Sepasang Sepatu
Cerpen Zoya Herawati
Suatu hari di bulan Agustus, seseorang mengirimi aku sepasang sepatu, tepat
ketika aku tengah membutuhkannya. Kukatakan demikian karena sepatu milikku yang
beberapa minggu sebelumnya kubeli dari sebuah butik mahal, bagian uppernya
sudah mulai retak-retak, mengenaskan.
Kerut-kerut putih yang timbul pada permukaan kulit berwarna hitam pekat,
menjadikan kakiku tak nyaman mengenakannya. Semua mata seolah menyipit atau
melotot penuh ejekan saat menatap kakiku melangkah ke mana saja, hingga rasanya
tubuhku memberat dan ingin sesegera mungkin ambles ke bumi. Pernah aku mengadukan
perihal tersebut kepada pelayan butik, tentang betapa jeleknya kualitas sepatu
yang harganya hampir setengah juta rupiah itu.
Tetapi aku kembali menelan kekecewaan. Pelayan itu hanya mengangguk-angguk
kecil tanpa mengerti harus melakukan apa. "Menyesal kami tidak bisa
memuaskan Bapak sebagai pelanggan, tetapi kasus seperti ini memang tidak diatur
dalam perjanjian. Kalau Bapak bersedia, bisa membeli lagi sepasang yang
baru," katanya.
Kalimat yang disampaikan dengan lemah lembut itu tetap saja serasa menggempur
dada. Jika saja ia bukan pelayan dengan wajah manis sekali, ingin aku
mengajarnya seketika. Tapi itulah kelemahanku, selalu saja tak berdaya
berhadapan dengan wajah manis, inosen, dan sedikit manja. Perempuan berparas
ayu selalu saja membuatku bertingkah laku konyol dan sedikit memalukan. Yang
bisa kulakukan hanyalah memarahi diri sendiri menyesali kelemahanku itu.
Dengan perasaan dongkol kubawa pulang kembali sepatu sialan itu, dan segera
kulemparkan ke sembarang pojok kamar tanpa pernah mengusiknya lagi. Jadilah, ke
mana pun pergi aku hanya mengenakan sandal kulit yang sudah lama kucampakkan.
Sebenarnya bisa saja aku membeli sepatu dengan sembarang merk, tetapi itulah,
aku tak ingin musibah itu menimpaku lagi. Sepatu berharga mahal saja bisa
membuatku kecewa, apalagi sepatu "ebrekan". Sampai beberapa minggu
kemudian, tabunganku masih saja belum cukup untuk membeli sepasang sepatu baru
seperti yang kuharapkan. Di sisi lain aku hanya berharap mudah-mudahan sandal
usang itu mampu bertahan beberapa waktu lagi, karena seperti kabar burung yang
kudengar, semua tukang sol sepatu pada bulan seperti ini pulang kampung untuk
panen. Memang tak satu pun tukang sepatu lewat seiring dengan kabar tersebut.
Pernah terbesit dalam pikiranku bahwa sebenarnya mereka adalah orang-orang
licik yang dengan sengaja menyembunyikan kekayaan yang dimiliki di desa. Tetapi
karena hal itu bukan merupakan kesalahan aku pun hanya bisa diam.
Kubaca sekali lagi secarik kertas bertuliskan ucapan selamat ulang tahun yang
kuambil dari kardus tempat sepatu. "Mudah-mudahan Agustus tahun ini
memberimu kebahagian." Mula-mula aku memang sempat bertanya-tanya kepada
diri sendiri, siapa gerangan orang yang sudah berbaik hati mengirimi aku
sepasang sepatu dengan kualitas kulit nomor satu?! Apa maksudnya? Apa ia salah
seorang yang selama ini memperhatikan ke mana pun aku pergi hanya dengan
mengenakan sandal, dan kemudian menjadi iba hati, lalu mengirimkan sepatu ini?
Atau ia seorang pemilik pabrik sepatu yang sedang cuci gudang, lalu membagikan
sisa barang gudangnya? Tetapi mengapa hanya aku, bukankah di kampung ini banyak
juga yang mengenakan sandal, atau bahkan tak bersepatu dan tak beralas kaki
sama sekali? Apa pun alasan si pengirim, rasa-rasanya aku patut bersyukur
kepadanya karena seperti yang kukatakan, ia mengirimkannya pada saat yang
tepat.
Tatkala perasaan di dadaku sudah sampai pada puncak, aku kenakan sepatu itu dan
mematut diri di depan kaca, sambil sesekali kuusir debu pada permukaannya agar
sepatu itu tetap tampak mengkilap. Setelah kurasa cukup, kumasukkan kembali
sepatu itu ke dalam kardus dan kusimpan di tempat yang cukup aman. Artinya
terlindung dari pandangan rekan-rekan satu kos. Maklum, jika melihat benda
baru, mereka selalu berebut memakainya lebih dulu tanpa mempertimbangkan
perasaan sang pemilik.
***
Sementara itu sudah hampir sebulan aku mengenakan sepatu kiriman entah dari
siapa sampai saat ini aku tetap tak tahu. Tak satu pun petunjuk mengatakan
kepadaku tentang diri si pengirim. Ia berlalu begitu saja, seolah benar-benar
ikhlas dengan pemberiannya itu. Tanpa pamrih, begitu orang biasa menyebutnya.
Di kantor atau di mana pun aku berada, sepatu itu telah membuatku makin percaya
diri. Dengan gesper putih mengkilat dan potongan dinamis, sepatu itu sepertinya
cocok dipadukan dengan pantalon warna apa saja. Dengan kata lain sepatu kiriman
itu telah menjebatani duniaku dengan dunia di luar diriku, dan ia pun merupakan
kata kunci bagiku untuk pintu yang di baliknya tersaji gelanggang yang sarat
dengan tipu daya dan kepalsuan.
Pada tahap ini aku seolah sadar telah terseret pada keadaan yang aku sendiri
hendak menolaknya seandainya aku mampu. Sayang, aku tak punya kesempatan
membangun keberanian pada saat pengirim sepatu itu datang suatu ketika. Kala
itu aku tengah menghabiskan waktu setelah seharian penuh bekerja sebagai
sub-kontraktor pada perseroan yang bergerak di bidang perkapalan. Perawakannya
tidak seberapa besar, dengan kumis lebat melintang ia mirip sebagi anggota
TRIAD, seperti dalam film-film laga.
Setelah berbasa-basi sejenak, ia pun menguraikan maksud kedatangannya agar aku
bersedia membantunya setelah menerima pemberiannya berupa sepasang sepatu.
"Saya memang berharap banyak dari Anda. Saya harap Anda bersedia menjadi
calon kami, karena dengan demikian timbal balik di antara kita sudah sah,"
katanya seraya menikmati kue brownies yang kuhidangkan.
Seharusnya aku merasa kesal terhadap laki-laki yang mengaku sebagai direktur
eksekutif sekaligus sebagai bendahara salah satu kontestan pemilihan umum.
Dugaan tanpa pamrih buyar seketika. Melihat kegigihanya mendekatiku, ada rasa
iba. Pada saat itu timbul niatku untuk membungkus dan mengembalikan
pemberiannya. Tetapi demi mengingat sepatu itu sudah kupakai, aku membatalkan
niat itu.
"Baiklah. Meski Bapak menghargai saya hanya dengan sepasang sepatu, saya
akan mencoba bersikap profesional. Tawaran itu saya terima meski saya tak ingin
tahu apa alasan yang tepat atas pilihan itu," kataku tegas.
Ia pun menepuk pundakku dengan mantap dan berlalu meninggalkan aku yang masih merasa
heran dengan keberanianku mengambil keputusan. Kadang memang muncul anggapan
aneh tentang diri sendiri, tetapi ketika seseorang memahami jika setiap saat
terjadi proses, maka keanehan itu akan hilang dengan sendirinya. Pada akhirnya
aku pun bisa menguasai diri, dalam arti harus siap bermain dengan peran apa
pun. Inilah yang kukatakan sebagai gelanggang yang sarat dengan tipu daya dan
kepalsuan.
***
Perjalanan itu tak terlalu menyenangkan. Bertolak dari markas anak cabang,
mobil yang berisi lima orang termasuk aku, berjalan terseok-seok di antara
kerumunan massa yang menyemut sejak pagi. Aku tidak tahu apa sebenarnya yang
mereka cari, toh ketika semua usai, yel-yel yang memenuhi udara tak akan ada
artinya lagi. Tidaklah berlebihan jika kukatakan bahwa persoalan yang sulit
dihadapi adalah ketika menaklukkan mimpi-mimpi.
Kami menuju sebuah hotel berbintang di jantung kota, melewati arak-arakan yang
tak ada putusnya, melingkar-lingkar memenuhi badan jalan, sementara yang lain
lebih senang mengalah. "Tapi itulah rakyat. Biarkan mereka berpesta,"
kata Ketua Cabang berapi-api.
Aku mengerutkan dahi. Kata-kata pesta yang baru saja ia ucapkan seakan
menyadarkan aku akan keberadaan orang-orang di sebelah real estate tempat aku
tinggal selama ini. Pesta bagi mereka merupakan saat-saat menggantungkan mimpi
dan harapan entah kepada siapa, karena selama ini para pemimpin hanya pandai
beretorika tanpa mau tahu kapan mereka mewujudkan mimpi-mimpi kaum papa.
Ah, sudahlah! Aku terlalu lelah memikirkan persoalan yang bukan persoalanku.
Apakah itu sekadar pelarian rasa kesal, aku sendiri tak tahu. Persoalan
orang-orang kampung di sebelah real estate adalah persoalan nasib yang tidak
dengan serta-merta dapat diubah hanya dengan atribut dan yel-yel murahan. Aku
tersenyum sendiri kala ingatanku melompat kepada Wak Jo, penjual air di
kampungku. Hampir setiap kali ada kampanye, ia selalu berhasil mengumpulkan
berbagai bendera dengan berbagai ukuran di samping setumpuk kaos dengan
gambar-gambar berbeda. Ketika dengan iseng aku menanyakan buat apa kaos-kaos
dan bendera itu, dengan santai ia menjawab, "Ah, ndak ada maksud lain kok,
Nak. Saya hanya ingin menambah kekayaan yang saya dapat setiap lima tahun
sekali."
Kala itu aku menatapnya heran, jawabnya yang tanpa nada getir sedikit pun
tenyata merupakan ekspresi dari akumulasi kekecewaan dalam diri orang-orang
macam Wak Jo. "Itulah yang disebut kebesaran hati wong cilik," kata
Bendahara Partai ketika secara bergurau aku menyampaikan hal itu kepadanya. Aku
hanya bisa menghela napas, menahan diri terhadap kata-kata politisi kampung
tersebut. Mobil terus bergerak menuju lokasi, dan kurang dari setengah jam,
sampailah kami.
Panggung itu tidak seberapa lebar, hanya tiga kali tiga meter. Di sebelah kiri
dan kanan bagian depan panggung dipasang bendera dalam ukuran besar sehingga
terkesan menenggelamkan panggung itu sendiri. Kurang lebih dua meter dari
panggung, undangan sudah mengisi kursi-kursi yang disusun berderet-deret.
Kebanyakan dari hadirin adalah anak-anak, remaja, serta ibu-ibu yang sebagian
besar tampak kerepotan menggendong bayi-bayinya. Sesekali tangis bayi-bayi itu
makin membuat bising berbaur dengan hingar-bingarnya musik yang dipasang
keras-keras. Kepalaku memberat, sementara mataku berkunang-kunang menyaksikan
massa yang makin berjubel di sekitar lokasi.
"Mengapa, kurang sehat? Kuatkan, Anda tampil sebagai pembuka,"
Bendahara Partai kembali berbisik kepadaku. Aku hanya mengangguk kecil, rasa
sakit di kepala makin menjadi-jadi. Dengan berat hati aku pun melangkah ke atas
panggung. Merdeka! Merdeka! Merdeka! Pekikku setengah hati. Aku tak peduli
bagaimana sambutan massa, yang penting aku hanya ingin membayar hutangku atas
sepasang sepatu dengan berorasi di lokasi ini.
"Halo ibu-ibu, Saudara sekalian, di mana para suami? Mengapa mereka tidak
ikut hadir bersama kalian di sini?" teriakku lantang meski aku sendiri tak
tahu ke mana arah pertanyaan itu. "Mereka kerja di sawah, Pak. Kalau ikut
ke sini kami semua tidak makan!"
Jawaban serempak itu membuat kunang-kunang di mataku makin penuh dan kepalaku
serasa mau copot. Demi anak istri, para lelaki harus ke sawah untuk sekadar
sesuap nasi, sementara demi sepasang sepatu, aku mesti berdiri di sini dengan
berkunang-kunang serta kepala yang makin memberat dan terus memberat, menjual omong
kosong yang tak karuan ujung pangkalnya. Kupegang kepalaku dengan kedua tangan
dengan tidak lagi menghiraukan bendahara partai yang melotot ke arahku. Aku
merasa tidak sanggup lagi bicara ngalor-ngidul tanpa tujuan, karena tiba-tiba
para lelaki di desa ini telah menyadarkan aku bahwa tempat mereka lebih tinggi
dibanding aku. Kutinggalkan tempat itu dengan menyisakan keheranan dalam diri
setiap orang, terutama Bendahara Partai.
Sampai di rumah, kukeluarkan semua tabunganku, kuhitung apakah cukup untuk sepasang
sepatu mahal seperti pemberian yang kuterima kemarin dulu. Kini hampir setiap
sore usai melaksanakan tugas di kantor, aku selalu menyempatkan diri pergi ke
toko sepatu atau ke mall sekadar mencari sepatu yang persis sama seperti yang
pernah dikirim Bendahara Partai. Sayang sampai detik ini belum sekalipun aku
menemukan sepatu seperti yang kuharapkan.
"Saya kira itu model special edition, edisi special, Pak," sahut
salah seorang pelayan di toko sepatu yang sempat aku kunjungi. Aku benar-benar
putus asa.
Aku merasa sepatu itu benar-benar telah mengekangku di suatu tempat tanpa
pernah memberiku ruang gerak sedikit pun. Ia telah memenjarakan aku dengan
tampilannya yang trendi tanpa pernah menghiraukan perasaan yang tertekan setiap
kali manyaksikan ia tergeletak di sembarang tempat.
Kini aku tetap rajin mengunjungi setiap toko sepatu yang ada di kotaku,
barangkali bisa menemukan sepasang sepatu yang kuinginkan, demi menebus
kebebasanku kembali. ***
Emtebe Maret 2004
Cerpen Zoya Herawati
Suatu hari di bulan Agustus, seseorang mengirimi aku sepasang sepatu, tepat
ketika aku tengah membutuhkannya. Kukatakan demikian karena sepatu milikku yang
beberapa minggu sebelumnya kubeli dari sebuah butik mahal, bagian uppernya
sudah mulai retak-retak, mengenaskan.
Kerut-kerut putih yang timbul pada permukaan kulit berwarna hitam pekat,
menjadikan kakiku tak nyaman mengenakannya. Semua mata seolah menyipit atau
melotot penuh ejekan saat menatap kakiku melangkah ke mana saja, hingga rasanya
tubuhku memberat dan ingin sesegera mungkin ambles ke bumi. Pernah aku mengadukan
perihal tersebut kepada pelayan butik, tentang betapa jeleknya kualitas sepatu
yang harganya hampir setengah juta rupiah itu.
Tetapi aku kembali menelan kekecewaan. Pelayan itu hanya mengangguk-angguk
kecil tanpa mengerti harus melakukan apa. "Menyesal kami tidak bisa
memuaskan Bapak sebagai pelanggan, tetapi kasus seperti ini memang tidak diatur
dalam perjanjian. Kalau Bapak bersedia, bisa membeli lagi sepasang yang
baru," katanya.
Kalimat yang disampaikan dengan lemah lembut itu tetap saja serasa menggempur
dada. Jika saja ia bukan pelayan dengan wajah manis sekali, ingin aku
mengajarnya seketika. Tapi itulah kelemahanku, selalu saja tak berdaya
berhadapan dengan wajah manis, inosen, dan sedikit manja. Perempuan berparas
ayu selalu saja membuatku bertingkah laku konyol dan sedikit memalukan. Yang
bisa kulakukan hanyalah memarahi diri sendiri menyesali kelemahanku itu.
Dengan perasaan dongkol kubawa pulang kembali sepatu sialan itu, dan segera
kulemparkan ke sembarang pojok kamar tanpa pernah mengusiknya lagi. Jadilah, ke
mana pun pergi aku hanya mengenakan sandal kulit yang sudah lama kucampakkan.
Sebenarnya bisa saja aku membeli sepatu dengan sembarang merk, tetapi itulah,
aku tak ingin musibah itu menimpaku lagi. Sepatu berharga mahal saja bisa
membuatku kecewa, apalagi sepatu "ebrekan". Sampai beberapa minggu
kemudian, tabunganku masih saja belum cukup untuk membeli sepasang sepatu baru
seperti yang kuharapkan. Di sisi lain aku hanya berharap mudah-mudahan sandal
usang itu mampu bertahan beberapa waktu lagi, karena seperti kabar burung yang
kudengar, semua tukang sol sepatu pada bulan seperti ini pulang kampung untuk
panen. Memang tak satu pun tukang sepatu lewat seiring dengan kabar tersebut.
Pernah terbesit dalam pikiranku bahwa sebenarnya mereka adalah orang-orang
licik yang dengan sengaja menyembunyikan kekayaan yang dimiliki di desa. Tetapi
karena hal itu bukan merupakan kesalahan aku pun hanya bisa diam.
Kubaca sekali lagi secarik kertas bertuliskan ucapan selamat ulang tahun yang
kuambil dari kardus tempat sepatu. "Mudah-mudahan Agustus tahun ini
memberimu kebahagian." Mula-mula aku memang sempat bertanya-tanya kepada
diri sendiri, siapa gerangan orang yang sudah berbaik hati mengirimi aku
sepasang sepatu dengan kualitas kulit nomor satu?! Apa maksudnya? Apa ia salah
seorang yang selama ini memperhatikan ke mana pun aku pergi hanya dengan
mengenakan sandal, dan kemudian menjadi iba hati, lalu mengirimkan sepatu ini?
Atau ia seorang pemilik pabrik sepatu yang sedang cuci gudang, lalu membagikan
sisa barang gudangnya? Tetapi mengapa hanya aku, bukankah di kampung ini banyak
juga yang mengenakan sandal, atau bahkan tak bersepatu dan tak beralas kaki
sama sekali? Apa pun alasan si pengirim, rasa-rasanya aku patut bersyukur
kepadanya karena seperti yang kukatakan, ia mengirimkannya pada saat yang
tepat.
Tatkala perasaan di dadaku sudah sampai pada puncak, aku kenakan sepatu itu dan
mematut diri di depan kaca, sambil sesekali kuusir debu pada permukaannya agar
sepatu itu tetap tampak mengkilap. Setelah kurasa cukup, kumasukkan kembali
sepatu itu ke dalam kardus dan kusimpan di tempat yang cukup aman. Artinya
terlindung dari pandangan rekan-rekan satu kos. Maklum, jika melihat benda
baru, mereka selalu berebut memakainya lebih dulu tanpa mempertimbangkan
perasaan sang pemilik.
***
Sementara itu sudah hampir sebulan aku mengenakan sepatu kiriman entah dari
siapa sampai saat ini aku tetap tak tahu. Tak satu pun petunjuk mengatakan
kepadaku tentang diri si pengirim. Ia berlalu begitu saja, seolah benar-benar
ikhlas dengan pemberiannya itu. Tanpa pamrih, begitu orang biasa menyebutnya.
Di kantor atau di mana pun aku berada, sepatu itu telah membuatku makin percaya
diri. Dengan gesper putih mengkilat dan potongan dinamis, sepatu itu sepertinya
cocok dipadukan dengan pantalon warna apa saja. Dengan kata lain sepatu kiriman
itu telah menjebatani duniaku dengan dunia di luar diriku, dan ia pun merupakan
kata kunci bagiku untuk pintu yang di baliknya tersaji gelanggang yang sarat
dengan tipu daya dan kepalsuan.
Pada tahap ini aku seolah sadar telah terseret pada keadaan yang aku sendiri
hendak menolaknya seandainya aku mampu. Sayang, aku tak punya kesempatan
membangun keberanian pada saat pengirim sepatu itu datang suatu ketika. Kala
itu aku tengah menghabiskan waktu setelah seharian penuh bekerja sebagai
sub-kontraktor pada perseroan yang bergerak di bidang perkapalan. Perawakannya
tidak seberapa besar, dengan kumis lebat melintang ia mirip sebagi anggota
TRIAD, seperti dalam film-film laga.
Setelah berbasa-basi sejenak, ia pun menguraikan maksud kedatangannya agar aku
bersedia membantunya setelah menerima pemberiannya berupa sepasang sepatu.
"Saya memang berharap banyak dari Anda. Saya harap Anda bersedia menjadi
calon kami, karena dengan demikian timbal balik di antara kita sudah sah,"
katanya seraya menikmati kue brownies yang kuhidangkan.
Seharusnya aku merasa kesal terhadap laki-laki yang mengaku sebagai direktur
eksekutif sekaligus sebagai bendahara salah satu kontestan pemilihan umum.
Dugaan tanpa pamrih buyar seketika. Melihat kegigihanya mendekatiku, ada rasa
iba. Pada saat itu timbul niatku untuk membungkus dan mengembalikan
pemberiannya. Tetapi demi mengingat sepatu itu sudah kupakai, aku membatalkan
niat itu.
"Baiklah. Meski Bapak menghargai saya hanya dengan sepasang sepatu, saya
akan mencoba bersikap profesional. Tawaran itu saya terima meski saya tak ingin
tahu apa alasan yang tepat atas pilihan itu," kataku tegas.
Ia pun menepuk pundakku dengan mantap dan berlalu meninggalkan aku yang masih merasa
heran dengan keberanianku mengambil keputusan. Kadang memang muncul anggapan
aneh tentang diri sendiri, tetapi ketika seseorang memahami jika setiap saat
terjadi proses, maka keanehan itu akan hilang dengan sendirinya. Pada akhirnya
aku pun bisa menguasai diri, dalam arti harus siap bermain dengan peran apa
pun. Inilah yang kukatakan sebagai gelanggang yang sarat dengan tipu daya dan
kepalsuan.
***
Perjalanan itu tak terlalu menyenangkan. Bertolak dari markas anak cabang,
mobil yang berisi lima orang termasuk aku, berjalan terseok-seok di antara
kerumunan massa yang menyemut sejak pagi. Aku tidak tahu apa sebenarnya yang
mereka cari, toh ketika semua usai, yel-yel yang memenuhi udara tak akan ada
artinya lagi. Tidaklah berlebihan jika kukatakan bahwa persoalan yang sulit
dihadapi adalah ketika menaklukkan mimpi-mimpi.
Kami menuju sebuah hotel berbintang di jantung kota, melewati arak-arakan yang
tak ada putusnya, melingkar-lingkar memenuhi badan jalan, sementara yang lain
lebih senang mengalah. "Tapi itulah rakyat. Biarkan mereka berpesta,"
kata Ketua Cabang berapi-api.
Aku mengerutkan dahi. Kata-kata pesta yang baru saja ia ucapkan seakan
menyadarkan aku akan keberadaan orang-orang di sebelah real estate tempat aku
tinggal selama ini. Pesta bagi mereka merupakan saat-saat menggantungkan mimpi
dan harapan entah kepada siapa, karena selama ini para pemimpin hanya pandai
beretorika tanpa mau tahu kapan mereka mewujudkan mimpi-mimpi kaum papa.
Ah, sudahlah! Aku terlalu lelah memikirkan persoalan yang bukan persoalanku.
Apakah itu sekadar pelarian rasa kesal, aku sendiri tak tahu. Persoalan
orang-orang kampung di sebelah real estate adalah persoalan nasib yang tidak
dengan serta-merta dapat diubah hanya dengan atribut dan yel-yel murahan. Aku
tersenyum sendiri kala ingatanku melompat kepada Wak Jo, penjual air di
kampungku. Hampir setiap kali ada kampanye, ia selalu berhasil mengumpulkan
berbagai bendera dengan berbagai ukuran di samping setumpuk kaos dengan
gambar-gambar berbeda. Ketika dengan iseng aku menanyakan buat apa kaos-kaos
dan bendera itu, dengan santai ia menjawab, "Ah, ndak ada maksud lain kok,
Nak. Saya hanya ingin menambah kekayaan yang saya dapat setiap lima tahun
sekali."
Kala itu aku menatapnya heran, jawabnya yang tanpa nada getir sedikit pun
tenyata merupakan ekspresi dari akumulasi kekecewaan dalam diri orang-orang
macam Wak Jo. "Itulah yang disebut kebesaran hati wong cilik," kata
Bendahara Partai ketika secara bergurau aku menyampaikan hal itu kepadanya. Aku
hanya bisa menghela napas, menahan diri terhadap kata-kata politisi kampung
tersebut. Mobil terus bergerak menuju lokasi, dan kurang dari setengah jam,
sampailah kami.
Panggung itu tidak seberapa lebar, hanya tiga kali tiga meter. Di sebelah kiri
dan kanan bagian depan panggung dipasang bendera dalam ukuran besar sehingga
terkesan menenggelamkan panggung itu sendiri. Kurang lebih dua meter dari
panggung, undangan sudah mengisi kursi-kursi yang disusun berderet-deret.
Kebanyakan dari hadirin adalah anak-anak, remaja, serta ibu-ibu yang sebagian
besar tampak kerepotan menggendong bayi-bayinya. Sesekali tangis bayi-bayi itu
makin membuat bising berbaur dengan hingar-bingarnya musik yang dipasang
keras-keras. Kepalaku memberat, sementara mataku berkunang-kunang menyaksikan
massa yang makin berjubel di sekitar lokasi.
"Mengapa, kurang sehat? Kuatkan, Anda tampil sebagai pembuka,"
Bendahara Partai kembali berbisik kepadaku. Aku hanya mengangguk kecil, rasa
sakit di kepala makin menjadi-jadi. Dengan berat hati aku pun melangkah ke atas
panggung. Merdeka! Merdeka! Merdeka! Pekikku setengah hati. Aku tak peduli
bagaimana sambutan massa, yang penting aku hanya ingin membayar hutangku atas
sepasang sepatu dengan berorasi di lokasi ini.
"Halo ibu-ibu, Saudara sekalian, di mana para suami? Mengapa mereka tidak
ikut hadir bersama kalian di sini?" teriakku lantang meski aku sendiri tak
tahu ke mana arah pertanyaan itu. "Mereka kerja di sawah, Pak. Kalau ikut
ke sini kami semua tidak makan!"
Jawaban serempak itu membuat kunang-kunang di mataku makin penuh dan kepalaku
serasa mau copot. Demi anak istri, para lelaki harus ke sawah untuk sekadar
sesuap nasi, sementara demi sepasang sepatu, aku mesti berdiri di sini dengan
berkunang-kunang serta kepala yang makin memberat dan terus memberat, menjual omong
kosong yang tak karuan ujung pangkalnya. Kupegang kepalaku dengan kedua tangan
dengan tidak lagi menghiraukan bendahara partai yang melotot ke arahku. Aku
merasa tidak sanggup lagi bicara ngalor-ngidul tanpa tujuan, karena tiba-tiba
para lelaki di desa ini telah menyadarkan aku bahwa tempat mereka lebih tinggi
dibanding aku. Kutinggalkan tempat itu dengan menyisakan keheranan dalam diri
setiap orang, terutama Bendahara Partai.
Sampai di rumah, kukeluarkan semua tabunganku, kuhitung apakah cukup untuk sepasang
sepatu mahal seperti pemberian yang kuterima kemarin dulu. Kini hampir setiap
sore usai melaksanakan tugas di kantor, aku selalu menyempatkan diri pergi ke
toko sepatu atau ke mall sekadar mencari sepatu yang persis sama seperti yang
pernah dikirim Bendahara Partai. Sayang sampai detik ini belum sekalipun aku
menemukan sepatu seperti yang kuharapkan.
"Saya kira itu model special edition, edisi special, Pak," sahut
salah seorang pelayan di toko sepatu yang sempat aku kunjungi. Aku benar-benar
putus asa.
Aku merasa sepatu itu benar-benar telah mengekangku di suatu tempat tanpa
pernah memberiku ruang gerak sedikit pun. Ia telah memenjarakan aku dengan
tampilannya yang trendi tanpa pernah menghiraukan perasaan yang tertekan setiap
kali manyaksikan ia tergeletak di sembarang tempat.
Kini aku tetap rajin mengunjungi setiap toko sepatu yang ada di kotaku,
barangkali bisa menemukan sepasang sepatu yang kuinginkan, demi menebus
kebebasanku kembali. ***
Emtebe Maret 2004
Tue Aug 01, 2023 9:56 pm by wisatasemarang
» Portable STATA 18 Crack Full Version
Thu May 11, 2023 5:24 pm by wisatasemarang
» NVivo 12 Crack Full version
Mon Jan 30, 2023 11:16 am by wisatasemarang
» Tutorial Difference In difference (DID (Diff-in-Diff) With Eviews 13
Thu Nov 03, 2022 6:24 am by wisatasemarang
» Online Workshop Smart PLS Minggu, 01 Oktober 2022
Sat Sep 17, 2022 11:35 am by wisatasemarang
» kumpulan ebook tentang robot
Fri Jan 02, 2015 10:04 pm by kyuru
» MANTRA PELET
Wed May 16, 2012 3:31 am by orlandojack
» book love of spell
Sat Mar 24, 2012 8:08 pm by rifqi as
» attraction Formula
Sat Mar 24, 2012 7:09 pm by rifqi as