Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

ingin bergabung dengan elrakyat.tk klik pendaftaran. jika anda sudah pernah mendaftar silakan login. jangan lupa ajak kawan-kawanmu ke mari , dan jadilah top poster di forum kita

Join the forum, it's quick and easy

Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

ingin bergabung dengan elrakyat.tk klik pendaftaran. jika anda sudah pernah mendaftar silakan login. jangan lupa ajak kawan-kawanmu ke mari , dan jadilah top poster di forum kita

Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

Would you like to react to this message? Create an account in a few clicks or log in to continue.
Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

salah satu forum terbesar tempat kita bernostalgia

Login

Lupa password?

Our traffic

info rakyat

Sun Oct 31, 2010 9:05 pm by admin

---------------
PEMBERITAHUAN....

SF ZONA RELIGI SEKARANG KAMI PINDAH KE [You must be registered and logged in to see this link.] ANDA BISA BERPARTISIPASI DAN MENJADI MODERATOR SESUAI PERMINTAAN ANDA DENGAN REQUEST VIA SMS NO ADMIN 081945520865


Sekilas Info

Sun Jun 27, 2010 2:44 pm by admin

kabar gembira, forum lentera-rakyat mulai hari ini juga bisa diakses melalui [You must be registered and logged in to see this link.]


    sepasang sepatu

    admin
    admin
    Admin
    Admin


    Zodiac : Virgo Jumlah posting : 688
    Join date : 19.03.10
    Age : 37
    Lokasi : Malang-Indonesia

    sepasang sepatu Empty sepasang sepatu

    Post by admin Tue Jun 15, 2010 12:40 pm

    Sepasang Sepatu







    Cerpen Zoya Herawati

    Suatu hari di bulan Agustus, seseorang mengirimi aku sepasang sepatu, tepat
    ketika aku tengah membutuhkannya. Kukatakan demikian karena sepatu milikku yang
    beberapa minggu sebelumnya kubeli dari sebuah butik mahal, bagian uppernya
    sudah mulai retak-retak, mengenaskan.

    Kerut-kerut putih yang timbul pada permukaan kulit berwarna hitam pekat,
    menjadikan kakiku tak nyaman mengenakannya. Semua mata seolah menyipit atau
    melotot penuh ejekan saat menatap kakiku melangkah ke mana saja, hingga rasanya
    tubuhku memberat dan ingin sesegera mungkin ambles ke bumi. Pernah aku mengadukan
    perihal tersebut kepada pelayan butik, tentang betapa jeleknya kualitas sepatu
    yang harganya hampir setengah juta rupiah itu.

    Tetapi aku kembali menelan kekecewaan. Pelayan itu hanya mengangguk-angguk
    kecil tanpa mengerti harus melakukan apa. "Menyesal kami tidak bisa
    memuaskan Bapak sebagai pelanggan, tetapi kasus seperti ini memang tidak diatur
    dalam perjanjian. Kalau Bapak bersedia, bisa membeli lagi sepasang yang
    baru," katanya.

    Kalimat yang disampaikan dengan lemah lembut itu tetap saja serasa menggempur
    dada. Jika saja ia bukan pelayan dengan wajah manis sekali, ingin aku
    mengajarnya seketika. Tapi itulah kelemahanku, selalu saja tak berdaya
    berhadapan dengan wajah manis, inosen, dan sedikit manja. Perempuan berparas
    ayu selalu saja membuatku bertingkah laku konyol dan sedikit memalukan. Yang
    bisa kulakukan hanyalah memarahi diri sendiri menyesali kelemahanku itu.

    Dengan perasaan dongkol kubawa pulang kembali sepatu sialan itu, dan segera
    kulemparkan ke sembarang pojok kamar tanpa pernah mengusiknya lagi. Jadilah, ke
    mana pun pergi aku hanya mengenakan sandal kulit yang sudah lama kucampakkan.
    Sebenarnya bisa saja aku membeli sepatu dengan sembarang merk, tetapi itulah,
    aku tak ingin musibah itu menimpaku lagi. Sepatu berharga mahal saja bisa
    membuatku kecewa, apalagi sepatu "ebrekan". Sampai beberapa minggu
    kemudian, tabunganku masih saja belum cukup untuk membeli sepasang sepatu baru
    seperti yang kuharapkan. Di sisi lain aku hanya berharap mudah-mudahan sandal
    usang itu mampu bertahan beberapa waktu lagi, karena seperti kabar burung yang
    kudengar, semua tukang sol sepatu pada bulan seperti ini pulang kampung untuk
    panen. Memang tak satu pun tukang sepatu lewat seiring dengan kabar tersebut.
    Pernah terbesit dalam pikiranku bahwa sebenarnya mereka adalah orang-orang
    licik yang dengan sengaja menyembunyikan kekayaan yang dimiliki di desa. Tetapi
    karena hal itu bukan merupakan kesalahan aku pun hanya bisa diam.

    Kubaca sekali lagi secarik kertas bertuliskan ucapan selamat ulang tahun yang
    kuambil dari kardus tempat sepatu. "Mudah-mudahan Agustus tahun ini
    memberimu kebahagian." Mula-mula aku memang sempat bertanya-tanya kepada
    diri sendiri, siapa gerangan orang yang sudah berbaik hati mengirimi aku
    sepasang sepatu dengan kualitas kulit nomor satu?! Apa maksudnya? Apa ia salah
    seorang yang selama ini memperhatikan ke mana pun aku pergi hanya dengan
    mengenakan sandal, dan kemudian menjadi iba hati, lalu mengirimkan sepatu ini?
    Atau ia seorang pemilik pabrik sepatu yang sedang cuci gudang, lalu membagikan
    sisa barang gudangnya? Tetapi mengapa hanya aku, bukankah di kampung ini banyak
    juga yang mengenakan sandal, atau bahkan tak bersepatu dan tak beralas kaki
    sama sekali? Apa pun alasan si pengirim, rasa-rasanya aku patut bersyukur
    kepadanya karena seperti yang kukatakan, ia mengirimkannya pada saat yang
    tepat.

    Tatkala perasaan di dadaku sudah sampai pada puncak, aku kenakan sepatu itu dan
    mematut diri di depan kaca, sambil sesekali kuusir debu pada permukaannya agar
    sepatu itu tetap tampak mengkilap. Setelah kurasa cukup, kumasukkan kembali
    sepatu itu ke dalam kardus dan kusimpan di tempat yang cukup aman. Artinya
    terlindung dari pandangan rekan-rekan satu kos. Maklum, jika melihat benda
    baru, mereka selalu berebut memakainya lebih dulu tanpa mempertimbangkan
    perasaan sang pemilik.
    ***
    Sementara itu sudah hampir sebulan aku mengenakan sepatu kiriman entah dari
    siapa sampai saat ini aku tetap tak tahu. Tak satu pun petunjuk mengatakan
    kepadaku tentang diri si pengirim. Ia berlalu begitu saja, seolah benar-benar
    ikhlas dengan pemberiannya itu. Tanpa pamrih, begitu orang biasa menyebutnya.
    Di kantor atau di mana pun aku berada, sepatu itu telah membuatku makin percaya
    diri. Dengan gesper putih mengkilat dan potongan dinamis, sepatu itu sepertinya
    cocok dipadukan dengan pantalon warna apa saja. Dengan kata lain sepatu kiriman
    itu telah menjebatani duniaku dengan dunia di luar diriku, dan ia pun merupakan
    kata kunci bagiku untuk pintu yang di baliknya tersaji gelanggang yang sarat
    dengan tipu daya dan kepalsuan.

    Pada tahap ini aku seolah sadar telah terseret pada keadaan yang aku sendiri
    hendak menolaknya seandainya aku mampu. Sayang, aku tak punya kesempatan
    membangun keberanian pada saat pengirim sepatu itu datang suatu ketika. Kala
    itu aku tengah menghabiskan waktu setelah seharian penuh bekerja sebagai
    sub-kontraktor pada perseroan yang bergerak di bidang perkapalan. Perawakannya
    tidak seberapa besar, dengan kumis lebat melintang ia mirip sebagi anggota
    TRIAD, seperti dalam film-film laga.

    Setelah berbasa-basi sejenak, ia pun menguraikan maksud kedatangannya agar aku
    bersedia membantunya setelah menerima pemberiannya berupa sepasang sepatu.

    "Saya memang berharap banyak dari Anda. Saya harap Anda bersedia menjadi
    calon kami, karena dengan demikian timbal balik di antara kita sudah sah,"
    katanya seraya menikmati kue brownies yang kuhidangkan.

    Seharusnya aku merasa kesal terhadap laki-laki yang mengaku sebagai direktur
    eksekutif sekaligus sebagai bendahara salah satu kontestan pemilihan umum.
    Dugaan tanpa pamrih buyar seketika. Melihat kegigihanya mendekatiku, ada rasa
    iba. Pada saat itu timbul niatku untuk membungkus dan mengembalikan
    pemberiannya. Tetapi demi mengingat sepatu itu sudah kupakai, aku membatalkan
    niat itu.

    "Baiklah. Meski Bapak menghargai saya hanya dengan sepasang sepatu, saya
    akan mencoba bersikap profesional. Tawaran itu saya terima meski saya tak ingin
    tahu apa alasan yang tepat atas pilihan itu," kataku tegas.

    Ia pun menepuk pundakku dengan mantap dan berlalu meninggalkan aku yang masih merasa
    heran dengan keberanianku mengambil keputusan. Kadang memang muncul anggapan
    aneh tentang diri sendiri, tetapi ketika seseorang memahami jika setiap saat
    terjadi proses, maka keanehan itu akan hilang dengan sendirinya. Pada akhirnya
    aku pun bisa menguasai diri, dalam arti harus siap bermain dengan peran apa
    pun. Inilah yang kukatakan sebagai gelanggang yang sarat dengan tipu daya dan
    kepalsuan.
    ***
    Perjalanan itu tak terlalu menyenangkan. Bertolak dari markas anak cabang,
    mobil yang berisi lima orang termasuk aku, berjalan terseok-seok di antara
    kerumunan massa yang menyemut sejak pagi. Aku tidak tahu apa sebenarnya yang
    mereka cari, toh ketika semua usai, yel-yel yang memenuhi udara tak akan ada
    artinya lagi. Tidaklah berlebihan jika kukatakan bahwa persoalan yang sulit
    dihadapi adalah ketika menaklukkan mimpi-mimpi.

    Kami menuju sebuah hotel berbintang di jantung kota, melewati arak-arakan yang
    tak ada putusnya, melingkar-lingkar memenuhi badan jalan, sementara yang lain
    lebih senang mengalah. "Tapi itulah rakyat. Biarkan mereka berpesta,"
    kata Ketua Cabang berapi-api.

    Aku mengerutkan dahi. Kata-kata pesta yang baru saja ia ucapkan seakan
    menyadarkan aku akan keberadaan orang-orang di sebelah real estate tempat aku
    tinggal selama ini. Pesta bagi mereka merupakan saat-saat menggantungkan mimpi
    dan harapan entah kepada siapa, karena selama ini para pemimpin hanya pandai
    beretorika tanpa mau tahu kapan mereka mewujudkan mimpi-mimpi kaum papa.

    Ah, sudahlah! Aku terlalu lelah memikirkan persoalan yang bukan persoalanku.
    Apakah itu sekadar pelarian rasa kesal, aku sendiri tak tahu. Persoalan
    orang-orang kampung di sebelah real estate adalah persoalan nasib yang tidak
    dengan serta-merta dapat diubah hanya dengan atribut dan yel-yel murahan. Aku
    tersenyum sendiri kala ingatanku melompat kepada Wak Jo, penjual air di
    kampungku. Hampir setiap kali ada kampanye, ia selalu berhasil mengumpulkan
    berbagai bendera dengan berbagai ukuran di samping setumpuk kaos dengan
    gambar-gambar berbeda. Ketika dengan iseng aku menanyakan buat apa kaos-kaos
    dan bendera itu, dengan santai ia menjawab, "Ah, ndak ada maksud lain kok,
    Nak. Saya hanya ingin menambah kekayaan yang saya dapat setiap lima tahun
    sekali."

    Kala itu aku menatapnya heran, jawabnya yang tanpa nada getir sedikit pun
    tenyata merupakan ekspresi dari akumulasi kekecewaan dalam diri orang-orang
    macam Wak Jo. "Itulah yang disebut kebesaran hati wong cilik," kata
    Bendahara Partai ketika secara bergurau aku menyampaikan hal itu kepadanya. Aku
    hanya bisa menghela napas, menahan diri terhadap kata-kata politisi kampung
    tersebut. Mobil terus bergerak menuju lokasi, dan kurang dari setengah jam,
    sampailah kami.

    Panggung itu tidak seberapa lebar, hanya tiga kali tiga meter. Di sebelah kiri
    dan kanan bagian depan panggung dipasang bendera dalam ukuran besar sehingga
    terkesan menenggelamkan panggung itu sendiri. Kurang lebih dua meter dari
    panggung, undangan sudah mengisi kursi-kursi yang disusun berderet-deret.
    Kebanyakan dari hadirin adalah anak-anak, remaja, serta ibu-ibu yang sebagian
    besar tampak kerepotan menggendong bayi-bayinya. Sesekali tangis bayi-bayi itu
    makin membuat bising berbaur dengan hingar-bingarnya musik yang dipasang
    keras-keras. Kepalaku memberat, sementara mataku berkunang-kunang menyaksikan
    massa yang makin berjubel di sekitar lokasi.

    "Mengapa, kurang sehat? Kuatkan, Anda tampil sebagai pembuka,"
    Bendahara Partai kembali berbisik kepadaku. Aku hanya mengangguk kecil, rasa
    sakit di kepala makin menjadi-jadi. Dengan berat hati aku pun melangkah ke atas
    panggung. Merdeka! Merdeka! Merdeka! Pekikku setengah hati. Aku tak peduli
    bagaimana sambutan massa, yang penting aku hanya ingin membayar hutangku atas
    sepasang sepatu dengan berorasi di lokasi ini.

    "Halo ibu-ibu, Saudara sekalian, di mana para suami? Mengapa mereka tidak
    ikut hadir bersama kalian di sini?" teriakku lantang meski aku sendiri tak
    tahu ke mana arah pertanyaan itu. "Mereka kerja di sawah, Pak. Kalau ikut
    ke sini kami semua tidak makan!"

    Jawaban serempak itu membuat kunang-kunang di mataku makin penuh dan kepalaku
    serasa mau copot. Demi anak istri, para lelaki harus ke sawah untuk sekadar
    sesuap nasi, sementara demi sepasang sepatu, aku mesti berdiri di sini dengan
    berkunang-kunang serta kepala yang makin memberat dan terus memberat, menjual omong
    kosong yang tak karuan ujung pangkalnya. Kupegang kepalaku dengan kedua tangan
    dengan tidak lagi menghiraukan bendahara partai yang melotot ke arahku. Aku
    merasa tidak sanggup lagi bicara ngalor-ngidul tanpa tujuan, karena tiba-tiba
    para lelaki di desa ini telah menyadarkan aku bahwa tempat mereka lebih tinggi
    dibanding aku. Kutinggalkan tempat itu dengan menyisakan keheranan dalam diri
    setiap orang, terutama Bendahara Partai.

    Sampai di rumah, kukeluarkan semua tabunganku, kuhitung apakah cukup untuk sepasang
    sepatu mahal seperti pemberian yang kuterima kemarin dulu. Kini hampir setiap
    sore usai melaksanakan tugas di kantor, aku selalu menyempatkan diri pergi ke
    toko sepatu atau ke mall sekadar mencari sepatu yang persis sama seperti yang
    pernah dikirim Bendahara Partai. Sayang sampai detik ini belum sekalipun aku
    menemukan sepatu seperti yang kuharapkan.

    "Saya kira itu model special edition, edisi special, Pak," sahut
    salah seorang pelayan di toko sepatu yang sempat aku kunjungi. Aku benar-benar
    putus asa.

    Aku merasa sepatu itu benar-benar telah mengekangku di suatu tempat tanpa
    pernah memberiku ruang gerak sedikit pun. Ia telah memenjarakan aku dengan
    tampilannya yang trendi tanpa pernah menghiraukan perasaan yang tertekan setiap
    kali manyaksikan ia tergeletak di sembarang tempat.

    Kini aku tetap rajin mengunjungi setiap toko sepatu yang ada di kotaku,
    barangkali bisa menemukan sepasang sepatu yang kuinginkan, demi menebus
    kebebasanku kembali. ***
    Emtebe Maret 2004

      Similar topics

      -

      Waktu sekarang Mon Nov 25, 2024 9:08 am