah menggagahi adik perempuan mereka. Inilah
jawaban mereka kepada Yakoov: "Kami tak bisa memberikan adik kami kepada
kaum yang belum disunat."
Dan mereka pun memberi syarat, dan dengan itulah mereka mengatur akal. Lamaran
Hamor dan Shekkam akan diterima jika semua laki-laki di negeri itu memotong
kulup kelaminnya -sebagaimana diwajibkan bagi orang-orang Yahudi-. Syarat itu
diterima oleh Hamor dan anaknya dengan senang hati. Maka segera saja semua
laki-laki di tanah yang diperintah Hamor pun disunat. Tetapi pada hari ketiga
-ketika orang-orang itu masih menanggungkan rasa sakit di ujung kemaluan
mereka- dua orang putra Yakoov menyiapkan sesuatu yang tak disangka-sangka.
Dengan pedang terhunus, mereka memasuki kota. Mereka temui tiap lelaki kota itu
yang sedang dalam keadaan tak berdaya itu. Mereka bunuh. Lalu tak lama kemudian
anak-anak Yakub yang lain menyerbu. Mereka menjarah kota itu. Domba, lembu,
keledai semua yang ada di rumah, juga anak-anak dan para istri, disita.
Kau mengernyitkan dahi atas sepotong kisah mengerikan
itu. Nabi Yakub, sekejam itukah? Disebabkan heran dan seperti tak mau terima
kau bertanya, "Untuk apa semua itu tuan ceritakan kepadaku? Jangan jangan
kau, kau.... kau... meng...."
"Maksud tuan, aku mengarang-ngarang cerita,
begitu? Oh, sungguh cerita kekejaman keluarga Yakub itu menghantui kehidupanku
dan orang-orang Hamor. Tapi... tapi, terserah kaulah tuan, percaya atau tidak.
Percaya silakan. Tidak juga tak apa."
"Maaf, maaf, bukan aku ingin menyakitimu. Tapi
untuk apa tuan menceritakan kisah itu kepadaku. Apa manfaatnya?"
"Agar tuan tahu bahwa kesucian pun adalah
tipuan." Kau tahu ia hanya mengulang kalimat pertamanya. Seperti
menegaskan sesuatu. Dan kau mengulangi lagi sikapmu. Terbingung-bingung kau
bertanya pada diri sendiri. Sasmita apalagi yang menghadang pengembaraan menuju
pintu pulang ini setelah bertahun-tahun ilmu kutimba dan kuukur-ukur?" "Pernahkah
tuan mendengar apa kata Syekh Al-Warraq?" "Hmmm, jujur aku belum
pernah mendengarnya. Tentang namanya, aku sudah mendengarnya karena Syekh
tempatku berguru selalu menyebut-nyebut namanya. Tentang apa tuan?"
"Tentang ketaksucian yang bermata di mana-mana." "Ho-oh. Aih,
kalau tak keberatan, sudilah tuan tunjukkan mata-mata yang macam-macam
itu," katamu meminta penjelasan.
Dan ia menunjukkan warisan mutiara kebijaksanaan Syekh
Al-Warraq itu kepadamu:
Manusia terbagi dalam tiga kelompok: ulama (cendekia),
umara (penguasa), dan fuqara (sufi). Korupsi para ulama itu melalui
ketidakpedulian. Korupsi para penguasa melalui ketidakadilan. Dan korupsi kaum
sufi adalah kemunafikan. Kau tersentak. Sebentar tercenung. Kata-kata yang
barusan meluncur seperti mencambukmu. Kata-kata yang masih asing di indra
dengarmu. Khususnya kalimat yang terakhir. Kalau yang pertama dan kedua,
walaupun tidak sama persis seperti yang kau dengarkan, tapi masih lumrah. Tapi
yang ketiga itu? Sufi? Bukankah mereka adalah manusia suci pilihan? Tanpa
mengindahkan kau yang sedang berada dalam simpang teka-teki, dengan tenang ia
berkata bahwa ketiga sosok itu adalah sekutu setan.
"Aku tahu tuan orang terpelajar. Pekerja keras.
Abid yang tekun dan sabar. Tapi hati-hatilah, jangan sampai tuan jadi sekutu
setan. Abdinya."
"Aku? Abdinya?"
Ia bilang ia tak menuduhmu. Hanya memperingatkan agar
jangan sampai terperangkap dalam jaringan kerja setan. Menjadi teman dan
sekutunya. "Sudah kuingatkan ancaman itu. Penguasa tanpa pengetahuan,
ulama tanpa budi, seorang sufi dengan keimanan buta. Kebusukan dunia terletak
di pundak orang-orang itu. Seorang penguasa tidak menjadi korup hingga mereka
berpaling dari para ulama, dan ulama tidak menjadi korup hingga mereka bergaul
dengan penguasa, dan sufi tidak menjadi korup hingga mereka mencari pamer, dan
ketamakan ulama karena keinginan akan kesalihan, dan kemunafikan sufi karena
keinginan percaya kepada Allah. Tlah kuingatkan. Hati-hati! Setelah berkata
demikian, lelaki itu kemudian pamit lalu. Tanpa menengok sedikit pun. Dari
belakang kau melihat langkahnya begitu mantap. Sesekali terantuk. Sesekali
berusaha sekuat tenaga mencabut tapak kakinya yang terendam pasir. Angin
berhembus kencang mengangkat ribuan butir pasir ke udara bersama hilangnya
lelaki itu dari pandangan matamu.
Lama kau berdiri di situ sebelum memutuskan untuk
berjalan ke arah sebaliknya. Kau menurunkan kain ke wajahmu untuk mencegah
butiran pasir menggasak muka dan matamu. Kau berjalan lambat melintasi lumpur
pasir sahara yang menanam langkah-langkahmu. Kau sedang menuju dermaga. Menaiki
kapal-kapal dagang yang menuju daratan tenggara. Jawa! ***
*) Muhidin M Dahlan, lahir
di Sulawesi Tengah. Bukunya Trilogi Mencari Cinta; Tuhan, Izinkan Aku menjadi
Pelacur!; dan Aku, Buku, dan Sepotong Sajak Cinta (ketiganya diterbitkan pada
2003). Saat ini menjadi perangkai bunga di RumahBunga, Yogyakarta.
Cerpen Muhidin M Dahlan
KAU orang muda Jawa-Arab yang pergi ke tanah haram. Mungkin mengikuti jejak
spiritualitas para nabi. Atau berharap mendapatkan barakah kesempurnaan hidup dan
kecemerlangan pandangan jiwa dalam menangkap lenggak-lenggok kehidupan. Seperti
para nabi. Seperti orang-orang suci yang pernah lahir dan tertempa di sana. Kau
ingin mengikuti jalan mereka.
Dan sepuluh tahun sudah. Ya, genap sepuluh tahun kau
belajar kepada syekh itu atas rekomendasi syekh ini. Sebuah pola pemberian ajar
berantai panjang khas tanah haram. Pelbagai ajaran kau timba. Segala cerita
perjalanan sang abid kala safar di jalan-Nya telah kaudengarkan. Dan pelbagai
pengalaman telah kau cerap dalam lakumu.
Dan kini, sesuai niat dan janji dan perjanjian pada
para wali sepuh di tanah kelahiranmu, yakni belajar 10 tahun, kau pun akhirnya
memutuskan untuk bersegera pulang. Meninggalkan gurun dengan angin Sahara yang
ganas itu. Ah, betapa tak banyak yang tak tahu hakikat sahara itu. Juga mungkin
kau salah satunya, walau kau telah menggali sedalam-dalamnya pengetahuan di
balik lipatan pasir-pasir ini selama satu dasawarsa menurut perhitungan Masehi.
Bahwa Sahara yang begitu sederhana, padat, tanpa ornamen sedikit pun itu
terselip gugusan kekosongan dan kehampaan. Juga kemurnian dan kesucian. Mirip
Atlantis dan Shangri-La. Di tanah inilah lahir dan membiak orang-orang suci
yang mendaraskan dan mengubah wajah padang pasir yang begitu sengat, luas,
hampa, dan bisu, menjadi sepenuhnya wajah Allah, cermin keterhempasan dalam
kemegahan. Dalam kesunyiannya yang menciutkan nyali itu, seorang insan
dilenyapkan dan sekaligus dihadirkan. Setiap insan ditunjuk -atau tepatnya
dipaksa- untuk hidup dalam sikap berjuang. Bukan usaha menaklukkan, melainkan
bertahan melintasi nasib Sahara untuk mendapatkan oase-oase kedamaian. Gurunlah
membuat penghuninya ramah-ramah yang kemudian melahirkan ribuan kuplet kisah,
pengalaman-pengalaman spiritual, dan kerendahan hati, sekaligus sikap teguh
diri dan insan-insan yang hidup sederhana.
Di tengah jalan pulang menuju dermaga kau berpapasan
dengan seorang lelaki. Ia menghampirimu. Tubuhnya dibaluti jubah putih yang tak
lagi baru karena telah disikat usia. Demikian juga kepalanya. Terbalut rapat
oleh balutan kain. Kulit wajahnya legam disepuh oleh panasnya matahari dan
disergap bara pasir-pasir yang berkilat-kilat seperti hamburan ngengat butir
kristal.
Kau sedikit gugup atas kedatangannya. Namun kegugupan
itu kau sembunyikan rapat-rapat. Ia tersenyum. Mungkin itu senyuman manis. Dan
kau membalasnya juga dengan senyuman. Tak kalah manisnya. Kau tanya siapa ia.
Ia hanya tersenyum. Kau ulangi pertanyaan serupa. Ia tersenyum lagi. Setelah
tiga kali kau mengulangi pertanyaan yang serupa, ia kemudian membuka suara.
Suaranya tampak berat dan seperti suara seorang pewejang di atas mimbar
khotbah. Anggapmu begitu.
Ia memperkenalkan diri. Pelan dan tertata ia merangkai
setiap patahan kata kalimat. Seperti diatur rapi. "Aku bukan dari tanah
ini, tuan. Aku orang jauh. Sisa keturunan Hamor yang dibantai oleh keturunan
Yakoov." Kau terkejut. Coba meminta konfirmasi. "Maksud tuan, ah,
maksudku apakah Nabi Yakub yang tuan maksudkan?"
"Ya, ya," jawabnya. Matanya menatap matamu.
Kalian beradu mata. "Tuan, bagaimana mungkin itu terjadi. Tidak mungkin
seorang nabi bisa membantai orang. Mereka adalah orang terpilih dan memiliki
pengecapan cinta yang tak ada bandingnya. Hati mereka telah dijagai oleh Allah.
Terlindunglah mereka dari segala angkara dan perbuatan-perbuatan jahili,"
kau coba mempertahankan dasar cerita yang pernah kaudengarkan. Sekuatnya
kuda-kuda pengaman kau pasang di sepasang pacak kakimu. Apalagi di hadapan
orang asing seperti yang ada di depanmu saat ini.
"Tapi aku punya cerita lain tentang hakikat
kesucian. Ya, kalau mengingat cerita itu lagi, ah... ah...."
Kau melihat ia agak terguncang dengan ingatan
kesilamannya. Terlihat dari raut wajahnya yang tiba-tiba saja bermendung.
Tampak ada tekanan mahaberat yang sudah berbiak lama dalam pusat golak
hidupnya.
"Cerita apa yang telah membuat tuan begitu
tertekan. Tampaknya cerita itu tajam sekali menusuk uluhati tuan."
"Ya, ya, sebuah cerita. Sebuah pengalaman yang
menusuk. Benar kata tuan, tajamnya menusuk-nusuk uluhati. Tapi, tapi, oh,
jangan di sini. Di sana. Ya, di sana. Mari kita duduk di sana. Di bawah danau
itu. Angin Sahara sebentar lagi akan berhembus kencang."
Kau bertanya-tanya dalam hati sambil madah saja
mengikuti ajakannya. Kalian menuju sebuah kayu panjang di depan dangau. Mungkin
disiapkan bagi pengembara yang ingin menyanggrah sejenak melepas penat atau
tempat perhentian ketika badai pasir menghajar perjalanan.
Kau mengambil tempat di ujung kayu sambil punggungmu
kausandarkan di sebuah bilah. Mungkin pelepah kurma. Sementara ia duduk di
depanmu sambil tangannya mendongakkan dagu. Terlihat seperti berpikir. Tak lama
kemudian ia membuka cerita kepadamu. Cerita yang ia janjikan tadi. Cerita
tentang Nabi Yakub dan keluarganya. Cerita yang sebetulnya biasa karena sudah
seringnya kaudengarkan di surau. Bahkan sejak kau mengenal huruf hijaiyah. Lalu
apa istimewanya kisah yang diwejangkan sosok asing yang mencegatmu di tengah
perjalanan pulang ini?
Alkisah Dina berkunjung ke negeri yang diperintah
Hamor. Syahdan, putra Hamor, Shekkem namanya, melihat gadis ini dan hati anak
muda itu tergerak. Disergapnya Dina, dan diperkosanya gadis itu. Tapi apa
hendak dikata: Shekkem ternyata tidak hanya melampiaskan napas. Tapi ia jatuh
cinta. Kepada Dina ia sampaikan kata-katanya yang menghibur dan tulus. Kepada
ayahnya sendiri Shekkem berkata: "Aku ingin menjadikan perempuan ini
istriku."Maka Hamor pun datang ke orangtua Dina, Yakoov. Ia meminang.
"Mari kita bentuk perseku tuan perkawinan: tuan berikan putri tuan, dan
kami berikan putra kami, dan kita selesaikan persoalan kita." Namun
perdamaian tak terjadi dan persoalan tidak tuntas. Putra-putra Yakoov masih
merasa marah bahwa Shekkem telah menggagahi adik perempuan mereka. Inilah
jawaban mereka kepada Yakoov: "Kami tak bisa memberikan adik kami kepada
kaum yang belum disunat."
Dan mereka pun memberi syarat, dan dengan itulah mereka mengatur akal. Lamaran
Hamor dan Shekkam akan diterima jika semua laki-laki di negeri itu memotong
kulup kelaminnya -sebagaimana diwajibkan bagi orang-orang Yahudi-. Syarat itu
diterima oleh Hamor dan anaknya dengan senang hati. Maka segera saja semua
laki-laki di tanah yang diperintah Hamor pun disunat. Tetapi pada hari ketiga
-ketika orang-orang itu masih menanggungkan rasa sakit di ujung kemaluan
mereka- dua orang putra Yakoov menyiapkan sesuatu yang tak disangka-sangka.
Dengan pedang terhunus, mereka memasuki kota. Mereka temui tiap lelaki kota itu
yang sedang dalam keadaan tak berdaya itu. Mereka bunuh. Lalu tak lama kemudian
anak-anak Yakub yang lain menyerbu. Mereka menjarah kota itu. Domba, lembu,
keledai semua yang ada di rumah, juga anak-anak dan para istri, disita.
Kau mengernyitkan dahi atas sepotong kisah mengerikan
itu. Nabi Yakub, sekejam itukah? Disebabkan heran dan seperti tak mau terima
kau bertanya, "Untuk apa semua itu tuan ceritakan kepadaku? Jangan jangan
kau, kau.... kau... meng...."
"Maksud tuan, aku mengarang-ngarang cerita,
begitu? Oh, sungguh cerita kekejaman keluarga Yakub itu menghantui kehidupanku
dan orang-orang Hamor. Tapi... tapi, terserah kaulah tuan, percaya atau tidak.
Percaya silakan. Tidak juga tak apa."
"Maaf, maaf, bukan aku ingin menyakitimu. Tapi
untuk apa tuan menceritakan kisah itu kepadaku. Apa manfaatnya?"
"Agar tuan tahu bahwa kesucian pun adalah
tipuan." Kau tahu ia hanya mengulang kalimat pertamanya. Seperti
menegaskan sesuatu. Dan kau mengulangi lagi sikapmu. Terbingung-bingung kau
bertanya pada diri sendiri. Sasmita apalagi yang menghadang pengembaraan menuju
pintu pulang ini setelah bertahun-tahun ilmu kutimba dan kuukur-ukur?" "Pernahkah
tuan mendengar apa kata Syekh Al-Warraq?" "Hmmm, jujur aku belum
pernah mendengarnya. Tentang namanya, aku sudah mendengarnya karena Syekh
tempatku berguru selalu menyebut-nyebut namanya. Tentang apa tuan?"
"Tentang ketaksucian yang bermata di mana-mana." "Ho-oh. Aih,
kalau tak keberatan, sudilah tuan tunjukkan mata-mata yang macam-macam
itu," katamu meminta penjelasan.
Dan ia menunjukkan warisan mutiara kebijaksanaan Syekh
Al-Warraq itu kepadamu:
Manusia terbagi dalam tiga kelompok: ulama (cendekia),
umara (penguasa), dan fuqara (sufi). Korupsi para ulama itu melalui
ketidakpedulian. Korupsi para penguasa melalui ketidakadilan. Dan korupsi kaum
sufi adalah kemunafikan. Kau tersentak. Sebentar tercenung. Kata-kata yang
barusan meluncur seperti mencambukmu. Kata-kata yang masih asing di indra
dengarmu. Khususnya kalimat yang terakhir. Kalau yang pertama dan kedua,
walaupun tidak sama persis seperti yang kau dengarkan, tapi masih lumrah. Tapi
yang ketiga itu? Sufi? Bukankah mereka adalah manusia suci pilihan? Tanpa
mengindahkan kau yang sedang berada dalam simpang teka-teki, dengan tenang ia
berkata bahwa ketiga sosok itu adalah sekutu setan.
"Aku tahu tuan orang terpelajar. Pekerja keras.
Abid yang tekun dan sabar. Tapi hati-hatilah, jangan sampai tuan jadi sekutu
setan. Abdinya."
"Aku? Abdinya?"
Ia bilang ia tak menuduhmu. Hanya memperingatkan agar
jangan sampai terperangkap dalam jaringan kerja setan. Menjadi teman dan
sekutunya. "Sudah kuingatkan ancaman itu. Penguasa tanpa pengetahuan,
ulama tanpa budi, seorang sufi dengan keimanan buta. Kebusukan dunia terletak
di pundak orang-orang itu. Seorang penguasa tidak menjadi korup hingga mereka
berpaling dari para ulama, dan ulama tidak menjadi korup hingga mereka bergaul
dengan penguasa, dan sufi tidak menjadi korup hingga mereka mencari pamer, dan
ketamakan ulama karena keinginan akan kesalihan, dan kemunafikan sufi karena
keinginan percaya kepada Allah. Tlah kuingatkan. Hati-hati! Setelah berkata
demikian, lelaki itu kemudian pamit lalu. Tanpa menengok sedikit pun. Dari
belakang kau melihat langkahnya begitu mantap. Sesekali terantuk. Sesekali
berusaha sekuat tenaga mencabut tapak kakinya yang terendam pasir. Angin
berhembus kencang mengangkat ribuan butir pasir ke udara bersama hilangnya
lelaki itu dari pandangan matamu.
Lama kau berdiri di situ sebelum memutuskan untuk
berjalan ke arah sebaliknya. Kau menurunkan kain ke wajahmu untuk mencegah
butiran pasir menggasak muka dan matamu. Kau berjalan lambat melintasi lumpur
pasir sahara yang menanam langkah-langkahmu. Kau sedang menuju dermaga. Menaiki
kapal-kapal dagang yang menuju daratan tenggara. Jawa! ***
*) Muhidin M Dahlan, lahir
di Sulawesi Tengah. Bukunya Trilogi Mencari Cinta; Tuhan, Izinkan Aku menjadi
Pelacur!; dan Aku, Buku, dan Sepotong Sajak Cinta (ketiganya diterbitkan pada
2003). Saat ini menjadi perangkai bunga di RumahBunga, Yogyakarta.
Tue Aug 01, 2023 9:56 pm by wisatasemarang
» Portable STATA 18 Crack Full Version
Thu May 11, 2023 5:24 pm by wisatasemarang
» NVivo 12 Crack Full version
Mon Jan 30, 2023 11:16 am by wisatasemarang
» Tutorial Difference In difference (DID (Diff-in-Diff) With Eviews 13
Thu Nov 03, 2022 6:24 am by wisatasemarang
» Online Workshop Smart PLS Minggu, 01 Oktober 2022
Sat Sep 17, 2022 11:35 am by wisatasemarang
» kumpulan ebook tentang robot
Fri Jan 02, 2015 10:04 pm by kyuru
» MANTRA PELET
Wed May 16, 2012 3:31 am by orlandojack
» book love of spell
Sat Mar 24, 2012 8:08 pm by rifqi as
» attraction Formula
Sat Mar 24, 2012 7:09 pm by rifqi as